Skenario 2 Blok 17.docx

  • Uploaded by: asti
  • 0
  • 0
  • February 2021
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Skenario 2 Blok 17.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 4,012
  • Pages: 27
Loading documents preview...
LAPORAN TUTORIAL SKENARIO II BLOK 17 : REKAM MEDIK DENTAL

Kelompok Tutorial 1

Anggota Kelompok: 1. Rosellina Charisma Ilman

(161610101001)

2. Shania Rada Chairmawati

(161610101002)

3. Lifia Mufida

(161610101003)

4. Salsabila Dewinta Anggi P

(161610101004)

5. Shabrina Widya A

(161610101005)

6. Alda Utami Hidayana

(161610101006)

7. Rafi Ihya Insani Tahir

(161610101007)

8. Mahardiani Dwi A

(161610101008)

9. Najwa Hana

(161610101009)

10. Nina Raditya S

(161610101010)

Tutor : drg. Dyah Setyorini, M.Kes

FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI UNIVERSITAS JEMBER 2018

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas laporan tutorial. Laporan ini disusun untuk memenuhi hasil diskusi tutorial kelompok 1 pada skenario Blok Rekam Medik Dental. Penulisan laporan ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak, oleh karena itu penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada : 1. drg.Dyah Setyorini, M.Kes selaku pembimbing tutor yang telah membimbing jalannya diskusi tutorial kelompok 1, dan telah memberi masukan yang membantu bagi pengembangan ilmu yang telah didapatkan. 2. Semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan laporan ini. Dalam penyusunan laporan ini tidak lepas dari kekurangan dan kesalahan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan untuk perbaikan–perbaikan demi kesempurnaan laporan ini dan masa mendatang. Semoga laporan ini dapat berguna bagi kita semua.

Jember, 1 Desember 2018

Tim Penyusun

SKENARIO 2 Pasien laki-laki datang ke IGD RS dengan diantar keluarganya dengan keluhan pembengkakan di bawah dagu dan lidah sejak 7 hari yang lalu. Anamnesis istri pasien menerangkan bahwa pembengkakan sudah sering diderita tetapi biasanya diobati sendiri dan sembuh tetapi kondisi sekarang pembengkakan bertambah besar. Dari anamnesis diketahui gigi 46, 47 sisa akar. Pada pemeriksaan yang dilakukan oleh dokter gigi didapatkan klinis terdapat pembengkakan di regio submandibula, submentale, dan sublingual bilateral, kemerahan, sakit dan sesak, lidah terdorong ke palatum, dan tidak ada fluktuasi. Tanda vital respirasi 30x/menit, nadi 65x/menit, tekanan darah 90/60 dengan suhu 38 derajat celcius, pasien menyerahkan sepenuhnya pada dokter gigi yang merawatnya. Pada prinsipnya pasien menginginkan tidak adanya gangguan pada fungsi mastikasinya

STEP 1 - Clarifying Unfamiliar Terms Tidak ada STEP 2 - Problem Identification 1. Bagaimana pemeriksaan subyektif, obyektif dan penunjang? 2. Apa diagnosa dari skenario? 3. Apa ada hubungannya antara tanda vital dengan diagnosa? 4. Bagaimana rencana perawatan dari skenario? 5. Bagaimana prognosisnya? STEP 3 – Brainstorming 1. Bagaimana pemeriksaan subyektif, obyektif dan penunjang? a. Pemeriksaan Subyektif : Suhu pasien 38 derajat yang berarti dalam kondisi demam, gangguan mastikasi (keadaan trismus), kesulitan dalam bernafas disebabkan karena pembengkakan dasar mulut yang keras sehingga lidah terangkat dan menyebabkan tersumbatnya saluran udara b. Pemeriksaan Obyektif : Ciri-ciri terdapat pembengkakan pada dasar mulut (sublingual) serta kedua ruang submandibularis, submentale Pemeriksaan ekstraoral : − Terdapat eritema − Pembengkakan − Perabaan keras (board like) − Peninggian

suhu

pada

leher

dan

jaringan

ruang

submandibula, sublingual dan submentale yang terinfeksi. − Disfonia (hot potato voice) akibat edem pada organ vokal. Caranya di palpasi menggunakan 3 ujung jari, lalu diletakkan pada kelenjar limfe, saat palpasi bisa ditentukan

ukurannya seberapa, konsistensi, fluktuasi, nyeri tekan, dan rasa sakit. Pemeriksaan intraoral : − Terdapat pembengkakan − Nyeri − Peninggian lidah karena ruang suprahyoid pada antara ototo-otot yang melekatkan lidah pada tulang hyoid dan otot mylohyoid merupakan ruang potensial terjadinya selulitis, apabila infeksi berkembang maka menuju sublingual dan apabila

