Hukum Kepailitan

  • Uploaded by: Hazrat Sibghotullah Mujaddidi
  • 0
  • 0
  • March 2021
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Hukum Kepailitan as PDF for free.

More details

  • Words: 78,266
  • Pages: 329
Loading documents preview...
HUKUM KEPAILITAN

di Indonesia

Dr.Tami Rusli, S.H., M.Hum.

Hak cipta pada penulis Hak penerbitan pada penerbit Tidak boleh diproduksi sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun Tanpa izin tertulis dari pengarang dan/atau penerbit Kutipan Pasal 72 : Sanksi pelanggaran Undang-undang Hak Cipta (UU No. 10 Tahun 2012) 1. Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal (49) ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masingmasing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp. 1. 000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan atau denda paling banyak Rp. 5. 000.000.000,00 (lima miliar rupiah) 2. Barang siapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu Ciptaan atau hasil barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana dimaksud ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)

HUKUM KEPAILITAN

di Indonesia

Dr.Tami Rusli, S.H., M.Hum.

Perpustakaan Nasional RI: Katalog Dalam Terbitan (KDT) Hukum Kepailitan di Indonesia Penulis: Dr.Tami Rusli, S.H., M.Hum. Desain Cover & Layout Tim UBL Kreatif Penerbit Universitas Bandar Lampung (UBL) Press Jl. Zainal Abidin Pagar Alam No.26, Labuhan Ratu, Kedaton, Kota Bandar Lampung, Lampung 35142 xii + 317 hal : 15,5 x 23 cm Cetakan Juli 2019 ISBN: 978-602-60638-9-2 Hak Cipta dilindungi Undang-undang

Selamat ucapan yang pantas saya sampaikan atas terbitnya buku karya saudara Dr. Tami Rusli, SH., M.Hum. Buku ini diperlukan bagi mahasiswa hukum yang ingin mempelajari dan mengkaji kegiatan perusahaan terutama yang berkaitan dengan kepailitan dari segi hukum. Hukum Kepailitan ini merupakan materi yang ada dalam mata kuliah hukum dagang yang terdapat dalam kurikulum program studi ilmu hukum yang harus ditempuh mahasiswa fakultas hukum. Sambutan yang sangat baik dalam penerbitan buku ini yang semula merupakan buah pikiran sebagai pengembangan konsep bahan ajar dari penulis yang dikembangan dengan melakukan penelitian untuk menyesuaikan data yang valit. Dengan ketekunan dan kemauan yang keras akhirnya penulis dapat mewujudkannya dalam bentuk buku. Pemberian judul Hukum Kepailitan di Indonesia tentunya telah penulis sesuaikan dengan tujuan sebagai sumbangan ilmu pengetahuan kepada masyarakat luas, dan gunanya tentu untuk melengkapi kepustakaan bidang hukum kepailitan. Semoga karya ini merupakan karya yang berkelanjutan yang berguna bagi kemajuan ilmu hukum, untuk memberikan cakrawala pandang, terutama bagi mahasiswa, para praktisi, akademisi dan pelaku usaha pada umumnya. Bandar Lampung, Juni 2019 Dr. Erlina B, S.H., M.H.

Hukum Kepailitan di Indonesia

v

Buku “Hukum Kepailitan di Indonesia” ini merupakan upaya penulis untuk menambah referensi ilmu hukum yang berkembang saat ini khususnya yang berkaitan dengan kegiatan perusahaan. Hukum Kepailitan memberikan pengertian mengenai bagaimana debitur yang tidak dapat memenuhi kewajibannya kepada kreditur dapat dinyatakan pailit. Di negara kita, pengaturan mengenai kepailitan ini sudah lama ada yaitu dengan berlakunya Faillisements Verordering yang diundangkan dalam Staatsblad yahun 1905 Nomor 217 juncto Staatsblad tahun 1906 Nomor 308. Namun karena permasalahan ini kurang populer, saat itu jarang sekali kita dengar kasus kepailitan muncul ke permukaan. Hukum kepailitan biasanya diletakkan pada akhir dari susunan materi besar hukum dagang dan mahasiswa hanya sekedarnya saja mempelajari materi kepailitan sendiri, prinsip seperti ini tidaklah salah karena pengajaran di perguruan tinggi bersifat mandiri. Tugas dosen hanyalah mengantarkan mahasiswa membangun cara berpikir ilmiah dan membuka jalan bagi penyelidikan lanjutannya Karena itu, diharapkan buku ini akan bermanfaat, baik bagi mereka yang bergerak dibidang akademis, seperti dosen, mahasiswa, peneliti di bidang hukum dan ekonomi, dan mereka yang bergerak sebagai pelaku usaha. Bahkan buku ini dapat dibaca bagi siapa saja yang berminat di bidang hukum dan ekonomi (khususnya bidang kepailitan), dengan membaca buku ini para pembaca yang budiman akan sampai pada pemahaman yang komprehensif tentang pemanfaatan pranata kepailitan. Dalam kesempatan ini, penulis menghaturkan terima kasih yang tidak terhingga kepada istri tercinta Linda Fanheti, SE., MM. vi

Hukum Kepailitan di Indonesia

Serta anak-anakku tersayang: Tandaditya Ariefandra Airlangga, S.P., M.P., Muhammad Farizky, Amd (ak) dan Putri Abistha, atas segala pengorbanan yang telah diberikan selama dalam penulisan ini. Akhir kata penulis sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu terwujudnya penerbitan buku ini, semoga Allah SWT membalas segala kebaikannya, Amiin.

Bandar lampung, Juni 2019

Dr.Tami Rusli, S.H., M.Hum.

Hukum Kepailitan di Indonesia

vii

KATA SAMBUTAN .................................................................................

V

KATA PENGANTAR ...............................................................................

VI

DAFTAR ISI.............................................................................................. VIII BAB I. KEPAILITAN DI INDONESIA ............................................. 1. Pendahuluan ......................................................................... 2. Sejarah Kepailitan ................................................................ 3. Dasar Hukum Kepailitan..................................................... 4. Pengertian Kepailit Dan PKPU .......................................... 5. Asas-Asas Hukum Kepailitan ............................................. 6. Tujuan Kepailitan ................................................................. 7. Prinsip-Prinsip Kepailitan ..................................................

1 1 6 8 16 30 40 41

BAB II. PROSES KEPAILITAN SECARA HUKUM ........................ 1. Syarat-Syarat Kepailitan ...................................................... 2. Prosedur kepailitan ............................................................... 3. Status Harta Debitur Pailit .................................................. 4. Penghapusan Harta Pailit .................................................... 5. Upaya Hukum Kepailitan ..................................................... 6. Perdamaian Dalam Kepailitan ............................................ 7. Akibat Yuridis Kepailitan ......................................................

47 47 53 59 61 63 67 81

BAB III. HAK-HAK KREDITUR KEPAILITAN DALAM PRAKTIK PERADILAN ......................................................... 1. Pengadilan Niaga dan Kewenangan ................................ 2. Kepailitan Debitur Dalam Praktik Peradilan ................. 3. Kepailitan Debitur .............................................................. a. Kepailitan Debitur Perorangan.................................... viii Hukum Kepailitan di Indonesia

100 100 104 115 119

4. 5. 6. 7. 8.

b. Kepailitan Debitur Korporasi...................................... c. Kepailitan Debitur Penjamin ....................................... d. Kepailitan Debitur Yang Telah meninggal Dunia ................................................................................ Kedudukan Kreditur Dalam Kepailitan Debitur ........... Hak Kreditur Dalam Kepailitan ........................................ Hak Kreditur Separatis Dalam Kepailitan ..................... Permohonan Pernyataan Pailit Oleh Kreditur Konkuren .............................................................................. Hak Kreditur Konkuren Dalam Kepailitan Debitur .....

122 125 127 129 137 146 151 158

BAB IV. LEMBAGA HUKUM DALAM PENYELESAIAN SENGKETA BISNIS ............................................................... 1. Pengertian dan Perkembangan Hukum Bisnis ............. a. Pengertian Hukum Bisnis ............................................. b. Karakteristik Sengketa Bisnis ...................................... c. Ruang Lingkup Sengketa Bisnis .................................. 2. Lembaga Hukum Dalam Penyelesaian Sengketa Bisnis ...................................................................................... 3. Penyelesaian Sengketa Bisnis Melalui Pengadilan Niaga ...................................................................................... 4. Kompetensi Pengadilan Niaga Dalam Perkara Kepailitan ..............................................................................

171 171 171 175 176

201

BAB V. JAMINAN DALAM KEPAILITAN ........................................ 1. Pengertian Penjamin .......................................................... 2. Tujuan Jaminan Dalam Kepailitan .................................... 3. Bentuk-Bentuk Jaminan ..................................................... 4. Pihak-Pihak Yang Terkait Dalam Jaminan......................

204 204 205 206 209

179 197

BAB VI. KEDUDUKAN KURATOR PADA PERUSAHAAN PAILIT ....................................................................................... 1. Kedudukan kurator Dalam Kepailitan ............................ a. Syarat-Syarat Menjadi Kurator .................................. b. Imbalan Jasa Kurator ...................................................

213 213 214 217

Hukum Kepailitan di Indonesia

ix

2. Fungsi Kurator Dalam kepailitan Perusahaan .............. 3. Tanggung Jawab Kurator Dalam Pengurusan Dan Pemberesan Harta Pailit ................................................... a. Tanggung Jawab Kreditur Dalam Kepailitan Sebagai Kurator ............................................................ b. Tanggung Jawab Kreditur Dalam Kepailitan Sebagai Pribadi .............................................................. c. Tanggung Jawab Kreditur Terhadap Harta Pailit dan Penerapan Actio Paulina ....................................... 4. Tugas Kurator Dalam Pengurusan dan Pemberesan Harta Pailit ........................................................................... a. Tahap Administrasi ....................................................... b. Tahap Penyelesaian ...................................................... 5. Masa Tugas Kurator ............................................................ 6. Fungsi Kurator Dalam Perdamaian ..................................

219 220 221 222 223 225 226 228 229 236

BAB VII. PROSES PEMBERESAN HARTA PAILIT ....................... 1. Kewenangan Hakim Pengawas Dalam Proses

238

Pemberesan Harta Pailit ..................................................... Kewenangan Kurator Dalam Proses Pemberesan Harta Pailit ........................................................................... Kepailitan Untuk Menyelesaikan Hutang Debitur....... Penyelesaian Sengketa Pailit ............................................ Dinamika Penyelesaian Sengketa.................................... PKPU Sebagai Upaya Preventif Kepailitan Perseroan Terbatas ............................................................

238

2. 3. 4. 5. 6.

244 250 252 268 273

BAB VIII. PENYELESAIAN SENGKETA BISNIS DIBEBERAPA NEGARA ................................................................................ 282 1. Pendahuluan .................................................................. 282 a. Negara Belarus.......................................................... 283 b. Negara Lithuania...................................................... 285 c. Negara Amarika Serikat .......................................... 287 d. Negara Malaysia ....................................................... 288 e. Negara Singapura..................................................... 289 f. Negara Korea Selatan .............................................. 291 g. Negara Perancis ....................................................... 293 x

Hukum Kepailitan di Indonesia

INDEKS .....................................................................................................

294

DAFTAR KEPUSTAKAAN ....................................................................

298

GLOSARIUM ...........................................................................................

307

DAFTAR SINGKATAN .........................................................................

315

Hukum Kepailitan di Indonesia

xi

xii Hukum Kepailitan di Indonesia

1. Pendahuluan Kehadiran hukum kepailitan di Indonesia berawal dengan diberlakukannya Faillissement Verordening Stbl. Tahun 1905 Nomor 217 jo. Stbl. Tahun 1906 Nomor 348 oleh Pemerintahan Kolonial Belanda di Indonesia yang pada waktu itu disebut dengan Hindia Belanda, pemberlakuan Faillissement Verordening (selanjutnya disingkat Fv) berdasarkan asas konkordansi sesuai dengan politik hukum kolonial pada waktu itu dengan memperluas berlakunya hukum Belanda di tanah jajahan dikenal dengan eenheidsbeginsel.1 Pada awalnya pemberlakuan Fv ditujukan kepada golongan Eropa dan golongan Timur Asing dan bagi orang-orang yang menundukkan diri pada hukum tersebut. Pesatnya perkembangan ekonomi di Hindia Belanda yang di dominasi oleh golongan Eropa, pemerintah Hindia Belanda merasa perlu untuk memberlakukan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Belanda untuk memberikan perlindungan hukum dan memberikan kepastian hukum bagi golongan Eropa tersebut. Pemberlakuan Fv sebagai sumber hukum positif pada saat itu tidak dirasakan manfaat keberadaan Fv bagi masyarakat dagang untuk menyelesaikan masalah kepailitan, pemberlakuan Fv dengan asas konkordansi menjadikan hukum kepailitan tersebut tetap sebagai hukum Belanda dan melindungi dan berlaku untuk kalangan penjajah dan kolega-kolega dagangnya. Masyarakat pribumi tidak merasakan manfaat pemberlakuan Fv tersebut. 1

Soetandyo Wignjosoebroto dalam Sunarmi,Prinsip Keseimbangan Dalam Hukum Kepailitan di Indonesia, Edisi 2, Softmedia, Jakarta, 2010, hlm. 3.

Hukum Kepailitan di Indonesia

1

Fv mempunyai banyak kelemahan diantaranya Fv tidak mempunyai batasan waktu kapan dan berapa lama proses kepailitan tersebut berjalan di pengadilan. Fv hanya ditujukan untuk menyelesaikan masalah utang yang ditujukan kepada kegiatan perdagangan dengan skala yang kecil dan menengah, sesuai dengan perkembangan dunia perdagangan saat itu, Fv disimpulkan menimbulkan ketidak pastian hukum dan tidak transparan, sehingga perlu penerapan asas hukum sesuai dengan perkembangan ekonomi saat ini, pada saat pemberlakuan Fv skala perdagangan bersifat lokal dan nasional dengan pelaku dagang yang pada saat ini bisa disebut dengan Usaha Kecil dan Menengah.2 Mohammad Hatta menggambarkan struktur sosial pada zaman kolonial Belanda sebagai berikut : 1. Golongan atas kaum kulit putih terutama Belanda menguasai cabang-cabang produksi skala besar seperti perkebunan, pertambangan, industri perkapalan dan transportasi, ekspor, impor, bank dan asuransi. 2. Golongan menengah kira-kira 90% (sembilan puluh persen) menguasai cabang-cabang kegiatan perdagangan yang menghubungkan golongan atas dengan golongan bawah berada ditangan orang China dan Asia lainnya, hanya 10 (sepuluh persen) di tangan pribumi. 3. Golongan bawah, penduduk yang hidup dari kegiatankegiatan ekonomi skala kecil adalah penduduk pribumi, mereka hidup dari kegiatan pertanian kecil, pertukangan kecil, perdagangan kecil dan kegiatan lain yang serba kecil, pekerja dalam skala kecil seperti kuli, pegawai kecil.3 Sesuai dengan perjalanan waktu dan perkembangan ekonomi keadaan demikian sudah tidak sesuai lagi, setelah Indonesia merdeka perlu adanya pembaruan dan penyesuaian norma-norma, kaidah-kaidah dan peraturan perundang-undangan yang dapat memenuhi tuntutan zaman, pertumbuhan dan perkembangan 2

Sunarmi,Prinsip Keseimbangan Dalam Hukum Kepailitan di Indonesia, Edisi 2, Softmedia, Jakarta, 2010, hlm. 6-7. 3 Sirtua Arif dalam Sunarmi,Ibid. hlm.39

2

Hukum Kepailitan di Indonesia

ekonomi yang semakin pesat dan berkembang, kegiatan ekonomi tidak hanya bersifat sederhana, lokal dan nasional, kegiatan ekonomi telah melibatkan perusahaan besar (Holding Compay) dengan skala kegiatan internasional, sehingga timbul desakan dari masyarakat bisnis internasional termasuk lembaga-lembaga internasional untuk melakukan perubahan dan pembaruan di bidang hukum ekonomi.4 William E Holder menyebutkan : With the technical assistence of the IMF legal departement, The Indonesian governement undertook an intensive review of the law, with a view to its modernisation. Several import features were immediately apparent, first Indonesias’s bankruptcy legislation, promulgated as an ordinance in 1906 along the lines of the Dutch model, had essentially been left on the shelf.5 Keadaan demikian yang mendorong dan melatar belakangi agar kegiatan legislasi hukum di bidang ekonomi khususnya pembaruan Fv perlu dan sangat mendesak untuk dilakukan, Pemberlakuan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (selanjutnya disebut Perpu) Nomor 1 Tahun 1998, dengan tujuan akan membantu mengatasi keadaan ekonomi yang tidak menguntungkan dan menyempurnakan kekurangan yang ada pada Fv. Perpu nomor 1 Tahun 1998 tersebut kemudian disahkan menjadi UU Nomor 4 Tahun 1998 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Membayar Utang, pembaruan tersebut meliputi : a. Penyempurnaan tentang syarat-syarat dan prosedur pengajuan permohonan kepailitan termasuk didalamnya pemberlakuan kerangka waktu penyelesaian dan penjatuhan putusan terhadap permohonan pailit tersebut. b. Penyempurnaan tentang ketentuan yang berkaitan dengan tindakan sementara yang diambil pihak-pihak yang berkaitan dengan kepailitan khusus tindakan terhadap harta kekayaan Debitor termohon pailit sebelum adanya putusan tentang pernyataan pailit. 4 5

Sunarmi,Ibid. hlm. 7 Sunarmi, Ibid. hlm. 9

Hukum Kepailitan di Indonesia

3

c. Peneguhan fungsi kurator dan penyempurnaan yang memungkinkan berfungsinya pemberian jasa-jasa tersebut di samping institusi yang selama ini dikenal, ketentuan tersebut antara lain mengatur tentang syarat-syarat untuk menjadi kurator dan kewenangannya. d. Pengaturan upaya hukum yang dapat diambil terhadap putusan pernyataan pailit yang dijatuhkan pengadilan dengan mengajukan upaya hukum kasasi ke Mahkamah Agung untuk mempersingkat waktu. e. Pengamanan kepentingan berbagai pihak yang terkait dengan kepailitan termasuk didalamnya penangguhan pelaksanaan baik terhadap kreditor pemegang hak tanggungan, gadai atau hak lainnya, juga pengaturan terhadap status hukum atas perikatan-perikatan tertentu yang telah dibuat Debitor sebelum adanya kepailitan. f. Penyempurnaan terhadap ketentuan Penundaan kewajiban Pembayaran Utang (PKPU). g. Penegasan untuk membentuk peradilan yang khusus memeriksa dan mengadili kasus-kasus kepailitan termasuk didalamnya tentang hakim-hakim yang bertugas secara khusus.6 Pemberlakuan UU Nomor 4 Tahun 1998 dirasakan masih belum memadai, Hikmahanto Juwana berpendapat bahwa hukum kepailitan sangat dominan melindungi kepentingan kreditor, hal tersebut dapat dilihat dari persyaratan untuk dinyatakan pailit yaitu adanya dua utang atau lebih, dan salah satunya telah jatuh tempo dan anehnya tidak satupun pasal yang mensyaratkan bahwa Debitor harus dalam keadaan tidak lagi mampu membayar (insolvent), keadaan ini bertentangan dengan filosofi universal dari kepailitan yaitu kepailitan terhadap Debitor dapat dikabulkan apabila Debitor sudah berada dalam keadaan tidak lagi mampu membayar utangnya.7 Ditegaskan bahwa deregulasi terhadap instrumen yang parsial hanya menyembuhkan sementara berbagai persoalan ekonomi yang ada. 6

Sunarmi,Ibid. hlm. 9 Sunarmi,Ibid, hlm.10

7

4

Hukum Kepailitan di Indonesia

UU Nomor 4 Tahun 1998 dinilai tidak mampu mengatasi kemacetan upaya-upaya penyelesaian utang perusahaan, pengadilan hanya digunakan untuk menghindari kewajiban membayar utang, Muladi Menteri Kehakiman saat itu menyebutkan bahwa UU Kepailitan bukan sebagai sarana untuk Write-off (penghapusan) utang luar negeri swasta nasional justru untuk menyelamatkan dunia bisnis agar dapat melanjutkan usahanya.8 Penggunaan hukum kepailitan merupakan upaya hukum yang terakhir yang dapat dilakukan apabila langkahlangkah sebelumnya gagal dilakukan yaitu langkah perdamaian, langkah restrukturisasi. Erman Radjaguguk, menyatakan bahwa pembaruan hukum mencakup pembaruan perundang-undangan, pembaruan aparatur hukum, pembaruan budaya hukum yang mendorong terciptanya supremasi hukum. Pembaruan Aparat Hukum harus diartikan aparatur yang paham hukum, mengerti kelebihan dan kekurangan produk hukum dan menyikapinya secara kritis setiap penyimpangan yang terjadi dalam pelaksanaan hukum dilapangan. 9

Penyempurnaan dari UU Nomor 4 tahun 1998 tersebut diundangkan UU Nomor 37 Tahun 2004 yang tidak banyak memberi perubahan terhadap sistem hukum kepailitan Indonesia, Politik hukum dari hukum kepailitan Indonesia masih melindungi kepentingan investor asing di Indonesia dan terlalu berpihak kepada kreditor pemegang hak separatis yang pada umumnya dimiliki oleh Lembaga Perbankan sebagai kreditor dalam kepailitan. Pernyataan yang dikemukakan oleh Muladi Menteri Kehakiman saat itu sangat bertentangan dengan keadaan hukum kepailitan saat ini, mudahnya persyaratan untuk mengajukan permohonan pailit sebagaimana disebutkan dalam Pasal 2 UU Kepailitan dan penegasan pada Pasal 8 Ayat (4) bahwa Permohonan pernyataan pailit harus dikabulkan apabila terdapat fakta atau keadaan yang terbukti secara sederhana bahwa 8

Sunarmi,Ibid. hlm.11 Sunarmi,Ibid.

9

Hukum Kepailitan di Indonesia

5

persyaratan untuk dinyatakan pailit sebagaimana dimaksud Pasal 2 ayat (1) telah terpenuhi. Keadaan demikian jika dihubungkan dengan Pasal 142 Ayat (1) huruf e UU No. 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas (Selanjutnya disebut UU Perseroan) yang menyatakan bahwa Pembubaran Perseroan terjadi karena harta pailit perseroan yang telah dinyatakan pailit berada dalam keadaan insolvensi sebagaimana diatur dalam UU Kepailitan. Pasal 152 Ayat (2) UU Kepailitan menegaskan bahwa kurator bertanggung jawab kepada Hakim Pengawas atas likuidasi perseroan yang dilakukan. Persyarat yang begitu mudah untuk mengajukan permohonan pernyataan pailit dan penegasan tentang pembubaran perseroan sebagaimana tersebut diatas menggambarkan bahwa hukum kepailitan tidak melindungi kepentingan perseroan sebagai termohon pailit dan tidak mensyaratkan kedaan insolvensi terhadap termohon pailit akan mengakibatkan banyaknya perseroan dipailitkan dengan keadaan hukum kepailitan di Indonesia dewasa ini. 2. Sejarah Kepailitan Pailit dimasa Hindia Belanda tidak dimasukkan kedalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (W.v.K) dan diatur dalam peraturan sendiri kedalam Faillisements Verordening, sejak tahun 1906yang dulu diperuntukkan untuk pedagang saja, tapi kemudian dapat digunakan untuk golongan mana saja.10 Sejarah berlakunya Peraturan Kepailitan di Indonesia menurut Rahayu Hartini, dapat dibagi menjadi 3 (tiga) masa yaitu : a. Sebelum berlakunya Faillisements Verordening Sebelum Faillisements Verordening berlaku, dulu Hukum Kepailitan itu diatur dalam dua Peraturan Kepailitan yaitu dalam: 1) Wet Book Van Kophandel atau W.v.k buku ketiga yang berjudul “Van de Voorzieningen in gevel van onvormogen van kooplieden” atau peraturan tentang ketidakmampuan 10

Abdul R, Saliman, dkk, Esensi Hukum Bisnis Indonesia, Prenada Media, Jakarta, 2004, hlm. 92

6

Hukum Kepailitan di Indonesia

pedagang. Peraturan ini adalah peraturan kepailitan bagi pedagang. 2) Reglement Op de Recthvoordeting (R.V) buku ketiga bab ketujuh dengan judul “van den staat von kenneljkonvermoge” atau tentang keadaan nyata-nyata tidak mampu. Peraturan diatas adalah Peraturan Kepailitan bagi orangorang bukan pedagang. Akan tetapi dalam pelaksanaannya, kedua aturan tersebut justru menimbulkan banyak kesulitan antara lain: a) Banyaknya formalitas sehingga sulit dalam pelaksanaannya b) Biaya tinggi c) Pengaruh kreditor terlalu sedikit terhadap jalannya kepailitan d) Perlu waktu yang cukup lama Oleh karna itu dibuatlah aturan baru yang sederhana dan tidak banyak biaya, maka lahirlah Faillisements Verordening (Stb. 1905-217) untuk menggantikan dua Peraturan Kepailitan tersebut. b. Masa berlakunya Faillisements Verordening (Stb. 1905 No. 217 jo Stb. 1906 No.348) Peraturan Kepailitan ini sebenarnya hanya berlaku untuk golongan Eropa, golongan Cina dan golongan Timur Asing (Stb. 1924-556). Bagi golongan Indonesia asli dapat saja menggunakan Faillisements Verordening ini dengan cara penundukkan diri dan berlaku bagi semua orang yaitu baik bagi pedagang maupun bukan pedagang, baik perseorangan maupun badan hukum. Sejarah Peraturan Kepailitan di Indonesia ini adalah sejalan dengan apa yang terjadi di Negara Belanda dengan melalui Asas Konkordansi (Pasal 131 IS), yakni dimulai dengan berlakunya “Code de Commerce” (tahun 1811-1838) kemudian pada tahun 1893 diganti dengan Faillisementswet 1893 yang belaku pada 1 September 1896. c. Masa berlakunya Undang-Undang Kepailitan Produk Hukum Nasional Peraturan perundangan yang merupakan produk hukum nasional yang berkaitan tentang Peraturan Kepailitan diawali dari terbitnya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPU) No. 1 Tahun 1998 tentang perubahan atas UndangHukum Kepailitan di Indonesia

7

Undang No.4 Tahun 1998 dan terakhir pada tanggal 18 November 2004 disempurnakan lagi dengan Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.11 Undang-Undang Kepailitan Nomor 4 Tahun 1998 yang telah direvisi menjadi Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang mempunyai beberapa pokok materi baru dari Undang-Undang Kepailitan yang lama, yaitu: a. Agar tidak menimbulkan berbagai penafsiran dalam Undang-undang ini pengertian utang diberikan batasan secara tegas, demikian juga pengertian jatuh waktu atau jatuh tempo. b. Mengenai syarat-syarat dan prosedur pernyataan pailit dan permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang termasuk didalamnya kerangka waktu secara pasti bagi pengambilan putusan pernyataan pailit dan/atau penundaan kewajiban pembayaran utang. Berdasarkan uraian tersebut diatas dapat diketahui bahwa kepailitan sudah mulai ada sejak zaman hindia belanda berupa peraturan kepailitan, namun hanya berlaku pada kalangan bangsawan saja. Sejarah kepailitan baru ada di Indonesia dimulai dari terbitnya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPU) No. 1 Tahun 1998 tentang perubahan atas UndangUndang No.4 Tahun 1998 dan terakhir pada tanggal 18 November 2004 disempurnakan lagi dengan Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. 3. Dasar Hukum Kepailitan Indonesia sudah lama mempunyai Undang-undang Kepailitan atau Faillissements-Verordening Staatsblad 1905 Nomor 217 juncto Staatsblad 1906 Nomor 348. Namun tidak berjalan sebagaimana mestinya. 11 Rahayu Hartini, Hukum Kepailitan, UMM Press Edisi Revisi Cetakan II, Jakarta, 2004, hlm.9

8

Hukum Kepailitan di Indonesia

Seiring dengan perkembangan perekonomian Indonesia yang semakin pesat dan makin banyak perusahaan yang bermasalah keuangannya sehingga tidak bisa membayar hutangnya. Keadaan ini semakin sulit karena adanya krisis moneter Indonesia yang sudah bersifat multidimensi. Akibatnya diperkirakan 200.000 perusahaan di Indonesia akan pailit. 12 Disamping itu ada tekanan dari beberapa negara maju yang tergabung dalam IMF (International Monetary Fund) agar pemerintah Indonesia segera menyelesaikan masalah ini termasuk penyusunan Undang-undang Kepailitan yang baru.13 Penulis tidak sependapat dengan pernyataan Jerry Hoff, karena penulis berpendapat bahwa penyusunan Undang-undang Kepailitan diminta oleh IMF cenderung untuk memudahkan pailitnya perusahaan swasta Indonesia yang mempunyai prospek yang baik dan cenderung untuk melindungi kreditor asing. Penyusunan Undang-undang Kepailitan yang baru berdasarkan dan bersumberkan Undang-undang Kepailitan yang lama yang masih berlaku yaitu Faillissements Verordening Stad 1905 No.217 jo Stb.1906 No.348. Hal-hal yang belum diatur dan tidak bertentangan dengan undang-undang, dinyatakan masih tetap berlaku yaitu F.V. Undang-undang kepailitan ini, tidak mampu lagi memenuhi tuntutan pelaku ekonomi/kalangan bisnis, sehingga disusun Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang No.1 Tahun 1998 Tentang Perubahan atas Undang-undang tentang Kepailitan yang kemudian ditetapkan menjadi Undang-undang No.1 Tahun 1998 tentang Kepailitan. Undang-undang ini diharapkan dapat mengantisipasi perkembangan global, dan diharapkan dapat menyelesaikan masalah kepailitan sebagai akibat dari krisis moneter di Indonesia. Untuk memberikan kesempatan kepada Debitor dan Kreditor mengupayakan penyelesaian yang adil, cepat, terbuka, 12

Fred B.G. Tumbuan, “Seminar Pendidikan Kurator” yang diadakan oleh Asosiasi Kurator & Pengurus Indonesia (AKPI) dengan Asosiasi Advokat Indonesia (AAI) di Jakarta, 25 Oktober – 5 Nopember 1999. 13 Hal ini dibantah oleh Jerry Hoff pada Seminar Pendidikan Kurator di Jakarta, 25 Oktober 1999. Dia menyatakan bahwa IMF tidak pernah meminta itu.

Hukum Kepailitan di Indonesia

9

dan efektif mengenai utang-piutang mereka, maka Pemerintah Indonesia mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) Nomor 1 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-undang Tentang Kepailitan, tanggal 22 April 1998, selanjutnya disebut Perpu Kepailitan. Perpu ini kemudian telah disetujui menjadi Undang-undang Nomor 4 Tahun 1998, tanggal 9 September 1998, selanjutnya disebut Undang-undang Kepailitan. Penyelesaian masalah utang-piutang berdasarkan Undangundang Kepailitan tersebut ditempuh melalui pengadilan niaga yang berada di lingkungan Peradilan Umum. Pengadilan Niaga(Commercial court) berwenang mengadili perkara permohonan pailit (bankruptcy petition) dan perkara penundaan pembayaran utang (suspension of payment petition). Pengadilan niaga yang pertama dibentuk berdasarkan Pasal 281 ayat (1) Undang-undang Kepailitan adalah Pengadilan Niaga Jakarta Pusat. Kemudian berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 07 Tahun 1999, tanggal 18 Agustus 1999, dibentuk pengadilan niaga pada Pengadilan Negeri Ujung Pandang, Pengadilan Negeri Medan, Pengadilan Negeri Surabaya, dan Pengadilan Negeri Semarang. Setelah Pengadilan Niaga dibentuk, Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia mengangkat Hakim Niaga dari kalangan Hakim Peradilan Umum yang telah mengikuti pelatihan khusus dan telah lulus seleksi, untuk menyelesaikan masalah utang-piutang sesuai dengan aturan main yang dimuat dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 1998 tentang Kepailitan. Karena belum dapat mengikuti perkembangan dan kebutuhan hukum masyarakat, lalu diganti dengan Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Kepailitan suatu perusahaan biasanya disebabkan karena kredit yang dipinjam tidak dapat dikembalikan atau dibayar, kendatipun seluruh aset dari perusahaan tersebut dijual. Pemberian kredit oleh Kreditor kepada Debitor dilakukan karena Kreditor percaya bahwa Debitor akan mengembalikan pinjamannya tepat pada waktunya. Dengan demikian faktor pertama yang menjadi pertimbangan bagi Kreditor adalah 10

Hukum Kepailitan di Indonesia

kemauan baik dari Debitor untuk mengembalikan utangnya. Tanpa adanya kepercayaan (trust) dari Kreditor kepada Debitor, maka niscaya lah Kreditor tidak akan memberikan kredit atau pinjaman kepada Debitor. Karena itulah, maka pinjaman dari seorang Kreditor kepada seorang Debitor disebut kredit (credit) yang berasal dari kata credere yang berarti kepercayaan atau trust. Untuk memantapkan keyakinan Kreditor bahwa Debitor akan secara nyata mengembalikan pinjaman setelah jangka waktu pinjaman sampai, maka hukum kepailitan memberlakukan beberapa asas. Asas yang pertama menentukan bahwa apabila Debitor ternyata karena suatu alasan tertentu pada waktunya tidak melunasi utangnya kepada Kreditor, maka harta kekayaan Debitor, baik yang telah ada maupun yang akan ada di kemudian hari, menjadi agunan utangnya yang dapat dijual untuk menjadi sumber pelunasan dari utang itu. Asas ini di dalam KUHPerdata dituangkan dalam Pasal 1131 KUHPerdata.: “Segala harta kekayaan Debitor, baik yang bergerak maupun yang tak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada di kemudian hari, menjadi jaminan untuk segala perikatan Debitor.” Pasal 1131 KUHPerdata tersebut menentukan bahwa harta kekayaan Debitor, bukan hanya untuk menjamin kewajiban melunasi utang kepada Kreditor yang diperoleh dari perjanjian utang-piutang di antara Debitor dan Kreditor, tetapi juga untuk menjamin segala kewajiban yang timbul dari perikatan Debitor. Menurut Pasal 1131 KUHPerdata, suatu perikatan (antara Debitor dan Kreditor) timbul atau lahir karena adanya perjanjian di antara Debitor dan Kreditor, maupun timbul atau lahir karena ketentuan undang-undang. Menurut Pasal 1234 KUHPerdata, wujud perikatan adalah “untuk memberikan sesuatu”, “untuk berbuat sesuatu”, atau “untuk tidak berbuat sesuatu”. Dalam istilah hukum perdata, perikatan dalam wujudnya yang demikian itu disebut pula dengan istilah “prestasi”. Pihak yang tidak melaksanakan prestasinya disebut telah melakukan “wanprestasi”. Apabila perikatan itu timbul karena ditentukan di dalam perjanjian yang dibuat di antara Debitor dan Kreditor, maka pihak yang tidak melaksanakan Hukum Kepailitan di Indonesia

11

prestasinya disebut melakukan “cedera janji” atau “ingkar janji”, atau dalam bahasa Inggris disebut “default”. Pasal 1131 KUHPerdata tidak hanya menentukan bahwa harta kekayaan seseorang Debitor demi hukum menjadi agunan bagi kewajiban untuk membayar utang-utangnya kepada Kreditor yang mengutanginya (berdasarkan perjanjian kredit atau perjanjian pinjam-meminjam uang), tetapi juga menjadi agunan bagi semua kewajiban lain yang timbul karena perikatan-perikatan lain, baik perikatan itu timbul karena undang-undang, maupun karena perjanjian selain perjanjian kredit atau perjanjian pinjam-meminjam uang. Pasal 1131 KUHPerdata ini mempunyai aspek filosofis secara moral bahwa seseorang bertanggungjawab atas semua perikatan yang dibuatnya. Seseorang atau badan hukum dapat terikat bukan hanya dengan satu Kreditor saja, tetapi dapat pula pada waktu yang bersamaan terikat dengan beberapa Kreditor. Oleh karena Pasal 1131 KUHPerdata menentukan bahwa semua harta kekayaan (asset) Debitor menjadi agunan bagi pelaksanaan kewajiban Debitor, bukan kepada Kreditor tertentu saja, tetapi kepada semua Kreditor lainnya, maka perlu ada aturan main yang mengatur bagaimana cara membagi aset Debitor itu kepada para Kreditornya apabila aset itu dijual karena Debitor tidak membayar utang-utang kepada para Kreditornya. Aturan main itu ditentukan oleh Pasal 1132 KUHPerdata. Ini merupakan asas kedua yang menyangkut jaminan. “Harta kekayaan Debitor menjadi agunan bersama-sama bagi semua Kreditornya: hasil penjualan harta kekayaan itu dibagi-bagi menurut keseimbangan, yaitu menurut perbandingan besarkecilnya tagihan masing-masing Kreditor, kecuali apabila di antara para Kreditor itu terdapat alasan yang sah untuk didahulukan daripada Kreditor lainnya.” Pasal 1132 KUHPerdata ini mengisyaratkan bahwa setiap Kreditor memiliki kedudukan yang sama terhadap Kreditor lainnya, kecuali ditentukan lain oleh undang-undang, karena memiliki alasan-alasan yang sah untuk didahulukan. Adanya kalimat pada Pasal 1132 KUHPerdata yang berbunyi “kecuali apabila di antara para Kreditor itu terdapat alasan yang 12

Hukum Kepailitan di Indonesia

sah untuk didahulukan daripada Kreditor lainnya”, maka terdapat Kreditor-Kreditor tertentu yang oleh undang-undang diberi kedudukan hukum lebih tinggi daripada Kreditor lainnya. Dalam hukum, Kreditor-Kreditor tertentu yang didahulukan daripada Kreditor-Kreditor lainnya itu disebut Kreditor-Kreditor preferen atau secured creditors, sedangkan Kreditor-Kreditor lainnya itu disebut Kreditor-Kreditor konkuren atau insecured creditors. Seorang Kreditor dapat diberikan kedudukan untuk didahulukan terhadap para Kreditor lain apabila tagihan Kreditor yang bersangkutan merupakan: tagihan yang berupa hak istimewa; tagihan yang dijamin dengan hak tanggungan; tagihan yang dijamin dengan hak gadai; tagihan yang dijamin dengan jaminan fidusia; tagihan yang dijamin dengan hipotek. Pasal 1133 KUHPerdata: “Hak untuk didahulukan di antara para Kreditor timbul dari hak istimewa, gadai dan hipotek. Perihal gadai dan hipotek diatur dalam bab keduapuluh dan keduapuluh satu buku ini.” Setelah berlakunya Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan dan Undang-undang Nomor 42 tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, maka selain Kreditor yang memiliki tagihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1133 KUHPerdata, juga Kreditor-Kreditor yang memiliki tagihan yang dijamin dengan Hak Tanggungan dan Jaminan Fidusia memiliki pula kedudukan yang harus didahulukan terhadap KreditorKreditor konkuren. Dengan telah diaturnya oleh undang-undang tingkat prioritas dan urutan pelunasan masing-masing piutang para Kreditor sebagaimana telah diatur pada KUHPerdata, belumlah cukup. Selain perlu ada ketentuan mengenai tingkat prioritas dan urutan pelunasan masing-masing piutang sebagaimana diatur di pada KUHPerdata itu, perlu ada pula undang-undang lain yang mengatur mengenai bagaimana cara membagi hasil penjualan harta kekayaan Debitor untuk melunasi piutang masing-masing Kreditor berdasarkan urutan tingkat prioritasnya itu. Cara pembagian itulah yang diatur dengan Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Hukum Kepailitan di Indonesia

13

Sebelum harta kekayaan Debitor dibenarkan oleh hukum untuk dijual dan kemudian dibagi-bagikan hasil penjualan tersebut kepada para kreditornya, terlebih dahulu harta kekayaan Debitor itu demi hukum berada di dalam sitaan umum (tanpa perlu dilakukan penyitaan oleh pengadilan). Bila harta kekayaan Debitor tidak diletakkan sitaan umum sebelum dijual, maka akan terjadi para Kreditor akan dahulumendahului memperoleh pelunasan dari harta kekayaan Debitor dengan menguasai dan menjual harta kekayaan Debitor yang berhasil dikuasainya. Agar harta kekayaan Debitor secara hukum dapat diletakkan sitaam umum, maka terlebih dahulu Debitor dinyatakan pailit oleh pengadilan, dan sejak pernyataan pailit diucapkan, demi hukum harta pailit berada dalam sitaan umum. Dalam Undang-undang kepailitan juga diatur mengenai bagaimana caranya menentukan kebenaran mengenai adanya (eksistensi) suatu piutang (tagihan) seorang Kreditor, mengenai sahnya piutang tersebut, dan mengenai jumlah yang pasti dari piutang. Dengan kata lain bagaimana cara melakukan pencocokan atau verifikasi piutang para Kreditor. Undang-undang Kepailitan juga mengatur mengenai upaya perdamaian yang dapat ditempuh oleh Debitor dengan para kreditornya, baik sebelum Debitor dinyatakan pailit oleh pengadilan, atau setelah Debitor dinyatakan pailit oleh pengadilan. Sebelum Debitor dinyatakan pailit oleh pengadilan, Debitor dapat mengajukan Rencana Perdamaian (composition plan) kepada para Kreditor yang intinya memuat cara Debitor membayar utangutangnya kepada Kreditor. Rencana perdamaian tersebut sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU) yang diajukan oleh Debitor sebagai tangkisan (counter) terhadap permohonan pailit. Terhadap permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, sepanjang seluruh syaratnya terpenuhi, pengadilan wajib mengabulkan dan memberikan waktu Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Sementara 45 hari dan dapat diperpanjang dengan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Tetap paling lama 270 hari termasuk 45 hari. 14

Hukum Kepailitan di Indonesia

Pasal 228 ayat (6): Apabila penundaan kewajiban pembayaran utang tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (4) disetujui, penundaan tersebut berikut perpanjangannya tidak boleh melebihi 270 (dua ratur tujuh puluh) hari setelah putusan penundaan kewajiban pembayaran utang sementara diucapkan. Dalam hal permohonan pailit di counter dengan permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, maka status dari permohonan pailit dipending sampai dengan perkara Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang selesai, yaitu setelah Rencana Perdamaian diterima atau ditolak oleh Kreditor. Jika Rencana Perdamaian diterima, maka Debitor tidak jadi pailit, sebaliknya, jika perdamaian ditolak, maka Debitor dinyatakan pailit, Rencana Perdamaian yang diterima harus disahkan oleh Pengadilan Niaga. Di dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas, diatur pula beberapa ketentuan mengenai kepailitan. Pasal dalam undang-undang ini yang berbicara mengenai kepailitan adalah Pasal 90. Pasal 90 ayat (1) undangundang tersebut menentukan bahwa Direksi hanya dapat mengajukan permohonan ke Pengadilan Negeri agar perusahaan Debitor dinyatakan pailit berdasarkan keputusan rapat umum pemegang saham (RUPS). Yang dimaksud dengan “Pengadilan Negeri” di sini adalah Pengadilan Niaga. Karena pada saat Undangundang ini diundangkan, Pengadilan Niaga belum terbentuk. Selanjutnya di dalam Pasal 90 ayat (2) ditentukan bahwa dalam hal kepailitan terjadi karena kesalahan atau kelalaian direksi dan kekayaan perusahaan Debitor tidak cukup untuk menutup kerugian akibat kepailitan tersebut, maka setiap anggota direksi secara tanggung renteng bertanggungjawab atas kerugian itu. Tanggung renteng atau tanggung menanggung artinya bahwa para anggota direksi secara bersama-sama menanggung kerugian sebagai akibat kepailitan tersebut. Apabila salah satu direksi telah menanggung atau membayar kerugian tersebut, maka direksi yang lain lepas atau bebas dari kewajibannya. Menurut Pasal 90 ayat (3), anggota direksi yang dapat membuktikan bahwa kepailitan bukan karena kesalahan atau Hukum Kepailitan di Indonesia

15

kelalaiannya, tidak bertanggungjawab secara tanggung renteng atas kerugian tersebut. 4. Pengertian Kepailitan dan PKPU Istilah “Pailit” berasal dari kata Belanda “Failliet”. Kata Failliet berasal dari kata Perancis “Failite” yang artinya mogok atau berhenti membayar. Orang yang mogok atau berhenti membayar dalam bahasa Perancis disebut “Le Failli”. Kata kerja Faillir yang berarti gagal. Dalam bahasa Inggris kita mengenal kata “To Fail” yang artinya juga gagal. Di Negara yang menggunakan bahasa Inggris untuk pengertian Pailit menggunakan istilah Bankruptdan untuk Kepailitan menggunakan istilah Bankruptcy. Dalam bahasa Indonesia menggunakan istilah Pailit dan Kepailitan. Pailit merupakan suatu keadaan dimana debitor tidak mampu untuk melakukan pembayaran-pembayaran terhadap utang-utang dari para kreditornya. Keadaan tidak mampu membayar lazimnya disebabkan karena kesulitan kondisi keuangan (financial distress) dari usaha debitor yang telah mengalami kemunduran. Sedangkan kepailitan merupakan putusan pengadilan yang mengakibatkan sita umum atas seluruh kekayaan debitor pailit, baik yang telah ada maupun yang akan ada di kemudian hari. Pengurusan dan pemberesan kepailitan dilakukan oleh Kurator di bawah pengawasan hakim pengawas dengan tujuan utama menggunakan hasil penjualan harta kekayaan tersebut untuk membayar seluruh utang debitor pailit tersebut secara proporsional (prorate parte) dan sesuai dengan struktur kreditor.14 Terminologi kepailitan sering dipahami secara tidak tepat oleh kalangan umum. Sebagian dari mereka mengganggap kepailitan sebagai vonis yang berbau tindakan criminal serta merupakan suatu cacat hukum atas subjek hukum karena itu kepailitan harus dijauhkan serta dihindari sebisa mungkin. Kepailitan secara apriori dianggap sebagai kegagalan yang disebabkan karena kesalahan dari debitor dalam menjalankan 14

Kartini Mulyadi, Kepailitan dan penyelesaian utang piutang, Alumni, Bandung, 2004, hlm 168

16

Hukum Kepailitan di Indonesia

usahanya sehingga menyebabkan utang tidak mampu dibayar. Oleh karena itu, kepailitan sering diindentikan sebagai pengemplangan utang atau penggelapan terhadap hak hak yang seharusnya dibayarkan kepada kreditor. Kartono menyatakan, bahwa kepailitan memang tidak merendahkan martabatnya sebagai manusia tetapi apabila ia berusaha untuk memperoleh kredit, disanalah baru terasa baginya apa artinya sudah pernah dinyatakan pailit. Dengan perkataan lain, kepalitan mempengaruhi “credietwaardigheid”-nya dalam arti yang merugikannya, ia tidak akan mudah mendapatkan kredit15. Kepailitan merupakan suatu jalan keluar yang bersifat komersial untuk keluar dari persoalan utang piutang yang menghimpit seorang debitor, dimana debitor tersebut sudah tidak mempunyai kemampuan lagi untuk membayar utang utang tersebut kepada kreditornya. Sehingga apabila keadaan ketidakmampuan untuk membayar kewajiban yang telah jatuh tempo tersebut disadari oleh debitor maka langkah untuk mengajukan permohonan penetapan status pailit terhadap dirinya menjadi suatu langkah yang memungkinkan atau penetapan status pailit oleh pengadilan terhadap debitor tersebut bila kemudian ditemukan bukti bahwa debitor tersebut memang telah tidak mampu lagi membayar utangnya yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih (involuntary petition for bankruptcy)16. Kepailitan merupakan pelaksanaan lebih lanjut dari prinsip paritas creditorium dan prinsip pari passu prorata parte dalam rezim hukum harta kekayaan. Prinsip paritas creditorium berarti bahwa semua kekayaan debitor baik yang berupa barang bergerak ataupun barang tidak bergerak maupun harta yang sekarang telah dipunyai debitor dan barang-barang di kemudian hari akan dimiliki debitor terikat kepada penyelesaian kewajiban debitor. Sedangkan prinsip pari passu prorata parte berarti bahwa harta kekayaan tersebut merupakan jaminan bersama untuk para kreditor dan 15

Kartono, Kepailitan dan Pengunduran Pembayaran, Pradnya Paramita, Jakarta, 1999, hlm 42. 16 Ricardo Simanjuntak, Esesnsi Pembuktian Sederhana dalam Kepailitan, Pusat pengkajian hukum, Jakarta, 2008, hlm 55.

Hukum Kepailitan di Indonesia

17

hasilnya harus dibagikan secara proporsional antara mereka, kecuali apabila para kreditor itu ada yang menurut UndangUndang harus didahulukan dalam menerima pembayaran tagihannya17. Dalam hal seorang debitor hanya mempunyai satu kreditor dan debitor tidak membayar utangnya secara sukarela maupun debitor tidak mempunyai kemampuan untuk membayar utang tersebut maka kreditor akan menggugat debitor secara perdata ke pengadilan negeri yang berwenang dan seluruh harta debitor menjadi sumber pelunasan utangnya kepada kreditor tersebut. hasil bersih eksekusi harta debitor dipakai untuk membayar kreditor tersebut. Dalam hal debitor mempunyai banyak kreditor dan harta kekayaan debitor tidak cukup untuk membayar lunas semua kreditor, maka para kreditor akan berlomba dengan segala cara baik yang sesuai dengan prosedur hukum maupun yang tidak sesuai dengan prosedur hukum untuk mendapatkan pelunasan tagihannya terlebih dahulu. Kreditor yang datang belakangan sudah tidak dapat lagi pembayaran karena harta debitor sudah habis diambil oleh kreditor yang lebih dahulu. Hal ini sangat tidak adil dan merugikan baik kreditor maupun debitor sendiri. Berdasarkan alasan tersebut, timbullah lembaga kepailitan yang mengatur tata cara yang adil mengenai pembayaran tagihantagihan para kreditor. PeterJ.M. Declercq menekankan bahwa kepailitan lebih ditujukan kepada debitor yang tidak membayar utang utangnya kepada para kreditornya. Tidak membayar nya debitor tersebut tidak perlu diklasifiasikan bahwa apakah ia benar-benar tidak mampu melakukan pembayaran utangnya tersebut ataukah karena ia tidak mau membayar kendatipun ia memiliki kemampuan untuk itu. Prinsip paritas creditorium dianut di dalam sistem hukum perdata di Indonesia. Hal ini termuat dalam Pasal 1131 KUHPerdata yang menyatakan bahwa segala kebendaan si berutang, baik yang 17

Kartini Mulyadi, Kepailitan dan Penyelesaian Utang Piutang, Alumni, Bandung, 2004,hlm 168.

18

Hukum Kepailitan di Indonesia

bergerak maupun yang tidak bergerak baik yang sudah ada maupun yang baru aka ada dikemudian hari menjadi tanggungan untuk segala perikatannya perseorangan. Sedangkan prinsip pari passu prorata parte termuat dalam Pasal 1132 KUHPerdata yang menyatakan bahwa kebendaan tersebut menjadi jaminan bersama sama bagi semua orang yang mengutangkan padanya, pendapatan penjualan benda benda itu dibagi bagi menurut keseimbangannya yaitu menurut besar kecilnya piutang masing masing, kecuali apabila di antara para berpiutang itu ada alasan alasan yang sah untuk didahulukan. Dengan demikian maka kepailitan adalah pelaksanaan lebih lanjut dari ketentuan yang ada dalam Pasal 1131 dan 1132 KUHPerdata. Menurut Kartini Mulyadi, bahwa rumuan dalam Pasal 1131 KUHPerdata menunjukkan bahwa setiap tindakan yang dilakukan seseorang dalam lapangan harta kekayaan selalu akan membawa akibat terhadap harta kekayaannya baik yang bersifat menambah jumlah harta kekayaannya, maupun yang nantinya akan mengurangi jumlah harta kekayaannya. Demikianlah harta kekayaan setiap orang akan selalu berada dalam keadaan yang dinamis dan selalu berubah ubah dari waktu ke waktu. Setiap perjanjian dibuat maupun perikatan yang terjadi dapat mengakibatkan harta kekayaan seseorang bertambah atau berkurang.18 Sedangkan jika ternyata dalam hubungan hukum harta kekayaan tersebut, seseorang memiliki lebih dari satu kewajiban yang harus dipenuhi terhadap lebih dari satu kewajiban yang harus dipenuhi terhadap lebih dari satu orang yang berhak atas pemenuhan kewajiban tersebut, maka Pasal 1132 KUHPerdata menentukan bahwa setiap pihak atau kreditor yang berhak atas pemenuhan perikatan, haruslah mendapat pemenuhan perikatan dari harta kekayaan pihak yang berkewajiban tersebut secara pari passu yakni secara bersama sama memperoleh pelunasan tanpa ada yang didahulukan, pro rata, yakni proporsional yang dihitung berdasarkan pada besarnya piutang masing masing dibandingkan 18

Kartini mulyadi, Kreditor Preferens dan Kreditor Separatis Dalam Kepailitan, pusat pengkajian hukum, Jakarta, 2004, hlm 164.

Hukum Kepailitan di Indonesia

19

terhadap piutang mereka secara keseluruhan terhadap seluruh harta kekayaan debitor tersebut.19 Pailit menurut Abdul R. Saliman dapat diartikan sebagai suatu usaha bersama untuk mendapat pembayaran bagi semua kreditor secara adil dan tertib, agar semua kreditor mendapat pembayaran menurut imbangan besar kecilnya piutang masingmasing dengan tidak berebutan.20 Dalam Ensiklopedia Ekonomi Keuangan Perdagangan menurut Munir Fuadi disebutkan bahwa yang dimaksudkan dengan pailit atau bangkrut, antara lain, seseorang yang oleh suatu pengadilan dinyatakan bankrupt dan yang aktivanya atau warisannya telah diperuntukkan untuk membayar utangutangnya.21 Menurut Pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004, kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan Debitor pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas sebagaimana diatur dalam undang-undang ini. Sementara itu pailit merupakan suatu keadaan berhenti membayar dari Debitor terhadap utangutangnya kepada para kreditornya, yang umumnya disebabkan karena Debitor mengalami kesulitan kondisi keuangan (financial distress) sebagai akibat dari usaha Debitor yang mengalami kemunduran.22 Menurut Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004, Debitor yang dinyatakan pailit tersebut harus melalui putusan pengadilan, artinya tidak secara tiba-tiba Debitor atau kreditor menyatakan pailit. Putusan tentang pailit Debitor itu menyebabkan terjadinya sita umum atas seluruh kekayaan Debitor pailit yang pengurusannya dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas dengan tujuan utama menggunakan hasil penjualan harta kekayaan 19

Ibid hlm 19 Abdul R. Saliman, Hukum Bisnis Untuk Perusahaan: Teori dan Contoh Kasus, Kencana, Jakarta, 2011, hlm. 133 21 Munir Fuady, Hukum Pailit Dalam Teori dan Praktik, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2014, hlm. 8 22 M.Hadi Shubhan, op.cit., hlm 1. 20

20

Hukum Kepailitan di Indonesia

(boedel)tersebut untuk membayar seluruh utang Debitor pailit secara proporsional (prorata parte) dan sesuai dengan struktur atau urutan kreditor. Kekayaan yang dimaksud itu, baik kekayaan atau harta yang telah ada maupun yang akan ada di kemudian hari. Dalam kepustakaan, Algra mendefinisikan kepailitan sebagai berikut : “Faillissementis een gerechtelijk beslag op het gehele vermogen van een schuldenaar ten behoeve van zijn gezamenlijke schuldeiser”.23 (kepailitan adalah suatu sitaan umum terhadap semua harta kekayaan dari seorang Debitor (si berutang) untuk melunasi utang-utangnya kepada kreditor (si berpiutang)). Henry Campbell Black dalam Black’s Law Dictionary menyatakan Bankrupt is the state or condition of one who is unable to pay his debts as they are, or become, due.24 (Kepailitan adalah suatu keadaan dimana seseorang tidak dapat membayar utang-utangnya yang sudah jatuh tempo). Disamping itu kepailitan digambarkan oleh Jerry Hoff bahwa : “Bankruptcy is a general statutory attachment encompass-ing all the assets of the debtor. The bankruptcy only covers the asets. The personal status of an individual will not be affected by the bankruptcy; he is not placed under guardianship. A. company also continues to exist after he declaration of bankruptcy. During the bankruptcy proceedings, act with regard to the bankruptcy estate can only be performed by the receiver, but other acts remain part of the domain of the debtor’s corporate organs”.25 (Kepailitan menurut undang-undang adalah meliputi seluruh asetnya Debitor. Kepailitan hanya meliputi asset. Status individu seseorang tidak akan dipengaruhi oleh kepailitan, ia tidak ditempatkan dalam pengawasan. Perusahaan juga tetap eksis setelah dideklarasikan pailit. Selama proses kepailitan berlangsung, tindakan berkaitan dengan properti kepailitan hanya dapat dilakukan oleh kurator, akan tetapi untuk

23 Algra, N.E., Inleiding tot Het Nederlands Privaatrecht, Tjeenk Willink, Groningen, 1975, hlm. 425. 24 Henry Campbell Black, Black’s Law Dictionary, West Publishing Co., St. Paul Minnesota, 1979, hlm. 134. 25 Jerry Hoff, Indonesian Bankruptcy Law, Jakarta, Tatanusa, 1999, hlm. 11.

Hukum Kepailitan di Indonesia

21

tindakan-tindakan lain tetap menjadi kekuasaan organ perusahaan Debitor). Berdasarkan definisi tentang kepailitn diatas, Victor M. Simatupang dan Hendri Soekarso menarik kesimpulan mengenai unsur-unsur kepailitan sebagai berikut : a. kepailitan dimaksudkan untuk mencegah penyitaan dan eksekusi yang dimintakan oleh kreditor secara perorangan. b. kepailitan hanya mengenai harta benda debitor, bukan pribadinya. Jadi ia tetap cakap untuk melakukan perbuatan hukum diluar hukum kekayaan. Misalnya, hak yang timbul dari kedudukannya sebagai orang tua (ayah/ibu) c. sita dan eksekusi tersebut untuk kepentingan para kreditornya bersama-sama.26 Dari penjelasan tentang kepailitan diatas menurut Rahayu Hartini sudah jelas bahwa kepailitan itu merupakan suatu penyitaan yang dilakukan atas seluruh harta kekayaan yang dimiliki oleh si debitor sebagai akibat dari pemenuhan utangutangnya kepada para kreditor yang telah jatuh tempo waktu pembayaran. Maka secara sederhana, kepailitan dapat diartikan sebagai suatu penyitaan semua asset debitor yang telah dimasukkan kedalam permohonan pailit. Debitor pailit tidak serta merta kehilangan kemampuannya untuk melakukan tindakan hukum, akan tetapi kehilangan untuk menguasai dan mengurus kekayaannya yang dimasukkan didalam kepailitan terhitung sejak pernyataan kepailitan.27 Berdasarkan uraian tersebut diatas bahwa kepailitan merupakan suatu keadaan Debitor yang sudah tidak mampu lagi memenuhi segala utang-utangnya yang telah jatuh waktu kepada kreditor untuk dilakukan penyitaan semua asetnya guna terlaksananya pembayaran utang-utang tersebut. Pengertian kepailitan sering dipahami secara tidak tepat oleh kalangan umum. Sebagian dari mereka menganggap kepailitan sebagai vonis yang berbau tindakan kriminal serta 26

Victor M. Simatupang& Hendri Soekarso, Pengantar Hukum Kepailitan di Indonesia, Rineke Cipta, Jakarta, 1994, hlm. 20 27 Hj. Rahayu Hartini, Op. Cit, hlm. 15

22

Hukum Kepailitan di Indonesia

merupakan suatu cacat hukum atas subjek hukum, karena itu kepailitan harus dijauhkan serta dihindari semaksimal mungkin. Kepailitan secara apriori dianggap sebagai kegagalan yang disebabkan karena kesalahan dari Debitor dalam menjalankan usahanya sehingga menyebabkan Debitor berhenti membayar.28 Oleh karena itu, kepailitan sering diidentikkan sebagai penggelapan terhadap hak-hak (utang) yang seharusnya dibayarkan kepada kreditor. Kartono menyatakan, bahwa kepailitan memang tidak merendahkan martabatnya sebagai manusia, tetapi apabila ia berusaha untuk memperoleh kredit, di sanalah baru terasa baginya apa artinya sudah pernah dinyatakan pailit. Dengan perkataan lain, kepailitan mempengaruhi “credietwaardigheid” Debitor dalam arti yang merugikannya, ia tidak akan mudah mendapatkan kredit.29 Kepailitan merupakan suatu solusi yang bersifat komersial untuk keluar dari persoalan utang piutang yang menghimpit seorang Debitor, karena Debitor tersebut sudah tidak mempunyai kemampuan lagi untuk membayar utang-utang tersebut kepada para kreditornya. Sehingga, bila keadaan tidak mampu untuk membayar kewajiban yang telah jatuh tempo tersebut disadari oleh Debitor, maka langkah untuk mengajukan permohonan penetapan status pailit terhadap dirinya atau mempailitkan dirinya sendiri (voluntary petition for self bankruptcy) menjadi suatu langkah yang memungkinkan, atau penetapan status pailit oleh pengadilan terhadap Debitor tersebut bila kemudian ditemukan bukti bahwa Debitor tersebut memang telah tidak mampu lagi membayar utangnya yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih (involuntary petition for bankruptcy).30 Disamping itu, menurut Man S. Sastrawijaya keadaan berhenti membayar utang itu dapat terjadi karena tidak mampu 28

Man S. Satrawidjaja, Hukum Kepailitan& Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, hlm. 2, “keadaan berhenti membayar” dapat terjadi karena “tidak mampu membayar” maupun “tidak mau membayar” yang kesemuanya merugikan kreditor. 29 Kartono,Kepailitan dan Pengunduran Pembayaran, Jakarta, Pradnya Paramita, 1982, hlm. 42. 30 Ricardo Simanjuntak, “Esensi Pembuktian Sederhana dalam Kepailitan”. Dalam: Emmy Yuhassarie (ed.), Undang-Undang Kepailitan dan Perkembangannya, Jakarta, Pusat Pengkajian Hukum, 2005, hlm. 55-56.

