Farmakoterapi Stroke

  • Uploaded by: Achmad Fachry
  • 0
  • 0
  • February 2021
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Farmakoterapi Stroke as PDF for free.

More details

  • Words: 4,993
  • Pages: 25
Loading documents preview...
STROKE

Disusun Oleh : Achmad Fauzi Al’ Amrie

(260112120033)

PROGRAM PROFESI APOTEKER FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS PADJADJARAN JATINANGOR 2012

1

STROKE

A. DEFINISI Stroke merupakan cedera vaskular akut pada otak dimana terjadi suatu cedera mendadak dan berat pada pembuluh – pembuluh darah otak. Cedera dapat disebabkan oleh sumbatan bekuan darah, penyempitan pembuluh darah, atau pecahnya pembuluh darah. Hal ini menyebabkan kurangnya pasokan darah yang memadai (Feigin, 2004).

B. PATOFISIOLOGI 1. Faktor Resiko Stroke a. Faktor resiko tidak dapat dimodifikasi untuk stroke antara lain peningkatan usia, laki – laki, ras (Amerika – afrika, Asia, Amerika latin) dan turunan. b. Faktor resiko utama yang dapat dimodifikasi antara lain hipertensi dan penyakit jantung (penyakit jantung koroner, gagal jantung, hipertropi ventrikel kiri, fibrilasi atrial). c. Faktor resiko lainnya antara lain serangan iskemia sementara, diabetes melitus, dislipidemia, dan merokok (Sukandar et al., 2008).

2

Secara umum stroke dibagi menjadi dua macam yakni stroke iskhemia dan stroke hemoragik (pendarahan).

3

2. Stroke Iskhemia Sejumlah 88% dari semua stroke adalah stroke iskhemia yang disebabkan oleh pembentukan trombus atau emboli yang menghambat arteri serebral. Aterosklerosis serebral adalah faktor penyebab dalam kebanyakan masalah stroke iskhemia, walaupun 30% tidak diketahui etiologinya. Emboli dapat muncul dari arteri intara dan ekstra kranial. 20% stroke emboli muncul dari jantung (Rumantir, 2007). Pada ateroslerosis karotid, plak dapat rusak karena paparan kolagen, agregasi platelet, dan pembentukan thrombus. Bekuan dapat menyebabkan hambatan sekitar atau terjadi pelepasan dan bergerak kearah distal, pada akhirnya akan menghambat pembuluh serebral (Sukandar et al., 2008). Dalam masa embolisme kardogen, aliran darah yang berhenti dalam atrium atau ventrikelmengarah ke pembentukan bekuan local yang dapat pelepasan dan bergerak melalui aorta menuju sirkulasi serebral. Hasil akhir baik pembentukan thrombus dan embolisme adalah hambatan arteri, penurunan aliran darah serebral dan penyebab ischemia dan akhirnya infark distal mengarah hambatan (Sukandar et al., 2008). Stroke iskemik ini dibagi menjadi 3 jenis, yaitu : a. Stroke Trombotik Yaitu proses terbentuknya thrombus yang menyebabkan penggumpalan. b. Stroke Embolik Yaitu Tertutupnya pembuluh arteri oleh bekuan darah. c. Hipoperfusion Sistemik Yaitu Berkurangnya aliran darah ke seluruh bagian tubuh karena adanya gangguan denyut jantung (Feigin, 2004)

3. Stroke Pendarahan (Hemoragik) Sejumlah 12% stroke adalah stroke pendarahan dan termasuk pendarahan

subarakhnoid, pendarahan intra serebral, dan hematomas

subdural. Pendarahan subarakhnoid dapat terjadi dari luka berat atau rusaknya aneurisme intrakranial atau cacat arteriovena. Pendarahan intra serebral terjadi ketika

pembuluh

darah

rusak

dalam

parenkim

otak

menyebabkan

4

pembentukan hematoma. Hematoma subdural kebanyakan terjadi karena luka berat (Chirztoper, 2007). Adanya darah dalam parenkim otak menyebabkan kerusakan pada jaringan sekitar melalui efek masa dan komponen darah yang neurotoksik dan produk urainya. Penekanan terhadap jaringan yang dikelilingi hematomas dapat mengarah pada iskhemia sekunder. Kematian karena stroke pandarahan kebanyakan disebabkan oleh peningkatan kerusakan dalam penekanan intakranial yang mengarah pada herniasi dan kematian (Sukandar et al., 2008).

4. Etiologi dari Stroke Hemoragik a. Perdarahan intraserebral Perdarahan intraserebral ditemukan pada 10% dari seluruh kasus stroke, terdiri dari 80% di hemisfer otak dan sisanya di batang otak dan serebelum. Gejala klinisnya yaitu: 

Onset perdarahan bersifat mendadak, terutama sewaktu melakukan aktivitas dan dapat didahului oleh gejala prodromal berupa peningkatan tekanan darah yaitu nyeri kepala, mual, muntah, gangguan memori, bingung, perdarhan retina, dan epistaksis.



Penurunan

kesadaran

yang

berat

sampai

koma

disertai

hemiplegia/hemiparese dan dapat disertai kejang fokal / umum. 

Tanda-tanda penekanan batang otak, gejala pupil unilateral, refleks pergerakan bola mata menghilang dan deserebrasi



Dapat dijumpai tanda-tanda tekanan tinggi intrakranial (TTIK), misalnya papiledema dan perdarahan subhialoid (Chirztoper, 2007).

b. Perdarahan subarakhnoid Perdarahan subarakhnoid adalah suatu keadaan dimana terjadi perdarahan di ruang subarakhnoid yang timbul secara primer (Chirztoper, 2007).

