Referat Obstruksi Jaundice Fix.docx

  • Uploaded by: Lolita Redhy
  • 0
  • 0
  • January 2021
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Referat Obstruksi Jaundice Fix.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 4,097
  • Pages: 31
Loading documents preview...
REFERAT OBSTRUKSI JAUNDICE

Pembimbing: Dr. dr. Koernia Swa Oetomo, Sp.B, FINACS. FICS (K) TRAUMA

Oleh : Lolita Redhy Kusuma Dewi 201820401011117 Alif Maulida Habiba

SMF BEDAH RSU HAJI SURABAYA FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG 2020

LEMBAR PENGESAHAN 1 2

REFERAT

OBSTRUKSI JAUNDICE

Referat dengan judul Obstruksi Jaundice telah diperiksa dan disetujui sebagai salah satu tugas dalam rangka menyelesaikan studi kepaniteraan Dokter Muda di SMF Bedah

Surabaya, 17 Februari 2020 Pembimbing

Dr. dr. Koernia Swa Oetomo, Sp.B, FINACS. FICS (K) TRAUMA

ii

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr.Wb. Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, karena atas berkat dan rahmat-Nya, penulis telah menyelesaikan penulisan referat dengan judul Obstruksi Jaundice. Penulisan referat ini bertujuan untuk memenuhi salah satu syarat kelulusan pada program pendidikan profesi dokter pada Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Malang yang dilaksanakan di RSU Haji Surabaya. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada seluruh dokter pembimbing khususnya kepada Dr. dr. Koernia Swa Oetomo, Sp.B, FINACS. FICS (K) TRAUMA selaku pembimbing, dan semua pihak terkait yang telah membantu terselesaikannya tinjauan pustakaan ini. Tulisan tinjauan kepustakaan ini masih jauh dari kesempurnaan. Dengan kerendahan hati, penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya dan mengharapkan kritik dan saran yang membangun. Semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi semua pihak. Wassalamualaikum WR.WB. Surabaya,

17

2020

Penulis

iii

Februari

DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN.....................................................................................ii KATA PENGANTAR............................................................................................iii DAFTAR ISI...........................................................................................................iv DAFTAR GAMBAR..............................................................................................vi BAB 1 PENDAHULUAN.......................................................................................1 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA..............................................................................2 2.1

Anatomi.....................................................................................................2

2.2

Definisi......................................................................................................6

2.3

Epidemiologi.............................................................................................6

2.4

Etiologi......................................................................................................7

2.5

Patofisiologi...............................................................................................8

2.6

Manifestasi klinis....................................................................................15

2.7

Pemeriksaan penunjang...........................................................................17

2.8

Tatalaksana..............................................................................................20

2.9

Komplikasi..............................................................................................23

2.10

Prognosis..............................................................................................23

BAB 3 KESIMPULAN..........................................................................................24 DAFTAR PUSTAKA............................................................................................25

iv

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Anatomi hepar......................................................................................2 Gambar 2.2 Histologi hepar.....................................................................................3 Gambar 2.3 Anatomi vesika biliaris........................................................................4 Gambar 2.4 Metabolisme bilirubin........................................................................11

v

1

BAB 1

PENDAHULUAN

Jaundice atau ikterus dapat dibedakan menjadi 3 jenis berdasarkan lokasi penyebabnya,

yaitu

ikterus

prahepatik

(hemolitik),

ikterus

intrahepatik

(parenkimatosa), dan ikterus ekstrahepatik (obstruktif). Pada ikterus obstruktif, kemampuan produksi bilirubin adalah normal, namun bilirubin yang dibentuk tidak dapat dialirkan ke dalam usus melalui sirkulasi darah oleh karena adanya suatu sumbatan (obstruksi). Jaundice adalah manifestasi yang sering dari gangguan traktus bilier dan evaluasi dan manajemen dari obstruktif jaundice adalah hal yang umum dihadapi oleh bedah umuum (Prabakar, 2016). Gangguan pada saluran empedu memengaruhi sebagian besar populasi dunia, dan sebagian besar kasus disebabkan oleh cholelithiasis (batu empedu). Di Amerika Serikat, 20% orang yang berusia lebih dari 65 tahun memiliki batu empedu dan 1 juta kasus batu empedu yang baru didiagnosis dilaporkan setiap tahun (Bonheur, 2019). Meskipun adanya kemajuan teknis, mode operasi manajemen penyakit obstruksi jaundice dikaitkan dengan morbiditas dan mortalitas yang sangat tinggi. Untuk mendiagnosis penyebabnya, tempat obstruksi dan penatalaksanaan presentasi klinis dan penatalaksanaan kasus ikterus obstruktif dari ikterus bedah memang merupakan tugas yang menantang bagi ahli bedah. Oleh karena itu, studi komprehensif tentang etiologi sangat penting dalam manajemen yang tepat dari penyakit pasien (Prabakar, 2016).