Hukum Kepailitan di Indonesia

23

membayar dan atau tidak mau membayar. Kedua keadaan tersebut sama saja karena menimbulkan kerugian kepada kreditor yang bersangkutan.31 Kondisi tidak mau membayar lebih kepada itikad buruk, moral tidak baik dari Debitor, artinya sebenarnya Debitor masih mempunyai kemampuan, masih memiliki aset-aset untuk menyelesaikan utang-utangnya, namun karena sesuatu hal Debitor tersebut tidak memiliki niatan untuk menyelesaikan utangnya. Lembaga kepailitan ini diharapkan berfungsi sebagai lembaga alternatif untuk penyelesaian kewajiban-kewajiban Debitor terhadap kreditor secara lebih efektif, efisien, dan proporsional. Harold F. Lusk mendeskripsikan tujuan kepailitan sebagai berikut: “The purpose of the bankruptcy act is (1) to protect creditors from one another, (2) to protect creditors from their debtor, and (3) to protect the honest debtor from his creditors. To accomplish these objectives, the debtor is required to make full disclosure of all his property and to surrender it to the trustee. Provisions are made for examination of the debtor and for punishment of the debtor who refuses to make an honest disclosure and surrender of his property. The trustee of the bankcrupt’s estate administers, liquidates, and distributes the proceeds of the estate to creditors. Provisions are made for determination of creditors rights, the recovery of preferensial payments, and the disallowance of preferensial liens and encumbrances. If the bankcrupt has been honest in his business transactions and in his bankcruptcy proceedings, he is granted a discharge”.32 (Tujuan dari kepailitan adalah (1) untuk melindungi kreditor antara satu dengan lainnya (2) melindungi kreditor dari Debitor (3) melindungi Debitor yang jujur dari kreditor. Untuk mencapai tujuan tersebut, Debitor diminta untuk terbuka terhadap semua propertinya dan menyerahkannya kepada Pengawas. Ketentuan dibuat untuk pemeriksaan Debitor dan untuk menghukum Debitor yang menolak keterbukaan secara jujur propertinya dan menolak 31

Man S.Sastrawidjaja, op.cit, hlm. 2 Harold F. Lusk, Business Law: Principles and Cases, Richard D. Irwin Inc., Homewood Illinois, 1986, hlm. 1076-1077. 32

24

Hukum Kepailitan di Indonesia

untuk menyerahkannya. Pengawas properti kepailitan mengurus, menjual, meng-uangkan dan membagikan propertinya kepada kreditor-kreditor. Ketentuan dibuat untuk menentukan hak-hak kreditor, pengembalian pembayaran yang didahulukan dan penolakan hak gadai yang diutamakan. Apabila pihak yang pailit telah berlaku jujur dalam transaksi bisnisnya dan dalam proses kepailitan, ia dijamin untuk dibebaskan). Kepailitan merupakan pelaksanaan lebih lanjut dari prinsip paritas creditorium dan prinsip pari passu prorata parte dalam rezim hukum harta kekayaan (vermogensrechts).33 Prinsip paritas creditorium berarti bahwa semua kekayaan Debitor baik yang berupa barang bergerak ataupun barang tidak bergerak maupun harta yang sekarang telah dipunyai Debitor dan barang-barang di kemudian hari akan dimiliki Debitor terikat kepada penyelesaian kewajiban Debitor.34 Prinsip pari passu prorata parte berarti bahwa harta kekayaan tersebut merupakan jaminan bersama untuk para kreditor dan hasilnya harus dibagikan secara proporsional antara mereka, kecuali apabila antara para kreditor itu menurut undang-undang harus didahulukan dalam menerima pembayaran tagihannya.35 Debitor yang hanya memiliki satu kreditor dan Debitor tidak membayar utangnya baik secara sukarela maupun ketika tidak mempunyai kemampuan untuk membayar utang tersebut, maka hukum akan menyediakan kreditor untuk dapat menggugat Debitor secara perdata melalui pengadilan negeri yang berwenang sesuai hukum acara perdata yang pada lazimnya diajukan di tempat tinggal tergugat dan seluruh harta Debitor akan menjadi sumber pelunasan utangnya kepada kreditor jika utang tersebut secara hukum dapat dibuktikan bahwa Debitor telah wanprestasi. Hasil bersih penjualan harta Debitor akan digunakan sebagai pembayaran utang kepada kreditor. Namun, jika Debitor memiliki 33 Prinsip ini merupakan sebagian dari prinsip hukum umum dan lazim dalam kepailitan dalam berbagai sistem hukum, infra (foot note), hlm. 28. 34 Kartini Mulyadi, Kepailitan dan Penyelesaian Utang Piutang, dalam : Rudhy A. Lontoh (et.al.), Penyelesaian Utang Piutang Melalui Pailit atau Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Bandung, Alumni, 2001, hlm. 168. 35 Ibid.

Hukum Kepailitan di Indonesia

25

banyak kreditor dan harta kekayaan Debitor tersebut ternyata tidak cukup untuk membayar lunas semua kreditor, maka para kreditor akan berlomba dengan segala cara, baik yang sesuai dengan prosedur hukum (legal) maupun yang tidak sesuai dengan prosedur hukum (illegal), untuk mendapatkan pelunasan tagihannya terlebih dahulu. Kreditor yang datang terlambat atau datang kemudian tidak dapat lagi pembayaran karena harta Debitor sudah habis diambil oleh kreditor yang lebih dahulu. Hal ini sangat tidak adil dan merugikan baik kreditor maupun Debitor sendiri. Berdasarkan alasan tersebut, timbullah pemikiran dilahirkannya lembaga kepailitan yang mengatur tata cara yang adil baik bagi Debitor maupun kreditor tentang pembayaran piutang-piutang para kreditor. Peter J.M. Declercq menyatakan bahwa kepailitan tersebut sebenarnya lebih ditujukan kepada Debitor yang berhenti membayar utang-utangnya kepada para kreditornya. Berhenti membayarnya Debitor tersebut tidak perlu diklasifikasikan bahwa apakah sungguh-sungguh tidak mampu untuk melakukan pembayaran utangnya ataukah karena Debitor tidak mau membayar kendatipun ia memiliki kemampuan untuk itu. Declercq menyatakan bahwa “A bankruptcy petition has to state facts and circumstances that constitute prima facie evidence that the debtor has ceased to pay its debts. This is considered to be the case if there are at least two creditors, one of who, has a claim whis is due and payable and which the debtor cannot pay, refuses to pay, or simply does not pay”.36 (Permohonan kepailitan harus menyatakan fakta-fakta dan keadaan-keadaan yang merupakan bukti utama bahwa Debitor telah berhenti membayar hutangnya. Hal ini dianggap sebagai kasus apabila sekurang-kurangnya dua kreditor, yang salah satunya memiliki tagihan jatuh tempo dan wajib dibayar serta Debitor tidak dapat membayarnya, menolak membayar atau hanya dengan tidak membayar saja).

36 Peter J.M. Declercq, Netherlands Insolvency Law, The Netherlands Bankruptcy Act and The Most Important Legal Concept, T.M.C. Assen Press, The Haque, 2002, hlm. 63.

26

Hukum Kepailitan di Indonesia

Prinsip paritas creditorium sebenarnya telah dianut dalam sistem hukum perdata di Indonesia, sebagaimana hal itu termuat dalam Pasal 1131 KUHPerdata yang menyatakan, bahwa “segala kebendaan si berutang, baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada di kemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatannya perseorangan”. Prinsip structured creditors (peringkat kreditor) yang pada dasarnya membagi atau mengklasifikasikan berbagai macam kreditor sesuai dengan kelasnya masing-masing, yaitu kreditor separatis, preferen dan konkuren juga menjiwai Undangundang Nomor 37 Tahun 2004.37 Hal ini dapat dibuktikan dari bunyi Pasal 2 ayat (1) Undangundang Nomor 37 Tahun 2004, bahwa Debitor yang mempunyai dua atau lebih kreditor dan tidak membayar lunas sedikitpun satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih kreditornya, yang dimaksud kreditor dalam pasal ini ditegaskan oleh penjelasan Pasal 2 ayat (1) tersebut adalah kreditor konkuren, kreditor separatis maupun kreditor preferen. Secara etimologi istilah kepailitan berasal dari kata pailit. Bila ditelusuri, baik dalam undang-undang kepailitan yang lama Faillissement verordering maupun Undang-undang Nomor 4 Tahun 1998 dan Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 tidak ditemukan pengertian tentang pailit. Dalam bahasa Belanda failliet (pailit), mempunyai arti ganda sebagai kata benda atau kata sifat yaitu: kebangkrutan dan bangkrut.38Dalam eksiklopedia ekonomi keuangan perdagangan disebutkan bahwa yang dimaksud dengan pailit atau bangkrut antara lain adalah seseorang yang oleh suatu pengadilan dinyatakan bangkrut dan aktivanya atau warisannya telah diperuntukkan untuk membayar utang-utangnya. Namun demikian, umumnya orang sering menyatakan bahwa yang dimaksud dengan pailit atau bangkrut itu adalah sama 37

M. Hadi Shubhan, op.cit., hlm. 32. S. Wojomeksito, Kamus Umum Belanda Indonesia, Jakarta, PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1999, hlm. 188.

38

Hukum Kepailitan di Indonesia

27

dengan kepailitan atau sita umum atas seluruh harta Debitor dengan tujuan untuk dapat dibagi secara adil diantara para kreditor. Dari pemahaman bahwa kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan Debitor pailit yang pengurusannya diserahkan kepada Kurator (Pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004), undang-undang kepailitan ini juga mengadopsi prinsip debt collection39, maknanya bahwa kreditor melakukan pembalasan terhadap Debitor pailit dengan menagih klaimnya terhadap Debitor atau harta Debitor. Terlebih lagi dengan kemudahan untuk mengajukan pailit, Debitor memiliki utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih yang belum dibayar lunas serta mempunyai dua atau lebih kreditor menunjukkan bahwa undang-undang tersebut mengakomodasi prinsip debt collection. Ketentuan Pasal 2 ayat 1 tersebut diatas selanjutnya dapat ditarik kesimpulan bahwa syarat-syarat yuridis agar seseorang dapat dinyatakan pailit adalah :

a. b. c. d.

Adanya Debitor Adanya lebih dari satu kreditor Adanya utang Minimal satu utang telah jatuh waktu dan dapat ditagih serta utangnya tidak dibayar lunas.

e. Melalui putusan Pengadilan Niaga i. Diajukan oleh Debitor maupun satu atau lebih kreditornya. Berdasarkan hal di atas terlihat bahwa Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 telah mendistorsi dan menyederhanakan persyaratan pailit, hal ini dapat dibuktikan, bahwa undang-undang tersebut tidak memberikan batasan minimal nominal utang Debitor, sehingga siapapun (kreditor) sepanjang memiliki piutang dapat mengajukan permohonan pailit, hal ini dapat merugikan kreditor yang memiliki nilai nominal piutang cukup besar. Disamping itu, persyaratan memiliki minimal satu utang adalah hal yang sangat sederhana, sama sekali tidak mempertimbangkan kreditor lain yang mungkin jumlahnya cukup 39

Infra (foot note), hlm. 28.

28

Hukum Kepailitan di Indonesia

banyak, hal ini menjadi tidak adil baik kepada mayoritas kreditor maupun Debitor dan stakeholders. Kreditor dapat mengajukan permohonan pailit sepanjang dapat membuktikan bahwa Debitor memiliki 2 (dua) atau lebih kreditor adalah hal yang mudah, undang-undang tidak membatasi utang yang ada itu milik atau dari kreditor siapa, kreditor perbankan atau supplier bahkan tagihan pajak atau telpon atau airpun dapat digunakan sebagai pemenuhan persyaratan pailit, terlebih lagi pembuktian yang digunakan adalah sederhana atau sumir. Persyaratan pailit yang sederhana tersebut sering kali telah melahirkan putusan-putusan pengadilan yang tidak populer, tidak adil dan kontroversial khususnya bagi kreditor lain (jumlah maupun memiliki nominal utang yang besar) maupun Debitor, sehingga undang-undang kepailitan bukan lagi sebagai sarana yang akan dapat memberikan solusi pembayaran utang, namun sudah menjadi sarana pemaksa (pressie midal) untuk pembayaran utang Debitor. Pihak-pihak yang dapat mengajukan permohonan pernyataan pailit menurut Pasal 2 ayat (2) (3) (4) dan ayat (5) Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 adalah : a. Kreditor atau kreditor-kreditor. b. Debitor. c. Pihak kejaksaan, untuk kepentingan umum. d. Bank Indonesia, apabila menyangkut Debitor yang merupakan Bank. e. Badan Pengawas Pasar Modal, apabila menyangkut Debitor yang merupakan perusahaan efek, Bursa Efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan. f. Menteri Keuangan, apabila Debitornya Perusahaan Asuransi, Perusahaan Reasuransi, Dana Pensiun atau Badan Usaha Milik Negara yang bergerak dibidang kepentingan publik. Banyak hal baru dalam prosedur permohonan pernyataan pailit yang diperkenalkan, diantaranya yang paling menonjol adalah diberikannya kerangka waktu (time frame) untuk jangka waktu prosedur pemeriksaan di pengadilan (hukum acara) yang relatif singkat dan terperinci untuk setiap langkah proses Hukum Kepailitan di Indonesia

29

permohonan pernyataan pailit. Prosedur permohonan pernyataan pailit di tingkat Pengadilan Niaga diatur dalam Pasal 7 sampai dengan Pasal 8 Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004, yaitu dalam jangka waktu 60 (enam puluh) hari sejak permohonan pernyataan pailit didaftarkan putusan harus diucapkan, upaya hukum kasasi sesuai ketentuan Pasal 11 sampai dengan Pasal 13 Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 adalah 60 (enam puluh) hari sejak tanggal permohonan diterima Mahkamah Agung dan 30 hari untuk upaya hukum luar biasa peninjauan kembali (Pasal 295 sampai dengan Pasal 298 Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004). Berkaitan dengan PKPU, Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 telah menempatkan sarana ini sebagai suatu judul peraturan perundangan-undangan. Walaupun pengaturan PKPU baik di dalam Faillissementverordening maupun di dalam Undangundang Nomor 4 Tahun 1998 merupakan bagian dari ketentuan perundang-undangan kepailitan, namun pencantuman sebagai judul perundang-undangan dalam undang-undang merupakan suatu hal yang baru. Hal itu dapat diartikan bahwa PKPU yang diatur didalam Bab III, Pasal 222 sampai dengan Pasal 294 Undangundang Nomor 37 Tahun 2004, bukan hanya sekedar sarana penundaan pembayaran utang atau sebagai tangkisan dari suatu tuntutan kepailitan, namun lebih dari itu dapat dipergunakan untuk restrukturisasi utang maupun perusahaan. 5. Asas-asas Hukum Kepailitan Ada beberapa asas yang dianut oleh undang-undang kepailitan guna dapat memenuhi kebutuhan masyarakat, khususnya kebutuhan dunia usaha, seperti Undang-undang Nomor 4 Tahun 1998 yang penjelasan umumnya menyatakan bahwa diperlukan sarana penyelesaian masalah utang piutang secara adil, cepat, terbuka dan efektif. Walaupun undang-undang ini masih menggunakan konsep-konsep yang sederhana di atas, namun undang-undang ini setidaknya telah mencantumkannya hal tersebut dalam suatu penjelasan umum. Setelah Undang-undang Nomor 4 Tahun 1998 berlaku selama 6 tahun lebih, dipandang perlu dilakukan penambahan 30

Hukum Kepailitan di Indonesia

lebih jelas dan tajam tentang prinsip dan asas-asas kepailitan dan PKPU sebagaimana dalam Penjelasan Umum Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004. Di dalam Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 ini, harapan untuk menyelesaikan masalah utang piutang secara adil, cepat, terbuka dan efektif termasuk ke dalam asas integrasi, selengkapnya asas-asas itu sebagai berikut 40: 1. Asas keseimbangan asas keseimbangan merupakan suatu asas yang disatu pihak terdapat ketentuan yang dapat mencegah terjadinya penyalahgunaan pranata dan lembaga kepailitan oleh Debitor yang tidak jujur, di lain pihak terdapat ketentuan yang dapat mencegah terjadinya penyalahgunaan lembaga kepailitan oleh kreditor yang tidak beritikad baik. Suatu undang-undang kepailitan yang baik haruslah dilandaskan pada asas untuk memberikan perlindungan yang seimbang bagi semua pihak yang terkait dan berkepentingan dengan kepailitan seorang atau suatu perusahaan. Sehubungan dengan itu maka undangundang kepailitan yang baik seyogianya tidak hanya memberikan perlindungan bagi kreditor saja, kepentingan Debitor juga harus sangat diperhatikan. Asas keseimbangan ini sebenarnya telah mencakup prinsip adil sebagaimana diuraikan di atas.41 2. Asas Kelangsungan Usaha, Dalam Undang-undang ini terdapat ketentuan yang memungkinkan perusahaan Debitor yang prospektif tetap dilangsungkan atau dilanjutkan usahanya. Salah satu sarana atau lembaga yang dapat digunakan untuk kelangsungan usaha ini (dalam konteks kepailitan) adalah Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) yang dapat diajukan baik sebelum permohonan pernyataan pailit diajukan terhadap Debitor maupun ketika berlangsung pemeriksaan atau sidang pertama pengadilan terhadap permohonan 40

Sutan remy Syahdeini, Hukum Kepailitan Memahami Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan, Cetakan ke-III, Grafiti, Jakarta, 2009. Hlm.32 Infra, hlm. 52, bahwa prinsip creditors’ bargain secara eksplisit sebenarnya sudah dinormakan di dalam asas hukum kepailitan Indonesia, khususnya asas keseimbangan dan kelangsungan usaha.

41

Hukum Kepailitan di Indonesia

31

penyataan pailit. Menurut Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004, PKPU dapat diajukan oleh Debitor maupun kreditor, Bank Indonesia (BI), Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam) dan Menteri Keuangan. 3. Asas Integrasi, Asas integrasi dalam Undang-undang ini mengandung pengertian bahwa sistem hukum formil dan hukum materilnya merupakan satu kesatuan yang utuh dari sistem hukum perdata dan hukum acara perdata nasional. Undang-undang baru tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang mempunyai cakupan yang lebih luas baik dari segi norma, ruang lingkup materi, maupun proses penyelesaian utang piutang. Cakupan yang lebih luas tersebut diperlukan, karena adanya perkembangan dan kebutuhan hukum dalam masyarakat sedangkan ketentuan yang selama ini berlaku belum memadai sebagai sarana hukum untuk menyelesaikan masalah utang-piutang secara adil, cepat, terbuka dan efektif. 4. Asas Mendorong Investasi dan Bisnis. Undang-undang kepailitan harus dapat mendorong meningkatnya investasi dan pasar modal, terutama ditujukan kepada investor asing dan pelaku bisnis asing, serta memudahkan pengusaha untuk memperoleh kredit luar negeri, dengan ratifikasi terhadap Perjanjian Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) dapat mendorong liberalisasi di bidang perdagangan barang dan jasa, dengan berlakunya UU Nomor 8 Tahun 1995 Tentang Pasar Modal di Indonesia membuat pengusaha Indonesia mendapatkan akses langsung dari lembaga-lembaga pembiayaan luar negeri, Undang-undang kepailitan harus memuat asas-asas dan ketentuan-ketentuan yang dapat diterima masyarakat internasional sehingga hal tersebut dapat sejalan dengan hukum kepailitan di negara-negara para pemodal dan kredit asing yang diinginkan oleh pemerintah dan dunia usaha Indonesia. Asas ini tidak sepenuhnya termuat dalam UU Kepailitan.

32

Hukum Kepailitan di Indonesia

5.

Asas Memberi manfaat dan Perlindungan yang Seimbang bagi Kreditor dan Debitor. Undang-undang kepailitan hendaknya dapat memberikan manfaat tidak hanya kepada kreditor akan tetapi juga kepada Debitor dan harus memberikan perlindungan yang seimbang bagi kreditor dan Debitor, dengan undang-undang kepailitan diharapkan kreditor mendapatkan pembayaran utangutangnya dari Debitor dengan mudah dan mendapatkan akses terhadap harta benda Debitor yang dinyatakan pailit karena tidak mampu membayar utang-utangnya, tanpa merugikan pihak-pihak lainnya yang berkepentingan dengan kepailitan tersebut, dengan memperhatikan rasa keadilan dan memberikan kepastian hukum. Kepailitan melibatkan banyak kepentingan, terutama terhadap Debitor perusahaan, dengan berlakunya UU Perseroan membuat banyaknya kepentingan yang terkait dengan kepailitan suatu Perseroan Terbatas, yaitu kepentingan perseroan, kepentingan pemegang saham, kepentingan karyawan, kepentingan masyarakat dan kepentingan persaingan sehat. Apabila Debitor pailit adalah Bank, tentunya terkait dengan kepentingan nasabah, baik yang menyimpan dananya di Bank maupun masyarakat yang memperoleh kredit dari Bank. Termasuk negara tidak kehilangan sumber pajak dan sumber-sumber lainnya yang berkaitan dengan kegiatan ekonomi Debitor pailit. Asas ini tidak sepenuhnya dianut oleh UU Kepailitan. 6. Asas Putusan Pernyataan Pailit Tidak Dapat Dijatuhkan Terhadap Debitor Yang Masih Solven Pernyataan pailit menurut asasnya hanya dapat diajukan kepada Debitor yang tidak mampu membayar utang-utangnya lebih 50 % dari jumlah seluruh utangnya, sedangkan Debitor mempunyai tagihan atau piutang kepada Debitor lain melebihi 50 % jumlah utangnya, keadaan tersebut tidak dapat dijadikan alasan untuk mengajukan pailit terhadap Debitor termohon pailit. Pasal 1 Fv menentukan bahwa seorang Debitor dapat diajukan ke pengadilan untuk dinyatakan pailit hanya apabila Hukum Kepailitan di Indonesia

33

Debitor telah berhenti membayar utang-utangnya, keadaan berhenti membayar merupakan keadaan dimana Debitor benar-benar tidak mampu membayar utang-utangnya atau Debitor sudah dalam keadaan insolvensi, bukan karena Debitor tidak mau membayar utangnya. Untuk menentukan keadaan keuangan Debitor benar-benar tidak mampu membayar utang-utangnya hanya dapat ditentukan dengan melakukan financial audit atau financial due diligence, yang dilakukan oleh akuntan publik. UU Kepailitan tidak menganut asas tersebut. Hasil pelaksanaan financial audit atau financial due deligence dapat memberikan gambaran tentang keadaan terakhir harta dari Debitor termohon pailit, sehingga keadaan tersebut selain untuk memenuhi kehendak asas solven, juga memberikan transparansi dalam proses kepailitan, laporan hasil financial audit juga dapat menentukan sikap kreditor pemohon pailit akan tindak lanjut permohonan pailitnya. Seharusnya financial audit dan financial due diligence diterapkan dalam hukum kepailitan Indonesia. Asas ini sama sekali bertentangan dengan UU Kepailitan. 7. Asas Persetujuan Putusan Pailit Harus Disetujui Oleh Para Kreditor Mayoritas. Pengajuan kepailitan oleh seorang kreditor dapat diajukan akan tetapi apakah Debitor dapat dinyatakan pailit hendaknya mendengarkan sikap dan mendapat persetujuan dari kreditor lain melalui rapat kreditor, putusan pailit hendaknya mendapat persetujuan kreditor terutama kreditor yang memiliki sebagian besar piutangnya, sehingga kepailitan menjadi kesepakatan bersama antara Debitor dengan para kreditornya. Asas ini tidak dikenal dalam UU Kepailitan. 8. Asas Keadaan Diam (Standstill atau Stay) Undang-undang kepailitan seharusnya memberlakukan keadaan diam secara otomatis, pemberlakuan keadaan diam sudah berjalan sejak kepailitan didaftarkan di pengadilan, hal tersebut dapat melindungi kepentingan para kreditor dari upaya-upaya Debitor untuk berlaku tidak jujur sehingga 34

Hukum Kepailitan di Indonesia

menimbulkan kerugian kepada kreditor. Dalam keadaan ini juga tidak mungkin dilakukan peletakan sita terhadap harta Debitor tersebut, selama pemberlakuan masa diam juga memberikan perlindungan kepada Debitor untuk tidak diganggu oleh kreditornya. Asas ini tidak sepenuhnya dianut dalam UU Kepailitan. 9. Asas Mengakui Hak Separatis Kreditor Pemegang Hak Jaminan. UU Kepailitan memberikan kedudukan istimewa kepada kreditor pemegang hak jaminan kebendaan akan tetapi tidak sepenuhnya dilaksanakan karena adanya tenggang waktu selama 90 hari bagi kreditor menunggu untuk melakukan pelelangan terhadap harta jaminan tersebut. 10. Asas Proses Putusan Pernyataan Pailit Tidak Berkepanjangan. UU Kepailitan membatasi lamanya proses kepailitan di semua tingkat peradilan, keadaan tersebut memberikan kepastian tentang waktu atau lamanya proses kepailitan di pengadilan, kelemahan dari UU Kepailitan tidak memberikan tenggang waktu yang jelas kepada kurator untuk melaksanakan pemberesan harta pailit, hal ini memakan waktu yang panjang, sehingga memberikan kesan hukum kepailitan tidak dapat memberikan kepastian tentang lamanya proses pasca putusan pailit tersebut. UU Kepailitan juga tidak memberikan sanksi hukum bagi kurator yang tidak segera menyelesaikan proses pemberesan harta pailit tersebut. 11. Asas Proses PutusanPailit Terbuka Untuk Umum Asas proses putusan pailit terbuka untuk umum bertujuan agar semua pihak yang berkepentingan dengan kepailitan tersebut mengetahui bahwa Debitor dalam keadaan pailit, lebih banyak kepentingan terkait apabila Debitor pailit adalah bank, hal tersebut tidak hanya berkaitan dengan kepentingan Debitor dan kreditor akan tetapi juga menyangkut kepentingan masyarakat yang mempunyai dana dan atau mendapat fasilitas kredit dari bank tersebut, karenanya proses dan putusan pailit harus dapat diakses dan terbuka untuk umum. Hukum Kepailitan di Indonesia

35

12. Asas Pengurus Perusahaan Debitor Yang Mengakibatkan Perusahaan Pailit Harus Bertanggung Jawab Pribadi. Pelaksanaan pengelolaan perusahaan tidak selamanya berjalan dengan baik dan tidak selamanya dilakukan oleh orang-orang yang profesional, sehingga lebih banyak keuangan perusahaan digunakan untuk kepentingan pribadi dengan melakukan perbuatan-perbuatan yang melanggar ketentuan hukum dan merugikan keuangan perusahaan, hendaknya ketentuan kepailitan memuat ketentuan yang menyatakan bahwa pengelolaan perusahaan dengan tidak benar dan mengakibatkan kerugian keuangan perusahaan menjadi tanggung jawab pribadi pengurus perusahaan, UU Kepailitan tidak mengatur hal tersebut akan tetapi di dalam UU Perseroan secara tegas disebutkan tanggung jawab tersebut, 13. Asas Memberikan Kesempatan Restrukturisasi Utang Sebelum Diambil Putusan Pernyataan Pailit Kepada Debitor Yang Masih Memiliki Usaha Yang Prospektif. Hukumkepailitan seharusnya tidak hanya bertujuan untuk menyelesaikan utang-utang debitor dengan menyatakan pailit, hendaknya ada tindakan-tindakan pengadilan yang mendahului putusan pailit untuk memberikan kesempatan kepada Debitor termohon pailit melakukan restrukturisasi utang dan melakukan debt and corporate restructuring atau corporate reorganization atau corporate rehabilitation, sehingga memungkinkan perusahaan atau Debitor kembali dalam kedaan mampu membayar utang-utangnya. UU Kepailitan tidak menganut asas tersebut, hanya saja dalam proses pemberesan pailit dalam rapat-rapat kreditor diberikan kesempatan kepada debitor mengajukan rencana perdamaian terkait kepailitannya tersebut. 14. Asas Yang Merugikan Harta Pailit Adalah Tindak pidana. Hukum kepailitan seharusnya juga mengatur ketentuanketentuan pidana terhadap debitor yang melakukan kecurangan dan pelanggaran ketentuan-ketentuan kepailitan, yang merugikan kepentingan kreditor ataupun harta pailit. demikian juga dengan ketentuan terhadap kreditor yang 36

Hukum Kepailitan di Indonesia

bersekongkol dengan debitor dalam proses kepailitan yang merugikan kreditor lainnya, demikian juga sanksi pidana terhadap debitor yang melakukan adanya kreditor-kreditor fiktif dalam proses kepailitan yang diajukannya. UU Kepailitan tidak memuat ketentuan tersebut. Untuk mengelaborasi harapan-harapan tersebut, dengan mengacu pada Undang-undang Nomor 4 Tahun 1998 dan Undangundang Nomor 37 Tahun 2004 hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut : Adil, kepailitan harus dapat memenuhi rasa keadilan bagi para pihak yang berkepentingan, untuk mencegah terjadinya kesewenang-wenangan pihak penagih atau kreditor yang berusaha meminta pembayaran atas tagihan masing-masing terhadap Debitor dengan tidak mempedulikan kreditor lainnya. Undangundang kepailitan yang baik harus berlandaskan pada asas untuk memberi perlindungan yang seimbang bagi kreditor dan Debitor, juga bagi semua pihak yang terkait dan berkepentingan dengan kepailitan seseorang atau suatu perusahaan. Perlindungan kepentingan yang seimbang itu bukan saja mengakui kepentingan seseorang tetapi juga kepentingan orang banyak, masyarakat dan yang terkait dengan kepailitan Debitor. Cepat, undang-undang kepailitan harus menjamin proses kepailitan berjalan tidak berlarut-larut. Untuk mencapai tujuan itu, undang-undang kepailitan membatasi berapa lama proses kepailitan harus telah tuntas sejak proses kepailitan dimulai. Dalam hubungan ini, maka harus ditentukan batas waktu bagi pengadilan yang berwenang memutuskan pernyataan pailit telah memeriksa dan memutuskan permohonan pernyataan pailit itu. Sebagaimana diuraikan diatas bahwa latar belakang diadakannya perubahan dan penambahan terhadap undang-undang kepailitan adalah perlunya pemulihan ekonomi (economy recovery) Indonesia dilakukan secara cepat dengan menyelesaikan masalah utang piutang dunia usaha melalui lembaga kepailitan. Terbuka, kepailitan harus dapat diketahui oleh masyarakat luas. Putusan pailit terhadap seorang Debitor bukan saja menyangkut kepentingan satu atau dua orang kreditor saja, tetapi Hukum Kepailitan di Indonesia

37

juga menyangkut semua kreditor, karena dengan putusan pailit oleh pengadilan itu maka terhadap harta Debitor diletakkan sita umum. Untuk menjamin transparansi publik, maka pemeriksaan dan pengucapan putusan pengadilan harus diucapkan terbuka untuk umum, sebagaimana hal ini telah diatur dalam Herziene Indonesia Reglement (HIR). Menurut Pasal 299 Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 dinyatakan, bahwa kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini, maka hukum acara yang berlaku terhadap Pengadilan Niaga adalah hukum acara perdata, yaitu HIR. Sesuai ketentuan HIR pemeriksaan dan pengucapan putusan pengadilan adalah terbuka untuk umum, sehingga karenanya asas ini berlaku pula bagi Pengadilan Niaga. Khusus untuk kepailitan, ketentuan ini telah ditegaskan dalam Pasal 10 ayat (4) Undang-undang Nomor 4 Tahun 1998. Pasal 10 ayat (4) tersebut ditentukan bahwa putusan atas permohonan kasasi diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk umum. Putusan mengenai pencabutan kepailitan oleh Pengadilan Niaga, menurut ketentuan Pasal 19 ayat (3) Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 harus diputuskan dalam sidang yang terbuka untuk umum. Menurut Pasal 298 ayat (2) Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 putusan atas permohonan Peninjauan Kembali harus diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk umum pula. Menurut Pasal 15 ayat (4) Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004, dalam jangka waktu paling lambat 5 (lima) hari sejak tanggal putusan pernyataan pailit ditetapkan, Kurator mengumumkan dalam Berita Negara Republik Indonesia serta dalam sekurangkurangnya 2 (dua) surat kabar harian yang ditetapkan oleh Hakim Pengawas mengenai ikhtisar putusan pernyataan pailit, yang memuat hal-hal sebagai berikut : a. nama, alamat dan pekerjaan debitor; b. nama Hakim Pengawas; c. nama, alamat dan pekerjaan Kurator; d. nama, alamat dan pekerjaan anggota panitia kreditor sementara apabila telah ditunjuk; e. tempat dan waktu penyelenggaraan rapat pertama kreditor. 38

Hukum Kepailitan di Indonesia

Menurut ketentuan Pasal 20 ayat (2) Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004, pada setiap Pengadilan Niaga harus diadakan daftar (register) umum oleh Panitera yang didalamnya harus dicatat secara berurutan tanggalnya yang memuat : a. Ikhtisar mengenai putusan-putusan pengadilan yang berisi pernyataan pailit atau pembatalan pailit. b. Uraian mengenai isi putusan dan pengesahan perdamaian c. Pembatalan perdamaian. d. Jumlah-jumlah pembagian dalam suatu penyelesaian. e. Pencabutan kepailitan sebagaimana dimaksud Pasal 15. f. Rehabilitasi terhadap debitor pailit. Efektif, efektifitas Undang-undang Nomor 4 Tahun 1998 menjadi sangat penting, karena pembentukan Perpu Nomor 1 Tahun 1998 tentang Kepailitan dibentuk dalam rangka menghadapi krisis moneter yang sangat mempengaruhi perekonomian Indonesia. Dengan pertimbangan tadi pendekatan penyempurnaan Faillissementverordening dipandang lebih realistis efektif dibanding membuat aturan baru. Faktor waktu dan keinginan untuk secepatnya menyelesaikan permasalahan guna pemulihan ekonomi menjadi sangat penting, sangat mendesak, dan sangat memaksa karena itulah dipergunakan Perpu sebagai instrumen/rasa kepentingan yang memaksa. Perpu Nomor 1 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undangundang Kepailitan diundangkan pada tanggal 22 April 1998 dan dinyatakan berlaku efektif 120 hari sejak diundangkan serta telah disahkan menjadi Undang-undang Nomor 4 Tahun 1998 pada tanggal 24 Juli 1998. Undang-undang tersebut efektif berlaku 20 Agustus 1998 hingga kembali menjalani perubahan dengan Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004, tanggal 18 Oktober 2004.42 Pengajuan permohonan PKPU dimaksudkan Debitor diberikan waktu dalam tenggang waktu tertentu (time frame) agar 42

Bambang Kesowo, Perpu Nomor 1 Tahun 1999, Latar Belakang dan Arahnya, Makalah Para Pakar yang Berkaitan dengan Undang-undang Nomor 4 Tahun 1998 jo. Perpu Nomor 1 Tahun 1998, Jakarta, Mahkamah Agung, 2000, hlm. 4.

Hukum Kepailitan di Indonesia

39

Debitor dapat melakukan pembayaran utang-utangnya secara memuaskan. Undang-undang kepailitan memungkinkan dilakukannya perdamaian antara debitor dan para kreditornya sekalipun telah ada putusan pernyataan pailit dari pengadilan. Perdamaian yang disetujui para kreditor dapat disahkan oleh Majelis Hakim yang mengakibatkan kepailitan berakhir. Proses penyelesaian permohonan pailit yang cepat merupakan salah satu dasar perubahan Undang-undang Nomor 4 Tahun 1998, hal ini terkandung dalam pasal-pasal yang mengatur jangka waktu (time frame) penyelesaian permohonan, yaitu dalam 30 (tiga puluh) hari sejak permohonan didaftarkan di Pengadilan Niaga permohonan telah diputus. Demikian juga pemeriksaan ditingkat kasasi dan peninjauan kembali. Dalam Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004, jangka waktu penyelesaian permohonan bertambah panjang menjadi 60 (enam puluh) hari, karena jika diperiksa jangka waktu 30 (tiga puluh) hari untuk mengambil putusan permohonan pailit adalah sangat terburu-buru, sehingga pertimbangan hukum dalam putusan tidak cukup berkualitas. 6. Tujuan Kepailitan Tujuan utama dari hukum kepailitan (bankruptcy law) adalah a. Memberi kesempatan kepada debitor untuk berunding dengan para kreditornya untuk melakukan restrukturisasi utang baik dengan penjadwalan kembali pelunasan utang debitor, dengan atau tanpa perubahan syarat syarat atau ketentuan ketentuan perjanjian utang, dengan atau tanpa pemberian pinjaman baru. b. Melindungi para kreditor konkuren untuk memperoleh hak mereka sehubungan dengan berlakunya asas jaminan bahwa “semua harta kekayaan debitor baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak baik yang telah ada maupun yang akan ada dikemudian hari, menjadi jaminan bagi perikatan debitor.” c. Menjamin agar pembagian harta kekayaan debitor di antara para kreditor sesuai dengan asas pari passu (membagi secara proporsional harta kekayaan debitor kepada para kreditor 40

Hukum Kepailitan di Indonesia

d.

e. f.

g. h. i. j.

k.

konkuren berdasarkan perimbangan besarnya tagihan masing masing). Memastikan siapa saja kreditor yang memiliki tagihan terhadap debitor pailit dengan melakukan pendaftaran kreditor. Memastikan kebenaran jumlah dan keabsahan piutang para kreditor dengan melakukan verifikasi. Memberi perlindungan kepada debitor yang beriktikad baik agar penagihan piutang kreditor tidak langsung dilakukan terhadap para debitor tetapi melalui likuidator atau kurator setelah debitor dinyatakan pailit oleh pengadilan. Melindungi para kreditor dari debitor yang hanya menguntungkan kreditor tertentu. Melindungi para kreditor dari sesama kreditor. Mencegah agar debitor tidak melakukan perbuatan perbuatan yang dapat merugikan kepentingan para kreditor. Menegakkan ketentuan actio paulina. Actio paulina adalah hak yang diberikan oleh undang undang kepada setiap kreditor untuk menuntut kebatalan dari segala tindakan debitor yang tidak diwajibkan untuk dilakukannya. Menghukum pengurus perusahaan yang karena kesalahannya telah mengakibatkan perusahaan mengalami keadaan keuangan yang buruk sehingga perusahaan mengalami keadaan insolvensi sehingga dinyatakan pailit oleh pengadilan.

7. Prinsip-Prinsip Kepailitan a.

Prinsip Paritas Creditorium Prinsip paritas creditorium (kesetaraan kedudukan para kreditor) menentukan bahwa para kreditor mempunyai hak yang sama terhadap semua harta benda debitor. Apabila debitor tidak dapat membayar utangnya, maka harta kekayaan debitor menjadi sasaran kreditor.43 Prinsip paritas creditorium mengandung makna bahwa semua kekayaan debitor baik yang berupa barang bergerak 43

Mahadi, Falsafah hukum: suatu pengantar, alumni, bandung, 2003, hlm 135.

Hukum Kepailitan di Indonesia

41

ataupun barang tidak bergerak maupun harta yang sekarang telah dipunyai debitor dan barang barang di kemudian hari akan dimiliki debitor terikat kepada penyelesaian kewajiban debitor.44 Dalam hal seorang debitor hanya mempunyai satu kreditor dan debitor tidak membayar utangnya secara sukarela maka kreditor akan menggugat debitor secara perdata ke pengadilan negeri yang berwenang dan seluruh harta debitor menjadi sumber pelunasan utangnya kepada kreditor tersebut. dalam hal debitor mempunyai banyak kreditor dan harta kekayaan debitor tidak cukup untuk membayar lunas semua kreditor maka para kreditor akan berlomba dengan segala cara baik yang halal maupun yang tidak halal untuk mendapatkan pelunasan tagihannya terlebih dahulu. Kreditor yang datang belakangan sudah tidak dapat lagi pembayaran karena harta debitor sudah habis. Hal ini sangat tidak adil dan merugikan. Berdasarkan alasan tersebut, timbulah lembaga kepailitan yang mengatur tata cara yang adil mengenai pembayaran tagihan tagihan para kreditor.45 Filosofi dari prinsip paritas creditorium adalah bahwa merupakan suatu ketidakadilan jika debitor memiliki harta benda sementara utang debitor terhadap para kreditornya tidak terbayarkan. Hukum memberikan jaminan umum bahwa harta kekayaan debitor demi hukum menjadi jaminan terhadap utang utangnya meskipun harta debitor tersebut tidak berkaitan dengan utang utang tersebut. dengan demikian, prinsip paritas creditorium berangkat dari fenomena ketidakadilan jika debitor masih memiliki harta sementara utang debitor terhadap para kreditor tidak terbayarkan. Makna lain dari prisip paritas creditorium adalah bahwa yang menjadi jaminan umum terhadap utang utang debitor hanya terbatas pada harta kekayaannya saja bukan aspek lainnya, seperti status pribadi dan hak hak lainnya diluar harta kekayaan sama sekali tidak terpengaruh terhadap utang piutang debitor tersebut.

44

Kartini mulyadi , op. cit,hlm 168. Kartini muljadi, Pengertian dan Prinsip-Prinsip Umum HukumKepailitan, makalah, Jakarta, 2004, hlm 2.

45

42

Hukum Kepailitan di Indonesia

Kartini muljadi, juga menyatakan bahwa kalau diteliti, sebetulnya peraturan kepailitan dalam UUK adalah penjabaran Pasal 1131 dan 1132 KUHPerdata, karenanya: 1) Kepailitan hanya meliputi harta pailit dan bukan debitornya 2) Debitor tetap pemilik kekayaannya dan merupakan pihak yang berhak atasnya tetapi tidak lagi berhak menguasainya atau menggunakannya atau memindahkan haknya atau menganggunkannya. 3) Sitaan konservartor secara umum meliputi seluruh harta pailit.46 Namun demikian, prinsip paritas creditorium kendatipun merupakan respon atas ketidakadilan tersebut, jika prinsip paritas creditorium diterapkan secara letterlijk, maka akan menimbulkan ketidakadilan berikutnya. Letak ketidakadilan prinsip paritas creditorium adalah bahwa para kreditor berkedudukan sama antara satu kreditor dengan kreditor lainnya. Prinsip paritas creditorium tidak membedakan perlakukan terhadap kondisi kreditor baik itu kreditor yang memiliki piutang besar maupun kreditor yang memiliki piutang kecil baik kreditor yang memegang jaminan maupun kreditor yang tidak memegang jaminan. Ketidakadilan prinsip paritas creditorium adalah menyamaratakan kedudukan para kreditor. Betapa sangat tidak adil seorang kreditor yang memiliki piutang sebesar satu milyar rupiah diperlakukan dalam posisi sama dengan kreditor yang memiliki piutang satu juta rupiah. Demikian pula betapa tidak adilnya seorang kreditor yang memegang jaminan kebendaan diperlakukan sama dengan seorang kreditor yang sama sekali tidak memegang jaminan kebendaan. b. Prinsip Pari passu prorata parte Prinsip Pari passu prorata parte berarti bahwa harta kekayaan tersebut merupakan jaminan bersama untuk para kreditor dan hasilnya harus dibagikan secara proporsional antara merekea kecuali jika antara para kreditor itu ada yang menurut 46

Kartini muljadi, Action Pauliana dan Pokok-Pokok Tentang Pengadilan Niaga, alumni, bandung,2007, hlm 300.

Hukum Kepailitan di Indonesia

43

undang undang harus didahulukan dalam menerima pembayaran tagihannya. Prinsip ini menekankan pada pembagian harta debitor untuk melunasi utang-utangnya terhadap kreditor secara lebih berkeadilan dengan cara sesuai dengan proporsinya dan bukan dengan cara sama rata. Jika prinsip paritas creditorium bertujuan untuk memberikan keadilan kepada semua kreditor tanpa pembedaan kondisinya terhadap harta kekayaan debitor kendatipun harta kekayaan debitor tersebut tidak berkaitan langsung dengan transaksi yang dilakukannya maka prinsip Pari passu prorata parte memberikan keadilan kepada kreditor dengan konsep keadilan proporsional dimana kreditor yang memiliki piutang yang lebih besar maka akan mendapat porsi pembayaran piutangnya dari debitor lebih besar dari kreditor yang memiliki piutang lebih kecil daripadanya. Seandainya kreditor disamaratakan kedudukannya tanpa melihat besar kecilmya piutang maka akan menimbulkan ketidakadilan sendiri. Ketidakadilan pembagian secara paritas creditorium dalam kepailitan akan muncul ketika harta kekayaan deitor pailit lebih kecil dari jumlah utang utang debitor. Seandainya harta kekayaan debitor pailit lebih besar dari jumlah seluruh utang utang debitor maka penerapan prinsip Pari passu prorata parte menjadi kurang relevan. Demikian pula penggunaan lembaga hukum kepailitan terhadap debitor yang memiliki asset lebih besar dari jumlah seluruh utang utangnya adalah tidak tepat dan kurang memiliki relevasinya. Sejatinya kepailitan akan terjadi jika aktiva lebih kecil dari passiva. Kepailitan adalah sarana untuk menghindari perebutan harta debitor setelah debitor tidak lagi memiliki kemampuan untuk membayar utang-utangnya. Sejatinya pula kepailitan digunakan untuk melindungi kreditor yang lemah terhadap kreditor yang kuat dalam memperebutkan harta debitor. Sehingga pada hakikinya, prinsip Pari passu prorata parte adalah inheren dengan lembaga kepailitan itu sendiri.

44

Hukum Kepailitan di Indonesia

c. Prinsip Structured Creditor Penggunaan paritas creditorium yang dilengkapi dengan prinsip pari passu prorata parte dalam konteks kepailitan juga masih memiliki kelemahan jika antara kreditor tidak sama kedudukannya bukan persoalan besar kecilnya piutang saja tetapi tidak sama kedudukannya karena ada sebagian kreditor yang memegang jaminan kebendaan dan/atau kreditor yang memiliki hak preferensi yang telah diberikan oleh Undang-Undang. Adapun prinsip Structured Creditor adalah prinsip mengklasifikasikan dan mengelompokkan berbagai macam kreditor sesuai dengan kelasnya masing-masing. Dalam kepailitan kreditor diklasifikasikan menjadi 3 macam yakni: 1) Kreditor separatis; 2) Kreditor preferen; 3) Kreditor konkuren. Pembagian kreditor menjadi tiga klasifikasi tersebut di atas berbeda dengan pembagian kreditor pada rezim hukum perdata umum. Dalam hukum perdata umum pembedaan kreditor hanya dibedakan dari kreditor preferen dengan kreditor konkuren. Kreditor preferen dalam hukum perdata umum dapat mencakup kreditor yang memiliki hak jaminan kebendaan dan kreditor yang menurut Undang-Undang harus didahulukan pembayaran piutangnya. Akan tetapi di dalam kepailitan yang dimaksud dengan kreditor preferen hanya kreditor yang menurut Undang-Undang harus didahulukan pembayaran piutangnya seperti pemegang hak privilege, pemegang hak retensi dan lain sebagainya. Sedangkan kreditor yang memiliki jaminan kebendaan dalam hukum kepailitan diklasifikasikan dengan sebutan kreditor separatis.47 Ketiga prinsip tersebut diatas sangat penting baik dari segi hukum perikatan dan hukum jaminan maupun hukum kepailitan. Tidak adanya prinsip ini, maka pranata kepailitan menjadi tidak bermakna karena filosofi kepailitan adalah sebagai pranata untuk melakukan likuidasi terhadap asset debitor yang memiliki banyak kreditor dimana tanpa adanya kepailitan maka para debitor akan 47 J.Djohansjah, kreditor preferen dan separatis, pusat pengkajian hukum, Jakarta, 2012, hlm 138.

Hukum Kepailitan di Indonesia

45

saling berebut baik secara sah maupun tidak sah sehingga menimbulkan suatu keadaan ketidakadilan baik terhadap debitor itu sendiri maupun terhadap kreditor khususnya kreditor yang masuk belakangan sehingga tidak mendapatkan bagian harta debitor untuk pembayaran utang utang debitor. Kreditor yang berkepentingan terhadap debitor tidak hanya kreditor konkuren saja melainkan juga kreditor pemegang hak jaminan kebendaan atau yang sering disebut kreditor separatis dan kreditor yang menurut ketentuan hukum harus didahulukan atau yang disebut dalam rezim hukum kepailitan disebut kreditor preferen. Memang kreditor separatis sudah memegang jaminan kebendaan dan ia dapat mengeksekusi jaminan kebendaan yang dipegangnya seolang olah tidak terjadi kepailitan akan tetapi kreditor separatis tersebut masih memiliki kepentingan yang berupa sisa tagihan yang tidak cukup ditutup dengan eksekusi jaminan serta kepentingan mengenai keberlangsungan usaha debitor.

1. Syarat-Syarat Kepailitan Untuk dapat mengajukan permohonan pailit terhadap debitor haruslah memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan dalam peraturan perundangan kepailitan yang berlaku. Dalam menyatakan debitor pailit tidak cukup hanya mengajukan permohonan pailit ke Pengadilan Niaga oleh si kreditor. Ada halhal lain yang menjadi syarat utama yang ditetapkan oleh undangundang supaya debitor dapat dimohonkan pailit. Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 tahun 2004 menyebutkan : “Debitor yang mempunyai dua atau lebih kreditor dan tak membayar lunas sedikitnya satu hutang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan 46

Hukum Kepailitan di Indonesia

yang berwenang, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih kreditornya”. Suatu perusahaan dikatakan pailit atau istilah populernya “bangkrut” manakala perusahaan atau orang pribadi tersebut tidak sanggup atau tidak mau membayar utang-utangnya. Dan di dalam Pasal 1 Butir 1 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 dijelaskan pula bahwa Hakim Pengawas mengawasi debitor yang dinyatakan pailit dikarenakan dalam keadaan berhenti membayar kewajibannya. Agar debitor yang sedang dalam keadaan berhenti membayar tersebut dapat dinyatakan pailit oleh Pengadilan, dalam hal ini Pengadilan Niaga, maka berbagai persyaratan yuridis harus dipenuhi, adalah sebagai berikut antara lain : a. Debitor tersebut harus mempunyai lebih dari satu utang Pasal 2 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 menjelaskan tentang persyaratan seorang Debitor yang memiliki dua atau lebih Kreditor, merupakan pelaksanaan dari ketentuan Pasal 1132 KUHPerdata yang berbunyi : “Kebendaan tersebut menjadi jaminan bersama-sama bagi semua orang yang mengutangkan padanya; pendapatan penjualan benda-benda itu dibagi-bagi menurut keseimbangan yaitu menurut besar dan kecilnya piutang masing-masing, kecuali apabila diantara para kreditor itu ada alasan-alasan sah untuk didahulukan”. Rumusan tersebut memberitahukan bahwa pada dasarnya setiap kebendaan merupakan sisi positif harta kekayaan seseorang harus dibagi secara adil kepada setiap orang yang berhak atas pemenuhan perikatan individu ini, yang disebut dengan Kreditor. Untuk dapat dinyatakan pailit, debitor harus memiliki sekurang-kurangnya 2 (dua) kreditor. Setiap kreditor memiliki hak yang sama untuk mendapatkan pelunasan dari harta kekayaan debitor. Jika debitor hanya mempunyai satu kreditor, maka seluruh harta kekayaan debitor otomatis menjadi jaminan atas pelunasan utang debitor. Dengan demikian, debitor tidak dapat dituntut pailit, jika debitor hanya mempunyai satu kreditor. Hukum Kepailitan di Indonesia

47

Secara umum, ada 3 (tiga) macam kreditor yang dikenal dalam KUHPerdata, yaitu sebagai berikut: 1) Kreditor konkuren Kreditor konkuren adalah para kreditor dengan hak pari passu dan pro rata, artinya para kreditor secara bersama-sama memperoleh pelunasan (tanpa ada yang didahulukan) yang dihitung berdasarkan pada besarnya piutang masing-masing dibandingkan terhadap piutang mereka secara keseluruhan, terhadap seluruh harta kekayaan debitor tersebut. 2) Kreditor preferen (yang diistimewakan) Kreditor preferen yaitu kreditor yang oleh undang-undang, semata-mata karena ada sifat piutangnya, mendapatkan pelunasan terlebih dahulu. 3) Kreditor separatis Kreditor pemegang hak jaminan kebendaan in rem, yang dalam KUHPerdata disebut dengan nama gadai dan hipotek. Dengan dinyatakannya kepailitan atas debitor yang dinyatakan pailit, maka sesuai dengan ketentuan Pasal 21 juncto Pasal 24 Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 dengan diputuskannya pernyataan pailit, debitor pailit demi hukum kehilangan hak untuk menguasai dan mengurus kekayaan yang dimasukkan dalam kepailitan terhitung sejak tanggal kepailitan itu, termasuk juga untuk kepentingan perhitungan hari pernyataan itu sendiri, yang meliputi seluruh kekayaan debitor pada saat pernyataan pailit itu dilakukan, beserta semua kekayaan yang diperoleh selama kepailitan. Yang berarti terhitung sejak tanggal dinyatakan pailit ditentukan, terjadi pernyataan umum oleh pengadilan atas seluruh harta kekayaan debitor yang pailit tersebut dan selanjutnya pengurusan harta kekayaan debitor akan dilakukan oleh kurator dibawah pengawasan hakim pengawas. Alasan mengapa debitor tidak dapat dinyatakan pailit jika ia mempunyai seorang kreditor adalah bahwa tidak ada keperluan untuk membagi asset debitor di antara para kreditor dan berhak dalam perkara ini atas semua aset debitor. Hal ini dapat dimaklumi karena dalam kepailitan yang terjadi sebenarnya sita umum terhadap semua harta kekayaan debitor yang diikuti dengan 48

Hukum Kepailitan di Indonesia

likuidasi paksa, untuk nanti perolehan dari likuidasi paksa tersebut dibagi secara adil diantara kreditornya, kecuali apabila ada diantara para kreditornya harus didahulukan menurut ketentuan Pasal 1132 KUHPerdata.48 b. Minimal satu hutang tersebut telah jatuh waktu dan dapat ditagih Utang pada hakekatnya merupakan kewajiban yang timbul dari perikatan dimana ada satu pihak yang berhak atas prestasi (Kreditor) dan disisi lain ada pihak yang berkewajiban memenuhi prestasi (Debitor) atas suatu prestasi tertentu. Dengan rumusan demikian, maka utang yang menjadi dasar permohonan pailit termasuk utang yang timbul diluar kerangka perjanjian pinjam meminjam (uang), misalnya perjanjian jual beli, sewa-menyewa, dan lain sebagainya. Pasal 1 Ayat (6) Undang-Undang Kepailitan Nomor 37 Tahun 2004 menyatakan bahwa : “Utang adalah kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang baik dalam mata uang Indonesia maupun dari mata uang Asing, baik secara langsung maupun yang akan timbul dikemudian hari, yang timbul karena penjanjian atau undang-undang dan yang wajib dipenuhi oleh debitor dan bila tidak dipenuhi memberi hak kepada kreditor untuk mendapat pemenuhannya dari harta kekayaan debitor” Utang yang tidak dibayar adalah utang pokok atau bunganya, maka kemudian yang perlu diantisipasi oleh pemerintah adalah mempersiapkan sarana dan prasarananya yakni peradilannya, hakimnya, untuk menyelesaikan perkara kepailitan tersebut. Selain syarat harus adanya utang, syarat permohonan pernyataan pailit bahwa utang tersebut harus telah lewat waktu dan dapat ditagih. Pengertian telah lewat waktu dan dapat ditagih adalah hutang yang ditagih harus lewat waktu terlebih dahulu. Sutan Remy Sjahdeini berpendapat bahwa pengertian telah jatuh waktu atau hutang yang telah “expired” dengan sendirinya menjadi hutang yang telah jatuh waktu dan dapat di tagih, namun 48

Imran Nating, Tanggung Jawab Kurator dalam Pengurusan dan Pemberesan Harta Pailit, Raja Garfindo Persada, Jakarta, 2004, hlm. 33

Hukum Kepailitan di Indonesia

49

hutang yang telah dapat ditagih belum tentu merupakan hutang yang telah jatuh waktu. Hutang yang telah jatuh waktu apabila jangka waktu yang telah diperjanjikan dalam perjanjian kredit atas hutang piutang telah sampai pada waktunya. Sekalipun jangka waktu belum tiba hutang telah dapat ditagih yaitu apabila telah terjadi salah satu peristiwa “events of default”49 Aria Suryadi, Eryanto Nugroho dan Herni Sri Nurbaiti menyatakan pada umumnya, debitor dianggap lalai jika ia tidak tau atau gagal memenuhi kewajibannya dengan melampaui batas waktu yang telah ditentukan dalam perjanjian. Sehingga untuk melihat apakah suatu hutang telah jatuh waktu dan dapat ditagih harus merujuk pada perjanjian yang mendasari hutang tersebut.50 Pasal 1238 KUHPerdata, menyatakan : “Si berhutang adalah lalai, apabila ia dengan surat perintah atau dengan sebuah akta sejenis itu telah dinyatakan lalai, atau demi perikatannya sendiri, ialah jika ia menetapkan, bahwa si berhutang akan harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan.” Penjelasan dari Pasal 1238 KUHPerdata diatas, yaitu debitor akan dianggap lalai jika ada suatu perintah atau akta pernyataan lalainya si debitor yang dikirimkan oleh si kreditor. Sehingga wanprestasi tidak secara otomatis terjadi dan mengakibatkan dapat dituntutnya debitor terhadap ganti rugi atas tidak dipenuhinya prestasi. Didalam beberapa yurisprudensi telah di jelaskan tentang keadaan berhenti membayar secara lebih luas, yaitu: 1) Keadaan berhenti membayar tidak sama dengan keadaan bahwa kekayaan debitor tidak cukup untuk membayar utangnya yang sudah dapat ditagih, melainkan bahwa debitor tidak membayar utangnya. 2) Debitor dapat dianggap dalam keadaan berhenti membayar walaupun utang-utangnya itu dapat ditagih pada saat itu. 49

Sutan Remy Sjahdeini, Loc.Cit,hlm. 69 Aria Suryadi, Eryanto Nugroho dan Herni Sri Nurbaiti, Kepailitan di Negeri Pailit, Penerbit Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia cetakan II, Jakarta, 2004, hlm. 135 50

50

Hukum Kepailitan di Indonesia

Oleh karena itu, penentuan jatuh waktu hutang dan kondisikondisi yang menyebabkan akselerasi utang, harus didasarkan berdasarkan kesepakatan para pihak dalam perjanjian. Sehingga yang menjadi pegangan dalam menentukan apakah utang tersebut telah jatuh waktu dan dapat ditagih atau belum adalah perjanjian yang mendasari hubungan perikatan itu sendiri. Syarat bahwa utang harus telah jatuh waktu dan dapat ditagih menunjukkan bahwa utang harus lahir dari perikatan sempurna (adanya schulddan haftung). Dengan demikian, jelas bahwa utang yang lahir dari perikatan alamiah (adanya schuldtanpa haftung) tidak dapat dimajukan untuk permohonan pernyataan pailit. Jadi, meskipun debitor mempunyai kewajiban untuk melunasi utang itu, kreditor tidak mempunyai alas hak untuk menuntut pemenuhan utang tersebut. c. Permohonan Pailit dimintakan oleh pihak yang diberikan kewenangan Setiap debitor yang tidak mampu membayar utang-utangnya yang berada dalam keadaan berhenti membayar kembali utangutang tersebut, baik atas permintaannya sendiri maupun permintaan seseorang kreditornya dapat diadakan putusan oleh hakim yang menyatakan bahwa debitor yang bersangkutan dalam keadaan pailit. Pihak-pihak yang berwenang dalam mengajukan permohonan pailit secara lebih jelas telah disebutkan dalam Pasal 2 Ayat (1), Ayat (2), Ayat (3), Ayat (4), dan Ayat (5) Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, yaitu : Pasal 2 ayat (1): “Debitor yang mempunyai dua atau lebih Kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan Pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih kreditornya” Pasal 2 ayat (2) “Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapatjuga diajukan oleh kejaksaan untuk kepentingan umum” Hukum Kepailitan di Indonesia

51

Pasal 2 ayat (3) menyatakan : “Dalam hal Debitor adalah Bank, permohonan pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh Bank Indonesia” Pasal 2 ayat (4) menyatakan : “Dalam hal Debitor adalah Perusahaan Efek, Bursa Efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan, Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian, permohonan pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh Badan Pengawas Pasar Modal” Pasal 2 ayat (5) menyatakan : “Dalam hal Debitor adalah Perusahaan Asuransi, Perusahaan Reasuransi, Dana Pensiun, atau Badan Usaha Milik Negara yang bergerak di bidang kepentingan publik, permohonan pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh Kementrian Keuangan” Penentuan tentang siapa pihak yang berwenang untuk mengajukan permohonan pernyataan pailit adalah sangat penting untuk adanya kepastian hukum sehingga dapat mencegah penyalahgunaan hak, maksudnya orang yang tidak berhak atau tanpa mendapat kuasa untuk kemudian memohon putusan pailit. Berdasarkan uraian tersebut diatas bahwa yang merupakan syarat-syarat kepailitan adalah debitor sedang dalam keadaan berhenti membayar dan dapat dinyatakan pailit oleh Pengadilan, dalam hal ini Pengadilan Niaga, maka berbagai persyaratan yuridis harus dipenuhi, yaitu debitor tersebut harus mempunyai lebih dari satu utang, minimal satu hutang tersebut telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dan permohonan Pailit dimintakan oleh pihak yang diberikan kewenangan. 2. Prosedur Kepailitan Pemohon mengajukan permohonan pernyataan pailit kepada Ketua Pengadilan Niaga. Panitera Pengadilan Niaga wajib mendaftarkan permohonan tersebut pada tanggal permohonan yang bersangkutan diajukan dan kepada pemohon diberikan tanda terima tertulis yang ditandatangani oleh pejabat yang berwenang dengan tanggal yang sama dengan tanggal pendaftaran. Pasal 6 ayat (3) Undang-Undang Kepailitan mewajibkan panitera untuk menolak pendaftaran permohonan pernyataan 52

Hukum Kepailitan di Indonesia

pailit bagi institusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3), ayat (4), dan ayat (5). Debitor yang telah meninggalkan wilayah Republik Indonesia, maka Pengadilan yang berwenang menetapkan putusan adalah pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan hukum terakhir debitor. Debitor yang tidak bertempat tinggal kedudukan dalam wilayah Republik Indonesia, pengadilan yang berwenang memutuskan adalah pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan hukum kantor debitor menjalankan profesi atau usahanya dan bila debitor badan hukum maka kedudukan hukumnya adalah sebagaimana dimaksud dalam anggaran dasarnya (Lampiran Undang-Undang Kepailitan Pasal 2). Sebelum persidangan dimulai, pengadilan melalui juru sita melakukan pemanggilan para pihak, antara lain: a. Wajib memanggil debitor, dalam hal permohonan pernyataan pailit diajukan oleh kreditor, kejaksaan, Bank Indonesia, Bapepam, atau Menteri Keuangan; b. Dapat memanggil kreditor, dalam hal permohonan pernyataan pailit diajukan oleh debitor (voluntary petition) dan terdapat keraguan bahwa persyaratan untuk dinyatakan pailit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Kepailitan telah terpenuhi. Pemanggilan dilakukan oleh juru sita dengan surat kilat tercatat paling lambat 7 hari sebelum sidang pemeriksaan pertama diselenggarakan. Jangka waktu paling lambat 3 hari setelah tanggal permohonan pernyataan pailit didaftarkan, pengadilan mempelajari permohonan dan menetapkan sidang. Sidang pemeriksaan atas permohonan tersebut diselenggarakan dalam jangka waktu paling lambat 20 hari setelah tanggal permohonan didaftarkan. Permohonan debitor dan berdasarkan alasan yang cukup seperti adanya surat keterangan sakit dari dokter, pengadilan dapat menunda penyelenggaraan sidang pemeriksaan sampai dengan paling lambat 25 hari setelah tanggal permohonan didaftarkan. Hukum Kepailitan di Indonesia

53

Permohonan pernyataan pailit harus dikabulkan apabila terdapat fakta atau keadaan yang terbukti secara sederhana bahwa persyaratan untuk dinyatakan pailit telah terpenuhi. Dimaksud dengan fakta atau keadaan yang terbukti secara sederhana adalah adanya fakta dua atau lebih kreditor dan fakta utang yang telah jatuh waktu dan tidak dibayar, sedangkan perbedaan besarnya jumlah utang yang didalilkan oleh pemohon pailit dan termohon pailit tidak menghalangi dijatuhinya putusan pernyataan pailit. Putusan Pengadilan Niaga atas permohonan pernyataan pailit harus diucapkan paling lambat 60 hari setelah tanggal permohonan pernyataan pailit didaftarkan.51 Sesuai dengan ketentuan Pasal 2 Undang-Undang Kepailitan, pihak yang berhak mengajukan permohonan pailit adalah :52 a. Debitor sendiri (Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Kepailitan) Undang-Undang memungkinkan seorang debitor untuk mengajukan permohonan pernyataan pailit atas dirinya sendiri. Jika debitor masih terikat dalam pernikahan yang sah, permohonan hanya dapat diajukan atas persetujuan suami atau istri yang menjadi pasangannya (Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Kepailitan). b. Seorang kreditor atau lebih (Pasal 2 ayat (1) UndangUndang Kepailitan) Sesuai dengan penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU Kepailitan, kreditor yang dapat mengajukan permohonan pailit terhadap debitornya adalah kreditor konkuren, kreditor preferen, ataupun kreditor separatis. c. Kejaksaan (Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Kepailitan) Permohonan pailit terhadap debitor juga dapat diajukan oleh Kejaksaan demi kepentingan umum (Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Kepailitan). d. Bank Indonesia (Pasal 2 ayat (3) Undang-Undang Kepailitan) Permohonan pailit terhadap bank hanya dapat diajukan oleh Bank Indonesia berdasarkan penilaian kondisi 51 52

54

Ibid. hlm. 87-91. Sentosa Sembiring, op.cit., hlm. 24

Hukum Kepailitan di Indonesia

keuangan dan kondisi perbankan secara keseluruhan. Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 yang telah diubah dengan Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 Tentang perubahan atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan (selanjutnya disebut UU Perbankan) memberikan definisi tentang Bank sebagai berikut: “Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan/atau bentukbentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak (Pasal 1 butir 2)”. Bank Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 Tentang Bank Indonesia yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 (selanjutnya disebut UU BI). e. Badan Pengawas Pasar Modal atau Bapepam (Pasal 2 ayat (4) Undang- Undang Kepailitan). Permohonan pernyataan pailit terhadap perusahaan efek, bursa efek, lembaga kliring dan penjaminan, lembaga penyimpanan dan penyelesaian, hanya dapat diajukan oleh Bapepam yang diatur oleh Undang-Undang No. 8 Tahun 1995 Tentang Pasar Modal (UUPM). f. Menteri Keuangan (Pasal 2 ayat (5) Undang-Undang Kepailitan) Permohonan pernyataan pailit terhadap perusahaan asuransi, perusahaan reasuransi, dana pensiun, atau BUMN yang bergerak di bidang kepentingan publik hanya dapat diajukan oleh Menteri Keuangan, dengan maksud untuk membangun tingkat kepercayaan masyarakat terhadap usaha-usaha tersebut.53 Menurut buku pedoman tehknis administrasi dan tehknis peradilan perdata umum dan perdata khusus yang dikeluarkan

53

Ibid. hlm. 12-20.