infeksi

mencapai

retrofaring

menyebabkan

obstruksi jalan nafas − Terdapat nyeri menelan atau disfagia − Hipersalivasi − Kesulitan dalam bicara (disarthria) − Adanya sisa akar, gigi gangren atau impaksi. Sisa akar pada gigi 46 dan 47 dimungkinkan yang menyebabkan infeksi odontogenik karena gigi 46 dan 47 terdapat diatas muskulus mylohyoid yang bisa menyebabkan abses menyebar ke submandibula. Dan dipicu dengan imun yang rendah. − Bull’s neck yaitu edema pada jaringan leher depan, bangkak dan nyeri pada dasar mulut dan leher serta sulit menelan

Keadaan umum : Dilihat dari vital sign, secara normal TD 120-140/70-80 , pada skenario termasuk hipotensi, nadi di palpasi pada pergelangan tangan pada bagian ventral normal 60-72x/menit, respirasi dilihat pada inspirasi dan ekspirasi normalnya 16-20x/menit, pemeriksaan respirasi penting dilakukan karena infeksi berada pada daerah leher bisa menyebabkan obstruksi jalan napas, morbiditas dan mortalitas disebabkan karena hilangnya paten jalan napas, pada skenario termasuk takipnea. temperatur normal 37 derajat, pada skenario

termasuk demam. jika temperatur diatas normal menandakan terjadi infeksi sistemik.

c. Pemeriksaan Penunjang : − Radiografi untuk mengetahui tumpukan cairan atau gas dan fluktuasi − Panoramik untuk mengetahui infeksi gigi − Dikonsulkan ke anastesiologist dan otolaringologist saat penanganan obstruksi jalan nafas − Pemeriksaan

lab

:

pemeriksaan

darah

untuk

mengidentifikasi infeksi akut, pemeriksaan waktu bekuan darah untuk dilakukan tindakan insisi dan drainase, pemeriksaan kultur dan sensitivitas dilakukan untuk identifikasi bakteri yang menginfeksi dan pemilihan antibiotik unuk terapi

2. Apa diagnosa dari skenario? Diagnosa : Ludwig Angina Penyebabnya bisa karena perkembangan dari selulitis yang merupakan infeksi bakteri akut pada dermis dan subkutan gejala klinisnya sama dengan ludwig angina. Penyebarannya dari fasialitis menjadi abses dan tidak ada fluktuasi, menyebabkan indurasi suprahyoid dan terjadi bengkak. Penyebaran ludwig angina secara perkontinuatum yaitu melalui celah antar jaringan sehingga bisa berpotensi untuk berkumpulnya suatu abses. Eksudat Ludwig angina akan turun ke bawah karena gravitasi, apabila pus berada di bawah lidah bisa pecah bisa masuk ke dalam paruparu sehingga menyebabkan pneumonia, jika masuk ke ruang pleura menyebabkan emphyema dan bersifat eksaserbasi. Berbeda dengan selulitis yang eksudatnya bisa lebih naik ke atas.

Karakteristik Ludwig angina adalah melibatkan dasar mulut dan kedua ruang submandibula, menghasilkan pus/tanpa pus, mencakup jaringan ikat dan otot, penyebaran perkontinuatum, jika kasusnya parah bisa menyebabkan kesulitan bernapas dan sebaiknya di rujuk ke spesialis THT. Diagnosa banding : karsinoma lingual, hematoma sublingual, abses kelenjar saliva, edema angioneurotik, limfadenitis, selulitis, abses peritonsil.

3. Apa ada hubungannya antara tanda vital dengan diagnosa? Dilihat dari vital sign, secara normal TD 120-140/70-80 , pada skenario termasuk hipotensi, nadi di palpasi pada pergelangan tangan pada bagian ventral normal 60-72x/menit, respirasi dilihat pada inspirasi dan ekspirasi

normalnya

16-20x/menit,

pemeriksaan

respirasi

penting

dilakukan karena infeksi berada pada daerah leher bisa menyebabkan obstruksi jalan napas,morbiditas dan mortalitas disebabkan karena hilangnya paten jalan napas, pada skenario termasuk takipnea. temperatur normal 37 derajat, pada skenario termasuk demam. jika temperatur diatas normal menandakan terjadi infeksi sistemik.