1

2

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1

Anatomi  Hepar Hepar merupakan kelenjar terbesar di dalam tubuh dan mempunyai banyak fungsi. Tiga fungsi dasar hepar, yaitu: (1) membentuk dan mensekresikan empedu kedalam traktus intestinalis; (2) berperan pada metabolism yang berhubungan dengan karbohidrat, lemak, dan protein; (3) menyaring darah untuk membuang bakteri dan benda asing lain yang masuk ke dalam darah dari lumen intestinum (Snell, 2016).

Gambar 2.1 Anatomi hepar Hepar bertekstur lunak, lentur, dan terletak dibagian atas cavitas abdominalis tepat dibawah diafragma. Hepar terbagi menjadi lobus hepatis dekstra dan lobus hepatis sinistra. Lobus hepatis dekstra terbagi lagi menjadi lobus caudatus dan lobus quadratus (Snell, 2016).

2

3

Porta hepatis, atau hilus hepatis, terdapat pada fasies visceralis dan terletak diantara lobus caudatus dan quadratus, bagian atas ujung bebas omentum minus melekat pada pinggir-pinggir porta hepatis. Pada tempat ini terdapat duktus hepatikus dekstra dan sinistra, ramus dekstra dan sinistra arteri hepatica, vena porta hepatica, serta serabut-serabut saraf simpatis dan parasimpatis. Hepar tersusun atas lobuli hepatis. Vena sentralis dari masing-masing lobulus bermuara ke vena hepatica. Di dalam ruangan diantara lobulus-lobulus terdapat kanalis hepatis yang berisi cabang-cabang arteria hepatica, vena porta hepatis, dan sebuah cabang duktus koledokus (trias hepatis). Darah arteria dan vena berjalan diantara sel-sel hepar melalui sinusoid dan dialirkan ke vena sentralis (Snell, 2016).

Gambar 2.2 Histologi hepar

4

Hepar terdiri atas unit-unit heksagonal, yaitu lobulus hepatikus. Di bagian tengah setiap lobulus terdapat sebuah vena sentralis, yang dikelilingi secara radial oleh lempengsel hepar, yaitu hepatosit, dan sinusoid kearah perifer. Sinusoid hati dipisahkan dari hepatosit dibawahnya oleh spatium perisinusoideum subendotelial. Hepatosit mengeluarkan empedu ke dalam saluran yang halus disebut kanalikulus biliaris yang terletak diantara hepatosit. Kanalikulus menyatu di tepi lobulus hati didaerah porta sebagai duktus biliaris. Duktus biliaris kemudian mengalir ke dalam duktus hepatikus yang lebih besar yang membawa empedu keluar dari hati. Di dalam lobulus hati, empedu mengalir di dalam kanalikulus biliaris ke duktus biliaris ke daerah porta, sementara darah dalam sinusoid mengalir ke dalam vena sentralis. Akibatnya, empedu dan darah tidak bercampur (Snell, 2016).  Vesika biliaris

5

Gambar 2.3 Anatomi vesika biliaris Vesika biliaris merupakan sebuah kantong berbentuk buah pir yang terletak pada permukaan bawah (fasies visceralis) hepar. Vesika biliaris mempunyai kemampuan menampung empedu sebanyak 30-50 ml dan menyimpannya serta memekatkan empedu dengan cara mengabsorbsi air. Vesika biliaris dibagi menjadi fundus, corpus, dan collum. Fundus vesika biliaris berbentuk bulat dan biasanya menonjol dibawah inferior hepar, penonjolan ini merupakan tempat fundus bersentuhan dengan dinding anterior abdomen setinggi ujung cartilage costalis IX dekstra. Corpus vesika biliaris terletak dan berhubungan dengan fasies visceralis hepar dan arahnya keatas, belakang, dan kiri. Collum vesika biliaris melanjutkan diri sebagai duktus cystikus yang berbelok ke arah dalam omentum minus dan bergabung dengan sisi kanan duktus hepatikus komunis untuk membentuk duktus koledokus (Snell, 2016).

6

Vesika biliaris merupakan organ kecil berongga yang melekat pada permukaan bawah hepar. Empedu diproduksi oleh hepatosit dan kemudian mengalir dan disimpan didalam kandung empedu (vesika biliaris). Empedu keluar dari kandung empedu memalui duktus sistikus dan masuk ke duodenum melalui duktus biliaris komunis menembus papilla duodeni mayor. Empedu dicurahkan ke dalam saluran pencernaan akibat rangsangan kuat hormon kolesistokinin dan secara kurang kuat oleh serabut-serabut saraf yang menyekresikan asetilkolin dari system saraf vagus dan enterik usus, yang meningkatkan motilitas dan sekresi empedu (Snell, 2016). 2.2

Definisi Jaundice adalah istilah general yang menggambarkan pigmentasi berwarna kuning pada kulit, membran mukosa, atau sklera. Obstruksi jaundice didefinisikan sebagai kondisi yang terjadi karena adanya blok di jalur antara tempat konjugasi empedu di sel-sel hepar dan masuknya empedu ke duodenum melalui ampula. Blok mungkin intrahepatik atau ekstrahepatik di saluran empedu (Prabakar, 2016).