5

C. MANIFESTASI KLINIK STROKE Definisi WHO, stroke adalah menifestasi klinik dari gangguan fungsi serebral, baik fokal maupun menyeluruh (global), yang berlangsung dengan cepat, selama lebih dari 24 jam atau berakhir dengan kematian, tanpa ditemukannya penyebab lain selain gangguan vaskuler. Istilah kuno apopleksia serebri sama maknanya dengan Cerebrovascular Accidents/Attacks (CVA) dan Stroke (Harsono, 1996, hal 67). Gejala stroke secara umum, antara lain (Harsono, 1996, hal 67) : 

muntah



penurunan kesadaran (konfusi, delirium, letargi, stupor atau koma)



gangguan berbicara (afasia) atau bicara pelo (disastria)



wajah tidak simetris atau mencong



kelumpuhan wajah / anggota badan sebelah (hemiperase) yang timbul secara mendadak.



gangguan sensibilitas pada satu atau lebih anggota badan.



gangguan penglihatan, penglihatan ganda (diplopia)



vartigo, mual, muntah, dan nyeri kepala Beberapa gejala umum yang terjadi pada stroke meliputi hemiparese,

monoparese, quidriparese (kelemahan wajah, lengan dan kaki pada sisi yang sama), hilangnya penglihatan monokuler atau binokuler, dan ataksia (berjalan tidak mantap, tegak, tidak mampu menyatukan kaki, perlu dasar berdiri yang luas). Meskipun gejala-gejala tersebut dapat muncul sendirinya, namun umumnya muncul secara bersamaan. Penentuan waktu terjadinya gejala-gejala tersebut juga penting untuk menentukan perlu tidaknya pemberian terapi trombolitik (Hassmann, 2010). Gejala tersebut bisa muncul saat bangun tidur ataupun saat beraktivitas. Pada penderita hipertensi dengan tekanan darah yang tidak terkontrol, lebih beresiko untuk menderita stroke bleeding. Biasanya stroke jenis ini terjadi saat sedang melakukan aktivitas. Sementara stroke infark lebih sering terjadi saat penderita baru bangun tidur di pagi hari (Harsono, 1996, hal 67). Gejala - gejala stroke muncul akibat daerah tertentu tidak berfungsi dengan baik, yang disebabkan oleh terganggunya aliran darah ke daerah tersebut.

6

Gejala itu muncul bervariasi, bergantung bagian otak yang terganggu (Harsono, 1996, hal 67). Gejala-gejala neurologi yang timbul biasanya bergantung pada arteri yang tersumbat (Hassmann, 2010 ; Chung, 1999) : 1. Arteri serebri media (MCA) Gejala-gejalanya antara lain hemiparese kontralateral, hipestesi kontralateral, hemianopsia ipsilateral, agnosia, afasia, dan disfagia. Karena MCA memperdarahi motorik ekstremitas atas maka kelemahan tungkai atas dan wajah biasanya lebih berat daripada tungkai bawah 2. Arteri serebri anterior Umumnya menyerang lobus frontalis sehingga menyebabkan gangguan bicara, timbulnya refleks primitive (grasping dan sucking reflex), penurunan tingkat kesadaran, kelemahan kontralateral (tungkai bawah lebih berat dari pada tungkai atas), defisit sensorik kontralateral, demensia, dan inkontinensia uri. 3. Arteri serebri posterior Menimbulkan gejala seperti hemianopsia homonymous kontralateral, kebutaan kortikal, agnosia visual, penurunan tingkat kesadaran, hemiparese kontralateral, gangguan memori. 4. Arteri vertebrobasiler (sirkulasi posterior) Umumnya sulit dideteksi karena menyebabkan defisit nervus kranialis, serebellar, batang otak yang luas. Gejala yang timbul antara lain vertigo, nistagmus, diplopia, sinkop, ataksia, peningkatan refleks tendon, tanda Babynski bilateral, tanda serebellar, disfagia, disatria, dan rasa tebal pada wajah. Tanda khas pada stroke jenis ini adalah temuan klinis yang saling berseberangan (defisit nervus kranialis ipsilateral dan deficit motorik kontralateral). 5. Arteri karotis interna (sirkulasi anterior) Gejala yang ada umumnya unilateral. Lokasi lesi yang paling sering adalah bifurkasio arteri karotis komunis menjadi arteri karotis interna dan eksterna. Adapun cabang-cabang dari arteri karotis interna adalah arteri oftalmika (manifestasinya adalah buta satu mata yang episodik biasa disebut

7

amaurosis fugaks), komunikans posterior, karoidea anterior, serebri anterior dan media sehingga gejala pada oklusi arteri serebri anterior dan media pun dapat timbul. 6. Lakunar stroke Lakunar stroke timbul akibat adanya oklusi pada arteri perforans kecil di daerah subkortikal profunda otak. Diameter infark biasanya 2-20 mm. Gejala yang timbul adalah hemiparese motorik saja, sensorik saja, atau ataksia. Stroke jenis ini biasanya terjadi pada pasien dengan penyakit pembuluh darah kecil seperti diabetes dan hipertensi. Terdapat beberapa gejala awal yang membedakan stroke hemoragik dan non hemoragik (iskhemik) seperti gejala seperti mual muntah, sakit kepala dan hemiparesis atau hemiplegic sejak permulaan serangan lebih sering terjadi pada stroke hemoragik. Serangan stroke hemoragik biasanya terjadi pada waktu melakukan aktivitas, emosi atau marah, sedangkan stroke iskhemik terjadi ketika waktu istirahat. Selain itu, pada stroke hemoragik kesadaran menurun bahkan sampai koma, sedangkan stroke iskhemik, kesadaran tidak menurun (Hassmann, 2010).

