Toksikologi Kelompok 1 Mekanisme Keracunan Melalui Kulit.docx

  • Uploaded by: Norman Mahendra
  • 0
  • 0
  • February 2021
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Toksikologi Kelompok 1 Mekanisme Keracunan Melalui Kulit.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 4,416
  • Pages: 26
Loading documents preview...
MEKANISME KERACUNAN MELALUI KULIT

MAKALAH TOKSIKOLOGI

DISUSUN OLEH: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.

BENNI EKO ARIBOWO NURNA MUKHRI TALLAILI NI KADEK ARIKA PUTRI NOVI ARIANA RATNA ARDILLA EVI DWIWANTI NUNUNG AGUSTINA NI MADE WIDIANDARI AYUNINGTYAS SANGGING

(P27834118068) (P27834118073) (P27834118078) (P27834118086) (P27834118093) (P27834118097) (P27834118098) (P27834118100)

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES SURABAYA JURUSAN ANALIS KESEHATAN 2019

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1

Latar Belakang Keracunan berarti bahwa suatu zat kimia telah mengganggu proses

fisiologis, sehingga keadaan badan organisme itu tidak lagi dalam keadaan sehat. Keracunan adalah keadaan sakit yang ditimbulkan oleh racun. Bahan racun yang masuk ke dalam tubuh dapat langsung mengganggu organ tubuh tertentu, seperti paru-paru, hati, ginjal, dan lainnya (Safitrih, 2015). Suatu kerja toksik pada umumnya merupakan hasil dari sederetan proses fisika, biokimia, dan biologik yang sangat rumit dan komplek. Proses ini umumnya dikelompokkan ke dalam tiga fase yaitu: fase eksposisi toksokinetik dan fase toksodinamik. Dalam menelaah interaksi xenobiotika/tokson dengan organisme hidup terdapat dua aspek yang perlu diperhatikan, yaitu: kerja xenobiotika pada organisme dan pengaruh organisme terhadap xenobiotika. Yang dimaksud dengan kerja tokson pada organisme adalah sebagai suatu senyawa kimia yang aktif secara biologik pada organisme tersebut (aspek toksodinamik). Sedangkan reaksi organisme terhadap xenobiotika/tokson umumnya dikenal dengan fase toksokinetik (Wirasuta dan Niruri, 2007). Fase eksposisi merupakan kontak suatu organisme dengan xenobiotika, pada umumnya, kecuali radioaktif, hanya dapat terjadi efek toksik/ farmakologi setelah xenobiotika terabsorpsi. Umumnya hanya tokson yang berada dalam bentuk terlarut, terdispersi molekular dapat terabsorpsi menuju sistem sistemik. Dalam konstek pembahasan efek obat, fase ini umumnya dikenal dengan fase

1

farmaseutika. Fase farmaseutika meliputi hancurnya bentuk sediaan obat, kemudian zat aktif melarut, terdispersi molekular di tempat kontaknya. Sehingga zat aktif berada dalam keadaan siap terabsorpsi menuju sistem sistemik. Fase ini sangat ditentukan oleh faktor-faktor farmseutika dari sediaan farmasi (Wirasuta dan Niruri, 2007). Terdapat tiga jenis fase eksposisi menurut tempat yang dilalui oleh xenobiotika yaitu eksposisi melalui kulit, eksposisi melalui jalur inhalasi, dan eksposisi melalui jalur saluran cerna. Eksposisi (pemejanan) yang palung mudah dan paling lazim terhadap manusia atau hewan dengan segala xenobiotika, seperti misalnya kosmetik, produk rumah tangga, obat topikal, cemaran lingkungan, atau cemaran industri di tempat kerja, ialah pemejanan sengaja atau tidak sengaja pada kulit. Pejanan kulit terhadap tokson sering mengakibatkan berbagai lesi (luka), namun tidak jarang tokson dapat juga terabsorpsi dari permukaan kulit menuju sistem sistemik (Wirasuta dan Niruri, 2007). Insektisida dalam kehidupan sehari-hari digunakan untuk membasmi berbagai macam hama. Di antara semua jenis insektisida, golongan organofosfat yang paling umum ditemukan di masyarakat, termasuk di Indonesia. Dari golongan organofosfat ini, penggunaan Diazinon dan Malathion yang paling banyak digunakan. Tujuan penggunaan insektisida sebenarnya adalah untuk membasmi serangga pengganggu lahan pertanian dan rumah, seperti kecoa, kumbang, semut, lalat, kutu, jangkrik, tempayak, dan lainnya. Namun kenyataannya organofosfat tidak spesifik mematikan serangga, tetapi dapat menimbulkan keracunan atau mematikan organisme lain, sehingga penggunaan