4. Bagaimana rencana perawatan dari skenario? − Yang pertama kali dilakukan yaitu stabilisasi jalan napas, jika jalan napas sudah stabil dilakukan trakeostomi, bisa dilakukan dengan anastesi lokal. Jika terjadi sesak pada pasien, dikonsul ke THT untuk dilakukan trakeostomi dengan anastesi umum. Dikonsulkan juga ke anastesiologist dan otolaringologist − Diberikan antibiotik, biasanya penisilin dengan dosis tinggi karena antibiotik spektrum luas hingga tidak terjadi demam selama 5 hari, klindamisin dosis 600-900mg secara IV setiap 8 jam, sefalosporin tingkat 3, dexamethasone yang disuntikkan secara IV untuk megurangi edem dan perlindungan jalan napas. Membatasi penyebaran infeksi

− Dilakukan pembedahan yaitu insisi dan drainase, untuk mecegah terjadinya perluasan abses atau infeksi pada jaringan, mengurangi rasa sakit, mengurangi jumlah mikroba, memperbaiki vaskularisasi jaringan sehinga tubuh lebih mmpu menanggulangi infeksi dan pemberian antibiotik lebih efektif. Diindikasikan bila terdapat infeksi supuratif dan pada radiologi ada penumpukan cairan atau gas, krepitus dan tidak ada perbaikan setelh terapi antibiotik. Setelah pembedahan diberikan injeksi antibiotik selama 5 hari, obat kumur antiseptik, diberikan infus untuk meringankan gejala sistemik − Menghilangkan faktor etiologi, jadi dilakukan ekstraksi pada gigi tersebut. Apabila keadaan akut jangan dilakukan ekstraksi karena dikhawatirkan infeksi menjadi berat sampai bisa terjadi sepsis − Setelah ekstraksi diberi gigi tiruan agar oklusi dan mastikasi tetap normal Ada 3 fokus utama penanganan ludwig angina, yaitu : − Menjaga potensi jalan napas, yaitu manajemen jalan napas − Pemberian antibiotik secara progresif, dibutuhkan untuk mengobati dan membatasi penyebaran infeksi − Dekompresi ruang submandibula, sublingual dan submentale, yaitu mengurangi ketegangan dan evaluasi pus karena pus tersebut dapat keluar dari dasar lidah

5. Bagaimana prognosisnya? Prognosis baik jika proteksi jalan napas segera ditangani dan pemberian antibiotik IV secara adekuat untuk mengurangi infeksi, setelah diinsisi dan drainase dipasang rubber drain untuk mencegah penutupan insisi agar terjadi drainase yang adekuat, penggantian drain tiap hari hingga abses nampak kering, bila kondisi sudah memungkinkan segera ekstraksi gigi.

Komplikasi dari ludwig angina dapat menyebabkan asfiksia yang disebabkan oleh edema pada soft tissue leher. Bisa terjadi emphyema dan pneumonia, bisa juga terjadi osteomyelitis mandibula

STEP 4 – Mapping ANAMNESA

PEMERIKSAAN

PEMERIKSAAN

PEMERIKSAAN

SUBYEKTIF

OBYEKTIF

PENUNJANG

DIAGNOSA DAN DIAGNOSA BANDING PROGNOSIS

RENCANA

KIE

PERAWATAN

EMERGENCY

NON – EMERGENCY

RUJUK THT

EKSTRAKSI

PEMBUATAN DENTURE

STEP 5 - Learning Objective 1. Mahasiswa mampu mengkaji konsep teori tentang anamnesa berdasarkan skenario (pemeriksaan subyektif, obyektif, penunjang) 2. Mahasiswa mampu mengkaji konsep teori tentang diagnosis dan diagnosis banding berdasarkan skenario 3. Mahasiswa mampu mengkaji konsep teori tentang prognosis berdasarkan skenario 4. Mahasiswa mampu mengkaji konsep teori tentang rencana perawatan berdasarkan scenario STEP 6 - Self Study

STEP 7 -Reporting Generalisation 1. Mahasiswa mampu mengkaji konsep teori tentang anamnesa berdasarkan skenario (pemeriksaan subyektif, obyektif, penunjang)