Hukum Kepailitan di Indonesia

55

oleh Mahkamah Agung54 kelengkapan-kelengkapan persyaratan permohonan kepailitan adalah sebagai berikut: a. Permohonan dari kreditor 1) Surat permohonan bermaterai yang ditujukan kepada Ketua Pengadilan Niaga; 2) Surat kuasa khusus; 3) Kartu anggota advokat; 4) Tanda Daftar Perusahaan (TDP)/Yayasan/Asosiasi yang dilegalisir (dicap) oleh kantor perdagangan paling lama 1 (satu) minggu sebelum permohonan didaftarkan; 5) Surat perjanjian utang (Loan Agreement), atau bukti lainnya yang menunjukkan adanya perikatan utang (commercial paper, faktur, kuitansi, dll); 6) Perincian utang yang tidak terbayar; 7) Segala dokumen dalam bahasa asing harus diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh penterjemah resmi (tersumpah); 8) Segala dokumen yang berasal dari negara asing harus disahkan oleh Kedutaan/Konsulat Jenderal Republik Indonesia di negara asal; 9) Nama dan alamat masing-masing kreditor/debitor. b. Permohonan dari debitor perorangan 1) Surat permohonan bermaterai yang ditujukan kepada Ketua Pengadilan Niaga; 2) Surat kuasa khusus; 3) Kartu anggota advokat; 4) Surat tanda bukti diri suami/istri yang masih berlaku (KTP/Paspor/SIM); 5) Persetujuan suami/istri dan akta perkawinan yang dilegalisir; 6) Daftar aset (aktiva maupun pasiva); 7) Neraca pembukuan terakhir (dalam hal perorangan memiliki perusahaan). c. Permohonan dari debitor perseroan terbatas 54

Mahkamah Agung, Pedoman Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan Perdata Umum dan Perdata Khusus, Edisi 2007, Buku II, hlm. 13-15.

56

Hukum Kepailitan di Indonesia

1)

Surat permohonan bermaterai yang ditujukan kepada Ketua Pengadilan Niaga; 2) Surat kuasa khusus; 3) Kartu anggota advokat; 4) Tanda Daftar Perusahaan (TDP) yang dilegalisir (dicap) oleh kantor perdagangan paling lama 7 hari sebelum permohonan didaftarkan; 5) Berita acara rapat umum pemegang saham (RUPS); 6) Anggaran dasar/anggaran rumah tangga; 7) Neraca keuangan terakhir (auditor independen); 8) Nama serta alamat semua debitor dan kreditor. d. Permohonan dari debitor yayasan / asosiasi 1) Surat permohonan bermaterai yang ditujukan kepada Ketua Pengadilan Niaga; 2) Surat kuasa khusus; 3) Kartu anggota advokat; 4) Akta pendaftaran yayasan/asosiasi yang dilegalisir (dicap) oleh instansi yang berwenang paling lama 7 hari sebelum permohonan didaftarkan; 5) Putusan dewan pengurus yang memutuskan untuk mengajukan permohonan pailit; 6) Anggaran dasar/anggaran rumah tangga; 7) Neraca keuangan terakhir; 8) Nama serta alamat semua debitor dan kreditor/mitra usaha. e. Permohonan dari debitor perkongsian / partner 1) Surat permohonan bermaterai yang ditujukan kepada Ketua Pengadilan Niaga; 2) Surat kuasa khusus; 3) Kartu anggota advokat; 4) Tanda Daftar Perusahaan (TDP) yang dilegalisir (dicap) oleh kantor perdagangan paling lama 7 hari sebelum permohonan didaftarkan; 5) Neraca keuangan terakhir (auditor independen); 6) Nama serta alamat semua debitor dan kreditor/mitra usaha. Hukum Kepailitan di Indonesia

57

f. Permohonan dari debitor Kejaksaan, Bank Indonesia, BAPEPAM, dan Menteri Keuangan 1) Surat permohonan bermaterai yang ditujukan kepada Ketua Pengadilan Niaga; 2) Surat tugas; 3) Tanda daftar perusahaan, Bank, Perusahaan Efek yang dilegalisir (dicap) oleh kantor perdagangan paling lama 7 hari sebelum permohonan didaftarkan; 4) Surat perjanjian utang (Loan Agreement) atau bukti lain yang menunjukkan adanya perjanjian utang (commercial paper, faktur, kuitansi, dan lain-lain); 5) Perincian utang yang telah jatuh waktu dan dapat dibagi; 6) Nama dan alamat semua debitor dan serta kreditor; 7) Neraca keuangan terakhir; 8) Daftar asset (aktiva dan pasiva). Semua dokumen atau surat-surat seperti tersebut di atas dipenuhi sesuai kriteria pemohon (kreditor/debitor/Kejaksaan/ Bank Indonesia/ Bapepam/ Menteri Keuangan), maka kemudian panitera akan mendaftarkan permohonan pernyataan pailit pada tanggal permohonan yang bersangkutan diajukan, dan kepada pemohon diberikan tanda terima tertulis yang ditanda tangani panitera dengan tanggal yang sama dengan tanggal pendaftaran. Guna melindungi kepentingan kreditor (bersifat preventif dan sementara) yang selama ini sering kali diakali oleh debitor yang nakal, maka di dalam lampiran Undang-Undang Kepailitan Pasal 7 ditetapkan bahwa selama putusan atas permohonan pernyataan pailit belum ditetapkan, setiap kreditor/kejaksaan dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan untuk: a. Meletakkan sita jaminan terhadap sebagian atau seluruh kekayaan debitor, atau b. Menunjuk kurator sementara untuk: 1) Mengawasi pengelolaan usaha debitor, dan 2) Mengawasi pembayaran kepada kreditor, pengalihan atau penggunaan kekayaan debitor yang dalam rangka kepailitan memerlukan persetujuan kurator.

58

Hukum Kepailitan di Indonesia

3. Status Harta Debitor Pailit Jika kita berbicara mengenai status harta Debitor pailit, hal ini diatur dalam Pasal 41 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 tentang Kepailitan yang berbunyi : untuk kepentingan harta pailit dapat dimintakan pembatalan atas segala perbuatan hukum Debitor yang telah dinyatakan pailit yang merugikan kepentingan Kreditor, yang dilakukan sebelum pernyataan pailit ditetapkan; dan pembatalan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat dilakukan apabila dapat dibuktikan bahwa pada saat perbuatan hukum tersebut dilakukan debitor dan pihak dengan siapa perbuatan hukum itu dilakukan, mengetahui atau sepatutnya mengetahui bahwa perbuatan hukum tersebut akan mengakibatkan kerugian bagi kreditor; dan dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah perbuatan hukum Debitor yang wajib dilakukan berdasarkan perjanjian atau karena undang-undang.55 Harta pailit dalam hal ini dapat dimintakan pembatalan atas segala perbuatan hukum Debitor yang telah dinyatakan pailit. Jadi harta Debitor benar-benar dalam “status quo”, pengawasan terhadap pailit ini di bawah kekuasaan dan pengawasan Kurator yang telah disetujui dalam putusan Majelis Hakim Pengadilan Niaga. Status harta pailit oleh undang-undang dilarang untuk: dihibahkan atau diberikan cuma-cuma kepada pihak lain; dan atau diperjualbelikan atau ditukarkan dengan harta di luar pailit; dan atau menggadaikan dengan maksud tidak baik serta merugikan kreditor. Hak eksekusi Kreditor dan hak pihak ketiga atas harta yang ada pada Debitor pailit secara umum dapatlah dilihat bahwa Kreditor preferen dapat mengeksekusi barang tanggungan untuk pelunasan hutang. Ketentuan ini memungkinkan penundaan hak tersebut (termasuk hak pihak ketiga atas hartanya yang ada pada Debitor) untuk waktu yang telah ditentukan selama 90 hari sejak

55

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998, pasal 41.

Hukum Kepailitan di Indonesia

59

penetapan pailit. Ketentuan ini bertujuan menguntungkan Kreditor dan juga melindungi hak Kreditor yang ada pada Debitor. Upaya yang dapat dilakukan oleh Debitor dalam menghadapi putusan pengadilan, tentunya masing-masing pihak akan mempertahankan argumentasinya serta mempertahankan hak dengan melepaskan sekecil-kecilnya kewajiban. Namun secara sederhana upaya yang dapat dilakukan oleh Debitor antara lain: meminta penundaan pada majelis hakim; dan menunjuk pengawas yang mendampingi Debitor untuk melanjutkan usahanya. 4. Pengurusan Harta Pailit Pengurusan harta kepailitan dapat dilakukan oleh hakim pengawas, kurator, dan Balai Harta Peninggalan (BHP). a. Hakim pengawas Menurut Pasal 15 Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, dalam putusan pernyataan pailit harus diangkat kurator dan seorang hakim pengawas yang ditunjuk dari hakim Pengadilan Niaga. Tugas hakim pengawas ini adalah mengawasi pengurusan dan pemberesan harta pailit seperti yang diatur dalam Pasal 65 Undang-Undang Kepailitan Tahun 2004. Sebelum memutuskan sesuatu yang ada sangkut pautnya dengan pengurusan dan pemberesan harta pailit, Pengadilan Niaga wajib mendengar nasihat terlebih dahulu dari hakim pengawas. Pasal 65 Undang-Undang Kepailitan menyebutkan bahwa hakim pengawas mengawasi pengurusan dan pemberesan harta pailit, oleh karena itu pelaksanaan dari hukum kepailitan dalam menyelesaikan utang piutang tidak terbatas hanya sampai adanya putusan pernyataan pailit tetapi dalam pelaksanaan putusan tersebut masih harus diawasi oleh hakim pengawas. Tugas-tugas dan kewenangan hakim pengawas tersebut di atas, dapat disimpulkan sebagai berikut: 1) Memimpin rapat verifikasi; 2) Mengawasi tindakan dari kurator dalam melaksanakan tugasnya; memberikan nasihat dan peringatan kepada kurator atas pelaksanaan tugas tersebut; 60

Hukum Kepailitan di Indonesia

3)

Menyetujui atau menolak daftar-daftar tagihan yang diajukan oleh para kreditor; 4) Meneruskan tagihan-tagihan yang tidak dapat diselesaikannya dalam rapat verifikasi kepada Hakim Pengadilan Niaga yang memutus perkara itu; 5) Mendengar saksi-saksi dan para ahli atas segala hal yang berkaitan dengan kepailitan; 6) Memberikan ijin atau menolak permohonan si pailit untuk bepergian (meninggalkan tempat) kediamannya. Mengenai ketentuan tentang hakim pengawas dalam kepailitan terdapat dalam bagian ketiga paragraf 1 Pasal 65-68 Undang-Undang Kepailitan.56 b. Kurator Terhitung sejak tanggal putusan pernyataan pailit ditetapkan maka kurator berwenang melaksanakan tugas pengurusan dan atau pemberesan atas harta pailit, meskipun terhadap putusan tersebut diajukan kasasi atau peninjauan kembali (Lampiran Pasal 12 ayat (1) Undang-Undang Kepailitan jo Pasal 16 ayat (1) UndangUndang Kepailitan No. 37 Tahun 2004). Putusan pernyataan pailit yang dibatalkan sebagai akibat adanya kasasi atau peninjauan kembali, maka segala perbuatan yang telah dilakukan oleh kurator sebelum atau pada tanggal kurator menerima pemberitahuan tentang putusan pembatalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 tetap sah dan mengikat debitor. Pasal 17 ayat (1) menyebutkan bahwa kurator wajib mengumumkan putusan kasasi atau peninjauan kembali yang membatalkan putusan pailit dalam Berita Negara Republik Indonesia dan paling sedikit 2 (dua) surat kabar harian. Undang-Undang Kepailitan No. 37 Tahun 2004 dalam Pasal 70 ayat (1) jo Pasal 15 ayat (1), (2), (3) bahwa ada 2 macam kurator, yaitu kurator adalah Balai Harta Peninggalan dan kurator lainnya. Syarat untuk menjadi kurator (selain BHP) adalah:

56

Rahayu Hartini, Op.Cit., hlm. 127.

Hukum Kepailitan di Indonesia

61

1) Harus independen dan tidak mempunyai benturan kepentingan dengan debitor atau kreditor (Lampiran Pasal 13 ayat (3) Undang-Undang Kepailitan). 2) Perorangan atau persekutuan perdata yang berdomisili di Indonesia yang memiliki keahlian khusus yang dibutuhkan dalam rangka mengurus dan atau membereskan harta pailit. Dimaksud ”keahlian khusus” adalah mereka yang mengikuti dan lulus pendidikan kurator dan pengurus. 3) Telah terdaftar pada Kementrian yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang hukum dan peraturan perundang-undangan. Dimaksud dengan “terdaftar” adalah telah memenuhi syaratsyarat pendaftaran sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan adalah anggota aktif organisasi profesi kurator dan pengurus (Pasal 70 ayat (2) Undang-Undang Kepailitan No. 37 Tahun 2004).57 Tugas kurator diatur dalam Pasal 69 ayat (1) Undang-Undang Kepailitan No. 37 Tahun 2004, adalah melakukan pengurusan dan atau pemberesan harta pailit yang meliputi penyelamatan, pengelolaan dan penjaminan serta penjualan harta pailit. Kurator dalam menjalankan tugasnya, (Pasal 69 ayat (2) Undang-Undang Kepailitan Tahun 2004): a. Tidak diharuskan memperoleh persetujuan dari atau menyampaikan pemberitahuan terlebih dahulu kepada debitor atau salah satu organ debitor, meskipun dalam keadaan di luar kepailitan persetujuan atau pemberitahuan demikian dipersyaratkan. b. Dapat melakukan pinjaman dari pihak ketiga, sematamata dalam rangka meningkatkan nilai harta pailit. 5. Upaya Hukum Kepailitan Upaya hukum yang dapat dilakukan dalam hal kepailitan, adalah perlawanan dan kasasi, serta peninjauan kembali. a. Perlawanan 57

62

Ibid., hlm. 128.

Hukum Kepailitan di Indonesia

Perlawanan dalam kepailitan diajukan kepada pengadilan yang menetapkan putusan pernyataan pailit. Apabila ada piutang yang dijamin dengan hak tanggungan, hak eksekusi kreditor ditangguhkan untuk jangka waktu paling lama 90 (sembilan puluh) hari sejak tanggal putusan pernyataan pailit ditetapkan, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 56 Undang-Undang Kepailitan No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (sebelumnya adalah Pasal 56 A Undang-Undang Kepailitan No. 4 Tahun 1998). Jangka waktu tersebut akan berakhir demi hukum pada saat kepailitan berakhir lebih dini atau pada saat dimulainya keadaan insolvensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 178 ayat (1) (Pasal 57 ayat (1) Undang-Undang Kepailitan Tahun 2004), dimana dalam rapat pencocokan utang piutang tidak ditawarkan perdamaian, atau perdamaian yang ditawarkan telah ditolak atau pengesahan itu dengan pasti telah ditolak, maka demi hukum harta pailit itu dalam keadaan tidak mampu membayar. Kreditor atau pihak ketiga yang haknya ditangguhkan dapat mengajukan permohonan kepada kurator untuk mengangkat penangguhan atau mengubah syarat-syarat penangguhan tersebut. Kurator yang menolak permohonan tersebut, kreditor atau pihak ketiga dapat mengajukan permohonan tersebut kepada hakim pengawas. Putusan hakim pengawas, kreditor atau pihak ketiga yang mengajukan permohonan tersebut atau kurator dapat mengajukan perlawanan kepada pengadilan dalam jangka waktu paling lambat 5 (lima) hari sejak putusan ditetapkan dan pengadilan wajib memutuskan perlawanan tersebut dalam jangka waktu paling lambat 10 (sepuluh) hari terhitung sejak tanggal perlawanan tersebut diajukan. Putusan pengadilan yang memutus perkara perlawanan tersebut, tidak dapat diajukan kasasi maupun peninjauan kembali. Demikian pula terhadap putusan hakim pengawas tentang pengangkatan penangguhan atau perubahan syarat-syarat penangguhan seperti dimaksud dalam Pasal 58 ayat (2), tidak dapat

Hukum Kepailitan di Indonesia

63

diajukan kasasi atau peninjauan kembali (Pasal 58 ayat (4) UndangUndang Kepailitan Nomor 37 Tahun 2004). b. Kasasi Pengadilan Niaga menjatuhkan putusan atas permohonan pernyataan pailit, maka upaya hukum yang dapat diajukan terhadap putusan tersebut adalah kasasi ke Mahkamah Agung (Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang Kepailitan). Upaya hukum yang berupa kasasi ini diatur dalam Pasal 11 sampai dengan Pasal 13 Undang-Undang Kepailitan, yang prosesnya dapat dijelaskan sebagai berikut. Pihak-pihak yang dapat mengajukan kasasi atas putusan pernyataan pailit dapat dilihat dari Pasal 11 ayat (3) UndangUndang Kepailitan: “Permohonan kasasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), selain dapat diajukan oleh debitor dan kreditor yang merupakan pihak pada persidangan di tingkat pertama, juga dapat diajukan oleh kreditor lain yang bukan merupakan pihak pada persidangan tingkat pertama yang tidak puas terhadap putusan atas permohonan pernyataan pailit.” Permohonan kasasi atas putusan pernyataan pailit diajukan paling lambat 8 hari setelah tanggal putusan yang dimohonkan kasasi diucapkan, dengan mendaftarkan pada panitera Pengadilan Niaga yang telah memutus permohonan pernyataan pailit tersebut. Panitera mendaftarkan permohonan kasasi pada tanggal permohonan yang bersangkutan diajukan dan kepada pemohon diberikan tanda terima tertulis yang ditandatangani panitera dengan tanggal yang sama dengan tanggal penerimaan pendaftaran. Pemohon kasasi wajib menyampaikan memori kasasi pada tanggal permohonan kasasi didaftarkan kepada panitera Pengadilan Niaga, dan panitera wajib mengirimkan permohonan kasasi dan memori kasasi kepada pihak termohon kasasi paling lambat 2 (dua) hari setelah permohonan kasasi didaftarkan. Termohon dapat mengajukan kontra memori kasasi kepada panitera Pengadilan Niaga paling lambat 7 hari setelah tanggal termohon kasasi menerima memori kasasi dan panitera wajib menyampaikan kontra memori kasasi kepada pemohon kasasi 64

Hukum Kepailitan di Indonesia

paling lambat 2 hari setelah kontra memori kasasi diterima. Panitera wajib menyampaikan permohonan kasasi, memori kasasi, dan kontra memori kasasi beserta berkas perkara yang bersangkutan kepada Mahkamah Agung paling lambat 14 hari setelah tanggal permohonan kasasi didaftarkan. Mahkamah Agung wajib mempelajari permohonan kasasi dan menetapkan hari sidang paling lambat 2 hari setelah tanggal permohonan kasasi diterima oleh Mahkamah Agung. Sidang pemeriksaan atas permohonan tersebut dilakukan paling lambat 20 hari setelah tanggal permohonan kasasi diterima oleh Mahkamah Agung. Putusan atas permohonan kasasi harus diucapkan paling lambat 60 hari setelah tanggal permohonan kasasi diterima oleh Mahkamah Agung.58 c. Peninjauan Kembali (PK) Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, mengenai peninjauan kembali diatur pada bab tersendiri yakni pada bab IV tentang peninjauan kembali, yaitu mulai Pasal 295-298. Undang-Undang Kepailitan menentukan alasan dapat diajukannya permohonan peninjauan kembali apabila: 1) Setelah perkara diputus ditemukan bukti baru yang bersifat menentukan yang pada waktu perkara diperiksa di Pengadilan sudah ada, tetapi belum ditemukan; atau 2) Dalam putusan Hakim yang bersangkutan terdapat kekeliruan yang nyata. Pembatasan waktu untuk mengajukan permohonan peninjauan kembali ditentukan antara lain: 1) Apabila yang dijadikan sebagai dasar permohonan peninjauan kembali berupa bukti baru/novum, maka waktu yang diberikan untuk mengajukan permohonan peninjauan kembali adalah 180 hari setelah tanggal putusan yang dimohonkan peninjauan kembali memperoleh kekuatan hukum tetap; 58

Jono, Op.Cit., hlm. 93-94.

Hukum Kepailitan di Indonesia

65

2) Apabila yang dijadikan sebagai dasar permohonan peninjauan kembali berupa kekeliruan yang nyata, maka waktu yang diberikan untuk mengajukan permohonan peninjauan kembali adalah 30 hari setelah tanggal putusan yang dimohonkan peninjauan kembali memperoleh kekuatan hukum tetap. Proses permohonan peninjauan kembali atas putusan pernyataan pailit hampir sama dengan proses permohonan kasasi, tetapi dengan putusan harus diucapkan dalam jangka waktu paling lambat 30 hari setelah tanggal permohonan diterima panitera Mahkamah Agung, Mahkamah Agung wajib menyampaikan kepada para pihak salinan putusan peninjauan kembali yang memuat secara lengkap pertimbangan hukum yang mendasari putusan tersebut. 6. Perdamaian (Accoord) Dalam Kepailitan Di dalam ketentuan kepailitan dikenal 2 (dua) macam perdamaian (accord atau composition), yaitu : a. Perdamaian yang diajukan debitor setelah debitor dinyatakan pailit oleh pengadilan (perdamaian dalam kepailitan). b. Perdamaian yang ditawarkan oleh debitor maupun kreditor sebagai perlawanan atau untuk menangkis kepailitan, sehingga pengadilan segara menjatuhkan penetapan PKPU bersifat sementara (perdamaian dalam PKPU). Pokok bahasan dalam konteks ini adalah perdamaian yang diajukan oleh debitor setelah jatuhnya pailit (perdamaian dalam kepailitan), sedangkan perdamaian dalam PKPU akan diuraikan dalam pembahasan selanjutnya. Pada dasarnya perdamaian dalam kepailitan adalah sama dengan perdamaian pada umumnya yang intinya adalah kesepakatan diantara debitor dan kreditor sehingga pada akhirnya pihak-pihak tersebut tunduk dan terikat pada kesepakatan yang telah dibuat. Hanya saja terdapat beberapa perbedaan diantara keduanya bahkan juga terdapat perbedaan dengan perdamaian dalam PKPU, sebagai berikut : a. Daya mengikat kepada kreditor, perdamaian yang dilakukan di luar pengadilan akan mengikat semua pihak jika 66

Hukum Kepailitan di Indonesia

perdamaian tersebut disetujui oleh seluruh kreditor, berbeda dengan perdamaian dalam kepailitan, bahwa seluruh kreditor akan terikat jika perdamaian tersebut dilakukan sesuai ketentuan yang ada dan telah dilakukan pemungutan suara kreditor dengan kuorum tertentu untuk menyetujui perdamaian dimaksud. Berdasarkan Pasal 151 Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004, kuorum yang dimaksud hanya diperuntukkan bagi kreditor konkuren, sementara untuk kreditor separatis dan kreditor preferen tidak patuh pada kuorum itu. b. Segi prosedur, perdamaian dalam kepailitan diajukan dengan memenuhi ketentuan-ketentuan di dalam kepailitan, hal ini sangat berbeda dengan perdamaian biasa yang pada dasarnya dilakukan sesuai kesepakatan yang bebas hanya saja memerlukan persetujuan seluruh kreditor. Oleh karena itu perdamaian dalam kepailitan yang telah mendapatkan persetujuan dari kreditor masih memerlukan pengesahan dari pengadilan (ratifikasi) dalam suatu sidang yang dikenal sebagai sidang homologasi. Jika terjadi penolakan terhadap homologasi maka upaya hukum yang dapat dilakukan adalah kasasi ke Mahkamah Agung sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 160 Undangundang Nomor 37 Tahun 2004. c. Segi tujuan perdamaian, jika dibandingkan dengan perdamaian dalam PKPU, dari segi tujuan perdamaian dalam kepailitan ini adalah untuk menentukan bagian kreditor yang akan dibayar oleh Debitor pailit melalui likuidasi aset, sedangkan perdamaian dalam PKPU tujuannya adalah peningkatan nilai perusahaan (performance) yang pada akhirnya usaha bisnisnya tetap jalan, piutang-piutang kreditor dapat terbayar sesuai kesepakatan. d. Segi kreditor, pada perdamaian dalam kepailitan, kreditor separatis dan kreditor preferen didahulukan tidak tunduk pada perdamaian itu, hal ini sama dengan saat debitor dalam masa PKPU, sementara itu dalam perdamaian pada Hukum Kepailitan di Indonesia

67

umumnya kedudukan kreditor tersebut sangat tergantung pada perdamaian itu sendiri (Pasal 149 Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004). e. Pemungutan suara oleh kreditor, agar perdamaian dalam kepailitan dapat dihomologasi, terlebih dahulu rencana perdamaian tersebut mendapatkan persetujuan dari kreditor konkuren dengan kuorum tertentu, sementara pada perdamaian dalam PKPU yang terlibat dalam memberikan persetujuan bukan hanya kreditor konkuren namun juga kreditor separatis dan kreditor yang memiliki hak istimewa (preferen). f. Pihak-pihak yang terkait, dalam perdamaian pada umumnya pihak-pihak yang terkait hanyalah debitor dan kreditor atau ditambah juga fasilitator/mediator, sebaliknya pada perdamaian dalam kepailitan terdapat peran Kurator yang memiliki kewenangan besar (powerfull) dalam hal ini. g. Mempunyai daya eksekutorial, jika perdamaian dalam kepailitan tidak terlaksana sebagaimana mestinya, maka berdasarkan ketentuan Pasal 170 ayat (3) Undang-undang Nomor 37 tahun 2004, dalam waktu 30 hari setelah itu acara kepailitan akan dibuka kembali. Dalam perdamaian pada umumnya, default atau wanprestasi dari perjanjian perdamaian itu dapat diselesaikannya melalui gugatan biasa. Beberapa konsep dasar tentang perdamaian dalam kepailitan adalah sebagai berikut : a. Rencana perdamaian merupakan hak debitor untuk mengajukannya paling lambat 8 hari sebelum rapat pencocokan utang atau rapat verifikasi utang tersedia di Pengadilan Niaga (Pasal 145 Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004); b. Rencana perdamaian yang diajukan oleh debitor pailit akan dipelajari oleh para kreditor konkuren untuk selanjutnya akan dilakukan pemungutan suara sebagaimana telah ditentukan dalam Pasal 149 juncto Pasal 151 Undang-undang 68

Hukum Kepailitan di Indonesia

Nomor 37 Tahun 2004, bahwa pemegang hak gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotek atau hak agunan atas kebendaan lainnya dan kreditor yang diistimewakan termasuk kreditor yang mempunyai hak didahulukan yang dibantah, tidak boleh mengeluarkan suara berkaitan dengan rencana perdamaian, kecuali jika mereka melepaskan hakhaknya dan selanjutnya menjadi kreditor konkuren. Pemungutan suara untuk perdamaian dalam kepailitan ini adalah apabila perdamaian tersebut disetujui oleh lebih dari 1/2 (satu per dua) jumlah kreditor konkuren yang hadir dalam rapat dan yang haknya diakui, yang mewakili paling sedikit 2/3 (dua per tiga) dari jumlah seluruh piutang konkuren yang diakui atau yang untuk sementara diakui dari kreditor konkuren atau kuasanya yang hadir dalam rapat itu. Perdamaian yang disetujui berdasarkan kuorum di atas akan mengikat seluruh kreditor konkuren, termasuk kreditor yang tidak hadir atau tidak menyetujui perdamaian tersebut, artinya perdamaian dalam kepailitan ini memiliki sifat memaksa. Perdamaian yang telah disetujui oleh para kreditor tersebut agar dapat dieksekusi harus mendapatkan pengesahan atau homologasi dari pengadilan. 59 c. Pengadilan Niaga hanya dapat menolak pengesahan rencana perdamaian yang telah diterima apabila (Pasal 159 ayat (2) Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004) :

1). “Harta debitor termasuk barang-barang untuk mana dilaksanakan hak retensi jauh lebih besar dari jumlah yang disetujui dalam perdamaian;

2). Pelaksanaan perdamaian tidak cukup terjamin; 3). Perdamaian dicapai karena penipuan atau sekongkol dengan satu atau lebih kreditor atau karena pemakaian upaya-upaya hukum lain yang tidak jujur dan tanpa menghiraukan, apakah debitor atau pihak lain bekerjasama untuk mencapai hal itu.” 59

Dapat dibandingkan dengan pendapat Man S. Sastrawidjaja, Hukum Kepailitan dan PKPU, op. cit., hlm. 177-187.

Hukum Kepailitan di Indonesia

69

Dalam rapat pembicaraan dan pemunculan suara tentang rencana perdamaian, para Pengurus maupun para ahli (jika ada diangkat) harus memberikan laporan tentang perdamaian yang ditawarkan itu juga si debitor berhak untuk memberikan penjelasanpenjelasan mengenai rencana perdamaian tersebut, membela atau mencabutnya.60 Tagihan yang dimasukkan kepada Pengurus sampai dua hari sebelum rapat pembicaraan dan pemungutan suara tetap harus didaftar apabila dalam rapat tersebut, baik Pengurus maupun para kreditor yang hadir tidak mengajukan keberatan. Pengurus harus meletakkan salinan daftar piutang yang telah dibuat tersebut di atas di Kepaniteraan Pengadilan 7 (tujuh) hari sebelum rapat pembicaraan rencana perdamaian, agar dilihat secara cuma-cuma oleh siapa saja yang menghendaki. Pengawasan waktu penyampaian tagihan pada Pengurus tidak berlaku dalam hal kreditor dapat membuktikan bahwa terhambatnya ia mengajukan tagihan disebabkan jauhnya tempat tinggal sehingga tidak mungkin ia dapat memasukkan tagihan lebih awal. Dalam rapat pembicaran rencana perdamaian setiap kreditor konkuren berhak hadir sendiri atau kuasanya, baik kreditor maupun debitor berhak membantah piutang yang telah diakui oleh Pengurus baik sebagian atau seluruhnya. Pengurus juga berhak untuk menarik kembali pengakuannya. Hakim Pengawas harus menentukan sampai seberapa atau jumlah berapa tagihan yang dibantah itu dapat ikut dalam pemungutan suara. Atas jalannya pembicaraan rapat tersebut dibuatkan berita acara oleh Panitera. Setelah daftar yang memuat piutang yang diakui, diakui sementara, dibantah selesai dan Hakim Pengawas telah menentukan apakah dan sampai jumlah berapakah para kreditor yang tagihannya dibantah, dapat ikut serta dalam pemungutan syarat terhadap rencana perdamaian.61

60

Gunawan Widjaja, Perdamaian Sebagai Upaya Penyelesaian Hutang, Jakarta, Business News, 2000, hlm. 2. 61 Ibid., hlm. 3.

70

Hukum Kepailitan di Indonesia

Kreditor dapat ikut pemungutan suara adalah kreditor konkuren yang haknya diakui atau diakui sementara termasuk kreditor konkuren yang haknya ditentukan Hakim Pengawas yang hadir dalam rapat permusyawaratan. Dari uraian ini jelas sekali, bahwa kreditor konkuren yang mempunyai hak untuk ikut dalam pemungutan suara tidak dapat menggagalkan rencana perdamaian tersebut dengan tidak hadir dalam rapat tersebut. Dalam hal setengah kreditor konkuren yang menyetujui rencana perdamaian mewakili lebih dari setengah tagihan konkuren yang hadir, dalam jangka waktu delapan hari sejak pemungutan suara pertama, diadakan pemungutan suara kedua. Pada pemungutan suara kedua ini para kreditor tidak terikat pada suara pertamanya. Salinan risalah rapat pembicaraan rencana perdamaian harus diletakkan di Kepaniteraan untuk diperiksa oleh umum secara cumacuma (risalah rapat ditandatangani oleh Panitera dan Hakim Pengawas). Dalam jangka waktu 8 hari setelah rapat pembicaraan rencana perdamaian, kreditor konkuren dan debitor yang mendukung rencana perdamaian, jika Hakim Pengawas karena kelalaiannya menolak perdamaian, dapat mengajukan permohonan koreksi pada Pengadilan Niaga. Pengurus wajib memberitahukan putusan koreksi tersebut pada para kreditor. Dalam putusan koreksi Pengadilan Niaga harus menentukan tanggal pengesahan perdamaian yang harus ditentukan antara 8 dan 14 hari kerja setelah putusan koreksi diucapkan. Dengan putusan koreksi putusan kepailitan yang telah dijatuhkan sebagai akibat gagalnya rencana perdamaian menjadi batal demi hukum. Dalam hal rencana perdamaian diterima, Pengadilan Niaga akan menetapkan tanggal pengesahan perdamaian paling lambat 14 hari setelah rencana perdamaian disetujui oleh kreditor. Dalam Undang-undang No.37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, dimuat ketentuanketentuan tentang perdamaian, baik sebelum putusan pailit diucapkan di hadapan sidang Majelis Hakim Pengadilan Niaga yang terdapat dalam proses Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang untuk melawan permohonan pailit, maupun dalam proses kepailitan. Tujuan akhir Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Hukum Kepailitan di Indonesia

71

ini adalah perdamaian antara Debitor dan Kreditor mengenai Rencana Perdamaian yang diajukan oleh Debitor dan mediatornya adalah Pengurus. A. Perdamaian dalam Proses Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Perdamaian dalam proses Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang diatur dalam bagian ke-2 dari Bab III Pasal 265 sampai dengan Pasal 294 Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Dalam ketentuan Pasal 265 Rencana Perdamaian dalam proses Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang dapat diajukan pada waktu bersamaan dengan diajukannya permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang atau setelah itu. Pasal 265: Debitor berhak pada waktu mengajukan permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang atau setelah itu menawarkan suatu perdamaian kepada Kreditor. Majelis Hakim Pengadilan Niaga wajib mengabulkan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang sementara selama 45 hari dan menunjuk Hakim Pengawas dan Pengurus yang bertugas mengurus harta Debitor bersama Debitor. Pasal 225 ayat (2): Dalam hal permohonan diajukan oleh Debitor, Pengadilan dalam waktu paling lambat 3 (tiga) hari sejak tanggal didaftarkannya surat permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 224 ayat (1) harus mengabulkan penundaan kewajiban pembayaran utang sementara dan harus menunjuk seorang Hakim Pengawas dari pengadilan serta mengangkat 1 (satu) atau lebih pengurus yang bersama dengan Debitor mengurus harta Debitor. Permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang dapat pula diajukan oleh Kreditor dan wajib dikabulkan oleh Majelis Hakim Pengadilan Niaga. Pasal 225 ayat (3): Dalam hal permohonan diajukan oleh Kreditor, Pengadilan dalam waktu paling lambat 20 (dua puluh) hari sejak tanggal didaftarkannya surat permohonan, harus mengabulkan permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang sementara dan harus menunjuk Hakim Pengawas dari hakim 72

Hukum Kepailitan di Indonesia

pengadilan serta mengangkat 1 (satu) atau lebih pengurus yang bersama dengan Debitor mengurus harta Debitor. Rencana perdamaian hanya dapat diajukan oleh Debitor saja. Kreditor tidak dapat mengajukan Rencana Perdamaian. Kreditor hanya dapat mengajukan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Pasal 222 ayat (2): Debitor yang tidak dapat atau memperkirakan tidak akan dapat melanjutkan membayar utangutangnya yang sudah jatuh waktu dan dapat ditagih, dapat memohon penundaan kewajiban pembayaran utang, dengan maksud untuk mengajukan Rencana Perdamaian yang meliputi tawaran pembayaran sebagian atau seluruh utang kepada Kreditor. Menurut hemat penulis, seharusnya hanya Debitor yang berada dalam keadaan insolvensi yang dapat mengajukan permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, sehingga kemungkinan merugikan pihak yang berkepentingan (stake holders) termasuk Kreditor dapat dihindari. Menurut ketentuan, Pengadilan Niaga harus mengabulkan permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang selama 45 (empat puluh lima) hari sejak tanggal putusan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang yang dikenal dengan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Sementara, yang nantinya dapat menjadi Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang tetap selama 270 hari termasuk 45 hari Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Sementara. Keadaan insolvensi yang dialami Debitor merupakan syarat mutlak bagi Debitor untuk mengajukan permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan pranata dan lembaga kepailitan oleh Debitor yang tidak beritikad baik. Begitu pula Kreditor, untuk mengajukan permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang terhadap Debitor, hanya Debitor yang insolvensi yang dapat diajukan permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Hal ini dapat mencegah “pemanfaatan” pranata dan lembaga kepailitan oleh Kreditor yang tidak beritikad baik.

Hukum Kepailitan di Indonesia

73

Bila demikian, dapat dikatakan terpenuhi asas keseimbangan dalam Undang-undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Adanya asas keseimbangan ini sesuai dengan teori Utilitarisme Jeremy Bentham yang menekankan semboyan “kesejahteraan terbesar untuk warga masyarakat terbanyak” (the great happiness for the great members). Peranan hukum dalam masyarakat harus mensejahterakan masyarakat dunia usaha atau stake holders. Asas keseimbangan ini sesuai pula dengan ajaran hukum alam Grotius yang pada prinsipnya menekankan semboyan bahwa peranan hukum tidak boleh merugikan pihak manapun juga. Rencana perdamaian hanya dapat dilaksanakan dalam proses Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, karena tujuan akhir Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang ini adalah perdamaian yang tercapai antara Debitor dengan Kreditor-kreditornya berdasarkan Rencana Perdamaian yang disusun oleh Debitor. Disini terlihat bahwa untuk mewujudkan hukum itu dalam kenyataan yang namanya “perdamaian” dibutuhkan “lembaga hukum” yang namanya Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang dan “proses hukum” yang namanya proses perdamaian. Hukum bukan saja hanya sebagai norma dan asas-asas, tetapi mencakup juga lembaga dan proses yang diperlukan untuk mewujudkan hukum ini menjadi kenyataan, demikian teori hukum pembangunan Mochtar Kusumaatmadja yang merupakan pengembangan Teori Roscoe Pound dengan ajaran hukum sebagai alat pembaharuan-pembaharuan masyarakat (law as a tool of social engineering). Teori hukum pembangunan Mochtar Kusumaatmadja ini merupakan dasar pemikiran penulis bahwa Debitor yang dalam keadaan insolvensi yang boleh diajukan permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang baik oleh Debitor sendiri maupun oleh Kreditor agar tidak terjadi kegoncangan dalam masyarakat dunia usaha walaupun hukumnya bersifat netral dan terbuka. Proses perdamaian terhadap Rencana Perdamaian dalam Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Pengadilan Niaga hanya melakukan pengesahan saja terhadap hasil perdamaian antara Debitor dan para Kreditornya mengenai Rencana Perdamaian. 74

Hukum Kepailitan di Indonesia

Rencana perdamaian itu sepenuhnya diserahkan kepada para pihak sendiri, yaitu Debitor dan Kreditornya. Menurut Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang hanya Debitor saja yang dapat mengajukan Rencana Perdamaian, sedangkan Kreditor tidak dimungkinkan untuk mengajukan Rencana Perdamaian, sehingga hanya Debitor pula yang menyusun Rencana Perdamaian. Rencana perdamaian haruslah disusun sedemikian rupa oleh Debitor sehingga Kreditornya bersedia menerima Rencana Perdamaian itu. Biasanya, Rencana Perdamaian yang dinilai layak atau feasible dan tidak merugikan Kreditor saja yang akan diterima oleh Kreditor. Tidak ada gunanya bagi Kreditor apabila setelah masa implementasi perdamaian berakhir ternyata perusahaan akan mengalami keadaan insolven lagi. Karena itu, bagi kepentingan Debitor, Debitor harus meyakini bahwa di akhir masa implementasi perdamaian itu, diharapkan perusahaan Debitor yang semula insolven atau diperkirakan akan insolven dalam waktu singkat akan menjadi solven kembali. Bila tidak, maka perdamaian itu hanya menguntungkan Kreditor saja atau perdamaian itu hanya dianggap layak bagi Kreditor saja, tetapi tidak layak bagi Debitor. Karena itu sebaiknya studi kelayakan yang disusun untuk Rencana Perdamaian dalam rangka Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang harus dianggap layak oleh Kreditor dan Debitor. Rencana Perdamaian dapat diikuti dengan atau tanpa restrukturisasi atau penyehatan perusahaan Debitor. Dalam hal untuk keberhasilan restrukturisasi utang Debitor perlu dilakukan upaya penyehatan terhadap perusahaan Debitor, maka hendaknya restrukturisasi utang dilengkapi dengan restrukturisasi atau penyehatan perusahaan Debitor. Apabila Rencana Perdamaian diterima, maka Hakim Pengawas wajib menyampaikan laporan tertulis kepada pengadilan pada tanggal yang telah ditentukan untuk keperluan pengesahan perdamaian, dan pada tanggal yang ditentukan tersebut Pengurus dan Debitor serta Kreditor dapat menyampaikan alasan yang menyebabkan ia menerima atau menolak Rencana Perdamaian. Hukum Kepailitan di Indonesia

75

Pengadilan menetapkan tanggal sidang untuk pengesahan perdamaian yang harus diselenggarakan paling lambat 14 (empat belas) hari setelah Rencana Perdamaian disetujui oleh Kreditor, Debitor dan Pengurus. Pengadilan wajib memberikan putusan mengenai pengesahan perdamaian disertai alasan-alasannya pada sidang. Pengadilan wajib menolak untuk mengesahkan perdamaian, apabila: a) harta Debitor, termasuk benda untuk mana dilaksanakan hak untuk menahan benda, jauh lebih besar daripada jumlah yang disetujui dalam perdamaian. b) pelaksanaan perdamaian tidak cukup terjamin; c) perdamaian itu dicapai karena penipuan, atau persekongkolan dengan satu atau lebih Kreditor, atau karena pemakaian upaya lain yang tidak jujur dan tanpa menghiraukan apakah Debitor atau pihak lain bekerja sama untuk mencapai hal ini; dan/atau d) imbalan jasa dan biaya yang dikeluarkan oleh para ahli dan Pengurus belum dibayar atau tidak diberikan jaminan untuk pembayarannya. Apabila pengadilan menolak mengesahkan perdamaian, maka dalam putusan yang sama pengadilan wajib menyatakan Debitor pailit, dan putusan tersebut harus diumumkan. Apabila Rencana Perdamaian diterima, maka Rencana Perdamaian itu tidak dapat segera dilaksanakan. Ada tahap lain yang masih perlu ditempuh, yaitu memperoleh pengesahan perdamaian dari Pengadilan Niaga. Tanpa memperoleh pengesahan dari Pengadilan Niaga, maka Rencana Perdamaian itu tidak berlaku secara hukum, sehingga dengan demikian tidak pula operasional secara hukum. Konsekuensinya adalah apabila Rencana Perdamaian yang sekalipun telah disepakati oleh Debitor dan para Kreditornya, ternyata Debitor cidera janji, maka Debitor tidak dapat otomatis menyatakan pailit oleh pengadilan sebagaimana menurut ketentuan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Disamping itu para Kreditor yang tidak ikut menyepakati atau tidak hadir dalam pertemuan yang 76

Hukum Kepailitan di Indonesia

merundingkan Rencana Perdamaian, sehingga dengan demikian tidak ikut memberikan suaranya mengenai Rencana Perdamaian, tidak terikat dengan Rencana Perdamaian itu. Seperti halnya dalam kepailitan, segera setelah putusan tentang pengesahan perdamaian memperoleh kekuatan hukum yang tetap, maka perdamaian tersebut mengikat semua Kreditor tanpa kecuali, baik Kreditor yang telah menyetujui maupun yang tidak menyetujui Rencana Perdamaian itu. Bahkan Rencana Perdamaian itu mengikat pula mereka yang tidak hadir atau diwakili dalam sidang. Sebaliknya, dengan berakhirnya Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang karena putusan tentang pengesahan perdamaian telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap, maka terangkat pula penangguhan hak-hak Kreditor Separatis. Dalam hal Rencana Perdamaian ditolak oleh Kreditor atau apabila pengesahan perdamaian ditolak oleh pengadilan, maka dalam kedua hal tersebut akibatnya adalah sama, yaitu Pengadilan Niaga wajib menyatakan Debitor pailit dan terhadap putusan kepailitan tersebut tidak dapat diajukan upaya hukum Kasasi maupun upaya hukum Peninjauan Kembali. Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang tidak menentukan secara eksplisit mengenai pengelolaan kegiatan bisnis dari perusahaan Debitor apabila perdamaian tercapai. Tidak dijelaskan sampai sejauh mana fungsi Pengurus bila telah terjadi perdamaian dan bagaimana pula fungsi Kreditor. Menurut hemat penulis, harus ada ketentuan yang jelas mengenai fungsi Pengurus dalam hal perdamaian telah tercapai dan telah mendapat pengesahan Pengadilan Niaga sehingga telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Apabila Rencana Perdamaian disepakati oleh Debitor dan para Kreditor, baik dengan atau tanpa perubahan, yang tentunya hasil kesepakatan itu dituangkan dalam suatu Perjanjian Perdamaian, dan setelah kesepakatan itu disahkan oleh Pengadilan Niaga, maka Perjanjian Perdamaian tersebut mengikat baik Debitor maupun semua Kreditor. Selanjutnya hubungan antara Debitor dengan semua Kreditornya tidak lagi diatur dengan ketentuanHukum Kepailitan di Indonesia

77

ketentuan dalam masing-masing perjanjian sebelumnya, tetapi diatur dengan syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan dalam Perjanjian Perdamaian itu. Syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan dari masing-masing perjanjian bilateral yang telah ada sebelumnya antara Debitor dengan masing-masing Kreditornya yang berupa perjanjian-perjanjian utang-piutang (perjanjian kredit) menjadi tidak berlaku lagi setelah Rencana Perdamaian tersebut disepakati (yang telah menjadi Perjanjian Perdamaian) dan kemudian disahkan oleh Pengadilan Niaga. Kesepakatan dan pengesahan atas Rencana Perdamaian itu menimbulkan perjanjian baru. Dengan demikian, maka segala sengketa yang sedang diperiksa di muka pengadilan perdata antara Debitor dengan salah satu Kreditornya atau yang mungkin timbul antara Debitor dengan salah satu Kreditornya mengenai utang yang lama, tidak lagi diselesaikan menurut syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan Perjanjian Perdamaian yang Rencana Perdamaiannya telah disepakati antara Debitor dan para Kreditor dan disahkan oleh Pengadilan Niaga. Permohonan pernyataan pailit yang telah diajukan kepada Pengadilan Niaga, baik yang belum diperiksa maupun yang sedang diperiksa namun dihentikan pemeriksaannya sehubungan dengan adanya permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, tidak lagi berlaku. Kreditor yang terikat dengan Perjanjian Perdamaian itu adalah baik Kreditor konkuren maupun Kreditor separatis, baik Kreditor yang menyetujui atau yang menolak Rencana Perdamaian itu, baik Kreditor yang hadir maupun yang tidak hadir dalam rapat yang membicarakan Rencana Perdamaian. Tidak ada satu pun dari Kreditor yang tidak terikat dengan Perjanjian Perdamaian yang dicapai antara Debitor dengan para Kreditor. Tidak ada satu Kreditor pun yang dapat menyatakan bahwa dirinya tidak terikat dengan Perjanjian Perdamaian itu. Berdasarkan Undang-undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Rencana Perdamaian dalam rangka Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang tidak ditentukan secara tegas harus memperoleh persetujuan RUPS, walaupun perdamaian itu mengikat juga 78

Hukum Kepailitan di Indonesia

pemegang saham. Menurut pendapat penulis, bagaimanapun juga tercapainya perdamaian tersebut atau konsekuensi dari ditolaknya perdamaian akan mempengaruhi pula para pemegang saham. Oleh karena itu, seharusnya Rencana Perdamaian dalam rangka Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang yang diajukan oleh Debitor yang berbentuk Perseroan Terbatas hanya diajukan oleh direksi setelah memperoleh dan berdasarkan keputusan RUPS. Alasannya adalah karena apabila Rencana Perdamaian ditolak oleh para Kreditor, maka konsekuensinya Debitor langsung dinyatakan pailit dan dilikuidasi asetnya. Apabila pengajuan Rencana Perdamaian tidak ditentukan harus memperoleh persetujuan terlebih dahulu dari RUPS, maka hal itu bertentangan dengan ketentuan Undang-undang No.1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas, yaitu Pasal 115 UUPT menentukan bahwa apabila direksi bermaksud mengajukan usul pembubaran perusahaan Debitor, yang kemudian diikuti dengan likuidasi, harus berdasarkan keputusan RUPS. B. Perdamaian Sesudah Debitor Dinyatakan Pailit Undang-undang No.37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang mengenal dua macam perdamaian (accoord). Pertama, ialah perdamaian yang ditawarkan oleh Debitor dalam proses PKPU sebelum Debitor dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga seperti uraian di atas. Kedua, adalah perdamaian yang diusulkan oleh Debitor pailit yaitu yang dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga. Perdamaian yang diusulkan oleh Debitor pailit diatur dalam bagian keenam Bab II mulai Pasal 144 sampai dengan Pasal 177. Pasal 144 menentukan bahwa Debitor Pailit berhak untuk mengusulkan suatu perdamaian kepada semua Kreditor. Menurut hemat penulis, ketentuan ini muncul akibat tidak adanya unsur insolvensi dalam syarat kepailitan. Seharusnya Debitor pailit tidak perlu lagi mengajukan permohonan perdamaian karena Debitor pailit sudah berada dalam keadaan insolvensi alias bangkrut. Andaikan Debitor akan mengajukan permohonan rencana perdamaian, seharusnya dalam proses PKPU. Debitor mengajukan Hukum Kepailitan di Indonesia

79

rencana perdamaian bersamaan dengan permohonan PKPU, karena tujuan akhir PKPU adalah perdamaian. Setelah Debitor dinyatakan pailit, Debitor tidak lagi berhak untuk mengajukan permohonan perdamaian kepada Kreditor. Putusan pailit adalah konsekuensi tidak ditawarkannya rencana perdamaian oleh Debitor kepada Kreditor atau sebagai konsekuensi rencana perdamaian yang diajukan oleh Debitor tidak berhasil disepakati oleh Kreditornya. Walaupun syarat kepailitan dalam Undang-undang No.37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU tidak mencantumkan unsur insolvensi, tetap saja Debitor pailit tidak berhak untuk mengusulkan suatu perdamaian kepada semua Kreditor. Yang berhak adalah Kurator karena kewenangan Debitor pailit sudah beralih kepada Kuratur. 7. Akibat Hukum Kepailitan Ahmad Yani dan Gunawan Widjaja menyebutkan bahwa kepailitan menyebabkan debitor yang pailit kehilangan segala “hak perdata” untuk menguasai dan mengurus harta kekayaan yang telah dimasukkan kedalam harta pailit. “Pembekuan” hak perdata ini diberlakukan oleh Pasal 22 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 terhitung sejak saat keputusan pernyataan pailit diucapkan.62 Sebagai konsekuensi dari ketentuan Pasal 22 UndangUndang Nomor 37 Tahun 2004, maka semua perikatan antara debitor yang dinyatakan pailit dengan pihak ketiga yang dilakukan sesudah pernyataan pailit, kecuali bila perikatan-perikatan tersebut mendatangkan keuntungan bagi harta pailit. Dalam hal ini, begitu Debitor telah dinyatakan pailit, maka menimbulkan banyaknya akibat yuridis yang diberlakukan kepadanya oleh undang-undang. Akibat-akibat yuridis tersebut berlaku kepada debitor, yaitu : a. Berlaku demi hukum

62

80

Ahmad Yani dan Gunawan Widjaja, Op.Cit., hlm. 30

Hukum Kepailitan di Indonesia

Ada beberapa akibat yuridis yang berlaku demi hukum (by the operation of law) segera setelah pernyataan pailit dinyatakan atau setelah pernyataan pailit mempunyai kekuatan tetap, ataupun setelah berakhirnya kepailitan. Dalam hal seperti ini, Pengadilan Niaga, hakim pengawas, Kurator, Kreditor dan siapapun yang terlibat dalam proses kepailitan tidak dapat memberikan andil secara langsung untuk terjadinya akibat yuridis tersebut. Misalnya larangan bagi Debitor pailit untuk meninggalkan tempat tinggalnya (cekal), sungguhpun dalam hal ini pihak hakim pengawas masih mungkin memberi izin bagi Debitor pailit untuk meninggalkan tempat tinggalnya. b. Berlaku secara rule of reason Untuk akibat-akibat hukum tertentu dari kepailitan berlaku rule of reason. Maksudnya adalah bahwa akibat hukum tersebut tidak otomatis berlaku, tetapi baru berlaku jika diberlakukan oleh pihak-pihak tertentu setelah mempunyai alasan yang wajar untuk diberlakukan. Pihak-pihak yang mesti mempertimbangkan berlakunya akibat-akibat hukum tertentu tersebut, misalnya kurator, pengadilan niaga, hakim pengawas, dan lain-lain. Oleh karena itu, berlakunya suatu akibat hukum tidaklah sama. Ada yang dimintakan kepada pihak tertentu dan perlu persetujuan dari institusi tertentu, tetapi ada juga yang berlaku karena hukum, begitu putusan pailit dikabulkan oleh Pengadilan Niaga. Sebagai contoh akibat kepailitan yang memerlukan rule of reason adalah tindakan penyegelan harta pailit, dalam hal ini, harta Debitor pailit dapat disegel atas persetujuan hakim pengawas. Jadi tidak terjadi secara otomatis. Reason untuk penyegelan ini adalah untuk pengamanan harta pailit itu sendiri. Untuk kategori akibat kepailitan berdasarkan rule of reason ini, dalam perundangundangan biasanya (walaupun tidak selamanya) ditandai dengan kata “dapat” sebelum disebutkan akibat tersebut. Misalnya tentang penyegelan tersebut, atas persetujuan hakim pengawas, berdasarkan alasan untuk mengamankan harta pailit, “dapat” dilakukan penyegelan atas harta pailit. Hukum Kepailitan di Indonesia

81

Perlu juga diperhatikan bahwa berlakunya akibat hukum tersebut tidak semuanya sama. Ada yang perlu dimintakan oleh pihak tertentu dan perlu pula persetujuan institusi tertentu, tetapi ada juga yang berlaku karena hukum (by the operation of law) begitu putusan pailit dikabulkan oleh Pengadilan Niaga. Akibat hukum tertentu dalam proses kepailitan yaitu :

1. 2.

Jenis Tindakan, cekal dan cara terjadinya demi hukum. Jenis Tindakan, Gijzeling dan cara terjadinya harus dimohonkan ke Pengadilan Niaga. 3. Jenis Tindakan, Penyegelan dan cara terjadinya harus dimintakan ke Hakim Pengawas. 4. Jenis Tindakan, Stay dan cara terjadinya demi hukum. 5. Jenis Tindakan, Sitaan Umum atas harta Debitor pailit dan cara terjadinya demi hukum. Akibat yuridis dari suatu kepailitan yaitu akibat hukum yang terjadi jika Debitor dipailitkan, dapat dilihat pada penjelasan berikut ini: 1. Boleh dilakukan Kompensasi Kompensasi piutang (set-off) dapat saja dilakukan oleh Kreditor dengan Debitor asalkan : a. Dilakukan dengan itikad baik; b. Dilakukan terhadap transaksi yang sudah ada sebelum pernyataan pailit terhadap Debitor; Pengertian “itikad baik” dalam hal ini antara lain berarti bahwa pada saat dilakukannya transaksi yang menimbulkan hutang tersebut Kreditornya tidak mengetahui bahwa dalam waktu dekat Debitor akan dijatuhkan pailit. Akan tetapi jika dalam kontrak disebutkan dengan tegas bahwa kompensasi tidak boleh dilaksanakan, maka tentunya kompensasi tidak dilakukan. Sebab salah satu prinsip yang paling mendasar dalam hukum pailit adalah bahwa kepailitan tidak mengubah suatu kontrak.