2.3

Epidemiologi Di Amerika Serikat insiden dari obstruksi bilier ada sekitar 5 kasus per 1000 orang. Secara predileksi ras tergantung dari penyebab obstruksi bilier. Batu empedu merupakan penyebab paling sering dari obstruksi bilier. Orang keturunan Hispanik dan Eropa Utara memiliki resiko lebih tinggi terkena batu empedu daripada orang Asia dan Afrika. Penduduk asli

7

Amerika (terutama Pima Indians) memiliki peningkatan insidensi dari obesitas dan diabetes diantara populasi mereka dan terutama rentan untuk mengembangkan batu empedu. Wanita Pima memiliki peluang untuk memiliki batu empedu yang tinggi yaitu 80% (Bonheur, 2019). Kanker kantong empedu lebih banyak di Amerika Tengah dan Selatan, Eropa Tengah dan Timur, utara Indian subkontinen, dan Asia Timur (Jepang dan Korea). Oriental cholangiohepatis (OCH) dapat terlihat di Timur Jauh (Asia Timur, Rusia Tijur Jauh, Asia Tenggara) (Bonheur, 2019). Predileksi seksual tergantung dari penyebab dari obbstruksi bilier. Batu empeduu adalah penyebab terbanyak penyebab obstruksi bilier. Wanita lebih beresiko mengalami batu empedu daripada pria. Dalam dekade ke enam, hampir 25% dari wanita Amerika memiliki batu empedu, dengan 50% wanita berusia 75 tahun. Peningkatan resiko ini kemunngkinan disebabkan oleh efek esterogen pada hepar, dan menyebabkann keluarnya kolesterol lebih banyak dan mengalihkannya ke dalam empedu. Kanker kantong empedu juga lebih banyak pada wanita daripada pria (Bonheur, 2019). Sekitar 20% dari pria berusia 75 tahun memiliki batu empedu, dengan perjalanan penyakit lebih rumit terjadi pada mereka yang pernah menjalani cholecystectomy (Bonheur, 2019). 2.4

Etiologi A. Dalam lumen duktus 

Choledocholithiasis

8



Parasit: Hydatid disease, Ascariasis



Haemobilia

B. Dalam dinding duktus 1. Congenital 

Atresia bilier



Kista choledochal

2. Didapat 

Papillary stenosis



Striktur a. Post trauma b. Post operasi c. Post inflamasi striktur d. Primary sclerosing cholangitis e. Radioterapi f. Sindrom Mirrizzi g. Malignansi -

Ca gall bladder

-

Cholangiocarcinoma

-

Ca ampula vater

C. Di luar dinding 1. Benigna: pseudokista pankreass 2. Maligna: 

Ca caput pankreas



Pembesaran limfonodi pada portahepatitis

9

 2.5

Ca periampularis (Prabakar, 2016).

Patofisiologi Ikterus secara umum terbagi menjadi 3, yaitu ikterus prehepatik, ikterus hepatik, dan ikterus posthepatik atau yang disebut ikterus obstruktif. Ikterus obstruktif disebut juga ikterus posthepatik karena penyebab terjadinya ikterus ini adalah pada daerah posthepatik, yaitu setelah bilirubin dialirkan keluar dari hepar (Sjamsuhidayat, 2017).  Fase Pre-hepatik 1. Pembentukan bilirubin. Bilirubin berasal dari katabolism protein heme, dimana 75% berasal dari penghancuran eritrosit dan 25% berasal dari penghancuran eritrosit yang imatur dan protein heme lainnya seperti mioglobin, sitokrom, katalase, dan peroksidase. Pembentukannya berlangsung di sistem retikoloendotelial. Langkah oksidase pertama adalah biliverdin yang dibentuk dari heme dengan bantuan enzim heme oksigenase. Biliverdin yang larut dalam air kemudian akan direduksi menjadi bilirubin oleh enzim biliverdin reduktase. Bilirubin bersifat lipofilik dan terikat dengan hidrogen serta pada pH normal bersifat tidak larut. 2. Transport plasma Selanjutnya bilirubin yang telah dibentuk akan diangkut ke hati melalui plasma, harus berikatan dengan albumin plasma terlebih dahulu oleh karena sifatnya yang tidak larut dalam air.