PEMERIKSAAN SUBYEKTIF 1. Terjadi nyeri pada gigi terinfeksi 2. Dagu terasa tegang dan nyeri saat menggerakkan lidah 3. Penderita mengalami kesulitan membuka mulut, berbicara dan menelan yang mengakibatkan keluarnya saliva terus menerus serta kesulitan bernafas. 4. Mengalami kesulitan makan dan minum 5. Demam dan menggigil 6. Identifikasi penderita meliputi : − Identifikasi penderita Identifikasi penderita pada pemeriksaan ini digunakan untuk mengetahui identitas pasien, yang meliputi nama, alamat, telp, pekerjaan/sekolah, umur, serta jenis kelamin. Identifikasi ini dapat pula digunakan untuk mengetahui lingkungan tempat tinggal pasien, apakah sehat atau kurang sehat lingkungan tersebut. − Riwayat dan Catatan Medis Rangkaian pemeriksaan harus dicatat pada kartu pasien dan harus dijadikan sebagai petunjuk untuk melakukan kebiasaan diagnostik yang tepat. Pertanyaan-pertanyaan yang menyangkut keluhan utama pasien, riwayat medis yang lalu, dan riwayat kesehatan gigi yang lalu diperiksa. − Garis besar pencatatan riwayat a. Chief complaint: Merupakan suatu keluhan utama dari pasien. Pernyataan atau keluhan dari pasien akan membantu operator dalam

menentukan rencana perawatan dan menganalisa diagnosa dari pasien. b. History of chief complaint Pasien

diminta

untuk

menjelaskan

kronologis

dari

keluhannya atau awal mula munculnya, terasa seperti apa, perubahan apa saja yang terjadi dan apakah ada faktorfaktor lainnya yang memengaruhi. Penjelasan dari rasa sakitnya meliputi onset, intensitas, durasi, lokasi dan faktorfaktor yang mungkin dapat memperburuk atau menambah rasa sakit. Saat anamnesa perlu ditanyakan pertanyaan untuk mendapat tanda-tanda dari penyakitnya a) Dimana lokasi sakitnya? b) Demam atau meriang? c) Punya gigi yang karies atau tidak disekitar geraham? d) Pasien sulit bernafas atau tidak? e) Pasien mengalami sakit saat menelan atau sulit saat menelan? f) Pasien sulit saat berbicara atau tidak

c. Past medical history Dokter gigi menanyakan tentang kesehatan dari pasien. Hal ini dilakukan sebagai awal untuk mencari tau atau mengumpulkan data tentang sejarah medis dari pasien. Hal ini juga berhubungan dengan penyakit sistemik yang diderita oleh pasien dimana data tersebut dapat digunakan untuk melakukan perencanaan terhadap perawatan dari gigi pasien. d. Past dental history Untuk mengetahui perawatan gigi dari pasien apabila sebelumnya pasien sudah pernah dirawat oleh dokter gigi. e. Family history

Perlu bagi operator untuk mengetahui apakah pasien memiliki penyakit atau kelainan sistemik yang diturunkan dari keluarganya.

7. Saat dianamnesa perlu ditanyakan riwayat yang menjadi faktor predisposisi (apakah pernah dilakukan pencbutan, apakah punya kelainan darah, apakah pernah mengalami trauma, dan apakah pernah melakukan tindikan pada lidah) 8. Saat anamnesa perlu ditanyakan pertanyaan untuk mendapat tandatanda dari penyakitnya a. Dimana lokasi sakitnya? b. Demam atau meriang? c. Punya gigi yang karies atau tidak disekitar geraham? d. Pasien sulit bernafas atau tidak? e. Pasien mengalami sakit saat menelan atau sulit saat menelan? f. Pasien sulit saat berbicara atau tidak PEMERIKSAAN OBYEKTIF 1. Pemeriksaan

fisik

pada

penderita

Angina

Ludwig,

dapat

memperlihatkan adanya demam dan takikardi dengan karakteristik dasar mulut yang tegang dankeras. Karies pada gigi molar bawah dapat

dijumpai.

Biasanya

ditemui

pula

indurasi

dan

pembengkakkan ruang submandibular yang dapat disertai dengan lidah yang terdorong ke atas. Trismus dapat terjadi dan menunjukkan adanyairitasi pada m. masticator (Lemonick, 2002). 2. Postur tubuh seperti mengendus pada pasien Ludwig Angina yang mengalami obstruksi saluran napas atas, karena hal tersebut merupakan bentuk kompensasi terhadap adanya sesak nafas terlihat badan tegak, dengan leher menjulur kedepan dan dagu terangkat.

