Smokers Melanosis

  • Uploaded by: affifa
  • 0
  • 0
  • January 2021
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Smokers Melanosis as PDF for free.

More details

  • Words: 6,565
  • Pages: 40
Loading documents preview...
KATA PENGANTAR Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kami kemudahan sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Tanpa pertolongan-Nya tentunya kami tidak akan sanggup untuk menyelesaikan makalah ini dengan baik. Shalawat serta salam semoga terlimpah curahkan kepada baginda tercinta kita yaitu Nabi Muhammad SAW yang kita nanti-natikan syafa’atnya di akhirat nanti.

Shalawat serta salam tidak lupa selalu kita haturkan untuk junjungan nabi gung kita, yaitu Nabi Muhammad SAW yang telah menyampaikan petunjukan Allah SWT untuk kita semua, yang merupakan sebuah pentunjuk yang paling benar yakni Syariah agama Islam yang sempurna dan merupakan satu-satunya karunia paling besar bagi seluruh alam semesta.

Dengan hormat serta pertolongan-Nya, puji syukur, pada akhirnya saya dapat menyelesaikan makalah saya dengan judul “ Smokers’s Melanosis” dengan lancar. Saya pun menyadari dengan sepenuh hati bahwa tetap terdapat kekurangan pada makalah saya ini.

Oleh sebab itu, saya sangat menantikan kritik dan saran yang membangun dari setiap pembaca untuk materi evaluasi saya mengenai penulisan makalah berikutnya. Saya juga berharap hal tersebut mampu dijadikan cambuk untuk saya supaya saya lebih mengutamakan kualitas makalah di masa yang selanjutnya.

JAKARTA,

Penyusun 1

DAFTAR ISI Kata pengantar……………………………………………………………………. Daftar isi…………………………………………………...................................... Etiologi Smoker’s Melanosis…………………………………………………….. Definisi Smoker’s Melanosis ……………………………………………………. Gambaran klinis Smoker’s Melanosis ……………………………………............ Tatalaksana atau cara mengobati Smoker’s Melanosis ………………………….. Daftar Pustaka…………………………………………………………………….

1 2 3 17 34 38 39

2

ETIOLOGI Melanosis perokok mungkin disebabkan oleh efek asap tembakau pada melanosit yang terletak di lapisan epitel mukosa mulut. Telah terbukti bahwa melanin dapat mengikat banyak zat, termasuk berbagai obat, dan memiliki afinitas tinggi untuk nikotin. Penelitian juga menemukan bahwa senyawa nikotin dan tembakau spesifik (N-nitrosamin dan benzopirena) dapat terakumulasi dalam jaringan manusia yang mengandung melanin dan mempengaruhi melanogenesis.1 Melanoma oral atau melanoma dari permukaan mukosa apa pun masih belum diketahui, dan insidensinya tetap stabil selama lebih dari 25 tahun. Sebaliknya, lesi kulit terhubung langsung dengan orang berkulit putih dan bermata biru dengan riwayat terik matahari, dan kejadian ini telah meningkat secara dramatis (sekitar 4-6% per tahun) selama periode yang sama. Prognosis mengenai perilaku klinis lesi mukosa telah diekstrapolasi dari pengetahuan tentang lesi kulit. Namun, paparan mukosa terhadap sinar matahari tidak mungkin, dan, karena itu, melanoma kulit dan melanoma mukosa adalah penyakit yang berbeda.2 Penyebab untuk kejadian di langit-langit mulut tetap menjadi misteri. Tidak ada hubungan yang dibuat dengan memakai gigitiruan, kimia atau trauma fisik, atau penggunaan tembakau. Lesi melanositik, seperti nevi biru, lebih sering terjadi pada langit-langit mulut. Nevi biru oral tidak dilaporkan mengalami transformasi maligna.2 Oral melanoma jarang terjadi (1,2 kasus per 10 juta populasi per tahun di Amerika Serikat), dan mirip dengan rekan3

rekan kulit mereka, mereka diduga muncul terutama dari melanosit di lapisan basal mukosa skuamosa. Kepadatan melanositik memiliki variasi regional. Kulit wajah memiliki jumlah melanosit terbesar. Dalam mukosa mulut, melanosit diamati dalam rasio sekitar 1 melanosit hingga 10 sel basal.2 Berbeda dengan melanoma kulit, yang secara etiologi terkait dengan paparan sinar matahari, faktor risiko untuk melanoma mukosa tidak diketahui. Melanoma ini tidak memiliki hubungan yang jelas dengan peristiwa kimia, termal, atau fisik (misalnya, merokok; asupan alkohol; kebersihan mulut yang buruk; iritasi dari gigi, gigi palsu, atau peralatan oral lainnya) yang mukosa mulut terus-menerus terkena. Meskipun jinak, proliferasi melanositik intraoral (nevi) terjadi dan merupakan sumber potensial dari beberapa melanoma oral, urutan kejadian kurang dipahami di rongga mulut. Saat ini, sebagian besar melanoma oral dianggap timbul de novo.2 Meskipun jarang, transformasi nevi ke melanoma yang ganas melibatkan ekspansi klonal sel yang memperoleh keuntungan pertumbuhan selektif. Transformasi melanosit dalam nevus yang sudah ada, atau melanosit tunggal dalam lapisan sel basal, harus terjadi sebelum sel-sel yang berubah berproliferasi dalam dimensi apa pun.2 Pada melanoma, perbedaan yang diketahui ada pada perilaku biologis dari fase pertumbuhan radial – melanoma (datar atau makular), fase pertumbuhan vertikal – melanoma (massa, nodul, elevasi), dan fase pertumbuhan vertikal – melanoma dengan metastasis. Beberapa pihak 4

berwenang menyatakan bahwa pola pertumbuhan yang berbeda ini membutuhkan perubahan atau transformasi sel untuk maju ke fase berikutnya yang lebih agresif secara biologis.Fase pertumbuhan radial – melanoma tidak cenderung menyerang dermis retikuler yang mendasari, tetapi mereka berhubungan dengan metastasis. Fase pertumbuhan vertikal – melanoma, meskipun invasif, harus mencapai beberapa kompetensi sebelum metastasis berikutnya dapat terjadi.2 Elder et al telah menggambarkan perkembangan ini dan menyatakan bahwa perbedaan dalam setiap fase bersifat kualitatif. Namun, perkembangan fase tidak mutlak, karena sebagian besar lesi melanositik jinak tidak berevolusi menjadi melanoma.2 Perkembangan melanoma membutuhkan perubahan sitogenetik atau biokimia dalam sel-sel prekursor yang menjalani ekspansi klonal. Perubahan ini memicu pertumbuhan yang dipercepat dan potensi invasif, tetapi tidak harus progresif dari fase pertumbuhan horizontal ke vertikal.2 Kebiasaan merokok terbalik adalah kebiasaan khusus dan khusus dalam kelompok dengan sumber daya ekonomi rendah, selain itu muncul di zona hangat atau tropis, dengan frekuensi yang lebih tinggi pada wanita terutama setelah dekade ketiga kehidupan. Karakteristik kebiasaan ini adalah menempatkan rokok yang sangat panas, panasnya terletak di dalam mulut, sementara rokok dipegang oleh gigi dan bibir, segel yang disediakan oleh bibir memungkinkan untuk menghirup rokok secara perlahan. Udara dipasok 5