D. DIAGNOSIS 1. Computerized tomography (CT)

Pemeriksaan paling penting untuk mendiagnosis subtipe stroke adalah Computerized tomography atau CT (dulu dikenal cumputerised axial tomography atau CAT) dan MRI pada kepala. Pemeriksaan dilakukan berdasarkan citra sinar X, pemindaian berlangsung selama 15-20 menit, tidak

8

nyeri dan menimbulkan radiasi minimal (kecuali bagi wanita hamil) (Feigin, 2006). Setiap citra individul memperlihatkan irisan melintang otak, mengungkapkan daerah abnormal yang ada didalamnya. Pada CT, pasien diberi sinar-X dalam dosis sangat rendah yang digunakan menembus kepala. Sinar-X yang digunakan serupa dengan pada pemeriksaan dada, tetapi dengan pajanan ke radiasi yang jauh lebih rendah (Feigin, 2006). Computerized

tomography

sangat

handal

untuk

mendeteksi

perdarahan intrakarnium, tetapi kurang peka untuk mendeteksi stroke iskemik ringan (Feigin, 2006).

2. Magnetic Resonance Imaging (MRI) Pemeriksaan berdasarkan citra

resonansi

magnet,

pemindaian

berlangsung selama 30 menit, pemeriksaan MRI aman, tidak invasive dan tidak nyeri. Alat ini tidak dapat digunakan jika terdapat alat pacu jantung atau benda logam lainya misalnya pecahan logam atau klip bedah tertentu di dalam tubuh. Selain itu, orang yang bertubuh besar mugkin tidak masuk ke dalam mesin MRI ini, MRI lebih sensitif dibandingkan dengan CT dalam mendeteksi stroke iskemik ringan bahkan pada stadium dini, namun kurang peka dibandingkan dengan CT dalam mendeteksi perdarahan intrakarnium ringan (Feigin, 2006).

3. Ultrasonografi dan MRA Pemindaian

arteri

karotis

dilakukan

dengan

ultrasonografi

(menggunakan gelombang suara untuk menciptakan citra) atau MRA (magnetic resonance angiography, suatu bentuk MRI). Pemindaian ini digunakan untuk mencari kemungkinan penyempitan arteri atau bekuan arteri utama (Feigin, 2006). Kedua prosedur ini aman, tidak meneimbulkan nyeri, dan relatif cepat sektar 20-30 menit untuk pemindaian ultrasonografi dan sedikit lebih lama untuk MRA. Magnetic resonance angiography khusunya bermanfaat untuk

9

mengidentifikasi aneurisma intrakanium dan malformasi pembuluh darah otak (Feigin, 2006).

4. Angiografi otak Angiografi otak merupakan suatu penyuntikan suatu bahan yang tampak dalam citra sinar X ke dalam arteri-arteri otak. Pemotretan dengan sinar-X kemudian dapat memperlihatkan pembuluhan-pembuluh darah di leher dan kepala. Bahan yang digunakan disebut ―bahan kontras‖, dan disuntikkan langsung ke dalam arteri karotis di leher atau melalui sebuah kateter (selang) yang sangat panjang yang dimasukkan ke pembuluh itu melalui arteri femoralis di lipatan paha. kedua prosedur ini dilakukan di bawah pembiusan total (Feigin, 2006). Angiografi otak menghasilkan gambar paling akurat mengenai arteri dan vena selama semua fase aliran darah otak dan digunakan untuk mencari penyempitan atau perubahan patologis lain, misalnya aneurisma atau malformasi vaskular. Namun, tindakan ini memiliki risiko, termasuk stroke atau kematian pada 1 dari setiap 200 orang yang diperiksa (Feigin, 2006).

5. Pungsi Lumbal (Spinal tap) Suatu pemeriksaan laboratorium yang kadang kala jika diagnosis stroke belum jelas. Cara ini juga kadang dilakukan jika alat CT tidak tersedia, untuk mendeteksi perdarahan subaraknoid. Prosedur memerlukan waktu sekitar 10-20 menit dan dilakukan pembiasan total. Dilakukan pengambilan sedikit sampel cairan serebrospinal (cairan yang merendam otak dan korda spinalis ) untuk pemeriksaan laboratorium (Feigin, 2006).

6. EKG Elektrokardiografi digunakan untuk mencari tanda-tanda kelainan irama jantung atau penyakit jantung sebagai kemungkinan penyebab stroke pasien. Sensor listrik yang peka, yang disebut elektrosa, diletakkan pada kulit di tempat-tempat tertentu. Elektroda-elektroda ini merekam perubahan siklis arus listrik alami tubuh yang terjadi sewaktu jantung berdenyut. Hasilnya

10

dianalisis oleh komputer dan diperlihatkan dalam sebuah grafik yang disebut elektrokardiogram (Feigin, 2006).

E. HASIL TERAPI YANG DIINGINKAN Hasil pengobatan stroke yang diinginkan : (1) Peningkatkan jumlah oksigen otak yang sangat diperlukan untuk perbaikan fungsi otak (2) Penurunan sumbatan atau plak, sehingga aliran darah & nutrisi ke otak berjalan baik (3) Suplai nutrisi yang dibutuhkan otak dan hantaran syaraf (4) Perbaikan profil lemak darah, sehingga mengurangi resiko stroke (5) Menambah energi dan sistem imun penderita (6) Untuk mereduksi kerusakan neurologis yang terjadi dan menurunkan mortalitas dan cacat jangka panjang (7) Mencegah komplikasi sekunder terhadap imobilitas atau pergerakan dan disfungsi neurologis (8) Mencegah kambuhnya stroke (Adams et,al., 2007; Khaja and Grotta, 2007; Goldstein, 2007). (9) Pencegahan utama stroke diperiksa di tempat lain (Goldstein et,al., 2006).

a.