3. Gejala disfona, yang merupakan tanhda bahaya bagi klinisi karena potensi sumbatan jalan nafas (Aditya,2015). 4. Diperiksa tanda-tanda vitalnya a. Tekanan darah : untuk mengetahui pasien mengalami hipotensi atau hipertensi b. Denyut nadi : diperiksa dengan palpasi pada arteri radialis yang berada pada permukaan ventral pergelangan tangan, dilakukan selama 1 menit dengan denyut normal 70-80x per menit c. Respirasi : dilihat pada saat inspirasi dan ekspirasi d. Temperatur : demam, jika suhu badan diatas 37,8 derajat celcius

PEMERIKSAAN PENUNJANG Metode pemeriksaan penunjang seperti laboratorium maupun pencitraan dapat berguna untuk menegakkan diagnosis. A. Laboratorium : 1. Pemeriksaan darah a) Leukosit : adanya peningkatan jumlah leokosit sebagai indikasi infeksi b) HE

:

meningkat

pada

hipovolemik

pada

hemokonsentrasi c) Elektrolit : untuk mengetahui ketidakseimbangan elektrolit d) LED

: meningkat sebagai indikasi infeksi

e) Trombosit : penurunan oleh karena agregasi trombosit f) GulaDarah : hiperglikemi menunjukan glukoneogenesis meningkat

2. Pemeriksaan kultur dan sensitivitas : Untuk menentukan bakteri yang menginfeksi (aerob dan/atau anaerob) serta menentukan pemilihan antibiotik dalam terapi.

B. Pencitraan: 1. Radiografi : Radiografi

foto

polos

dapat

menunjukkan

luasnya

pembengkakkan jaringan lunak. Foto thorax dapat menunjukkan perluasan proses infeksi ke mediastinum dan paru-paru Foto panoramic rahang dapat membantu menentukan letak fokal infeksi atau abses, serta struktur tulang rahang yang terinfeksi. 2. USG : USG dapat menunjukkan lokasi dan ukuran pus, serta metastasis dari abses. USG dapat membantu diagnosis pada anak karena bersifat non-invasif dan non-radiasi. USG juga membantu pengarahan aspirasi jarum untuk menentukan letak abses. 3. CT-scan : CT-scan merupakan metode pencitraan terpilih karena dapat memberikan evaluasi radiologic terbaik pada abses leher dalam. CT-scan dapat mendeteksi akumulasi cairan, penyebaran infeksi serta derajat obstruksi jalan napas sehingga dapat sangat membantu dalam memutuskan kapan dibutuhkannya pernapasan buatan. 4. MRI : MRI menyediakan resolusi lebih baik untuk jaringan lunak dibandingkan

dengan

CT-scan.

Namun,

MRI

memiliki

kekurangan dalam lebih panjangnya waktu yang diperlukan untuk pencitraan sehingga sangat berbahaya bagi pasien yang mengalami kesulitan bernapas. 5. Sonografi : Mengidentifikasi penumpukan cairan pada jaringan lunak

2. Mahasiswa mampu mengkaji konsep teori tentang diagnosis dan diagnosis banding berdasarkan skenario

Diagnosa : Ludwig Angina Pada skenario dinyatakan bahwa gigi 46 dan 47 sudah dalam kondisi sisa akar yang menyebabkan terjadinya infeksi odontogen melalui perkontinuatum. Penyebab phlegmon kebanyakan pada gigi molar 2 dan 3 rahang bawah. Oleh karena akar-akar pada gigi tersebut memanjang gingga ruang mylohyoid menyebabkan berbagai infeksi pada

gigi

tersebut

memiliki

akses

langsung menuju

ruang

submandibularis. Bila infeksi berkembang, infeksi tersebut dapat meluas

ke

ruang

sublingual.

Infeksi

dapat

pula

mencapai

faringomaksilaris dan retrofaring. Keadaan- keadaan tersebut dapat menyebabkan terjadinya obstruksi jalan nafas (Adytia dkk.,2015) . Tulang hyoid membatasi terjadinya proses ini di bagian inferior, dan pembengkakan menyebar di daerah depan leher yang menyebabkan perubahan bentuk dan gambaran “Bull neck” (Pedlar, et al, 2001). Karakter spesifik yang membedakan Phlegmon dari infeksi oral lainnya ialah infeksi ini harus melibatkan dasar mulut serta kedua ruang submandibularis (sublingualis dan submaksilaris) pada kedua sisi (bilateral), selanjutnya menuju kavitas oral dengan menembus lapisan kortikal vestibular dan periosteum dari tulang rahang.1 Fenomena ini biasanya terjadi di sekitar gigi penyebab infeksi, tetapi infeksi primer dapat meluas ke regio yang lebih jauh, karena adanya perlekatan otot atau jaringan lunak pada tulang rahang. Dalam hal ini, infeksi odontogenik dapat menyebar ke bagian bukal, fasial, dan subkutan servikal kemudian berkembangan menjadi phlegmon, yang apabila tidak segera ditangani akan mengakibatkan kematian (Murphy1996). Untuk dapat menegakkan diagnosis Angina Ludwig ada empat kriteria yang dikemukakan oleh Grodinsky yaitu : 1. Infeksi terjadi bilateral (lebihdari 1 ruangjaringan) 2. Menghasilkan infiltrasi yang gangren-serosanguineous dengan atau tanpa pus