82

Hukum Kepailitan di Indonesia

Akibat hukum dari dibenarkannya kompensasi, maka Kreditor yang bersangkutan karena dapat langsung mengkompensasi piutang bahkan lebih tinggi dari Kreditor diistimewakan. Rasional yang melatarbelakangi dibenarkannya kompensasi bagi Kreditor jika Debitor dinyatakan pailit adalah untuk membayar penuh hutang-hutangnya sementara piutangnya dari Debitor pailit hanya menunggu pembagian dalam pemberesan yang kemungkinan besar tidak terbayarkan seluruhnya. 2. Kontrak Timbal Balik Boleh Dilanjutkan Terhadap kontrak timbal balik antara Debitor pailit dengan Kreditor yang dibuat sebelum pailitnya Debitor, di mana prestasi sebagian atau seluruhnya belum dipenuhi oleh kedua belah pihak, maka pelaksanaan kontrak tersebut dan waktu pelaksanaannya boleh dilanjutkan. 3. Berlaku Penangguhan eksekusi Jaminan Hutang Terhadap pemegang hak jaminan utang ini dalam proses kapailitan disebut juga dengan istilah Kreditor separatis. Sebab mereka dipisahkan dan tidak termasuk dalam pembagian dalam kepailitan. Mereka dapat memenuhi sendiri piutangnya dengan mengeksekusi jaminan utang tersebut seolah-olah tidak terjadi kepailitan. Akan tetapi, hak eksekusi jaminan utang dari Kreditor separatis tersebut tidak setiap waktu dapat dilakukan. Maksimum 90 hari semenjak putusan pailit (oleh Pengadilan Niaga), Kreditor separatis memasuki masa menunggu (penangguhan) atau dalam bahasa Inggris disebut juga dengan isitlah stay, di mana dalam masa ini mereka tidak boleh mengeksekusi jaminan utang tersebut. Stay ini berlaku karena hukum (otomatis) tanpa harus dimintakan oleh para pihak. 4. Berlaku Actio Pauliana Ada kemungkinan sebelum pernyataan pailit, pihak Debitor merugikan Kreditor-Kreditornya, misalnya secara tidak beritikad baik melakukan transaksi dengan mengalihkan aset-asetnya kepada pihak lain (pihak ketiga). Dalam hal ini Undang-Undang Hukum Kepailitan di Indonesia

83

Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang membolehkan pembatalan terhadap transaksi tersebut asalkan memenuhi syarat-syarat yang diatur dalam undang-undang tersebut. Tindakan pembatalan transaksi tersebut sering disebut dengan actio pauliana, yang dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang diatur mulai dari Pasal 43 sampai dengan Pasal 46. 5. Berlaku Sitaan Umum atas Seluruh Harta Debitor Pada prinsipnya, kepailitan terhadap seorang Debitor berarti meletakkan sitaan umum terhadap seluruh aset Debitor. Karena sitaan-sitaan yang lain jika ada harus dianggap gugur karena hukum. Sitaan umum tersebut berlaku terhadap seluruh kekayaan Debitor meliputi : a. Kekayaan yang sudah ada pada saat pernyataan pailit ditetapkan, dan b. Kekayakan yang akan diperoleh oleh Debitor selama kepailitan Akan tetapi ada juga harta kekayaan Debitor yang tidak termasuk dalam sitaan umum karena kepailitan, yaitu sebagai berikut : i. Harta kekayaan yang telah menjadi hak jaminan utang, seperti hak tanggungan, hipotek, gadai, fidusia, dan lainlain. ii. Pendaftaran tertentu dari Debitor, yaitu: a. Gaji tahunan dan hak cipta; b. Gaji biasa, upah, pensiun, uang tunggu atau tunjangan; c. Uang untuk pemberian nafkah; d. Hak nikmat hasil; e. Tunjangan dari pendapatan anak 6. Termasuk Terhadap Suami/Isteri Apabila seseorang dinyatakan pailit, maka yang pailit tersebut termasuk juga isteri atau suaminya yang kawin atas dasar persatuan harta. Ketentuan ini membawa konsekuensi hukum yang serius, berhubung dengan ikut pailitnya isteri/suami, maka 84

Hukum Kepailitan di Indonesia

seluruh harta istri/suami yang termasuk ke dalam persatuan harta juga terkena sita kepailitan, dan masuk budel pailit. Menurut Pasal 35 Undang-Undang No.1 Tahun 1994 tentang Perkawinan, kecuali ditentukan lain oleh para pihak (dalam perjanjian kawin), maka seluruh harta menjadi harta bersama, kecuali : a. Harta yang dibawa ke dalam perkawinan; dan b. Harta benda yang merupakan hadiah atau warisan. 7. Debitor Kehilangan Hak Mengurus Salah satu konsekuensi hukum yang cukup fundamental dari kepailitan adalah bahwa Debitor pailit kehilangan haknya untuk menguasai dan mengurus kekayaannya terhitung sejak pukul 00.00 dari hari putusan pailit diucapkan. Dengan demikian kekuasaan yang hilang dari Debitor pailit adalah : a. Pengurusan kekayaannya; dan b. Penguasaan kekayaan tersebut. Karena itu, hal-hal lain yang tidak termasuk ke dalam pengurusan/penguasaan kekayaan masih tetap dimiliki kewenangannya oleh Debitor pailit, misalnya Debitor pailit masih memiliki kewenangannya dalam hal mengurus keluarganya. 8. Perikatan Setelah Debitor Pailit tidak dapat Dibayar Perikatan yang dibuat oleh Debitor pailit dengan Kreditornya dimana perikatan tersebut dibuat setelah Debitor dinyatakan pailit (post bankruptcy contract), perikatan yang demikian tidak dapat dibayar dari harta pailit, kecuali jika kontrak tersebut mendatangkan keuntungan bagi harta pailit. 9. Gugatan Hukum Harus Dilakukan oleh/terhadap Kurator Semua gugatan hukum berkenaan dengan hak dan kewajiban yang berhubungan dengan harta Debitor pailit haruslah diajukan oleh atau terhadap Kurator. Bila gugatan terhadap Debitor palit yang menyebabkan penghukuman terhadap Debitor pailit, maka penghukuman tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum terhadap harta pailit. Disamping itu, setiap gugatan hukum terhadap Debitor pailit yang bertujuan untuk memenuhi perikatan dari harta pailit, hanya

Hukum Kepailitan di Indonesia

85

dapat diajukan dengan melaporkannya untuk dicocokkan piutangnya. 10. Perkara Pengadilan Ditangguhkan atau Diambil Alih oleh Kurator Bagaimanakah nasibnya jika Debitor telah terlebih dahulu digugat oleh Kreditor ke pengadilan dengan prosedur biasa, sementara sewaktu proses perkara sedang berjalan, Debitor dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga. Penyelesaiannya adalah sebagai berikut : a. Dalam hal ini tergugat (Debitor pailit) dapat memintakan agar perkara pending dahulu untuk memberikan waktu kepada tergugat untuk mengoper perkaranya kepada Kurator. b. Jika Kurator tidak mengindahkan panggilan untuk pengoperan perkara, maka tergugat berhak agar perkara digugurkan. Atau jika pemohonan tersebut tidak dilakukan, perkara antara debitor pailit dengan tergugat dapat diteruskan tanpa membebankannya kepada harta pailit. c. Kurator setiap waktu dapat mengambil alih perkara tersebut. d. Penggugat (Kreditor) dapat minta agar perkara ditangguhkan, di mana dalam tenggang waktu penangguhan perkara, Kreditor dapat menarik Kurator ke dalam perkara yang bersangkutan, yang mengakibatkan Debitor pailit disebabkan dari perkara yang bersangkutan. e. Jika Kurator tidak datang menghadap hakim, maka putusan pengadilan dapat berpengaruh terhadap harta pailit. f. Jika gugatan oleh penggugat (Kreditor) ditujukan untuk memenuhi perikatan yang menyangkut dengan harta pailit, maka perkara akan pending dan akan dilanjutkan bila tuntutan tersebut dibantah pada waktu pencocokan piutang (verifikasi), dan pihak yang membantah menjadi pihak yang menggantikan posisi debitor pailit dalam perkara yang bersangkutan. 86

Hukum Kepailitan di Indonesia

g. Apabila sebelum putusan pernyataan pailit diputuskan, sudah sampai pada tahap penyerahan berkas perkara kepada hakim untuk diputus, maka penundaan perkara tidak diperlukan dan Kurator tidak mengambil alih perkara, kecuali jika hakim yang memeriksa perkara tersebut memutuskan untuk meneruskan pemeriksaan perkara. 11. Jika Kurator dengan Kreditor Berperkara, maka Kurator dan Kreditor dapat Minta Perbuatan Hukum Debitor Dibatalkan. Bila perkara dilakukan terhadap atau oleh Kurator atau terhadap Kreditor dilanjutkan, maka semua perbuatan Debitor sebelum dinyatakan pailit dapat dibatalkan asalkan dapat dibuktikan bahwa perbuatan tersebut dilakukan oleh Debitor secara sandera untuk merugikan kepentingan Kreditor dan hal tersebut diketahui oleh pihak lawannya. 12. Debitor dan Kreditor Dapat diminta Bersumpah Sungguhpun Kurator yang menggantikan kedudukan Debitor pailit dalam berperkara di muka pengadilan, ataupun dalam hal sidang untuk memutuskan sengketa dalam pencocokan piutang, pengadilan masih bisa meminta Debitor pailit untuk memberikan sumpah tambahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1940 KUH Perdata: Hakim dapat, karena jabatan, memerintahkan sumpah kepada salah satu pihak yang berperkara, untuk menggantungkan pemutusan perkara pada penyumpahan itu, atau untuk menetapkan jumlah yang akan dikabulkan. Bahkan atas permintaan dari Kurator, dalam rapat-rapat verifikasi, Kreditorpun boleh dimintakan untuk mengangkat sumpah atas kebenaran piutangnya yang tidak dibantah baik oleh Kurator atau maupun oleh Debitor pailit. Sumpah oleh Kreditor ini dapat dilakukan sendiri atau dapat pula dikuasakan kepada orang lain. 13. Pelaksanaan Putusan Hakim Dihentikan Apabila terhadap Debitor ada putusan hakim yang sudah mulai dijalankan sebelum kepailitan, pelaksanaan putusan hakim tersebut harus segera dihentikan sejak hari putusan pailit tersebut Hukum Kepailitan di Indonesia

87

mengakibatkan si Debitor dijatuhkan hukuman penjara (paksaan badan), maka hukuman penjara (paksaan badan) tersebut tidak dapat dilaksanakan. 14. Semua Penyitaan Dibatalkan Andaikan pada saat dijatuhkan putusan pengadilan tentang kepailitan, telah ada putusan sita atas harta Debitor pailit yang telah atau belum dilaksanakan, maka sitaan tersebut demi hukum batal. Bila dianggap perlu, maka hakim pengawas dapat menegaskannya dengan memerintahkan pencoretan sita. 15. Debitor Dikeluarkan dari Penjara Selain tidak dapat dilaksanakannya hukuman penjara (paksaan badan), maka bahkan apabila Debitor pailit sedang menjalankan hukuman penjara, dia harus segera dikeluarkan dari penjara begitu putusan pailit mempunyai kekuatan pasti (inkracht), kecuali jika sedang dijalankannya adalah penyanderaan (gijzeling) dalam hubungan dengan kepailitan tersebut. 16. Uang Paksa Tidak Diperlukan Menurut sistem hukum acara perdata yang berdasarkan kepada HIR, maka agar pihak lawan dalam perkara perdata melakukan sesuatu kewajibannya, dapat dimintakan uang paksa yang dapat diambil oleh pihak lawan jika dia benar-benar tidak melaksanakan kewajibannya pada saat yang ditentukan. Akan tetapi, jika yang harus membayar uang paksa tersebut Debitor yang telah dinyatakan pailit, maka uang paksa tersebut tidak perlu dibayar selama Debitor pailit tersebut dalam masa kepailitan. 17. Pelelangan yang sedang Berjalan Dilanjutkan Apabila sebelum jatuhnya putusan pailit, proses pelelangan barang-barang (bergerak atau tidak bergerak) sudah sedemikian jauh sehingga sudah ditetapkan tanggal pelelangannya, maka atas kuasa dari hakim pengawas, Kurator dapat melanjutkan pelelangan barang-barang tersebut atas beban harta pailit. 18. Balik Nama atau Pencatatan Jaminan Hutang atas Barang Tidak Bergerak Dihentikan Sungguhpun sebelum pernyataan pailit diputuskan, sudah dibuat akta jual beli atau akta hipotek/hak tanggungan atas barang-barang tidak bergerak, akan tetapi pembaliknamaan atau 88

Hukum Kepailitan di Indonesia

pendaftaran hipotek/hak tanggungan tersebut yang dilakukan setelah pernyataan pailit adalah tidak sah menurut hukum. 19. Daluwarsa Dicegah Apabila tagihan telah diajukan tuntutan untuk pencocokan piutang, maka sejak saat itu masa kedaluwarsa mulai berhenti (dicegah). 20. Transaksi Forward Dihentikan Bila sebelum pernyataan pailit telah dilakukan transaksi yang penyerahan barangnya ditangguhkan (forward transaction), di mana penyerahan barang oleh Debitor akan dilakukan setelah pernyataan pailit, maka dengan pernyataan pailit kepada Debitor, transaksi tersebut batal demi hukum, dan pihak Kreditor dalam transaksi tersebut dapat minta ganti kerugian apabila ada alasan untuk itu sebagai Kreditor konkuren. Demikian juga jika timbul kerugian bagi harta pailit, pihak dengan siapa Debitor melakukan kontrak juga berkewajiban untuk mengganti kerugian kepada harta pailit. 21. Sewa-Menyewa dapat Dihentikan. Sewa menyewa yang dapat dihentikan karena Debitor dinyatakan pailit adalah jika Debitor pailit tersebut menyewa suatu barang dari pihak lain. Dalam hal ini baik Kurator ataupun pihak yang menyewakan barangnya sama-sama dapat memutuskan hubungan sewa menyewa tersebut. Untuk hal tersebut undangundang mensyaratkan agar dilakukan suatu pemberitahuan pengakhiran sewa (notice), dengan jangka waktu sebagai berikut: a. Jangka waktu dilihat kepada kebiasaan setempat, dan b. Jangka waktu dilihat kepada pengaturannya dalam kontrak, atau c. Jangka waktu dilihat kepada kelaziman untuk kontrak seperti itu, atau d. Setidak-tidaknya jangka waktu tiga bulan dianggap sudah cukup. Akan tetapi, jika sudah dibayar uang sewa di muka, sewa menyewa tersebut tidak dapat diakhiri sampai dengan berakhirnya jumlah uang sewa yang dibayar di muka tersebut.

Hukum Kepailitan di Indonesia

89

Sejak pernyataan pailit, segala uang sewa yang harus dibayar oleh Debitor merupakan utang harta pailit (estate debt). 22. Karyawan Dapat di-PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) Jika setelah diputuskan pernyataan pailit, ada karyawan yang bekerja pada Debitor pailit, maka baik karyawan maupun Kurator sama-sama berhak untuk memutuskan hubungan kerja. Namun demikian, untuk pemutusan hubungan kerja tersebut diperlukan suatu pemberitahuan PHK (notice) dengan jangka waktu pemberitahuan sebagai berikut : a. Jangka waktu pemberitahuan PHK yang sesuai dengan perjanjian kerja, atau b. Jangka waktu tersebut sesuai dengan perundangundangan yang berlaku di bidang ketenagakerjaan, atau c. Dapat di PHK dengan pemberitahuan minimal dalam jangka waktu enam minggu. Upah karyawan dianggap hutang harta pailit (estate debt). Ketentuan tentang PHK hanya berlaku jika pihak karyawan yang bekerja pada Debitor pailit. Jika Debitor pailit yang menjadi karyawan pada pihak lain sepenuhnya berlaku perjanjian kerja dan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan. 23.Warisan dapat Diterima oleh Kurator atau Ditolak. Sebagaimana diketahui bahwa kepailitan berlaku terhadap harta Debitor pailit baik harta yang sudah ada pada saat dinyatakan pailit, atau juga harta yang akan ada. Harta yang akan ada tersebut misalnya warisan yang akan diterima oleh pihak Debitor pailit. maka dalam hal ini Kurator dapat menerima warisan tersebut dengan hak istimewa untuk mengadakan pendaftaran harta peninggalan. Akan tetapi, jika ada alasan untuk itu, pihak Kurator dapat menolak warisan dengan kuasa dari hakim pengawas. 24. Pembayaran Hutang Sebelum Pailit Oleh Debitor dapat Dibatalkan Jika Debitor telah melakukan pembayaran atas hutangnya kepada Kreditor tetapi sebelum putusan pailit dijatuhkan kepadanya, maka pembayaran utang tersebut dapat dibatalkan jika : 90

Hukum Kepailitan di Indonesia

a. Apabila dapat dibuktikan bahwa si penerima pembayaran mengetahui bahwa pada saat dibayarnya utang tersebut oleh Debitor, kepada Debitor tersebut telah dimintakan pernyataan pailit, atau pelaporan untuk itu sudah dimintakan, atau b. Apabila pembayaran utang tersebut akibat kolusi antara Kreditor dengan Debitor yang dapat memberikan keuntungan kepada Debitor melebihi dari KreditorKreditor lainnya. Pembatalan pembayaran hutang ini berbeda dengan perbuatan-perbuatan yang dapat dibatalkan dengan actio paulina, karena dengan actio pauliana, yang hanya dibatalkan adalah perbuatan yang tidak diwajibkan oleh undang-undang, sedangkan membayar hutang seperti yang dimaksudkan oleh Pasal 46 tersebut merupakan perbuatan yang tidak diwajibkan oleh undang-undang. 25.Uang Hasil Penjualan Surat Berharga Dikembalikan Dalam hubungan dengan penerbitan surat berharga, maka siapa yang untuk keuntungannya surat berharga tersebut dikeluarkan, diwajibkan mengembalikannya uang yang telah diperolehnya kepada harta pailit, jika : a. Apabila dapat dibuktikan bahwa pihak yang memperoleh pembayaran mengetahui bahwa pada saat dikeluarkan surat berharga tersebut, kepada Debitor telah dimintakan pernyataan pailit, atau pelaporan untuk itu sudah dimintakan, atau b. Apabila penerbitan surat berharga tersebut akibat kolusi antara Kreditor dengan Debitor yang dapat memberikan keuntungan kepada Debitor tersebut melebihi dari Kreditor-Kreditor lainnya. 26. Pembayaran Kepada Debitor Sesudah Pernyataan Pailit dapat Dibatalkan Apabila ada Kreditor yang telah membayar kepada Debitor yang telah dinyatakan pailit untuk memenuhi perikatan yang telah ada sebelum pernyataan pailit, dapat dibatalkan kecuali:

Hukum Kepailitan di Indonesia

91

a. Jika dibayar sesudah pernyataan pailit tetapi pernyataan pailit tersebut belum diumumkan, dan si pembayar tidak mengetahui adanya pernyataan pailit tersebut, atau b. Pembayaran dilakukan setelah pernyataan pailit diumumkan dan si pembayar dapat membuktikan bahwa pernyataan pailit dan cara mengumumkannya tidak mungkin diketahui di tempat tinggalnya, dengan hak dari Kurator untuk membuktikan sebaliknya, atau c. Pembayaran yang diterima oleh Debitor tersebut menguntungkan harta pailit. 27. Teman Sekutu Debitor Pailit Berhak Mengkompensasi Hutang dengan Keuntungan Terhadap suatu persekutuan, di mana karena salah satu dan sekutunya dipailitkan sehingga persekutuan tersebut dibubarkan, maka jika si pailit sebelumnya sudah berutang terhadap perseroan, hutang tersebut dapat diambil dari pemotongan sejumlah tersebut dari pembagian keuntungan persekutuan yang seyogianya diterima oleh teman sekutu yang telah dinyatakan pailit. 28. Hak Retensi Tidak Hilang Hak retensi adalah hak dari Kreditor untuk menahan barangbarang tertentu barang tersebut berada dalam kekuasaan Kreditor. Barang-barang tersebut ditahan (tetap dikuasai oleh Kreditor) sampai hutangnya dibayar oleh Debitor. Maka dalam hal ini, apabila Debitor dinyatakan pailit, hak retensi dari Kreditor tersebut tetap berlaku. 29. Debitor Pailit dapat Disandera (gijzeling) dan Paksaan Badan Lembaga sandera (gijzeling) yang sempat dibekukan oleh Mahkamah Agung dengan salah satu surat edarannya dengan alasan melanggar hak asasi manusia, tetap berlaku dalam bidang kepailitan dan dapat diterima oleh Pengadilan Niaga apabila ada alasan untuk itu dan memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan oleh undang-undang. Penyanderaan bagi Debitor pailit ini ditetapkan : a. Dalam putusan pailit, atau b. Setiap waktu setelah putusan pailit

92

Hukum Kepailitan di Indonesia

Penyanderaan tersebut dilaksanakan oleh pihak kejaksaan, di tempat-tempat sebagai berikut : 1. dalam penjara, atau 2. di rumah tahanan; atau 3. di rumah seorang Kreditor. Pelaksanaan penyanderaan tersebut diawasi oleh pejabat dari kekuasaan umum, dan berlangsung selama maksimum 30 hari tetapi dapat diperpanjang untuk jangka waktu maksimum 30 hari dan bila perlu ditambah untuk maksimum 30 hari lagi. Hal yang senada dengan penyanderaan juga dikenal apa yang disebut dengan “paksaan badan” terhadap Debitor pailit, yang juga ditetapkan oleh Pengadilan Niaga. 30. Debitor Pailit Dilepas dari Tahanan dengan atau Tanpa Uang Jaminan Atas usul hakim pengawas, Pengadilan Niaga dapat melepaskan Debitor pailit dari tahanan dengan atau tanpa pemberian uang jaminan (yang jumlahnya ditetapkan oleh Pengadilan Niaga) sebagai jaminan bahwa atas panggilan yang pertama Debitor pailit tersebut dapat datang untuk menghadap. Apabila Debitor tidak menghadap setelah dipanggil, uang jaminan tersebut menjadi keuntungan harta pailit. 31. Debitor Pailit Demi Hukum Dicekal Pencekalan yakni larangan bagi seseorang untuk meninggalkan tempat kediamannya juga berlaku untuk Debitor pailit. pencekalan ini berlaku demi hukum (by the operation of law) begitu putusan ini berarti pihak Debitor diputuskan. Pencekalan dalam bidang kepailitan ini berarti pihak Debitor tidak boleh meninggalkan tempat kediaman baik untuk berangkat ke luar negeri atau tidak, kecuali jika hakim pengawas memberi izin untuk itu. 32.Harta Pailit Dapat Disegel Penyegelan ini penting artinya dalam proses kepailitan berhubung berbeda dengan sita jaminan, maka dengan sitaan umum saja, sitaan (umum) tersebut sama sekali tidak terlihat pada harta yang disita, sehingga terutama untuk barang bergerak, memungkinkan Debitor pailit yang nakal untuk mengalihkan harta Hukum Kepailitan di Indonesia

93

tersebut kepada pihak ketiga. Apabila suatu harta sudah disegel, maka apabila Debitor pailit berani membuka segel dari harta tersebut, ini sudah termasuk tindak pidana. Maka berdasarkan pertimbangan tersebut, penyegelan harta pailit dapat dilakukan atas persetujuan hakim pengawas. Penyegelan tersebut dilakukan oleh Panitera pengganti di tempat harta tersebut berada dengan dihadiri oleh dua orang saksi, yang salah satu dari saksi tersebut adalah wakil dari pemerintah daerah setempat. 33. Surat-Surat Kepada Debitor Pailit dapat Dibuka oleh Kurator Setelah putusan pailit diputuskan, maka Kurator berwenang untuk: a. Membuka surat-surat yang ditujukan kepada Debitor pailit. b. Menyimpan surat-surat yang bersangkutan paut dengan harta pailit. c. Mengembangkan kepada Debitor pailit surat-surat yang tidak ada hubungannya dengan harta pailit. d. Meminta agar surat-surat yang diterima oleh Debitor pailit yang berhubungan dengan harta pailit diserahkan kepada Kurator. 34.Barang-barang Berharga Milik Debitor Pailit Disimpan oleh Kurator Adalah wajar jika Kurator sangat berkepentingan terhadap barang-barang berharta milik Debitor pailit. karena itu, Kurator berwenang untuk menyimpannya dengan cara yang dianggap paling aman. Misalnya emas, berlian, surat berharga disimpan oleh Kurator dalam safe deposit pada bank-bank. Akan tetapi hakim pengawas berwenang pula untuk menentukan cara-cara penyimpanan oleh Kurator tersebut. 35. Uang Tunai Harus Dibungakan Jika Kurator memperoleh uang tunai dari Debitor/harta Debitor, maka uang tunai tersebut haruslah dibungakan. Bagaimana cara membungakannya dan di bank mana dibungakannya, bergantung dari business judgement si Kurator tersebut. Karena itu pula, dalam praktik pihak Kurator diwajibkan 94

Hukum Kepailitan di Indonesia

untuk membuka rekening khusus untuk menampung uang dari Debitor/harta Debitor pailit. 36. Penyanderaan dan Pencekalan Berlaku Juga Buat Direksi Telah disebutkan bahwa dalam kepailitan berlaku penyanderaan (harus dimintakan terlebih dahulu) dan pencekalan (terjadi karena hukum). Apabila Debitor yang pailit tersebut adalah badan hukum perseroan terbatas, maka penyanderaan dan pencekalan tersebut juga berlaku bagi pengurus/Direksinya. Tetapi tidak berlaku untuk komisaris atau pemegang sahamnya. Pihak komisaris dari suatu perseroan terbatas hanya dibebankan kewajiban untuk menghadap hakim pengawas, Kurator atau panitia Kreditor bila diperlukan jika Debitor pailit dipanggil untuk itu. 37. Keputusan Pailit Bersifat Serta Merta Putusan pernyataan oleh Pengadilan Niaga (tingkat pertama merupakan putusan serta merta (dapat dijalankan terlebih dahulu atau Uitvoorbaar bij Voorraad), sungguhpun terhadap putusan tersebut masih diajukan kasasi. Dengan demikian, Kurator sudah mulai bekerja sejak saat jatuhnya putusan pailit (tingkat pertama). Dan karena itu pulalah maka apabila putusan pernyataan pailit dibatalkan di tingkat kasasi, maka segala tindakan Kurator sebelum diketahuinya putusan tingkat kasasi, tetap dianggap sah dan mengikat. Disamping itu, putusan-putusan lainnya dari Pengadilan Niaga berkenaan dengan kepailitan, yakni putusan yang berkenaan dengan pengurusan dan pemberesan harta pailit juga mempunyai kekuatan serta merta, kecuali ditentukan lain oleh undangundang. 38. Keputusan-keputusan Hakim Pengawas Bersifat Serta Merta Selain putusan Pengadilan Niaga tentang pernyataan pailit yang bersifat serta merta dan putusan-putusan lainnya dari Pengadilan Niaga mengenai kepailitan, putusan hakim pengawas juga bersifat serta merta, kecuali ditentukan sebaliknya oleh undang-undang. 39. Berlaku Ketentuan Pidana bagi Debitor Hukum Kepailitan di Indonesia

95

Beberapa tindakan Debitor atau Direksi dan komisaris dari perusahaan pailit atau perusahaan yang segera akan pailit, dapat dikenakan pidana yang tergolong ke dalam perbuatan pidana merugikan Kreditor atau orang yang mempunyai hak, yaitu terhadap tindakan-tindakan tertentu yang dapat merugikan Kreditor seperti peminjaman uang, pengalihan, aset, membuat pengeluaran yang sebenarnya tidak ada, tidak membuat catatancatatan yang diwajibkan, atau pada masa verifikasi piutang mengaku adanya piutang yang sebenarnya tidak ada atau memperbesar jumlah piutang. Ancaman penjara terhadap masingmasing tindak pidana tersebut beraneka ragam bergantung pasal mana yang dilanggar, yaitu mulai dari ancaman pidana 1 tahun 4 bulan penjara, sampai dengan ancaman 7 tahun penjara. Sementara dalam hubungannya dengan penundaan kewajiban pembayaran hutang, ada ancaman pidananya. 40. Debitor Pailit, direktur dan komisaris perusahaan pailit tidak boleh menjadi direktur/komisaris di perusahaan lain. Debitor pailit (pribadi), direktur dan komisaris dari suatu perusahaan yang dinyatakan pailit tidak boleh menjadi Direksi atau komisaris pada perusahaan lain, asalkan yang bersangkutan ikut bersalah yang menyebabkan perusahaan tersebut pailit, kecuali setelah lewat waktu 5 tahun sejak yang bersangkutan dinyatakan bersalah. 41. Hak-hak tertentu dari Debitor Pailit tetap Berlaku Hak-hak tertentu yang dimiliki oleh Debitor pailit tidak semuanya hapus dengan adanya kepailitan ini. Hak-hak Debitor yang berubah yaitu: a. Perundang-undangan di bidang kepailitan dengan tegas mengubahnya; b. Perundang-undangan lainnya selain perundangundangan di bidang kepailitan dengan tegas mengubahnya; c. Tidak dengan tegas diubah oleh perundang-undangan, tetapi sebaiknya diubah karena tidak sesuai lagi dengan sifat kepailitan dari suatu perusahaan.

96

Hukum Kepailitan di Indonesia

Sebagai contoh kasus misalnya jika sebelum pailit suatu perusahaan membeli suatu barang dari Kreditor tertentu, barang sudah diserahkan, harga belum dibayar dan Debitor sudah dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga. Dalam contoh kasus seperti ini ada beberapa hak yang masih dimiliki Kreditor, yaitu: a. Pembayaran harga barang tidak dapat lagi dimintakan oleh Kreditor kepada Debitor pailit, sebab Debitor pailit tidak lagi berwenang mengurus kekayaannya, termasuk tidak berwenang untuk membayar harga tersebut. b. Kreditor dapat menggunakan hak untuk membatalkan kontrak berdasarkan Pasal 1266 KUHPerdata: Syarat batal dianggap selalu dicantumkan dalam persetujuan-persetujuan yang bertimbal balik, manakala salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya.Dalam hal yang demikian persetujuan tidak batal demi hukum, tetapi pembatalan harus dimintakan kepada Hakim.Permintaan ini juga harus dilakukan, meskipun syarat batal mengenai tidak dipenuhinya kewajiban dinyatakan di dalam perjanjian.Jika syarat batal tidak dinyatakan dalam persetujuan, Hakim adalah leluasa untuk, menurut keadaan, atas permintaan si Tergugat, memberikan suatu jangka waktu untuk masih juga memenuhi kewajibannya, jangka waktu mana namun itu tidak boleh lebih dari 1 (satu) bulan. c. Kreditor dapat menggunakan hak reklame berdasarkan Pasal 1145 KUH Perdata: Jika penjualan telah dilakukan tunai, maka si penjual bahkan mempunyai kekuasaan menuntut kembali barangbarangnya, selama barang-barang ini masih berada di tangan si pembeli, sedangkan ia dapat menghalanghalangi dijualnya terus barang-barang itu, asal saja penuntutan kembali itu dilakukan di dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari setelah penyerahan. d. Dapat menggunakan hak reservation of title jika disebutkan dalam kontrak jual beli tersebut. e. Menuntut harga dengan mengajukan diri sebagai Kreditor konkuren.

Hukum Kepailitan di Indonesia

97

Sentosa Sembiring menyatakan dalam Pasal 21 Undangundang Kepailitan, kepailitan meliputi seluruh kekayaan Debitor pada saat putusan pernyataan pailit diucapkan serta segala sesuatu yang diperoleh selama kepailitan. Dengan demikian, bahwa kepailitan berkaitan dengan harta benda Debitor. Oleh karena itu dengan dinyatakan pailit, maka : 1). Debitor a) Kehilangan hak menguasai dan mengurus harta kekayaannya. b) Perikatan yang muncul setelah pernyataan pailit tidak dapat dibebankan ke budel pailit. c) Tujuan terhadap harta pailit diajukan ke dan atau oleh kurator. d) Penyitaan menjadi hapus. e) Bila Debitor ditahan harus dilepas. 2). Terhadap Pemegang Hak Tertentu, a) Pemegang gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotek atau hak agunan lainnya dapat mengeksekusi seolah-olah tidak ada kepailitan. b) Pelaksanaan hak tersebut harus dilaporkan ke kurator. 63 Berdasarkan uraian tersebut diatas, dapat diketahui akibat hukum kepailitan adalah maka Debitor kehilangan hak menguasai dan mengurus harta kekayaannya dan berakibat yuridis yang diberlakukan kepadanya oleh undang-undang. Akibat-akibat yuridis tersebut berlaku kepada Debitor, yaitu berlaku demi hukum (by the operation of law) segera setelah pernyataan pailit dinyatakan atau setelah pernyataan pailit mempunyai kekuatan hukum tetap ataupun setelah berakhirnya kepailitan, dan berlaku secara rule of reasonmaksudnya adalah bahwa akibat hukum tersebut tidak otomatis berlaku, tetapi baru berlaku jika diberlakukan oleh pihak-pihak tertentu setelah mempunyai alasan yang wajar untuk diberlakukan.

63 Sentosa Sembiring, Hukum Kepailitan Dan Peraturan Perundang-undangan Yang Terkait Dengan Kepailitan, CV. Nuansa Aulia, Bandung, 2006, hlm. 30

98

Hukum Kepailitan di Indonesia

1. Pengadilan Niaga Dan Kewenangannya. Pengadilan Niaga merupakan pengadilan khusus yang berada di lingkungan peradilan umum yang berwenang menerima, memeriksa dan memutus permohonan pernyataan pailit dan penundaan kewajiban pembayaran utang serta perkara lain di bidang perniagaan yaitu perkara sengketa merek, paten, desain industri dan pelanggaran hak cipta. Pengadilan Niaga pertama kali dibentuk adalah Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Hukum Kepailitan di Indonesia

99

Pusat berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 1 Tahun 1998 Tentang Kepailitan kemudian ditetapkan menjadi UU Nomor 4/PRP/ Tahun 1998. Pembentukan pengadilan khusus tersebut dimungkinkan berdasarkan UU Nomor 14 Tahun 1970 tentang Kekuasaan Kehakiman. UU Nomor 48 Tahun 2009 merupakan perubahan dari UU 14 Tahun 1970 Tentang Kekuasaan Kehakiman pada Pasal 18 menyebutkan bahwa Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan Badan Peradilan yang berada dibawahnya dalam Lingkungan Peradilan Umum, Lingkungan Peradilan Agama, Lingkungan Peradilan Militer dan Lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara. Pasal 25 Ayat (1) UU Nomor 48 Tahun 2009 menyebutkan bahwa Badan Peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung meliputi Badan Peradilan Umum dalam lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer dan peradilan tata usaha negara. Pembentukan pengadilan khusus diatur dalam Pasal 27 UU Nomor 48 Tahun 2009 menyebutkan bahwa Pengadilan khusus dapat dibentuk dalam salah satu lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung. Berdasarkan ketentuan tersebut keberadaan Pengadilan Niaga yang merupakan pengadilan khusus berada dibawah peradilan umum yaitu pengadilan negeri, yang berwenang mengadili perkara kepailitan dan perkara-perkara lainnya berdasarkan undang-undang. Pada saat ini Pengadilan Niaga juga berwenang menangani perkara perniagaan lainnya yaitu mengenai hak cipta, paten, merek dan desain industri (Hak kekayaan intelektual) sebagaimana diatur dalam UU Nomor 14 Tahun 2001 jo UU Nomor 13 Tahun 2014 tentang Paten, UU Nomor 15 Tahun 2001 jo UU Nomor 20 tahun 2016 tentang Merek dan indikasi geografis, UU Nomor 31 Tahun 2000 Tentang Desain Industri dan UU Nomor 19 Tahun 2002 jo UU Nomor28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta. Setelah berlakunya UU Kepailitan, mengenai Pengadilan Niaga diatur dalam beberapa pasal : Pasal 1 Angka 7 UU Kepailitan menyebutkan bahwa Pengadilan adalah Pengadilan Niaga dalam lingkungan peradilan umum. Pasal 300 Ayat (1) UU Kepailitan menegaskan bahwa 100 Hukum Kepailitan di Indonesia

Pengadilan sebagaimana dimaksud undang-undang ini, selain memeriksa dan memutus permohonan pernyataan pailit dan penundaan kewajiban pembayaran utang, berwenang pula memeriksa dan memutus perkara lain dibidang perniagaan yang penetapannya dilakukan dengan undang-undang. Selain Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 97 Tahun 1999 tertanggal 18 Agustus 1999 dibentuk pula Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Medan, Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Semarang, Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Surabaya dan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Makassar. UU Kepailitan selain mengatur masalah hukum materiil juga mengatur hukum formiil, sedangkan terhadap yang tidak diatur secara khusus oleh UU Kepailitan maka tetap diberlakukan hukum acara perdata,64 kekhususan beracara Pengadilan Niaga tersebut antara lain mengenai upaya hukum terhadap putusan Pengadilan Niaga, upaya hukum terhadap putusam Pengadilan Niaga tidak mengenal upaya hukum banding akan tetapi putusan tersebut langsung diajukan kasasi dan atau mengajukan Peninjauan Kembali terhadap Putusan Kasasi atau Putusan yang telah berkekuatan hukum tetap sepanjang memenuhi ketentuan perundangundangan ini. Kekhususan lainnya mengenai hukum acara Pengadilan Niaga ditetapkannya batas waktu proses pemeriksaan perkara pada semua tingkatan dan pada peradilan tingkat pertama Pengadilan Niaga sudah harus memutus permohonan pailit yang diperiksanya paling lambat 60 (enam puluh) hari setelah tanggal permohonan pailit didaftarkan. Kasasi diajukan melalui Pengadilan Niaga paling lambat 8 (delapan) hari setelah putusan yang dimohonkan kasasi diucapkan. sebagaimana diatur dalam Pasal 11 sampai dengan Pasal 13 UU Kepailitan. Kasasi selain dapat diajukan oleh Debitor dan atau kreditor, kasasi juga dapat diajukan oleh kreditor lain yang bukan pihak dalam permohonan pailit pada tingkat pertama yang merasa dirugikan dengan adanya putusan Pengadilan Niaga tersebut. 64

Pasal 299 UU Kepailitan.

Hukum Kepailitan di Indonesia 101

Panitera pada Pengadilan Niaga wajib menyampaikan berkas Permohonan Kasasi ke Mahkamah Agung selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari sejak permohonan kasasi tersebut didaftarkan. Mahkamah Agung selambat-lambatnya 60 (enam puluh) hari setelah permohonan kasasi diterima putusan atas permohonan kasasi tersebut sudah harus diucapkan.65 Peninjauan Kembali terhadap suatu putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dapat diajukan paling lambat selama 180 (seratus delapan puluh) hari setelah tanggal yang dimohonkan peninjauan kembali memperoleh kekuatan hukum tetap dan untuk alasan sebagaimana diatur Pasal 295 ayat (2) huruf b selama 30 (tiga puluh) hari setelah putusan yang diajukan Peninjauan Kembali berkekuatan hukum tetap sebagaimana diatur dalam Pasal 14, Pasal 295 sampai dengan Pasal 298 UU Kepailitan, dengan alasan-alasan hukum sebagai berikut 66 : a. Setelah perkara diputus ditemukan bukti baru yang bersifat menentukan yang pada waktu perkara diperiksa di pengadilan bukti tersebut sudah ada akan tetapi belum ditemukan, atau b. Dalam putusan hakim yang bersangkutan telah terjadi kekeliruan. Panitera Pengadilan Niaga wajib menyampaikan salinan permohonan Peninjauan Kembali kepada Termohon dalam jangka waktu 2 (dua) hari setelah tanggal pendaftaran dan Termohon dapat mengajukan Jawaban terhadap Permohonan Peninjauan Kembali dalam waktu 10 (sepuluh) hari terhitung sejak tanggal pendaftaran. Perkara Peninjauan Kembali di Mahkamah Agung sudah harus diputus 32 (tiga puluh dua) hari sejak berkas perkara tersebut diterima Mahkamah Agung. Hukum acara persidangan permohonan pailit memberikan kepastian hukum tentang waktu penyelesaian permohonan pernyataan pailit sejak peradilan tingkat pertama, kasasi dan peninjauan kembali. Ditingkat pertama selama 60 (enam puluh)

65 66

Lihat Pasal 13 UU Kepailitan. Lihat Pasal 295 UU Kepailitan.

102 Hukum Kepailitan di Indonesia

hari67 setelah permohonan terdaftar di pengadilan putusan sudah harus diucapkan, ditingkat kasasi Mahkamah Agung sudah harus mengucapkan putusannya 60 (enam puluh) hari68 sejak berkas kasasi diterimanya dan ditingkat Peninjauan Kembali Mahkamah Agung sudah harus memutus perkara Peninjauan Kembali selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari69 sejak berkas permohonan Peninjauan Kembali diterima Mahkamah Agung. Dalam praktik pengadilan oleh karena UU Kepailitan tidak menyebutkan sanksi atau akibat jika putusan tidak diucapkan dalam jangka waktu tersebut, seharusnya undang-undang menyebutkan sanksi atau menyebutkan akibat hukum jika putusan tersebut melewati masa waktu yang ditentukan tersebut.

2. Kepailitan Debitor Dalam Praktik Peradilan Putusan Pernyataan Pailit Pengadilan Niaga kepada Debitor perorangan maupun korporasi mengakibatkan Debitor kehilangan hak dalam pengelolaan harta kekayaannya, pernyataan kepailitan tidak ditujukan kepada Debitor pailit akan tetapi kepailitan ditujukan kepada harta kekayaan Debitor. Pernyataan pailit menetapkan semua harta Debitor pailit berada dalam sita umum dan segala perbuatan hukum berkaitan dengan harta kekayaan Debitor berada pada kurator dan kurator secepatnya melakukan pengaman untuk menjaga tindakan Debitor yang dapat merugikan harta pailit atau merugikan kreditor. Pelaksanaan kewenangan kurator diawasi oleh Hakim Pengawas. Dalam proses kepailitan baik yang diajukan oleh kreditor maupun Debitor sendiri ataupun oleh Kejaksaan, Menteri Keuangan, Bank Indonesia ataupun Bapepam harus memenuhi persyaratan sebagaimana disebutkan oleh Pasal 2 Ayat (1) UU Kepailitan yaitu adanya Debitor yang mempunyai dua orang kreditor atau lebih dan tidak membayar utang yang telah jatuh 67

Lihat Pasal 8 Ayat (5) UU Nomor 37 Tahun 2007. Lihat Pasal 13 Ayat (3) UU Nomor 37 Tahun 2007. 69 Lihat Pasal 298 Ayat (1) UU Nomor 37 Tahun 2007. 68

Hukum Kepailitan di Indonesia 103

waktu dan dapat ditagih, serta terdapatnya fakta atau keadaan yang terbukti secara sederhana.70 Keadaan tersebut dimaksudkan untuk mempermudah penagihan piutang bagi kreditor terutama investor asing, sebagaimana yang menjadi latar belakang pembaruan hukum kepailitan agar dapat berperan dalam penyelesaian utang-piutang dikarenakan timbulnya krisis ekonomi pada tahun 1997-1998.71 Melihat sejauh mana kedudukan Debitor dalam proses kepailitan terutama dalam pemeriksaan permohonan pernyataan pailit yang diajukan ke pengadilan berikut pembahasan beberapa putusan pengadilan sehingga tulisan ini dapat memberi gambaran sejauh mana kesempatan yang diberikan oleh hukum kepailitan terhadap seorang Debitor dalam membela hak-haknya berkaitan dengan proses kepailitan tersebut. Melihat kasus Permohonan antara HIDEAKI MATSUNISHI Dkk dengan M.F. TONI GANI.72 Pada bulan Juni 2002, Pemohon I dan Pemohon II dengan Termohon menandatangani Money Loan Agreement yang mana Termohon meminjam uang dari Pemohon I dan Pemohon II sejumlah uang dengan bunga 5% per bulan dan tanggal jatuh tempo pada bulan Juni 2003. Kemudian pada bulan Agustus 2002, Pemohon I dan Pemohon II bersama-sama dengan Pemohon III dan Pemohon IV menandatangani Money Loan Agreement dengan Termohon meminjam uang dari para Pemohon sejumlah uang dengan bunga 5% per bulan dan jatuh tempo pada Agustus 2003. Pada bulan September 2002, Para Pemohon dengan Termohon menandatangani Money Loan Agreement, yang mana Termohon meminjam uang dari Para Pemohon sejumlah uang dengan bunga 3,5% per bulan dan jatuh tempo pada bulan Januari 2003. Berdasarkan perjanjian tersebut para Pemohon mentransfer sebagian uang kepada Termohon melalui rekening Pemohon I dan 70

Lihat Pasal 2 Ayat (1), Pasal 8 Ayat (4) UU Kepailitan. Rahayu Hartini, Hukum Kepailitan, Op.Cit.. Hlm. 11. 72 Putusan Pengadilan Negeri/Niaga Jakarta Pusat Nom.12/Pailit/2005/PN.Niaga.Jkt.Pst. 71

104 Hukum Kepailitan di Indonesia

Pemohon II di BNI 46 Cabang Thamrin Jakarta sejumlah uang. Para Pemohon juga mentransfer lagi melalui Sumitomo Mitsui Banking Corporation . Selanjutnya Para pemohon melalui kuasa hukumnya telah meminta agar Termohon untuk melaksanakan kewajiban Termohon membayar utang-utang Termohon kepada para Pemohon yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih, sehingga patut dan adil jika Termohon dinyatakan pailit. Pemohon dalam kepailitan ini adalah Warga Negara Jepang yang bertempat tinggal di Jepang, perjanjian ini berawal dari ditandatanganinya Money Loan Agreement antara Para Pemohon dengan Termohon, perjanjian tersebut oleh Termohon tidak dilaksanakan setelah jatuh tempo pada januari 2003, tidak disebutkan alasan yang mengakibatkan Termohon tidak melaksanakan perjanjian Money Loan Agreement tersebut. Putusanin cassu tidak menerangkan apakah perjanjian Money Loan Agreement tersebut dilakukan dengan jaminan atau tanggungan. Atas permohonan Pemohon tersebut pihak Termohon menanggapinya sebagai berikut: Termohon bukanlah Debitor dari utang yang ditagihkan kepadanya tersebut, sebab uang yang diserahkan oleh para Pemohon adalah modal investasi dibidang bisnis hiburan. Uang yang dikirim setelah adanya 3 (tiga) MLA diatas tidaklah sebesar jumlah yang ditagih oleh Para Pemohon. Seandainyapun MLA di atas benar, maka bunga yang dikenakan berdasarkan MLA tersebut sungguh mencekik leher dan jelas melanggar hukum yang berlaku. Pengadilan Niaga Jakarta Pusat mengabulkan permohonan pernyataan pailit yang diajukan oleh Para Pemohon, menurut pertimbangan Pengadilan bahwa telah cukup alasan untuk mengabulkan permohonan pemohon sesuai dengan Pasal 2 Ayat (1) UU Kepailitan dan pembuktiannya sederhana sebagai berikut : Berdasarkan bukti perjanjian Juni 2002 antara Pemohon I dan Pemohon II sebagai Kreditor telah mengadakan perjanjian pinjaman uang dengan Termohon sebagai Debitor sejumlah uang dengan bunga 5% per bulan dengan jangka Hukum Kepailitan di Indonesia 105

waktu 1 tahun dari Agustus 2002 sampai Agustus 2003. Berdasarkan bukti perjanjian Agustus 2002 ternyata Pemohon I, Pemohon II, Pemohon III dan Pemohon IV sebagai kreditor telah mengadakan perjanjian pinjaman uang dengan Termohon sebagai Debitor sejumlah uang dalam jangka waktu 1 tahun dari Agustus 2002 sampai Agustus 2003 dengan bunga 5% per bulan. Berdasarkan bukti perjanjian bulan September 2002 ternyata Para Pemohon (Pemohon I, III, dan IV) sebagai kreditor mengadakan perjanjian pinjaman uang dengan Termohon selaku Debitor sejumlah uang dengan jangka waktu 4 bulan dari September 2002 sampai Januari 2003. Berdasarkan hal tersebut di atas dihubungkan dengan jawaban/tanggapan Termohon, dimana Termohon mengakui telah menerima kiriman uang dari pada Pemohon setelah ditanda tanganinya 3 (tiga) MLA (Money Loan Agreement), maka dalil Para Pemohon yang menyatakan bahwa Termohon mempunyai utang kepada Para Pemohon telah terbukti, dan utang tersebut telah jatuh . Majelis Hakim dalam pertimbangannya menyatakan bahwa dengan adanya perjanjian pinjaman uang dalam jangka waktu satu tahun dari Pemohon selaku kreditor dan termohon selaku Debitor, kemudian dihubungkan dengan pengakuan Termohon dalam jawabannya yang menyatakan bahwa Termohon telah menerima sejumlah uang dari Pemohon setelah ketiga Money Loan Agreement ditanda-tangani maka hal tersebut disimpulkan sebagai utang dan utang tersebut telah jatuh tempo sesuai perjanjian pinjam meminjam uang tersebut. Menimbang, bahwa atas dasar fakta-fakta diatas terbukti Termohon memiliki dua atau lebih kreditor. Menimbang, bahwa berdasarkan bukti-bukti Para Pemohon telah meminta agar Termohon membayar utangnya kepada Para Pemohon dan Termohon tidak dapat membuktikan bahwa ia telah melunasi utangnya kepada Para Pemohon dengan demikian telah terbukti bahwa Termohon tidak membayar lunas utangnya yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih. 106 Hukum Kepailitan di Indonesia

Menimbang, bahwa sesuai dengan ketentuan Pasal 8 Ayat (4) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 yaitu terdapat fakta atau keadaan yang terbukti secara sederhana bahwa Termohon telah memenuhi pesyaratan sebagaimana dimaksud Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 maka Permohonan Pemohon sebagaimana dikemukakan dalam petitum angka 2 surat permohonananya harus dikabulkan dengan menyatakan bahwa Termohon pailit dengan segala akibat hukumnya. Bahwa berdasarkan pertimbangan terdahulu Pengadilan menyatakan bahwa Debitor mempunyai utang kepada Pemohon/Kreditor dan apakah utang tersebut belum dibayar oleh Pengadilan pembuktian tersebut dibebankan kepada Termohon/Debitor, oleh karena Debitor/Termohon tidak dapat membuktikan bahwa ia telah melakukan pembayaran tersebut menurut Pengadilan hal tersebut telah cukup membuktikan bahwa utang Debitor kepada krteditor belum dibayar lunas. Menimbang, bahwa Pengadilan Niaga telah mengabulkan permohonan Para Pemohon dan menyatakan Termohon (Debitor) pailit dengan segala akibat hukumnya, maka ketentuan Pasal 15 ayat (1) Undang-Undang No. 37 tahun 2004 harus diangkat seorang Hakim Pengawas yang ditunjuk dari Hakim Pengadilan Niaga, akan disebutkan dalam amar putusan ini. Bahwa selain Hakim Pengawas, berdasarkan ketentuan pasal yang sama dengan di atas harus pula Kurator yang memenuhi syarat sebagaimana ditentukan dalam Pasal 15 ayat (3) Undang-Undang No. 37 tahun 2004. Dalam permohonannya Para Pemohon mengajukan usul untuk mengangkat kurator dalam kepailitan ini tidak mempunyai benturan kepentingan dan baru menangani 1 (satu) kasus kepailitan sejak Oktober 2004. Berdasar permohonan dan lampirannya tersebut di atas, Majelis berpendapat bahwa usul pengangkatan kurator yang diajukan oleh Pemohon beralasan hukum, sehingga haruslah dikabulkan. Mengenai besarnya imbalan jasa Kurator, akan ditentukan setelah kepailitan berakhir sesuai dengan Hukum Kepailitan di Indonesia 107

ketentuan Pasal 75 dan 76 Undang-Undang No. 37 tahun 2004. Perihal permohonan Sita Jaminan oleh karena Majelis Hakim memandang tidak perlu diletakkan sita selama persidangan berlangsung, maka petitum perihal tersebut harus ditolak. Pengadilan mempertimbangkan bahwa Permohonan Pemohon telah memenuhi syarat adanya Debitor dalam perkara in cassu adalah Termohon, adanya dua kreditor atau lebih yaitu Para Pemohon dalam perkara ini dapat dibuktikan secara sederhana adanya dua atau lebih kreditor yaitu Para Pemohon, adanya satu utang yang belum dibayar lunas dan telah jatuh waktu dan dapat ditagih. Sehingga Pengadilan Niaga Jakarta Pusat mengabulkan permohonan pemohon tersebut dengan segala akibat hukumnya. 1. Mengabulkan permohonan Para Pemohon untuk sebagian 2. Menyatakan Termohon Pailit dengan segala akibat hukumnya. 3. Menunjuk dan mengangkat Hakim Pengawas. 4. Mengangkat Kurator. 5. Menghukum Termohon untuk membayar biaya perkara. Amar putusan mengabulkan permohonan para pemohon sebagian karena tidak semua apa yang dikemukakan dalam petitum permohonannya dikabulkan yaitu menyangkut permohonan agar dilakukan sita terhadap harta Debitor selama proses pemeriksaan pernyataan pailit berjalan dipersidangan, akan tetapi Pengadilan menyatakan dalam pertimbangan putusannya bahwa tidak perlu adanya peletakan sita terhadap harta Debitor selama proses persidangan permohonan tersebut, sehingga petitum tersebut ditolak. Permohonan pernyataan pailit in cassu baik pemohon maupun termohon merupakan orang perorangan, Pengadilan tidak mempertimbangkan kedudukan Para Pemohon ataupun Termohon, Pengadilan hanya mempertimbangkan sejauh mana hubungan hukum yang ada antara Para Pemohon dengan Termohon dalam permohonan pernyataan pailit ini. Dalam Tingkat Kasasi73: 73

Putusan Kasasi MA No.020 K/N/2005.

108 Hukum Kepailitan di Indonesia

Pihak Termohon pernyataan pailit dalam perkara in cassu tidak menerima Putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat dan mengajukan Kasasi dengan alasan-alasan sebagai berikut: Bahwa judex facti tidak mempertimbangkan jumlah utang Pemohon Kasasi akan tetapi hanya mempertimbangkan eksistensi utang itu sendiri. Bahwa pertimbangan judex facti menyatakan bukti-bukti yang diajukan Pemohon Kasasi tidak dibantah oleh Termohon Kasasi akan tetapi judex facti menyatakan telah terbukti secara sah Pemohon Kasasi mempunyai utang dan telah jatuh tempo. Pemohon Kasasi keberatan karena judex facti telah keliru sama sekali karena tidak mempertimbangkan dalil-dalil tanggapan Pemohon Kasasi. Bahwa seharusnya termohon pailit dalam perkara ini tidak hanya Pemohon Kasasi tapi seharusnya Tuyoshi ditarik sebagai Debitor karena ia juga menerima kiriman uang dari Termohon Kasasi sesuai bukti-bukti yang Pemohon Kasasi ajukan dipersidangan. Pertimbangan kasasi Majelis kasasi Menyatakan bahwa keberatan Pemohon Kasasi pada ad.3 sampai dengan ad.7 tidak beralasan karena judex facti tidak salah menerapkan hukum. Sedangkan keberatan lain tidak beralasan karena judex facti telah tepat dalam pertimbangan dan putusannya, karenanya beralasan permohonan kasasi tersebut haruslah ditolak. Dalam pertimbangan putusan Majelis Hakim Kasasi menilai bahwa judex facti tidak salah menerapkan hukum dan telah tepat dalam pertimbangan putusannya karenanya tidak ada alasan untuk membatalkan putusan judex facti tersebut dan permohonan kasasi pemohon haruslah ditolak. Terhadap putusan tingkat pertama maupun pada putusan tingkat kasasi tidak terbukti alasan Termohon Pailit tidak melakukan pembayaran utangnya yang telah jatuh tempo, pada kedua putusan juga tidak dipertimbangkan kapasitas Para Pemohon dalam kedudukannya sebagai kreditor, karena kedudukan kreditor dibedakan dari sifat piutangnya, baik sebagai kreditor preferen, kreditor separatis ataupun sebagai kreditor kokuren. Dalam proses pemeriksaan permohonan pernyataan pailit tidak terlihat nilai dan seberapa mungkin harta Hukum Kepailitan di Indonesia 109

benda Termohon dapat membayar utang-utangnya kepada Para Pemohon atau Para Kreditor dari Debitor atau Termohon dalam perkara ini. Dalam Permohonan PT.UNIDENTAL METAL Pemohon Sendiri 74: Pemohon adalah perseroan terbatas dengan bidang usaha alat-alat kedokteran berkedudukan di Bandung. Sejak awal pemohon telah menjalankan usahanya dengan baik dan mempunyai penghasilan yang baik pula, namun usaha Pemohon mengalami kemerosotan keuangan sehubungan dengan menurunnya pesanan/order yang berakibat menurunnya pemasukan. Kemudian para Pemegang Saham dari Pemohon mengambil kesimpulan untuk mempailitkan diri Pemohon sebagaimana tertuang dalam Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa PT. Unident (Pemohon) yang pada pokoknya pemegang saham Pemohon sepakat untuk mengajukan permohonan pailit kepada Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Permohonan yang diajukan oleh Pemohon ini, tidak bertentangan atau tidak terhalang oleh suatu undangundang atau perjanjian yang dibuat oleh Pemohon. Perseroan Terbatas in cassu sebagai Pemohon sebelum mengajukan kepailitan terhadap dirinya sendiri harus terlebih dahulu mendapat persetujuan dari Rapat Umum Pemegang Saham, dalam UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan terbatas menyebutkan dalam Pasal 104 Ayat (1) menyebutkan bahwa : Direksi tidak berwenang mengajukan permohonan pailit atas perseroan sendiri kepada Pengadilan Niaga sebelum memperoleh persetujuan RUPS, dengan tidak mengurangi ketentuan sebagaimana diatur dalam undang-undang tentang kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang. Pemohon sampai dengan saat ini mempunyai banyak kreditor diantaranya adalah PT. NORD Indonesia dan PT. Sekawan. Utang-utang Pemohon tersebut kepada para 74

Putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat No.16/Pailit/PN.Niaga.Jkt.Pst.

110 Hukum Kepailitan di Indonesia

kreditor seharusnya dibayarkan sesuai dengan jadwaljadwal, kepada PT. NORD Indonesia jatuh tempo pada bulan Oktober 2004 dan kepada PT. Sekawan yang jatuh tempo pada bulan Agustus 2004, November 2004 dan Desember 2004 total sejumlah utang, Namun demikian hingga pada bulan-bulan tersebut Pemohon tidak dapat membayar utang-utangnya kepada para Kreditor. Pemohon mempunyai 2 (dua) atau lebih kreditor, sebagaimana telah diuraian di atas dimana Pemohon mempunyai banyak kreditor yaitu PT. NORD Indonesia dan PT. Sekawan, bahkan berdasarkan laporan keuangan dari Pemohon yang dibuat pada April 2004 tercatat Pemohon mempunyai 33 Kreditor. Berdasarkan alasan-alasan tersebut di atas, Pemohon memohon kepada Majelis Hakim berkenan memberikan putusan sebagai berikut : 1. Mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya. 2. Menyatakan Pemohon pailit dengan segala akibat hukumnya. 3. Mengangkat Hakim Pengawas untuk kepailitan tersebut. 4. Menunjuk Balai Harta Peninggalan (BHP) selaku kurator dalam kepailitan tersebut. 5. Menetapkakan biaya-biaya lain dalam permohonan ini Pengadilan mengabulkan permohonan yang diajukan Debitor dengan pertimbangan bahwa permohonan yang diajukan Pemohon telah memenuhi persyaratan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 2 Ayat (1) UU Kepailitan dengan pertimbangan sebagai berikut : Menimbang, bahwa sebelum Majelis Hakim membahas permohonan pernyataan Pailit tersebut, terlebih dahulu hendak mempertimbangkan kapasitas Pemohon mengajukan permohonan ini. Menimbang, bahwa setelah mencermati bukti-bukti yang diajukan Pemohon tersebut, ternyata berkedudukan sebagai Presiden Direktur PT UNIDENT METAL, sehingga ia berwenang bertindak ke dalam dan ke luar untuk dan atas nama Perusahaan dan Majelis Hakim berpendapat Pemohon memiliki kapasitas mengajukan permohonan pernyataan palit a quo. Menimbang, bahwa Hukum Kepailitan di Indonesia 111

persoalannya sekarang adalah dapatkah permohonan pernyataan palit a quo dikabulkan, Majelis Hakim akan mempertimbangkan sebagaimana diuraikan berikut ini. Menimbang, bahwa berbicara tentang permohonan pernyataan palit, maka acuannya adalah ketentuan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) yang menetapkan sebagai berikut : “Debitor yang mempunyai dua atau lebih kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan Pailit dengan putusan Pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih kreditornya”. Menimbang, bahwa atas permohonan pernyataan pailit yang diajukan oleh Pemohon, dihubungkan dengan pernyataannya sebagaimana tersebut Pasal 2 ayat (1) Undang-undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU), maka timbul persoalan yang perlu dibahas adalah : 1. Apakah Debitor (Pemohon) mempunyai dua atau lebih Kreditor. 2. Apakah Piutang diantara kreditornya tersebut, salah satunya telah jatuh waktu dan dapat ditagih. Pengadilan sebelum mempertimbangkan apakah permohonan pemohon dapat dikabulkan terlebih dahulu harus mempertimbangkan apakah Pemohon in cassu mempunyai kewenangan untuk mengajukan permohonan pernyataan pailit atas nama dan untuk diri sendiri, karena pernyataan pailit tersebut berkaitan dengan kewenangan Pemohon yang diberikan Anggaran Dasar dan Akte Pendirian Perusahaan untuk tampil di pengadilan atas nama perusahaan ataupun perseroan sebagaimana kasus a quo, dengan pertimbangan terurai diatas. Menimbang, bahwa untuk memperoleh jawaban atas dua persoalan tersebut, Majelis Hakim mempertimbangkan sebagai berikut: Menimbang, bahwa mencermati bukti-bukti yang diajukan Pemohon dipersidangan yaitu berdasarkan 112 Hukum Kepailitan di Indonesia

bukti P-9 sampai dengan bukti P-11c serta tanggapan Kreditor-kreditor baik secara lisan maupun tertulis yang masing-masing disampaikan di persidangan, ternyata benar Pemohon mempunyai utang terhadap kreditor-kreditor yaitu kepada PT. NORD Indonesia dan kepada PT. Sekawan. Menimbang bahwa berdasarkan rangkaian pertimbangan, maka Majelis Hakim berpendirian permohonan Pernyataan Pailit Pemohon telah memenuhi ketentuan Undang-undang No. 37 Tahun 2004, oleh sebab itu beralasan menurut hukum untuk dikabulkan. Menimbang, bahwa berdasarkan surat permohonannya pemohon telah mengusulkan seseorang yang akan diangkat sebagai Kurator oleh karena ternyata tidak ada benturan kepentingan maka permohonan tersebut dikabulkan. Menimbang, bahwa disamping pengangkatan Kurator, dengan mempedomani Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 perlu pula mengangkat Hakim Pengawas dari Hakim Pengadilan Niaga Jakarta Pusat, yang namanya disebut dalam amar putusan, untuk mengawasi pengurusan dan pemberesan harta pailit. Menimbang, bahwa oleh karena permohonan Pemohon dikabulkan, maka pemohon dibebani untuk membayar biaya perkara ini. Permohonan dalam perkara ini meskipun diajukan oleh Debitor untuk mempailitkan dirinya sendiri, Pengadilan harus mempertimbangkan apakah permohonan pernyataan pailit diajukan oleh pemohon yang mempunyai kapasitas atau kewenangan untuk mengajukan permohonan pernyataan pailit. Pengadilan mempertimbangkan apakah permohonan pernyataan pailit ini telah sesuai dengan syarat yang dinyatakan dalam Pasal 2 Ayat (1) UU Kepailitan, dan apakah pembuktiannya sederhana, Pengadilan berpendapat semua persyaratan tersebut terpenuhi maka secara hukum permohonan pernyataan pailit yang diajukan Pemohon beralasan hukum untuk dikabulkan, dengan dictum (amar) putusan sebagai berikut : 1. Mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya. 2. Menyatakan Pemohon Pailit dengan segala akibat hukumnya.

Hukum Kepailitan di Indonesia 113

3. Mengangkat Hakim Pengawas dalam pemberesan Harta Pailit Pemohon. 4. Mengangkat Kurator untuk melakukan pemberesan harta pailit. 5. Menghukum Pemohon untuk membayar seluruh biaya. Persyaratan sebagaimana ditetapkan Pasal 8 Ayat (4) UU Kepailitan dalam pertimbangan Pengadilan ditemukan adanya fakta atau keadaan yang terbukti secara sederhana, persyaratan demikian terpenuhi maka pernyataan untuk dinyatakan pailit telah dipenuhi, yang dimaksud dengan fakta atau keadaan yang terbukti secara sederhana yaitu apabila adanya fakta dua atau lebih kreditor dan fakta utang yang telah jatuh waktu dan tidak dibayar. Sedangkan terhadap perbedaan besarnya jumlah utang yang didalilkan oleh pemohon pailit ataupun oleh termohon pailit tidak menghalangi dijatuhkannya putusan pernyataan pailit. Putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat tersebut menggambarkan UU Kepailitan tidak memberikan perlindungan terhadap Debitor, cukup dengan pembuktian yang sederhana dan terpenuhinya syarat yang ditentukan pada Pasal 2 Ayat (1) UU Kepailitan maka Debitor telah memenuhi syarat untuk dipailitkan. Kedudukan Debitor bertambah rumit jika Debitor Perseroan Terbatas karena UU No 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas pada Pasal 142 Ayat (1) e menyebutkan Pembubaran perseroan terjadi karena harta pailit perseroan yang telah dinyatakan pailit berada dalam keadaan insovensi. Pasal 142 Ayat (2) a, menyebutkan dalam hal terjadinya pembubaran perseroan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tersebut wajib diikuti dengan likuidasi yang dilakukan oleh likuidator atau kurator. 3. Kepailitan Debitor UU Kepailitan tidak membedakan secara khusus antara Debitor orang perorangan (individual) dengan Debitor korporasi baik persekutuan (partnership) atau Debitor perseroan (corporation).75 Pasal 1 Angka 1 UU Kepailitan menyebutkan Debitor adalah orang yang mempunyai utang karena perjanjian 75

Sutan Remy Sjahdeini, Ibid. 95.

114 Hukum Kepailitan di Indonesia

atau undang-undang yang pelunasannya dapat ditagih dimuka pengadilan, orang dimaksudkan sebagai Debitor tersebut adalah orang sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 1 Angka 11 UU Kepailitan yaitu setiap orang adalah orang perorangan atau korporasi termasuk korporasi yang berbentuk badan hukum maupun yang bukan badan hukum dalam likuidasi. Kepailitan Debitor adalah kepailitan yang telah dinyatakan didalam putusan pengadilan, kepailitan seseorang atau badan hukum bukanlah person Debitor akan tetapi pernyataan pailit menyangkut harta benda milik Debitor pailit. Kepailitan mempunyai unsur adanya Debitor, adanya dua orang kreditor atau lebih dan adanya tidak membayar satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih dan belum dibayar lunas, sedangkan kreditor adalah sebagaimana ditegaskan Pasal 1 Angka 2 UU Kepailitan yang menyebutkan kreditor adalah orang yang mempunyai piutang karena perjanjian atau undang-undang yang dapat ditagih dimuka pengadilan, kreditor bukan hanya orang akan tetapi juga korporasi. KUHPerdata tidak menyebutkan istilah Debitor akan tetapi disebut dengan si berutang (Schuldenar) untuk Debitor dan si berpiutang (Schuldeischer) untuk kreditor,76 si berutang adalah pihak yang wajib memberikan, berbuat atau tidak berbuat sesuatu berkenaan dengan perikatannya, baik perikatan itu timbul karena perjanjian ataupun karena undang-undang.77 Skema 2. Pendaftaran Perkara Kepailitan.78 Tanda Terima

Permohonan

Berkas Permohonan

Meja Pertama

Formulir Kelengkapan Persyaratan Permohonan

Pemeriksaan Kelengkapan Formil

Penunjukan Majelis Hakim

Mahkamah Agung Lengkap

Lengkap?