2

insektisida, terutama organofosfat juga dapat menimbulkan keracunan pada manusia (Abidin, 2010). Terdapat sebuah kasus keracunan di Boyolali, Jawa Tengah akibat kurangnya wawasan atau penggunaan yang kurang bijak terhadap insektisida Diazinon. Diberitakan seorang ibu tiga anak menggunakan pestisida Diazinon untuk membasmi kutu kepala. Dua anaknya tewas dan satu masih dalam perawatan di RSUD Pandan Arang Boyolali, Jawa Tengah. Akhir Rutiyani, 35 tahun, membalur kepala tiga anaknya dengan ‘obat kutu’. Khamilla, 4,5 tahun, Qaulan Shakila, 9 tahun, dan Klarissa, 12 tahun. Dia juga memakai obat tersebut di kepalanya sendiri. Khamilla dan Qaulan meninggal dunia. Sedangkan Akhir sudah keluar dari rumah sakit dan kondisi Klarissa membaik, siap dipulangkan. Saat tiga anak Akhir Rutiyani ini tidur, mereka tiba-tiba terbangun karena merasa mual, pusing, dan lemas. Direktur RSUD Pandan Arang, Siti Nur Rohmah Hidayati menyampaikan kepada BBC Indonesia bahwa ketika korban masuk rumah sakit, kondisi pasien yang kecil sudah kritis. Yang besar usia 12 tahun masih sadar. Dari gejala-gejala yang muncul memang intoksikasinya (keracunan) muncul seperti bau. Hasil penyelidikan petugas, 'obat kutu' tersebut diperoleh dari warga bernama Sutinah, 70, warga Gatak Boyolali. Ia mengaku meraciknya dengan oplosan insektisida yang dibantu oleh anaknya, Budiyanto, 31 tahun. Kasubag Humas Polres Boyolali AKP Muryati menyampaikan Dari keterangan Sutinah, kemasan obat insektisida yang dibeli itu berbeda dengan sebelumnya. Namun kandungan dan komposisi yang tertera di botol sama dengan kemasan yang lama.

3

Andi Trisyono, ahli toksikologi insektisida dari Universitas Gadjah Mada mengatakan racun ini masuk golongan pestisida 'yang lebih beracun' terhadap mamalia dibandingkan jenis yang lain. Diazinon membunuh serangga dengan cara menyerang enzim kolinesterase. Manusia juga punya enzim yang sama, jadi bisa terganggu kalau racun ini kena manusia. Efek keracunannya antara lain mual, pusing, mata berkunang-kunang. Dari kasus keracunan 'obat kutu' di Boyolali, Andi mengatakan kuncinya adalah menekan pengetahuan masyarakat mengenai berbagai macam resiko pestisida. Lebih khususnya lagi racun yang digunakan di bidang pertanian, perikanan, kehutanan, termasuk juga bidang kesehatan manusia. Berdasarkan uraian di atas, melalui makalah ini diharapkan masyarakat dapat mengetahui tentang bahaya diazinon serta cara penanggulanggannya. Sehingga untuk seterusnya agar tidak terjadi lagi kasus tentang keracunan Diazinon.

1.2

Rumusan Masalah

1.2.1

Apa itu diazinon?

1.2.2

Bagaimana mekanisme dan fase kerja toksik Diazinon?

1.2.3

Bagaimana tanda dan gejala klinik keracunan Diazinon?

1.2.4

Bagaimana penanganan dan pengobatan untuk pasien yang keracunan Diazinon?

1.2.5

Bagaimana pemeriksaan laboratorium untuk keracunan Diazinon?

1.3

Tujuan

1.3.1

Untuk mengetahui tentang Diazinon.

4

1.3.2

Untuk mengetahui mekanisme dan fase kerja toksik Diazinon.

1.3.3

Untuk mengetahui tanda dan gejala klinik keracunan Diazinon.

1.3.4

Untuk mengetahui penanganan dan pengobatan untuk pasien yang keracunan Diazinon.

1.3.5

Untuk mengetahui pemeriksaan laboratorium untuk keracunan Diazinon.

5

BAB 2 PEMBAHASAN

2.1

Diazinon Pestisida golongan organofosfat adalah pestisida dengan senyawa

organofosfat sebagai komponen utamanya. Organofosfat dapat menurunkan populasi serangga dengan cepat atau kurang persisten di lingkungan sehingga organofosfat secara bertahap dapat menggantikan organoklorin (Runia, 2008). Secara umum, organofosfat merupakan insektisida yang paling toksik di antara pestisida lainnya dan sering menyebabkan keracunan pada manusia, dengan diazinon dan malathion merupakan komponen organofosfat yang paling banyak digunakan. Efek sistemik yang timbul pada manusia ataupun pada binatang percobaan yang terpapar, baik secara inhalasi, oral, ataupun melalui kulit, terutama disebabkan oleh penghambatan enzim asetilkolinesterase (AChE) oleh Diazoxon, senyawa metabolit aktif dari diazinon (Sumansyah, dkk., 2013). Senyawa diazinon merupakan thiophosphoric acid ester dengan rumus molekul C12H21N2O3PS, yang diperkenalkan oleh Ciba-Geigy pada tahun 1952. Diazinon memiliki rumus bangunan molekuler seperti pada Gambar 2.1.

Gambar 2.1 Struktur Kimia Diazinon Diazinon termasuk ke dalam golongan organophosphat, yang merupakan suatu bahan kimia yang efektif digunakan untuk membasmi serangga, yang

6

bekerja dengan cara menghambat enzim kolinesterase secara irreversibel, dimana enzim ini berfungsi dalam pemecahan asetilkolin yang bersifat merangsang saraf otot (Sumansyah, dkk., 2013).