3. Mencakup fasia jaringan ikat dan otot namun tidak melibatkan kelenjar 4. Penyebaran secara perkontinuitatum dan bukan secara limfatik

Karakteristik phlegmon : 1. Angina Ludwig merupakan suatu penyakit yang potensial mengancam nyawa yang mengenai dasar mulut dan region submandibular bilateral dan menyebabkan obstruksi progresif dari jalan nafas (Ugboko et al., 2005). 2. Menurut Lemonick (2002), penyakit ini termasuk dalam grup penyakit infeksi odontogen, di mana infeksi bakteri berasal dari rongga mulut seperti gigi, lidah, gusi, tenggorokan, dan leher. Karakter spesifik yang membedakan angina Ludwig dari infeksi oral lainnya ialah infeksi ini harus melibatkan dasar mulut serta kedua ruang submandibularis (sublingualis dan submaksilaris). 3. Pembengkakan

melibatkan

submandibular,

sublingual

dan

submental Gejala klinis ekstra oral yang sesuai skenario dan masuk ciri phlegmon : Gejala klinis umum angina Ludwig meliputi malaise, lemah, lesu, nyeri leher yang berat dan bengkak, demam, malnutrisi, dan dalam kasus yang parah dapat menyebabkan stridor atau kesulitan bernapas (Hartmann, 1999). Pasien dapat melaporkan disfagia, odonophagia, dan dysarthria, rasa sakit di dasar mulut, dan merasa sulit untuk menangani sekresi. Pasien melaporkan trismus dan ketika tingkat edema meningkat, pasien merasa sesak napas. Gejala klinis ekstra oral meliputi eritema, pembengkakan, perabaan yang keras seperti papan (board-like) serta peninggian suhu pada leher dan jaringan ruang submandibula-sublingual yang

terinfeksi; disfonia (hot potato voice) akibat edema pada organ vokal. Pasien sering mengeluh sakit pada anterior leher dan bengkak dengan sakit tenggorokan, dan mereka mungkin mengalami demam dan menggigil. Saat pasien duduk pada posisi tegak akan terlihat leher yang memanjang. Lidah terangkat dari dasar mulut. Dasar mulut bengkak dengan konsistensi seperti kayu. Pembengkakan dan indurasi leher anterior, digambarkan sebagai edema otot, dimulai dari bawah mandibula dan meluas hingga ke tingkat tulang hyoid. Gejala klinis intra oral meliputi pembengkakkan, nyeri dan peninggian lidah; nyeri menelan (disfagia); hipersalivasi; kesulitan dalam artikulasi bicara (disarthria) (Lemonick, 2002). Diagnosis banding : 1. Edema angioneurotik 2. Karsinoma lingual 3. Hematoma sublingual (komplikasi penggunaan antikoagulan oral, baisanya disebut pseudo phlegmon sehingga menyebabkan lidah terangkat dan obstruksi jalan nafas) 4. Abses kelenjar saliva 5. Limfadenitis (peradangan pada kelenjar getah bening sehingga mengalami pembesaran karena sel darah putih dan sistem imun berkumpul didalamnya), 6. Selulitis 7. Abses peritonsilar (infeksi bakteri yang menyebabkan munculnya pus di tonsil)

3. Mahasiswa mampu mengkaji konsep teori tentang prognosis berdasarkan skenario Prognosis phlegmon dikatakan baik jika :

1. Jalur pernafasan segera ditangani 2. Pemberian antibiotik secara intravena yang adekuat serta penanganan dalam ICU Buruk jika : Jalur nafas tidak ditangani yang dapat menyebabkan asfiksia