10

 Fase Intra-Hepatik 3. Liver uptake Pada

saat

kompleks

bilirubin-albumin

mencapai

permukaan sinusoid hepatosit, terjadi proses ambilan bilirubin oleh hepatosit melalui ssistem transpor aktif terfasilitasi, namun tidak termasuk pengambilan albumin. Setelah masuk ke dalam hepatosit, bilirubin akan berikatan dengan ligandin, yang membantu bilirubin tetap larut sebelum dikonjugasi. 4. Konjugasi Bilirubin bebas yang terkonsentrasi dalam sel hati (bilirubin tak terkonjugasi) akan mengalami konjugasi dengan asam glukoronat yang dapat larut dalam air di reticulum endoplasma dengan bantuan enzim uridine diphosphate glucoronosyl transferase (UDPG-T) membentuk bilirubin konjugasi, sehingga mudah untuk diekskresikan ke dalam kanalikulus empedu.  Fase Post-Hepatik 5. Ekskresi bilirubin Bilirubin yang terkonjugasi diekskresikan ke dalam kanalikulus empedu melalui proses mekanisme transport aktif yang diperantarai oleh protein membran kanalikuli, dikenal sebagai multidrug-resistance associated protein-2 (MRP-2). Setelah bilirubin terkonjugasi diekskresikan ke dalam kandung empedu, bilirubin kemudian memasuki saluran cerna.

11

Sewaktu bilirubin terkonjugasi mencapai ileum terminal dan usus besar, glukoronida dikeluarkan oleh enzim bakteri khusus, yaitu ß-glukoronidase, dan bilirubin kemudian direduksi oleh flora feses menjadi sekelompok senyawa tetrapirol tak berwarna yang disebut urobilinogen. Di ileum terminal dan usus besar, sebagian kecil urobilinogen direabsorpsi dan diekskresi ulang melalui hati sehingga membentuk siklus urobilinogen enterohepatik. Pada keadaan normal, urobilinogen yang tak berwarna dan dibentuk di kolon oleh flora feses mengalami oksidasi menjadi urobilin (senyawa berwarna) dan diekskresikan di tinja (John dan Pratt, 2018).

Gambar 2.4 Metabolisme bilirubin

12

Pada ikterus obstruktif, terjadi obstruksi dari pasase bilirubin direk sehingga bilirubin tidak dapat diekskresikan ke dalam usus halus dan akibatnya terjadi aliran balik ke dalam pembuluh darah. Akibatnya kadar bilirubin direk meningkat dalam aliran darah dan penderita menjadi ikterik. Ikterik paling pertama terlihat adalah pada jaringan ikat longgar seperti sublingual dan sklera. Karena kadar bilirubin direk dalam darah meningkat, maka sekresi bilirubin dari ginjal akan meningkat sehingga urine akan menjadi gelap dengan bilirubin urin positif. Sedangkan karena bilirubin yang diekskresikan ke feses berkurang, maka pewarnaan feses menjadi berkurang dan feses akan menjadi berwarna pucat seperti dempul (acholis) (Sjamsuhidayat, 2017). Batu empedu kolesterol terbentuk dari sekresi berlebihan dari kolesterol oleh sel hepar, dan hipomotilitas atau gangguan pengosongan kantong empedu. Pada batu pigmen, kondisi dengan pemecahan heme yang tinggi, bilirubin dapat muncul pada empedu lebih tinggi daripada konsentrasi normal. Bilirubin kemudian dapat mengkristal dan akhirnya membentuk batu. Terbentuknya batu kolesterol adalah akibat dari kegagalan homeostasis kolesterol pada empedu, yang mana keseimbangan fisik-kimia dari kelarutan kolesterol dalam empedu terganggu (Lamert et.al, 2016).

13

Gambar 2.5 Metabolisme kolesterol di hepatosit Uptake hepatik dari kolesterol dimediasi oleh prolow-density lipoprotein receptor-related protein 1 (LRP1) untuk chylomicron remnants (CMRs), lowdensity lipoprotein (LDL) receptor (LDRL) untuk LDL, dan scavanger receptor class B member 1 (SRB1) untuk high-density lipoprotein (HDL). Biosintesis dari kolesterol hepatik dari asetat diregilasi oleh enzim 3-hydroxy-3-methylglutarylcoenzyme A reductase (HMDH). Proporsi besar dari kolesterol digunakan untuk sintesis garam empedu melalui jalur klasik dan alternatif, yang mana diregulasi oleh 2 enzim kolesterol 7α-hydroxylase (CYP7A1) dan sterol 27-hydroxylasse (CYP21A1) berturut-turut. Sintesis garam empedu tergantung dari farnesoid X receptor (FXR, atau NRH1) melalui pasangan heterodimer kecil dan fibroblast growth factor 19 (FG19) melalui reseptornya (FGFR14). Dan, beberapa kolesterol diesterifikasi oleh acyl-coenzime A:cholesterole acyltransferase (ACAT atau