ke zona pembakaran melalui ekstrim rokok yang tidak dipanaskan, pada saat yang sama asap dikeluarkan dari mulut dan abu dibuang atau ditelan. Bibir menjaga agar rokok tetap basah, yang meningkatkan waktu konsumsi dari 2 hingga 18 menit. Suhu intern rokok tertinggi bisa dicapai 760 ° C, dan udara intraoral dapat dipanaskan hingga 120 ° C. Suhu ini dan produk pembakaran meningkatkan frekuensi lesi di dalam mulut dibandingkan dengan perokok konvensional. Aspek klinis mukosa mulut pada pasien dengan kebiasaan merokok terbalik bervariasi bila dibandingkan dengan perokok konvensional. Daerah yang paling sering terkena adalah lidah dan langit-langit. Sebelumnya, perubahan ini disebut Nicotinic Stomatitis, dan meskipun tidak ada konsensus tentang terminologi yang tepat, istilah "perubahan dari langit-langit terkait dengan merokok terbalik" atau "keratosis palatum yang berhubungan dengan merokok terbalik"paling diterima sebenarnya sejak sekarang sudah diketahui bahwa nikotin bukan satu-satunya faktor etiologi, tetapi banyak dari komponen tembakau dan / atau rokok. Ramulu y col., melaporkan kanker mulut pada 2,4% dari pasien yang menyajikan stomatitis nikotin karena merokok terbalik, yang menyiratkan bahwa panas mungkin dianggap sebagai agen penghasil kanker. Di Kolombia ada beberapa wilayah yang sangat terdefinisi dengan kehadiran biasa kebiasaan ini yang tampaknya diteruskan dari generasi ke generasi. Quintero melaporkan dalam penelitian di laboratorium patologi di Sincelejo-Sucre, 122 kasus kanker mulut dari mana 63% terlihat pada perokok terbalik. Di Montería-Córdoba, 207 kasus dan 6

41,5% juga hadir pada perokok terbalik, menunjukkan bahwa di wilayah ini, kebiasaan itu endemik. Di Medellín-Antioquia, Kolombia, dalam Layanan Bedah Mulut dan Maksilofasial Rumah Sakit Universitario San Vicente de Paul, beberapa kasus karsinoma sel skuamosa oral ditemukan pada pasien dengan kebiasaan merokok terbalik, dari desa Hato Nuevo dari Departemen Sucre, yang melaporkan Kehadiran kebiasaan ini di beberapa populasi daerah dengan karakteristik sosiokultural yang serupa. Karena itu, penulis memutuskan untuk menetapkan prevalensi perokok balik di desa-desa di Departemen Sucre-Kolombia ini, menantikan untuk mengkarakterisasi kondisi sosiokultur mereka serta perubahan klinis dan histologis mereka di mukosa mulut.7 Mukosa mulut memiliki lamina propria yang mendasari, bukan dermis papiler dan retikuler dengan batas-batas yang mudah dilihat seperti yang diamati pada kulit. Perbedaan arsitektural ini menghilangkan penggunaan tingkat Clark untuk menggambarkan melanoma mukosa. Istilah melanoma in situ, sekali dicadangkan untuk melanoma kulit yang tidak menembus zona membran basal, sekarang digunakan untuk lesi mukosa terbatas pada epitel (meskipun beberapa pihak berwenang lebih memilih istilah neoplasia intraepitel melanositik baik untuk lesi kulit dan mukosa).5 Berbeda dengan insidensi melanoma kulit, yang terus meningkat, insidensi melanoma oral tetap stabil selama lebih dari 30 tahun.2

7

Data pengawasan di Amerika Serikat tidak tersedia untuk melanoma oral saja. Data untuk melanoma oral termasuk dalam statistik gabungan untuk kanker mulut. Dalam review studi besar, melanoma rongga mulut dilaporkan bertanggung jawab untuk 0,2-8% dari melanoma dan sekitar 1,6% dari semua keganasan kepala dan leher. Dalam beberapa penelitian, lesi primer pada bibir dan rongga hidung juga termasuk dalam statistik, sehingga meningkatkan insiden.2 Sebuah tinjauan kritis literatur oleh Hicks dan Flaitz menemukan bahwa sebagian besar melanoma terjadi pada kulit (91,2%); akun melanoma okular untuk 5,3%, lesi primer yang tidak diketahui menyumbang 2,2%, dan melanoma dari akun mukosa membran sebesar 1,3%. Mukosa mulut terutama terlibat dalam kurang dari 1% melanoma, dan lokasi yang paling umum adalah palatum keras dan gingiva maksila. Metastatik melanoma paling sering mempengaruhi mandibula, lidah, dan mukosa bukal.2 Secara internasional, melanoma oral lebih umum di Jepang daripada di kelompok lain. Pengamatan ini didasarkan pada tinjauan literatur sejarah yang sering dikutip. Melanoma maligna oral, meskipun jarang pada orang kulit putih, tetap menjadi penyebab utama kekhawatiran. Di Jepang, akun melanoma oral untuk 11-12,4% dari semua melanoma, dan laki-laki dapat dipengaruhi sedikit lebih sering daripada perempuan. Persentase ini lebih tinggi dari 0,2-8% yang dilaporkan di Amerika Serikat dan Eropa. Karena

8

melanoma kulit kurang umum pada ras berpigmen lebih gelap, orang-orang dari ras ini memiliki insiden relatif lebih besar dari melanoma mukosa mulut.2 Melanosis perokok kemungkinan karena efek langsung dari asap tembakau pada mukosa mulut. Asap diduga menyebabkan perubahan pada mukosa melalui kombinasi efek fisik (panas) dan / atau kimia (nikotin dan tembakau spesifik). Melanin dapat mengikat banyak senyawa yang berbeda, termasuk nikotin dan benzopiren yang ada dalam asap tembakau, dan zat ini dapat merangsang melanosit untuk menghasilkan melanin. Beberapa penelitian telah menemukan bahwa frekuensi dan jumlah pigmentasi mukosa berhubungan dengan jumlah rokok yang dihisap per hari. Selain itu, merokok selama tidak lebih dari satu tahun dikaitkan dengan peningkatan yang signifikan dalam frekuensi pigmentasi oral. Individu yang menggunakan tembakau tanpa asap atau permen yang mengandung nikotin tidak mengembangkan kondisi ini.2 Dalam sebuah penelitian di Swedia tentang 30.118 kulit putih, 21,5% perokok tembakau menunjukkan melanosis perokok, sedangkan hanya 3% dari bukan perokok yang memiliki lesi. Gingiva wajah anterior adalah situs yang paling umum untuk melanosis perokok dalam penelitian itu. Dalam studi subjek Thailand dan subjek Malaysia, hampir semuanya memiliki pigmentasi fisiologis, tetapi pengguna tembakau memiliki permukaan mulut yang secara signifikan lebih banyak menampilkan pigmentasi. Sebuah penelitian di Nigeria melaporkan prevalensi 0,52% dari situs berpigmen pada bukan 9