2.2

Mekanisme dan Fase Kerja Toksik Suatu kerja toksik pada umumnya merupakan hasil dari sederetan proses

fisika, biokimia, dan biologik yang sangat rumit dan komplek. Proses ini umumnya dikelompokkan ke dalam tiga fase yaitu: fase eksposisi, toksokinetik dan fase toksodinamik seperti pada Gambar 2.2.

Gambar 2.2 Mekanisme dan Fase Kerja Toksik 2.2.1

Fase Eksposisi Dalam fase ini terjadi kontak antara xenobiotika dengan organisme atau

dengan lain kata, terjadi paparan xenobiotika pada organisme. Paparan ini dapat

7

terjadi melalui kulit, oral, saluran pernafasan (inhalasi) atau penyampaian xenobiotika langsung ke dalam tubuh organisme (injeksi) (Wirasuta & Niruri, 2007). Berdasarkan kasus yang telah diuraikan di latar belakang, fase eksposisi (pemejanan) dalam penggunaanobat kutu ialah pada tahap pengaplikasian obat kutu melalui kulit kepala. Kulit terdiri atas epidermis (bagian paling luar) dan dermis, yang terletak di atas jaringan subkutan. Tebal lapisan epidermis adalah relatif tipis, yaitu rata-rata sekitar 0,1-0,2 mm, sedangkan dermis sekitar 2 mm. Dua lapisan ini dipisahkan oleh suatu membran basal. Pejanan kulit terhadap tokson sering mengakibatkan berbagai lesi (luka), namun tidak jarang tokson dapat juga terabsorpsi dari permukaan kulit menuju sistem sistemik (Wirasuta & Niruri, 2007). 2.2.2

Fase Toksokinetik Proses

biologik

yang

terjadi

pada

fase

toksokinetik

umumnya

dikelompokkan ke dalam proses invasi dan evesi. Proses invasi terdiri dari absorpsi, transpor, dan distribusi, sedangkan evesi juga dikenal dengan eleminasi. Berdasarkan kasus, terjadi proses absorpsi, transpor dan juga distribusi dari diazinon di dalam tubuh, namun tidak terjadi proses metabolisme dan eliminasi senyawa diazinon sehingga mengakibatkan kematian pada korban (Wirasuta & Niruri, 2007). Absorpsi suatu xenobiotika adalah pengambilan xenobiotika dari permukaan tubuh atau dari tempat-tempat tertentu dalam organ dalaman ke aliran darah atau sistem pembuluh limfe. Apabila xenobiotika mencapai sistem sirkulasi

8

sistemik, xenobiotika akan ditranspor bersama aliran darah dalam sistem sirkulasi (Wirasuta & Niruri, 2007). Absorpsi ditandai oleh masuknya xenobiotika/tokson dari tempat kontak (paparan) menuju sirkulasi sistemik tubuh atau pembuluh limfe. Absorpsi didefinisikan sebagai jumlah xenobiotika yang mencapai sistem sirkululasi sistemik dalam bentuk tidak berubah. Tokson dapat terabsorpsi umumnya apabila berada dalam bentuk terlarut atau terdispersi molekular (Wirasuta & Niruri, 2007). Berdasarkan kasus, jalur utama absorpsi tokson diazinon adalah melalui kulit. Agar dapat terabsorpsi ke dalam kulit, xenobiotika harus melintasi membran epidermis dan dermis, diserap melalui folikel, lewat melalui kelenjar sebasea. Membran epidermis dan dermis merupakan jalan utama penetrasi xenobiotika dari permukaan kulit menuju sistem sistemik, karena jaringan tersebut merupakan bagian terbesar dari permukaan kulit. Fase pertama absorpsi perkutan adalah difusi tokson lewat epidermis melalui sawar (barier) lapisan tanduk (stratum corneum). Lapisan tanduk terdiri atas beberapa lapis sel mati yang tipis dan rapat, yang berisi bahan (protein filamen) yang resisten secara kimia. Sejumlah kecil zat-zat polar dapat berdifusi lewat filamen luar filamen proteinstratum korneum yang terhidrasi, sedangkan zat-zat nonpolar melarut dan berdifusi lewat matrik lipid diantara filamen protein (Mansyur, 2002). Fase kedua absorpsi perkutan adalah difusi tokson lewat dermis yang mengandung medium difusi yang berpori, nonselektif, dan cair. Oleh karena itu, sebagai sawar, dermis jauh kurang efektif dibandingkan stratum korneum. Oleh