14

SOAT1) sebagai simpanan di hepatosit. Bagian dari kolesterol digunakan untuk sintesis very-low-density lipoprotein (VLDL), yang mana disekresikan ke sirkulasi. Sekelompok ATP-binding cassete (ABC) transporter yang berlokasi di kanalikuli membran bertangggung jawab dalam sekresi lipid: heterodimer ABCG5 dan ABCG8 untuk kolesterol, ABCB11 untuk garam empedu, ABCB4 untuk phosphatidylcholine. Niemann-Pick C1like protein 1 (NPC1C1) dalam membran kanalikuli mungkin berkontribusi untuk reuptake kolesterol dari empedu ke dalam hepatosit. Liver X receptor (LXR atau NR1H3) memiliki peran yang penting tidak hanya di sintesis kolesterol dan garam empedu melalui sitokrom P450 51A1 (Cyp5A1) dan UDP glucoronosyltransferase 1-3 (UGT1A3) berturutturut, namun juga dalam sekresi kolesterol empedu dengan aktivasi ABCG5 dan ABCG8 dalam level transkripsional. Disregulasi dari uptake, biosintesis, katabolisme, dan/atau sekresi kolesterol empedu di level hepatosit menghasilkan terbentuknya kolesterol jenuh empedu (Lamert et.al, 2016)

15

Gambar 2.6 Diagram terbentuknya batu kolesterol Diagram fase kesetimbangan sistem garam empedu yang dicampur kolesterol-fosfolipid (lesitin) (37 ° C, NaCl 0,15 M, pH 7,0, konsentrasi total lipid 7,5 g / dl) menunjukkan posisi dan konfigurasi daerah kristalisasi. Komponen dinyatakan dalam persen mol. Zona misel fase tunggal di bagian bawah tertutup oleh garis bersudut padat, dan di atasnya, 2 garis padat membagi zona 2 fase dari zona 3 fase pusat. Berdasarkan urutan kristalisasi kolesterol dalam empedu, daerah 2 fase kiri dan pusat 3 fase dibagi dengan garis putus-putus ke daerah A – D. Jumlah fase yang diberikan mewakili keadaan keseimbangan. Daerah kristalisasi A dan B mengandung kristal kolesterolmonohidrat dan misel jenuh. Daerah C dan D mengandung kristal kolesterol monohidrat, kristal cair dan misel jenuh. Wilayah E mengandung kristal cair dan misel jenuh. Khususnya, ketika konsentrasi total lipid (7,5 g / dl → 2,5 g / dl), hidrofobisitas garam empedu (3α, 12α → 3α, 7α → 3α, 7α, 12α → 3α, konjugasi taurine hidroksilasi 7a) dan suhu (37 ° C → 4 ° C) berkurang, semua jalur kristalisasi secara bertahap dipindahkan ke kadar fosfolipid yang lebih rendah dengan kristalisasi kolesterol lambat dan kelarutan kolesterol mikellar berkurang. Akibatnya, serangkaian diagram fase baru dengan wilayah yang diperbesar E dihasilkan (Lamert et.al, 2016). Gejala dan komplikasi akibat kolelitiasis terjadi ketika batu menghalangi saluran kistik, saluran empedu atau keduanya. Obstruksi sementara duktus kistik (seperti ketika batu masuk dalam duktus kistik sebelum duktus melebar dan batu kembali ke kandung empedu) menghasilkan nyeri empedu tetapi biasanya berumur pendek. Ini dikenal sebagai cholelithiasis. Obstruksi saluran kistik yang lebih persisten (seperti ketika batu besar tersangkut secara permanen di leher

16

kantong empedu) dapat menyebabkan kolesistitis akut. Kadang-kadang batu empedu bisa melewati saluran kistik dan terkena dan mempengaruhi saluran empedu umum, dan menyebabkan obstruksi dan penyakit kuning. Komplikasi ini dikenal sebagai choledocholithiasis (Tanaja et.al., 2019). 2.6

Manifestasi klinis Jaundice merupakan pewarnaan kuning pada bagian kulit dan mukosa superfisial yang disebabkan oleh deposisi pigmen biliaris sebagai akibat dari peningkatan konsentrasi bilirubin dalam plasma. Obstructive jaundice merupakan tanda dan gejala yang muncul sebagai akibat dari proses penyakit yang mendasari. Secara klinis jaundice akan nampak secara visual apabila konsentrasi bilirubin dalam plasma lebih dari 40 µmol/l. pemeriksaan dengan menggunakan dipstick pada urin dapat membantu menegakkan keberadaan bilirubin dalam urin, hal tersebut dapat dilakukan bila pemeriksaan darah lengkap tidak tersedia [ CITATION Roy17 \l 1033 ]. Inflamasi dan distensi pada struktur biliaris, kantong empedu dan pankreas dapat menimbulkan nyeri yang samar namun skala nyerinya berat pada abdomen bagian atas. Gejala ini dapat muncul sebagai kolik biliaris (nyeri yang hilang timbul) atau nyeri sekunder yang muncul akibat proses inflamasi dimana bersifat lebih kostan, seperti pada pankreatitis akut [ CITATION Roy17 \l 1033 ]. Nyeri yang secara spesifik terlokalisir pada bagian epigastric atau regio kanan atas sebelum muncul jaundice dapat mensugestikan bahwa penyebabnya adalah choledocholithiasis atau cholecystitis [ CITATION Sha19 \l 1033 ].