perokok dan 6% di antara perokok. Mukosa bukal adalah tempat yang paling umum untuk melanosis perokok dalam penelitian di Afrika. Sebuah studi tentang rekrutan Tentara Turki mengungkapkan pigmentasi gingiva pada 27,5% perokok dan 8,6% dari mereka yang tidak pernah merokok. 1 Studi lesi jaringan lunak di Timur Tengah dan India melaporkan prevalensi tinggi dari melanosis perokok dan menyarankan lebih banyak perhatian perawatan kesehatan dan program kesadaran masyarakat diperlukan.1 Tampaknya melanosis perokok juga dapat terjadi pada bukan perokok yang terpapar asap tembakau lingkungan, karena beberapa penelitian menunjukkan peningkatan pigmentasi gingiva pada anak-anak dan orang dewasa muda yang orang tuanya merokok. Karena pigmentasi melanin gingiva begitu mudah terlihat, penelitian ini menunjukkan bahwa pigmentasi dapat digunakan untuk mendidik orang tua sehubungan dengan efek berbahaya dari perokok pasif pada anak-anak dan dapat menjadi motivasi yang kuat untuk menghentikan kebiasaan tersebut. Demikian pula, sebuah studi Iran menemukan peningkatan pigmentasi gingiva pada wanita menikah non-perokok yang suaminya adalah perokok berat. Menariknya adalah menemukan bahwa peningkatan pigmentasi diamplifikasi jika wanita tersebut tinggal di rumah yang lebih kecil.1 Ada beberapa faktor yang mempengaruhi smoker’s melanosis , yaitu : 1. Ras Meskipun melanosis perokok mungkin paling jelas pada kulit putih karena kurangnya pigmentasi fisiologis pada mukosa mulut pada populasi ini, kondisi ini dapat mempengaruhi individu yang berkulit terang dan berkulit

10

gelap. Telah dicatat bahwa pada populasi etnis berkulit gelap, frekuensi pigmentasi oral dan jumlah permukaan mukosa berpigmen lebih tinggi pada individu yang merokok daripada bukan perokok. Dalam sebuah studi subyek putih, pigmentasi melanin oral tercatat pada 21,5% perokok, sementara hanya 3% dari orang yang tidak merokok menunjukkan pigmentasi serupa.1 2. Jenis Kelamin Wanita tampaknya dipengaruhi oleh melanosis perokok lebih dari lakilaki. Penyidik telah menyarankan bahwa mungkin ada sinergisme antara hormon seks perempuan dan asap tembakau. Penjelasan ini didukung oleh peningkatan pigmentasi (yaitu, melasma) terlihat pada wanita yang hamil atau mengambil pil kontrasepsi oral dan dengan studi in vitro menunjukkan peningkatan sintesis melanin oleh melanosit yang diobati dengan estrogen. 3.

Usia Dalam sebuah penelitian terhadap 30.118 individu, prevalensi pigmentasi adalah yang tertinggi pada kelompok usia 24-35 tahun. Para penulis mencatat beberapa penjelasan untuk temuan tersebut, seperti fakta bahwa proporsi perokok tembakau yang lebih tinggi diidentifikasi pada kelompok usia tersebut, semakin sering gigi palsu menutupi mukosa pada kelompok usia yang lebih tua, dan penurunan aktivitas melanosit terlihat dengan usia.1 11

Merokok telah terlibat sebagai faktor penyebab atau mempengaruhi gangguan dermatologis tertentu. Efek merugikan yang jelas dari merokok menghalangi intervensi prospektif eksperimental pada subyek manusia, dan oleh karena itu, tubuh utama bukti untuk asosiasi ini berasal dari studi kasus-kontrol. Namun, karena bias yang melekat terkait dengan jenis penelitian ini, serta dengan penelitian kohort dan observasional, kesimpulan yang dapat ditarik dari temuan mereka terbatas. Berikut ini beberapa penyakit kulit terhadap merokok.5 1. Systemic Lupus Erythematosus Ada bukti yang cukup baik untuk mendukung hubungan kausal antara merokok tembakau dan lupus eritematosus sistemik (SLE), seperti yang telah ditunjukkan bahwa agen terapeutik anti-malaria untuk lupus kurang efektif pada perokok. Sebuah metaanalisis dari tujuh studi kasus-kontrol dan dua penelitian kohort menemukan 1.5 kali peningkatan risiko SLE pada perokok saat ini, bila dibandingkan dengan non-perokok. Temuan ini tetap signifikan setelah penyesuaian untuk usia, jenis kelamin, ras, konsumsi alkohol, dan status sosial ekonomi. Namun, hasilnya mungkin telah terpengaruh oleh bias publikasi karena tidak adanya penelitian yang melaporkan temuan negatif. Selain itu, mantan rokok tidak ditemukan menjadi faktor risiko untuk SLE. Paparan merokok pada anak usia dini atau dalam

12

kandungan tidak terkait dengan onset SLE dalam penelitian kohort prospektif. Discoid lupus erythematosus (DLE) juga telah dikaitkan dengan merokok dalam beberapa studi kasus-kontrol, yang telah menunjukkan tingkat merokok yang secara konsisten lebih tinggi pada pasien DLE. 2. Psorias Merokok telah diamati sebagai kebiasaan yang sangat umum saat ini atau sebelumnya di antara pasien dengan pustulosis palmoplantar (PPP) pada saat diagnosis. Bahkan, hingga 95% pasien dengan PPP adalah perokok dalam studi kasus. Selain itu, psoriasis tampaknya terkait erat dengan merokok. Merokok tembakau tidak hanya terbukti memperburuk psoriasis yang sudah ada sebelumnya, tetapi penggunaannya juga sering ditemukan di antara individu dengan penyakit onset baru. Selain itu, merokok telah terbukti meningkatkan risiko psoriasis dengan cara bergantung dan untuk mengendalikan keparahan penyakit. Selain itu, penelitian berbasis populasi yang besar di Swedia dari 9773 pasien dengan diagnosis debit psoriasis di rumah sakit melaporkan peningkatan risiko kanker terkait tembakau di antara pasien psoriatik, tetapi sulit untuk menentukan apakah pengamatan ini mencerminkan frekuensi merokok yang lebih tinggi dalam hal ini. populasi atau efek merugikan bersama merokok pada psoriasis dan risiko kanker. 13

3. Kanker kulit Hubungan antara karsinoma sel skuamosa kulit (SCC) dan merokok telah dijelaskan dalam studi kasus-kontrol dan kohort. Khususnya, dalam Studi Kesehatan Perawat, perokok memiliki risiko 50% lebih tinggi dari insiden SCC dibandingkan dengan non-perokok. Telah dispekulasikan bahwa temuan ini dapat dibingungkan oleh paparan radiasi UV yang lebih tinggi di kalangan pengguna rokok. Sebuah studi prospektif besar dari pria Swedia gagal mereplikasi hubungan positif antara SCC dan merokok. Dalam sebuah studi Finlandia yang melibatkan 290 pasangan kembar sesama jenis, di mana kembar tunggal didiagnosis dengan karsinoma sel basal (BCC), risiko signifikan lebih besar diamati terkait dengan status merokok pada wanita tetapi tidak pada pria.Selain itu, merokok telah dikaitkan dengan BCC kelopak pada wanita tetapi tidak pada pria. Link yang meyakinkan belum ditetapkan dengan melanoma ganas kulit (MM). Bahkan, beberapa studi kasus kontrol besar tidak menemukan hubungan antara merokok tembakau dan MM. Meskipun satu studi pada pasien melanoma stadium-I menemukan beberapa bukti lesi yang lebih tebal di kalangan perokok, sedangkan dua penelitian lain menunjukkan risiko melanoma acral yang lebih rendah. Risiko kanker mulut meningkat pada perokok dan peneliti yang berbeda secara konsisten menguatkan temuan ini. 14