Terapi Farmakologis  Ischemic Stroke Terapi farmakologi stroke iskemik dapat dilakukan dengan reperfusi dan neuroproteksi. Reperfusi yaitu mengembalikan aliran darah ke otak secara adekuat sehingga perfusi meningkat, obat-obat yang dapat diberikan antara lain : thrombolytic agent, inhibitor platelet dan antikoagulan (Junaidi, 2004). Penggunaan antiplatelet adalah untuk melancarkan aliran darah, menghindari terjadinya komplikasi, memelihara agar tekanan darah normal. Pemberian antiplatelet bertujuan untuk mencegah terbentuknya platelet jika suatu saat plak yang ada di pembuluh darah pecah dan mencegah terbentuknya platelet

langsung

di

dalam

darah

selain

dari

plak.

Memperbaiki aliran darah dengan mencegah terjadinya klot (penggumpalan

11

darah) kembali. Inhibitor platelet merupakan pilihan utama dalam penanganan stroke iskemik. Inhibitor platelet mencegah terbentuknya trombus karena penggumpalan trombosit darah. Beberapa contoh obat ini adalah asam asetil salisilat (asetosal) atau aspirin, tiklopidin, pentoksiflin, clopidogrel, kombinasi asetosal dengan dipiridamol, dan cilostazol. Antikoagulan digunakan untuk mencegah perluasan trombus yang menyebabkan bertambahnya defisit neurologik dan untuk mencegah kambuhnya episode gangguan serebrovaskular. Penggunaan trombolisis pada 3 jam pertama serangan diharapkan menunjukkan ‖excellent outcome‖ yaitu minimal disability dalam skala neurologi. 

Hemorrhagic Stroke Saat ini belum ada study yang jelas mengenai standar strategi

farmakologi untuk penanganan stroke hemoragik intracerebral hemorrhage (ICH). Penggunaan agen hemostatic (ex : faktor VII) pada tahap akut (<4 jam onset) diharapkan dapat mengurangi pergerakan hematoma, tetapi tidak menunjukkan peningkatan outcome terapeutik. Penanganan dapat dilakukan dengan mengatasi hipertensi pada pasien.

b. Terapi Non Farmakologis Kraniektomi adalah salah satu cara pembedahan untuk pengambilan penggumpalan darah pada kasus-kasus edema serebral iskemik, sehingga aliran darah kembali lancar. Dekompresi pembedahan pada infark serebelum bertujuan untuk memperlancar aliran darah kembali dengan memperbaiki lesi yang terbentuk pada serebelum karena infark serebelum terjadi akibat adanya hipoperfusi darah sehingga terjadi lesi. Endarterektomi adalah prosedur pembedahan yang menghilangkan plak dari lapisan arteri sehingga aliran darah ke otak tidak terhambat. Rehabilitasi awal meliputi pengaturan posisi, perawatan kulit, fisioterapi dada, fungsi menelan, fungsi berkemih dan gerakan psif pada semua sendi ekstremitas dilakukan agar fungsi anggota tubuh tetap berjalan normal.

12

Terapi neuroprotektif diharapkan meningkatkan ketahanan neuron yang iskemik dan sel-sel glia di sekitar inti iskemik dengan memperbaiki fungsi sel yang terganggu akibat oklusi dan reperfusi. Berdasarkan pada kaskade iskemik dan jendela waktu yang potensial untuk reversibilitas daerah penumbra maka berbagai terapi neuroprotektif telah dievaluasi pada binatang percobaan maupun pada manusia.

F. PENANGANAN FARMAKOLOGIS DAN NON FARMAKOLOGIS Penanganan untuk stroke terdiri atas terapi farmakologis dan non farmakologis. 1.

Terapi Farmakologi a. Ischemic Stroke The Stroke Council of the American Stroke Association telah membuat garis pedoman yang ditujukan untuk manajemen stroke iskemik akut. Secara umum, dua obat yang sangat direkomendasikan (grade A recommendation) adalah t-PA (tissue-Plasminogen Activator/Alteplase) intravena dalam onset 3 jam dan aspirin dalam onset 48 jam (DiPiro et al., 2008). Reperfusi (<3 jam dari onset) dengan t-PA intravena telah menunjukkan pengurangan cacat yang disebabkan oleh stroke iskemik. Harus diperhatikan apabila menggunakan terapi ini, dan mengikuti protokol penting untuk menghasilkan keluaran yang positif. Pentingnya protokol penanganan dapat dirangkum menjadi (1) aktivasi tim stroke, (2) permulaan gejala dalam 3 jam, (3) CT scan menandai letak pendarahan, (4) menentukan kriteria inklusi dan eksklusi, (5) memberikan t-PA 0.9 mg/kg selama 1 jam, dengan 10% diberikan sebagai bolus awal selama 1 menit, (6) menghindari terapi antitrombotik (antikoagulan atau antiplatelet) selama 24 jam, dan (7) memantau pasien dari segi respon dan pendarahan (DiPiro et al., 2008). Terapi aspirin terdahulu dapat mengurangi mortalitas jangka lama dan cacat, namun pemberian t-PA tidak pernah dilakukan dalam 24 jam karena dapat meningkatkan risiko pendarahan pada beberapa pasien. Garis pedoman The American Heart Association/American Stroke Association (AHA/ASA) mengenai seluruh farmakoterapi dalam pencegahan sekunder untuk stroke

13

iskemik dan diperbarui setiap 3 tahun. Hal ini sangat jelas bahwa terapi antiplatelet

merupakan landasan terapi antitrombotik untuk pencegahan

sekunder untuk

stroke

iskemik dan harus digunakan pada stroke

nonkardioembolik. Tiga obat yang kini digunakan, yaitu aspirin, clopidogrel, dan dipiridamole dengan pelepasan diperlambat disertai aspirin (ERDP-ASA), merupakan antiplatelet first-line yang disetujui oleh the American College of Chest Physicians (ACCP). Pada pasien dengan fibrilasi atrium dan emboli, warfarin merupakan antitrombotik pilihan pertama. Farmakoterapi lain yang direkomendasikan untuk stroke adalah penurun tekanan darah dan statin. Rekomendasi saat ini untuk penanganan stroke akut dan pencegahan sekunder dapat dilihat di tabel berikut (DiPiro et al., 2008).