17

Obstruksi pada post hepatic, disebut juga sebagai cholestasis, dapat terjadi dibagian mana saja mulai dari hepatosit sampai dengan ampula vater, dimana ductus biliaris bermuara ke duodenum. Peningkatan tekanan pada ductus biliaris proksimal sebagai akibat dari obstruksi menyebabkan refluks bilirubin ke dalam darah dan menimbulkan jaundice. Kadar bilirubin yang berlebihan dalam darah diekskresikan melalui ginjal, sehingga manifestasi klinis yang muncul adalah urin berwarna lebih gelap yakni oranye hingga coklat. Selain itu sebagai aibat dari adanya obstruksi menyebabkan penurunan kadar stercobilin, yakni zat yang memberikan warna pada feces, sehingga muncul manifestasi klinis berupa feces berwarna pucat dengan kadar residual lemak yang tinggi. Deposisi bilirubin pada kulit menyebabkan manifestasi klinis berupa pruritus, kondisi klinis ini tidak berhubungan dengan tingkat keparahan dari jaundice dan terkadang juga tidak muncul [ CITATION Roy17 \l 1033 ]. Pruritus merupakan manifestasi klinis pada kondisi cholestasis kronik. Sifat dari pruritus akibat cholestasis ini adalah gejala membaik pada pagi hari dan memburuk selama seharian setelah konsumsi makanan pada pagi hari. Pada malam hari, kadar bilirubin akan menurun karena kondisi berpuasa, sehingga gejala akan lebih baik pada pagi hari [ CITATION Sha19 \l 1033 ]. Cholangitis merupakan inflamasi pada sistem biliaris sebagai akibat dari obstruksi dan superinfeksi pada sistem bilier, paling sering diakibatkan oleh organisme coliform. Manifestasi klinis yang dialami pasien biasanya berupa nyeri abdomen yang hilang timbul, jaundice dan

18

demam (Charcot’s Triad), walaupun hipotensi dan kebingungan dapat juga muncul (Reynold Pentad’s)[ CITATION Roy17 \l 1033 ]. 2.7

Pemeriksaan penunjang Pemeriksaan laboratorium yang dapat dilakukan pada pasien dengan gejala klinis jaundice diantaranya adalah fraksi bilirubin, darah lengkap,

alanine

transaminase,

aspartate

transaminase,

γ-

glutamyltransferase, alkaline phosphatase, prothrombine time dan/atau international normalized ratio, albumin dan protein [ CITATION Far17 \l 1033 ]. Pemeriksaan fraksi bilirubin diperlukan untuk membedakan antara hyperbilirubinemia terkonjugasi dan non-konjugasi. Pemeriksaan darah lengkap dan hapusan darah tepi membantu dalam mengidentifikasi proses hemolisis dan mengevaluasi anemia akibat penyakit kronik serta trombositopenia. Peningkatan kadar alanine transaminase dan aspartate transaminase mengindikasikan kerusakan hepatoselular [ CITATION Far17 \l 1033 ]. Peningkatan kadar alkaline phosphatase dapat berhubungan dengan obstruksi biliaris dan penyakit parenkim di hepar, namun kondisi ini juga dapat ditemukan pada beberapa keadaan fisiologis dan proses patologik nonhepatik lain di tulang, ginjal, usus dan plasenta. Peningkatan γ-glutamyltransferase ditemukan pada kondisi obstruksi biliaris dan kerusakan hepatoselular, kondisi ini juga ditemukan pada kondisi kelainan pankreas, infark miokard, penyakit ginjal dan diabtetes mellitus. Kadar protein, albumin dan prothrmbine time atau international

19

normalized ratio menunjukkan fungsi sintetsis hepar. Penurunan pada indicator tersebut menunjukkan penurunan fungsi sintesis hepar dan dekompensasi hepar [ CITATION Far17 \l 1033 ]. Ultrasonografi abdomen merupakan pemeriksaan lini pertama untuk menentukan apakah terjadi dilatasi atau obstruksi pada duktus biliaris intrahepatic dan ekstrahepatik [ CITATION Chi162 \l 1033 ].