4. Hidradenitis Suppurativa Studi observasional telah menemukan prevalensi merokok yang jauh lebih tinggi (hingga 90%) di antara pasien dengan hidradenitis suppurativa, sedangkan berhenti merokok tampaknya tidak mengubah aktivitas penyakit. Perokok juga memiliki prevalensi dan tingkat keparahan jerawat yang lebih tinggi (dosedependent) dibandingkan dengan non-perokok dalam penelitian populasi Jerman yang besar; efek ini tidak bergantung pada usia, jenis kelamin, dan status sosial ekonomi. Sebaliknya, dua studi kasuskontrol yang lebih kecil menemukan prevalensi jerawat yang lebih rendah dari yang diharapkan di kalangan perokok. 5. Penyakit Kulit Lainnya Beberapa gangguan kulit lainnya jarang dikaitkan dengan merokok. Sebagai contoh, eksim tangan lebih banyak terjadi pada perokok dibandingkan dengan non-perokok dalam penelitian lintas-bidang besar pada populasi umum. Selain itu, kutil kelamin dan infeksi papillomavirus pada manusia lebih sering terjadi pada individu yang merokok. Penyakit Crohn lebih umum dan parah pada perokok, tetapi merokok belum diperiksa dalam kaitannya dengan penyakit Crohn metastasis kutaneus.

15

Sebaliknya, kolitis ulserativa (UC) lebih jarang terjadi pada perokok, dan dengan demikian, merokok dapat memberikan efek yang menguntungkan pada jalur dan tingkat keparahan UC. Dengan demikian, pengobatan dengan nikotin topikal atau sistemik telah dihipotesiskan untuk bermanfaat dalam pyoderma gangrenosum, yang sering dikaitkan dengan UC. Merokok telah terbukti protektif untuk beberapa gangguan mukokutan lainnya, mungkin karena sebagian sifat anti-inflamasi nikotin. Secara khusus, beberapa penelitian telah menemukan bahwa pasien dengan pemfigus vulgaris memiliki kemungkinan lebih kecil untuk memiliki riwayat merokok yang positif jika dibandingkan dengan kelompok kontrol, dan merokok dapat memperbaiki perjalanan klinis penyakit. Juga, herpes labialis berulang dan sarkoma Kaposi klasik kurang umum pada perokok.Selain itu, merokok mungkin memiliki efek menguntungkan pada ulkus aphthous (misalnya, mencegah perkembangan aphthae baru), dan pada penyakit Behçet, pasien yang berhenti merokok. merokok dapat mengalami risiko tukak berulang yang lebih besar.5

16

Definisi Merokok merupakan kegiatan yang sering kita jumpai di masyarakat. Tidak hanya masyarakat di Indonesia tetapi juga masyarakat di dunia. World Health Organization (WHO) melaporkan bahwa pada tahun 2008 terdapat satu miliar orang pengguna produk tembakau di seluruh dunia (Aliansi Pengendalian Tembakau Indonesia, 2013). Sedangkan di Vietnam hasil survey Global Adult Tobacco Survey (GATS) tahun 2010 menunjukkan bahwa proporsi orang dewasa laki-laki yang merokok mencapai 47,4% (An, D.T.M, 2013) Berdasarkan Riskesdas tahun 2007, persentase penduduk umur 10 tahun ke atas 23,7% merokok setiap hari, 5,5% merokok kadang-kadang, 3,0% adalah mantan perokok dan 67,8% bukan perokok.3 Merokok bagi seseorang dapat memberikan efek positif seperti kenikmatan, kepuasan, dan ketenangan. Gejala-gejala yang mungkin terjadi adalah batuk, lidah terasa getir, dan mual ketika seseorang pertama kali mengkonsumsi rokok, namun sebagian dari para pemula mengabaikan perasaan tersebut sehingga berlanjut menjadi kebiasaan dan akhirnya menjadi ketergantungan. Ketergantungan ini dipersepsikan sebagai kenikmatan yang memberikan kepuasaan fisiologis. Gejala ini dapat dijelaskan dari konsep tobacco dependency, bahwa perilaku merokok merupakan perilaku yang menyenangkan dan menjadi aktivitas yang bersifat obsesif. Menurut Klinke & Meeker, motif para perokok adalah relaksasi sehingga dengan merokok dapar

17

mengurangi ketegangan, memudahkan konsentrasi, pengalaman yang menyenangkan, dan relaksasi.6 Prevalensi perokok di Indonesia terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Jumlah perokok pria meningkat 14%, sedangkan perokok wanita meningkat sebanyak 2,8% dari tahun 1995 sampai tahun 2011. Pada tahun 1995 jumlah perokok pria di Indonesia sebanyak 53,4% sedangkan tahun 2011 menjadi 67,4%. Untuk perokok wanita meningkat dari 1,7% pada tahun 1995 menjadi 67,4% pada tahun 2011 (Aliansi Pengendalian Tembakau Indonesia, 2013). Data dari GATS tahun 2011 menyebutkan bahwa Indonesia merupakan negara ketiga dengan jumlah perokok tertinggi di dunia setelah Cina dan India dengan prevalensi perokok sebanyak 36,1%.4 Rokok adalah silinder dari kertas berukuran panjang antara 70 hingga 120 mm dengan diameter sekitar 10 mm yang berisi daun-daun tembakau yang telah di cacah. Rokok merupakan salah satu produk industri dan komoditi internasional yang mengandung sekitar 300 bahan kimiawi. Unsur-unsur yang penting antara lain : tar, nikotin, benzovrin, metal-kloride, aseton, amonia, dan karbon monoksida . Selain itu sebatang rokok mengandung 4.000 jenis senyawa kimia beracun yang berbahaya untuk tubuh dimana 43 diantaranya bersifat karsinogenik . Dengan komponen utama adalah nikotin suatu zat berbahaya penyebab kecanduan, tar yang bersifat karsinogenik, dan CO yang dapat menurunkan kandungan oksigen dalam

18

darah. Rokok juga dapat menimbulkan penyakit seperti jantung koroner, stroke dan kanker. Asap rokok mengandung ribuan bahan kimia beracun dan bahan-bahan yang dapat menimbulkan kanker.8 Bahan baku yang digunakan untuk membuat rokok adalah sebagai berikut: 

Tembakau Jenis tembakau yang dibudidayakan dan berkembang di Indonesia termasuk dalam spesies Nicotiana tabacum.



Cengkeh Bagian yang biasa digunakan adalah bunga yang belum mekar. Bunga cengkeh dipetik dengan tangan oleh para pekerja, kemudian dikeringkan di bawah sinar matahari, kemudian cengkeh ditimbang dan dirajang dengan mesin sebelum ditambahkan ke dalam campuran tembakau untuk membuat rokok kretek.