Tabel Rekomendasi Penanganan Stroke Akut dan Pencegahan Sekunder

Penanganan akut

Rekomendasi

Bukti*

t-PA 0.9 mg/kg intravena

IA

(maksimum 90 kg) selama 1 jam pada pasien-pasien tertentu dalam onset 3 jam Aspirin 160 – 325 mg setiap

IA

hari dimulai dalam onset 48 jam Pencegahan sekunder Nonkardioembolik

Terapi antiplatelet

IA

Aspirin 50 – 325 mg

IIa A

Clopidogrel 75 mg setiap hari

IIb B

Aspirin 25 mg + dipiridamol

IIa A

dengan pelepasan diperlambat 200 mg dua kali sehari Kardioembolik (terutama

Warfarin (INR=2.5)

IA

Semua

Pengobatan antihipertensif

IA

Hipertensi terdahulu

ACE inhibitor + diuretic

IA

Normotensif terdahulu

ACE inhibitor + diuretic

IIa B

Dislipidemia

Statin

IA

Lipid normal

Statin

IIa B

fibrilasi atrium)

14

* Penggolongan kelas dan tingkatan bukti: I—bukti atau persetujuan umum yang berguna dan efektif; II—bukti yang masih diperdebatkan kegunaannya; IIa—bobot bukti dalam mendukung penanganan; IIb— kegunaan masih belum dibuktikan dengan baik; III—tidak berguna dan bahkan merugikan. Tingkatan bukti: A— uji klinik secara acak banyak; B—percobaan acak tunggal atau studi tanpa pengacakan; C—opini ahli atau studi kasus.

Alteplase (t-PA) Alteplase adalah enzim serin-protease dari sel endotel pembuluh yang dibentuk dengan teknik rekombinan DNA. Waktu paruhnya hanya 5 menit. Alteplase bekerja sebagai fibrinolitik dengan cara mengikat pada fibrin dan mengaktivasi

plasminogen

jaringan.

Plasmin

yang

terbentuk

kemudian

mendegradasi fibrin sehingga melarutkan trombus. Efektivitas intravena pada pengobatan stroke iskemik dipublikasikan pada tahun 1995 oleh National Institutes of Neurologic Disorders and Stroke (NINDS) pada uji Recombinant Tissue-Type Plasminogen Activator (rt-PA) Stroke, dari 624 pasien yang diobati dengan jumlah yang sama, baik t-PA 0.9 mg/kg IV atau plasebo dalam 3 jam pada permulaan gejala neurologik, 39% dari pasien yang diobati memperoleh ―keluaran yang sangat bagus‖ pada 3 bulan dibandingkan dengan 26% pasien plasebo. ―Keluaran yang sangat bagus‖ didefinisikan tidak terdapat kesalahan atau kesalahan minimal dengan beberapa skala neurologik yang berbeda (DiPiro et al., 2008).

Aspirin Penggunaan aspirin terdahulu untuk mengurangi kematian jangka panjang dan cacat akibat stroke iskemik didukung oleh dua uji klinis acak besar. Pada International Stroke Trial (IST), aspirin 300 mg/hari secara signifikan menurunkan kekambuhan stroke dalam 2 minggu pertama, menghasilkan penurunan signifikan kematian dan ketergantungan dalam 6 bulan. Pada Chinese Acute Stroke Trial (CAST), aspirin 160 mg/hari mengurangi risiko kambuh dan kematian dalam 28 hari pertama, namun kematian jangka panjang dan cacat tidak berbeda dengan placebo. Pada kedua pengujian, terdapat peningkatan kecil namun signifikan pada transformasi pendarahan dari infark. Untuk keseluruhan, efek

15

menguntungkan dari penggunaan aspirin telah diadopsi sebagai garis pedoman klinis (DiPiro et al., 2008).

Antiplatelet Semua pasien yang memiliki stroke iskemik akut akan menerima terapi antitrombosis jangka panjang untuk pencegahan sekunder. Pada pasien dengan stroke nonkardioembolik, akan terdapat beberapa bentuk terapi antiplatelet. Aspirin menunjukkan hasil studi yang paling baik, dan menjadi obat pilihan utama. Akan tetapi, literatur yang telah dipublikasikan mendukung penggunaan clopidogrel dan produk kombinasi sebagai obat pilihan pertama pada pencegahan stroke sekunder (DiPiro et al., 2008). Efikasi clopidogrel sebagai antiplatelet pada gangguan atherothrombosis diperlihatkan dalam pengujian clopidogrel versus aspirin pada pasien dengan risiko kejadian iskemik (CAPRIE). Dalam studi ini lebih dari 19,000 pasien dengan riwayat infark myokard, stroke, atau penyakit arteri perifer, clopidogrel 75 mg/hari dibandingkan dengan aspirin 325 mg/hari dalam kemampuannya menurunkan infark myokard, stroke, atau kematian kardiovaskular. Pada analisis akhir, clopidogrel lebih efektif (8% relative risk reduction [RRR]) daripada aspirin (P = 0.043) dan memiliki kemiripan efek samping. Pada European Stroke Prevention Study 2 (ESPS-2), aspirin 25 mg dan dipyridamole dengan pelepasan diperpanjang (ERDP) 200 mg dua kali sehari dibandingkan sendiri-sendiri dan dalam kombinasi dengan plasebo untuk kemampuan mereka dalam menurunkan stroke kambuhan selama 2 tahun. Dalam jumlah lebih dari 6,600 pasien, ketiga kelompok perlakuan menunjukkan plasebo—aspirin, 18% RRR; ERDP, 16% RRR; dan kombinasi, 37% RRR. Kombinasi aspirin 25 mg dan ERDP 200 mg dua kali sehari merupakan pengobatan yang sangat efektif untuk mencegah kekambuhan pada pasien stroke. Kombinasi dipiridamole (83% pelepasen diperpanjang) dan aspirin (30–325 mg sehari) lebih efektif daripada aspirin saja dalam menurunkan stroke kambuhan (DiPiro et al., 2008).