Pemeriksaan Kelengkapan Formil

Permohonan Pailit, PKPU, Rehabilitasi & Perlawanan Terhadap Rehabilitasi

Permohonan Kasasi & Peninjauan Kembali

Meja Ketiga

Ya

76

Pasal 1235, Pasal 1234 dan Pasal 1239 KUHPerdata. Register Umum & 77 SKUMKepailitan Memahami UU Kepailitan Tentang Sutan Remy Sjahdeini, Hukum Register Induk Pencatatan Perkara Kepailitan Kepailitan, Grafiti, Cetakan Ke-III, Jakarta, 2009, hlm.93. 78 Bayar Mahkamah Agung, Seri Pendidikan Hukum Mengenal Hukum Kepailitan Indonesia, Tanda Terima SKUM, Nomor Buku Pendamping, 2005, hlm.8 Pemeriksaan Kelengkapan Formil

Perkara, Berkas Permohonan

Meja Kedua

Hukum Kepailitan di Indonesia 115

Pernyataan pailit dapat diajukan kepada Debitor yang mempunyai utang sebagaimana dimaksud dengan Pasal 1 Angka 6 UU Kepailitan, utang ditegaskan sebagai kewajiban atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang baik dalam mata uang Indonesia maupun mata uang asing baik secara langsung maupun yang akan timbul dikemudian hari (kontijen) yang timbul dari perjanjian atau undang-undang dan wajib dipenuhi oleh Debitor dan bila tidak dipenuhi akan menimbulkan hak kepada kreditor untuk mendapatkan pemenuhannya dari harta kekayaan Debitor tersebut.79 Sedangkan pengertian utang yang telah jatuh dan dapat ditagih, utang yang telah jatuh waktu yaitu utang yang telah melewati jadual yang ditentukan dalam perjanjian kredit menjadi jatuh waktu karena itu pula kreditor dapat menagihnya. Dalam praktik perbankan utang yang telah jatuh waktu dapat pula diartikan meskipun belum masuk kedalam tenggang berakhirnya perjanjian akan tetapi jika jadual angsuran atau tahapan pembayaran tidak terlaksana maka hal tersebut sudah jatuh waktu, tidak harus suatu kredit bank dinyatakan due atau expired pada tanggal akhir perjanjian kredit sampai, cukup apabila tanggal jadual angsuran kredit telah sampai.80 Utang walaupun belum jatuh waktu akan tetapi jika salah satu peristiwa even of default yang tertuang dalam klausula perjanjian kredit telah terlanggar maka utang tersebut telah dapat ditagih, pelanggaran even of difault tersebut memberikan hak

79 80

Sutan Remy Sjahdeini, Ibid, hlm.94. Sutan Remy Sjahdeini, Ibid. hlm. 58

116 Hukum Kepailitan di Indonesia

kepada bank untuk menagih kreditor yang telah digunakan. Even of default tersebut antara lain 81: 1. Selama kredit belum lunas, Debitor dilarang tanpa seizin bank melakukan hal-hal sebagai berikut : a. Membagi deviden. b. Membuka kantor cabang. c. Melakukan perubahan susunan anggota direksi dan komisaris, d. Menjual aset bank. 2. Selama kredit belum lunas, Debitor wajib melakukan hal-hal sebagai berikut : a. Setiap tahun selambat-lambatnya pada akhir bulan maret tahun berikutnya menyampaikan laporan tahunan mengenai keadaan keuangan selama tahun yang lalu berupa neraca dan laporan laba/rugi (provit and lose statement) yang telah diaudit oleh akuntan publik yang independen. b. Setiap enam bulan sekali menyampaikan laporan keuangan baik berupa neraca maupun laporan laba/rugi yang tidak diaudit oleh akuntan publik (financial home statement). Sutan Remy Sjahdeini, menyatakan bahwa ada perbedaan antara pengertian utang yang telah jatuh waktu dengan utang yang telah dapat ditagih, utang yang telah jatuh waktu dengan sendirinya menjadi utang yang dapat ditagih, akan tetapi utang yang dapat ditagih belum tentu utang yang telah jatuh waktu.82 Undang-Undang Kepailitan memberi pengertian utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih adalah kewajiban untuk membayar utang yang telah jatuh waktu baik karena telah diperjanjikan, percepatan waktu penagihan sebagaimana diperjanjikan, pengenaan sanksi atau denda oleh instansi yang berwenang, maupun karena putusan pengadilan, arbiter atau majelis arbiter. Setiawan dalam bukunya Ordonansi Kepailitan Serta Aplikasi Kini dalam Adrian Sutedi mengemukakan bahwa utang seharusnya 81 82

Sutan Remy Sjahdeini, Ibid. Sutan Remy Sjahdeini, Ibid. hlm. 58

Hukum Kepailitan di Indonesia 117

diberi arti luas, baik dalam arti kewajiban membayar sejumlah uang tertentu yang timbul karena adanya perjanjian utang piutang maupun kewajiban membayar sejumlah uang tertentu yang timbul dari perjanjian atau kontrak lain yang menyebabkan Debitor harus membayar sejumlah uang.83 Kartini Mulyadi, berpendapat bahwa istilah utang dalam Pasal 1 Angka 6 UU Kepailitan seharusnya merujuk kepada hukum perikatan dalam hukum perdata, yaitu tiap-tiap ikatan memberi sesuatu, berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu, yaitu:84 a. Kewajiban Debitor untuk membayar bunga dan utang pokok kepada pihak yang meminjamkan. b. Kewajiban penjual untuk menyerahkan mobil kepada pembelinya. c. Kewajiban pembangunan untuk membuat rumah dan menyerahkannya kepada pembelinya. d. Kewajiban penjamin untuk menjamin pembayaran kembali pinjaman Debitor kepada kreditor. UU Kepailitan menyebutkan Debitor adalah: 1. Debitor orang perorangan baik terikat dengan perkawinan atau tidak. 2. Debitor korporasi baik berbentuk badan hukum atau tidak, berbentuk badan hukum yaitu perseroan sebagai mana diatur dalam UU Perseroan, termasuk didalamnya sebagaimana dimaksud Pasal 2 Ayat 5 UU Kepailitan, Korporasi yang bukan berbadan hukum berupa persekutuan. 3. Debitor penjamin (Guarantee). 4. Debitor yang sudah meninggal dunia. a. Kepailitan Debitor Perorangan. Undang-Undang Kepailitan tidak membedakan tatacara pengajuan pernyataan pailit baik terhadap orang perorangan maupun korporasi dan juga pengajuan permohonan pernyataaan pailit kepada orang perorangan yang terikat dalam perkawinan 83 84

Adrian Sutedi, Op.Cit.. Hlm. 34. Adrian Sutedi, Ibid, hlm. 35.

118 Hukum Kepailitan di Indonesia

atau tidak, kecuali pengajuan permohonan pernyataan pailit untuk dirinya sendiri bagi Debitor yang masih terikat dengan pernikahan yang sah, permohonannya diajukan atas persetujuan suami atau isterinya, ketentuan tersebut tidak berlaku apabila tidak ada persatuan harta. Tidak adanya persatuan harta dikarenakan adanya perjanjian kawin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 139 KUHPerdata, dengan adanya perjanjian kawin, kedua calon suami isteri berhak melakukan penyimpangan terhadap ketentuan tentang persatuan harta kekayaan sebagaimana diatur dalam Pasal 119 KUHPerdata, sepanjang perjanjian tersebut tidak melanggar kesusilaan, ketertiban umum dan ketentuan-ketentuan dalam pasal-pasal selanjutnya menyangkut perjanjian kawin.85 Skema 3. Prosedur Pemeriksaan Perkara Kepailitan.86 Ajukan Permohonan p.6 (1)

dilakukan oleh pemohon pailit dilakukan oleh panitera

Wajib Menolak: p.6 (3)

dilakukan oleh pengadilan niaga dilakukan oleh pengadilan niaga melalui juru sita

Daftar Permohonan 0, p.6 (2)

+## = Jangka waktu dihitung paling lambat dari tanggal pendaftaran (0)

p.## = Pasal UUK

Menerima

Ajukan ke Ketua P. Niaga +2, p.6 (4)

Pelajari Permohonan +3, p.6 (4)

Memanggil Debitor/Kreditor (a-7), p.8 (1)-(3)

Adakan Sidang Pertama +20 (a), p.6 (6)

Melanjutkan

85

Ajukan Tanya Menetapkan Adrian Sutedi, Ibid, hlm.52. PKPU Sementara Tanggapan PKPU Sementara Mahkamah Agung, Seri Pendidikan Hukum Mengenal Hukum Kepailitan Indonesia, p.222 (1), (2) Debitor 225 (2), (3) Buku Pendamping, 2005, Hlm.9

86

Hukum Tanggapi Kepailitan di Indonesia 119 Permohonan

Memberitahukan

Ucapkan

Sidang

Menurut Pasal 62 UU Kepailitan disebutkan pula dalam hal suami atau isteri dinyatakan pailit, maka isteri atau suaminya berhak mengambil kembali semua benda bergerak dan tidak bergerak yang merupakan harta bawaan dari isteri atau suami dan harta yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan jika benda milik suami atau isteri telah dijual oleh suami atau isteri dan harganya belum dibayar atau uang hasil penjualan belum tercampur dalam harta pailit, maka isteri atau suami berhak mengambil kembali uang hasil penjualan tersebut. Pasal 21 UU Kepailitan menyebutkan bahwa kepailitan meliputi seluruh kekayaan Debitor pada saat putusan pernyataan pailit diucapkan serta segala sesuatu yang diperolehnya selama kepailitan, pengecualian dari kepailitan tersebut dapat dilihat pada Pasal 22 UU Kepailitan yaitu : a. Benda termasuk hewan yang benar-benar dibutuhkan oleh Debitor sehubungan dengan pekerjaannya, perlengkapannya, alat-alat medis yang dipergunakan untuk kesehatan, tempat tidur dan perlengkapannya yang dipergunakan Debitor dan keluarganya, dan bahan makanan untuk tiga puluh hari bagi Debitor dan keluarganya, yang terdapat ditempat itu. b. Segala sesuatu yang diperoleh Debitor dari pekerjaannya sendiri sebagai penggajian dari suatu jabatan atau jasa, sebagai upah, pensiun, uang tunggu atau uang tunjangan, sejauh yang ditentukan oleh hakim pengawas.

120 Hukum Kepailitan di Indonesia

c. Uang yang diberikan kepada Debitor untuk memenuhi suatu kewajiban memberi nafkah menurut undangundang. Selain harta Debitor yang diuraikan diatas juga termasuk pengecualian dari harta pailit yaitu semua harta Debitor yang dibebani oleh hak separatis yang dimiliki oleh kreditor pemegang hak jaminan kebendaan, harta Debitor yang telah dibebani dengan suatu hak jaminan yaitu hak tanggungan, hipotek, gadai dan fidusia termasuk pula didalamnya hak kreditor untuk menahan benda milik Debitor yang tidak kehilangan haknya karena adanya putusan pailit. Jika dibandingkan pengertian Debitor dan kreditor antara UU Kepailitan dan KUHPerdata, KUHPerdata memberikan pengertian yang lebih luas karena Debitor atau kreditor tersebut berkaitan dengan prestasi tidak hanya berupa utang yang dapat dinilai dengan uang akan tetapi termasuk juga memberikan sesuatu, berbuat sesuatu dan tidak berbuat sesuatu baik itu timbul karena perjanjian maupun timbul karena undang-undang. Tidak terlaksananya kewajiban tersebut oleh si berutang (Debitor) melahirkan kewajiban baru yaitu mengganti kerugian yang timbul atas tidak terlaksananya kewajiban si Debitor dengan membayar biaya, ganti rugi dan bunga. Kelalaian tersebut harus dinyatakan dengan jelas dalam sebuah akte atau surat perintah yang menyatakan si berutang telah lalai atau telah lewatnya waktu yang ditentukan.87 b. Kepailitian Debitor Korporasi. Beberapa hal yang berkaitan persyaratan pengajuan pernyataan pailit dibedakan oleh UU Kepailitan kepailitan terhadap bank yang diajukan oleh Bank Indonesia, perusahaan effek, bursa effek, lembaga kliring dan penjamin, lembaga penyimpanan dan penyelesaian, permohonan pailitnya diajukan oleh Badan Pengawas Modal, terhadap perusahaan asuransi, reasuransi, dana pensiun atau Badan Usaha Milik Negara 87

Pasal 1238 KUH Perdata.

Hukum Kepailitan di Indonesia 121

permohonan pernyataan pailit diajukan oleh Menteri Keuangan dan untuk kepentingan umum Kejaksaan dapat mengajukan permohonan pernyataan pailit. Kriteria kepentingan umum untuk dijadikan alasan kejaksaan untuk megajukan permohonan pernyataan pailit tersebut diartikan juga sebagai kepentingan bangsa dan negara dan atau kepentingan masyarakat luas, dengan telah memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud Pasal 2 Ayat (1) UU Kepailitan dan tidak ada pihak yang mengajukan permohonan pailit, seperti 88: a. Debitor melarikan diri; b. Debitor menggelapkan bagian dari harta kekayaan; c. Debitor mempunyai utang kepada Badan Usaha Milik Negara atau badan usaha lain; d. Debitor mempunyai utang yang berasal dari penghimpunan dana dari masyarakat luas; e. Debitor tidak beritikad baik atau tidak kooperatif dalam menyelesaikan masalah utang piutang yang telah jatuh tempo; atau f. Dalam hal lain menurut kejaksaan, merupakan kepentingan umum. Dalam hal Debitor adalah persero atau firma, pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan firma tersebut berwenang memutuskan. Terhadap Debitor yang tidak berkedudukan di Indonesia akan tetapi menjalankan usahanya di Indonesia maka pengadilan yang meliputi tempat kedudukan pusat atau kedudukan Debitor menjalankan profesi atau usahanya di Indonesia, dalam hal Debitor merupakan badan hukum maka tempat kedudukan hukumnya adalah sebagaimana tertuang dalam anggaran dasarnya.89 Pasal 5 UU Kepailitan menegaskan bahwa permohonan pernyataan pailit terhadap suatu firma harus memuat nama dan tempat tinggal masing-masing pesero yang secara tanggung renteng terikat untuk seluruh utang firma. Kepailitan terhadap suatu persekutuan perdata seperti firma, c.v. (comanditair 88 89

Penjelasan Pasal 2 UU Kepailitan. Pasal 1 Angka 6, Pasal 2, Pasal 3 UUK.

122 Hukum Kepailitan di Indonesia

venootshap), join operation diarahkan kepada pesero-pesero yang memiliki kapasitas dalam persekutuan perdata tersebut, tidak mungkin dilakukan sita umum terhadap suatu badan yang tidak memiliki kapasitas atas harta bendanya. Debitor dinyatakan pailit apabila permohonan pernyataan pailit yang diajukan pemohon baik itu oleh kreditor ataupun para kreditor, oleh pejabat yang diberikan kewenangan oleh UndangUndang Kepailitan yaitu Kejaksaan, Menteri Keuangan, Direktur Bank Indonesia, Badan Pengawas Pasar Modal dan atau oleh Debitor sendiri, dikabulkan oleh pengadilan sejak saat itu secara hukum Debitor sudah dalam keadaan pailit. Pernyataan Debitor benar-benar dalam keadaan pailit adalah setelah rencana perdamaian yang diajukan Debitor dalam rapat kreditor ditolak oleh para kreditor atau ditolak oleh pengadilan. Penolakan atas rencana perdamaian atau ditolaknya pengesahan perdamaian tersebut oleh pengadilan maka sejak saat itu Debitor benar-benar dalam keadaan pailit dan demi hukum harta Debitor dinyatakan dalam keadaan insolvensi atau dalam keadaan sudah tidak mampu membayar.90 UU Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas mengatur tentang bubarnya perseroan disebutkan dalam Pasal 142 UU Perseroan yaitu : (1) Pembubaran perseroan terjadi : a. Berdasarkan keputusan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS). b. Karena jangka waktu berdirinya yang ditetapkan dalam anggaran dasar telah berakhir. c. Berdasarkan penetapan pengadilan. d. Dengan dicabutnya kepailitan berdasarkan putusan pengadilan niaga yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, harta pailit perseroan tidak cukup untuk membayar biaya kepailitan. e. Karena harta pailit perseroan yang telah dinyatakan pailit berada dalam keadaan insolvensi sebagaimana 90

Pasal 178 dan berkaitan dengan Pasal 57 UUK.

Hukum Kepailitan di Indonesia 123

diatur dalam undang-undang tentang kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang; atau f. Karena dicabutnya izin usaha perseroan sehingga mewajibkan perseroan melakukan likuidasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (2) Dalam hal terjadi pembubaran perseroan sebagaimana dimaksud ayat (1) : a. Wajib diikuti dengan likuidasi yang dilakukan oleh likuiditor atau kurator; dan b. Perseroan tidak dapat melakukan perbuatan melawan hukum, kecuali diperlukan untuk membereskan semua urusan perseroan dalam rangka likuidasi. (3) Dalam hal pembubaran terjadi berdasarkan keputusan RUPS, jangka waktu berdirinya yang ditetapkan dalam anggaran dasar telah berakhir atau dengan dicabutnya kepailitan berdasarkan keputusan pengadilan niaga dan RUPS tidak menunjuk likuidator, Direksi bertindak selaku likuidator. (4) Dalam hal pembubaran perseroan terjadi dengan dicabutnya kepailitan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, pengadilan niaga sekaligus memutuskan pemberhentian kurator dengan memperhatikan ketentuan dalam undang-undang tentang kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang. (5) Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dilanggar, Anggota Direksi, Anggota Dewan Komisaris dan Perseroan bertanggung jawab secara tanggung renteng. (6) Ketentuan mengenai pengangkatan, pemberhentian sementara, pemberhentian, wewenang, kewajiban, tanggung jawab dan pengawasan terhadap direksi mutatis mutandis berlaku terhadap likuidator. Kepailitan terhadap perseroan juga diatur UU Nomor 40 Tahun 2007 dalam Pasal 142 Ayat (1) Huruf d dan Huruf e sebagaimana ditegaskan oleh Pasal 142 Ayat (2) Huruf a maka kepailitan terhadap perseroan harus diikuti dengan likuidasi yang 124 Hukum Kepailitan di Indonesia

dilakukan oleh likuidator atau kurator. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa perseroan akan terlikuidasi demi hukum apabila pengadilan menyatakan perseroan tersebut pailit dan kurator merangkap tugasnya sebagai likuidator. c. Kepailitan Debitor Penjamin ( Guarantee). Penjamin atau guarantor atau disebut juga penanggung utang atau borgtocht adalah suatu persetujuan dimana pihak ketiga guna kepentingan kreditor mengikatkan dirinya untuk memenuhi kewajiban Debitor apabila Debitor tidak dapat memenuhi kewajibannya, Pasal 1280 KUHPerdata menyatakan bahwa terjadi suatu perikatan tanggung menanggung dipihaknya orang-orang yang berutang, manakala mereka semua diwajibkan melakukan hal yang sama, sedemikian bahwa salah satu dapat dituntut untuk seluruhnya dan pemenuhan salah satu membebaskan orang-orang berutang lainnya terhadap si berpiutang. Perjanjian tangung menanggung ini merupakan perjanjian yang sifatnya accesoir atau merupakan perjanjian tambahan dari perjanjian pokoknya yaitu perjanjian kredit, perjanjian ini berakibat kalau perjanjian pokoknya batal maka perjanjian tanggung menanggung ini menjadi batal atau berakhir dengan sendirinya. Penanggung mempunyai hak-hak khusus yaitu 91: a. hak agar kreditor menuntut terlebih dahulu kepada Debitor (voorrecht van eerder uitwenning), Pasal 1831 KUHPerdata menegaskan bahwa penanggung tidaklah diwajibkan membayar kepada si berpiutang, selainnya jika si berpiutang lalai, sedangkan benda-benda si berutang ini harus lebih dahulu disita dan dijual untuk melunasi utangnya. b. Hak meminta pemecahan utang (voorecht van schuldsplisting), hak istimewa ini timbul jika terdapat beberapa orang penanggung, Pasal 1837 KUHPerdata menguraikan bahwa namun itu masing-masing dari 91

Imran Nating, Peranan Dan Tanggung jawab Kurator Dalam pengurusan Dan Pemberesan Pailit, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2004. hlm.31.

Hukum Kepailitan di Indonesia 125

mereka, jika ia tidak melepaskan hak istimewanya untuk meminta pemecahan utangnya, pada pertama kalinya ia digugat dimuka hakim dapat menuntut supaya si berpiutang lebih dahulu membagi piutangnya, dan menguranginya hingga bagian masing-masing penanggung utang yang terikat secara sah. Jika pada waktu salah seorang penanggung menuntut pemecahan utangnya, seorang atau beberapa orang teman penanggung berada dalam keadaan tidak mampu, maka si penanggung tersebut diwajibkan membayar untuk orangorang yang tak mampu itu menurut imbangan bagiannya, tapi ia tidak bertanggung jawab jika ketidakmampuan orang itu terjadi setelah pemecahan utangnya. c. Hak untuk dibebaskan dari penanggungan bila karena salahnya kreditor, si penanggung tidak dapat menggantikan hak-haknya, hipotek/haktanggungan dan hak-hak istimewa yang dimiliki kreditor lihat Pasal 1848 KUHPerdata d. Kepailitan Debitor Yang Telah Meninggal Dunia Terhadap harta kekayaan orang yang telah meninggal dunia dapat diajukan permohonan pernyataan pailit sebagaimana bunyi Pasal 207 sampai dengan Pasal 211 UU Kepailitan, Harta kekayaan harus dinyatakan dalam keadaan pailit, apabila dua atau lebih kreditor mengajukan permohonan untuk itu secara singkat dapat membuktikannya bahwa orang yang meninggal semasa hidupnya tidak membayar lunas atau pada saat meninggalnya orang tersebut harta peninggalannya tidak cukup untuk membayar utangnya. Putusan pernyataan pailit berakibat demi hukum dipisahkannya harta kekayaan orang yang meninggal dengan harta kekayaan ahli warisnya, permohonan pernyataan pailittersebut harus diajukan paling lambat 90 (sembilan puluh) hari setelah Debitor meninggal. Ketentuan yang berhubungan dengan perdamaian Pasal 144 UU Kepailitan tidak berlaku terhadap kepailitan harta peninggalan kecuali warisannya telah diterima oleh ahli warisnya secara murni. 126 Hukum Kepailitan di Indonesia

Putusan pernyataan pailit bersifat serta merta dan konstitutif dengan meniadakan keadaan dan menciptakan keadaan baru. Dalam dictum suatu putusan pengadilan tentang pernyataan pailit menetapkan 3 (tiga) hal penting yaitu 1. Pernyataan pailitnya Debitor, 2. Pengangkatan seorang hakim pengawas dan 3. Pengangkatan seorang kurator. Pernyataan kepailitan berakibat terhadap harta Debitor sebagaimana diatur dalam Bab II Bagian Kedua dari Pasal 21 sampai dengan Pasal 64 dan beberapa pasal lain dari UU Kepailitan, yaitu : 1. Seluruh kekayaan Debitor berada dalam sita umum. (Pasal 1 Ayat 1) 2. Kepailitan meliputi seluruh kekayaan Debitor pada saat putusan pernyataan pailit diucapkan serta segala sesuatu yang diperoleh selama kepailitan berlangsung. ( Pasal 21) 3. Kepailitan meliputi isteri ataupun suami Debitor pailit yang terikat pernikahan. ( Pasal 23) 4. Debitor demi hukum kehilangan haknya untuk menguasai dan mengurus kekayaannya, sejak tanggal putusan pernyataan pailit diucapkan. (Pasal 24 Ayat 1 ) 5. Semua perikatan Debitor yang terbit sesudah putusan pernyataan pailit tidak lagi dapat dibayarkan dari harta pailit, kecuali perikatan tersebut menguntungkan harta pailit. (Pasal 25) 6. Tuntutan mengenai hak atau kewajiban harta pailit harus diajukan oleh atau terhadap kurator. ( Pasal 26) 7. Suatu tuntutan hukum di pengadilan yang diajukan terhadap Debitor sejauh bertujuan untuk memenuhi kewajiban dari harta pailit dan perkaranya sedang berjalan, gugur demi hukum dengan diucapkannya putusan pernyataan pailit terhadap Debitor. (Pasal 29) 8. Putusan pernyataan pailit berakibat bahwa segala penetapan pelaksanaan pengadilan terhadap setiap bagian dari kekayaan Debitor yang telah dimulai sebelum kepailitan, harus dihentikan seketika dan sejak itu tidak ada suatu

Hukum Kepailitan di Indonesia 127

9. 10. 11. 12.

13.

14. 15.

16.

17. 18.

putusan yang dapat dilaksanakan termasuk atau juga dengan menyandera Debitor. (Pasal 31) Semua penyitaan yang telah dilakukan menjadi hapus. (Pasal 31 Ayat 2) Selama kepailitan Debitor tidak dikenakan uang paksa. (Pasal 32) Sejak tanggal putusan pernyataan pailit diucapkan, uang sewa merupakan utang harta pailit. (Pasal 38 Ayat 4). Warisan selama kepailitan jatuh kepada Debitor oleh kurator tidak boleh diterima, kecuali apabila menguntungkan harta pailit. (Pasal 40) Hibah yang dilakukan Debitor dapat dimintakan pembatalan kepada pengadilan, apabila kurator dapat membuktikan bahwa pada saat hibah tersebut dilakukan Debitor mengetahui dan patut mengetahui bahwa tindakan tesebut akan mengakibatkan kerugian bagi kreditor. (Pasal 43). Debitor Pailit dapat mengajukan permintaan pergantian kurator. (Pasal 71). Debitor Pailit dapat mengajukan keberatan atas kinerja kurator kepada hakim pengawas dan dapat meminta hakim pengawas agar memerintahkan kurator untuk melakukan suatu perbuatan tertentu atau tidak melakukan perbuatan tertentu yang sudah direncanakan. (Pasal 77) Pengadilan dengan putusan pernyataan pailit atau setiap waktu setelah itu, atas usul hakim pengawas, permintaan kurator atau atas permintaan seorang kreditor atau lebih setelah mendengar hakim pengawas dapat memerintahkan Debitor ditahan, baik di tempatkan di RUTAN maupun dirumahnya sendiri dibawah pengawasan jaksa yang ditunjuk hakim pengawas. (Pasal 93). Selama kepailitan Debitor pailit tidak dapat meninggalkan domisilinya tanpa izin dari hakim pengawas (Pasal 97). Debitor pailit berhak menawarkan suatu perdamaian kepada semua kreditor. (Pasal 144 ).

128 Hukum Kepailitan di Indonesia

19.

Untuk keperluan pemberesan harta pailit kurator dapat menggunakan jasa Debitor pailit dengan pemberian upah yang ditentukan oleh hakim pengawas. (Pasal 186).

4. Kedudukan Kreditor Dalam Kepailitan Debitor Analisa putusan kepailitan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat berikut untuk melihat sejauh mana kedudukan seorang kreditor dalam proses kepailitan sedang berlangsung, sejauh mana Pengadilan mempertimbangkan alasan-alasan hukum untuk dapat mengabulkan permohonan pernyataan pailit yang ditanganinya. Permohonan pernyataan pailit dapat diajukan oleh Debitor sendiri untuk mempailitkan dirinya sendiri, kemudian dapat diajukan oleh kreditor dan dapat juga diajukan oleh pemohon lainnya seperti Kejaksaan, Bank Indonesia, Menteri Keuangan dan Bapepam. Kreditor bisa oleh kreditor separatis, kreditor preferen ataupun oleh kreditor konkuren. Pembahasan berikut berhubungan dengan permohonan pernyataan Pailit yang diajukan oleh Pemohon Badan Hukum Perseroan Terbatas selaku kreditor terhadap Debitor sebagai penjamin atas pembayaran utang berdasarkan Guarantee Agreement antara Para Pemohon dengan Termohon atas utang PT. Bangun Mustika Inter Persada selaku Debitor dari Kredit Indikasi. Permohonan PT. GAMMA SOLUSI INTEGRASI melawan TAN RATNA JUWITA TANAYA92. Pemohon adalah suatu Perseroan Terbatas yang didirikan berdasarkan hukum Indonesia berdasarkan Akta Nomor 1 Tahun Agustus 2003 Notaris di Jakarta yang telah di sahkan oleh Menteri Hukum dan HAM RI dengan SK Nomor tertanggal September 2003 dan telah didaftarkan dengan tanda pendaftaran Nomor tertanggal september 2008. Pemohon dalam perkara in cassu adalah sebuah Perseroan Terbatas (PT) yang didirikan berdasarkan hukum Indonesia, kewenangan mewakili perseroan diuraikan dalam Akte Pendirian dan Anggaran dasar Perseroan, hal tersebut harus dibuktikan oleh 92

Putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat No. 19/Pailit/2005/PN.Niaga.Jkt.Pst.

Hukum Kepailitan di Indonesia 129

Pemohon di persidangan bahwa ia adalah yang memiliki kewenangan dan dalam kapasitasnya untuk mengajukan permohonan ini atas nama perseroan. Berdasarkan LOAN AGREEMENT untuk utang sejumlah uang, yang ditandatangani pada Juli 1996, ASEAN FINANCE CORPORATION LIMITED (AFCL), PT BANK PDCFI, BUMI DAYA INTERNASIONAL FINANCE LIMITED dan INTERNATIONAL FACTORS LEASING PTE. LTD (IFL) adalah Kreditor dari PT. BANGUN MUSTIKA INTERPERSADA (BMIP). Sedangkan termohon merupakan penanggung atau penjamin atas kewajiban pembayaran utang BMIP sesuai dengan perjanjian penanggungan atau penjamin sebagaimana dinyatakan dalam GUARANTEE, yang ditandatangani oleh Termohon pada Juli 1996. Hak tagih atas piutang Kreditor terhadap Termohon diperoleh berdasarkan peralihan berturut-turut dari : 1. Badan Penyehatan Perbankan Nasinaonal (BPPN) kepada PT Bank Danamon Indonesia, TBK (Bank Danamon). 2. Bank Danamon kepada PT Pridana Futura Central Investama (PDFCI). 3. AFCL kepada Gold Insignia International Limited (INSIGNIA). 4. BPPN kepada PT Karyacitra Pacificmas (KCPM). 5. IFL kepada GILLETTE FINANCE LIMITED (GILLETTE). 6. PDFCI kepada GILLETTE. 7. KCPM kepada INSIGNIA. 8. GILLETTE kepada PHUTURE ASSESTS, INC (PHUTURE) 9. INSIGNA kepada PHUTURE Uraian kejadian yang termuat dalam suatu gugatan atau permohonan yang menerangkan suatu peristiwa ataupun kejadian yang menimbulkan atau menghilangkan hak ataupun kewajiban merupakan “posita” yang menjadi dalil-dalil suatu gugatan ataupun permohonan yang setiap dalil-dalil tersebut harus dibuktikan oleh siapa yang mendalilkannya. Selanjutnya Pemohon memperoleh hak tagih atas piutang berdasarkan LOAN AGREEMENT dan GUARANTEE terhadap 130 Hukum Kepailitan di Indonesia

Termohon dari PHUTURE. Sehingga dengan demikian Pemohon adalah Kreditor dari Termohon dan Termohon adalah Debitor dari Pemohon. Sebagaimana telah diuraikan di atas, pada saat ini PHUTURE dan Pemohon merupakan Kreditor dalam sindikasi berdasarkan Loan Agreement tersebut dan karenanya juga merupakan Kreditor dari pemohon berdasarkan Guarantee tersebut. Berdasarkan LOAN AGREEMENT di atas, dengan demikian Termohon terbukti tidak hanya memiliki utang kepada Pemohon tetapi juga kepada Kreditor lain selain Pemohon, sehingga unsur bahwa Termohon memiliki sekurang-kurangnya dua Kreditor telah terpenuhi. Jangka waktu pelunasan berdasarkan Loan Agreement telah jatuh waktu dan dapat ditagih Termohon dan tidak melunasi utangnya kepada Pemohon. Permohonan yang diajukan pemohon tersebut oleh Termohon telah dibantah dengan alasan-alasan sebagai berikut : Permohonan pailit oleh Pemohon pailit terhadap Termohon pailit tidak berdasarkan hukum, oleh karena meskipun Termohon pailit selaku penanggung telah melepaskan hakhak istimewanya tidak otomatis Termohon pailit selaku penanggung menggantikan kedudukan Debitor utama dan tidak menimbulkan hak bagi pemohon pailit untuk mempailitkan Termohon pailit. Permohonan pailit oleh Pemohon pailit tidak memenuhi ketentuan Pasal 2 (1) UU Kepailitan karena ketentuan dalam Pasal 2 (1) UU Kepailitan hanya memuat kata-kata atau redaksi “pailit terhadap Debitor” bukan pailit terhadap penanggung apalagi Debitor belum pernah digugat atau dipailitkan. Termohon pailit bukan satu-satunya penanggung dari Debitor ada juga penanggung lain yang tidak bertanggungjawab secara tanggung renteng. Termohon pailit tidak lagi berkapasitas sebagai penanggung dari Debitor sebab termohon pailit sudah menjual seluruh sahamnya yang ada. Permohonan pailit yang diajukan oleh Pemohon pailit tidak memenuhi syarat harus ada 2 kreditor, karena kreditor dari PT. Bangun Hukum Kepailitan di Indonesia 131

Mustika Interpersada ternyata hanya satu kreditor, sehingga tidak memenuhi ketentuan Pasal 2 (1) UU kepailitan. Termohon sebagai penjamin telah membantah dalil-dalil permohonan pemohon dan juga telah mengajukan dalil-dalil bantahannya menggunakan haknya sebagai penjamin dengan menyebutkan bahwa permohonan pernyataan pailit tidak dapat langsung diajukan kepada Termohon sebagai penjamin akan tetapi Para Pemohon seharusnya terlebih dahulu mengajukan pailit Debitor pokok. Bahwa telah terjadi perjanjian pinjaman (sindikasi) antara Asean Finance Corporation Limited (AFCL), PT Bank PDCFI, Bumi Daya Internasional Finance Limited dan International Factors Leasing PTE. LTD (IFL) selaku pemberi pinjaman (Kreditor) dengan PT. Bangun Mustika Interpersada (BMIP) selaku peminjam (Debitor) atas uang sejumlah berdasarkan Loan Agreement bulan Juli 1996. Bahwa untuk menjamin fasilitas pinjaman tersebut, maka berdasarkan Guarantee bulan Juli 1996 Tan Kwang King, Tan Sang Kok, Tan Ratna Juwita (Termohon), Djohan Rahardja dan Anwar Setiawan secara bersama-sama telah bertindak sebagai penjamin. Bahwa kemudian terjadi beberapa kali pergantian Kreditor atas fasilitas pinjaman tersebut karena adanya penjualan hak tagih piutang seperti telah dijelaskan diatas. Bahwa selanjutnya atas hak tagih piutang yang dimiliki Phuture kepada PT. BMIP, telah dijual kepada Pemohon. Pengadilan menyimpulkan bahwa dengan adanya perjanjian guarantee dengan Termohon sebagai penjamin utang Debitor pokok yang berasal dari Loan Agreement dapat dibenarkan berdasarkan guarantee agreement antara Pemohon dengan Termohon, tanpa terlebih dahulu mengajukan pernyataan pailit terhadap Debitor utama (PT.BMIP). Dari fakta-fakta tersebut diatas maka dapat dilihat bahwa Pemohon adalah Kreditor dari PT BMIP dan PT BMIP adalah Debitor dari Pemohon. Di samping itu Termohon dan kawan-kawannya juga terikat sebagai penjamin atas utang PT BMIP dari Kreditor-Kreditor yang lain (termasuk 132 Hukum Kepailitan di Indonesia

Phuture) yang semuanya berasal dari Loan Agreement. Bahwa di dalam permohonannya tersebut, Pemohon hanya menunjuk Termohon untuk dinyatakan pailit, sedangkan penjamin yang lain tidak, adalah dapat dibenarkan didasarkan pada Guarantee. Sebagaimana telah dipertimbangkan di atas, ternyata bahwa Termohon telah terbukti sebagai penjamin atas utang PT BMIP pada Pemohon dan pada Kreditor-Kreditor yang lain termasuk Phuture. Berdasarkan hal ini apa yang telah diuraikan sebelumnya maka telah terbukti Termohon dua atau lebih kreditor dan telah terbukti pula utang dimaksud telah jatuh waktu dan dapat ditagih. Terhadap penyangkalan Termohon yang pada intinya menyatakan bahwa Termohon tidak lagi berkapasitas sebagai penanggung karena sejak Agustus 2003 Termohon telah menjual seluruh sahamnya di PT BMIP, Atas dalil Termohon tersebut, pada hemat pengadilan tidaklah berdasar, karena kewajiban bagi penjamin adalah hingga utang Debitor terbayar lunas. Atas dasar segala pertimbangan tersebut di atas, Pengadilan berkesimpulan bahwa permohonan Pemohon beralasan menurut hukum dan patut dikabulkan, serta oleh karenanya Termohon harus dinyatakan pailit dengan segala akibat hukumnya. Bahwa dengan pertimbangan tersebut di atas Pengadilan Niaga Jakarta Pusat mengabulkan permohonan pemohon dengan amar sebagai berikut : 1. Mengabulkan permohonan Pemohon. 2. Menyatakan Termohon Pailit dengan segala akibat hukumnya. 3. Mengangkat Hakim Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat sebagai Hakim Pengawas. 4. Mengangkat sebagai kurator Termohon. 5. Membebankan biaya perkara kepada Termohon. Pemohon sekaligus sebagai kreditor mengajukan permohonan pernyataan pailit dalam perkara ini kepada penjamin utang PT.BMIP berdasarkan perjanjian guarantee dari kredit sindikasi Loan Agreement yang ditandatangani pada tanggal 8 Juli 1996, Oleh karena Debitor tidak memenuhi kewajibannya sesuai Hukum Kepailitan di Indonesia 133

loan agreement dengan demikian para pemohon mengajukan permohonannya kepada Termohon sebagai penjamin utang-utang PT.BMIP kepada Para Pemohon. Pengadilan dalam pertimbangannya telah terbukti bahwa Para Pemohon adalah Kreditor dan Termohon sebagai Penjamin adalah Debitor dalam perkara ini, meskipun Termohon membantah telah melepas semua saham-sahamnya pada PT. BMIP maka kedudukan Termohon bukan lagi penjamin utang tersebut ditolak oleh Pengadilan karena perjanjian utang tersebut belum lunas dibayar. Dengan alasan hukum tersebut Pengadilan mengabulkan permohonan pemohon. Termohon keberatan atas putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat dan mengajukan Kasasi atas putusan tersebut 93 dengan alasan sebagai berikut : Judex facti telah salah menerapkan hukum karena telah menerima masuknya kuasa hukum Phuture Assets Inc. dalam perkara aquo sedangkan surat kuasa dari Phuture Assets Inc. tidak dilegalisasi oleh Kedutaan Besar Perwakilan RI setempat. Judex facti telah salah menerapkan hukum karena tidak mempertimbangkan sah tidaknya perjanjian pengalihan hak piutang (cessie) Termohon Kasasi/Semula Pemohon Pailit. Judex facti telah salah menerapkan hukum karena tidak mempertimbangkan apakah Termohon Kasasi/Semula Pemohon Pailit beritikad baik dalam melakukan perubahan atas Loan Agreement. Judex facti telah salah menerapkan hukum karena tidak mempertimbangkan apakah pemecahan hak tagih piutang beberapa hari sebelum permohonan pailit sekedar untuk memenuhi syarat dua kreditor dan apakah bertentangan dengan asas keseimbangan sebagaimana dianut UU Nomor 37 Tahun 2004. Judex facti telah salah menerapkan hukum karena seharusnya judex facti mempertimbangkan apakah Debitor 93

Terdaftar Perkara Kasasi No. 026K/N/2005.

134 Hukum Kepailitan di Indonesia

PT.BMIP masih mempunyai utang berdasarkan Loan Agreement tanggal 8 Juli 1996. Judex facti telah salah menerapkan hukum karena telah mempertimbangkan Pemohon Kasasi/Semula Termohon Pailit adalah Debitor sesuai dengan Second Amandement Loan Agreement tanggal 29 Nopember 2004. Menurut Majelis Hakim Kasasi, bahwa Guarantee Agreement merupakan perjanjian tambahan dari perjanjian utang-piutang sebagai perjanjian pokoknya, dalam tuntutan yang diajukan kepada penjamin adanya bahwa haruslah Debitor pokok yang dipailitkan dan dilelang semua hartanya untuk pembayaran piutangnya kepada kreditor, setelah itu dilakukan kemudian semua harta Debitor pokok belum mencukupi maka kemudian dilakukan penuntutan terhadap semua penjamin dan tidak dapat dilakukan terpisah satu sama lainnya. Menimbang, bahwa atas keberatan ad.D dan ad. F menurut Majelis Hakim Kasasi judex facti telah salah menerapkan hukum karena Debitor utama dalam perjanjian Loan Agreement tidak diajukan sebagai Termohon Pailit sehingga menyalahi asas perjanjian borgtoch/penanggung (Pasal 1822 KUH Perdata) serta telah menyalahi fungsi penjamin yang bersifat accesoir sebagaimana diatur dalam Pasal 1831 KUHPerdata, penanggung tidak diwajibkan membayar kepada siberpiutang kecuali jika siberutang lalai dan bendabenda siberutang harus terlebih dahulu disita dan dijual untuk melunasi utangnya. Termohon Pailit atau si penjamin tidak dapat dibebani memikul utang berdasarkan Loan Agreement tanpa melibatkan Debitor PT.BMIP dan harus dinyatakan terlebih dahulu wanprestasi atau tidak mampu membayar utangnya. Dengan mengajukan Termohon Pailit sebagai satu-satunya penjamin sementara penjamin lain tidak ditarik dalam perkara ini menyalahi tanggung jawab penjamin secara menyeluruh. Berdasarkan pertimbangan di atas pertimbangan judex facti tidak dapat dibenarkan dan Majelis Hakim Kasasi menjatuhkan putusan sebagai berikut : Hukum Kepailitan di Indonesia 135

Mengadili Sendiri : Menolak Permohonan Pailit Termohon Kasasi. Membebankan Termohon Kasasi membayar biaya perkara. Pertimbangan Hakim Kasasi terhadap Permohonan Kasasi tersebut di atas dapat disimpulkan beberapa hal yaitu : Majelis Hakim Kasasi tetap mempedomani asas-asas hukum yang dianut KUH Perdata. Bahwa dalam Hukum Penjaminan tidak dapat dituntut pertanggung-jawaban kepada penjamin secara langsung dan harus terlebih dahulu ditujukan kepada Debitor untuk mempertangung-jawabkan utang-utangnya dan harus terlebih dahulu dinyatakan pailit dan dibayar seluruh utang tersebut dengan hartanya. Penjamin harus diajukan secara bersama dengan penjamin lain untuk dapat menuntut penjaminannya. Putusan Kasasi tersebut olah Termohon Kasasi diajukan Peninjauan Kembali (PK) 94 dengan alasan hukum kekeliruan nyata sehubungan dengan jangka waktu penyampaian salinan putusan Mahkamah Agung RI No. 026 K/N/2005 kepada Pemohon Peninjauan Kembali, tidak ada itikad baik dari Pemohon Peninjauan Kembali sehubungan dengan perubahan Loan Agreement. Termohon Peninjauan Kembali telah menyimpangkan seluruh hak-hak Istimewa selaku Pemberi Jaminan Perorangan dan dengan demikian tidak ada asas perjanjian borgtocht atau penanggung yang dilanggar. Pelanggaran terhadap asas audi alteram partem dan imparsialitas. Majelis Hakim Peninjauan Kembali mempertimbangkan bahwa terlepas dari alasan yang dikemukakan oleh Pemohon Peninjauan Kembali ternyata Majelis Hakim PK mempertimbangkan bahwa pembuktian dalam perkara ini tidaklah sederhana terutama membuktikan apakah PT.BIMP adalah kreditor yang dapat mengajukan permohonan pailit kepada Termohon Pailit, kapan jatuh waktu dan dapat ditagihnya utang tersebut tidaklah sederhana, sehingga sengketa ini seharusnya diselesaikan melalui gugatan perdata di Pengadilan Negeri. Karenanya Majelis Hakim PK membatalkan putusan Pengadilan 94

Register Perkara PK No. 05 PK/N/2006.

136 Hukum Kepailitan di Indonesia

Tingkat Pertama dan Putusan Mahkamah Agung RI ditingkat kasasi dan mengadili sendiri dengan menyatakan menolak permohonan pernyataan pailit yang diajukan Para Pemohon. 5. Hak Kreditor Dalam Kepailitan UU Kepailitan tidak hanya bertujuan untuk memberikan perlindungan kepentingan kepada kreditor juga memberikan perlindungan kepada debitor dan pihak lain yang berkepentingan, untuk melaksanakan itu semua perlu pula diatur bagaimana pembagian hasil penjualan harta pailit dan juga perlu diatur siapa yang berwenang melaksanakannya dan bagaimana cara pelaksanaan pembagian pembayaran terhadap para kreditor tersebut. Sebagaimana diuraikan oleh Levinthal dalam Sutan Remy Sjahdeinidisebutkan bahwa tujuan kepailitan digambarkan sebagai berikut : All bankruptcy law however, no matter when or where deviced and enacted, has at least two general objects in view. It aim first, to secure and equitable division of the insolvent debtor’s property among all his creditors, and, it the second place, to prevent on the part of the insolvent debtor conduct detrimental to the interest of his creditors. In other words, bankruptcy law seeks to protect the creditors, first , from one another and, secondly, from their debtor. A third object, the protection of the honest debtor from his creditors, by means of the discharge, is sought to be attained in some of the systems of bankruptcy, but this is by no means a fundamental feature of the law.95 Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa hukum kepailitan bertujuan untuk 96: 1. Menjamin pembagian yang sama terhadap harta kekayaan Debitor diantara para kreditor. 2. Mencegah agar Debitor tidak melakukan perbuatanperbuatan yang dapat merugikan kepentingan para kreditor. 95 96

Sutan Remy Sjahdeini, Hukum Kepailitan… lo.cit, hal. 28. Sutan Remy Sjahdeini, Ibid

Hukum Kepailitan di Indonesia 137

3.

Memberikan perlindungan kepada Debitor yang beritikad baik dari para kreditornya, dengan cara memperoleh pembebasan utang. Kreditor merupakan hal yang sangat penting dalam suatu proses kepailitan, karena Pasal 2 UU Kepailitan mensyaratkan adanya dua atau lebih kreditor untuk mengajukan pernyataan pailit terhadap Debitor, tidak ada kreditor maka kepailitan tidak dapat ditetapkan, meskipun Debitor yang mengajukan pernyataan pailit untuk dirinya sendiri ada dua orang kreditor atau lebih harus dibuktikannya di pengadilan. Karena inti dari hukum kepailitan adalah pelunasan utang Debitor kepada para kreditor agar para kreditor dapat menerima pelunasan utang oleh Debitor secara adil. Semua Kreditor dalam kepailitan mempunyai hak jaminan kebendaan sebagaimana diatur dalam Pasal 1131 dan Pasal 1132 KUHPerdata, yang memberikan jaminan kepada para kreditor terhadap semua kebendaan milik Debitor baik bergerak ataupun tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada dikemudian hari, harta Debitor tersebut menjadi tanggungan untuk segala perikatannya secara perseorangan. Kebendaan Debitor tersebut menjadi jaminan bersama-sama bagi semua orang yang mengutangkan padanya, pendapatan penjualan bendabenda itu dibagi-bagi menurut keseimbangan yaitu menurut keseimbangan menurut besar kecilnya piutang masing-masing, kecuali apabila di antara para kreditor itu ada alasan-alasan sah untuk didahulukan. Kreditor dalam UU Kepailitan terdiri dari kreditor konkuren, kreditor preferen dan kreditor separatis, keterkaitan kreditor tersebut dapat dalam jumlah yang banyak karenanya untuk mengakomodir semua kepentingan kreditor sehingga mempermudah Kurator dalam melaksanakan tugasnya maka Pasal 79 UU Kepailitan mengatur tentang pembentukan Panitia Kreditor. Pasal 79 Ayat (1) UU Kepailitan menyatakan bahwa dalam putusan pailit atau dengan penetapan kemudian, Pengadilan dapat membentuk Panitia Kreditor Sementara terdiri atas 3 (tiga) orang yang dipilih dari kreditor yang dikenal dengan maksud 138 Hukum Kepailitan di Indonesia

memberikan nasihat kepada Kurator. Setelah pencocokan utang selesai dilakukan, Hakim Pengawas wajib menawarkan kepada kreditor untuk membentuk Panitia Kreditor Tetap. Atas permintaan Kreditor Konkuren berdasarkan keputusan kreditor konkuren dengan suara terbanyak biasa dalam rapat kreditor, Hakim Pengawas mengganti Panitia Kreditor Sementara apabila dalam putusan pailit telah ditunjuk Panitia Kreditor Sementara, membentuk Panitia Kreditor apabila dalam putusan pailit belum diangkat Panitia Kreditor. Panitia Kreditor berwenang untuk meminta diperlihatkan semua buku-buku, dokumen dan surat mengenai kepailitan dan kurator wajib memberikan keterangan yang diminta oleh Panitia Kreditor, jika diperlukan kurator dapat mengadakan rapat dengan Panitia Kreditor untuk meminta pendapat. Kurator sebelum mengajukan gugatan atau meneruskan perkara yang sedang berjalan atau menyanggah gugatan yang diajukan kepada Debitor wajib meminta nasihat Panitia Kreditor sebagaimana disebutkan dalam Pasal 83 Ayat (1) UU Kepailitan. Nasihat tersebut tidak diperlukan jika kurator telah memanggil para kreditor untuk mengadakan rapat guna memberikan pendapatnya. Nasihat Panitia Kreditor sebagaimana disebutkan Pasal 83 Ayat (1) dan Ayat (2) UU Kepailitan tidak berlaku 1. Terhadap sengketa tentang pencocokan piutang, 2. Tentang meneruskan atau tidak meneruskan perusahaan dalam pailit, 3. Dalam hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36, Pasal 38, Pasal 59 Ayat (3), Pasal 106, Pasal 107, Pasal 184 Ayat (3) dan Pasal 186 UU Kepailitan, 4. Tentang cara pemberesan dan penjualan harta pailit, 5. Tentang waktu maupun jumlah pembagian yang harus dilakukan.97 Hakim Pengawas dalam waktu 3 (tiga) hari terhitung setelah Putusan Pernyataan Pailit diterimanya wajib menetapkan dan menyampaikan kepada kurator tentang rencana penyelenggaraan rapat kreditor pertama yaitu menentukan hari dan tanggal, waktu dan tempat diadakannya rapat kreditor pertama tersebut dalam

97

Sutan Remy Sjahdeini, hlm. 242

Hukum Kepailitan di Indonesia 139

waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari setelah tanggal putusan pernyataan pailit diucapkan. Hakim Pengawas atas permintaan panitia Kreditor atau atas permintaan sekurang-kurangnya 5 (lima) orang kreditor yang mewakili 1/5 (satu perlima) bagian dari semua piutang yang diakui atau yang diterima bersyarat dapat mengadakan rapat apabila dianggap perlu. Kurator memanggil semua kreditor yang mempunyai hak suara dengan surat tercatat atau mengirim kurir atau dengan iklan paling sedikit didalam 2 (dua) Surat Kabar Harian yang memuat acara yang akan dibicarakan dalam rapat tersebut dalam tenggang waktu antara pemanggilan dengan hari rapat sesuai dengan Pasal 90 Ayat (6) UU Kepailitan. Segala putusan dalam rapat kreditor ditetapkan berdasarkan suara setuju sebesar lebih dari ½ (satu perdua) dari jumlah suara yang dikeluarkan oleh Para Kreditor dan atau oleh Para Kuasanya yang hadir pada rapat tersebut. Pasal 88 UU Kepailitan menyebutkan bahwa yang mempunyai hak suara ialah : 1. Kreditor yang diakui, 2. Kreditor yang diterima dengan syarat, dan 3. Pembawa suatu piutang atas tunjuk yang telah dicocokan. Pasal 2 PP Nomor 80 Tahun 1998 menetapkan bahwa perhitungan jumlah hak suara kreditor ditentukan sebagai berikut : 1. Setiap kreditor yang mempunyai jumlah piutang sampai dengan Rp. 10.000.000,- (Sepuluh Juta Rupiah) berhak mengeluarkan satu suara. 2. Dalam hal kreditor mempunyai piutang lebih dari Rp. 10.000.000,- (sepuluh Juta Rupiah), maka untuk setiap kelipatan Rp. 10.000.000,- maka kreditor berhak mendapatkan satu suara tambahan. 3. Dalam hal terdapat sisa dari kelipatan Rp. 10.000.000,(Sepuluh Juta Rupiah) ditentukan sebagai berikut : a. Apabila sisa kelipatan Rp.10.000.000,- (Sepuluh Juta Rupiah) adalah Rp. 5.000.000,- (Lima Juta Rupiah), sisa ini tidak diperhitungkan mendapat suara tambahan. b. Apabila sisa kelipatan Rp.10.000.000,- (Sepuluh Juta Rupiah) adalah Rp. 5.000.000,- (Lima Juta Rupiah) atau

140 Hukum Kepailitan di Indonesia

lebih, sisa ini diperhitungkan mendapat satu suara tambahan. Pasal 3 PP Nomor 80 Tahun 1998 menentukan bahwa dalam hal piutang sebagaimana maksud dalam Pasal 2 nilainya tidak dapat ditetapkan secara pasti atau ditentukan dalam valuta asing atau tidak ditetapkan dalam mata uang, maka piutang tersebut harus ditetapkan dalam mata uang rupiah yang dilakukan pada tanggal putusan pernyataan pailit ditetapkan. Perlindungan kepada kepentingan kreditor diantaranya dapat dilihat dalam Pasal 1341 KUHPerdata yang juga dianut dalam Undang-Undang Kepailitan yang dikenal dengan Actio Pauliana, Pasal 41 Undang-Undang Kepailitan menyatakan bahwa : (1) Untuk kepentingan harta pailit, kepada pengadilan dapat dimintakan pembatalan segala perbuatan hukum Debitor yang telah dinyatakan pailit yang merugikan kepentingan kreditor, yang dilakukan sebelum putusan pernyataan pailit diucapkan. diberikan hak untuk melakukan pembatalan. (2) Pembatalan sebagaiman dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan apabila dapat dibuktikan bahwa pada saat perbuatan hukum dilakukan, Debitor dan pihak dengan siapa perbuatan hukum tersebut dilakukan mangetahui dan sepatutnya mengetahui bahwa perbuatan hukum tersebut akan mengakibatkan kerugian kreditor. (3) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah perbuatan hukum Debitor yang wajib dilakukannya berdasarkan perjanjian dan atau karena undang-undang. Kartini Mulyadi berpendapat bahwa kata actio kadangkadang dipertanyakan karena tidak perlu adanya tuntutan atau gugatan untuk membatalkan suatu tindakan pualiana, karena tindakan hukum tersebut memang batal (Nietig) dan bukannya dapat dibatalkan (vernietigbaar), hal tersebut cukup dilakukan pembatalan oleh kurator dengan menyatakan (interoepen) bahwa tindakan itu batal, asal saja kurator dapat membuktikan bahwa pada saat Debitor melakukan perbuatan tersebut baik dengan Hukum Kepailitan di Indonesia 141

pihak siapa Debitor melakukan perbuatannya akan merugikan kreditor. 98 Hakim Pengawas dapat memerintahkan kurator untuk melakukan pembagian apabila telah terdapat cukup uang tunai kepada kreditor yang utangnya telah dicocokan. atas perintah Hakim Pengawas tersebut kurator berkewajiban untuk menyusun suatu daftar pembagian untuk dimintakan persetujuan kepada Hakim Pengawas. Daftar pembagian tersebut memuat rincian penerimaan dan pengeluaran termasuk didalamnya upah kurator, nama kreditor, jumlah yang dicocokan dari tiap-tiap piutang dan bagian yang wajib diterima oleh kreditor. Pembayaran bagian kreditor konkuren ditentukan oleh Hakim Pengawas, pembayaran kepada kreditor yang mempunyai hak yang diistimewakan termasuk didalamnya hak istimewa yang dibantah dan pemegang gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotek atau hak agunan atas kebendaan lainnya, sejauh mereka tidak dibayar sebagaimana ketentuan Pasal 55 UU Kepailitan dapat dilakukan dari hasil penjualan benda terhadap mana mereka mempunyai hak istimewa atau yang diagunkan kepada mereka. Jika hasil penjualan benda jaminan tersebut tidak mencukupi untuk membayar seluruh piutang kreditor yang didahulukan maka untuk kekurangan tersebut mereka berkedudukan sebagai kreditor konkuren. Daftar pembagian yang telah disetujui oleh Hakim Pengawas wajib disediakan di kepaniteraan pengadilan agar dapat dilihat oleh kreditor selama tenggang waktu yang ditetapkan oleh Hakim Pengawas pada saat daftar tersebut disetujui. Penyediaan daftar pembagian dan tenggang waktu tersebut diumumkan oleh kurator dalam surat kabar, tenggang waktu mulai berlaku pada hari dan tanggal penyediaan daftar pembagian tersebut diumumkan dalam surat kabar tersebut. Selama tenggang waktu pengumuman daftar pembagian tersebut kreditor dapat melakukan perlawanan terhadap daftar pembagian dengan mengajukan keberatan disertai alasan kepada 98

Sutan Remy Sjahdeini, Hukum Kepailitan,Ibid, hlm. 249.

142 Hukum Kepailitan di Indonesia

panitera pengadilan, surat keberatan atas daftar pembagian dilampirkan pada daftar pembagian tersebut, setelah berakhirnya tenggang waktu pengumuman Hakim Pengawas menentukan hari untuk memeriksa perlawanan tersebut disidang pengadilan yang terbuka untuk umum. Pengadilan harus memutus pemeriksaan perlawanan terhadap daftar pembagian tersebut dalam tenggang waktu paling lama tujuh hari, pemeriksaan perlawanan kreditor terhadap daftar pembagian hanya bertujuan agar piutang kreditor pelawan tersebut dicocokan dan untuk sementara itu tidak ada perlawanan yang diajukan oleh orang lain maka biaya perlawanan tersebut dibebabankan kepada kreditor pelawan tersebut. Terhadap putusan pengadilan dalam pemeriksaan perlawanan kreditor terhadap daftar pembagian tersebut dapat dilakukan upaya hukum kasasi oleh kreditor pelawan, kreditor lainnya dan kurator. untuk kepentingan pemeriksaan majelis hakim Kasasi dapat memanggil kurator atau kreditor untuk didengar keterangannya. Hak-hak kreditor dalam kepailitan diatur dalam beberapa pasal dari UU Kepailitan sebagai berikut : 1. Hak untuk mengajukan permohonan pernyataan pailit ke pengadilan. 2. Hak untuk mengusulkan nama kurator dalam kepailitan sebagaimana termuat dalam petitum permohonan pernyatan pailit yang diajukannya. 3. Dalam proses persidangan yang memeriksa permohonan pernyataan pailit, kreditor dapat dan berhak mengajukan agar harta Debitor baik sebagian atau seluruhnya diletakkan dibawah sita jaminan atau menunjuk kurator sementara untuk mengawasi pengelolaan usaha Debitor dan pembayaran kepada kreditor, pengalihan atau penggunaan kekayaan kreditor yang dalam kepailitan menjadi kewenangan kurator. 4. Menerima salinan putusan pernyataan pailit disemua tingkatan peradilan. 5. Mengajukan permohonan kasasi terhadap putusan pengadilan tentang kepailitan.

Hukum Kepailitan di Indonesia 143

6.

7. 8.

9. 10.

11.

12.

13.

14.

15.

Kreditor dapat memohonkan kepada Pengadilan agar terhadap Debitor nakal dan tidak memenuhi kewajibannya sebagai Debitor pailit untuk dilakukan penahanan baik ditempatkan di Rumah Tahanan Negara maupun dirumahnya sendiri dibawah pengawasan jaksa yang ditunjuk oleh Hakim Pengawas paling lama 30 (tiga puluh) hari dan dapat diperpanjang selama 30 (tiga puluh) hari. Mencabut permohonan pernyataan pailit jika kreditor telah mendapat pelunasan oleh Debitor atau oleh karena alasan lain. Mengajukan pembatalan perbuatan hukum yang dilakukan Debitor sebelum putusan pernyataan pailit diucapkan karena perbuatan tersebut merugikan kreditor ( actio pauliana). Menerima atau menolak rencana perdamaian yang diajukan Debitor dalam rapat kreditor. Melaksanakan sendiri eksekusi (lelang) terhadap benda jaminan yang ada pada kreditor separatis setelah lewat masa tenggang 90 (sembilan puluh) hari. Mengajukan permohonan kepada kurator untuk mengangkat penangguhan atau merubah syarat penagguhan tersebut oleh kreditor pemegang hak jaminan kebendaan tersebut. Selambat-lambatnya 2 (dua) bulan setelah Debitor dinyatakan dalam keadaan insolvensi maka kreditor separatis harus melaksanakan eksekusi benda jaminan yang ada padanya dan jika tidak dapat dilaksanakan maka kreditor separatis harus menyerahkannya kepada kurator untuk melakukan pelelangan tersebut tanpa mengurangi hak istimewa yang dimiliki oleh kreditor separatis terhadap benda jaminan tersebut. Mengajukan tagihan pembayaran piutang kreditor separatis yang tidak terbayar dari hasil penjualan benda jaminan sebagai kreditor konkuren. Kreditor mempunyai hak untuk menahan benda milik Debitor dengan tidak kehilangan hak karena adanya putusan pernyataan pailit. Kreditor berkewajiban untuk memasukan piutangnya kepada kurator beserta dokumen pendukung serta bentuk dan sifat dari piutangya untuk dicocokan dengan data yang ada pada

144 Hukum Kepailitan di Indonesia

16. 17. 18.

19.

20.

21.

Debitor tentang piutangnya tersebut dan melakukan kordinasi dengan kurator jika ada perbedaan atau bantahan dari tagihan kreditor tersebut. Kreditor berhak melihat daftar piutang sementara yang dibuat kurator yang ada pada kepaniteraan pengadilan. Kreditor dapat meminta keterangan kepada Debitor mengenai hal-hal yang dikemukakannya melalui Hakim Pengawas. Bagi kreditor yang telah meninggal dunia ahli warisnya dapat menerangkan dibawah sumpah bahwa piutang tersebut ada dan belum dilunasi. Piutang yang tidak dibantah wajib dipindahkan kedalam daftar piutang yang diakui dan dimasukkan kedalam berita acara rapat. Kreditor dapat mengajukan bantahan melalui panitera pengadilan terhadap daftar pembagian piutang yang dibuat kurator sesuai tenggang waktu yang telah ditetapkan Hakim Pengawas sebagaimana disebutkan dalam daftar pembagian piutang tersebut, keberatan terhadap pembagian tersebut diputus oleh pengadilan dan terhadap putusan tersebut dapat dilakukan upaya hukum kasasi. Dilakukannya pembayaran kepada kreditor secara penuh atas piutangnya maka kepailitan sudah berakhir tanpa mengurangi ketentuan Pasal 203 Undang-undang Kepailitan.

6. Hak Kreditor Separatis Dalam Kepailitan Hak kreditor pemegang hak jaminan kebendaan dalam kepailitan ditujukan kepada hak jaminan yang dimiliki oleh kreditor separatis setelah Debitor dinyatakan pailit, pernyataan pailit tersebut terjadi setelah pengadilan menyatakan Debitor pailit dalam suatu putusan. Hak jaminan kebendaan memberikan hak yang khusus kepada pemegangnya dibandingkan dengan kreditor lainnya dalam kepailitan. Beberapa pendapat menyebutkan hak yang dimiliki oleh kreditor separatis dan kreditor preferen adalah hak istimewa dan beberapa pendapat lainnya menyebutkan hak kreditor tersebut sebagai hak yang didahulukan. Hukum Kepailitan di Indonesia 145

Kreditor separatis adalah para Kreditor yang mempunyai piutang dengan ikatan tertentu, antara lain pemegang hipotek, pemegang gadai, pemegang ikatan panen (oogstverband). Mereka ini disebut separatisten. Hak mereka tetap dijamin seolah-olah tidak ada kepailitan. Jadi, barang-barang yang menjadi jaminan itu berada di luar bundel pailit. Pemegang hipotek yang menjadi Kreditor separatis adalah pemegang hipotek sebagaimana diatur pada Pasal 1178 KUHPdt, sebagai pemegang beding van eigenmactige verekoop, sedangkan pemegang hipotek kedua dan selanjutnya bukan Kreditor separatis. Tentang separatisten ini diatur pada Pasal 55, Pasal 56, pasal 57 Undang-undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. UU Kepailitan juga tidak konsisten menggunakan istilah didahulukan ataupun diistimewakan bagi hak kreditor separatis ataupun untuk hak kreditor preferen, sebagaimana dalam Penjelasan Pasal 2 disebutkan bahwa baik kreditor preferen maupun kreditor separatis mempunyai hak didahulukan, sedangkan dalam Pasal 60 Ayat (2) menyebutkan hak jaminan kebendaan yang ada pada kreditor separatis tersebut sebagai hak istimewa dengan kedudukan yang diistimewakan. Hak jaminan kebendaan setelah berlakunya UU Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan atas tanah serta bendabenda yang berkaitan dengan tanah dan UU Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia, kedua hal tersebut merupakan Hak Jaminan Kebendaan, setelah diberlakukannya UU Hak Tanggungan maka hipotek atas tanah dan benda-benda yang ada diatasnya tidak berlaku lagi, hipotek hanya berlaku terhadap kapal laut yang berukuran 20 M3 dan bagi pesawat terbang dan helikopter yang telah mempunyai tanda pendaftaran dan kebangsaan Indonesia. Hipotek tentang kapal laut diatur dalam Pasal 314 KUH Dagang dan Pasal 49 Ayat (1) UU Nomor 21 Tahun 1992 Tentang Pelayaran, sedangkan hipotek untuk pesawat terbang dan helikopter diatur dalam UU Nomor 15 Tahun 1992 Tentang Penerbangan.