Saus Rahasia Saus Ini terbuat dari beraneka rempah dan ekstrak buah-buahan untuk menciptakan aroma serta cita rasa tertentu. Saus ini yang menjadi pembeda antara setiap merek dan varian kretek.3 Penggunaan rokok adalah salah satu faktor risiko yang paling penting

untuk perkembangan lesi mukosa mulut termasuk pra-kanker dan kanker mulut.Dalam beberapa tahun terakhir, berbagai persiapan komersial yang dikenal sebagai pan masala dan gutkha telah tersedia di India dan di banyak

19

bagian Asia. Banyak merek produk ini mengandung buah pinang dan tembakau, keduanya telah terlibat dalam terjadinya kanker mulut. Para peneliti juga telah mengamati bahwa merokok dan mengunyah tembakau dan sirih bertindak secara sinergis dalam karsinogenesis oral dan bahwa orang dengan kebiasaan campuran membentuk populasi yang sangat berisiko tinggi.4 Dibandingkan dengan populasi barat, di mana kanker mulut mewakili sekitar 3% dari keganasan, itu menyumbang lebih dari 30% dari semua kanker di India; perbedaan ini dapat dikaitkan dengan variasi regional dalam prevalensi dan pola kebiasaan. Namun, data epidemiologi dari tren yang berubah masih kurang. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menyelidiki prevalensi perubahan mukosa mulut pada individu dengan kebiasaan merokok, mengunyah, dan campuran dan untuk menilai risiko relatif lesi oral yang dihasilkan dari kebiasaan.4 Lesi mukosa mulut ditemukan pada 322 (26,8%) subyek yang memiliki kebiasaan merokok dan mengunyah tembakau dibandingkan dengan 34 (2,8%) subyek tanpa kebiasaan tersebut. Leukoplakia oral (8,2%) dan fibrosis submukosa oral (OSF) (7,1%) adalah lesi mukosa mulut umum ditemukan pada subyek yang memiliki kebiasaan tersebut, sedangkan lesi lainnya (1,7%) yaitu; kandidiasis oral, glukoid rhomboid median, ulkus apthous rekuren, keratosis friksi, dan lichen planus oral (0,9%) sering

20

dilaporkan di antara individu tanpa kebiasaan tersebut. Peluang mengembangkan lesi oral pada subjek dengan kebiasaan tembakau hampir 11,92 kali dari yang berpantang (rasio odds, OR = 11,92, interval kepercayaan 95%, CI = 10,61-14,59%).4 Rokok juga dapat menyebabkan iritasi pada mata, hidung, tenggorokan, menstimulasi kambuhnya penyakit asma, kanker paru, gangguan pernapasan, dan batuk yang menghasilkan dahak. Bahkan di Amerika, rokok dapat menyebabkan kematian lebih dari 400.000 orang, namun demikian setiap hari lebih dari 3000 anak dan remaja menjadi perokok. WHO memperkirakan separuh kematian di Asia dikarenakan tingginya peningkatan penggunaan tembakau. Angka kematian akibat rokok di negara berkembang meningkat hampir 4 kali lipat. Pada tahun 2000 jumlah kematian akibat rokok sebesar 2,1 juta dan pada tahun 2030 diperkirakan menjadi 6,4 juta jiwa. Sedangkan di negara maju kematian akibat rokok justru mengalami penurunan, yaitu dari 2,8 juta pada tahun 2000 menjadi 1,6 juta jiwa pada tahun 2030 (Aliansi Pengendalian Tembakau Indonesia, 2013).8 Meskipun sebagian besar masyarakat mengetahui bahaya merokok, karena papan iklan rokokpun menyampaikan hal tersebut, namun kebiasaan merokok tetap banyak dilakukan di masyarakat. Yang lebih menyedihkan dari fenomena merokok adalah bahwa kebiasaan ini tidak hanya terjadi pada orang dewasa namun telah merambah ke Merokok di mulai sejak umur kurang dari 10 tahun atau lebih dari 10 tahun. Semakin awal seseorang merokok makin sulit untuk 21

berhenti merokok. Rokok jg punya doseresponde effecet, artinya semakin muda usia merokok, akan semakin besar pengaruhnya.Cara mengisap rokok juga dapat dibedakan menjadi: 1. Begitu menghisap langsung dihembuskan (secara dangkal). 2. Dihisap sampai kedalam mulut (di mulut saja). 3. Dihisap sampai di faring (isapan dalam). Rokok tidak dapat dipisahkan dari bahan baku pembuatnya yaitu tembakau.3 Di Indonesia ada dua jenis produk rokok yaitu rokok putih dan rokok kretek. Berdasarkan bahan dan ramuan rokok, rokok digolongkan menjadi beberapa jenis yaitu: 1.

Rokok kretek : Rokok yang memiliki ciri khas adanya campuran cengkeh pada tembakau rajangan yang menghasilkan bunyi kretekkretek ketika dihisap.

2. Rokok putih : Rokok dengan atau tanpa filter menggunakan tembakau virginia iris atau tembakau lainya tanpa menggunakan cengkeh, digulung dengan kertas sigaret dan boleh menggunakan bahan tambahan kecuali yang tidak diijinkan berdasarkan ketentuan Pemerintah RI. 3.

Cerutu, adalah produk dari tembakau tertentu berbentuk seperti rokok dengan bagian pembalut luarnya berupa lembaran daun tembakau dan bagaian isinya campuran serpihan tembakau tanpa

22

penambahan bahan lainnya. Berdasarkan cara pembuatannya rokok kretek dapat dibedakan menjadi dua yaitu: 1. Sigaret kretek tangan (SKT) : Rokok kretek yang dibuat menggunakan tangan. 2. Sigaret kretek mesin (SKM) : Rokok yang berawal ketika pabrik rokok Bentoel menggunakan mesin karena kekurangan tenaga pelinting. 3 Pengukuran tentang kebiasaan merokok pada seseorang dapat ditentukan pada suatu kriteria yang dibuat berdasarkan anamesis atau menggunakan kriteria yang telah ada. Biasanya batasan yang digunakan adalah berdasarkan jumlah rokok yang dihisap setiap hari atau lamanya kebiasaan merokok. Menurut Smeth. perokok diklasifikasikan berdasarkan tiga tipe perokok menurut banyakanya rokok yang dihisap. Tiga tipe perokok tersebut adalah: 1. Perokok ringan adalah perokok yang menghisap 1 – 4 batang rokok dalam sehari. 2.

Perokok sedang adalah perokok yang menghisap 5 -14 batang rokok dalam sehari.

3.