4. Mahasiswa mampu mengkaji konsep teori tentang prognosis berdasarkan skenario a. Penatalaksanaan bisa diawal dengan dosis antibiotik intravena, bila jalan nafas berada dalam keadaan berbahaya diperlukan tindakan trakheostomi. Jika jalan nafas telah diamankan, kultur dan tes resistensi dari abses harus dilakukan. Terapi empirik harus diberikan untuk eradikasi kuman patogen. Biasanya infeksi dari kuman patogen polimikrobial (gram positif, gram negatif, aerobik, anaerobik, dan kuman yang memproduksi beta laktamase). Untuk itu,, antibiotik dari golongan ampicilin-sublactam atau clindamycin dengan golongan ke III sefalosporin seperti contohnya ceftazidin dapat diberikan sambil menunggu hasil kultur (Mukhlis, 2015). b. Pemberian antibiotik dapat mempersingkat penjalaran infeksi dan memberikan proteksi kepada penderita yang mengalami tindakan ekstraksi serta mengurangi risiko komplikasi. Pemberian antibiotic dilanjutkan sampai tanda-tanda infeksi hilang, dan tindakan selanjutnya adalah menilai keadaan gigi penyebab. Pada keadaan akut tidak dibenarkan mengadakan pencabutan gigi penyebab karena dikhawatirkan akan terjadi infeksi yang lebih berat dan kemungkinan terjadi kematian karena sepsis. Tindakan drainase hampir selalu dilakukan pada setiap kasus abses (Peterson 1998, Potazian 1994). c. Insisi drainase yang dilakukan bertujuan untuk membuat suatu jalan keluar bagi akumulasi abses dan bakteri yang terdapat di bawah

jaringan tersebut. Drainase dari abses juga akan mengurangi ketegangan daerah tersebut sehingga mengurangi rasa nyeri serta akan meningkatkan suplai darah dan pertahanan tubuh didaerah tersebut. Tindakan insisi drainase kemudian diikuti dengan memasang rubber drain untuk mencegah penutupan insisi tersebut agar terjadi drainase yang adekuat. Penggantian drain dilakukan tiap hari sampai abses tampak kering. Bila kondisi telah memungkinkan segera dilakukan ekstraksi gigi penyebab (Irfan, 2018). d. Perlu dilakukan pengobatan jangka panjang karena penyebaran proses inflamasi dapat mencapai struktur dan jaringan ikat longgar lainnya dalam tubuh. e. Diberi asupan makanan tinggi kalori dan protein untuk supportif, sesuai berat badan penderita untuk memperbaiki daya tahan tubuh penderita. Dievaluasi setiap hari, dipastikan pemberian antibiotik sesuai jadwal, hingga bisa dilakukan ekstraksi. Setelah ekstraksi antibiotik diberikan secara peroral. Penderita bisa pulang dan jika sudah baik pasien diinstruksikan untuk kontrol ke poli bedah mulut untuk melihat perkembangan selanjutnya f. Setelah di ekstraksi, diindikasikan untuk memakai GTSL ataupun GTJ, (pada skenario tidak diketahui usia pasien) Indikasi pemakaian GTSL : 1. Bila dibutuhkan gigi segera setelah dicabut. 2. Bila dukungan sisa gigi asli kurang sehat. 3. Bila dibutuhkan stabilisasi dari lengkung yang berseberangan. 4. Bila membutuhkan estetik yang lebih baik.

Dampak yang terjadi apabila gigi yang hilang tidak diganti 1. Migrasi dan rotasi gigi 2. Penurunan efisiensi kunyah

:

3. Gangguan pada sendi temporo-mandibula 4. Beban berlebih pada jaringan pendukung

Pada skenario tidak ada penjelasan tentang ada tidaknya gigi 48. Jika gigi 48 tidak ada (free end) dalam pemeriksaan radiografi maka indikasi GTSL kelas II Kennedy (daerah yang tidak bergigi terletak dibagian posterior gigi yg ada, pd 1 sisi rahang/unilateral free end). Jika terdapat gigi 48 maka indikasi GTSL kelas III Kennedy (daerah yang tidak bergigi terletak diantara gigi yang masih ada dibagian posterior). Pasien diberi penjelasan mengenai bahan untuk pembuatan GTSL tersebut dan pasien bebas memilih bahan apa yang akan digunakan. Ada logam (logam dibanding akrilik lebih tahan karat dan lebih kuat dan dapat dibuat lebih tipis dan sempit tapi tetap bersifat kaku, lebih nyaman dipakai, gaya yang timbul akibat pengunyahan dapat disalurkan lebih baik), fleksibel, atau kombinasi. Dokter gigi harus menjelaskan keuntungan dan kerugian masing-masing jenis, jadi apabila free end biasanya dengan kombinasi (Loney, 2011).