146 Hukum Kepailitan di Indonesia

Pasal-pasal mengenai Kreditor Separatis terdapat dalam Pasal 55, 56, 57 Undang-undang No.37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU yaitu sebagai berikut: Pasal 55: (1) Dengan tetap memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56, Pasal 57, dan Pasal 58, setiap Kreditor pemegang gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotek, atau hak agunan atas kebendaan lainnya, dapat mengeksekusi haknya seolah-olah tidak terjadi kepailitan. (2) Dalam hal penagihan suatu piutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 136 dan Pasal 137 maka mereka hanya dapat berbuat demikian setelah dicocokkan penagihannya dan hanya untuk mengambil pelunasan dari jumlah yang diakui dari penagihan tersebut. Pasal 56: (1) Hak eksekusi Kreditor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) dan hak pihak ketiga untuk menuntut hartanya yang berada dalam penguasaan Debitor Pailit atau Kurator, ditangguhkan untuk jangka waktu paling lama 90 (sembilan puluh) hari sejak tanggal putusan pernyataan pailit diucapkan. (2) Penangguhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku terhadap tagihan Kreditor yang dijamin dengan uang tunai dan hak Kreditor untuk memperjumpakan utang. (3) Selama jangka waktu penangguhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kurator dapat menggunakan harta pailit berupa benda bergerak yang berada dalam penguasaan Kurator dalam rangka kelangsungan usaha Debitor, dalam hal telah diberikan perlindungan yang wajar bagi kepentingan Kreditor atau pihak ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat(1). (4) Selama jangka waktu penangguhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kurator dapat menggunakan harta pailit berupa benda tidak bergerak maupun benda Hukum Kepailitan di Indonesia 147

bergerak atau menjual harta pailit berupa benda bergerak yang berada dalam penguasaan Kurator dalam rangka kelangsungan usaha Debitor, sejauh untuk itu telah diberikan perlindungan yang wajar bagi kepentingan Kreditor atau pihak ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Pasal 57: (1) Jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (1) berakhir demi hukum pada saat kepailitan diakhiri lebih cepat atau pada saat dimulainya keadaan insolvensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 178 ayat (1). (2) Kreditor atau pihak ketiga yang haknya ditangguhkan dapat mengajukan permohonan kepada Kurator untuk mengangkat penangguhan atau mengubah syarat penangguhan tersebut. (3) Apabila Kurator menolak permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kreditor atau pihak ketiga dapat mengajukan permohonan tersebut kepada Hakim Pengawas. (4) Hakim Pengawas dalam waktu paling lambat 1 (satu) hari setelah permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diterima, wajib memerintahkan Kurator untuk segera memanggil dengan surat tercatat atau melalui kurir, Kreditor dan pihak ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (2) untuk didengar pada sidang pemeriksaan atas permohonan tersebut. (5) Hakim Pengawas wajib memberikan penetapan atas permohonan dalam waktu paling lambat 10 (sepuluh) hari permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diajukan kepada Hakim Pengawas. (6) Dalam memutuskan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Hakim Pengawas mempertimbangkan: a. lamanya jangka waktu penangguhan yang sudah berlangsung;

148 Hukum Kepailitan di Indonesia

b. perlindungan kepentingan Kreditor dan pihak ketiga dimaksud; c. kemungkinan terjadinya perdamaian; d. dampak penangguhan tersebut atas kelangsungan usaha dan manajemen usaha Debitor serta pemberesan harta pailit. Keadaan insolvensi dimaksudkan apabila pada rapat pencocokan utang tidak ditawarkan rencana perdamaian, atau rencana perdamaian yang ditawarkan tidak diterima, atau pengesahan perdamaian ditolak berdasarkan putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, demi hukum harta benda pailit dalam keadaan insolvensi. Dengan keadaan insolvensi tersebut proses pemberesan harta pailit dapat dimulai, kreditor pemegang hak jaminan kebendaan sudah dapat melakukan pelelangan terhadap jaminan yang ada padanya dan kurator sudah dapat melakukan eksekusi terhadap harta Debitor pailit dengan jalan melakukan pelelangan umum. Pasal 60 UU Kepailitan menyebutkan sebagai berikut : (1) Kreditor pemegang hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 Ayat (1) yang melaksanakan haknya, wajib memberi pertanggungjawaban kepada kurator tentang hasil penjualan benda yang menjadi agunan dan menyerahkan sisa hasil penjualan setelah dikurangi jumlah utang, bunga dan biaya kepada kurator. (2) Atas tuntutan kurator atau kreditor yang diistimewakan yang kedudukannya lebih tinggi dari pada kreditor pemegang hak sebagaimana dimaksud Ayat (1) maka kreditor pemegang hak tersebut wajib menyerahkan bagian dari hasil penjualan tersebut untuk jumlah yang sama dengan jumlah tagihan yang diistimewakan. (3) Dalam hasil penjualan sebagaimana maksud ayat (1) tidak cukup untuk melunasi piutang yang bersangkutan, kreditor pemegang hak tersebut dapat mengajukan tagihan pelunasan atas kekurangan tersebut dari harta pailit sebagai kreditor konkuren, setelah mengajukan permintaan pencocokan piutang. Hukum Kepailitan di Indonesia 149

Kedudukan istimewa kreditor sepratis tersebut tidak hanya untuk melaksanakan eksekusi tanpa terganggunya hak tersebut oleh pernyataan kepailitan Debitor akan tetapi keistimewaannya tersebut terlihat dan diatur dalam Pasal 60 Ayat (3) UU Kepailitan yang menyatakan bahwa apabila hasil penjualan benda jaminan yang ada padanya tidak mencukupi maka kreditor separatis dapat mengajukan tagihan pelunasan atas kekurangan tersebut kepada kurator sebagai kreditor konkuren. Setiap kreditor yang namanya tercantum dalam daftar piutang sebagaimana dimaksud pada Pasal 124 ayat (1) UU Kepailitan dapat meminta agar kurator memberikan keterangan mengenai tiap piutang dan penempatannya dalam daftar, atau dapat membantah kebenaran piutang, adanya hak untuk didahulukan, hak menahan suatu benda atau dapat menyetujui bantahan kurator. Piutang yang tidak dibantah wajib dipindahkan kedalam daftar piutang yang diakui yang dimasukkan kedalam berita acara rapat, berita acara rapat tersebut ditandatangani oleh Hakim Pengawas dan Panitera Pengganti, Pengakuan suatu piutang yang dicatat dalam berita acara rapat mempunyai kekuatan hukum yang tetap dalam kepailitan dan pembatalannya tidak dapat dituntut oleh kurator kecuali berdasarkan adanya penipuan. Terhadap bunga atas utang yang timbul setelah putusan pernyataan pailit diucapkan tidak dapat dilakukan pencocokan piutang, kecuali dan hanya sejauh dijamin dengan gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotek atau hak agunan atas kebendaan lainnya. Pencocokan bunga yang dijamin dengan hak agunan harus dilakukan pencocokan piutang secara pro memori, apabila bunga piutang tersebut tidak dapat dilunasi dengan hasil penjualan benda yang menjadi agunan, kreditor yang bersangkutan tidak dapat melaksanakan haknya yang timbul dari pencocokan piutang. 7. Permohonan Pernyataan Pailit Oleh Kreditor Konkuren Permohonan pernyataan pailit pada prinsipnya merupakan hak kreditor konkuren, kreditor yang tidak memiliki hak khusus baik itu hak untuk didahulukan ataupun hak untuk diistimewakan, 150 Hukum Kepailitan di Indonesia

kreditor konkuren hanya memiliki hak jaminan atas harta milik Debitor didasarkan kepada hak jaminan umum karena memang semua harta benda terutang merupakan jaminan terhadap semua utang-utangnya. Kreditor Separatis karena memiliki hak jaminan maka tidak perlu mengajukan permohonan pailit ke pengadilan untuk mempailitkan Debitornya karena kreditor separatis dapat melaksanakan parate eksekusi terhadap harta jaminan Debitor yang ada padanya. Analisis putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat sebagai berikut : Pemohon HD. Hikmat dkk melawan PT. Citra Hidayat Komunikaputra Termohon I dan H. Deddy Hanurawan sebagai Termohon II99. Adanya utang Para Termohon kepada Para Pemohon yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih antara Pemohon I dan Termohon I yang diwakili oleh Termohon II telah sepakat dan selanjutnya menandatangani akta-akta yang sama maksud dan tujuannya yaitu mengenai perjanjian kerjasama jual beli pelumas (oli) dengan 4 (empat) kali perjanjian dengan total modal yang disetorkan oleh Pemohon I kepada Termohon I melalui rekening Termohon II. Adanya utang Para Termohon kepada Para Pemohon yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih antara Pemohon II dengan Termohon I dan selanjutnya menandatangani akta-akta yang sama maksud dan tujuannya yaitu mengenai perjanjian kerjasama jual beli pelumas (oli) dengan 2 (dua) kali perjanjian dengan total modal yang disetorkan oleh Pemohon II kepada Termohon I melalui Termohon. Adanya utang Termohon I kepada Para Pemohon III yang diwakili oleh Pemohon II yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih. Setelah perjanjian-perjanjian antara Para Pemohon dengan Termohon I yang diwakili oleh Termohon II efektif berlaku, keuntungan yang dijanjikan kepada Para Pemohon yang telah jatuh tempo tidak dapat dipenuhi secara keseluruhan 99

Putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat No. 20/Pailit/2005/PN.Niaga.Jkt.Pst.

Hukum Kepailitan di Indonesia 151

oleh Termohon I dan Termohon II. Dengan demikian terbukti Termohon mempunyai 2 (dua) atau lebih Kreditor (Pemohon I, II, II dan IV) dan tidak membayar sedikitnya satu utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih tersebut. Seluruh tagihan Pemohon kepada Termohon I tersebut dijamin secara pribadi oleh Termohon II sebagaimana dalam surat pernyataan yang telah dibuat, sehingga sangat beralasan apabila Termohon II bersama-sama dengan Termohon I dinyatakan pailit dengan segala akibat hukumnya. Permohonan pernyataan pailit diajukan oleh perorangan terhadap Debitor Badan Hukumberbentuk Perseroan Terbatas, perjanjian utang piutang ini diawali dengan perjanjian kerja sama antara Para Pemohon dengan Para Termohon yaitu Termohon I Badan Hukumnya sedangkan Termohon II sebagai yang mewakili Termohon I meskipun tidak dijelaskan kedudukan Termohon II dalam permohonan pernyataan pailit ini. Dalam permohonan ini juga ada intervensi dari kreditor lain. Dalam hukum kepailitan yang diatur dalam UU Kepailitan tidak membedakan antara pemohon perorangan ataupun pemohon korporasi, dengan demikian tidak dapat dianalisa apakah permohon yang mengajukan permohonan pernyataan pailit tersebut termasuk kedalam kelompok kreditor konkuren, kreditor separatis, kecuali permohonan pailit yang diajukan oleh karyawan atau beberapa pekerja ataupun oleh perserikatan pekerja permohonan yang demikian termasuk kedalam permohonan yang diajukan oleh kreditor preferen karena kedudukan pekerja sesuai dengan Pasal 95 Ayat (4) UU Nomor 25 Tahun 1997 Tentang Ketenagakerjaan berkedudukan khusus dalam kepailitan dimana ia bekerja, dengan demikian permohonan kepailitan oleh karena tidak dibayarnya gaji karyawan oleh perusahaan dimana ia bekerja terhadap perusahaan tersebut maka kedudukan pemohon merupakan kreditor preferen dalam kepailitan tersebut. Kedudukan sebagai kreditor preferen terhadap pekerja, para pekerja ataupun serikat pekerja terhadap perusahaan tempatnya

152 Hukum Kepailitan di Indonesia

bekerja menjadikan pekerja berkedudukan sebagai kreditor preferen dalam kepailitan perusahaan tempat bekerjanya tersebut. Berdasarkan alasan-alasan tersebut di atas, Para Pemohon memohon kepada Majelis Hakim berkenan memberikan putusan sebagai berikut : Mengabulkan permohonan Para Pemohon untuk seluruhnya ; Menyatakan Termohon I dan Termohon II, pailit dengan segala akibat hukumnya ; Mengangkat hakim pengawas untuk kepailitan tersebut ; Menunjuk kurator dalam kepailitan tersebut ; Memerintahkan kepada Termohon II ditahan, dibawah pengawasan Jaksa yang ditunjuk oleh Hakim Pengawas ; Menetapkan jumlah honorarium Kreditor tersebut ; Menghukum Para Termohon untuk membayar seluruh biasa perkara ini ; Petitum dari Permohonan pemohonan memuat hal yang tidak lazim ditemui dalam praktik pemeriksaan permohonan kepailitan, yaitu memohon agar Majelis Hakim melakukan penahanan terhadap termohon II, dalam UU Kepailitan tentang kewenangan Hakim Pengawas diuraikan bahwa yang dapat melakukan penahanan tersebut adalah setelah seseorang dinyatakan pailit100, atas usulan kreditor, permintaan kurator setelah mendengar Hakim Pengawas maka Pengadilan dapat melakukan penahanan terhadap Debitor. Penahanan terhadap Debitor dilakukan oleh Jaksa yang ditunjuk oleh Hakim Pengawas, hal demikian dalam praktik sangat sulit dilaksanakan karena jaksa dimaksud bukan terkait dengan pemeriksaan perkara permohonan pailit a quo, apakah kewenangan yang ada pada Hakim Pengawas dilaksanakan oleh Jaksa dan jika Jaksa tidak mau melaksanakannya apa ada upaya lain agar Debitor ditahan, maka secara teknis akan menemui banyak kendala. Karenanya sampai saat ini penahanan Debitor belum pernah dilaksanakan. 100

Lihat Pasal 93 Ayat (1) UU Kepailitan.

Hukum Kepailitan di Indonesia 153

Dalam perkara ini terdapat juga Kreditor lain (Pemohon Intervensi) yang mempunyai hubungan kerjasama jual beli pelumas (oli) dengan Para Termohon yaitu Drs. H. Sardija Suherman, SH dan kawan-kawan, Dr. Azhar Susanto, PGDBus, Mbus, Ak. Dan kawan-kawan, Bob Kamandanu dan kawan-kawan, Hudaedin, SH. dan kawan-kawan, Drs. H. Asep Saefuddin dan kawan-kawan, dan Drs. Ganda S. Nurbai dan kawan-kawan. Mengenai adanya utang Para Termohon kepada Para Pemohon yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih dapat dilihat dari permohonan pailit yang diajukan oleh Para Pemohon sebagaimana telah dijelaskan di atas. Selanjutnya mengenai Termohon mempunyai 2 (dua) atau lebih Kreditor dapat dilihat dari adanya kewajiban Para Termohon kepada Para Pemohon sebagaimana telah diuraikan di atas. Untuk menunjukkan adanya itikad baik dari Para Termohon maka seluruh tagihan Para Pemohon kepada Para Termohon telah dijamin secara pribadi oleh Termohon II, akan tetapi Termohon II sebagai penjamin pribadi atas utang/kewajiban Termohon I ternyata tidak dapat memenuhi kewajibannya. Berdasarkan hal tersebut, maka Para Pemohon, memohon kepada Majelis Hakim untuk memutuskan: 1. Menyatakan menerima permohonan yang diajukan oleh Para Pemohon untuk seluruhnya. 2. Menyatakan bahwa Termohon I P.T. Citra Hidayat Komunikaputra dan Termohon II H. Deddy Hanurawan pailit dengan segala akibat hukumnya. 3. Mengangkat Hakim Pengawas untuk kepailitan tersebut. Posita dan petitum suatu gugatan ataupun permohonan haruslah saling berkaitan dan berhubungan, adanya dalil-dalil gugatan ataupun permohonan mengakibatkan timbulnya hak atau hilangnya hak ataupun lahirnya atau hilangnya kewajiban yang mengakibatkan lahirnya keadaan hukum yang baru. Hal tersebut menjadi dasar akan tuntutan atau petitum dari suatu gugatan ataupun permohonan yang diajukan di pengadilan.

154 Hukum Kepailitan di Indonesia

Atas materi Permohonan Pernyataan Pailit Para Pemohon, Kreditor lain Drs. H. Sardja Suherman, SH. Dan kawankawan menolaknya, Dr. Azhar Susanto, PDG Bus, Mbus, Ak., dan kawan-kawan dalam surat tanggapannya menyatakan menolak permohonan pernyataan Pailit Para Pemohon. Sedangkan Kreditor lain yang terdiri dari Bob Kamandanu dan kawan-kawan, serta Hudaedin, SE, dan kawan-kawan, Drs. H. Asep Saefudin dan kawan-kawan, menanggapi menyetujui permohonan pernyataan pailit Para Pemohon, sementara Kreditor lain yang bernama Rahmat Rahardjo berpendapat pada prinsipnya menyetujui untuk dikabulkannya permohonan Pernyataan Pailit Para Pemohon, dengan catatan diantaranya seluruh aset sdr. Deddy Hanurawan dan atau PT. CHK, didaftarkan sebagai Harta Pailit. Pertimbangan hukum oleh Majelis Hakim terhadap perkara Permohonan Pailit di atas adalah ternyata diantara Pemohon I dan Pemohon II dengan Termohon: terdapat hubungan kerjasama, yang dari perjanjian kejasama tersebut Termohon I dan Termohon berkewajiban untuk membayarkan kembali sejumlah uang kepada Para Pemohon, baik yang berupa keuntungan maupun uang pokok. Berdasarkan hal tersebut dapat dikategorikan Para Pemohon adalah selaku Kreditor sedangkan Termohon I sebagai Debitor. Sehingga dengan demikian, telah terbukti Termohon I mempunyai utang terhadap Pemohon I dan Pemohon II. Posita dan petitum juga merupakan bentuk dari sanggahan ataupun jawaban dari pihak tergugat ataupun termohon, dalam posita juga harus diuraikan dalil-dalil yang harus berkaitan dengan dalil satu dengan lainnya dan yang menjadi hal pokok adalah dalildalil tersebut harus dibuktikan di persidangan perkara in cassu. Selanjutnya utang Termohon I kepada Pemohon I dan Pemohon II telah jatuh waktu dan dapat ditagih, serta keseluruhannya belum dibayar lunas, sehingga berdasarkan fakta tersebut terbukti secara sederhana persyaratan kepailitan telah terpenuhi. Persyaratan kepailitan tersebut Hukum Kepailitan di Indonesia 155

lebih ternyata dari hadirnya kreditor-kreditor lain yang terdiri dari Bob Kamandanu dan kawan-kawan, serta Hudaedin, SE, dan kawan-kawan, Drs. H. Asep Saefudin dan kawan-kawan, Drs. Ganda S. Nurbai dan kawan-kawan, yang menyatakan mempunyai piutang pula terhadap Termohon I tersebut. Permohonan pailit terhadap Termohon II sebagai penjamin bagi Termohon I sah menurut hukum oleh karena Termohon II membuat pernyataan penjaminan di bawah tangan dan tidak dibuat berdasarkan akta autentik. Oleh karena Termohon I dinyatakan pailit berdasarkan pertimbangan di atas maka usulan Para Pemohon agar Sdr. Muhammad Ishak, S.H. sebagai kurator beralasan untuk dikabulkan oleh karena ternyata dalam diri yang bersangkutan tidak terdapat benturan kepentingan dengan pihak-pihak. Permohonan agar Termohon II diperintahkan untuk ditahan dibawah pengawasan Jaksa yang ditunjuk oleh Hakim Pengawas tidak berdasar hukum dikarenakan permohonan tersebut bukan merupakan kewenangan Majelis dalam menangani perkara permohonan aquo. Selanjutnya jumlah honorarium Kurator baru dapat ditetapkan setelah Kurator menyelesaikan pekerjaannya, karena itu permohonan tersebut dikesampingkan. Pengadilan Niaga Jakarta Pusat mengabulkan permohonan pernyataan pailit yang diajukan terhadap Termohon I sedangkan terhadap Termohon II menurut Pengadilan dikarenakan akta perjanjian dibuat dibawah tangan maka perjanjian penjaminan tersebut tidak beralasan. Permohonan Penahanan terhadap Termohon II bukan merupakan kewenangan Majelis Hakim in cassu karenanya harus pula dikesampingkan, dengan pertimbangan tersebut Pengadilan menjatuhkan putusan dengan amar sebagai berikut : Mengabulkan permohonan Para Pemohon untuk sebagian. Menyatakan Termohon I Pailit dengan segala akibat hukumnya.

156 Hukum Kepailitan di Indonesia

Mengangkat Hakim Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat sebagai Hakim Pengawas. Menunjuk dan mengangkat sebagai kurator. Menghukum Termohon I membayar biaya permohonan ini. Menolak permohonan yang lain dan selebihnya. Pembahasan dua putusan tersebut dapat disimpulkan bahwa proses pemeriksaan pernyataan pailit di persidangan Pengadilan Niaga tetap mempedomani ketentuan sebagaimana ditetapkan oleh UU Kepailitan, yaitu persyaratan Pasal 2 Ayat (1) harus terpenuhi untuk mengabulkan permohonan pernyataan pailit dan pembuktian tersebut haruslah bersifat sederhana. 8. Hak Kreditor Konkuren Dalam Kepailitan Debitor Kreditor konkuren dimaksudkan adalah kreditor yang dalam istilah lainnya disebut dengan kreditor bersaing atau disebut dengan Unsecure Creditor, kreditor konkuren tidak memiliki jaminan ataupun agunan apapun dalam perjanjian utang dengan Debitor pailit sebagaimana dimiliki oleh kreditor separatis, akan tetapi piutang kreditor konkuren kepada Debitor hanyalah bersifat jaminan umum sebagaimana bunyi Pasal 1131 KUH Perdata dan Pasal 1132 KUH Perdata. Dalam peringkat kedudukan kreditor dalam kepailitan Debitor (structure creditors) kedudukan kreditor konkuren berada pada posisi yang paling akhir dalam menerima pembayaran piutangnya dari Debitor sepanjang hasil penjualan harta pailit memungkinkan untuk melakukan pembayaran tersebut, kedudukan paling belakang dimaksudkan bahwa kreditor konkuren menerima pembayaran piutangnya setelah dilakukan pembayaran terlebih dahulu terhadap piutang kreditor separatis dan kreditor preferen. Berikut bahasan putusan pernyataan pailit yang memperlihatkan panjangnya perjuangan seorang kreditor untuk memperoleh pembayaran piutangnya dari Debitor. Dalam Permohonan antara H. Azelia dan PT. Bukit Sentul, Tbk.101 101

Putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat No.21/Pailit/2005/PN.Niaga.Jkt.Pst.

Hukum Kepailitan di Indonesia 157

Pemohon telah mengajukan permohonan Pailit dengan alasan adanya utang Termohon kepada Pemohon yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dimana Termohon telah menjual kepada pemohon sebagian dari bidang tanah berikut bangunan yang didirikan di atasnya. Tanah dan bangunan yang dibeli oleh Pemohon tersebut telah lunas dilakukan pembayaran kepada Termohon. Akan tetapi batas waktu penyerahan tanah dan bangunan kepada Pemohon telah terlampaui, sehingga Pemohon telah berulangkali mengirimkan surat kepada Termohon guna memenuhi kewajibannya serta denda keterlambatan penyerahan tanah dan bangunan sebesar 5% dari nilai pekerjaan, namun Termohon hingga permohonan pailit ini diajukan tidak memberikan tanggapan sama sekali. Pemohon dalam permohonan pailit ini dapat dikategorikan sebagai kreditor konkuren, hal tersebut dapat dilihat dari identitas pemohon yang menguraikan bahwa pemohon adalah pembeli dari kavling banguanan yang dijual oleh termohon sehingga dasar dari permohonan ini adalah perjanjian jual beli bukan berdasarkan adanya kegiatan usaha, tidak ditemukan dalil dari permohonan ataupun dalil dari jawaban termohon terkait dengan adanya jaminan atau tidak adanya hak khusus yang dimiliki oleh pemohon terhadap harta Debitor atau termohon. Permohonan pernyataan pailit ini diajukan oleh Pemohon berdasarkan jual beli, apakah ketika Penjual atau Termohon dalam perkara in cassu tidak melaksanakan kewajibannya untuk menyerahkan benda yang menjadi objek perjanjian tersebut dapat dikategorikan sebagai utang yang dimaksud Pasal 2 Ayat (1) UU Kepailitan yang menjadi unsur pokok adanya kepailitan. Pengadilan Niaga Jakarta Pusat mempertimbangkannya berdasarkan fakta-fakta sebagai berikut. Di samping menjadi dasar permohonan pernyataan pailit adalah jual beli tanah antara lain namun tidak terbatas pada PT. Gajah Perdana, PT. Lobunta Kencana Raya, PT. Kolelatama Albes dan PT. Devrindo Widya (selaku Kreditor lain), yang jumlah piutang-piutang Pemohon maupun 158 Hukum Kepailitan di Indonesia

Kreditor lain baru diketahui secara pasti, apabila Termohon telah dinyatakan pailit dan diverifikasi dalam rapat pencocokan piutang para Kreditor PT. Bukit Sentul, Tbk yang dipimpin oleh hakim pengawas dan Kurator nantinya. Berdasarkan uraian tersebut, terdapat fakta atau keadaan yang terbukti secara sederhana bahwa persyaratan untuk dinyatakan pailit Termohon telah terpenuhi, dan karenanya adalah patut jika Termohon dinyatakan pailit. Atas permohonan Pemohon diatas, Termohon memohon kepada Majelis Hakim untuk berkenan memutuskan : Dalam Eksepsi : 1. Menerima Eksepsi Termohon seluruhnya. 2. Menyatakan bahwa Pengadilan Niaga tidak berwenang untuk memeriksa dan mengadili serta memutus perkara ini. 3. Menyatakan permohonan pailit Pemohon tidak dapat diterima. Dalam Pokok Perkara : 1. Menolak permohonan pailit yang diajukan oleh Pemohon. 2. Menolak permohonan pailit yang diajukan oleh Pemohon pailit terhadap termohon. 3. Menolak segala permohonan atas penunjukan kurator yang diajukan oleh Pemohon. 4. Menghukum Pemohon untuk membayar ongkos perkara ini. Termohon di dalam jawabannya mengajukan eksepsi yang memuat 2 (dua) hal pokok yaitu : Surat kuasa pemohon tidak memenuhi ketentuan Pasal 4 (1) UU No. 37 tahun 2004, dimana menurut Termohon surat kuasa yang diberikan oleh Azelia Birrer kepada kuasanya tersebut tidak dilengkapi persetujuan dari suami, maka surat kuasa tersebut harus dinyatakan tidak sah dan tidak dapat diterima. Pengadilan Niaga Jakarta Pusat tidak berwenang secara absolut, karena antara Pemohon dengan Termohon terikat Hukum Kepailitan di Indonesia 159

dalam suatu Perjanjian Pengikatan Jual Beli yang mana dalam pasal 14 telah diatur secara tegas bahwa jika terjadi perselisihan akan diselesaikan secara musyawarah. Jika tidak tercapai, maka para pihak sepakat menyelesaikan menurut prosedur yang ditentukan Badan Arbitrase Nasional Indonesia. Pengadilan mempertimbangkan jika ada pilihan hukum, karena sudah tertuang dalam suatu perjanjian apalagi dituangkan dalam akte autentik maka perjanjian tersebut merupakan UU bagi pihak-pihak yang terkait dengan perjanjian tersebut, Jika dalam persidangan perkara in cassu ternyata terbukti pilihan hukum tersebut ada dan tidak menunjuk perngadilan yang memeriksa perkara in cassu maka pengadilan tersebut tidak berwenang mengadili perkara tersebut. Pertimbangan Pengadilan Niaga terhadap eksepsi dari Termohon adalah sebagai berikut: Tentang persetujuan dari suami Pemohon menurut Pasal 4 (1) UU No. 37 tahun 2004, makapermohonan tersebut hanya dapat diajukan atas persetujuan suami atau istrinya. Dalam perkara aquo status Pemohon adalah sebagai Kreditor yang mengajukan permohonan pernyataan pailit terhadap Termohon sebagai Debitor, oleh karena itu Pasal 4 (1) UU No. 37 tahun 2004 tidak berlaku bagi pemohon. Dengan demikian eksepsi perihal tersebut harus ditolak karena tidak berdasarkan hukum. Tentang kompetensi Pengadilan Niaga, kewenangan absolut Arbitrase dalam kedudukannya sebagai Ekstra Judisial tidak dapat mengesampingkan kewenangan Pengadilan Niaga untuk mengadili perkara kepailitan berdasarkan Pasal 303 UU No. 37 tahun 2004 sebagai Special Law. Sehingga, meskipun antara Pemohon dan Termohon terikat perjanjian yang memuat klausula arbitrase, Pengadilan Niaga Jakarta Pusat tetap berwenang memeriksa perkara ini. Berdasarkan hal tersebut maka eksepsi termohon ditolak seluruhnya. Pertimbangan Pengadilan terhadap eksepsi yang diajukan Termohon bahwa perlu persetujuan suami atau isteri dalam 160 Hukum Kepailitan di Indonesia

mengajukan pailit tidak berlaku bagi kreditor, demikian juga eksepsi tentang kewenangan pengadilan bahwa perjanjian atau pilihan hukum terhadap arbitrase tidak mengesampingkan kewenangan pengadilan niaga untuk memeriksa permohonan pailit dalam perkara in cassu. Pemohon mendalilkan bahwa Pemohon adalah pembeli sebagian dari bidang tanah berikut bangunan yang akan dibangun oleh Termohon dengan cara angsuran dan untuk itu Pemohon telah melunasi pembayarannya kepada Termohon. Setelah sampai batas waktu penyerahan tanah dan bangunan kepada Pemohon terlampaui yakni pada bulan maret 2003 Termohon tidak memenuhi kewajibannya oleh karena Termohon tidak dapat memenuhi kewajibannya kepada Pemohon selaku kreditornya, di samping itu Termohon juga mempunyai utang terhadap pihak lain yaitu PT. Gajah Perdana, PT. Lobunta Kencana Raya, PT. Kolelatama Albes dan PT. Devrindo Widya, maka cukup beralasan Termohon dinyatakan dalam keadaan pailit. Atas dalil pemohon tersebut, Termohon membantahnya dengan mengemukakan dalil-dalil selengkapnya sebagaimana tersebut dalam jawaban yang pada pokoknya memuat beberapa hal pokok yaitu: 1. Hubungan hukum antara pemohon dengan termohon bukan hubungan Utang piutang, akan tetapi hubungan jual beli tanah. 2. Termohon tidak mempunyai utang uang terhadap Pemohon yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, sehingga permohonan Pemohon tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 2 (1) UU No. 37 tahun 2004. 3. Pemohon pailit tidak dapat membuktikan adanya 2 (dua) Kreditor. 4. Pembuktian perkara ini tidak sumir karena ada kewajiban-kewajiban lain yang harus dipenuhi oleh Pemohon. Pertimbangan Majelis Hakim terhadap sangkalan Termohon khususnya perihal hubungan hukum antara Pemohon dan Hukum Kepailitan di Indonesia 161

Termohon bukan utang dan Termohon tidak mempunyai utang pada Pemohon yang telah jatuh tempo. Hubungan hukum yang ada antara Pemohon dan Termohon sebagaimana tersebut di atas merupakan hubungan perikatan, yaitu ikatan dalam bidang hukum harta benda (vermogen recht) antara dua orang atau lebih dimana satu pihak berhak atas sesuatu dan pihak lain berkewajiban untuk melaksanakannya, objeknya tertentu dan subjeknya tertentu pula dimana jika pihak yang mempunyai kewajiban itu tidak melaksanakan kewajibannya akan menimbulkan apa yang disebut utang. Pengadilan mempertimbangkan adanya utang berdasarkan pengertian utang dalam arti luas dan menghubungkannya dengan ikatan dalam bidang hukum kebendaan (Vermogenrecht) satu pihak berhak atas sesuatu dan pihak lain berkewajiban untuk melaksanakannya. Di Amerika Serikat 102 pembuktian dalam kepailitan Debitor dilakukan terhadap tagihan-tagihan yang diajukan oleh kreditor dengan menggunakan doctrine probability bahwa terhadap bukti-bukti yang dapat dibuktikan saja yang masuk kedalam criteria tagihan, dan menerapkan doctrine of allowability yaitu tagihan yang dapat dihitung secara rasional tanpa menunda proses administrasi kepailitan. Sedangkan dalam hukum kepailitan Indonesia tagihan tersebut dapat dikategorikan tagihan jika sudah dapat dibuktikan secara sederhana. Jika pembuktian ternyata terbukti tidak sederhana maka hal tersebut tidak menjadi kewenangan pengadilan niaga akan tetapi menjadi kompetensi pengadilan perdata yang menjadi kewenangan Pengadilan Negeri. Selanjutnya dalam perjanjian jual beli dalam perkara ini , pihak yang berhak atas suatu prestasi berkedudukan sebagai Kreditor, sedangkan pihak lain yang berkewajiban memenuhi prestasi berkedudukan sebagai Debitor. Oleh karena Debitor belum juga memenuhi kewajibannya kepada Pemohon, Pemohon bersama-sama konsumen yang lainnya telah 102

Siti Anisah, Perlindungan Kepentingan Kreditor Debitor Dalam Hukum Kepailitan di Indonesia, Cetakan ke-II, Total Media, Yogyakarta, 2008, Hlm. 159

162 Hukum Kepailitan di Indonesia

melakukan proses advokasi konsumen, sehingga dengan demikian Majelis Hakim berpendapat bahwa Debitor telah mempunyai utang kepada Pemohon, utang mana telah jatuh waktu dan dapat ditagih. Dipersidangan dalam perkara ini hadir pula Kreditor lain yaitu PT. Gajah Perdana, dimana dari fakta-fakta dipersidangan disimpulkan bahwa Termohon belum melunasi kewajiban pembayaran kepada PT. Gajah Perdana. Oleh karena Termohon belum melunasi kewajibannya kepada PT. Gajah Perdana tersebut, maka kedudukannya adalah Debitor dan PT. Gajah Perdana adalah Kreditor dari Termohon. Berdasarkan hal tersebut, maka dapat dibuktikan adanya 2 (dua) Kreditor dari Termohon. Pengadilan dalam mempertimbangkan apakah berdasarkan perjanjian jual beli dapat dikategorikan dan disamakan dengan perjanjian utang piutang sebagaimana maksud dan unsur dari adanya kepailitan, majelis hakim menyatakan utang dimaksud dalam arti luas dimana tidak melaksanakan prestasi dikategorikan sebagai utang dan menyatakan permohonan yang diajukan telah memenuhi unsur adanya kepailitan sebagai maksud dalam Pasal 2 Ayat (1) UU Kepailitan. Adapun amar putusan terhadap perkara aquo adalah sebagai berikut : Dalam Eksepsi : 1. Menolak eksepsi Termohon. 2. Menyatakan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat berwenang memeriksa dan mengadili perkara ini. Dalam pokok perkara :

1. Mengabulkan permohonan Pemohon. 2. Menyatakan Termohon suatu perseroan terbatas terbuka yang berkedudukan di Jakarta, pailit dengan segala akibat hukumnya.

3. Mengangkat dan menunjuk Hakim Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat sebagai Hakim Pengawas.

4. Menunjuk dan mengangkat kurator. 5. Membebankan biaya perkara kepada Termohon. Hukum Kepailitan di Indonesia 163

Terhadap putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat tersebut, Termohon mengajukan Kasasi ke Mahkamah Agung dengan alasan-alasan hukum sebagai berikut 103: 1. Mengenai unsur kreditor lain tidak terpenuhi. 2. Pengadilan Niaga Jakarta Pusat telah salah menilai bukti dan penerapan hukumnya. 3. Bahwa pembuktian dalam perkara ini tidak sumir. Mahkamah Agung dalam pertimbangannya menyatakan bahwa judex facti tidak salah menerapkan hukumnya, karenanya alasan kasasi yang diajukan Pemohon Kasasi haruslah dikesampingkan dan Majelis Hakim Kasasi menolak permohonan kasasi tersebut. Termohon dalam perkara asal, Pemohon Kasasi mengajukan Peninjauan Kembali terhadap Putusan Kasasi MA tersebut, dengan alasan-alasan sebagai berikut 104: Judex facti telah melakukan kekeliruan yang nyata dengan mengakui dan mendasarkan putusannya pada dua fakta yang saling bertentangan. Bahwa pembuktian dalam perkara ini tidaklah merupakan pembuktian yang sederhana sehingga yang berwenang mengadili perkara in cassu adalah peradilan perdata biasa. Bahwa antara Termohon pailit tidak mempunyai utang atau kewajiban kepada Pemohon/Termohon Kasasi/Termohon Peninjauan Kembali. Majelis Hakim Peninjauan Kembali mempertimbangkan alasan-alasan Peninjauan Kembali bahwa keberatan Pemohon Peninjauan Kembali tidak dapat dibenarkan karena yang diajukan Pemohon Kasasi untuk membuktikan adanya kreditor lain tidak memenuhi syarat pembuktian; Surat bukti surat baru dapat dipertimbangkan apabila memenuhi syarat-syarat : Diajukan dalam bentuk aslinya. Dapat berbentuk foto copy yang harus dicocokan dengan aslinya dimuka persidangan, dengan disaksikan para pihak. Bermaterai cukup. Majelis Hakim Peninjauan Kembali menyatakan bahwa oleh karena ternyata dalam perkara ini telah tercapai perdamaian, 103 104

Putusan kasasi MA No. 029 K/N/2005. Putusan Peninjauan Kembali MA No. 07 PK/N/2006.

164 Hukum Kepailitan di Indonesia

perdamaian mana telah disahkan oleh Pengadilan Niaga Jakarta Pusat pada tanggal 24 April 2004 dan terhadap kesepakatan damai tersebut tidak diajukan upaya hukum sehingga telah berkekuatan hukum tetap, sebagai konsekuensi dari putusan perdamaian tersebut mengakhiri pernyataan pailit yang telah dijatuhkan sebelumnya oleh Pengadilan Niaga Jakarta Pusat. Berdasarkan pertimbangan tersebut Majelis Peninjauan Kembali Memutuskan sebagai berikut: Dalam Eksepsi : Menolak eksepsi Termohon ; Menyatakan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat berwenang mengadili perkara ini; Dalam pokok perkara; Menyatakan pernyataan pailit terhadap Termohon berakhir; Membebankan kepada Debitor untuk membayar biaya perkara dan imbalan jasa kurator yang akan ditetapkan kemudian Perkara ini berakhir dengan perdamaian antara Pemohon kepailitan dengan Termohon Pernyataan Pailit dan dengan adanya perdamaian tersebut mengakibatkan pernyataan pailit yang telah dikabulkan menjadi berakhir. Perdamaian dapat berlangsung selama perkara diperiksa oleh Majelis Hakim Kasasi ataupun oleh Majelis Hakim Peninjauan Kembali. Permohonan kepailitan tidak mendapatkan gambaran tentang kualifikasi kreditor, apakah Debitor termohon pailit mempunyai kreditor preferen dan atau kreditor separatis, hal ini perlu diketahui oleh pemohon kepailitan khususnya bagi kreditor konkuren pemohon pailit. kecuali permohonan tersebut diajukan oleh kreditor preferen berkaitan dengan posisi dan kedudukannya sebagaimana dimaksud Pasal 2 Ayat (2), ayat (3), ayat (4) dan Ayat (5) UU Kepailitan, sedangkan kreditor konkuren ataupun kreditor separatis berkaitan dengan status dan sifat piutangnya dan hal tersebut baru dapat dibuktikan pada saat pencocokan piutang atau pada saat rapat kreditor setelah Debitor dinyakan pailit. Sebagai perbandingan, di Amerika Serikat ketika Debitor mengajukan permohonan pailit maka semua harta milik Debitor Hukum Kepailitan di Indonesia 165

pailit tersebut manjadi harta pailit, keadaan tersebut disebut dengan Automatic stay dilakukan untuk kepentingan semua kreditor yang berusaha untuk mendapatkan pembayaran tagihannya dari harta Debitor dengan penetapan pengadilan.105 Kreditor tidak akan mendapatkan pelunasan tagihannya dari harta Debitor tersebut keculi trustee membagi harta pailit tersebut pada saat penutupan kasus kepailitan tersebut. Penerapan asas Automatic stay bertujuan untuk memastikan adanya keadilan dalam pembagian harta pailit diantara para kreditor. Dalam penyelesaian harta pailit pada praktik peradilan berkaitan dengan masalah ada atau tidaknya harta pailit, tindakan awal agar harta pailit idak dialihkan sangat sulit dan jarang dikabulkan oleh pengadilan, berkaitan dengan masalah teknis dilapangan, untuk mengetahui keadaan harta pailit sudah sepatutnya hukum kepailitan mengadopsi penerapan Insolvency Test 106dengan beberapa alasan : 1. Memberikan pertimbangan kepada kreditor konkuren sebagai pemohon pailit untuk meneruskan atau mencabut permohonan pailitnya kepada Debitor, hal ini perlu karena jika semua harta Debitor termohon pailit berada dalam keadaan terikat dengan hak jaminan, keadaan tersebut menggambarkan bahwa permohonan pailit yang diajukan oleh Pemohon akan sia-sia, karenanya jika kedaan tersebut terjadi pada harta Debitor sebaiknya kreditor konkuren mencabut permohonan pailitnya. 2. Menghindari agar debitor yang masih sehat dan memiliki aset yang cukup atau bahkan melebihi utang-utangnya kepada kreditor untuk tidak dipailitkan oleh pangadilan meskipun syarat-syarat pada Pasal 2 Ayat (1) UU Kepailitan tersebut terpenuhi, untuk menghindari sebuah perseroan yang dinyatakan pailit dan kemudian dinyatakan dalam keadaan insolvency terlikuidasi.

105 106

Siti Anisah, Loc.Cit. hlm 198. Siti Anisah, Ibid, hlm. 420

166 Hukum Kepailitan di Indonesia

Insolvency Test dengan melakukan financial test untuk menentukan harta Debitor dalam keadaan insolvensi yang secara garis besar mencakup tiga kegiatan yaitu dengan melakukan Pertama balance-sheet test, dari hasil ini akan terlihat apakah utang Debitor telah melebihi aset miliknya, jika utang telah melebihi jumlah aset Debitor maka keadaan tersebut telah memasuki keadaan insolvensi.107 Kedua cash flow test dan atau Ketiga equity test. Hasil dari cash flow test dan equity test adalah untuk menentukan ketidak mampuan Debitor membayar utangutangnya, atau tanggung jawab yang dipikulnya melebihi dari aset yang dimilkinya, dengan ditandai tidak lagi membayar utang-utang yang telah jatuh tempo. Amerika Serikat telah mengadopsi Insovency Test dalam Bankruptcy Code of 1978, dalam Bankruptcy Code of 1978, disyaratkan bahwa untuk mengajukan pailit harus sudah dalam keadaan insolvensi. Hukumkepailtan Amerika Serikat juga memberikan perlindungan kepada investor dengan Securities Investor Protection Act ("SIPA"). Perlindungan selain melalui hukum kepailitan juga diberikan secara khusus agar para investor saham dan effek terlindungi kepentingannya. Hukum kepailitan Amerika Serikat juga mengatur masalah kasus lintas batas dalam kepailitan agar pelaksanaanya lebih mudah sebagaimana diatur dalam Chapter 15, yang menangani kasus kepailitan lintas batas (antar negara) hal tersebut juga tidak dikenal dalam sistem hukum kepailitan Indonesia sebagaimana diatur dalam UU Kepailitan. Sistem hukum kepailitan Belanda berdasarkan kepada "Faillissementswet", membagi tiga proses hukum yang dilakukan secara terpisah yaitu: Pertama, adalah kebangkrutan "Faillissement" yang bertujuan untuk melikuidasi aset Debitor perusahaan, kebangkrutan ini berlaku bagi individu dan perusahaan. Kedua, proses hukum "Surseance", proses hukum ini hanya berlaku untuk perusahaan, yang tujuannya untuk mencapai kesepakatan antara Debitor dengan para kreditor perusahaan. Ketiga adalah "Schuldsanering" untuk kepailitan perorangan. 107

Siti Anisah, Ibid, hlm.421

Hukum Kepailitan di Indonesia 167

The three insolvency proceedings mentioned above appear in the following articles in the Fw ( Faillissementswet) 108: (1) Articles 1 – 212f Fw provide for the rules applicable to bankruptcy. (2) Articles 213 – 283 Fw provide for the rules applicable to suspension of payment; and (3) Articles 284 – 362 Fw provide for the rules applicable to debt reorganization of natural person. Sebagaimana dikutip berikut :109 The Dutch bankruptcy law is governed by the Dutch Bankruptcy Code ("Faillissementswet"). The code covers three separate legal proceedings. The first is the bankruptcy ("Faillissement"). The goal of the bankruptcy is the liquidation of the assets of the company. The bankruptcy applies to individuals and companies. The second legal proceeding in the Faillissementswet is the "Surseance". The Surseance only applies to companies. Its goal is to reach an agreement with the creditors of the company. The third proceeding is the "Schuldsanering". This proceeding is designed for individuals only. Pemberlakuan Europe Union (EU) Insolvency Regulation bagi negara-negara Uni Eropah sejak tanggal 31 Mai 2002 memberikan konsekuensi terhadap penyelesaian kepailitan termasuk di Negeri Belanda, konsekuensinya yaitu : Consequences for Netherlands insolvensy pracrice. The EU Insolvency Regulation likely to have no impact on the following areas of the Netherlands insolvency practice: (1) The principle of territoriality applicable to recourse to asset situated in the Netherlands. (2) Agreements with mutual performentces; employment agreements; rental agreements with respect to immovable property. (3) The concept of set-off.110 108

Peter J.M.Declercg, The Netherlands Bankruptcy Act And Most Important Legal Concepts, TMC Asser Press, Hague Netherlands, 2002, hlm.2. 109 http

168 Hukum Kepailitan di Indonesia

Pemberlakuan EU Insolvency Regulation membawa perubahan bagi sistem kepalitian di negara anggotanya, terdapat keseragaman sistem hukum kepailitan tanpa mencampuri sistem hukum kepailitan negara masing2, dengan pemberlakuan EU Insolvency Regulation tersebut sistem hukum kepailitan negara anggota harus menyesuaikanya. Hukum kepailitan di Amerika, di Belanda dan juga bagi negara-negara yang terhimpun dalam Uni Eropah masih mencari sistem yang tepat dalam hukum kepailitan, meskipun hukum kepailitan tersebut telah lama diberlakukan, keadaan demikian juga berlaku pada sistem hukum kepailitan Indonesia dimana masih dirasa hal-hal yang perlu ditinjau ulang dan direvisi agar dapat memberikan perlindungan yang adil bagi semua pihak yang terkait dengan penyelesaian kepailitan.

110

Peter JM. Declercg, The Netherlands Bankruptcy Act And The Most Important Legal Concep, TMC Asser Press, Netherlands, 2002.p.31.

Hukum Kepailitan di Indonesia 169

1. Pengertian Dan Perkembangan Hukum Bisnis a. Pengertian Hukum Bisnis Istilah "hukum bisnis" sebagai terjemahan dari istilah "business law" sangat banyak dipakai dewasa ini, baik di kalangan akademis maupun di kalangan para praktisi. Meskipun begitu, banyak istilah lain yang sungguhpun tidak persis sama artinya, tetapi mempunyai ruang lingkup yang mirip-mirip dengan istilah hukum bisnis ini. Istilah-istilah lain terhadap hukum bisnis tersebut adalah sebagai berikut: a. Hukum Dagang (sebagai terjemahan dari "Trade Law'). b. Hukum Perniagaan (sebagai terjemahan dari "Commercial Law'). c. Hukum Ekonomi (sebagai terjemahan dari "Economic Law').111 Istilah "hukum dagang" atau "hukum perniagaan" merupakan istilah dengan cakupan yang sangat tradisional dan sangat sempit. Sebab, pada prinsipnya kedua istilah tersebut hanya melingkupi 111

Munir Fuadi, Pengantar Hukum Bisnis, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005, hlm 1-2

170 Hukum Kepailitan di Indonesia

topik-topik yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) saja. Padahal, begitu banyak topik hukum bisnis yang tidak diatur atau tidak lagi diatur dalam Kitab UndangUndang Hukum Dagang, misalnya, mengenai perseroan terbatas, kontrak bisnis, pasar modal, merger, akuisisi, perkreditan, hak atas kekayaan intelektual, perpajakan, bisnis internasional dan masih banyak lagi. Istilah "hukum ekonomi" cakupannya sangat luas, berhubung adanya pengertian ekonomi dalam arti makro dan mikro, ekonomi pembangunan dan ekonomi sosial, ekonomi manajemen dan akuntansi, yang kesemuanya tersebut mau tidak mau harus dicakup oleh istilah "hukum ekonomi". Dilihat dari segi batasan ruang lingkupnya, maka jika istilah hukum dagang atau hukum perniagaan ruang lingkupnya sangat sempit, maka dengan istilah hukum "ekonomi" ruang lingkupnya sangat luas. Karena itu, memang istilah yang ideal adalah "hukum bisnis" itu sendiri. Istilah "hukum dagang" atau istilah "hukum perniagaan", kedua istilah tersebut sudah sangat tradisional, bahkan sudah menjadi "klasik", maka dengan istilah "hukum bisnis" penekanannya adalah kepada hal-hal yang modern sesuai dengan perkembangan yang mutakhir. Itulah sebabnya, dibandingkan dengan istilah-istilah lainnya tersebut, istilah "hukum bisnis" saat ini lebih populer dan sangat banyak digunakan orang, baik di Indonesia, maupun di banyak negara lain, bahkan oleh masyarakat internasional. Sebenarnya, apakah yang dimaksud dengan istilah "hukum bisnis" itu? sebagaimana diketahui bahwa istilah "hukum bisnis" terdiri dari 2 (dua) kata, yaitu kata "hukum" dan kata "bisnis". Banyak definisi sudah diberikan kepada kata "hukum" meskipun tidak ada 1 (satu) definisi pun yang dapat dikatakan lengkap dan menggambarkan apa arti hukum secara utuh.112 Istilah "bisnis" adalah suatu urusan atau kegiatan dagang, industri atau keuangan yang dihubungkan dengan produksi atau pertukaran barang atau jasa,113 dengan menempatkan uang dari 112

Ibid., hlm 2. Abdurrachman,Aneka Masalah, Hukum Dalam Pembangunan Nasional, Alumni, Bandung, 1979., hlm 150.

113

Hukum Kepailitan di Indonesia 171

para entrepreneur dalam risiko tertentu dengan usaha tertentu dengan motif untuk mendapatkan keuntungan.114 Richard Burton Simatupang menyatakan bahwa secara luas, kata bisnis sering diartikan sebagai keseluruhan kegiatan usaha yang dijalankan oleh orang atau badan secara teratur dan terus menerus, yaitu berupa kegiatan mengadakan barang-barang atau jasa jasa maupun fasilitas-fasilitas untuk diperjualbelikan, dipertukarkan, atau disewagunakan dengan tujuan mendapatkan keuntungan.115 Kamus Besar Bahasa Indonesia memberikan pengertian bisnis sebagai berikut: "Bisnis adalah usaha dagang, usaha komersial dalam dunia perdagangan".116 Sedangkan dalam Black's Law Dictionary, dinyatakan117 : "Busines : Employment, occupation, profession, or commercial activity engaged in for gain or livelihood. Activity or enterprise for gain, benefit, advandtage or livelihood;..." Berdasarkan uraian di atas, bisnis merupakan aktivitas perdagangan, tetapi di dalamnya meliputi pula unsur-unsur yang lebih luas, yaitu pekerjaan, profesi, penghasilan, mata pencaharian dan keuntungan. Gambaran mengenai kegiatan bisnis dalam definisi tersebut kalau diuraikan lebih lanjut akan tampak sebagai berikut : 118 a. Bisnis merupakan suatu kegiatan yang rutin dilakukan; sebagai suatu pekerjaan, mata pencaharian, bahkan suatu profesi. b. Bisnis merupakan aktivitas dalam bidang perdagangan. c. Bisnis dilakukan dalam rangka memperoleh keuntungan d. Bisnis dilakukan baik oleh perorangan maupun perusahaan

114

Friedman, Jack P, op.cit.,hlm66. Richard Burton Simatupang, Aspek Hukum dalam Bisnis, Rineka Cipta, Jakarta, 1996, hlm. 1. 116 Depdiknas,Kamus Besar Bahasa Indonesia, PT Balai Pustaka, Jakarta, 1994, hlm. 138. 117 Henry Campbell Black, Black"s Law Dictionary, Sixth Ed., West Publishing Co, St. Paul Minn., 1990, hlm. 198. 118 Johannes Ibrahim dan Lindawati Sewu, Hukum Bisnis Dalam Persepsi Manusia Modern, Refika Aditama, Bandung, 2004, hlm. 25-26. 115

172 Hukum Kepailitan di Indonesia

Sistem perekonomian yang sehat seringkali bergantung pada sistem perdagangan yang sehat, sehingga masyarakat juga membutuhkan adanya peraturan hukum yang dapat menjamin kepastian terhadap sistem perdagangan tersebut.119 Kaidah-kaidah hukum yang mengatur berbagai persoalan yang timbul dalam aktivitas antar manusia dalam bidang perdagangan disebut hukum bisnis.120Hukum bisnis adalah suatu perangkat kaidah hukum (termasuk enforcement-nya) yang mengatur tentang tata cara pelaksanaan urusan atau kegiatan dagang, industri atau keuangan yang dihubungkan dengan produksi atau pertukaran barang atau jasa dengan menempatkan uang dari para entrepreneur dalam risiko tertentu dengan usaha tertentu dengan motif (dari entrepreneur tersebut) adalah untuk mendapatkan keuntungan tertentu.121 Merupakan ruang lingkup dari hukum bisnis, antara lain adalah sebagai berikut:122 a. Kontrak Bisnis. b. Jual Beli. c. Bentuk-bentuk Perusahaan. d. Perusahaan Go Public dan Pasar Modal. e. Penanaman Modal Asing. f. Kepailitan dan Likuidasi. g. Merger dan Akuisisi. h. Perkreditan dan Pembiayaan. i. Jaminan Hutang. j. Surat Berharga. k. Perburuhan. l. Hak Kekayaan Intelektual. m. Anti Monopoli. n. Perlindungan Konsumen. o. Keagenan dan Distribusi. 119

Ibid. Bambang Sutiyoso, Penyelesaian Sengketa Bisnis, Citra Media, Yogyakarta, 2006, hlm 1-3 121 Munir Fauadi,op.cit., hlm 2. 122 Ibid., hlm 3. 120

Hukum Kepailitan di Indonesia 173

p. q. r. s. t.

Asuransi. Perpajakan. Penyelesaian Sengketa Bisnis. Bisnis Internasional. Hukum Pengangkutan (Darat, Laut, Udara, dan Multimoda). Dasar-dasar hukum bisnis sudah lama sekali ada di Indonesia. Paling tidak, dasar hukum yang tertulis sudah ada dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang dan Kitab UndangUndang Hukum Perdata, yang mulai diberlakukan di Indonesia sejak tahun 1848 berdasarkan asas konkordansi. Bahkan, dasardasar dari hukum bisnis yang sangat tradisional sudah terlebih dahulu ada, baik dalam hukum adat (seperti hukum kontrak/perjanjian adat), atau hukum jual beli dagang secara sederhana yang mengatur interaksi jual beli rakyat Indonesia dengan para saudagar asing kala itu, seperti dengan saudagarsaudagar Portugis, Belanda, Arab, Hindustan, dan lain-lain.123

b. Karakteristik Sengketa Bisnis Sengketa bisnis memiliki karakteristik atau ciri-ciri yang membedakannya dengan sengketa yang lain. Beberapa karakteristik sengketa bisnis didasarkan pada beberapa parameter sebagai berikut :124 a. Parameter subyek, yaitu pihak-pihak yang terlibat dalam sengketa bisnis baik secara langsung maupun tidak langsung terkena kepentingannya, dalam hal ini dapat berupa perorangan (persoon) maupun badan hukum (rechts persoon), seperti perusahaan, yayasan, dan lainlain. b. Parameter obyek, yaitu apa yang menjadi persoalan dalam suatu sengketa bisnis terutama adalah hal-hal yang berkaitan dengan pelanggaran dan penyimpangan 123 124

Ibid., hlm 3-7 Bambang Sutiyoso, op.cit., hlm 5-6

174 Hukum Kepailitan di Indonesia

c.

d.

e.

aktivitas bisnis beserta segala akibat hukumnya, seperti terjadinya wanprestasi perjanjian, kecurangan, perbedaan interpretasi terhadap aturan hukum, persaingan tidak sehat, pemalsuan, penipuan dan sebagainya. Oleh karena adanya pelanggaran dan penyimpangan seperti itu menyebabkan kepentingan salah satu pihak dirugikan oleh pihak yang lain, sehingga timbulah sengketa bisnis tersebut. Parameter hukum yang berlaku, yaitu aturan hukum manakah yang mengatur aktivitas bisnis, karena aktivitas bisnis haruslah tunduk pada hukum yang berlaku baik hukum tertulis maupun hukum tidak tertulis/kebiasaan, konvensi-konvensi, perjanjian internasional, yurisprudensi dan sebagainya. Parameter inisiatif dan keaktifan berperkara, adalah ditentukan atau tergantung dari pihak-pihak yang berperkara. Sengketa bisnis pada umumnya adalah sengketa privat, oleh karena itu pihak-pihak yang berperkara yang harus aktif dalam penyelesaian perkara, mulai dari mengajukan perkaranya, mempertahankannya dan mengikuti aturan main penyelesaian sengketa yang berlaku. Ketidakaktifan dalam berperkara dapat berakibat merugikan kepentingan, yaitu perkaranya dikalahkan. Parameter forum penyelesaian sengketanya, yaitu semua forum atau lembaga penyelesaian sengketa perdata yang memungkinkan diselesaikannya sengketa bisnis, baik melalui jalur litigasi maupun nonlitigasi dengan segala kelebihan dan kekurangannya.

c. Ruang Lingkup Sengketa Bisnis Penyelesaian sengketa dengan cepat dapat membantu orang-orang dan masyarakat bisnis yang sedang bersengketa untuk mencari penyelesaian yang sebaik-baiknya yang dapat diterima oleh para pihak yang bersengketa. Hal ini didasarkan Hukum Kepailitan di Indonesia 175

pada prinsip-prinsip kerja sama dalam negosiasi atau penyelesaian sengketa dengan cara konsensus. Penyelesaian Sengketa yang efektif dan efisien dapat menambah produktivitas bagi bisnis dan akan lebih mempersingkat waktu yang tersita dalam sengketa selama menjalankan keseluruhan usaha dari top manajemen sampai dengan staf bagian depan. Penyelesaian sengketa yang efektif sangat diperlukan mengingat perusahaan-perusahaan sering kali terlibat dalam usaha patungan jangka panjang yang memerlukan waktu relatif cepat. Pertumbuhan ekonomi yang pesat dan kompleks melahirkan berbagai macam bentuk kerjasama bisnis. Mengingat kegiatan bisnis semakin meningkat dari hari ke hari, maka tidak mungkin dihindari terjadinya sengketa (dispute/difference) di antara para pihak yang terlibat. Sengketa muncul dikarenakan berbagai alasan dan masalah yang menjadi latar belakang, terutama karena adanya conflict of interest di antara para pihak. Sengketa yang timbul di antara pihak-pihak yang terlibat dalam berbagai macam kegiatan bisnis atau perdagangan dinamakan sengketa bisnis. Sengketa bisnis pada prinsipnya pihak-pihak yang bersengketa diberi kebebasan untuk menentukan mekanisme pilihan penyelesaian sengketa yang dikehendaki, apakah melalui jalur pengadilan (litigasi) maupun jalur di luar pengadilan (non litigasi), sepanjang tidak ditentukan sebaliknya dalam peraturan perundang-undangan. Setiap jenis sengketa yang terjadi selalu menuntut pemecahan dan penyelesaian yang tepat. Masing-masing sengketa yang terjadi belum tentu sama treatment penyelesaiannya. Semakin luas dan banyak kegiatan dalam bidang bisnis dan perdagangan, frekuensi terjadinya sengketa juga semakin tinggi. Berarti semakin banyak sengketa yang harus diselesaikan dari waktu ke waktu. Sengketa bisnis yang timbul tidak mungkin dibiarkan begitu saja, tetapi perlu dicarikan alternatif penyelesaiannya secara tepat supaya tidak berkepanjangan dan menimbulkan kerugian yang besar. Membiarkan sengketa bisnis terlambat diselesaikan akan 176 Hukum Kepailitan di Indonesia

mengakibatkan perkembangan pembangunan ekonomi tidak efisien, produktivitas menurun, dunia bisnis mengalami kemerosotan, dan biaya produksi meningkat. Konsumen adalah pihak yang seringkali dirugikan. Di samping itu peningkatan kesejahteraan dan kemajuan sosial kaum pekerja juga terhambat.125 Sengketa bisnis adalah sengketa yang timbul di antara pihakpihak yang terlibat dalam berbagai macam kegiatan bisnis atau perdagangan, termasuk di dalamnya unsur-unsur yang lebih luas, seperti pekerjaan, profesi, penghasilan, mata pencaharian, dan keuntungan.126 Penjelasan ketentuan Pasal 66 UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa merumuskan lebih lanjut tentang ruang lingkup hukum perdagangan, yang meliputi antara lain kegiatan di bidang perniagaan, perbankan, keuangan, penanaman modal (investasi), industri dan hak kekayaan intelektual (HKI). Dalam praktik sengketa bisnis terus mengalami perkembangan dari waktu ke waktu itu. Secara rinci sengketa bisnis dapat berupa sengketasengketa sebagai berikut :127 a. Sengketa perniagaan b. Sengketa perbankan c. Sengketa keuangan d. Sengketa investasi e. Sengketa perindustrian f. Sengketa HKI g. Sengketa konsumen h. Sengketa kontrak i. Sengketa pekerjaan j. Sengketa perburuhan k. Sengketa perusahaan l. Sengketa organisasi 125 Suyud Margono, ADR dan Arbitrase Proses Pelembagaan dan Aspek Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2000, hlm. 12. 126 Bambang Sutiyoso, op.cit., hlm 6. 127 Ibid., hlm 3-7.

Hukum Kepailitan di Indonesia 177

m. n. o. p. q.