9

sebab itu abrasi atau kerusakan lapisan stratum korneum dapat mengakibatkan sangat meningkatnya absorpsi perkutan (Mansyur, 2002). Setelah xenobiotika mencapai sistem peredahan darah, diazinonakan diedarkan/didistribusikan ke seluruh tubuh. Dari sistem sirkulasi sistemik, toksonakan terdistribusi lebih jauh melewati membran sel menuju sitem organ atau ke jaringan-jaringan tubuh. Distribusi suatu xenobiotika di dalam tubuh dapat pandang sebagai suatu proses transpor reversibel suatu xenobiotika dari satu lokasi ke tempat lain di dalam tubuh. Distribusi adalah proses dimana xenobiotika secara reversibel meninggalkan aliran darah dan masuk menuju interstitium (cairan ekstraselular) dan/atau masuk ke dalam sel dari jaringan atau orga (Mansyur, 2002). Distribusi xenobiotika di dalam tubuh umumnya melalui proses transpor, yang pada mana dapat di kelompokkan ke dalam dua proses utama, yaitu konveksi (transpor xenobiotika bersama aliran darah) dan transmembran (transpor xenobiotika melewati membran biologis). Distribusi suatu xenobiotika di dalam tubuh dipengaruhi oleh: tercampurnya xenobiotika di dalam darah, laju aliran darah, dan laju transpor transmembran. Umumnya faktor tercampurnya xenobiotika di darah dan laju aliran darah ditentukan oleh faktor psikologi, sedangkan laju transpor transmembran umumnya ditentukan oleh faktor sifat fisiko-kimia xenobiotika (Wirasuta & Niruri, 2007). 2.2.3

Fase Toksodinamik Dalam fase toksodinamik atau farmakodinamik terjadi interaksi antara

molekul tokson atau obat pada tempat kerja spesifik, yaitu reseptor dan juga proses-proses yang terkait dimana pada akhirnya timbul efek toksik atau

10

terapeutik. Kerja sebagian besar tokson umumnya melalui penggabungan dengan makromolekul khusus di dalam tubuh dengan cara mengubah aktivitas biokimia dan biofisika dari makromolekul tersebut. Makromolekul ini dikenal dengan istilah reseptor, yaitu merupakan komponen sel atau organisme yang berinteraksi dengan tokson dan yang mengawali mata rantai peristiwa biokimia menuju terjadinya suatu efek toksik dari tokson yang diamati (Wirasuta & Niruri, 2007). Asetilkolin (ACh) adalah penghantar saraf yang berada pada seluruh sistem saraf pusat (SSP), saraf otonom (simpatik dan parasimpatik), dan sistem saraf somatik. Asetilkolin bekerja pada ganglion simpatik dan parasimpatik, reseptor parasimpatik, simpangan saraf otot, penghantar sel-sel saraf dan medula kelenjar suprarenal. Setelah masuk dalam tubuh, golongan organofosfat akan mengikat enzim asetilkolinesterase (AChe), sehingga AChe menjadi inaktif dan terjadi akumulasi asetilkolin. Enzim tersebut secara normal menghidrolisis asetilkolin menjadi asetat dan kolin seperti pada Gambar 2.3.

Gambar 2.3 Reaksi Hidrolisis Asetilkolin Menjadi Asetat dan Kolin oleh Enzim Asetilkolinesterase Pada saat enzim dihambat, mengakibatkan jumlah asetilkolin meningkat dan berikatan dengan reseptor muskarinik dan nikotinik pada sistem saraf pusat dan perifer. Hal tersebut menyebabkan timbulnya gejala keracunan yang berpengaruh

11

pada seluruh bagian tubuh. Keadaan ini akan menimbulkan efek yang luas (Runia, 2008). Organofosfat menghambat aksi pseudokolinesterase dalam plasma dan kolinesterase dalam sel darah merah dan pada sinapsisnya. Penghambatan kerja enzim terjadi karena organofosfat melakukan fosforilasi enzim tersebut dalam bentuk komponen yang stabil. Potensiasi aktivitas parasimpatik post-ganglionik, mengakibatkan kontraksi pupil, stimulasi otot saluran cerna, stimulasi saliva dan kelenjar keringat, kontraksi otot bronkial, kontraksi kandung kemih, nodus sinus jantung dan nodus atrio-ventrikular dihambat. Mula-mula stimulasi disusul dengan depresi pada sel sistem saraf pusat (SSP) sehingga menghambat pusat pernafasan dan pusat kejang. Stimulasi dan blok yang bervariasi pada ganglion dapat mengakibatkan tekanan darah naik atau turun serta dilatasi atau miosis pupil. Kematian disebabkan karena kegagalan pernafasan dan blok jantung (Runia, 2008). Berdasarkan kasus, fase toksodinamik ditandai dengan munculnya efek toksik pada korban seperti rasa mual, pusing, dan lemas hingga menyebabkan kematian. Tanda dan gejala awal keracunan diazinon adalah stimulasi berlebihan kolinergik pada otot polos dan reseptor eksokrin muskarinik yang meliputi miosis, gangguan perkemihan, diare, defekasi, eksitasi, dan salivasi.Kematian akibat keracunan diazinon umumnya berupa kegagalan pernafasan. Hal ini disebabkan karena adanya oedem paru, bronkokonstriksi, kelumpuhan otot-otot pernafasan, kelumpuhan pusat pernafasan, peningkatan sekresi bronkus, dan depresi saraf pusat yang akan meningkatkan kegagalan pernafasan.