Gambar 2.5 Ultrasonografi Gallbladder. A) scan longitudinal dari Gallbladder pasien sehat yang berpuasa. B) Hasil USG yang menunjukkan gambaran 2 struktur hyperechoic yang mobile sebagai akibat adanya batu empedu. Sumber : Portincasa, et al. 2016

Visualisasi dari struktur intra dan ekstrahepatik pohon biliaris dapat dievaluasi lebih lanjut dengan menggunakan magnetic resonance cholangiopancreatography

(MRCP)

atau

endoscopic

retrograde

20

cholangiopancreatography (ERCP), selain untuk tujuan diagnostik pemeriksaan ini juga dapat digunakan sebagai terapi dengan melakukan pemasangan stent biliaris untuk mendilatasi obstruksi. Ultrasonografi endoskopik dapat dikombinasikan dengan ERCP untuk mengevaluasi obstruksi duktus biliaris dan membantu mennetukan penyebab dari obstruksi, apakah karena batu atau massa [ CITATION Far17 \l 1033 ]. Gold

standard

untuk

diagnosis

dan

tatalaksana

dari

obstruksi

ekstrahepatik adalah ERCP. Meskipun demikian, ERCP merupakan sebuah pemerikasaan yang bersifat invasif. ERCP mempunyai tingkat komplikasi yang relatif tinggi walaupun dilakukan oleh operator yang berpengalaman, komplikasi yang dapat terjadi diantaranya adalah pankreatitis akibat tindakan operasi, pendarahan dan cholangitis. Oleh karena hal tersebut, ketika muncul diagnosis obstruksi ekstrahepatik dan masih diragukan perlu tidaknya penggunaan ERCP maka penggunaan MRCP dan ultrasonografi endoskopik lebih disarankan untk menghindari penggunaan ERCP yang sia-sia [ CITATION Chi162 \l 1033 ]. Foto polos abdomen dari regio hypochondrium dextra hanya dapat mendeteksi batu empedu yang mengalami kalsifikasi [ CITATION Por16 \l 1033 ].

21

Gambar 2.6 Magnetic resonance cholangiopancreatography (MRCP). A) Tanda panah mengindikasikan batu yang terimpaksi di infundibullum gallbladder. B) Choledocolithiasis. Dilatasi ringan pada inta dan ekstrahepatik dari pohon biliaris. Sumber : Portincasa, et al. 2016.

2.8

Tatalaksana Prinsip tatalaksana yang dilakukan adalah menghilangkan kausa dan perbaikan gejala. Tatalaksana paling efektif adalah terapi etiologi, seperti pengeluaran batu secara operatif maupun endoskopik dan reseksi tumor secara operatif [ CITATION Chi162 \l 1033 ]. Choledocholithiasis merupakan penyebab non-neoplastik tersering dari obstruksi biliaris, dimana terjadi pada sekitar 14% dari semua kasus baru jaundice. Diperkirakan sekitar 20 juta orang Amerika mengalami batu empedu, faktor resiko dari choledocholithiasis diantaranya adalah jenis kelamin perempuan, usia tua, BMI yang tinggi dan penurunan berat badan yang drastis [ CITATION Far17 \l 1033 ]. Strategi penatalaksanaan yang bervariasi pada chledocholithiasis dapat dilakukan. Penatalaksanaan paling

efektif

dari

choledocolithiasis

adalah

cholecystectomy

laparoskopik dengan cholangiography intraoperative, dengan atau tidak disertai

ERCP

post

operatif.

Pasien

yang

mempunyai

gejala

choledocolithiasis akan diklasifikasikan menjadi 3 kelompok, berdasarkan kombinasi antara gejala klinis, hasil pemeriksaan laboatotium dan ultrasonografi, yakni kelompok dengan prediksi choledocolithiasis sangat

22

kuat (terdapat batu di ductus biliaris, cholangitis dan hyperbilirubinemia), kuat (terdapat dilatasi dari ductus biliaris dan hyperbilirubinemia) dan moderate (terdapat hasil pemeriksaan laboratotium yang abnormal, berusia

>

55

tahun

dan

pankreatitis

batu

empedu).

Setelah

diklasifikasikan berdasarkan kekuatan faktor prediktor, pasien lalu dikelompokkan berdasarkan tingkat resiko mengalami choledocolithiasis, yakni rendah, sedang dan tinggi [ CITATION Por16 \l 1033 ].

Gambar 2.7 Alur Tatalaksana Operatif pada Choledocholithiasis. Sumber : Portincasa, et al. 2016 Cholecystectomi elektif (dengan laparoskopi, incisi kecil atau open) merupakan tatalaksana yang saat ini dianggap defintif pada batu empedu yang simptomatik dan tidak komplikasi. Untuk menurunkan angka morbiditas, cholecystectomi harus dilaksanakan dalam 24 jam pada pasien kolik bilier, 24-72 jam pada pasien dengan cholecystitis akut dan dalam 48 jam pada pasien dengan pankreatitis akut. Penundaan terhadap laparoskopik dapat dilakukan pada pasien dengan kondisi pankreatitis aku atau cholecystitis yang parah [ CITATION Por16 \l 1033 ].