16

Warfarin Warfarin merupakan pengobatan paling efektif untuk pencegahan stroke pada pasien dengan fibrilasi atrium. Dalam European Atrial Fibrillation Trial (EAFT), 669 pasien dengan fibrilasi atrium nonvalvular (NVAF) dan stroke diberi perlakuan acak terhadap warfarin (international normalized ratio [INR] = 2.5–4), aspirin 300 mg/day, or placebo. Pasien di kelompok plasebo mengidap stroke, infark myokard, atau kematian vaskular sebesar 17% per tahun dibandingkan dengan 8% per tahun untuk kelompok warfarin dan 15% per tahun untuk kelompok aspirin. Hal ini mewakili 53% penurunan risiko dengan antikoagulan (DiPiro et al., 2008).

Blood Pressure Lowering Kenaikan tekanan darah sudah umum terjadi pada stroke iskemik, dan pengobatan hipertensi pada pasien tersebut berhubungan dengan penurunan risiko stroke kambuhan. Populasi stroke multinasional (40% orang Asia) diberi perlakuan secara acak, yaitu penurun tekanan darah dengan angiotensinconverting enzyme (ACE) inhibitor perindopril (dengan atau tanpa indaimid diuretik tiazida) atau plasebo. Pasien yang diobati menunjukkan penurunan tekanan darah, 9 poin sistolik dan 4 poin diastolik mm Hg, dan ini berhubungan dengan penurunan stroke kambuhan 28%. Pasien yang diberi obat kombinasi, rata-rata penurunan tekanan darah adalah 12 sistolik dan 5 diastolik mm Hg sehingga terjadi penurunan stroke kambuhan yang lebih besar (43%). Pasien dengan atau tanpa hipertensi direkomendasikan menggunakan ACE inhibitor dan diuretik untuk penurunan tekanan darah pasien stroke. Periode penurun tekanan darah untuk stroke akut (7 hari pertama) menghasilkan penurunan aliran darah otak dan memperparah gejala; oleh karena itu, rekomendasi terbatas pada pasien di luar stroke akut (DiPiro et al., 2008).

Statin Golongan statin dapat menurunkan risiko stroke sebesar 30% pada pasien dengan

penyakit

jantung

koroner

dan

dislipidimia.

Stroke

iskemik

direkomendasikan menjadi ―ekuivalen‖ koroner dan menggunakan obat golongan

17

statin untuk memperoleh konsentrasi low density lipoprotein (LDL) kurang dari 100 mg/dL (DiPiro et al., 2008). Terdapat bukti bahwa simvastatin 40 mg/hari mengurangi risiko stroke pada individu berisiko tinggi (termasuk pasien dengan stroke awal) sebesar 25% (P < 0.0001) meskipun pada pasien dengan konsentrasi LDL kurang dari 116 mg/dL. Terapi statin merupakan cara efektif untuk mengurangi risiko stroke dan dijalani pada semua pasien stroke iskemik (DiPiro et al., 2008).

Heparin untuk Profilaksis dari Deep-Vein Thrombosis (DVT) Penggunaan heparin dengan bobot molekul rendah atau heparin subkutan dosis rendah (5,000 unit dua kali sehari) dapat direkomendasikan untuk mencegah DVT pada pasien rumah sakit dengan menurunkan mobilitas akibat stroke dan digunakan pada semua namun paling banyak stroke minor (DiPiro et al., 2008).

Aspirin Plus Clopidogrel Clopidogrel dalam kombinasi dengan aspirin 75 mg setiap hari tidak lebih baik daripada clopidogrel sendiri pada pencegahan stroke sekunder. Akan tetapi, kombinasi ini telah dipelajari pada pasien dengan sindrom koroner akut dan pasien yang menjalani intervensi koroner perkutan dan menunjukkan lebih efektif secara signifikan dibanding aspirin sendiri dalam menurunkan infark myokard, stroke, dan kematian kardiovaskular. Ketika clopidogrel digunakan dengan aspirin, risiko pendarahan meningjkat dari 1.3% menjadi 2.6%. Kombinasi tersebut ditemukan juga meningkatkan pendarahan serius pada populasi atherosklerosis berisiko tinggi dibandingkan dengan penggunaan aspirin saja. Kombinasi ini hanya direkomendasikan pada pasien dengan riwayat infark myokard atau coronary stent placement dan hanya menggunakan aspirin dosis rendah untuk meminimalkan risiko pendarahan (DiPiro et al., 2008).