12

2.3

Tanda dan Gejala Klinik Diazinon diabsorbsi melalui cara yang bervariasi, baik melalui kulit yang

terluka, mulut, dan saluran pencernaan serta saluran pernafasan. Melalui kulit umumnya membutuhkan waktu lebih lama untuk menimbulkan tanda dan gejala. Pajanan yang terbatas dapat menyebabkan akibat terlokalisir. Penyerapan melalui kulit yang terluka dapat menimbulkan keringat yang berlebihan dan kejang otot pada daerah yang terpajan (Runia, 2008). Keracunan diazinon dapat menimbulkan variasi reaksi keracunan. Tanda dan gejala dihubungkan dengan hiperstimulasi asetilkolin yang persisten atau depresi yang diikuti oleh stimulasi saraf pusat maupun perifer. Tanda dan gejala awal keracunan adalah stimulasi berlebihan kolinergik pada otot polos dan reseptor eksokrin muskarinik yang meliputi miosis, gangguan perkemihan, diare, defekasi, eksitasi, dan salivasi (Runia, 2008). Efek utama pada sistem respirasi yaitu bronkokonstriksi dengan sesak nafas dan peningkatan sekresi bronkus. Dosis menengah sampai tinggi menyebabkan efek muskarinik seperti ataksia, hilangnya refleks, bingung, sukar bicara, kejang disusul paralisis dan coma.Penumpukan asetilkolin pada susunan saraf pusat menyebabkan tegang, ansietas, insomnia, gelisah, sakit kepala, emosi tidak stabil, neurosis, mimpi buruk, apatis, bingung, tremor, kelemahan umum, ataxia, konvulsi, depresi pernafasan dan koma.Pada umumnya gejala timbul dengan cepat dalam waktu 6 – 8 jam, tetapi bila pajanan berlebihan dapat menimbulkan kematian dalam beberapa menit (Sumansyah, dkk., 2013). Kematian akibat keracunan diazinon umumnya berupa kegagalan pernafasan. Hal ini disebabkan karena adanya oedem paru, bronkokonstriksi,

13

kelumpuhan otot-otot pernafasan, kelumpuhan pusat pernafasan, peningkatan sekresi bronkus, dan depresi saraf pusat yang akan meningkatkan kegagalan pernafasan (Sumansyah, dkk., 2013).

2.4

Penanganan dan Pengobatan

2.4.1 Tindakan Darurat 1.

Berikan sulfas atropin dalam dosis tinggi.

2.

Lakukan pernafasan buatan dan berikan oksigen, namun hindari pernafasan dari mulut ke mulut.

3.

Cuci kulit yang terkontaminasi dengan air dan sabun, dilakukan sebelum munculnya gejala atau setelah gejala-gejala terkontrol dengan atropin.

4.

Lakukan bilas lambung. Bila gejala-gejala keracunan belum muncul, bilas dengan air hangat, atau induksi muntah.

5.

Berikan laksatif Magnesium sulfat 25 g dalam 1 gelas air.

6.

Berikan antidote: Sulfas Atropin 2 mg, dan diulang tiap 3-6 menit sampai timbul gejala atropinisasi (wajah merah, mulut kering, dilatasi pupil, dan nadi cepat). Pertahankan dengan pemberian atopin ulang sebanyak 12mg dalam 2 jam pertama. Pemberian yang terputus akan menimbulkan gagal nafas. Dosis untuk anak-anak sebesar 0,04mg/kgBB. Bila menimbulkan takikardia berat, diganti dengan propanolol.

7.

Berikan Kolinesterase reaktivator seperti Paralidoksin (Protopam, piridin2-aldoksin-metoklorida, 2-PAM) 1 g dalam larutan aquades secara intravena secara perlahan-lahan dan dapat diulang setelah 30 menit bila pernafasan belum membaik. Dapat diberikan sebanyak 2 kali dalam 24

14

jam.

Kolinesterase

aktivator

harus

diberikan

secepatnya

setelah

atropinisasi penuh karena dapat menimbulkan aging phenomenon, yaitu ikatan insektisida dengan AChE yang telah mengalami dealkilasi, sehingga kolinesterase aktivator tidak bisa melepaskan ikatan tersebut. Hal ini berbahaya karena atropin tidak dapat memperbaiki paralisis otot-otot pernafasan (Sumansyah, dkk., 2013). 2.4.2 Tindakan Umum 1.

Sekret pada jalan nafas dikeluarkan dengan postural drainase atau dengan kateter penyedot.

2.

Hindari pemakaian morfin, aminofilin, barbiturat, fenotiazin, dan obatobatan lain yang dapat menimbulkan depresi pernafasan.

3.

Untuk kejang dapat diatasi dengan anti kejang. Pada keracunan akut, saat kritis adalah 4-6 jam pertama, sehingga

diperlukan pengobatan yang tepat. Keracunan kronik dapat diketahui dengan pengukuran kadar AChE dalam darah. Bila ada indikasi keracunan ringan, maka korban dapat diberikan istirahat dan hindari kontak dengan insektisida (Sumansyah, dkk., 2013).

2.5

Pemeriksaan untuk Menegakkan Diagnosis Keracunan Diazinon

2.5.1 Pemeriksaan Laboratorium Untuk pemeriksaan laboratorium diperlukan sampel yang diambil dari darah, jaringan hati, limpa, paru-paru, dan lemak badan. Untuk penentuan kadar AChE dalam darah dan plasma dapat dilakukan dengan cara tintometer (Edson) dan paper-strip (Acholest).