Perokok berat adalah perokok yang menghisap lebih dari 15 batang dalam sehari.3

23

Rokok merupakan gabungan dari bahan-bahan kimia. Dalam asap rokok itu mengandung 4.000 zat kimia yang berbahaya untuk kesehatan, 40 jenis diantaranya bersifat karsinogeneik. Dari satu batang rokok yang dibakar menghasilakan sekitar 92% gas dan 8% bahan-bahan partikel padat. Asap rokok terbagi atas asap utama (main stream smoke) dan asap samping (side stream smoke). Asap utama merupakan asap yang dihirup langsung perokok, sedangkan asap samping merupakan asap yang disebarkan ke udara bebas, yang akan dihirup oleh orang lain atau perokok pasif. Komponen gas asap rokok adalah karbon monoksida, karbon dioksida, oksigen, hidrogen sianida, amoniak, nitrogen, senyawa hidrokarbon. Sebagian besar fase gas adalah karbodioksida, oksigen , dan nitrogen. Kompenen partikel padat antara lain tar, nikotin, benzopiren, fenol, kadmiun, indol,karbarzol dan kresol. Zat-zat ini beracun, mengiritasi dan menimbulkan kanker (karsinogen). Nikotin merupakan komponen yang paling banyak dijumpai di dalam rokok. Tar, nikotin, dan karbonmonoksida merupakan tiga macam bahan kimia yang paling berbahaya dalam asap rokok. Tar adalah kumpulan dari beribu-ribu bahan kimia dalam komponen padat asap rokok dan bersifat karsinogenik. Pada saat rokok dihisap, tar masuk ke rongga mulut sebagai uap padat dan setelah dingin akan menjadi padat dan membentuk endapan berwarna coklat pada permukaan gigi, saluran napas, dan paru-paru. Komponen tar mengandung radikal bebas, yang berhubungan dengan resiko timbulnya kanker. Nikotin merupakan bahan yang bersifat toksik dan dapat 24

menimbulkan ketergantungan psikis. Nikotin merupakan alkaloid alam yang bersifat toksis, berbentuk cairan, tidak berwarna, dan mudah menguap. Zat ini dapat berubah warna menjadi coklat dan berbau seperti tembakau jika bersentuhan dengan udara. Nikotin berperan dalam menghambat perlekatan dan pertumbuhan sel fibroblast ligamen periodontal, menurunkan isi protein fibroblast, serta dapat merusak sel membran.Gas Karbonmonoksida dalam rokok dapat meningkatkan tekanan darah yang akan berpengaruh pada sistem pertukaran hemoglobin. Karbonmonoksida memiliki afinitas dengan hamoglobin sekitar dua ratus kali lebih kuat dibandingkan afinitas oksigen terhadap hamoglobin.3

25

Asap rokok mengandung campuran kompleks senyawa gas dan partikel, beberapa di antaranya mungkin memiliki potensi untuk menimbulkan dampak fisiologis dan farmakologis. Nikotin selama beberapa dekade dianggap sebagai faktor utama yang menyebabkan gangguan terkait merokok, tetapi bukti terbaru menunjukkan dengan jelas bahwa efek vasoaktif sementara pada kulit dan perfusi subkutan tidak dapat secara memuaskan menjelaskan mekanisme patofisiologi yang mengganggu penyembuhan luka dan berkontribusi terhadap gangguan terkait merokok.3 Rongga mulut ialah bagian tubuh yang pertama kali terpapar asap rokok sehingga sangat mudah terpapar efek rokok karena merupakan tempat terjadinya penyerapan zat hasil pembakaran rokok yang utama. Merokok menghasilkan efek imunomodulator sistemik melalui pelepasan spesies oksigen reaktif dari asap tembakau, yang diyakini menyebabkan kaskade efek merugikan pada fungsi sel inflamasi normal dengan melemahkan fagositosis dan mekanisme bakterisida, serta dengan meningkatkan pelepasan enzim proteolitik Selain itu, sintesis kolagen dan pengendapan kolagen matang dalam matriks ekstraselular dikurangi melalui merokok. Pengaruh mengganggu seperti pada mekanisme biologis ini berujung pada efek buruk pada jalur reparatif seluler kulit dan pelengkapnya, yang dapat diamati dalam penyembuhan luka akut pada perokok. Kohort ini memiliki risiko dehiscence pasca-operasi dan infeksi yang lebih tinggi secara

26

signifikan, dan pada pasien yang perokok berat, memperlambat atau menahan penyembuhan luka kronis juga dapat terjadi.1 Tidak diragukan lagi, gangguan kulit degeneratif adalah hasil dari defek yang diinduksi oleh rokok pada mekanisme reparatif dan perkembangan degradasi ekstraseluler elastin, kolagen, dan molekul matriks ekstraseluler lainnya. Lebih kompleks, dan sebenarnya tidak diketahui, adalah peran merokok dalam etiologi penyakit kulit autoimun dan neoplastik. Semakin jelas bahwa efek imunomodulator dan perubahan fungsi sel inflamasi dari merokok mempengaruhi perjalanan klinis penyakit kulit. Penelitian dermatologis masih perlu menjelaskan mengapa merokok merupakan faktor yang memberatkan bagi beberapa penyakit, sementara muncul untuk mengurangi perjalanan klinis orang lain. Masyarakat Indonesia pun telah mengetahui resiko tersebut, terbukti bahwa 86% masyarakat dewasa sadar bahwa merokok menyebabkan penyakit berat, sedangkan 73,7% masyarakat dewasa sadar bahwa orang yang menghirup asap rokok pada orang yang bukan perokok menyebabkan penyakit berat. Selain itu, disebutkan bahwa 45,5% masyarakat dewasa sadar merokok menyebabkan stroke, 81,5% serangan jantung, 84,7% kanker paru, 36% penyakit paru obstruktif kronis, dan 49,5% kelahiran prematur. Fakta ini menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakat di Indonesia telah mengetahui dampak buruk merokok tetapi tidak membuat kebiasaan ini menghilang1. Selain merugikan kesehatan, konsumsi tembakau juga merugikan ekonomi individu maupun negara. WHO 27

mengatakan bahwa tembakau menciptakan lingkaran kemiskinan di dunia. Hal ini terutama berlaku di negara-negara berkembang termasuk Indonesia. Selain beban ekonomi, baik individu maupun negara rugi dalam mengobati penyakit yang berhubungan dengan merokok dan konsekuensinya kehilangan produktivitas kerja. Dampak lain juga dirasakan oleh petani tembakau yang sering terjebak dalam siklus kemiskinan dan utang setelah dipaksa untuk menandatangani kontrak dengan industri tembakau. Di negara berkembang, banyak perokok miskin menghabiskan sejumlah besar pendapatan mereka pada tembakau yang bukan kebutuhan dasar manusia seperti makanan, tempat tinggal, kesehatan dan pendidikan. Selain itu, penyakit yang sering di jumpai saat merokok adalah Smoker’s Melanosis.1 Smoker’s melanosis berhubungan dengan pengendapan nikotin di dalam tubuh. Menurut Yerger and Malon bahwa rangsangan dari nikotin terhadap pigmen melanin akan menghasilkan peningkatan endapan pigmen melanin dalam lapisan basal epitel mukosa mulut. Rangsangan nikotin yang terus-menerus dan dalam jangka waktu yang lama akan berpengaruh secara langsung timbulnya smoker’s melanosis1 Smoker’s melanosis juga perubahan karakteristik pada warna mukosa oral yang terpapar asap rokok dan merupakan hasil utama dari deposisi melanin pada lapisan sel basal pada mukosa. Smoker’s melanosis merupakan kelainan pada rongga mulut yang tidak berbahaya, tetapi apabila dibiarkan akan mengganggu estetika. Smoker’s melanosis timbul pada 25-31% perokok 28