Yang

perlu

diperhatikan

sebelum

pembuatan

GTSL

:

tersisa,

ada

(Abouelkomsan et al, 2012) 1. Menyelaraskan

dengan

oklusi

gigi

yang

hubungannya dengan jaringan periodontal untuk mencegah pergeseran gigi dalam arah vertikal maupun horizontal 2. Mendistribusikan tekanan kunyah sehingga akan diperoleh efisiensi pengunyahan secara keseluruhan 3. Menentukan jumlah gigi penyangga yang akan digunakan 4. OH pasien

* Berdasarkan jaringan pendukungnya ada 3 GTSL ; a. tooth borne, yaitu gigi tiruan yang mendapat dukungan dari gigi asli b. mucosa borne, yaitu gigi tiruan yang hanya mendapatkan dukungan dari jaringan mukosa c. tooth and mucosa borne, dimana gigi tiruan mendapat dukungan dari mukosa dan gigi. Pada skenario tidak diketahui apakah gigi 8 tumbuh atau tidak dan tidak diketahui apakah bisa jadi penyangga, jika tidak bisapun bisa menggunakan klasifikasi mucosa borne − Jika menggunakan GTJ keuntungannya : 1. Tidak mudah lepas atau tertelan 2. Tidak punya clasp cengkram yang dapat menyebabkan keausan pada enamel gigi 3. Dapat mempunyai efek splint yang melindungi gigi terhadap stress (tegangan) dan dapat mendistribusikan keseluruh gigi sehingga menguntungkan jaringan periodonsiumnya − Bisa juga implan, jika tulang alveolar belum resorbsi sehingga bisa di implan Rencana perawatannya ada 3 macam : 1. Jika hanya ditemukan adanya pembengkakan ringan tapi belum sesak termasuk pada no-immediate airway threat 2. Airway compromise jika ditemukan adanya drolling, perubahan pada suaranya (serak), thrismus dan peninggian pada lidah 3. Kehilangan jalur nafas atau airway loss imminent apabila ditemukan adanya sesak nafas, sianosis, kegelisahan * 1 dan 2 diberikan epinefrin dulu * 3 dilakukan intubasi, orotrakeal intubasi atau fiber optic intubasi. jika gagal dilakukan krikotiroidotomi

** Jika sukses dilakukan pemberian antibiotik, imaging studies, drainase dan insisi

DAFTAR PUSTAKA Aditya,M.,Anggraeni J W.(2015).Phlegmon Dasar Mulut Odontogenik : Laporan Kasus. Juke Unila, Volume 5 nomor 9. Albouelkomsan A M, Butt A M, Dall A Q. Removable partial denture : Patient satisfaction with associated demographic and biomechanical factors. Pakistan Oral & Dental Journal. 2012; 32 (3) : 564-8. Hartmann, RW. 1999. Ludwig's Angina in Children. Journal of American Family Physician. July;Vol. 60. Imanto,Mukhlis.(2015). Evaluasi Penatalaksanaan Abses Leher dalam di Departemen THT-KL Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung Periode Januari 2012-Desember 2012. Juke Unila, Volume 5 nomor 9. Lisa M. MD. Diagnosis: Ludwig’s Angina. Emergency Medicine News: February 2004 - Volume 26 - Issue 2 - p 20. Filippone. Lemonick, DM. 2002. Ludwig’s Angina: Diagnosis and Treatment. Hospital Physician. p.31-37. Loney RW. Removable Partial Denture Manual. 2011; 1-71. Muhammad Adytia, & Angraeni Janar Wulan, 2015. Phlegmon Dasar Mulut: Laporan Kasus.Vol 5, hal 78. Murphy SC. The Person Behind the Eponym: Wilhelm Frederick von Ludwig.Journal of Oral Pathology & Medicine.August 9 1996. Pedlar, et al, 2001, Oral Maxillofacial Surgery. WB Saunders, Spanyol. Peterson L. 1998. Oral and Maxillofacial Surgery. 3rd ed., Mosby-year book, Inc., St Lois, Missouri, USA Soni YC, Pael HD, Pandya HB, Dewan HS, Bhavsar BC, Shah UH. Ludwig’s Angina : Diagnosis and Management – a Clinical Review. J Res Adv Dent. 2014; 3(2s):131-6.

Topazian and Morton, 1994, Oral and Maxillo Facial Infection, 3rd ed., WB saunders company, Philadelphia, USA. Ugboko, V., Ndukwe, K., Oginni, F. 2005. Ludwig’s Angina: An Analysis of Sixteen Cases in a Suburban Nigerian Tertiary Facility. African Journal of oral Health. Volume 2 Numbers 1 & 2: 16-23

Related Documents

Skenario 2 Blok 17.docx
February 2021 1
Skenario 1 Blok 17
February 2021 1
Laporan Skenario B Blok 19
February 2021 1
Skenario 2
February 2021 1
Skenario 2
February 2021 0

More Documents from "Anis Talitha"