15

1. Cara Edson Pemeriksaan ini didasarkan atas perubahan pH darah. Prosedur pemeriksaan yaitu dengan mengambil darah korban, dan menambahkan indikator bromtimol-biru, didiamkan, dan setelah beberapa saat akan terjadi perubahan warna. Warna tersebut dibandingkan dengan warna standar pada comparator disc, maka dapat ditentukan kadar AChE dalam darah. Tabel 2.1 Kadar AChE dalam Darah % Aktifitas AChE Darah

Interpretasi

75%-100% dari normal

Tidak ada keracunan

50%-75% dari normal

Keracunan ringan

25%-50% dari normal

Keracunan

0%-25% dari normal

Keracunan berat

2. Cara Acholast Prosedur pemeriksaan yaitu dengan mengambil darah korban, dan meneteskan pada kertas Acholast bersamaan dengan kontrol serum darah normal. Pada kertas Acholast sudah terdapat ACh dan indikator. Kemudian dicatat waktu perubahan warna pada kertas tersebut. Perubahan warna harus sebanding dengan perubahan warna pembanding (serum normal), yaitu warna kuning telur. Jika waktu yang dikeluarkan kurang dari 18 menit, tidak ada keracunan. Jika 20-35 menit, termasuk dalam keracunan ringan. Jika 35-150 menit, termasuk keracunan berat (Sumansyah, dkk., 2013). 2.5.2

Pemeriksaan Patologi Anatomi Beberapa sumber menyatakan tidak ditemukan adanya perubahan spesifik

dari organ pada manusia ataupun pada binatang percobaan yang mendapat

16

paparan organofosfat, namun sumber lain menyatakan bahwa terdapat gambaran yang spesifik dari organ pada manusia ataupun pada binatang percobaan yang mendapat paparan senyawa tersebut. Berikut merupakan perubahan–perubahan yang terjadi pada organ-organ baik manusia ataupun binatang percobaan yang mendapat paparan organofosfat, yaitu: 1.

Gambaran Patologi Anatomi pada Sistem Saraf Berdasarkan otopsi yang dilakukan Limaye (1966) pada korban yang

mengalami keracunan diazinon ditemukan adanya tanda-tanda perdarahan serta kongesti pada spinal, dilatasi pembuluh darah serta perdarahan pada otak. 2.

Gambaran Patologi Anatomi pada Sistem Renal Boyd dan Carsky (1969) melaporkan dari hasil percobaan terhadap tikus

percobaan yang mendapat paparan diazinon secara bertahap dari 50 sampai 700 mg/kg/hari, didapatkan adanya tubular swelling, kongesti pada kapiler loop henle, kongesti pada kortikomedulari, nefritis kronis, atropi tubuler, serta fibrosis pada glomerolus. Sedangkan pada penelitian Harris dan Hoison (1981), menunjukkan tidak ditemukannya perubahan yang spesifik terhadap ginjal tikus percobaan yang telah mendapat paparan 100 mg/kg/hari organofosfat (diazinon). Penelitian Hartman (1997) pada binatang percobaan, menunjukkan tidak adanya kelainan secara mokroskopis maupun mikroskopis pada ginjal tikus yang terpapar 11,6 mg/m3 diazinon dalam waktu enam jam per hari selama tiga minggu. 3.

Gambaran Patologi Anatomi pada Hepar Penelitian Limaye (1966), pada hati dapat ditemukan adanya gambaran

dilatasi hati. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Lox dan Davis (1983), paparan organofosfat pada tikus percobaan, didapatkan gambaran droplet lemak

17

pada sel hepatosit setelah 7 hari paparan. Akumulasi lemak ini dapat dihasilkan dari terganggunya metabolisme pada sel retikulum endoplasma, peningkatan metabolisme lemak dari jaringan perifer, atau kegagalan pelepasan lipoprotein dari sel hati. Otopsi pada anjing percobaan yang telah diberi paparan 10 mg/kg/hari

organofosfat

(diazinon),

yang

dilakukan

oleh

Earl

(1971),

menunjukkan adanya atropi pada sel parenkim hati, perlemakan hati, serta pemisahan pada sel-sel hati. Pada anjing percobaan yang mendapat paparan diazinon sebanyak 20 mg/kg/hari, dari otopsi didapatkan adanya sirosis hati yang berat, nekrosis lokal (fokal), infiltrasi jaringan fibrosis, inflamasi sel hepar, kongesti sel hepatosit dan pemisahan sel-sel hepatosit. Sedangkan pada penelitian yang dilakukan Kirchner (1991), pada tikus percobaan yang mendapat paparan diazinon 12 mg/kg/hari selama 98 minggu, tidak ditemukan tanda-tanda perubahan secara makroskopis ataupun secara mikroskopis pada hati tikus percobaan tersebut. Penelitian Hartman (1997) pada binatang percobaan, menunjukkan tidak adanya kelainan secara makroskopis maupun mikroskopis pada hati tikus yang terpapar 11,6 mg/m3 diazinon secara inhalasi dalam waktu enam jam per hari selama tiga minggu. 4.