dan meningkat secara signifikan selama tahun pertama seseorang merokok. Lokasi pigmentasi semakin meluas apabila seseorang semakin lama merokok. Hal ini menunjukkan bahwa semakin lama seseorang merokok semakin beresiko timbulnya smoker’s melanosis. Perubahan warna coklat pada mukosa mulut. Proses ini paling sering mempengaruhi gingiva wajah anterior kedua rahang, tetapi dengan predileksi untuk mandibula. Perokok lebih sering menampilkan pigmentasi mukosa komisura dan bukal. Pada orang yang terlibat dalam rokok terbalik (yaitu, ujung rokok yang ditempatkan di rongga mulut) dan dihubungkan dengan jumlah rokok yang dihisap per hari, lamanya merokok dan kebiasaan merokok, pigmentasi palatum keras adalah umum. Jika daerah menjadi depigmentasi dan eritematosa, karsinoma sel skuamosa. Merokok dianggap memiliki banyak efek buruk pada tubuh. Hal ini terbukti tanpa keraguan dari literatur sebelumnya bahwa merokok adalah faktor risiko yang signifikan untuk penyakit periodontal. Bukti epidemiologi saat ini menunjukkan bahwa merokok adalah faktor risiko yang lebih kuat untuk periodontitis dibandingkan dengan patogen periodontal lainnya.1 Selain perusakan periodontal, salah satu efek samping merokok bisa terjadi pada rongga mulut adalah pigmentasi mukosa mulut. Namun, merokok bukan satu-satunya penyumbang untuk pigmentasi oral tetapi juga dikaitkan dengan berbagai faktor etiologi. Axel dan Hedin pertama menggambarkan pigmentasi oral termasuk pigmentasi bibir pada tahun 1982; sejak saat itu, tidak ada laporan kecuali untuk studi terbaru oleh Haresaku, et al., yang 29

mengamati hubungan pigmentasi oral (bibir dan gingiva) dengan status merokok.Ada beberapa jenis pigmentasi oral dijelaskan secara rinci untuk menggambarkan 4 mekanisme utama yang mengarah ke peningkatan pigmentasi oral: pigmentasi oral karena proses intrinsik (misalnya, sindrom Peutz-Jeghers), pigmentasi oral karena proses ekstrinsik (misalnya, tato amalgam), pigmentasi oral karena proses hiperplastik atau neoplastik (misalnya melanoma), dan pigmentasi oral iatrogenik (misalnya, perokok melanosis). Nevi oral jarang terjadi di rongga mulut. Ketika mereka hadir, mereka muncul paling sering di langit-langit atau gingiva. Mereka bisa intramucosal, junctional, senyawa, atau biru nevi, ditunjukkan di bawah ini.2

30

Nevi junctional jarang terjadi dan diduga timbul terutama dari melanosit di lapisan basal mukosa skuamosa. Nevi junctional dilaporkan dapat mengalami transformasi maligna menjadi melanoma.2 Melanoma oral jarang terjadi, dan, mirip dengan rekan-rekan kulit mereka, mereka diduga muncul terutama dari melanosit di lapisan basal mukosa skuamosa. Kepadatan melanositik memiliki variasi regional. Dalam mukosa mulut, melanosit diamati dalam rasio sekitar 1 melanosit hingga 10 sel basal. Berbeda dengan melanoma kulit, yang secara etiologi terkait dengan paparan sinar matahari, faktor risiko untuk melanoma oral tidak diketahui. Melanoma ini tidak memiliki hubungan yang jelas dengan peristiwa kimia, termal, atau fisik (misalnya, merokok; asupan alkohol; kebersihan mulut yang buruk; iritasi dari gigi, gigi palsu, atau peralatan oral lainnya) yang mukosa mulut terus-menerus terkena. Meskipun jinak, proliferasi melanositik intraoral (nevi junctional) terjadi dan merupakan sumber potensial dari beberapa melanoma oral; urutan kejadian kurang dipahami di rongga mulut.2 Saat ini, sebagian besar melanoma oral dianggap timbul de novo. Meskipun jarang, transformasi tumor nevi ke melanoma melibatkan ekspansi klonal sel yang memperoleh keuntungan pertumbuhan selektif. Transformasi melanosit dalam nevus yang sudah ada, atau melanosit tunggal dalam lapisan sel basal, harus terjadi sebelum sel-sel yang berubah berproliferasi dalam dimensi apa pun. Mukosa mulut memiliki lamina propria yang mendasari, bukan dermis papiler dan retikuler dengan batas-batas yang mudah dilihat 31

seperti yang diamati pada kulit. Perbedaan arsitektural ini menghilangkan penggunaan tingkat Clark untuk menggambarkan melanoma mukosa.2 Pigmentasi oral Iatrogenik, Kebanyakan lesi berpigmen iatrogenik dalam rongga mulut bersifat jinak dan pigmentasi mereka disebabkan oleh produksi melanin berlebihan, yang diproduksi oleh melanosit. Sel-sel ini adalah sel-sel dendritik khusus yang ada di lapisan sel basal selaput lendir. Pigmentasi terlihat klinis dalam rongga mulut tergantung pada jumlah melanosit atau tingkat melanin yang diproduksi oleh sel-sel ini. Kisaran pigmentasi warna bervariasi dari abu-abu ke coklat ke hitam menjadi biru gelap. Semakin dekat pigmentasi ke permukaan, semakin gelap warnanya (hitam); deposit melanin sebelum lapisan sel basal akan menyebabkan warna biru.2 Melanosis perokok adalah karena merokok tembakau jangka panjang. Pigmentasi biasanya didistribusikan sepanjang lapisan gingiva di gigi anterior atas dan bawah. Ini juga dapat dilihat di langit-langit lunak, mukosa bukal, dan dasar mulut. Penghentian merokok adalah perawatan pilihan. Hiperpigmentasi kemudian menghilang dalam beberapa bulan.2 Actinic lentigo juga disebut sebagai lentigo surya. Lentigo muncul sebagai makula terang-cokelat pada wajah, tetapi juga dapat melibatkan bagian atas (dan terutama) bibir bawah sebagai akibat dari paparan sinar matahari. Ini umum terjadi pada orang kulit putih yang sudah lanjut usia. Mikroskopis, pigmen melanin yang ditandai ada dalam keratinosit basal.2 32

Melasma adalah hiperpigmentasi simetris pada wajah dan, kadang-kadang, bibir. Biasanya dikaitkan dengan kehamilan atau asupan kontrasepsi oral, bersama dengan paparan sinar matahari. Mikroskopis, peningkatan melanin hadir dalam keratinosit dan jaringan ikat superfisial.2

33

Gambaran Klinis Wajah perokok biasanya garis atau kerutan di wajah, biasanya memancar pada sudut kanan dari bibir atas dan bawah atau sudut mata, garis-garis dalam pada pipi, atau banyak garis dangkal pada pipi dan rahang bawah; sebuah ketipisan halus dari fitur wajah dengan keunggulan kontur tulang yang mendasarinya; penampilan kulit atrofi yang sedikit berpigmen dan berpigmen; dan kompleksi yang plethoric, sedikit oranye, ungu, dan merah. Temuan ini terbukti tidak bergantung pada usia, kelas sosial, paparan sinar matahari, dan perubahan berat badan baru-baru ini.5 Fitur tambahan yang kadang-kadang hadir adalah komedo terbuka dan tertutup besar dengan alur dan nodul di daerah periorbital karakteristik sindrom Favre-Racouchot (perokok komedo). Kuku perokok mungkin menunjukkan perubahan warna kuning, dan pada perokok berat yang tiba-tiba berhenti merokok (misalnya karena penyakit mendadak), garis demarkasi tajam terbentuk di antara lempeng kuku kuning dan kuku merah muda proksimal yang baru dikembangkan (disebut sebagai Harlequin kuku kuku atau kuku si pemalas). Perubahan warna kuning pada rambut dan jenggot juga dapat dilihat pada perokok, terutama pada individu berambut abu-abu (misalnya, kumis perokok). Selain itu, merokok telah dikaitkan dengan rambut yang mulai beruban dan kerontokan rambut, meskipun bukti pendukungnya masih tidak langsung. Perubahan non-ganas pada mukosa