23

Gambar 2.8 Sistem bilier dan prosedur operasi laparoskopi choledocolitotomy. Sumber : Hori 2019

2.9

Komplikasi Komplikasi yang dapat muncul dari stasis bilier dalam jangka waktu yang panjang diantaranya adalah sirosis hepatis sekunder, hipertensi portal dan kegagalan fungsi hepar dimana komplikasi ini dapat muncul dalamjangka waktu kurang lebih 5 tahun [ CITATION Por16 \l 1033 ].

24

2.10 Prognosis Pada kondisi obstruksi jaundice yang disebabkan oleh batu empedu,

penatalaksanaan

dengan

laparoskopi

choledocolitotomy

memberikan prognosis yang sangat baik [ CITATION Hor19 \l 1033 ]. Pasien yang ditatalaksana dengan pemberian medikamentosa untuk melarutkan batu masih mempunyai resiko tinggi untuk mengalami kekambuhan apabila terapinya dihentikan. Resiko kekambuhan batu empedu mencapai kurng lebih 10% tiap tahun sampai dengan 40-45% dalam 5 tahun [ CITATION Por16 \l 1033 ].

3BAB 3 KESIMPULAN

Jaundice merupakan pewarnaan kuning pada bagian kulit dan mukosa superfisial yang disebabkan oleh deposisi pigmen biliaris sebagai akibat dari peningkatan konsentrasi bilirubin dalam plasma, dimana secara etiologi dapat disebabkan pleh kelainan pre hepatic, heparik dan post hepatic. Obstruksi pada post hepatic, disebut juga sebagai cholestasis, dapat terjadi dibagian mana saja mulai dari hepatosit sampai dengan ampula vater, dimana ductus biliaris bermuara ke duodenum. Choledocholithiasis merupakan penyebab non-neoplastik tersering dari obstruksi biliaris. Pemeriksaan penunjang yang dpat membantu dalam diagnosis obstruktif jaundice diantaranya pemeriksaan laboratorium, USG, MRCP dan ERCP. Prinsip tatalaksana yang dilakukan adalah menghilangkan kausa dan perbaikan gejala. Laparoskopi choledocolitotomy merupakan prosedur yang saat ini dianggap sebagai terapi defintif untuk choledocolithiasis. Prognosis dari obstruksi jaundice yang ditatalkasana dengan tindakan operatif adalah sangat baik.

25

DAFTAR PUSTAKA

Bonheur, JL. 2019. Biliary Obstruction. Diakses pada 16 Februari 2020. < https://emedicine.medscape.com/article/187001-overview> Chinese Society of Hepatology, Chinese Society of Gastroenterology, and Chinese Society of Infectious Diseases of the Chinese Medical Association. 2016. "Consensus on the diagnosis and treatment of cholestatic liver Disease." Journal of Digestive Diseases 137–154. Fargo, Matthew V., Scott P. Grogan, and Aaron Saguil. 2017. "Evaluation of Jaundice in Adults." American Family Physician 165-166. Hori, Tomohide. 2019. "Comprehensive and innovative techniques for laparoscopic choledocholithotomy: A surgical guide to successfully accomplish this advanced manipulation." World J Gastroenterol 15311549. John S, Pratt DS. 2018. Jaundice. In: Harrison’s Principles of Internal Medicine. 20th ed. United States of America: Mc Graw Hill. pp.279-280 Prabakar A, Raj RS. 2016. Obstructive Jaundice: A Clinical Study. Journal of Evolution of Medical and Dental Sciences. Vol. 05. No. 28. Pp 1423-1429 Portincasa, P, A Di Ciaula, O de Bari, G Garruti, VO Palmieri, and DQ-H Wang. 2016. "Management of gallstones and its related complications." Expert Review of Gastroenterology & Hepatology. Roy, S. K., and A Lambert. 2017. "Obstructive jaundice: a clinical review for the UK armed forces." Journal of the Royal Naval Medical Service 44-45. Shah, Rushikesh, and Savio John. 2019. "Cholestatic Jaundice (Cholestasis, Cholestatic Hepatitis)." NCBI Bookshelf. Snell, Richard S. 2016. Anatomi Klinik. 9th Ed. Jakarta: Penerbitan buku kedokteran EGC.p.240-7, 288-91. Sjamsuhidajat, R. 2017. Buku Ajar Ilmu Bedah. 4th Ed. Jakarta: EGC.

26

Related Documents

Jaundice
January 2021 3
Jaundice
January 2021 3
Referat
February 2021 2

More Documents from "Aulia Mufidah"