18

Penghambat Reseptor Angiotensin II Pengahambat reseptor Angiotensin II dapat mengurangi risiko stroke. Losartan dan metoprolol dibandingkan kmampuannya untuk menurunkan tekanan darah dan mencegah penyakit kardiovaskular pada kelompok pasien hipertensi. Penurunan tekanan darah mirip, yaitu mendekati 30/16 mm Hg, kelompok losartan mengurangi risiko stroke sebesar 24%. Penghambat reseptor Angiotensin II digunakan pada pasien yang tidak dapat menoleransi ACE inhibitor untuk efek penurunan tekanan darah setelah stroke iskemik akut (DiPiro et al., 2008). Hemorrhagic Stroke Tidak terdapat standar strategi pengobatan untuk pendarahan intraserebral (ICH). Penggunaan obat hemostatik (misal, faktor VII) pada fase hiperakut (<4 jam dari onset) dapat mengurangi pertumbuhan hematoma. Garis pedoman medis untuk manajemen tekanan darah, tekanan intrakranial meningkat, dan komplikasi medis lain untuk ICH dibutuhkan untuk manajemen pasien akut lain di unit perawatan neurointensif (DiPiro et al., 2008). Pendarahan subarachnoid (SAH) akibat rupture aneurism berhubungan dengan insiden tinggi iskemia otak tertunda (DCI) dalam 2 minggu mengikuti periode pendarahan. Vasospasm dari vaskulatur otak bertanggung jawab untuk DCI dan terjadi antara 4 dan 21 hari setelah pendarahan, pucak pada hari 5 hingga 9. Penghambat kanal kalsium nimodipin direkomendasikan untuk mengurangi insiden dan keparahan dari defisit neurologik akibat DCI. Nimodipin pada dosis 60 mg setiap 4 jam harus diawali dengan diagnosis dan dilanjutkan selama 21 hari pada semua pasien. Pemberian terapi nimodipin dibingungkan dengan insiden hipotensi yang cukup tinggi. Hal ini bisa ditata dengan pengurangan interval dosis hingga 30 mg setiap 2 jam (dosis harian sama), pengurangan dosis harian total (30 mg setiap 4 hours), serta menjaga volume intravascular (DiPiro et al., 2008).

2.

Terapi Non Farmakologis a. Ischemic Stroke Intervensi pembedahan pada pasien stroke iskemik akut bersifat terbatas. Pada kasus-kasus edema serebral iskemik tertentu yang menunjukkan infark yang besar, kraniektomi untuk memunculkan peningkatan tekanan telah

19

diuji. Beberapa kasus lain, seperti infark serebelum, dekompresi pembedahan dapat menyelamatkan pasien. Selain intervensi pembedahan, pendekatan multidisipliner untuk penanganan stroke seperti rehabilitasi sangat efektif dalam mengurangi stroke iskemik. Pada kenyataannya, penggunaan ―unit stroke‖ telah berhasil menyamai keluaran trombolisis ketika dibandingkan dengan penanganan biasa (DiPiro et al., 2008). Dalam pencegahan sekunder, endarterektomi karotid pada arteri karotid stenosis dan/atau ulser merupakan cara yang sangat efektif untuk mengurangi insiden stroke dan kambuhan pada pasien yang tepat. Sebenarnya, pada pasien stroke iskemik dengan arteri karotid stenosis 70% hingga 99%, stroke kambuhan dapat dikurangi hingga 48% ketika dikombinasikan dengan aspirin 325 mg setiap hari dibandingkan dengan terapi medis tunggal. Pada pasien yang berpikir bahwa risiko endarterektomi sangat tinggi, carotid stenting menjadi lebih efektif dalam penurunan risiko stroke, namun sedikit invasif (menyakitkan/mengganggu) (DiPiro et al., 2008).

b. Hemorrhagic Stroke Pada pasien dengan pendarahan subarachnoid yang menunjukkan rupture aneurism intrakranial, intervensi pembedahan dapat mengurangi mortalitas.

Pada kasus

pendarahan intraserebral

primer,

keuntungan

pembedahan tidak terdokumentasi dengan baik. Meskipun banyak pasien yang menjalani operasi bedah hematoma intraserebral, belum ada studi yang cukup mengenai uji klinis. Pedoman telah ditegakkan untuk menggunakan intervensi pembedahan dalam penanganan pendarahan intraserebral, namun masih terdapat kekurangan data uji klinis yang mendukung (DiPiro et al., 2008).

20

G. EVALUASI HASIL TERAPI Pasien dengan stroke akut harus dimonitor secara intens untuk perkembangan neurologis yang memburuk (kambuh atau berkepanjangan), komplikasi (infeksi atau tromboembolisme), dan efek samping dari perawatan (intervensi terapi farmakologis dan non-farmakologis). Alasan paling banyak pada memburuknya keadaan klinik pasien stroke adalah (Dipiro et al., 2008): 1.

Perpanjangan lesi semula dalam otak (iskemik maupun hemoragik);

2.

Perkembangan edema serebral dan meningkatkan tekanan intracranial;

3.

Hipertensi darurat;

4.

Infeksi (paling banyak pada saluran kemih dan pernafasan);

5.

Tromboembolisme vena (trombosis vena dalam dan emboli paru);

6.

Abnormalitas/kelainan elektrolit dan gangguan ritme/irama (dapat dikaitkan dengan cedera otak); dan

7.

Stroke berulang Pendekatan untuk pemantauan pasien stroke diringkas dalam tabel di

bawah ini: Pemantauan Pasien Stroke Akut Rawat Inap Perawatan

Parameter

Frekuensi  Setiap 15 menit x 1 jam

TD, Alteplase

fungsi

 Setiap 0,5 jam x 0,6 jam

neurologis,

 Setiap 1 jam x 17 jam

pendarahan

 Setiap

setelah

pergantian

(shift) Stroke iskemik

Aspirin

Pendarahan

Harian

Clopidogrel

Pendarahan

Harian

ERDP/ASA

Sakit

kepala,

pendarahan

Harian  INR harian x 3 hari

Warfarin

Pendarahan, INR, Hb/Hct TD,

Stroke hemoragik

Nimodipin (untuk SAH)

 INR mingguan hingga stabil  INR bulanan

fungsi

neurologis,

Setiap 2 jam dalam ICU

ICP TD,

fungsi

neurologis,

Setiap 2 jam dalam ICU

21

status cairan Temperatur,

 Temperatur, setiap 8 jam

CBC

 CBC, harian

Nyeri

(betis

atau dada) Elektrolit dan

All patients

ECG Heparins untuk

Pendarahan,

profilaksis

trombosit

DVT

Setiap 8 jam

Up to daily  Pendarahan, harian  Trombosit, jika dimungkinkan terdapat trombositopenia

Keterangan:  TD, tekanan darah;  CBC (complete blood count), keseluruhan darah yang terhitung;  DVT (deep vein thrombosis), thrombosis vena dalam;  ECG, elektrokardiogram;  ERDP/ASA, extended-release dipyridamole plus aspirin;  Hb, hemoglobin;  Hct, hematokrit;  ICP (intracranial pressure), tekanan intrakranial;  ICU, intensive care unit;  INR, international normalized ratio;  SAH, subarachnoid hemorrhage (Wells et al., 2009). Pemilihan rencana pengobatan harus dibuat untuk masing-masing pasien berdasarkan komorbiditas dan penyakit yang dideritanya.