34

mulut perokok umum terjadi dan termasuk pigmentasi gingiva (melanosis perokok), leukoplakia lidah (lidah perokok), dan langit-langit keratin putih keabu-abuan dengan beberapa papul merah yang mengandung kelenjar ludah yang meradang (langit-langit mulut perokok) / stomatitis nikotin).5 Melanoma oral muncul secara diam-diam, dengan sedikit gejala hingga perkembangan terjadi. Kebanyakan orang tidak memeriksa rongga mulut mereka dengan seksama, dan melanoma dibiarkan berkembang sampai pembengkakan yang signifikan, mobilitas gigi, atau perdarahan menyebabkan mereka mencari perawatan. Lesi berpigmen 1,0 mm hingga 1,0 cm atau lebih besar ditemukan. Laporan lesi berpigmen yang sudah ada sebelumnya adalah umum. Lesi ini dapat mewakili melanoma yang tidak dikenal dalam fase pertumbuhan radial.5 Amelanotic melanoma menyumbang 5-35% dari melanoma oral. Melanoma ini muncul di rongga mulut sebagai massa berwarna putih, mukosa, atau merah. Kurangnya pigmentasi berkontribusi pada kesalahan diagnosis klinis dan histologis. Namun, keberadaan infiltrasi limfositik sangat membantu histopatologi (lihat Temuan Histologi). Pengenalan imunologi inang ini sangat membantu ahli patologi dalam diagnosis lesi amelanotik dan desmoplastic.5 Karena melanoma ganas oral sering secara klinis diam, mereka dapat bingung dengan sejumlah lesi asimtomatik, jinak, dan berpigmen. Oral melanoma sebagian besar makula, tetapi nodular dan bahkan lesi bertangkai 35

terjadi. Rasa sakit, ulserasi, dan pendarahan jarang terjadi pada melanoma mulut sampai akhir penyakit.5 Pada pemeriksaan fisik, pigmentasi lesi ini bervariasi dari coklat gelap ke biru-hitam. Namun, lesi berwarna mukosa dan putih kadang-kadang dicatat, dan eritema diamati ketika lesi meradang.5 Langit-langit dan gingiva maksila terlibat pada sekitar 80% pasien, tetapi mukosa bukal, gingiva mandibula, dan lesi lidah juga diidentifikasi. Mukosa mulut terutama terlibat dalam kurang dari 1% dari melanoma. Metastatik melanoma paling sering mempengaruhi mandibula, lidah, dan mukosa bukal.5 Ciri-ciri lesi yang sudah lama meliputi elevasi, variasi warna, ulserasi, dan lesi satelit yang mungkin memiliki penampilan pigmentasi fisiologis. Massa leher mungkin ada, menunjukkan metastasis regional; Namun, ini jarang terjadi kecuali tumor primer luas.5 Melanosis rongga mulut, menunjukan prevalensi sekitar 31% yang terdapat pada gingiva cekat mandibula dibagian labial. Ciri-cirinya adalah makula berwarna kecoklatan, disebabkan karena meningkatnya produksi melanin oleh melanosit dan letaknya lapisan sel basal dan lamina propria, pigmentasinya bersifat reversible walaupun biasanya hilang setelah bertahuntahun atau setelah berhenti kebiasaan merokok. Gambaran klinik pada melanosis menunjukan sama dengan pigmentasi dan makula melanotik. Penelitian juga menunjukan bahwa terdpat 40 orang (38,8%) mengalami 36

perubahan pigmentasi dan 26 orang (9,5%) yang tidak merokok mengalami perubahan pigmentasi5.Berikut ini adalah gambar- gambar smoker’s melanosis.

Gambaran Smoker’s Melanosis

37

TATALAKSANA Smoker’s melanosis biasanya hilang dan kembali normal dalam waktu tiga tahun setelah berhenti merokok. Biopsi harus dilakukan jika peningkatan permukaan atau peningkatan intensitas pigmen atau jika pigmentasi pada sisi yang tidak diduga. Alangkah lebih baiknya kita memberitahu pasien untuk berhenti merokok untuk alasan kesehatan. Namun harus ada peran dari berbagai pihak salah satunya lingkungan yang harus sangat mendukung.3

38

DAFTAR PUSAKA

1. Leticia Ferreira, DOS, MS. Smoker’s Melanonis. https://emedicine.medscape.com/article/1077501-overview#a6. Dipublikasikan pada 19 juni 2018. 2. Bobby McManus Collins, II, DDS, MS. Oral Malignant Melanoma. https://emedicine.medscape.com/article/1078833overview#a6. Dipublikasikan pada 7 Maret 2017. 3. Melda. Prevalensi Smoker’s Melanosis pada Kalangan Petani (Studi Pada Petani Perokok Kec.Panca Rijang Kab.Sidrap). FKG UNHAS.2014.h.5-16. 4. Prashant B. Patil, Renuka Bathi, Smitha Chaudhari. https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3748648/. Dipublikasikan pada 2013.h. 20(2): 130–135. 5. S. F. Thomsen, MD, PhD; L. T. Sørensen, MD. Smoking and Skin Disease. https://www.medscape.com/viewarticle/728948_4. Dipublikasikan pada 2010. 15(6):4-7. 6. Cynthia Vieta, Riani Setiadhi , Cucu Zubaedah. Gambaran klinis smoker’s melanosis pada perokok kretek ditinjau dari lama merokok. Departemen Ilmu Penyakit Mulut, Fakultas kedokteran Gigi, Universitas Padjadjaran .Departemen Ilmu 39

Kesehatan Gigi Komunitas, Fakultas kedokteran Gigi, Universitas Padjadjaran. Dipublikasikan pada 31 Agustus 2018. 7. Gloria J. Alvarez Gómez , Efraín Alvarez Martínez , Raúl Jiménez Gómez , Yolanda Mosquera Silva , Angela María Gaviria Núñez , Adriana Garcés Agudelo , Alexander Alonso Duque , Alexander Zabala Castaño , Elizabeth Echeverri González , Melissa Isaac Millán , Diana Ramírez Ossa. Reverse smokers’s and changes in oral mucosa. Department of Sucre, Colombia. Dipublikasikan pada 1 Januari 2008.h.13(1):E1-8. 8. Ambarwati , Ayu Khoirotul U, Fifit Kurniawati1, Tika Diah K, Saroh Darojah. MEDIA LEAFLET, VIDEO DAN PENGETAHUAN SISWA SD TENTANG BAHAYA MEROKOK (Studi pada Siswa SDN 78 Sabrang Lor Mojosongo Surakarta). Dipublikasikan pada 2014.h.7-13.

40

Related Documents

Smokers Melanosis
January 2021 0
Smokers Melanosis
January 2021 0
Smokers Melanosis Icha
January 2021 0
Smoker Melanosis
January 2021 0

More Documents from "Elmira Musdiyanti"

Smokers Melanosis
January 2021 0