Sengketa hak Sengketa privat Sengketa perdagangan publik Sengketa properti Sengketa lainnya yang berkaitan dengan bisnis.

2. Lembaga Hukum Dalam Penyelesaian Sengketa Bisnis Kata alternatif pada lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa di Indonesia bermakna bahwa sengketa bisnis yang telah terjadi diselesaikan melalui lembaga penyelesaian sengketa yang bukan melalui lembaga hukum litigasi. Pasal 6 ayat (1) juncto Pasal 1 butir 10 Undang-Undang No. 30 Tahun 1999, mengatur secara imperatif bahwa penyelesaian sengketa bisnis tersebut dilakukan dengan mengesampingkan penyelesaian secara litigasi di Pengadilan Niaga, yaitu dengan menggunakan cara konsultasi, penilaian ahli, konsiliasi, negosiasi atau mediasi.128 Frank E.A Sander menyatakan bahwa pengertian kata "alternatif' tidak didasarkan sebagai pengganti dari lembaga Pengadilan, tapi didasarkan atas kebutuhan untuk meningkatkan pengertian yang lebih baik terhadap fungsi dan proses mekanisme alternatif tersebut. Menurutnya ada empat tujuan dari lembaga alternatif penyelesaian sengketa, yaitu:129 1. Untuk meringankan hambatan yang terjadi di pengadilan seperti biaya dan keterlambatan yang berlebihan; 2. Untuk meningkatkan keterlibatan masyarakat pencari keadilan dalam suatu proses penyelesaian sengketa; 3. Untuk mempermudah akses mendapatkan keadilan; 4. Untuk mengadakan penyelesaian sengketa lebih "berhasil guna" Maksud dan tujuan para pihak yang berkeinginan untuk menyelesaikan sengketa mereka dan agar hubungan bisnis yang 128

H. Priyatna Abdurrasyid, Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Suatu Pengantar, PT. Fikahati Aneksa, BANI, Jakarta, 2002., hlm. 26. 129 Frank E.A Sander, Alternative Methods of Dispute Resolution: An Overview, 37U.FIa.L.Rev, 1985, Copyright di dalam Acontracts Anthology, Edited with Comments By Peter Linzer, Anderson Publishing Co, 1989,hlm. 445.

178 Hukum Kepailitan di Indonesia

telah terjalin dapat tetap terjaga dengan baik, sebagai suatu kiblat hubungan bisnis yang berkelanjutan. Negosiasi yang tidak dapat diselesaikan oleh para pihak yang bersengketa, umumnya masih memerlukan bantuan seorang penengah atau mediator seperti diatur pada lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS) Pasal 6 Bab II Undang-Undang No.30. Tahun 1999. Pasal 6 yang terdiri dari 9 (sembilan) ayat dan disusun secara bertautan (inheren) oleh pembuat undang-undang merupakan deskripsi berjenjang tentang penerapan negosiasi, penasihat ahli (penilaian ahli) dan mediasi yang keseluruhannya ditegaskan di dalam Pasal 6 ayat (9) sebagai usaha perdamaian sebagaimana di atur pada Pasal 6 ayat (1) sampai dengan Pasal 6 ayat (6). Pelaksanaan pendaftaran hasil kesepakatan mediasi di Pengadilan Negeri, serta jangka waktu yang bersifat limitatif atas pelaksanaan penyelesaian kesepakatan yang telah dicapai para pihak di atur pada Pasal 6 ayat (7) dan Pasal 6 ayat (8). Aturan Pasal 6 ayat (9), selain mengatur dan menegaskan bahwa APS adalah sama dengan usaha perdamaian, juga menegaskan bahwa jika upaya perdamaian melalui negosiasi, penilaian ahli dan mediasi tidak tercapai, maka para pihak bisa membawa sengketa mereka kehadapan (majelis) ahli yang pemutus atau arbitrase, juga secara audi et alteram partem, baik kehadapan arbitrase terlembaga (permanent arbitral body) seperti Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) maupun memohonkannya kehadapan (majelis) Arbitrase ad hoc yang bersifat insidentil, yaitu arbitrase yang diadakan hanya satu kali perhelatan saja (eenmalig), dan membubarkan diri setelah (majelis) arbiter ini menyelesaikan sengketanya, sesuai dengan aturan hukum dan prosedur arbitrase yang dipilih para pihak. Penyusunan aturan hukum lembaga hukum APS pada Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 seolah-olah disusun secara berjenjang, tetapi aturan hukum tersebut bersifat fakultatif atau pilihan (optional) dan dapat dalam bentuk hukum lain di luar peraturan perundang-undangan tetapi hidup dalam

Hukum Kepailitan di Indonesia 179

masyarakat.130Artinya, berdasarkan kesepakatan, para pihak dapat langsung mengadakan mediasi tanpa terlebih dahulu mengadakan negosiasi langsung atau minta pendapat ahli. Lembaga hukum sarana penyelesaian sengketa yang hidup pada masyarakat Indonesia tetapi tidak tercantum pada UndangUndang No. 30 Tahun 1999 antara lain adalah sumpah pocong. Sumpah pocong adalah salah satu sarana penyelesaian sengketa alternatif asli dari Indonesia yang berasal dari daerah Jawa Timur khususnya pada komunitas masyarakat etnik Madura. Masjid, santri, kyai, kepala desa dan aparatur keamanan adalah sarana perhelatan sumpah pocong.131 Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tidak memberikan banyak penjelasan tentang apa dan bagaimanakah APS itu, bahkan menimbulkan banyak pertanyaan dan persoalan. Umpamanya saja penjelasan tentang apa yang dimaksud dengan penyelesaian sengketa melalui negosiasi dan mediasi, sebab di dalam ketentuan umum tidak ditemukan pengertian mengenai konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi dan penilaian ahli. Menurutnya, ketentuan hukum APS sebagaimana diatur pada Pasal 6 di buat dengan sangat sumir (dangkal), sehingga dapat menimbulkan kebingungan dalam praktik.132 Kriteria yang tidak jelas tentang apa yang dimaksud dengan "pertemuan langsung" pada Pasal 6 Ayat (2).133 Terhadap pernyataan ini tidak sependapat, karena yang dimaksud dengan "pertemuan langsung" pada Pasal 6 ayat (2) adalah negosiasi yang penyelenggaraannya sangat fleksibel karena disesuaikan dengan waktu, tempat dan keadaan serta budaya hukum yang

130

Husseyn Umar, Beberapa Catatan Tentang Latar Belakang Dan Prinsip Dasar BentukBentuk APS Dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999, Pusat Pengkajian Hukum dan MARI, Jakarta, 2002. hlm. 69 131 Lucy Dyah Hendrawati dan Sri Endah Kinasih, Makna Sumpah Pocong Sebagai Upaya Penyelesaian Sengketa Pada Masyarakat Madura : Studi Kasus di Masjid Madegan, Polagan Sampang, Madura, Jurnal Penelitian Dinamika Sosial Vol.6 No. 2, Agustus 2005, hlm. 127 -128 132 Gatot Soemartono, Arbitrase dan Mediasi di Indonesia,PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2006, hlm. 4-5 133 Ibid

180 Hukum Kepailitan di Indonesia

berlaku.134Dengan kata lain, yang dimaksud dengan "pertemuan langsung" adalah bahwa para pihak yang berselisih paham segera mengadakan interaksi untuk menyelesaikan sengketa atau beda pendapat yang terjadi. Di dalam praktik pada abad ke 21 kini, suatu "pertemuan langsung" dapat diawali melalui pesawat telepon, surat menyurat, media elektronik (e-mail, sms, internet chatting, tele / video conference, three-G) baik secara informal maupun formal. Suatu "pertemuan langsung" pada umumnya dalam bentuk suatu pembicaraan langsung tatap muka, dengan harapan bahwa para pihak akan mencapai suatu kesepakatan baru yang berbasis pada prinsip bonafides. Priyatna Abdurrasyid menyatakan bahwa negosiasi merupakan suatu cara dimana individu berkomunikasi satu sama lain mengatur hubungan mereka dalam bisnis dan kehidupan sehari-harinya.135 Unsur terpenting dalam negosiasi penyelesaian sengketa bisnis di Indonesia adalah itikad baik sebagaimana diatur dalam Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang No.30 Tahun 1999. Itikad baik atau to goede trouw (Belanda) atau good faith (Inggris) didalam hukum perdata adat Minangkabau di kenal sebagai alur dan patut. Alur bermakna jalan atau aturan adat yang benar,136sedangkan patut adalah penilaian baik atau buruk maupun elemen akal sehat, yakni penilaian yang berkesesuaian dengan hukum-hukum logika.137 Menurut Ridwan Khairandy, standar itikad baik dalam pra perjanjian didasarkan pada prinsip kecermatan dalam berkontrak. Asas ini menandakan bahwa para pihak masing-masing memiliki kewajiban untuk menjelaskan dan meneliti fakta material yang berkaitan dengan perjanjian tersebut. Standar itikad baik pelaksanaan perjanjian adalah standar objektif. Artinya, perilaku para pihak dalam melaksanakan perjanjian dan penilaian terhadap isi perjanjian harus didasarkan pada prinsip kerasionalan dan kepatutan. Perjanjian tidak hanya dilihat dari apa yang secara 134

Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Op.cit., hlm 611 H. Priyatna Abdurrasyid, Op.cit,hlm.21. 136 Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Op.cit., hlm.24. 137 Moh. Koesnu, Opstellen over…, Loc.cit. 135

Hukum Kepailitan di Indonesia 181

tegas diperjanjikan, tetapi juga harus memperhatikan faktor-faktor eksternal yang dapat mempengaruhi pelaksanaan perjanjian.138 Pasal 1134 ayat (3)Civil code Perancis menyatakan bahwa kontrak harus dilaksanakan dengan itikad baik. Itikad baik tersebut harus berdasarkan prinsip negotia bona fidesyaitu suatu prinsip yang mendalilkan bahwa para pihak tidak hanya terikat pada apa yang secara tegas mereka nyatakan atau perjanjikan, tetapi juga terhadap apa yang menurut kepatutan (equitas) menuntut pihakpihak untuk melaksanakannya walaupun tidak secara tegas diperjanjikan.139 Maka Pasal 1135 Civil code Perancis mewajibkan keterikatan para pihak untuk tidak hanya terikat terhadap apa yang secara tegas diperjanjikan, tetapi juga terhadap kepatutan (equite), kebiasaan, atau hukum yang memberikan suatu kewajiban menurut hakekat (nature) perjanjian mereka itu. Prinsip negotia bona fides yang dianut Perancis kemudian diadopsi Belanda, dan di Indonesia melalui Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata dinyatakan bahwa perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik (zijmoeten to goeder trouw worden ten uitvoer verklaart).140 Tentang tidak adanya definisi penilaian ahli ataupun penasihat ahli di dalam butir 10 Pasal 1 dan Pasal 6 ayat (3) dan (4) Undang-Undang No. 30 Tahun 1999, tidaklah berarti lembaga tersebut tidak dapat diterapkan.141 Di dalam praktik, sebelum para pihak sepakat untuk mengadakan mediasi142atau permohonan mengadakan arbitrase 138

Ridwan Khairandy, Ibid., hlm. 348 Ibid.,hlm.191. 140 Ibid., hlm.192. 141 Penilaian ahli (Expert Testimony) adalah pendapat dari seorang yang memiliki keterampilan khusus atau suatu ilmu pengetahuan tertentu, profesi tertentu, atau pekerjaan yang tidak lazim bagi kebanyakan orang, dan diperoleh melalui keahlian yang berdasarkan studi khusus atau pengalaman (terjemahan bebas Black's Law Dictionar : Definition of the terms and phrases of America and English Jurisprudence Ancient and Modern. Abridge Fifth Edition,st. Paul, Minn. West Publishing Co., 1983, hal. 298.: "Expert testimony. Opinion evidence of some person who possesses special skill or knowledge in some sciene, proffesion or business which is not common to the everage man and which is possesses by expert by reason of his special study or experince". 142 Husseyn Umar,Op.cit.,hlm.71: "Hasil mediasi merupakan hasil kesepakatan yang dicapai secara sukarela oleh para pihak. Apabila hasil mediasi tersebut bersifat suatu 139

182 Hukum Kepailitan di Indonesia

atau bahkan mengajukan gugatan ke pengadilan, adakalanya para pihak sepakat untuk meminta pendapat atau nasihat kepada seorang ahli atau penilaian ahli, ataupun jasa-jasa baik yang tidak mengikat para pihak. Artinya, kesimpulan akhir (resume/concluded) dari hasil penilaian ahli atau pendapat ahli diserahkan kepada para pihak. Umpamanya saja untuk penilaian yang bersifat teknis, di Indonesia dapat dimohonkan penilaian dan pendapat kepada PT. Superintending Company of Indonesia atau Sucofindo. Pendapat ahli ada juga yang mengikat (binding opinion) seperti yang dapat diselenggarakan oleh BANI atas permohonan para pihak. Bedanya, terhadap binding opnion yang diputuskan oleh BANI, para pihak terikat pada pendapat BANI, dan siapa saja dari mereka yang bertindak bertentangan dengan pendapat BANI tersebut, akan dianggap melanggar perjanjian.143Menurut Priyatna Abdurrasyid, pencarian fakta independen adalah salah satu cara penyelesaian sengketa yang melibatkan investigasi oleh ahli yang netral tentang masalah fakta khusus, teknis dan / atau hukum, dan setelah itu jika diperlukan dilakukan mediasi, dan jika lebih diperlukan lagi dapat diteruskan ke pengadilan atau arbitrase.144 Mengenai jasa jasa baik, maka dengan mensitir pendapat W.Poeggel dan E. Oeser145 serta Peter Behrens,146 Huala perjanjian dapat dilaksanakan sesuai dengan ketentuan - ketentuan hukum perjanjian. Di negara - negara tertentu (di Indonesia: Iihat Pasal 6 ayat [ 7 ] Undang - Undang No. 30 Tahun 1999) hasil mediasi harus didaftarkan di Pengadilan dan dapat dimintakan eksekusi oleh Pengadilan. 143 Pendapat mengikat & klausula arbitrase, Rules and Procedures BANI,hlm.76. 144 Priyatna Abdurrasyid, Op.cit.,hlm.24-25. 145 W.Poeggel and E.Oeser, Methods of diplomatic Settlement, dalam Mohammed Bedjaoui (ed). International Law. Achievements and Prospects, Dordrecht: Martinus Nijhoff and UNESCO, 1991, hlm. 515. : "jasa jasa baik adalah cara penyelesaian sengketa melalui atau dengan bantuan pihak ketiga. Pihak ketiga ini berupaya agar para pihak menyelesaikan sengketa dengan negosiasi. Jadi fungsi utama jasa baik ini adalah mempertemukan para pihak sedemikian rupa sehingga mereka mau bertemu, duduk bersama, dan bernegosiasi." (dalam : Huala Adolf, Hukum penyelesaian Sengketa Intemasional, Op.cit. , hlm. 21). 146 Peter Behrens, Alternative Methods of Dispute Settlement in International Economic Relations, dalam Ernst-Ulrich Petersman and Gunther Jaenicke, Adjudication of International Trade Dispute in International and National Economic Law, Fribourg U.P., 1992,hlm.17: Keikutsertaan pihak ketiga dalam suatu penyelesaian sengketa dapat dua

Hukum Kepailitan di Indonesia 183

Adolfmenyatakan bahwa jasa -jasa baik adalah cara penyelesaian sengketa internasional yang dikenal dalam praktik kenegaraan yang sekarang juga telah dikenal dalam praktik penyelesaian antara pihak-pihak swasta.147 Pemaparan tentang jasa-jasa baik tersebut, membuktikan bahwa jasa-jasa baik yang terselenggara untuk kepentingan suatu penyelesaian sengketa bisnis adalah bersifat universal dan sudah ada sejak peradaban manusia. Inisiatif dan itikad baik, jasa-jasa baik mengutamakan dialog dalam bentuk yang paling sederhana, sehingga para pihak yang berselisih paham bersepakat untuk menyelesaikan sengketa mereka dihadapan pihak ketiga yang tindakannya bersifat pasif dan tidak memutus, namun dipercaya tidak memihak sebagai cara menjaga kerukunan kehidupan masyarakat yang beradab, berdasarkan kepatutan dan keadilan (ex aequo et bono). Definisi tentang penasihat ahli ataupun penilaian ahli serta definisi jasa-jasa baik yang hidup dalam masyarakat sebagai cara penyelesaian sengketa bisnis tidak terdapat di dalam butir 10 Pasal 1 dan Pasal 6 Undang-Undang No. 30 Tahun 1999, dan hanya dapat dipahami melalui literatur, maka tidaklah demikian terhadap terminologi tentang mediasi yang dapat diketahui melalui undangundang dan peraturan hukum di bawah undang-undang serta literatur. Undang-Undang No. 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf memberikan definisi mediasi.148 Sedangkan Undang-Undang Ketenagakerjaan secara tegas menyebutkan bahwa jalur penyelesaian di luar pengadilan dapat ditempuh arbitrase atau

macam, yaitu atas permintaan para pihak atau inisiatif pihak ketiga itu sendiri yang menawarkan jasa jasa baiknya guna menyelesaikan sengketa. Syarat mutlak yang harus ada adalah kesepakatan para pihak. (Dalam : Huala Adolf, Hukum penyelesaian Sengketa Intemasional, Op.cit, hlm. 21). 147 Huala Adolf, Loc.cit. 148 Penjelasan Pasal 62 ayat (2) Undang-undang No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf: "yang dimaksud dengan mediasi adalah penyelesaian sengketa dengan bantuan pihak ketiga (mediator) yang disepakati oleh para pihak yang bersengketa. Dalam hal mediasi tidak berhasil menyelesaikan sengketa, maka sengketa tersebut dapat dibawa kepada badan arbitrase syariah."

184 Hukum Kepailitan di Indonesia

mediasi.149 Undang-undang ini mendefinisikan mediasi maupun konsiliasi hubungan industrial.150 Selain di dalam undang-undang, definisi mediasi terdapat pada butir 7 Pasal 1 Peraturan Mahkamah Agung RI No. 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pasal 1 Peraturan Bank Indonesia Pengadilan151 dan pada butir 5 No.8/51PBI/2006 tentang Mediasi Perbankan.152 Alan Redfern dan Martin Hunter serta Nigel Blackaby dan Constantine Partasides memaparkan keberadaan lembaga hukum mediasi dan lembaga hukum konsiliasi. Mereka menyatakan bahwa mediasi terletak pada "jantung". Alternatif Penyelesaian Sengketa (Mediation lies at the heart of ADR). Artinya, inti dari Alternatif Penyelesaian Sengketa adalah mediasi.153 Para pihak yang telah gagal dalam memutus sengketa mereka dapat meminta bantuan kepada orang ketiga yang independen atau mediator. Selanjutnya mediator akan mendengarkan garis besar materi sengketa, dan kemudian ia akan sering bolak-balik (shuttling) bertemu dengan para pihak secara terpisah mencoba membujuk para pihak untuk mengurangi posisi 149

Ahmadi Miru, Hukum Kontrak Perancangan Kontrak, PT.RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2007, hlm. 118. 150 Pasal 1 butir 11 dan butir 13 Undang-undang No.2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial: "Mediasi Hubungan Industrial yang selanjutnya disebut mediasi adalah penyelesaian perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, dan perselisihan antar serikat pekerja / serikat buruh hanya dalam satu perusahaan melalui musyawarah yang ditengahi oleh seorang atau lebih mediator yang netral" ; Pasal 1 butir 13: "Konsiliasi Hubungan Industrial yang selanjutnya disebut konsiliasi adalah penyelesaian perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja atau perselisihan antar serikat pekerja / serikat buruh hanya dalam satu perusahaan melalui musyawarah yang ditengahi oleh seorang atau Iebih konsiliator yang netral. 151 Butir 7 Pasal 1 Peraturan Mahkamah Agung RI No.1 Tahun 2008: "Mediasi adalah cara penyelesaian sengketa melalui proses perundingan untuk memperoleh kesepakatan para pihak dengan dibantu oleh mediator". 152 Butir 5 Pasal 1 Peraturan Bank Indonesia No.8/5/PBI/2006 tentang Mediasi Perbankan: "Mediasi adalah proses penyelesaian sengketa yang melibatkan mediator untuk membantu para pihak yang bersengketa guna mencapai penyelesaian dalam bentuk kesepakatan sukarela terhadap sebagian ataupun seluruh permasalahan yang disengketakan." 153 Alan Redfern dan Martin Hunter dengan Nigel Blackaby dan Constantine Partides, Law and Practice of International Commercial Arbitration, Forth edition, Sweet & Maxwell Limited, 2004, hlm. 44.

Hukum Kepailitan di Indonesia 185

masing-masing.154 Tugas mediator adalah mencoba mempengaruhi dan memusatkan kepentingan-kepentingan yang nyata dari apa yang dipahami masing-masing pihak, menjadi suatu perjanjian atau hak hukum.155Sedangkan terminologi mediasi dan konsiliasi seakan-akan digunakan silih berganti (interchangeable), dan belum ada kesepakatan tentang bagaimana kedua istilah hukum tersebut akan didefinisikan.156Menurut sejarahnya, keterlibatan konsiliator di dalam penyelesaian sengketa perdata selangkah lebih jauh ketimbang mediator, dan pada hakekatnya, seorang konsiliator menyusun dan mengusulkan perjanjian yang ia pertimbangkan menjadi hasil suatu persetujuan secara adil. Praktiknya kedua istilah tersebut telah melebur, walaupun para ahli hukum common law cenderung menyebut "mediasi", sedangkan para ahli hukum penganut civil law menyebutnya dengan "konsiliasi".157 Serupa tapi tak sama dengan pernyataan Alan Redfern C.s., Maralda H.Kairupan menyatakan bahwa kesepakatan mengenai terminologi mediasi dan konsiliasi masih belum ada, karena kedua kata tersebut digunakan silih berganti oleh penggunanya, sehingga menurutnya, lembaga konsiliasi adalah sama dengan lembaga mediasi.158 Menurut Priyatna Abdurrasyid, mediasi merupakan suatu proses damai dimana para pihak yang bersengketa menyerahkan penyelesaiannya kepada seorang mediator (seorang yang mengatur pertemuan antara 2 pihak atau lebih yang bersengketa) untuk mencapai hasil akhir yang adil, tanpa membuang biaya yang terlalu besar, akan tetapi efektif dan diterima sepenuhnya oleh kedua belah pihak yang bersengketa secara sukarela.159Priyatna Abdurrasyid juga mengingatkan dari sudut pandang hukum internasional publik bahwa lembaga mediasi adalah bersifat

154

Alan Redfern, Loc. cit. Ibid. 156 Ibid. 157 Ibid. 158 Maralda H. Kairupan, Court battles not the only way to settle business dispute, The Jakarta Post, May 23, 2007, hlm. 6. 159 Priyatna Abdurrasyid, Op.cit.,hlm. 34. 155

186 Hukum Kepailitan di Indonesia

universal dengan menunjuk Pasal 33 ayat (1) Piagam PBBsebagai dasar hukumnya, yaitu : “Pihak-pihak yang tersangkut dalam sesuatu pertikaian yang jika berlangsung terus menerus mungkin membahayakan pemeliharaan perdamaian dunia dan keamanaan internasional, pertama-tama harus mencari penyelesaian dengan jalan perundingan, penyelidikan, dengan mediasi, konsiliasi, arbitrasi, penyelesaian menurut hukum melalui badan-badan atau pengaturan-pengaturan regional, atau dengan cara damai lainnya yang dipilih mereka sendiri”.160 Hukum internasional publik dalam kontek tersebut, Sumaryo Suryokusumo menyatakan bahwa konsiliasi berbeda dengan mediasi. Konsiliasi melibatkan suatu badan independen yang khusus melakukan penyelidikan (enquiry), sedangkan mediasi dilakukan oleh pihak ketiga yang bertindak sebagai mediator. Cara ini para pihak dapat menyetujui untuk menyerahkan pertikaiannya kepada suatu Komisi Konsiliasi yang sudah ada atau melalui konsiliator tunggal dengan maksud untuk menyelidiki aspek-aspek pertikaiannya.161 W.Poeggel dan E. Oeser mendalilkan bahwa mediasi merupakan suatu cara penyelesaian sengketa melalui pihak ketiga yang disebut dengan mediator. la bisa negara, organisasi internasional (misalnya PBB) atau individu (politikus), ahli hukum, atau ilmuwan. Mediator ikut serta secara aktif dalam proses negosiasi, dan dalam kapasitasnya sebagai pihak yang netral berupaya mendamaikan para pihak dengan memberikan saran penyelesaian sengketa.162 Selanjutnya dengan mensitir Pasal 3 dan 4 the Hague convention on the peaceful settlement of dispute (1907) W.Poggel dan E.Oeser menyatakan bahwa tugas utama mediator dalam upayanya menyelesaikan suatu sengketa adalah mencari suatu kompromi yang diterima para pihak. Menurutnya, usulan-usulan yang diberikan mediator janganlah dianggap sebagai suatu tindakan yang tidak bersahabat terhadap 160

Priyatna Abdurrasyid, Ibid.,hlm. 35. Sumaryo Suryokusumo, Studi Kasus Hukum Intemasional, PT. Tatanusa, Jakarta, 2007, hlm. 220 162 W. Poeggel dan E.Oeser, Loc.cit 161

Hukum Kepailitan di Indonesia 187

suatu pihak (yang merasa dirugikan).163 John Collier dan Vaughn Lowe menyatakan bahwa salah satu fungsi utama mediator adalah mencari berbagai solusi, mengindentifikasi segala hal yang dapat disepakati para pihak, dan membuat usulan-usulan yang dapat mengakhiri sengketa. Proses mediasi para pihak tidak harus menempuh prosedur khusus. Mulai dari proses pemilihan mediator, cara mediasi, diterima atau tidaknya usulan-usulan yang diberikan mediator, sampai pada berakhirnya tugas mediator, para pihak bebas memilih atau menentukan prosedurnya. Yang terpenting adalah kesepakatan para pihak. Menurut Gunawan Widjaja, mediasi adalah suatu proses penyelesaian sengketa alternatif dimana pihak ketiga yang bersifat pasif dimintakan bantuannya untuk membantu proses penyelesaian sengketa, tetapi tidak berwenang memberikan suatu masukan, apa lagi memutus perselisihan yang terjadi. Jadi dalam mediasi, mediator hanya berfungsi sebagai penyambung lidah dari para pihak yang bersengketa, karena kadangkala para pihak enggan untuk bertemu. Oleh karena itu, mediasi tunduk sepenuhnya pada kesepakatan para pihak.164 Sedangkan konsiliasi menurutnya adalah proses penyelesaian sengketa alternatif yang melibatkan seorang pihak ketiga atau lebih, yang disebut konsiliator, dan secara profesional sudah dapat dibuktikan kehandalannya. Peran Konsiliator cukup berarti bagi para pihak, sebab konsiliator berkewajiban untuk menyampaikan pendapatnya mengenai duduk persoalan dari sengketa yang sedang dihadapi, alternatif cara penyelesaian sengketa yang dihadapi, bagaimana cara penyelesaian yang baik, apa keuntungan dan kerugian bagi para pihak, serta akibat hukumnya.165 Meskipun konsiliator mempunyai kewenangan menyampaikan pendapatnya secara terbuka dan tidak memihak, tetapi ia bersifat pasif dan tidak berhak membuat putusan. Segala proses konsiliasi akan diambil 163

Ibid. Gunawan Widjaja, Alternatif Penyelesaian Sengketa, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2005, hlm. 2-3. 165 Gunawan Wijaya, Loc.cit. 164

188 Hukum Kepailitan di Indonesia

sepenuhnya oleh para pihak, dan dituangkan dalam bentuk kesepakatan.166 Menurut Munir Fuady, walaupun istilah mediasi dan konsiliasi didalam praktik sering saling dipertukarkan, tetapi peranan seorang mediator dengan konsiliator adalah berbeda. Menurutnya, tugas konsiliator adalah sebagai pihak yang hanya memberikan fasilitas (fasilitator) untuk melakukan komunikasi di antara pihak, seperti waktu dan tempat pertemuan, mengarahkan pembicaraan dan menyampaikan pesan secara terpisah, sehingga diharapkan dapat ditemukan solusi oleh para pihak itu sendiri.167Sebaliknya tidaklah demikian dengan mediasi, Munir menyatakan bahwa mediator melakukan hal-hal yang lebih jauh dari konsiliator, karena mediator dapat menyarankan jalan keluar atau proposal penyelesaian sengketa, hal mana secara teoretis tidak ada pada kewenangan konsiliator.168 Sebaliknya, mediator berwenang untuk mengusulkan solusi penyelesaian sengketa, akan tetapi kedua lembaga hukum tersebut tidak berwenang untuk memutus perkara, karena keputusan tetap terletak di tangan para pihak yang bersengketa.169 Berkaitan dengan pendapat hukum konsiliator yang bersifat tidak mengikat (non binding opinion) para pihak tersebut, maka pembuat undang-undang di Indonesia memasukkan suatu lembaga hukum yang khas dalam upaya mengakomodasi penyelesaian sengketa bisnis. Lembaga hukum termaksud adalah penyelesaian sengketa bisnis melalui pendapat ahli yang mengikat (binding opinion), yang diatur pada Pasal 1 butir 8 dan Pasal 52 Undang-Undang No 30 Tahun 1999. Ahli yang memberikan pendapat mengikat dan dituangkan secara tertulis atas permohonan para pihak tersebut, baik yang tunggal atau dalam bentuk majelis ahli, harus terdaftar sebagai anggota arbiter pada arbitrase terlembaga (permanent arbitration 166

Loc. cit. Munir Fuady, Arbitrase Nasional, Alternatif Penyelesaian Sengketa, Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000, hlm. 52. 168 Loc. cit. 169 Ibid. 167

Hukum Kepailitan di Indonesia 189

body)170seperti di BANI, BAPMI maupun BASYARNAS. Ahli yang dipercaya oleh para pihak tersebut, berdasarkan know how yang ia kuasai, kemudian memberikan penjelasan penafsiran terhadap suatu ketentuan yang kurang jelas atas suatu perjanjian bisnis, ataupun adanya keadaan baru yang dapat mempengaruhi berubahnya klausula perjanjian bisnis termaksud. Oleh sebab itu, tindakan salah satu pihak yang bertentangan dengan pendapat mengikat ini akan dianggap ingkar janji.171 Suatu sengketa bermula dari timbulnya perselisihan paham yang kemudian berlarut-larut tidak terselesaikan antara para subjek hukum yang sebelumnya telah mengadakan suatu hubungan hukum perjanjian, sehingga pelaksanaan hak dan kewajiban yang ditimbulkannya berjalan tidak harmonis.172 Perselisihan paham tersebut merupakan konflik atau pertentangan para pihak yang harus segera diselesaikan dengan baik, agar kesepakatan hukum yang ada dapat terlaksana dengan baik pula.173 Meskipun suatu sengketa berkaitan dengan hak dan kewajiban, akan tetapi acapkali permasalahannya bermula pada perbedaan pandangan para pihak terhadap fakta yang menentukan

170

Pasal 52 Undang-Undang No. 30 Tahun 1999: "Para pihak dalam suatu perjanjian berhak untuk memohon pendapat yang mengikat dari lembaga arbitrase atas hubungan hukum tertentu dari suatu perjanjian". Selanjutnya Pasal 53 berbunyi: "Terhadap pendapat yang mengikat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 tidak dapat dilakukan perlawanan melalui upaya hukum apapun." 171 Penjelasan Pasal 52 Undang - Undang No. 30 Tahun 1999: "Tanpa adanya suatu sengketa pun, lembaga arbitrase dapat menerima permintaaan yang diajukan oleh para pihak dalam suatu perjanjian, untuk memberikan suatu pendapat yang mengikat (binding opinion) mengenai suatu persoalan berkenaan dengan perjanjian tersebut. Misalnya mengenai penafsiran ketentuan yang kurang jelas, penambahan atau perubahan pada ketentuan yang berhubungan dengan timbulnya keadaan baru dan lain-lain. Dengan diberikannya pendapat oleh lembaga arbitrase tersebut kedua belah pihak terikat padanya dan salah satu pihak yang bertindak bertentangan dengan pendapat itu akan dianggap melanggar perjanjian 172 Suyud Margono, op.cit., hlm. 34 173 Agnes M.Toar, Uraian Singkat tentang Arbitrase Dagang di Indonesia, Seri DasarDasar Hukum Ekonomi 2, Arbitrase di Indonesia, Penerbit Ghalia Indonesia, 1995, hlm. 73

190 Hukum Kepailitan di Indonesia

hak dan kewajiban tersebut.174 R. Otje Salman menyatakan bahwa dalam setiap hubungan hukum perdata terbuka kemungkinan terjadinya sengketa, terutama disebabkan oleh keadaan di mana pihak yang satu mempunyai masalah dengan pihak yang lainnya.175Selanjutnya Otje menyitir pendapat Komar Kantaatmadja yang menyatakan bahwa sengketa terjadi apabila salah satu pihak menghendaki pihak yang lainnya untuk melakukan suatu perbuatan atau tidak melakukan sesuatu perbuatan, tetapi pihak lainnya menolak berlaku demikian. Sengketa tersebut harus diselesaikan untuk menjaga keseimbangan hubungan yang telah terbentuk, yakni harus dilakukan menurut hukum atau berdasarkan kesepakatan awal diantara para pihak.176 Sementara itu, Valerine J.L. Kriekhoff merujuk pada pendapat L. Nader dan H.F. Todd yang secara eksplisit membedakan antara pra-konflik, konflik dan sengketa.177 Sengketa adalah kelanjutan dari konflik atau pertentangan yang tidak dapat diselesaikan sehingga mengganggu hubungan hukum para pihak.178 Hakekatnya dalam dunia bisnis tidak ada seorangpun dari para pelaku bisnis yang ingin kebahagiannya terusik karena transaksi bisnis mereka terganggu oleh suatu sengketa.179 Keterlibatan pada suatu sengketa bisnis secara psikologis pasti akan membuat ketakutan dan kekhawatiran para pelaku bisnis.180

174

Huala Adolf, Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, 2004, hlm. 20 R.Otje Salman,Kontekstualisasi Hukum Adat Dalam Proses Penyelesaian Sengketa, dalam Prospek Dan Pelaksanaan Arbitrase Di Indonesia, Mengenang Alm. Prof. Dr. Komar Kantaatmadja, SH.,LL.M, Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, hlm. 3. 176 R.Otje Salman, Loc.cit. 177 Valerine J.L. Kriekhoff, Mediasi(Tinjauan dari Segi Antropologi Hukum); (dalam: Antropologi Hukum Sebuah Bunga Rampai, Penyunting T.Ihromi, Penerbit Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2003, hlm. 225 178 Siti Megadianty Adam dan Takdir Rahmadi, Sengketa dan Penyelesaiannya, Buletin Musyawarah Nomor 1 Tahun I. Jakarta: Indonesia Center for Environ-mental Law, 1997, hlm. 1 179 Pengusaha Lebih Suka Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa. Harian Kompas, 19 Pebruari 1995, hlm. 6 180 Thomas E.Crowly,Settle It Out of Court, New York: Jhon Willey & Sons, Inc.1994, hlm 22-24: (Disadur dan diterjemahankan oleh Erman Rajagukguk : Penyelesaian Sengketa 175

Hukum Kepailitan di Indonesia 191

Ketakutan dan kekhawatiran tersebut dikarenakan selain adanya ancaman hukuman terhadap berkurangnya aset atau bahkan kebangkrutan bisnis, ancaman kerugian yang bersifat immateril adalah beban utama yang sangat ditakuti, karena kerugian immateril pada dasarnya merupakan rusak dan hilangnya reputasi, bonafiditas serta kiprah para pelaku bisnis yang telah di bangun sejak lama. Idealnya, tidak seorangpun dari para pelaku bisnis ingin terlibat pada suatu sengketa bisnis dan menderita kerugian, baik kerugian secara materil maupun kerugian bersifat immateril. Namun demikian, terjadinya konflik bisnis yang kemudian berkembang menjadi sebuah sengketa bisnis yang tak terhindarkan181 pada akhirnya akan menyadarkan para pelaku bisnis itu sendiri, bahwa terhadap suatu sengketa yang timbul dalam pelaksanaan kontrak bisnis haruslah dihadapi dan dijadikan sebagai bagian dari dinamika kelangsungan bisnis itu sendiri. Sengketa bisnis wajib diselesaikan.182 Transaksi bisnis pada umumnya para pelaku bisnis secara preventif selalu mencantumkan lembaga hukum penyelesaian sengketa bisnis sebagai cara bagaimana menyelesaikan perselisihan paham atas suatu hubungan hukum atau perjanjian yang telah mereka sepakati sebelumnya, dan diselesaikan berdasarkan prinsip-prinsip hukum penyelesaian sengketa bisnis. Penyelesaian sengketa bisnis yang akan di tempuh oleh para pihak mempunyai karakteristik penyelesaian sengketa yang beragam. Keadaan tersebut merupakan konsekuensi logis, karena suatu sengketa bisnis berawal dari suatu hubungan hukum bisnis tertentu yang terkait dengan suatu sistem hukum tertentu, sehingga secara universal sengketa bisnis lahir dari aneka perjanjian bisnis. Ihwal ini menunjukkan bahwa suatu penyelesaian

Alternatif, Negosiasi- Mediasi-Konsiliasi - Arbitrase, Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2005,hlm.2) 181 Ade Maman Suherman, Aspek Hukum Dalam Ekonomi Global, Penerbit Ghalia Indonesia, Bogor, 2005,hlm.46 182 Sanusi Bintang dan Dahlan,Pokok-Pokok Hukum Ekonom dan Bisnis, Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000, hlm. 113

192 Hukum Kepailitan di Indonesia

sengketa bisnis juga tidak dapat dipisahkan dan budaya hukum penyelesaian sengketa para pihak yang bersengketa itu sendiri.183 Lawrence M. Friedman menyatakan bahwa budaya hukum adalah sikap manusia terhadap hukum dan sistem hukumkepercayaan, nilai, pemikiran, serta harapannya, atau dengan kata lain ia menyimpulkan bahwa bagian dari budaya umum itulah yang menyangkut sistem hukum, serta setiap masyarakat, setiap negara dan setiap komunitas mempunyai budaya hukum, sehingga selalu ada sikap dan pendapat mengenai hukum.184 Priyatna Abdurrasyid menyatakan bahwa terjadinya suatu sengketa antara lain berhubungan dengan perbedaan persepsi mengenai keadilan, konsep keadilan dan moralitas, budaya, nilai-nilai dan sikap.185Oleh karena itulah budaya hukum seluruh pihak yang terlibat dalam suatu penyelesaian sengketa bisnis sangat mempengaruhi pemeriksaan, mufakat serta putusan yang akan diambil. Universalitas peranan budaya hukum penyelesaian sengketa bisnis, sangatlah penting bagi para pihak untuk menentukan sikap terhadap tempat dan cara penyelesaian sengketa bisnis, serta memilih dan menentukan peran pihak ketiga yang bertindak untuk menengahi (mediation), atau yang mendamaikan (conciliation), atau yang memutus (arbitration or litigation) sengketa bisnis sebagai sarana bagi terciptanya kualitas pemeriksaan dan putusan sengketa yang baik. Berbagai macam cara penyelesaian sengketa bisnis yang ada, pada dasarnya dapat dibedakan menjadi beberapa macam, yaitu secara adjudikatif, konsensual, dan quasi adjudikatif.186 183 Erman Rajagukguk, Arbitrase Dalam Putusan Pengadilan, Penerbit Chandra Pratama, Jakarta, 2000, hIm. 103: "Di negara - negara berkembang, pengadilan adakalanya dianggap perpanjangan tangan kekuasaan, bahkan di beberapa negara pengadilan dianggap tidak bersih, sehingga putusan-putusannya diinggap telah memihak yang mendatangkan ketidakadilan. Alasan-alasan budaya, menyebabkan masyarakat cenderung mengesampingkan pengadilan sebagai tempat penyelesaian sengketa yang timbul diantara mereka. 184 Lawrence M. Friedman, American Law An Introduction, Second Edition, Hukum Amerika Sebuah Pengantar, Penerjemah Wishnu Basuki, Penerbit T.Tatanusa, Jakarta, Indonesia, 2001,hlm. 8-9. 185 H.Priyatna Abdurrasyid, Op.cit.,hlm. 5-6. 186 WiwiekAwiati, Conflict Transformation, Bahan Pelatihan Hukum ADR, Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), Jakarta, 2000.

Hukum Kepailitan di Indonesia 193

1. Adjudikatif Mekanisme penyelesaian secara adjudikatif ditandai dengan kewenangan pengambilan keputusan oleh pihak ketiga dalam sengketa yang berlangsung di antara para pihak. Pihak ketiga dapat bersifat voluntary (sukarela) ataupun involuntary (tidak sukarela). Umumnya penyelesaian cara ini menghasilkan putusan yang bersifat win-lose solution. Penyelesaian secara adjudikatif dibedakan menjadi dua, yaitu adjudikatif publik dan adjudikatif privat. Adjudikatif publik dilakukan melalui institusi pengadilan negara (litigasi). Pihak ketiga dalam hal ini bersifat involuntary (tidak sukarela), karena hakimnya sudah disiapkan oleh pengadilan dan para pihak tidak bisa memilih dan menentukan sendiri hakimnya. Adjudikatif privat yang dilakukan melalui arbitrase (perwasitan). Pihak ketiga di sini bersifat voluntary (sukarela), karena arbiter atau wasitnya dapat dipilih dan ditentukan sendiri oleh pihak-pihak yang bersengketa. Lembaga arbitrase dapat dikatakan sebagai tingkat atau prosedur penyelesaian yang tertinggi dari berbagai mekanisme penyelesaian perkara di luar pengadilan.

2. Konsensus/Kompromi Mekanisme penyelesaian sengketa secara konsensual ditandai dengan cara penyelesaian sengketa secara kooperatif/kompromi untuk mencapai solusi yang bersifat winwin solution. Kehadiran pihak ketiga kalaupun ada tidak memiliki kewenangan mengambil keputusan. Termasuk dalam hal ini misalnya negosiasi (perundingan), mediasi (penengahan), dan konsiliasi (permufakatan) 3. Quasi Adjudikatif Mekanisme penyelesaian sengketa yang merupakan kombinasi antara unsur konsensual dan adjudikatif. Termasuk dalam mekanisme ini antara lain med-arb, mini trial, ombudsman,

194 Hukum Kepailitan di Indonesia

dan lain-lain. Model penyelesaian ini juga sering disebut adjudikasi semu atau penyelesaian hibrida. Pembagian mekanisme penyelesaian sengketa bisnis dapat pula dibedakan menjadi dua, yaitu melalui jalur litigasi dan jalur non litigasi.187 Sistem pengklasifikasian dari sengketa dan sarana penyelesaiannya, ada beberapa mekanisme atau sarana penyelesaian sengketa lebih cocok untuk jenis sengketa tertentu dibandingkan dengan jenis dan sarana sengketa yang lainnya. Pemahaman ini juga dapat secara sadar menyerahkan suatu sengketa ke arena penyelesaian sengketa yang berbeda, yang menggunakan sarana penyelesaian sengketa yang berbeda pula. Idealnya, dapat menciptakan suatu sistem yang mempertimbangkan, baik kepentingan pribadi maupun kepentingan umum dalam penyelesaian sengketa, sehingga para pihak dapat menyelesaikan setiap sengketa tertentu dengan metode penyelesaian sengketa yang paling tepat baginya. Sistem tersebut dibandingkan dengan hanya mengandalkan pada 1 (satu) metode penyelesaian sengketa yang sudah biasa dan khusus.188 Ajudikasi merupakan cara penyelesaian suatu sengketa melalui lembaga peradilan, sedangkan Alternative Dispute Resolution (ADR) adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yaitu penyelesaian sengketa di luar lembaga peradilan dengan cara seperti konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli. Ajudikasi, termasuk arbitrase; mediasi dan negosiasi merupakan bentuk primer atau pokok dari penyelesaian sengketa, yang memiliki karakteristik tersendiri yang berbeda satu sama lainnya. Maraknya kegiatan bisnis tidak mungkin dihindari adanya sengketa (dispute/difference) antara pihak-pihak yang terlibat. Secara konvensional penyelesaian dilakukan secara litigasi (melalui pengadilan), di mana posisi para pihak berlawanan satu sama lain. 187

Bambang Sutiyoso, op.cit., hlm 7-9 Garry Goodpaster. 1995. Tinjauan Terhadap Penyelesaian Sengketa, dalam Seri Dasar-dasar Hukum Ekonomi Arbitrase di Indonesia. Ghalia Indonesia, Jakarta, hlm. 3. 188

Hukum Kepailitan di Indonesia 195

Proses ini oleh kalangan bisnis dianggap tidak efektif, tidak efisien, terlalu formalistik, berbelit-belit, penyelesaiannya membutuhkan waktu lama, dan biayanya relatif mahal. Apalagi putusan pengadilan bersifat win-lose solution (menang-kalah), sehingga dapat merenggangkan hubungan kedua belah pihak di masa-masa yang akan datang. Menurut Garry Goodpaster, litigasi tidak cocok untuk sengketa yang bersifat polisentris atau sengketa yang melibatkan banyak pihak, banyak persoalan dan beberapa kemungkinan alternatif penyelesaian. Proses-proses litigasi mensyaratkan pembatasan sengketa dan persoalan-persoalan sehingga para hakim atau para pengambil keputusan lainnya dapat lebih siap membuat keputusan.189 3. Penyelesaian Sengketa Bisnis Melalui Pengadilan Niaga Dewasa ini, masyarakat terbiasa menyelesaikan kasus yang dihadapinya melalui badan peradilan. Sistem peradilan diatur dalam Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman No. 48 Tahun 2009. Pengadilan Negeri merupakan pelaksana kekuasaan kehakiman di Indonesia. Selain Pengadilan Negeri (Peradilan Umum), masih ada lingkungan peradilan yang lain, yaitu Pengadilan Agama, Pengadilan Militer, dan Pengadilan Tata Usaha Negara. Masing-masing lingkungan peradilan mempunyai kompetensi atau kewenangan masing-masing, baik kompetensi absolut (absolute competentie) dan kompetensi relatif (relative competentie). Kompetensi absolut adalah kewenangan badan peradilan dalam memeriksa dan mengadili mengenai perkara tertentu yang secara mutlak tidak dapat diperiksa oleh badan peradilan lainnya, baik dalam lingkungan peradilan yang sama maupun berbeda. Kompetensi relatif adalah kewenangan dari badan peradilan sejenis dalam memeriksa dan mengadili suatu perkara atas dasar letak atau lokasi wilayah hukumnya.

189

Garry Goodpaster,op.cit., hlm. 6

196 Hukum Kepailitan di Indonesia

Kompetensi absolut dari Pengadilan Negeri dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 50 UU No. 2 Tahun 1986 Tentang Peradilan Umum, yang menentukan bahwa Pengadilan Negeri bertugas dan berwenang memeriksa, mengadili, memutus dan menyelesaikan perkara pidana dan perkara perdata di tingkat pertama. Pemeriksaan perkara pidana dan perkara di tingkat kedua (banding) dilakukan oleh Pengadilan Tinggi. Pengadilan Negeri berwenang memeriksa sengketa bisnis, karena sengketa bisnis termasuk dalam ruang lingkup hukum perdata dalam arti luas. Pengecualian untuk sengketa bisnis yang berkaitan dengan masalah kepailitan dan penundaan pembayaran utang menjadi kewenangan Pengadilan Niaga untuk memeriksanya. Pengadilan Negeri sebagai bagian dari Peradilan Umum adalah peradilan bagi rakyat pada umumnya, yang bertugas memeriksa dan mengadili perkara pidana dan perkara perdata. Sedangkan peradilan lainnya termasuk peradilan khusus, karena hanya mengadili perkara tertentu saja dan diperuntukkan untuk golongan masyarakat tertentu pula. Peradilan Agama hanya berwenang memeriksa perkara perdata Islam bagi orang-orang yang memeluk agama Islam. Peradilan Militer hanya berwenang memeriksa dan mengadili perkara pidana dan tats usaha di lingkungan militer. Peradilan TUN berwenang memeriksa dan mengadili sengketa tata usaha negara antara rakyat dengan pejabat TUN. Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman Nomor 48 Tahun 2009 dan Pasal 8 Undang-Undang No. 2 Tahun 1986 jo UndangUndang No. 8 Tahun 2004 serta Perubahan Kedua UndangUndang tentang Peradilan Umum No. 49 Tahun 2009 telah membuka peluang bagi badan-badan peradilan yang sudah ada untuk membentuk peradilan khusus sebagai pengkhususan (diferensial/spesialisasi) pada masing-masing peradilan. Timbulnya Peradilan Khusus ini di Indonesia, bukan merupakan hal yang baru karena sebelum itu telah dibentuk beberapa peradilan khusus antara lain Peradilan Anak. Untuk menyelesaikan sengketa bisnis dengan cepat, maka dibentuklah Peradilan Niaga.

Hukum Kepailitan di Indonesia 197

Tanggal 22 April 1998 telah ditetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang No. 1 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang tentang Kepailitan. Perpu No. 1 Tahun 1998 tersebut telah pula diundangkan dengan menempatkannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia pada 22 April 1998, juga telah ditentukan dalam Perpu No. 1 Tahun 1998 tersebut yang merupakan penyempurnaan dengan jalan/cara mengadakan penambahan dan perubahan terhadap Failliessement Verordening Stb. 1905-217 jo Stb. Th. 1906-384, bahwa Perpu No. 1 Tahun 1998 tersebut akan mulai berlaku setelah 120 hari terhitung sejak tanggal diundangkannya, yang berarti akan berlaku secara efektif pada 20 Agustus 1998. Pasal 280 ayat 1 Perpu No. 1 Th. 1998 bahwa yang berwenang untuk memeriksa dan memutus permohonan pailit dan PKPU adalah Pengadilan Niaga yang berada di lingkungan Peradilan Umum. Pasal 281 ayat (1) menentukan: “Untuk pertama kali dengan undang-undang ini Pengadilan Niaga dibentuk pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat”. Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat telah dibentuk pada 22 April 1998 saat Perpu No. 1 Th. 1998 diundangkan. Secara khusus Pengadilan Niaga diatur dalam Bab III, Pasal 280-289 Undang-undang No. 4 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Perpu No. 1 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas UndangUndang Kepailitan menjadi Undang-Undang Kepailitan dan terakhir diubah dengan Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Pasal 300 ayat (1) Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 menyebutkan : Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini, selain memeriksa dan memutus permohonan pernyataan pailit dan penundaan kewajiban pembayaran utang, berwenang pula memeriksa dan memutus perkara lain di bidang perniagaan yang penetapannya dilakukan dengan undang-undang. 198 Hukum Kepailitan di Indonesia

Berdasarkan ketentuan Pasal 300 ayat (1) di atas, maka kompetensi Pengadilan Niaga adalah untuk memeriksa dan memutuskan perkara-perkara: 1. Permohonan pernyataan pailit 2. Permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang 3. Perkara lain di bidang perniagaan yang penetapannya dilakukan dengan Undang-undang. Dasar pertimbangan dibentuknya Peradilan Niaga oleh pembentuk Perpu No. 1 Tahun 1998 adalah mekanisme penyelesaian perkara permohonan kepailitan, PKPU, dari nantinya perkara-perkara dalam bidang niaga, yang cepat dan efektif. Tidak disebutkan adil dan terbuka karena penyelesaian perkara di Pengadilan Negeri pun sudah bersifat adil dan terbuka, sedangkan cepat dan efektif sengaja disebutkan karena jangka waktu penyelesaian perkara di Pengadilan Niaga telah ditetapkan dengan cepat yaitu untuk penyelesaian perkara kewajiban membayar (untuk penyelesaian perkara) di Pengadilan Negeri tidak ditentukan jangka waktunya, sedangkan efektif karena putusan perkara permohonan kepailitan bersifat serta merta (Putusan Pengadilan Negeri kecuali diputus dengan amar menyatakan putusan tersebut bersifat serta merta). Pertama kali telah dibentuk Pengadilan Niaga di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan daerah hukum seluruh wilayah Negara Republik Indonesia. Pembentukan Pengadilan Niaga selanjutnya dibentuk secara bertahap dengan Keputusan Presiden dengan memperhatikan kebutuhan dan kesiapan sumber daya manusia yang diperlukan yaitu dengan terbentuknya Pengadilan Niaga Semarang, Pengadilan Niaga Surabaya, Pengadilan Niaga Medan, Pengadilan Niaga Makasar. Hukum acara yang berlaku pada Pengadilan Niaga sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 299 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 (sebelumnya dalam Pasal 284 UndangUndang Nomor 4 Tahun 1998) adalah hukum acara perdata yang berlaku pada Pengadilan Negeri kecuali ditentukan lain dengan undang-undang yang berarti hukum acara yang berlaku pada

Hukum Kepailitan di Indonesia 199

Pengadilan Niaga yang ada di Jawa dan Madura adalah HIR dan untuk Pengadilan Niaga yang ada di luar Jawa adalah RBg. Upaya hukum terhadap Putusan Pernyataan Pailit dan PKPU adalah Kasasi dan permohonan PK dengan alasan dalam Pasal 295 ayat (2) huruf a dan b Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004, dapat diajukan apabila : a. Setelah perkara diputus ditemukan bukti baru yang bersifat menentukan yang pada waktu perkara diperiksa di Pengadilan sudah ada, tetapi belum ditemukan; atau b. Dalam putusan hakim yang bersangkutan terdapat kekeliruan yang nyata. Pengadilan Niaga maupun pada Mahkamah Agung perkara ditangani oleh majelis hakim. Pada Mahkamah Agung akan dibentuk majelis hakim khusus untuk menangani perkara permohonan kepailitan dan perkara permohonan PKPU. Perkaraperkara kepailitan dan hak kekayaan intelektual yang diperiksa Mahkamah Agung pada umumnya telah ditentukan majelis tetap yang ditetapkan oleh ketua Mahkamah Agung. 4. Kompetensi Pengadilan Niaga Dalam Perkara Kepailitan Berlakunya Undang-Undang Kepailitan telah memindahkan kewenangan mutlak Pengadilan Umum untuk memeriksa permohonan pailit dengan menetapkan Pengadilan Niaga sebagai pengadilan yang memiliki kewenangan untuk menerima permohonan kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang. Dasar utama kewenangan mutlak ini adalah untuk pertama kali berdasarkan pada Penjelasan Pasal 280 ayat (1) UndangUndang No. 4 Tahun 1998 jo. Perpu No. 1 Tahun 1998, yang menyebutkan bahwa: "....semua permohonan pernyataan pailit dan penundaan kewajiban pembayaran utang yang diajukan setelah berlakunya undang-undang tentang kepailitan sebagaimana diubah oleh Peraturan Pemerintah Pengganti undang-undang ini hanya dapat diajukan kepada Pengadilan Niaga. " Kewenangan Pengadilan Niaga sampai saat diundangkannya Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 merupakan kewenangan 200 Hukum Kepailitan di Indonesia

menyeluruh terhadap seluruh perkara kepailitan dan aspek-aspek terkait lainnya. Seperti actio paulina, verifikasi utang, dan lain sebagainya merupakan kewenangan Pengadilan Niaga, tanpa perlu melakukan prosedur penunjukan kembali (renvoi) ke Pengadilan Umum. Undang-Undang Kepailitan menyatakan bahwa untuk pertama kali Pengadilan Niaga dibentuk pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, hal ini berarti seluruh permohonan pailit yang diajukan terhadap debitor yang berdomisili diseluruh wilayah Indonesia harus diajukan ke Pengadilan Niaga, pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, tapi setelah terbentuknya Pengadilan Niaga di Semarang, Surabaya, Medan, Makasar maka kompetensi relatif Pengadilan Niaga Jakarta Pusat menjadi terbagi kewenangannya sesuai wilayah yang ditentukan dalam Keputusan Presiden. Pengadilan Niaga memeriksa dan memutus perkara pada tingkat pertama dengan hakim majelis. Menyangkut perkara lain di bidang perniagaan, Ketua Mahkamah Agung dapat menetapkan jenis dan nilai perkara yang pada tingkat pertama diperiksa dan diputus oleh hakim tunggal, dalam menjalankan tugasnya, Hakim Pengadilan Niaga dibantu oleh seorang Panitera atau seorang Panitera Pengganti dan Juru Sita. Hakim Pengadilan Niaga diangkat berdasarkan surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung. Disamping itu dengan Keputusan Presiden atas usul Ketua Mahkamah Agung, pada Pengadilan Niaga di tingkat pertama dapat juga diangkat seseorang yang ahli sebagai hakim ad hoc. Syarat-syarat untuk dapat diangkat sebagai Hakim Pengadilan Niaga disebutkan dalam Pasal 302 ayat (2), sebagai berikut : a. telah berpengalaman sebagai hakim dalam lingkungan Peradilan Umum; b. mempunyai dedikasi dan menguasai pengetahuan di bidang masalah-masalah yang menjadi lingkup kewenangan Pengadilan Niaga; c. berwibawa, jujur, adil dan berkelakuan tidak tercela; dan d. telah berhasil menyelesaikan program pelatihan khusus sebagai hakim pada Pengadilan Niaga. Hukum Kepailitan di Indonesia 201

Dasarnya pemeriksaan perkara di Pengadilan Niaga dengan mendasarkan pada hukum acara perdata yang berlaku, kecuali ditentukan lain dengan undang-undang. Terhadap putusan Pengadilan Niaga di tingkat pertama yang menyangkut permohonan pernyataan pailit dan penundaan kewajiban pembayaran utang, hanya dapat diajukan kasasi kepada Mahkamah Agung, sedangkan terhadap putusan Pengadilan Niaga yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap, dapat diajukan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung. Permohonan peninjauan kembali dapat dilakukan, apabila: a. Terdapat bukti tertulis baru yang penting, yang apabila diketahui pada tahap persidangan sebelumnya, akan menghasilkan putusan yang berbeda; atau b. Pengadilan Niaga yang bersangkutan telah melakukan kesalahan berat dalam penerapan hukum.