Gambaran Patologi Anatomi pada Paru Penelitian Poklis (1980), menunjukkan adanya edema pada paru-paru,

pelebaran pembuluh darah vena paru pada otopsi jenazah seorang wanita berusia 54 tahun yang diduga keracunan diazinon secara oral, dan tanda-tanda pneumonitis yang luas pada paru-paru binatang percobaan yang terpapar 50 -70 mg/kg diazinon. Namun, pada penelitian Harris dan Holson (1981) menyatakan tidak adanya perubahan makroskopis maupun mikroskopis pada paru-paru

18

binatang percobaan akibat terpapar diazinon sampai 100 mg/kg/hari pada usia 6 sampai 8 hari kehamilan. 5.

Gambaran Patologi Anatomi pada Sistem Kardiovaskuler Gambaran pada jantung kanan yang terpaparan oleh organogosfat tampak

pembuluh darah mengalami dilatasi. Penelitian Limaye (1966), menunjukkan terjadinya kongesti jantung dan pembuluh darah jantung pada otopsi 76 kasus keracunan diazinon yang mana juga tampak adanya soft flabby heart dengan perdarahan yang nyata pada pericardium dan epicardium, bintik-bintik perdarahan serta cloudy swelling dan hiperemi pada pemeriksaan histopatologi jantung. Pada penelitian Harris dan Holson tahun 1981, menyatakan tidak adanya perubahan makroskopis maupun mikroskopis pada jantung binatang percobaan akibat terpapar diazinon sampai 100 mg/kg/hari. Tampak bintik-bintik perdarahan pada daerah perikardial. Jantung kanan mengalami pelebaran (dilatasi) dan vena mengalami pembengkakan. 6.

Gambaran Patologi Anatomi pada Sistem Gastrointestinal Penelitian Boyd dan Carsky (1969), menyebutkan adanya tanda-tanda

kongesti lamina propia pada usus halus dan adanya nekrosis serta perdarahan pada sebagian lambung dan juga pilorus serta tanda-tanda inflamasi usus halus pada tikus percobaan. Penelitian Earl (1971), menyebutkan adanya efek terhadap sistem gastrointestinal anjing percobaan yang diberikan diazinon selama 8 bulan. Efek-efek tersebut antara lain tampak pecahnya dinding duodenum, penebalan dinding duodenum, kongesti dan atau perdarahan pada usus halus dan kolon, peritonitis serta terjadi robekan pada pilorus. Pemberian dizinon 1,25 mg sampai 10 mg/kg/hari pada babi percobaan selama 8 bulan, menunjukkan adanya

19

gangguan sistem gastrointestinal pada pemeriksaan secara histopatologi, yaitu penebalan dinding jejenum, perlukaan pada duodenum, dan terjadi erosi pada lapisan otot dan serosa. Penelitian Harris dan Holson (1981), menunjukkan adanya perdarahan pada mukosa usus, kongesti serta erosi pada mokosa usus kelinci yang mati akibat terpapar diazinon 100 mg/kg/hari. Sedangkan pada penelitian Singh (1988) dan penelitian Barnes (1988) menyatakan tidak adanya kelainan yang spesifik pada sistem gastrointestinal yang ditemukan pada tikus percobaan yang telah diberikan diazinon sebanyak 12 mg/kg/hari selama 98 minggu(Sumansyah, dkk., 2013). 2.5.3 Pemeriksaan Toksikologi 1.

Kristalografi Bahan yang dicurigai berupa sisa makanan atau minuman, muntahan, dan

isi lambung dimasukkan ke dalam gelas beker, kemudian dipanaskan dalam pemanas air sampai kering, kemudian dilarutkan dalam aceton dan disaring dengan kertas saring. Filtrat yang didapat diteteskan ke dalam gelas arloji dan dipanaskan sampai kering, kemudian dilihat di bawah mikroskop. Bila terbentuk kristal-kristal seperti sapu, berarti termasuk ke dalam golongan hidrokarbon terklorinasi. 2.

Kromatografi Lapisan Tipis (TLC) Kaca berukuran 20 cm x 20 cm dilapisi dengan absorben gel silikat atau

dengan aluminium oksida, lalu dipanaskan ke dalam oven dengan suhu 110oC selama 1 jam. Filtrat yang akan diperiksa (hasil ekstraksi dari darah atau jaringan korban, disertai dengan tetesan lain yang telah diketahui golongan, jenis, dan konsentrasinya sebagai pembanding). Ujung kaca TLC dicelupkan ke dalam

20

pelarut (biasanya dengan Hexan), namun celupan tidak boleh mengenai tetesan tersebut di atas. Dengan daya kapilaritas, maka pelarut akan ditarik ke atas sambil melarutkan filtrat-filtrat tadi. Setelah itu kaca TLC dikeringkan, lalu disemprot dengan reagen Faladium klorida 0,5% dalam HCl pekat, kemudian dengan Difenilamin 0,5% dalam alkohol. Jika ditemukan warna hitam (gelap) berarti golongan hidrokarbon terklorinasi. Jika ditemukan warna hijau dengan dasar dadu berarti golongan organofosfat. Untuk menentukan jenis dalam golongannya, dapat dilakukan dengan menentukan Rf masing-masing bercak, dengan rumus sebagai berikut.