H. CONTOH KASUS DAN SOLUSI Seorang wanita berusia 55 tahun mengeluh mengalami serangan kecanggungan atau kelemahan pada tangan kanannya, yang dimulai sejak sebulan sebelumnya. Pada awalnya, setiap episode berlangsung beberapa detik dan kemudian hilang sama sekali, biasanya secara spontan, tetapi kadang-kadang setelah ia menggosok tangannya. Ia adalah perokok, tetapi secara umum sehatsehat saja. Ia beranggapan bahwa serangan ini disebabkan oleh kerja terlalu keras dan kelelahan, dan awalnya tidak pergi berobat. Namun, ia mengamati bahwa

22

serangan tersebut mulai bertambah lama, dan serangan yang terakhir menimbulkan keluhan yang tidak hilang hingga dua hari. Pemeriksaan klinis memastikan bahwa wanita tersebut menderita stroke iskemik ringan di sirkulasi arteri serebrum kiri akibat penyempitan (stenosis) arteri karotis kiri di lehernya (Feigin, 2006).

Subjektif Pasien mengalami kecanggungan atau kelemahan pada tangan kanannya.

Objektif Pemeriksaan klinis

Assesment Pasien menderita stroke iskemik ringan di sirkulasi arteri serebrum kiri akibat penyempitan (stenosis) arteri karotis kiri di lehernya.

Plan 1. Tujuan Terapi : Meringankan gejala dan menyembuhkan penyakit 2. Terapi : 

Terapi Farmakologi : Antitrombolitik (antikoagulan atau antiplatelet) paling aman adalah aspirin (antiplatelet) karena terbukti aman. Aspirin 150-300 mg/day selanjutnya 75mg/day. Untuk yang mungkin menelan ada sediaan rectal 300mg/day.



Terapi Non Farmakologi : dikompres dengan air panas

3. KIE : berhenti merokok, terapi gerak tangan (latihan menulis atau menggambar), tidak boleh mengangkat berat-berat, tidak boleh kedinginan, posis tidur jangan memberatkan pada tangan kanan. 4. DRP’S : -

23

DAFTAR PUSTAKA

Adams H.P Jr, del Zoppo G, Alberts M.J, et al. 2007. Guidelines for the early managment of adults with ischemic stroke. A guideline from the American Heart Association ;38:1655–1711. Christopher G. 2007. Cerebrovascular Diseases. In : Goetz: Textbook of Clinical Neurology. 3rd Edition. Philadelphia : Saunders. Chung, Chin-Sang. 1999. Neurovascular Disorder in Textbook of Clinical Neurology editor Christopher G. Goetz. W.B. New York : Saunders Company. p 10-3. DiPiro, J.T., R.L. Talbert, G.C. Yee, G.R. Matzke, B.G. Wells, and L.M. Posey. 2008. Pharmacotherapy: A Pathophysiologic Approach. Seventh Edition. McGraw-Hill Companies. New York. p. 376 – 379. Feigin, V. 2004. Stroke. Jakarta : Bhuana Ilmu Populer. Goldstein LB, Adams R, Alberts MJ, et al. 2006. Primary prevention of ischemic stroke. A Guideline from the American Heart Association/American Stroke Association Stroke Council ;37:1583–1633. Goldstein LB. 2007. Acute ischemic stroke treatment in 2007. Circulation 2007;116:1504–1514. Harsono. 1996. Buku Ajar : Neurologi Klinis. Yogyakarta : Gajah Mada. 67. Hassmann,

K.A.

2010.

Ischemic

Stroke.

http://emedicine.medscape.com/article/793904-overview

Available

at

[Diakses

16

September 2011]. Junaidi, I., 2004, Panduan Praktis Pencegahan dan Pengobatan Stroke. Jakarta : PT Bhuana Ilmu Populer Kelompok Gramedia. Khaja AM, Grotta JC. 2007. Established treatments for acute ischemic stroke. Lancet 2007;369:319–330. Rumantir C.U. Gangguan Peredaran Darah Otak. Pekanbaru : SMF Saraf RSUD Arifin. Sukandar, E.Y.,R. Andrajati, J.I. Sigit, I.K.Adnyana, dan A.A.P.Setiadi. 2008. ISO Farmakoterapi. Jakarta : ISFI Penerbitan.

24

Wells, B. G., Dipiro, J. T., Schwinghammer, T. L., Dipiro, C. V. 2009. Pharmacotherapy Handbook. Edisi ke 7. New York: The McGraw-Hill Companies, Inc.

25

Related Documents

Farmakoterapi Stroke
February 2021 2
Farmakoterapi Geriatri
January 2021 1
Wind Stroke
February 2021 6
Stroke Hemoragik
March 2021 0
Farmakologi Stroke
February 2021 1

More Documents from "Dewi Rafika Sasmanto"

Farmakoterapi Stroke
February 2021 2
Pln
January 2021 3
Trauma Kapitis
February 2021 3
Vidyah
January 2021 10