Angka yang didapatkan, dicocokkan dengan standar, sehingga jenisnya dapat ditentukan (Sumansyah, dkk., 2013). 2.5.4 Pemeriksaan pada Jenazah Pada korban yang meninggal akibat keracunan diazinon atau senyawa organofosfat lainnya, pada otopsi akan dijumpai tanda-tanda sebagai berikut: 1. Pemeriksaan Luar a. Busa atau buih putih kemerahan dari hidung atau mulut, yang kadang tercium bau pelarut insektisida tersebut, yaitu minyak tanah. b. Kuku dan jari tampak sianosis. c. Pakaian terkadang berbau minyak tanah, jika sebelumnya korban muntah. 2. Pemeriksaan Dalam a. Pada permukaan rongga torak dan abdomen biasanya tercium bau minyak tanah, terutama waktu membuka lambung, usus, bronkus dan paru.

21

b. Pada beberapa kasus, paru-paru akan tampak mengalami odem, dan berbuih yang dapat dilihat dengan memasukkan ke dalam air. Bintik-bintik perdarahan pada pleura tampak konstan, terutama pada daerah hipostatik yang akan menampakkan gambaran kolap pada pleura. c. Penelitian Limaye (1966), menyebutkan tanda-tanda yang tampak pada sistem gastrointestinal antara lain tampak warna kehitaman pada usus, adanya darah dalam usus, kongesti pada mukosa usus dengan bintik-bintik perdarahan pada lapisan submukosa usus, dan bisa juga terjadi erosi dan perlukaan pada usus. d. Adanya cairan yang berminyak dalam lambung atau usus. e. Tidak ditemukan kelainan organ yang spesifik, tetapi terkadang terdapat edema paru, dilatasi kapiler dan kongesti organ-organ visera (Sumansyah, dkk., 2013).

22

BAB 3 PENUTUP

3.1

Kesimpulan Organofosfat merupakan insektisida yang paling toksik di antara pestisida

lainnya dan sering menyebabkan keracunan pada manusia, dengan diazinon dan malathion merupakan komponen organofosfat yang paling banyak digunakan. Keracunan diazinon dapat menimbulkan variasi reaksi keracunan. Tanda dan gejala awal stimulasi berlebihan kolinergik pada otot polos dan reseptor eksokrin muskarinik yang meliputi miosis, gangguan perkemihan, diare, defekasi, eksitasi, dan salivasi. Pada keracunan akut, saat kritis adalah 4-6 jam pertama, sehingga diperlukan pengobatan yang tepat. Keracunan kronik dapat diketahui dengan pengukuran kadar AChE dalam darah. Bila indikasi keracunan ringan, maka korban dapat diberikan istirahat dan hindari kontak dengan insektisida. Kematian akibat keracunan diazinon umumnya berupa kegagalan pernafasan, disebabkan karena adanya oedem paru, bronkokonstriksi, kelumpuhan otot-otot pernafasan, kelumpuhan pusat pernafasan, peningkatan sekresi bronkus, dan depresi saraf pusat yang akan meningkatkan kegagalan pernafasan Untuk pemeriksaan laboratorium diperlukan sampel yang diambil dari darah, jaringan hati, limpa, paru-paru, dan lemak badan. Untuk penentuan kadar AChE dalam darah dan plasma dapat dilakukan dengan cara tintometer (Edson) dan paper-strip (Acholest). Dapat juga dilakukan pemeriksaan patologi anatomi, toksikologi yaitu dengan pemeriksaan kristalografi dan kromatografi lapisan tipis, serta pemeriksaan forensik.

23

3.2

Saran Diharapkan agar pengawasan mengenai penggunaan Diazinon lebih

ditingkatkan dan diperketat agar tidak ada penyalahgunaan pemakaian insektisida jenis ini. Selain itu untuk meningkatkan wawasan masyarakat terhadap bahaya Diazinon maka perlu dilakukan sosialisasi kepada masyarakat melalui sosialisasi langsung atau bisa dengan media massa seperti media cetak, radio maupun televisi.

24

DAFTAR PUSTAKA BBC Indonesia. 2017. Sampo oplosan pestisida tewaskan warga desa: mengapa Diazinon begitu berbahaya?. https://www.bbc.com/indonesia/trensosial-41083908 Diakses pada tanggal 28 Januari 2019 08:32 Mansyur. 2002. Toksikologi dan Absorpsi Agent Toksis. Universitas Sumatera Utara. Runia, Y. A. 2008. Faktor-Faktor Yang Berhubungan dengan Keracunan Pestisida Organofosfat, Karbamat dan Kejadian Anemia pada Petani Hortikultura di Desa Tejosari Kecamatan Ngablak Kabupaten Magelang. Universitas Diponegoro. Safitrih, L., Kusuma, A. M., & Wibowo, M. I. N. A. 2016. Angka Kejadian dan Penatalaksanaan Keracunan di Instalasi Gawat Darurat RSUD Prof. Dr. Margono Soekardjo Purwokerto Tahun 2012–2014. Universitas Muhammadiyah Purwokerto Sumansyah, F. A., Husain, W., Dhana, W., Yekti, I., & Eka, I. W. 2013. Intoksikasi Diazinon. Universitas Airlangga. Wirasuta, I. M. A. G., & Niruri, R. 2007. Toksikologi Umum. Universitas Udayana.

25

Related Documents


More Documents from "Deny Nurwahyuni"