1. Pengertian Penjamin Penjamin adalah pihak yang menjamin dan berjanji serta mengikatkan diri untuk dan atas permintaan pertama dan kreditor membayar utang secara tanpa syarat apapun dengan seketika dan secara sekaligus lunas kepada kreditor, termasuk bunga, provisi, dan biaya-biaya lainnya yang sekarang telah ada dan atau dikemudian hari terutang dan wajib dibayar oleh debitor. Seorang penjamin berkewajiban untuk membayar utang Debitor kepada kreditor manakala Debitor lalai atau cidera janji, penjamin baru menjadi Debitor atau berkewajiban untuk membayar setelah Debitor utama yang utangnya ditanggung cidera janji dan harta benda milik Debitor utama atau Debitor yang ditanggung telah disita dan dilelang terlebih dahulu tetapi hasilnya 202 Hukum Kepailitan di Indonesia

tidak cukup untuk membayar utangnya, atau Debitor utama lalai atau cidera janji sudah tidak mempunyai harta apapun. Maka berdasarkan ketentuan tersebut penjamin atau penanggung tidak wajib membayar kepada kreditor, kecuali Debitor lalai membayar. Pemberi jaminan adalah orang-orang atau badan hukum yang menyerahkan barang jaminan kepada penerima jaminan, dimana yang bertindak sebagai pemberi jaminan ini adalah orang atau badan hukum yang membutuhkan fasilitas kredit. Penanggungan utang atau borgtocht adalah suatu persetujuan dimana pihak ketiga guna kepentingan kreditor, mengikatkan dirinya untuk memenuhi kewajiban Debitor apabila Debitor bersangkutan tidak dapat memenuhi kewajibannya. Pasal 1820 KUHPerdata, “Penanggungan ialah suatu persetujuan dimana pihak ketiga demi kepentingan kreditor, mengikatkan diri untuk memenuhi perikatan debitor, bila debitor itu tidak memenuhi perikatannya”. Berdasarkan hal tersebut diatas menurut Pasal 1820 KUHPerdata, Pasal 1821 KUHPerdata, Pasal 1822 KUHPerdata, menyebutkan : a. Penjamin/penanggung adalah jaminan perorangan (security right in personal) yang diberikan: 1). Oleh pihak ketiga dan sukarela; 2). Guna kepentingan kreditor; 3). Untuk memenuhi kewajiban debitor bila ia tidak memenuhinya; b. Penjamin/penanggung adalah perjanjian asesor (accesoir), oleh karena itu : 1). Tidak ada penjamin/penangung tanpa perjanjian pokok yang sah; 2). Cakupan penjamin/panggung tidak boleh melebihi kewajiban debitor sebagaimana dimuat dalam perjanjian pokok; Berdasarkan uraian tersebut diatas dapat diketahui bahwa penjamin merupakan pihak yang menjamin dan berjanji serta mengikatkan diri untuk dan atas permintaan pertama dan kreditor membayar utang secara tanpa syarat apapun dengan seketika dan Hukum Kepailitan di Indonesia 203

secara sekaligus lunas kepada kreditor, termasuk bunga, provisi, dan biaya-biaya lainnya yang sekarang telah ada dan atau dikemudian hari terutang dan wajib dibayar oleh debitor. 2. Tujuan Adanya Jaminan Dalam Kepailitan Kwik Kian Gie menyebutkan bahwa tujuan jaminan yaitu untuk meyakinkan bank atau debitor, bahwa debitor mempunyai kemampuan untuk mengembalikan atau melunasi kredit yang diberikan kepadanya sesuai dengan persyaratan dan perjanjian kredit yang telah disepakati bersama.190 Dibutuhkannya jaminan dan agunan dalam suatu pemberian fasilitas kredit adalah semata-mata berorientasi untuk melindungi kepentingan kreditor, agar dana yang telah diberikannya dapat dikembalikan sesuai jangka waktu yang ditentukan. Dengan kata lain pihak pemberi dana (kreditor) terutama lembaga perbankan atau lembaga pembiayaan mensyaratkan adanya jaminan bagi pemberian kredit demi keamanan dan kepastian hukumnya. Jadi sudah pasti dengan tanpa adanya jaminan dari debitor maka tentu pihak kreditor tidak akan memberikan fasilitas kredit kepadanya. Ini berarti dalam dunia kredit jaminan mempunyai peran yang sangat penting. 191 Tujuan bersama pembuatan perjanjian penanggungan adalah untuk menjamin pelaksanaan perikatan debitor terhadap kreditor yang ada dalam suatu perjanjian lain yang hendak dijamin pelaksanaannya disebut juga perjanjian pokok, yang melahirkan perikatan-perikatan pokok, dengan demikian klausula perjanjian penanggungan adalah untuk memperkuat perjanjian pokoknya. Berdasarkan uraian tersebut diatas dapat diketahui bahwa tujuan adanya jaminan dalam kepailitan adalah untuk meyakinkan bank atau debitor, bahwa debitor mempunyai kemampuan untuk mengembalikan atau melunasi kredit yang diberikan kepadanya sesuai dengan persyaratan dan perjanjian kredit yang telah disepakati bersama untuk menjamin pelaksanaan perikatan debitor terhadap kreditor yang ada dalam suatu perjanjian lain 190

Kwik Kian Gie, Op.Cit., hlm. 16 Ibid

191

204 Hukum Kepailitan di Indonesia

yang hendak dijamin pelaksanaannya disebut juga perjanjian pokok, yang melahirkan perikatan-perikatan pokok, dengan demikian klausula perjanjian penanggungan adalah untuk memperkuat perjanjian pokoknya. 3. Bentuk-Bentuk Jaminan Dapat digolongkan menurut hukum yang berlaku di Indonesia dan dengan yang berlaku di luar negeri. Dalam Pasal 24 Undang-Undang No 14 Tahun 1967 tentang Perbankan ditentukan bahwa “Bank tidak akan memberikan kredit tanpa adanya jaminan”. Secara umum jaminan dibedakan atas 2 (dua) macam, yaitu: a. Jaminan materil atau jaminan kebendaan Menurut Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, pengertian jaminan kebendaan adalah jaminan yang berupa hak mutlak atas suatu benda, yang mempunyai ciri-ciri mempunyai hubungan langsung atas benda tertentu, dapat dipertahankan terhadap siapa pun, selalu mengikuti bendanya dan dapat dialihkan.192 Jaminan kebendaan menurut Salim H.S, memiliki ciri-ciri “kebendaan” dalam arti memberikan hak mendahului diatas benda-benda tertentu yang memiliki sifat melekat dan mengikuti benda yang bersangkutan, dimana unsur-unsur yang tercantum pada jaminan materil yaitu : 1) Hak mutlak atas suatu benda 2) Mempunyai hubungan langsung dengan benda tersebut 3) Dapat dipertahankan kepada siapapun 4) Selalu mengikuti bendanya 5) Dapat dialihkan kepada pihak lainnya193 Jaminan kebendaan dapat digolongkan menjadi 4 (empat) macam, yaitu: 1) Gadai (pand), yang diatur di dalam Bab 20 Buku II KUHPerdata; 192

Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Hukum Jaminan di Indonesia dan Pokok-Pokok Hukum Jaminan dan Jaminan Perorangan, Liberty, Yogyakarta, 1980, hlm. 46 193 Salim H.S., Op.Cit., hlm. 24

Hukum Kepailitan di Indonesia 205

2)

3)

4)

Pasal 1150 KUHPerdata, Gadai adalah : “Gadai adalah suatu hak yang diperoleh seorang berpiutang atas suatu benda bergerak, yang diserahkan kepadanya oleh seorang berpiutang atau orang lain atas namanya dan yang memberikan kuasa pada yang berpiutang untuk mengambil pelunasan dari barang tersebut secara didahulukan kepada orang berpiutang lainnya, dengan pengecualian biaya untuk melelang barang tersebut dan biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkannya, setelah barang itu digadaikan, biaya mana yang harus didahulukan” Hipotek, yang diatur dalam Bab 21 Buku II KUHPerdata; Pasal 1162 KUHPerdata Hipotek adalah : “Suatu hak kebendaan atas benda-benda tak bergerak, untuk mengambil penggantian dari padanya bagi pelunasan suatu perikatan”. Hak tanggungan, sebagaimana yang diatur dalam UU Nomor 4 Tahun 1996; Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 Hak Tanggungan adalah: “Hak Jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan suaatu kesatuan dengan tanah itu untuk pelunasan hutang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kredit-kredit lainnya”. Jaminan fidusia, sebagaimana yang diatur di dalam UU Nomor 42 Tahun 1999. Istilah fidusia berasal dari bahas Belanda, yaitu fiducie, sedangkan dalam bahasa Inggris “fiduciary of transfer ownership” yang artinya kepercayaan. Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia adalah: “Pengalihan Hak Kepemilikan atas suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak

206 Hukum Kepailitan di Indonesia

kepemilikannya yang diadakan tersebut dalam penguasaan pemilik benda itu”.194 Pembebanan hak atas tanah yang menggunakan lembaga hipotek dan credietverband sudah tidak berlaku lagi karena telah dicabut dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak tanggungan. Ada dua pertimbangan yang setidaknya menjadi prasyarat utama untuk sesuatu benda dapat diterima sebagai jaminan, yaitu: a) Secured, artinya benda jaminan kredit dapat diadakan pengikatan secara yuridis formal, sesuai dengan ketentuan hukum dan perundang-undangan. Jika di kemudian hari terjadi wanprestasi dari Debitor, maka bank memiliki kekuatan yuridis untuk melakukan tindakan eksekusi. b) Marketable, artinya benda jaminan tersebut bila hendak dieksekusi dapat segera dijual atau diuangkan untuk melunasi seluruh kewajiban Debitor. b. Jaminan imateriil atau jaminan perorangan Menurut Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, jaminan imateriil atau jaminan perorangan adalah jaminan yang menimbulkan hubungan langsung pada perorangan tertentu, hanya dapat dipertahankan terhadap Debitor tertentu, terhadap harta kekayaan Debitor umumnya.195 Jaminan perorangan dapat digolongkan menjadi 3 (tiga) macam : 1) Penanggung (borg) adalah orang lain yang dapat ditagih; 2) Tanggung-menanggung, yang serupa dengan tanggung renteng; dan 3) Perjanjian garansi. Berdasarkan uraian tersebut diatas dapat diketahui bentukbentuk jaminan terdiri dari dua yaitu jaminan materil (jaminan kebendaan) terdiri dari gadai, hipotek, hak tanggungan juga 194 195

Salim H.S, Op.Cit, hlm 24-25 Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Op.Cit., hlm. 47

Hukum Kepailitan di Indonesia 207

fidusia, dan jaminan immateril (jaminan perorangan) terdiri dari penanggung, tanggung menanggung, juga perjanjian garansi. 4. Pihak-Pihak yang Terkait dalam Jaminan Pihak-pihak yang terkait dalam jaminan didalam perkara kepailitan yaitu antara lain: a. Pihak Pemohon Pailit Salah satu pihak yang terlibat dalam perkara kepailitan adalah pihak pemohon pailit yakni pihak yang mengambil inisiatif untuk mengajukan permohonan pailit ke pengadilan, yang dalam perkara biasa disebut dalam pihak penggugat. Menurut Pasal 2 Undang-Undang Kepailitan Nomor 37 Tahun 2004, yang dapat menjadi pemohon dalam suatu perkara pailit yaitu : a. Pihak debitor itu sendiri b. Salah satu atau lebih dari pihak kreditor c. Pihak kejaksaan jika menyangkut pada kepentingan umum d. Pihak Bank Indonesia jika debitornya adalah suatu bank e. Pihak Badan Pengawasan Pasar Modal jika Debitornya adalah suatu Perusahaan Efek. Yang dimaksud dalam Perusahaan Efek adalah pihak yang melakukan kegiatannya sebagai penjamin emisi efek dan atau manajer investasi. b. Pihak Debitor Pailit Adalah pihak yang dimohon dan memohonkan pailit ke pengadilan yang berwenang. Yang dapat menjadi debitor pailit adalah debitor yang memiliki dua atau lebih kreditor dan tidak membayar sedikitnya 1 (satu) hutang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih. Dalam hal ada penanggung, maka ada dua perjanjian yang berbeda namun berkaitan satu sama lain, yaitu perjanjian pokok yang dijamin, dan perjanjian penganggungnya. Pada perjanjian pokok atas pelaksanaan mana diberikan jaminan melalui suatu perjanjian penanggungan yang terlihat adalah debitor dan kreditor.

208 Hukum Kepailitan di Indonesia

Pihak Debitor sebagai pihak yang berkewajiban untuk memenuhi perikatan berhutang sesuatu, dengan adanya schuld/utang dan karena ia sebagai debitor maka sculd/utang tersebut dapat ditagih oleh kreditornya. Debitor pada dasarnya bertanggung jawab atas kewajiban perikatannya, dan seluruh harta bendanya dalam arti bahwa, kekayaan Debitor bisa dijual paksa dieksekusi untuk diambil sebagai pelunasan. Dan berarti selain debitor memiliki sculd/utang juga memiliki haftung/tanggung jawab. Karena ada dua debitor yang terlibat dalam perjanjian tersebut diatas yang walaupun merupakan dua perjanjian sendiri-sendiri, tetapi memiliki kaitan yang erat, maka dalam hal seperti diatas untuk membedakan debitornya, debitor yang pertama disebut debitor dan debitor kedua (penjamin) disebut Borg. c. Pemberi Jaminan sebagai Pihak Ketiga Pihak pemberi jaminan atau penanggung utang yang dikenal dengan Borgtocht, dalam hubungan hukumnya antara debitor dan kreditor borg berkedudukan sebagi pihak ketiga, namun demikian borg secara sukarela telah mengikatkan diri sebagai debitor kepada kreditor untuk prestasi yang sama. Pada perjanjian yang terlibat adalah pemberi jaminan dan kreditor, sebagai pemberi jaminan, jika Debitor wanprestasi pihak kreditor dapat menagih untuk memenuhi kewajiban penanggungnya. Jadi pemberi jaminan (Borg) juga berkedudukan sebagai Debitor yang berdasarkan perjanjian penanggungnya bertanggung jawab dengan seluruh harta kekayaannya. Ditinjau dari perikatan yang hendak ditanggung pemenuhannya yaitu perikatan pokok antara debitor dengan kreditor merupakan orang yang ada di luar perikatan tersebut karenanya disebut sebagai pihak ketiga dalam perjanjian penanggungan. Pemberi jaminan dalam perjanjian penanggungan mempunyai kewajiban perikatan tersendiri diluar kewajiban perikatan hanya saja dengan sengaja disepakati, bahwa isi dan Hukum Kepailitan di Indonesia 209

luasnya perikatan ditentukan oleh wanprestasi Debitor, yaitu apa yang oleh Debitor tidak dipenuhi sebagaimana mestinya. Maka pemberi jaminan berkewajiban untuk memenuhi prestasinya yang semestinya dipenuhi oleh Debitor, bila perlu termasuk untuk dan dengan cara memberikan ganti rugi. Berdasarkan hal tersebut dan ketentuan Pasal 1820 KUHPerdata serta apa yang telah diuraikan diatas, maka dapat dikatakan bahwa sesudah Debitor asli melakukan wanprestasi, kreditor mempunyai dua orang Debitor, yang keduanya bisa ditagih untuk seluruh utang, dan pembayaran yang satu membebaskan yang lain. Berdasarkan uraian tersebut diatas dapat diketahui bahwa pihak-pihak yang terkait dalam Jaminan terdiri dari pihak pemohon pailit, pihak debitor pailit, dan pihak pemberi jaminan atau pihak ketiga atau penjamin perorangan.

210 Hukum Kepailitan di Indonesia

1. Kedudukan Kurator dalam Kepailitan Dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 tentang Kepailitan tidak ada definisi Kurator atau siapa itu Kurator. Definisi Kurator ada dalam Undang-Undang Kepailitan baru, yaitu Undang-Undang No. 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Pasal 1 angka 5 Undang-undang No.37 Tahun 2004: Kurator adalah Balai Harta Peninggalan atau orang perseorangan yang diangkat oleh Pengadilan untuk mengurus dan membereskan harta Debitor Pailit dibawah pengawasan Hakim Pengawas sesuai dengan Undang-undang ini. Kurator adalah salah satu pihak yang cukup memegang peranan dalam proses perkara pailit. Oleh karena peranan yang penting dan tugasnya yang berat, maka tidak mudah untuk menjadi Kurator, bahkan syarat dan prosedur menjadi Kurator telah diatur dalam Undang-Undang No. 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Kurator berasal dari bahasa Belanda “Curator” yang artinya orang yang ditunjuk untuk mengawasi barang bangkrut; orang yang melaksanakan curetele. Arti curetele yaitu keadaan orang dewasa yang kehilangan hak menguasai dan memelihara barang miliknya sendiri oleh karena gila dan sebagainya.196 Dalam sistem Anglo Saxon Kurator itu adalah Receiver197, orang yang akan melakukan segala sesuatu berkenaan dengan kepailitan, yang mengambil alih kewenangan pihak Debitor yang telah dinyatakan pailit untuk melakukan tindakan-tindakan hukum berkenaan dengan pengurusan dan pemberesan asetnya yang dapat dibagi kepada semua Kreditor secara adil menurut undangundang.

196

S. Wojowasito, Kamus Umum Belanda Indonesia, Ichtiar baru Van Hoeve, Jakarta, 2001, hlm. 130 197 Sudargo Gautama, Komentar atas Peraturan Kepailitan Baru untuk Indonesia (1998), Citra Aditya Bakti, Bandung, 1998, hlm. 58.

Hukum Kepailitan di Indonesia 211

a. Syarat-syarat Menjadi Kurator Jika suatu permohonan Kepailitan dikabulkan oleh Pengadilan Niaga, maka pengurusan administratif dan likuidasi harta kepailitan akan diteruskan oleh Kurator. Menurut Undangundang Kepailitan yang lama (faillissement verordening), kewajiban ini secara khusus dilakukan oleh Balai Harta Peninggalan (BHP), Balai Harta Peninggalan ini adalah suatu badan khusus dari Departemen Kehakiman. Balai Harta Peninggalan bertindak melalui kantor perwakilannya yang terletak di dalam kompetensi pengadilan yang telah menyatakan Debitor pailit. Dengan diberlakukannya Undang-undang No. 37 tahun 2004 tentang Kepailitan, maka jabatan Kurator diperluas sehingga yang dapat bertindak menjadi Kurator sesuai Pasal 70 ayat (1): Kurator sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 adalah : a. Balai Harta Peninggalan b. Kurator lainnya. Yang dimaksud dengan Kurator lainnya (yaitu Kurator yang bukan Balai Harta Peninggalan) adalah mereka yang memenuhi syarat-syarat sebagai berikut : Pasal 70 ayat (2): Yang dapat menjadi Kurator sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, adalah: a) Orang perseorangan yang berdomisili di Indonesia, yang memiliki keahlian khusus yang dibutuhkan dalam rangka mengurus dan/atau membereskan harta pailit; dan b) Terdaftar pada Kementerian yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya dibidang hukum dan peraturan perundang-undangan. Berdasarkan penjelasan, yang dimaksud dengan “keahlian khusus” adalah mereka yang mengikuti dan lulus pendidikan Kurator dan Pengurus-pengurus, sedangkan yang dimaksud dengan “terdaftar” adalah telah memenuhi syarat-syarat pendaftaran sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan adalah anggota aktif organisasi profesi Kurator dan Pengurus. Menurut Undang-Undang ini, para praktisi seperti halnya advokat, akuntan, dan profesi lainnya dengan keahlian yang sama, 212 Hukum Kepailitan di Indonesia

diperbolehkan untuk bertindak sebagai Kurator. Penulis kurang sependapat kalau akuntan dapat menjadi Kurator, karena dalam melaksanakan wewenangnya sebagai Kurator, maka akuntan harus mengerti hukum acara perdata khususnya dan hukum perdata umumnya, sehingga tidak melakukan perbuatan melanggar hukum. Pasal 1365 KUHPerdata “Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.” Ketentuan ini dijelaskan dalam Pasal 1366 KUHPerdata “Setiap orang bertanggungjawab tidak saja untuk kerugian yang disebabkan perbuatannya, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan kelalaian atau kurang hati-hatinya.” Pasal ini menjadi dasar Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, yaitu Pasal 72: “Kurator bertanggungjawab terhadap kesalahan atau kelalaiannya dalam melaksanakan tugas pengurusan dan/atau pemberesan yang menyebabkan kerugian terhadap harta pailit.” Seyogyanyalah bahwa Kurator itu mempunyai pendidikan dan pengalaman dalam bidang hukum, yaitu advokat. Profesi lainnya hanya sebagai pendukung saja, misalnya profesi akuntan. Kurator harus independen, dan tidak mempunyai benturan kepentingan dengan Debitor atau Kreditor dan tidak sedang menangani perkara kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang lebih dari tiga perkara, sesuai Pasal 15 ayat (3) Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Seorang Kreditor atau Debitor yang mengajukan permohonan kepailitan dapat minta penunjukan seorang Kurator kepada Pengadilan Niaga, apabila tidak ada permintaan tersebut, maka Majelis Hakim dapat menunjuk Kurator lainnya atau Balai Harta Peninggalan untuk bertindak sebagai Kurator. Jadi jelas kedudukan Kurator yang ketentuannya telah diatur dalam undang-undang, dan pihak Kurator hanya ada untuk perkara kepailitan, tetapi bila perkara itu belum diputus pailit dan Hukum Kepailitan di Indonesia 213

masih dalam proses Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU), maka tidak ada Kurator, yang ada hanya “Pengurus” yang diakui oleh Undang-Undang Kepailitan. Dengan adanya Undang-Undang No. 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, maka ada beberapa perubahan tentang Kurator dan Pengurus. Perubahan tentang Kurator adalah sebagai berikut : Pertama, yang dapat menjadi Kurator hanya orang perseorangan yang berdomisili di Indonesia, yang memiliki keahlian khusus yang dibutuhkan dalam rangka mengurus dan/atau membereskan harta pailit; dan terdaftar pada kementerian yang lingkup tugas dan pertanggungjawabannya dibidang hukum dan peraturan perundang-undangan (pasal 70 ayat 2). Dalam penjelasan pasal ini, tercantum bahwa yang dimaksud dengan “keahlian khusus” adalah mereka yang mengikuti dan lulus pendidikan Kurator dan Pengurus. Yang dimaksud dengan “terdaftar” adalah telah memenuhi syarat-syarat pendaftaran sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan adalah anggota aktif organisasi profesi Kurator dan Pengurus. Jadi, persekutuan perdata tidak dapat menjadi Kurator dan Pengurus. Kementerian tempat mendaftar Kurator dan Pengurus belum tentu Departemen Kehakiman. Organisasi profesi Kurator dan Pengurus belum tentu Asosiasi Kurator dan Pengurus Indonesia (AKPI). Kedua, Kurator yang diangkat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus independen, tidak mempunyai benturan kepentingan dengan Debitor atau Kreditor, dan tidak sedang menangani perkara kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang lebih dari 3 (tiga) perkara. Selama ini, Kurator bebas menangani perkara lebih dari tiga perkara. Sedangkan perubahan pada Pengurus adalah sama dengan perubahan pada Kurator, hanya ada satu ayat yang ditambah adalah Pasal 234 ayat (2); Pengurus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang terbukti tidak independen dikenakan sanksi pidana dan/atau perdata sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Disini, jelas sekali sanksi hukum yang dikenakan kepada Pengurus. 214 Hukum Kepailitan di Indonesia

b. Imbalan Jasa Kurator Kurator mempunyai hak untuk mendapatkan ganti rugi untuk biaya dan pengeluarannya dari harta kepailitan (pasal Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang). Imbalan atau fee Kurator tersebut pada Undang-undang Kepailitan ditetapkan oleh Menteri Kehakiman, sedangkan pada Undang-undang Kepailitan yang lama (faillisment verordening) imbalan Kurator yaitu Balai Harta Peninggalan ditetapkan dengan undang-undang. Departemen Kehakiman pada tanggal 22 September 1998 mengeluarkan peraturan mengenai fee untuk para pengurus dan Kurator.198 Peraturan ini membuat suatu ukuran/skala untuk fee Kurator. Fee tersebut merupakan prosentase yang ditentukan dan berhubungan dengan nilai harta kepailitan. Sekalanya berkisar antara 6% sampai 1,5% jika proses kepailitan berakhir sebagai akibat perdamaian, dan dari 10% sampai dengan 2.5% jika proses kepailitan berakhir dengan cara lain baik penutupan atau likuidasi. Lebih lanjut peraturan ini memberikan suatu jumlah yang akan diterima oleh Kurator dari harta kepailitan yang tidak melebihi 2% dari nilai asset dari kekayaan kepailitan, jika proses kepailitan berakhir sebagai akibat dari pencabutan. Dalam hal ini, jumlah fee yang sebenarnya memperlihatkan biaya yang dikeluarkan dan jam kerja yang diperlukan oleh Kurator. Jika Balai Harta Peninggalan diangkat sebagai Kurator, Departemen Kehakiman akan menentukan jumlah fee Kurator tersebut sesuai dengan Keputusan Menteri Kehakiman.199 Saat ini imbalan jasa Kurator ditentukan dengan prosentase dari realisasi penyelesaian harta pailit, sesuai Keputusan Menteri Kehakiman, untuk itu terdapat beberapa keluhan dari pihak Debitor maupun Kreditor dalam hal kepailitan dapat diselesaikan

198

Departemen Kehakiman, Keputusan Menteri Kehakiman tentang Pedoman Besarnya Imbalan Jasa bagi Kurator dan pengurus, KepMen. Kehakiman No M.09. ht. 0510/ 1998. 199 Departemen Kehakiman, Keptusan Menteri Kehakiman tentang Pedoman besarnya Imbalan Jasa bagi Kurator, KepMen. Kehakiman No. M. 02-UM / 1993.

Hukum Kepailitan di Indonesia 215

secara relatif singkat (misalnya dengan perdamaian), maka imbalan jasa Kurator menjadi menggelembung dan tidak proporsional. Ketentuan imbal jasa Kurator tersebut sebaiknya dapat dimodifikasi sedemikan rupa sehingga akan sesuai dengan imbalan jasa yang biasa dikenakan oleh Kurator tersebut sehari-hari dengan masalah non kepailitan. Dengan perkataan lain sama dengan imbalan jasa Advokat. Untuk itu Kurator, Kreditor dan Debitor dapat mengadakan kesepakatan tersendiri tentang hal ini, misalnya imbalan jasa dikenakan dengan actual hourly basis (perhitungan jam kerja sebenarnya). Namun tetap harus ada klausula untuk melindungi kepentingan Debitor dan Kreditor, sebagai contoh, jika hourly basis tadi melebihi nilai prosentase, maka nilai prosentaselah yang berlaku. Berdasarkan Undang-undang Kepailitan dan peraturan pelaksanaannya dapat diperkirakan bahwa imbalan jasa Kurator akan dibayar setelah ada realisasi dari harta pailit (dalam pemberesan atau likuidasi) atau telah tercapainya perdamaian. Dapat diperkirakan bahwa suatu perkara kepailitan akan memakan waktu bertahun-tahun dan adalah tidak wajar jika Kurator tidak mendapatkan imbalan jasa sama sekali selama waktu tersebut. Oleh karenanya, jika proses kepailitan lebih dari satu tahun (sejak Kurator mulai bekerja), maka pada akhir tahun pertama dan setiap pelunasan atas seluruh atau sebagian dari imbalan jasanya dalam jangka waktu tersebut dibayar. 2. Fungsi Kurator Dalam Kepailitan Perusahaan Kurator mempunyai fungsi mewakili Debitor pailit untuk menyelesaikan segala masalah kepailitan Debitor terutama mengurus dan membersihkan harta pailit untuk dibayarkan kepada semua Kreditor secara proporsional menurut undangundang yang berlaku. Para Kreditor tersebut terbagi menjadi tiga golongan yaitu; Kreditor separatis, Kreditor preferen, dan Kreditor konkuren. Dalam hal Debitor pailit adalah perseroan terbatas pailit, maka Kurator berfungsi mewakili organ-organ perseroan terbatas pailit tersebut (Rapat Umum Pemegang Saham, Dewan 216 Hukum Kepailitan di Indonesia

Komisaris, Direksi) untuk menyelesaikan segala masalah kepailitan yang ada hubungannya dengan kekayaan Debitor pailit (segala aset perseroan terbatas pailit). Dalam menjalankan fungsinya tersebut maka Kurator bersifat independen dengan pihak Debitor pailit dan Kreditor. Disamping itu Kurator tidak perlu memperoleh ijin dan persetujuan dari atau menyampaikan pemberitahuan terlebih dahulu kepada Debitor pailit atau kepada salah satu organ Debitor pailit, meskipun dalam keadaan tidak pailit persetujuan atau pemberitahuan tersebut diperlukan (sesuai anggaran perseroan terbatas). Fungsi Kurator ini untuk mengurus dan membereskan harta Debitor pailit berlaku sejak adanya utusan pernyataan pailit dari Pengadilan Niaga, walaupun terhadap putusan tersebut sedang diajukan upaya hukum kasasi atau Peninjauan Kembali (PK). Inilah konsekuensi hukum dari sifat putusan yang serta merta (Uitvoorbaar bij Vooraed) fungsi Kurator ini diikuti dengan tugas yang relatif berat, kewenangan Kurator, kewajiban Kurator, tanggung jawab Kurator, hak dan kewajiban Kurator. Bila Kurator berfungsi dan menjalankan tugasnya sesuai kewenangannya menurut Undang-undang kepailitan yang berlaku maka perundangan hukum terhadap Debitor pailit, Kreditor dan masyarakat dapat terjamin. 3. Tanggung Jawab Kurator Dalam Pengurusan dan Pemberesan Harta Pailit Segera setelah dilaksanakan pelunasan Kreditor konkuren berdasarkan daftar verifikasi, maka kepailtan berakhir. Pengakhiran kepailitan ini belum berarti berakhirnya pekerjaan bagi Kurator dan Hakim Pengawas (Pasal 202 ayat 3 UndangUndang No. 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang) Satu bulan setelah berakhirnya kepailitan tersebut di atas, Kurator harus memberikan pertanggungjawaban atas pengurusan yang dilakukan oleh undang-undang mengingat bahwa masih terdapat kemungkinan bahwa setelah dilaksanakan pemberesan dan pembagian harta pailit untuk melunasi utang Kreditor ditemukan adanya bagian dari harta pailit yang tidak diketahui Hukum Kepailitan di Indonesia 217

sebelumnya dan karenanya belum menjadi bagian dari harta pailit200 diterima oleh para Kreditornya. Dalam hal ini, pertanggungjawaban Kurator harus diberikan kepada Debitor (pailit) dengan disaksikan oleh hakim pengawas.201 Kesalahan dan atau kelalaian Kurator melaksanakan tugasnya menyebabkan Kurator bertanggungjawab atas kerugian harta pailit yang disebabkan oleh kesalahan atau kelalaian tersebut.202 Dalam Undang-Undang No. 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang diatur pula tanggung jawab Kurator, yaitu pada Pasal 72 Undang-Undang No. 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, yang menyatakan bahwa; Kurator bertanggungjawab, terhadap kesalahan atau kelalaiannya dalam melaksanakan tugas pengurusan dan atau pemberesan yang menyebabkan kerugian terhadap harta pailit. Bila kita bandingkan menurut peraturan yang berlaku untuk perbuatan melawan hukum yaitu Pasal 1365 Kitab UndangUndangHukum Perdata dinyatakan bahwa; Tiap perbuatan melanggar hukum yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.203 Maka tanggung jawab Kurator yang diatur dalam Pasal 72 Undang-Undang No. 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang ini tidaklah menciptakan tanggung jawab yang lebih berat. Seorang Kurator dapat dipertanggungjawabkan jika ia telah melakukan suatu perbuatan melawan hukum suatu tingkat kesalahan dan kelalaian cukup untuk menimbulkan tanggung jawab. Tindakan Kurator sebaiknya dapat dibandingkan dengan tindakan Kurator yang sewajarya dapat dipercaya, apakah tanggung jawab Kurator harus dinilai 200

Pasal 189 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 tentang Kepailitan Pasal 157 (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 tentang Kepailitan 202 Pasal 72 Undang-Undang No. 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Pasal 1365 KUHPerdata tentang perbuatan melawan hukum yang menyebabkan kerugian pada satu pihak. 203 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgelijk Wetboek), diterjemahkan oleh R. Subekti dan R. Tcitrosudibio, vet. 30, (Jakarta, Pradnya Paramita, 1999), pasal 1365. 201

218 Hukum Kepailitan di Indonesia

dengan standar yang lebih tinggi jika ia telah memiliki keahlian atau pengalaman di atas rata-rata. Apakah ada suatu perbedaan antara tanggung jawab Kurator yang bertindak dalam kapasitasnya sebagai Kurator di satu pihak dengan tanggung jawab pribadi Kurator di lain pihak, perbedaan seperti ini biasa menurut Hukum Belanda.204 Hal ini berarti bahwa Kurator tidak selalu bertanggungjawab secara pribadi jika ia telah melakukan suatu perbuatan melawan hukum dalam kapasitasnya sebagai seorang Kurator. Untuk lebih jelasnya maka dapat kita uraikan sebagai berikut : a. Tanggung jawab Kurator dalam kepailitan sebagai Kurator Dalam hal ini harta pailit, dan bukan Kurator secara pribadi, harus membayar kerugian. Pihak yang menuntut mempunyai tagihan atas harta kepailitan, dan tagihannya adalah utang harta pailit. Tindakan Kurator tersebut antara lain adalah: Kurator meneruskan kegiatan usahanya tanpa suatu pertimbangan yang matang ataupun riset terlebih dahulu. Kurator menjual asset pihak ketiga. Kurator menjual asset Debitor yang tidak termasuk di dalam harta kepailitan. Kurator lupa untuk memasukkan salah satu Kreditor dalam rencana distribusi. Kurator membuat suatu kontrak padahal ia mengetahui atau seharusnya mengetahui bahwa pembayaran yang menjadi kewajibannya tidak dapat dipenuhi. Kurator gagal untuk membantah suatu tuntutan atau untuk membatasi tanggung jawab, misalnya, mengajukan suatu upaya banding terhadap penilaian pajak. Kurator berupaya untuk menagih tagihan Debitor yang pailit, dan melakukan sita atas properti Debitor, kemudian terbukti bahwa tuntutan Debitor tersebut palsu. Kurator tidak memberitahu Kreditor atas hak istimewanya menurut perundangundangan bila ia menduga bahwa Kreditor itu tidak mengetahui mempunyai hak tersebut. Kurator mengajukan gugatan perdata yang mengakibatkan biaya perkara yang tidak dapat dibayar 204 Jerry Hoff, Undang-Undang Kepailitan di Indonesia (Indonesian Bankruptcy Law), diterjemahkan oleh Kartini Mulyadi, Jakarta : Tatanusa, 2000, hlm, 71.

Hukum Kepailitan di Indonesia 219

kembali padahal tidak ada alasan yang wajar untuk memenangkan gugatan tersebut. b. Tanggung jawab Kurator dalam kepailitan sebagai pribadi Dalam kasus ini Kurator bertanggungjawab secara pribadi, ia harus membayar sendiri kerugian yang ditimbulkannya. Tanggung jawab ini dapat terjadi, misalnya Kurator menggelapkan harta kepailitan. Sebagai informasi bahwa di negeri Belanda, Kurator bertanggungjawab pribadi, jika Kurator sengaja bertindak secara gegabah atau jika sengaja melakukan kesalahan.205 Seorang dapat mengharapkan bahwa Kurator akan bertindak dengan sangat hati-hati dan bahwa ia akan berupaya untuk melakukan pekerjaannya dengan baik. Walaupun demikian kita harus mempertimbangkan bahwa Kurator harus membuat putusan yang didesak oleh sempitnya waktu dan bahwa Kurator harus memperhatikan kepentingan-kepentingan yang berbeda yang kerap kali bertentangan. Kurator mempunyai kebijakan tertentu dalam memilih arah tindakannya, jangkauan tindakan tersebut berbeda dengan tugas yang bersangkutan. Secara konsekuen, tanggung jawabnya lebih banyak bertumpu pada keadaan sekitarnya. c. Tanggung jawab Kurator terhadap harta pailit dan penerapan Actio Pauliana Kurator memiliki peranan yang sangat besar dan sangat penting dalam suatu proses kepailitan karena dia harus dapat mengelola dan mengurus seluruh harta pailit sehingga nilai harta pailit tersebut dapat dimaksimalkan untuk memenuhi seluruh kewajiban Debitor pailit terhadap para Kreditornya. Dalam rangka memaksimalkan nilai harta pailit, Kurator pun berwenang untuk membatalkan perbuatan-perbuatan hukum yang dilaksanakan oleh Debitor pailit sebelum terjadinya kepailitan yang dianggap oleh Kurator merugikan kepentingan para Kreditor, hal ini disebut dengan istilah Actio Pauliana. 205

Ibid., hlm. 72.

220 Hukum Kepailitan di Indonesia

Actio Pauliana adalah suatu legal resource yang diberikan kepada Kurator untuk membatalkan tindakan-tindakan hukum yang dilakukan oleh Debitor pailit yang dapat merugikan kepentingan Kreditor-Kreditor lain.206 Lebih jauh lagi Undang-Undang No. 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang memberikan penjelasan bahwa tindakan-tindakan hukum tersebut dapat dibatalkan apabila memenuhi ketentuan-ketentuan berikut ini: tindakan tersebut tidak dipersyaratkan oleh hukum atau berdasarkan perjanjian. Dengan perkataan lain, Debitor pailit melakukan tindakan hukum tersebut secara sukarela. Tindakan tersebut merugikan kepentingan Kreditor lain dan Debitor pailit, dan pada saat perbuatan hukum itu dilakukan Debitor dan pihak dengan siapa perbuatan hukum itu dilakukan mengetahui atau sepatutnya mengetahui bahwa perbuatan hukum tersebut akan mengakibatkan kerugian bagi Kreditor lain. Dengan demikian, untuk membatalkan suatu tindakan hukum yang dilakukan Debitor pailit dengan menggunakan Actio Pauilana, harus bisa membuktikan bahwa perbuatan hukum tersebut akan mengakibatkan kerugian bagi Kreditor lain, dan Kurator harus bertanggungjawab atas pembatalan tindakan hukum yang dilakukan oleh Debitor pailit tersebut. Terhadap ketentuan di atas, untuk pembuktian terhadap point pertama, dan hal kedua, tidaklah sulit untuk dilaksanakan, pembuktian hal ketiga sulit untuk dilaksanakan. Oleh karena itu Undang-Undang No. 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang memberikan kemudahan kepada Kurator untuk melakukan pembuktian atas point ketiga tersebut di atas, kemudahan yang diberikan oleh Undang-Undang No. 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang adalah dengan menyatakan bahwa apabila perbuatan hukum merugikan para Kreditor dilakukan dalam jangka waktu satu tahun sebelum 206

Rudhy Lontoh, Denny Kalimang, Benny Ponto, ed., Penyelesaian Utang Piutang melalui Pailit atau penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Bandung: Alumni, 2001. hlm 374.

Hukum Kepailitan di Indonesia 221

putusan pernyataan pailit ditetapkan, sedangkan perbuatan hukum tersebut tidak wajib untuk dilakukan oleh Debitor, maka kecuali dapat dibuktikan sebaliknya, Debitor dan pihak dengan siapa perbuatan tersebut dilakukan dianggap mengetahui atau sepatutnya mengetahui bahwa perbuatan tersebut dilakukan, bahwa perbuatan tersebut akan mengakibatkan kerugian bagi Debitor, apabila perbuatan tersebut disamping persyaratan yang telah disebutkan di atas, memenuhi salah satu ketentuan berikut ini:207 merupakan perikatan dimana kewajiban Debitor jauh melebihi kewajiban pihak pihak dengan siapa perikatan tersebut dilakukan, merupakan pembayaran atas, atau pemberian jaminan untuk utang yang belum jatuh tempo dan belum dapat ditagih. Kurator adalah satu-satunya pihak yang dapat membatalkan perbuatan hukum yang dilaksanakan oleh Debitor pailit berdasarkan konsep Actio Pauliana. Hal ini merupakan akibat logis dari kedudukan dan tanggung jawab Kurator sebagai pihak yang bertugas untuk melindungi dan mengurus harta pailit untuk kepentingan seluruh pihak yang terkait dengan harta pailit, akan tetapi terdapat sangat banyak perbuatan yang memenuhi persyaratan untuk dibatalkan dengan menggunakan konsep Actio Pauliana, maka Kurator harus dapat memutuskan perbuatan mana yang akan diminta pembatalan dan perbuatan mana yang dapat dibiarkan berdasarkan nilai material perbuatan tersebut terhadap Harta Debitor pailit dari kemudahan; dan untuk pembuktiannya dapat tidaknya Kurator mengumpulkan bukti-bukti yang cukup dan memenuhi syarat untuk dapat melakukan Actio Pauliana. 4. Tugas Kurator Dalam Pengurusan dan Pemberesan Harta Pailit Tugas Kurator relatif berat sesuai yang diatur dalam Undang- Undang-Undang No. 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Pada prinsipnya tugas umum Kurator adalah melakukan pengurusan dan atau

207

Ibid., hlm. 375

222 Hukum Kepailitan di Indonesia

pemberesan harta pailit208 dalam menjalankan tugasnya harus bersifat independen dengan pihak Debitor dan Kreditor. Oleh karena itu dalam menjalankan tugasnya Kurator tidak perlu meminta persetujuan ataupun menyampaikan pemberitahuan kepada Debitor pailit. Kurator berwenang melaksanakan tugas pengurusan dan/atau pemberesan atas harta pailit sejak tanggal putusan pailit diucapkan meskipun terhadap putusan tersebut diajukan kasasi atau dan peninjauan kembali. Berlakunya putusan pailit tersebut mulai pukul 00.00 pada hari itu juga . Tetapi tidak berarti Kurator dalam tugasnya menjadi sewenang-wenang Kurator harus mengikuti rambu-rambu agar tugasnya tidak melanggar undang-undang, yang dimaksud dengan rambu-rambu tersebut adalah; ada hubungan dengan kewenangan Kurator, apakah Kurator berwenang untuk melakukan tugas itu. Dalam melakukan tindakan-tindakan tertentu yang berhubungan dengan faktor keuangan, harus dipertimbangkan secara ekonomis dan manfaat agar tindakannya tepat “cast and benefit analysis”. Ada kalanya dalam melakukan tindakan dalam tugasnya, Kurator diperlukan izin/keikutsertaan dari pihak tertentu sebagai tanda persetujuan, seperti dari Hakim Pengawas, Pengadilan Niaga atau Panitia Kreditor. Ada pertimbangan hukum dalam melakukan tindakan-tindakan tertentu dalam tugasnya, misal dalam melakukan penjualan asset Debitor, dapat dilakukan melalui pengadilan, lelang atau di bawah tangan. Ada kalanya Pengadilan Niaga menunjuk Kurator lebih dari satu orang biasanya Kurator yang bukan BHP, untuk dapat melakukan tindakan yang sah dan mengikat dalam tugasnya, maka diperlukan persetujuan dengan voting lebih dari ½ jumlah Kurator yang ada. Di dalam Undang-Undang No. 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang maka tugas Kurator diatur secara ketat dan banyak, untuk memperinci tugas Kurator tersebut dapat dibagi dalam 2 (dua) tahap, yaitu: tahap administrasi, antara lain yang terpenting pada tahap ini 208

Pasal 67 ayat 1 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.

Hukum Kepailitan di Indonesia 223

adalah pencatatan harta pailit, memasang iklan, mengusahakan keselamatan harta pailit, membuat rapat pertama Kreditor, pemberitahuan bagi pendaftaran piutang dan rapat verifikasi, pencocokan piutang, rapat verifikasi; dan tahap penyelesaian.

a. Tahap Administrasi 1) Pencatatan Harta Pailit Kurator harus secepatnya memulai pencatatan harta pailit dan pencatatan tersebut dapat dibuat di bawah tangan dengan persetujuan Hakim Pengawas. Para anggota Panitia Kreditor Sementara berhak menghadiri pencatatan. Kurator membuat daftar jumlah utang piutang harta pailit, nama dan tempat tinggal para Kreditor dan jumlah piutang setiap Kreditor. Uraian harta pailit tersebut dan daftar jumlah utang tersebut diumumkan di kantor Kurator dan terbuka untuk umum. 2) Memasang Iklan Paling lambat lima hari sejak tanggal putusan pailit diucapkan oleh Majelis Hakim Pengadilan Niaga, Kurator harus mengumumkan putusan tersebut dalam berita negara dan sekurang-kurangnya dalam dua surat kabar yang ditetapkan bersama Hakim Pengawas. Isi iklan harus termasuk ikhtisar putusan hakim, identitas, alamat dan pekerjaan anggota panitia sementara Kreditor, apabila telah ditunjuk, tempat dan waktu penyelenggaraan rapat pertama Kreditor, identitas Hakim Pengawas dan Kurator. 3) Mengusahakan Keselamatan Harta Pailit Kurator harus mengusahakan keselamatan Harta Pailit, Kurator harus segera menyimpan surat-suratnya, uang, barangbarang perhiasan, efek-efek dan surat-surat berharga lainnya.. Kurator dengan persetujuan Hakim Pengawas dapat melakukan penyegelan harta pailit. 4) Membuat Rapat Pertama Kreditor Kurator memberitahukan kepada Kreditor dengan surat tercatat atau kurir paling lama 5 hari sejak putusan pailit diucapkan. Kurator dan Hakim Pengawas menentukan rapat 224 Hukum Kepailitan di Indonesia

Kreditor pertama, paling lambat 15 hari sejak putusan pailit diucapkan dan memimpin sidang/rapat Kreditor. Kurator bersama Hakim Pengawas memutuskan rapat Kreditor berdasarkan suara setuju sebesar lebih setengah jumlah suara yang dikeluarkan oleh para Kreditor. 5) Pemberitahuan bagi pendaftaran piutang dan rapat verifikasi Kurator memberitahukan melalui surat dan surat kabar dan berita negara dalam waktu selambat-lambatnya 14 hari sejak diucapkan putusan pailit oleh Majelis Hakim Pengadilan Niaga yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap (inkracht=BHT), maka Kurator dan Hakim Pengawas harus menetapkan hari terakhir piutang harus diajukan dan harus menetapkan pula hari, jam, tempat pencocokan piutang. 6) Pencocokan utang Kurator menguji kebenaran dan mencocokkan piutangpiutang yang telah dimasukkan dengan catatan dan keterangan dari Debitor pailit berunding dengan Kreditor. Kurator membuat daftar piutang-piutang yang telah disetujui dan daftar piutangpiutang belum disetujui. Membuat catatan dalam daftar mengenai piutang yang diistimewakan atau yang dijaminkan dengan hak tanggungan, gadai, hak agunan lainnya, atau hak retensi, untuk tagihan yang bersangkutan dapat dilaksanakan. Apabila hak tersebut dibantah oleh Kurator, maka dianggap sebagai piutang yang sementara diakui. Selanjutnya salinan/copy dari daftar piutang-piutang tersebut ditempatkan di kantor Kurator selama 7 hari dan terbuka untuk umum. 7) Rapat verifikasi Dalam rapat ini dibahas daftar piutang-piutang sementara dan daftar piutang-piutang yang dibantah oleh Kurator dan keterangannya. Bila diadakan penundaan rapat, maka dilanjutkan pada suatu hari yang ditetapkan Hakim Pengawas, yaitu dilakukan 8 hari semenjak penundaan dan tidak diperlukan lagi undangan. Setelah verifikasi, Kurator memberitahukan laporan kepada Kreditor tentang kondisi dari harta pailit, dan ditempatkan pada kantor panitera Pengadilan Niaga dan kantor Kurator. Hukum Kepailitan di Indonesia 225

b. Tahap penyelesaian Dalam tahapan ini Kurator menjual harta pailit tanpa perlu kesepakatan/bantuan Debitor pailit dan penjualan dilakukan di hadapan umum dengan izin Hakim Pengawas. Kurator membagikan hasil penjualan harta pailit kepada Kreditor atas perintah Hakim Pengawas untuk membagikan pembayaran kepada Kreditor yang telah dicocokkan. Kurator membuat daftar pembayaran untuk disahkan oleh Hakim Pengawas. Daftar yang telah disetujui Hakim Pengawas ditempatkan di kantor panitera Pengadilan Niaga dan Kantor Kurator. Kurator memberitahukan dalam berita negara dan dalam dua surat kabar harian. Setelah selesai pembagian harta pailit, kepailitan berakhir. Kurator mengumumkan hal tersebut diberitakan pada lembaran negara dan di dua surat kabar harian. Kurator harus memberikan pertanggungjawaban tentang pengurusan dan penyelesaian harta pailit yang telah dilaksanakannya kepada Hakim Pengawas setelah lewat waktu satu bulan sejak selesainya tugas tersebut. 5. Masa Tugas Kurator Masa tugas Kurator terhitung sejak tanggal putusan pailit diucapkan, Kurator berwenang melaksanakan tugasnya sampai dengan akhirnya bila accord yang telah dihomologasikan dan mempunyai kekuatan hukum tetap, atau fase insolvensi, daftar pembagian terakhir mempunyai kekuatan hukum tetap atau kepailitan dicabut karena harta pailit sangat sedikit nilainya dan kemungkinan nihil. Dalam melaksanakan tugasnya, Kurator mempunyai wewenang yang cukup luas sehingga dapat merugikan pihak lain. Sebagai contoh dalam kasus PT Asuransi Jiwa Manulife Indonesia yang dipailitkan oleh seorang Kurator PT DSS yang merupakan Kreditor PT AJMI. Kasus Posisi Kasus yang dianalisis ini adalah kasus PT. Asuransi Jiwa Manulife Indonesia yang diajukan pailit oleh Kurator dari PT. Dharmala Sakti Sejahtera Tbk (dalam pailit) kepada Pengadilan 226 Hukum Kepailitan di Indonesia

Niaga Jakarta Pusat karena tidak membayar kewajibannya kepada salah satu Kreditor tertentu, walaupun kepada Kreditor-Kreditor lainnya perusahaan tersebut masih memenuhi kewajibankewajibannya dengan baik. Oleh karena itu, putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat yang mengabulkan permohonan Pemohon untuk mempailitkan PT. Asuransi Jiwa Manulife Indonesia telah dibatalkan oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia, berdasarkan pertimbangan akurat sesuai dengan jiwa Hukum Kepailitan dan Hukum Perasuransian. Analisis Putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat Putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat Nomor 10/PAILIT/2002/PN.NIAGA.JKT.PST tanggal 13 Juni 2002, hanya melihat persyaratan permohonan pailit sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-undang Nomor 4 Tahun 1998 tentang Kepailitan, yaitu : a. Debitor mempunyai dua atau lebih Kreditor; b. Debitor tidak membayar sedikitnya satu utang; c. Utang tersebut telah jatuh tempo dan dapat ditagih. Pertimbangan putusan dari Pengadilan Niaga Jakarta Pusat tersebut tidak disertai alasan juridis yang kuat. Deviden yang dianggap sebagai utang dalam arti yang luas, yakni utang Termohon Pailit, PT ATMI kepada Pemohon Pailit yakni Kurator dari PT. DSS (dalam pailit), adalah utang yang belum jatuh tempo dan dapat ditagih. Sebab, deviden tersebut, oleh RUPS (rapat umum pemegang saham) PT. AJMI, diputuskan untuk tidak dibagikan kepada para pemegang saham (termasuk kepada PT. DSS) guna memenuhi RBC (risk based capital) yang harus mencapai 120% sebagaimana yang disyaratkan oleh Menteri Keuangan Republik Indonesia terhadap perusahaan asuransi. RUPS sebagai organ dari PT. AJMI yang mempunyai kewenangan tertinggi, yang tidak diberikan kepada organ lainnya yakni Direksi dan Komisaris PT. AJMI, telah memutuskan bahwa, deviden tahun 1999, tidak dibagikan. Dengan demikian, deviden yang ditagih oleh Pemohon, adalah utang yang belum jatuh tempo dan tidak dapat ditagih. Karena deviden sebagai utang yang belum jatuh tempo dan tidak dapat ditagih, maka salah satu unsur dari persyaratan Hukum Kepailitan di Indonesia 227

pailit sebagaimana diatur pada Pasal 1 ayat (1) Undang-undang Nomor 4 Tahun 1998 tentang Kepailitan tidak terpenuhi, sehingga permohonan pailit dari Pemohon, seharusnya ditolak. Kendatipun Indonesia tidak menganut asas preseden atas jurisprudensi, tapi kita menganut asas persuasive jurisprudence yang menganjurkan para hakim untuk memakai putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia yang telah berkekuatan hukum tetap menjadi acuan dasar hukum dalam memutus perkara (kepailitan). Sesungguhnya sudah ada Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 33 K/N/1999, tanggal 01 November 1999 dan Nomor 33 K/N/2001, tanggal 30 Oktober 2001, yang menyatakan bahwa permohonan pailit terhadap perusahaan asuransi hanya dapat dilakukan setelah mendapat izin dari Menteri Keuangan Republik Indonesia. Berdasarkan dua putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia tersebut, maka permohonan pailit yang diajukan oleh Kurator terhadap PT. AJMI, karena tidak mendapat izin dari Menteri Keuangan Republik Indonesia, harus dinyatakan ditolak. Seharusnya, Pengadilan Niaga Jakarta Pusat harus memperhitungkan hal-hal lain yang ada dan erat kaitannya dengan perkara tersebut. Oleh karena perkara kepailitan PT. AJMI diajukan oleh Kurator, maka menurut Pasal 67 ayat (5) Undang-undang Nomor 4 Tahun 1998 tentang Kepailitan, hakim (pemutus), sebelum memeriksa materi perkara, terlebih dahulu melihat apakah ada izin dari hakim pengawas kepada Kurator untuk mempailitkan PT. AJMI. Karena ternyata memang tidak ada izin dari hakim pengawas, maka Pengadilan Niaga Jakarta Pusat seharusnya menolak perkara tersebut. Berdasarkan Pasal 6 ayat (3) Undang-undang Nomor 4 Tahun 1998 tentang Kepailitan, bahwa untuk membuktikan persyaratan pailit sebagaimana diatur pada Pasal 1 ayat (1) Undang-undang tersebut, harus sederhana dan tidak rumit. Apabila pada waktu membuktikan ketiga syarat permohonan pailit seperti tersebut di atas ternyata tidak sederhana dan rumit, maka Pengadilan Niaga Jakarta Pusat semestinya menyatakan tidak berwenang mengadili perkara tersebut, dan yang berwenang adalah pengadilan negeri, 228 Hukum Kepailitan di Indonesia

melalui perkara gugatan perdata biasa. Walaupun pembuktian sederhana dalam pekara kepailitan sebagaimana diatur pada Pasal 6 ayat (3) Undang-undang Nomor 4 Tahun 1998 tentang Kepailitan, bukanlah merupakan salah satu syarat permohonan pailit, namun sistem pembuktian yang sederhana ini, erat kaitannya dengan atau pada saat membuktikan persyaratan pailit sebagaimana diatur pada Pasal 1 ayat (1) Undang-undang tersebut. Dalam perkara kepailitan PT. AJMI, ketentuan Pasal 6 ayat (3) dan Pasal 67 ayat (5) Undang-undang Nomor 4 Tahun 1998 tentang Kepailitan, tidak diterapkan oleh Pengadilan Niaga Jakarta Pusat, sehingga Mahkamah Agung Republik Indonesia pada tingkat kasasi membatalkan putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat. Analisis Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 021K/N/2002, tanggal 05 Juli 2002, yang membatalkan putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat Nomor 10/PAILIT/2002/PN. NIAGA.JKT. PST tanggal 13 Juni 2002, dengan alasan judex facti (Pengadilan Niaga Jakarta Pusat) telah salah menerapkan hukum. Sebagai judex juris, Mahkamah Agung Republik Indonesia menerapkan Pasal 6 ayat (3) dan Pasal 67 ayat (5) Undang-undang Nomor 4 Tahun 1998 tentang Kepailitan. Berdasarkan ketentuan ini, maka persyaratan pembuktian dari perkara kepailitan harus sederhana dan tidak rumit. Pasal 67 ayat (5) Undang-undang Nomor 4 Tahun 1998 tentang Kepailitan: “Untuk menghadap di muka pengadilan, Kurator harus terlebih dahulu mendapatkan izin dari hakim pengawas, kecuali menyangkut sengketa pencocokan piutang atau dalam hal-hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36, Pasal 38, Pasal 39, dan Pasal 57 ayat (2)” Sebagaimana dikemukakan sebelumnya, bahwa perkara ini adalah perkara yang menyangkut tuntutan pembagian atau pembayaran deviden tahun 1998 dan 1999 yang belum dibayar oleh PT. AJMI kepada PT. DSS (dalam pailit), lalu Kurator dari PT. DSS (dalam pailit) menuntut pembayaran deviden tersebut dengan cara mengajukan perkara pailit kepada Pengadilan Niaga Jakarta Pusat. Hukum Kepailitan di Indonesia 229

Jadi, perkaranya adalah menyangkut pembagian deviden, bukan menyangkut sengketa pencocokan utang. Karena bukan perkara yang menyangkut pencocokan utang atau verifikasi utang, maka berdasarkan Pasal 67 ayat (5) Undang-undang Nomor 4 Tahun 1998 tentang Kepailitan, Kurator, sebelum mengajukan perkara kepada Pengadilan Niaga Jakarta Pusat, harus mendapat izin terlebih dahulu dari hakim pengawas. Terbukti bahwa Kurator tidak memperoleh izin dari hakim pengawas, sehingga permohonannya untuk mempailitkan PT. AJMI, ditolak oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia. Pengadilan Niaga Jakarta Pusat juga, semestinya menerapkan ketentuan tersebut, karena Pasal 67 ayat (5) Undang-undang Nomor 4 Tahun 1998 tentang Kepailitan, merupakan norma yang mengikat dan bersifat imperatif. Pasal 6 ayat (3) Undang-undang Nomor 4 Tahun 1998 tentang Kepailitan: “Permohonan pernyataan pailit harus dikabulkan apabila terdapat fakta atau keadaan yang terbukti secara sederhana bahwa persyaratan untuk dinyatakan pailit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) telah terpenuhi.” Terbukti bahwa perkara kepailitan ini adalah perkara yang pembuktiannya tidak sederhana. Karena masih ada sengketa lain yang ada dan erat kaitannya dengan perkara ini, yang harus dibuktikan yakni tentang sengketa kepemilikan saham di PT. AJMI antara PT. DSS (dalam pailit) dengan RGA. Karena masih bersengketa, sehingga belum jelas siapakah yang mempunyai otoritas untuk mengajukan gugatan pembagian deviden (keuntungan dari saham) kepada Pengadilan Niaga Jakarta Pusat. Pembuktian mengenai hal ini tidak sederhana, sehingga menjadi kompetensi pengadilan negeri. Selain hal-hal yang penulis kemukakan di atas, karena yang dituntut adalah pembagian deviden tahun 1998 dan 1999, maka harus dibuktikan terlebih dahulu apakah ada deviden tersebut. Kalau ada, karena deviden itu adalah hak dari para pemegang saham, maka apakah RUPS sudah memutuskan untuk dibagi? Terbukti bahwa RUPS menetapkan bahwa deviden akan dibayarkan kepada para pemegang saham, apabila telah tercapai 230 Hukum Kepailitan di Indonesia

atau terpenuhi dana cadangan yang ditentukan oleh Menteri Keuangan Republik Indonesia untuk suatu perusahaan asuransi. Ternyata bahwa dalam perkara pemailitan PT. AJMI ini, belum ada ketetapan dari Menteri Keuangan Republik Indonesia tentang dana cadangan tersebut sudah terpenuhi atau belum. Undang-undang Nomor 4 Tahun 1998 tentang Kepailitan, tidak mengatur bahwa kepailitan suatu perusahaan harus berdasarkan persetujuan dari mayoritas Kreditor (majority lenders). Pengajuan permohonan pailit dapat dilakukan oleh dan atas inisiatif Debitor (voluntary petition) dan dapat juga diajukan oleh Kreditor terhadap Debitor (unvoluntary petition). Adanya persetujuan mayoritas Kreditor, dapat mencegah terjadinya pemailitan terhadap suatu perusahaan seperti halnya perusahaan asuransi, padahal perusahaan tersebut masih going concern, solven, dan prospektif. Persetujuan mayoritas Kreditor merupakan salah satu bentuk perlindungan hukum terhadap Kreditor, Debitor, dan masyarakat luas, dan perlindungan hukum yang demikian dapat menarik pihak investor menginventasikan uangnya di Indonesia. Undang-undang Nomor 4 Tahun 1998 tentang Kepailitan, khususnya Pasal 1, tidak mengatur tentang otoritas Menteri Keuangan Republik Indonesia sebagai satu-satunya yang dapat mempailitkan suatu perusahaan asuransi, sebagaimana halnya otoritas yang diberikan hanya kepada Bank Indonesia, apabila yang dipailitkan adalah bank, dan otoritas yang diberikan hanya kepada Badan Pengawas Pasar Modal, apabila yang dipailitkan adalah perusahaan efek. Pasal 20 Undang-undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian mengatakan dalam hal terdapat pencabutan usaha perasuransian, maka Menteri Keuangan Republik Indonesia berdasarkan kepentingan umum dapat memintakan kepada pengadilan agar perusahaan yang bersangkutan dinyatakan pailit. Jadi, dengan alasan kepentingan umum, Menteri Keuangan Republik Indonesia dapat (bukan harus) mempailitkan suatu perusahaan asuransi yang telah dicabut terlebih dahulu izin usahanya oleh Menteri tersebut. Hukum Kepailitan di Indonesia 231

Berdasarkan Pasal 20 Undang-undang tersebut, maka selain Menteri Keuangan Republik Indonesia, Debitor, Kreditor, dan kejaksaan demi kepentingan umum, dapat mempailitkan perusahaan asuransi. Karena Pasal 1 Undang-undang Nomor 4 Tahun 1998 tentang Kepailitan dan Pasal 20 Undang-undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian, memberikan wewenang tidak saja hanya kepada Menteri Keuangan Republik Indonesia untuk mempailitkan perusahaan asuransi, tetapi juga kepada Debitor, Kreditor, dan kejaksaan demi kepentingan umum, maka setelah Undang-undang Nomor 4 Tahun 1998 tentang Kepailitan diundangkan, banyak perusahaan asuransi (termasuk PT. AJMI) yang dipailitkan. Untuk merespon keinginan dari stakeholders, yang ada kaitannya dengan asuransi, maka dalam RUU Kepailitan, kewenangan untuk mempailitkan perusahaan asuransi, hanya diberikan kepada Menteri Keuangan Republik Indonesia. Menteri Keuangan Republik Indonesia berdasarkan kewenangan yang ada padanya, demi melindungi kepentingan umum dan masyarakat luas, dapat mempailitkan perusahaan asuransi. Jadi kebijakan yang ditempuh harus selalu mengacu kepada kesejahteraan masyarakat banyak. Selain alasan juridis formal yang dikemukakan dalam putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia tersebut, tersirat juga alasan-alasan sosiologis dan filosofis. Alasan sosiologis yakni dengan memperhatikan kepentingan umum, khususnya para stakeholders yang berkaitan dengan PT. AJMI, seperti kepentingan 400.000 pemegang polis yang perlu mendapatkan perlindungan dari putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia tersebut. Alasan filosofis, yang juga masih berkaitan dengan kepentingan umum, yakni warga masyarakat luas. Jadi putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia tersebut telah menerapkan Teori Utilitarisme dari Jeremy Benthan. Semboyan Teori Utilitarisme ini adalah “kesejahteraan terbesar untuk warga masyarakat terbanyak (the great happiness for the great members). Teori Utilitarisme digunakan untuk analisis terhadap putusan Mahkamah Agung

232 Hukum Kepailitan di Indonesia

Republik Indonesia tersebut, masih sangat relevan dan tetap dapat dipertahankan. Diamping itu, konsep hukum Alan Hugo de Groot atau Grotius yang berpendapat bahwa hukum harus mempunyai moralitas yang tinggi sehingga tidak boleh ada satu pihak pun yang dirugikan merupakan pisau analisis yang sesuai dengan putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia. Analisa penulis mengenai wewenang Kurator PT. DSS, berdasarkan Undang-undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang: Pasal 26: (penjelasan cukup jelas) (1) Tuntutan mengenai hak atau kewajiban yang menyangkut harta pailit harus diajukan oleh atau terhadap Kurator. (2) Dalam hal tuntutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan atau diteruskan oleh atau terhadap Debitor Pailit, maka apabila tuntutan tersebut mengakibatkan suatu penghukuman terhadap Debitor Pailit, penghukuman tersebut tidak mempunyai akibat hukum terhadap harta pailit. Kurator PT DSS berwenang mengajukan permohonan pailit PT AJMI atas harta PT DSS yaitu dividen atas saham PT AJMI, milik PT DSS. Pasal 78: Tidak adanya kuasa atau izin dari Hakim Pengawas, dalam hal kuasa atau izin diperlukan, atau tidak diindahkannya ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83 dan Pasal 84, tidak mempengaruhi sahnya perbuatan yang dilakukan oleh Kurator terhadap pihak ketiga. Berdasarkan pasal ini, Kurator PT DSS tidak harus ada kuasa atau izin dari Hakim Pengawas untuk mengajukan permohonan pailit PT AJMI. Pasal 8 ayat (4): Permohonan pernyataan pailit harus dikabulkan apabila terdapat fakta atau keadaan yang terbukti secara sederhana bahwa persyaratan untuk dinyatakan pailit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) telah dipenuhi. Hukum Kepailitan di Indonesia 233

6. Fungsi Kurator Dalam Perdamaian (Accoord) Disamping berfungsi untuk mengurus dan membereskan harta pailit Debitor pailit berfungsi juga dalam perdamaian atau “accord”. Dalam Undang-undang No.37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, diatur juga tentang fungsi Kurator dalam perdamaian, namun fungsi ini lebih bersifat pasif karena berfungsi dalam administrasi saja. Inisiatif perdamaian bersumber dari Debitor pailit, bukan dari Kurator. Argumentasi ini yang menurut Penulis bahwa Kurator bersifat pasif. Argumentasi ini didukung oleh beberapa ketentuan, yaitu antara lain: 1. Kurator wajib memberikan pendapat tertulis tentang rencana perdamaian dalam rapat pencocokan piutang. Pasal 146: Kurator dan panitia Kreditor sementara, masingmasing wajib memberikan pendapat tertulis tentang rencana perdamaian dalam rapat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 145. 2. Kurator dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari setelah tanggal rapat terakhir harus memberitahukan kepada Kreditor yang diakui atau Kreditor yang untuk sementara diakui yang tidak hadir pada rapat pencocokan piutang dengan surat yang memuat secara ringkas isi rencana perdamaian tersebut. Pasal 148: Dalam hal pembicaraan dan pemungutan suara mengenai rencana perdamaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 147 ditunda sampai rapat berikutnya, Kurator dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari setelah tanggal rapat terakhir harus memberitahukan kepada Kreditor yang diakui atau Kreditor yang untuk sementara diakui yang tidak hadir pada rapat pencocokan piutang dengan surat yang memuat secara ringkas isi rencana perdamaian tersebut. 3. Kurator wajib memberitahukan kepada Kreditor dengan surat mengenai penetapan hari sidang. Pasal 156 ayat(2): Dalam hal terdapat kekeliruan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 155, penetapan hari sidang akan 234 Hukum Kepailitan di Indonesia

4.

5.

dilakukan oleh Pengadilan dan Kurator Wajib memberitahukan kepada Kreditor dengan surat mengenai penetapan hari sidang tersebut. Kurator wajib mengumumkan perdamaian dalam Berita Negara Republik Indonesia dan surat kabar harian. Pasal 166 ayat(2): Kurator wajib mengumumkan perdamaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam Berita Negara Republik Indonesia dan paling sedikit 2 (dua) surat kabar harian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (4). Kurator akan bertugas kembali dengan pemberesan harta pailit setelah kepailitan dibuka kembali. Pasal 175 ayat(1): Setelah kepailitan dibuka kembali maka tidak dapat lagi ditawarkan perdamaian. Pasal 175 ayat(2): Kurator wajib seketika memulai dengan pemberesan harta pailit.

Hukum Kepailitan di Indonesia 235

1. Kewenangan Hakim Pengawas Dalam Proses Pemberesan Harta Pailit Hakim Pengawas diatur pada Bagian Ketiga Tentang Pengurusan Harta Pailit Paragraf I dari Pasal 65 sampai dengan Pasal 68 dan tersebar dalam beberapa pasal UU Kepailitan. Pasal 1 Angka 8 UU Kepailitan menyebutkan Hakim Pengawas adalah hakim yang ditunjuk langsung oleh Pengadilan dalam putusan pailit atau putusan tentang penundaan kewajiban pembayaran utang. Hal tersebut berkaitan dengan Pasal 15 UU Kepailitan yang menyatakan bahwa dalam putusan pernyataan pailit harus diangkat kurator dan seorang hakim pengawas yang ditunjuk dari hakim pengadilan. Hakim Pengawas mempunyai peranan yang sangat penting dalam proses pemberesan harta pailit, terutama tugas Hakim Pengawas yaitu mengawasi segala tindakan yang dijalankan oleh Kurator dengan segala kewenangan yang ada padanya. Kewenangan yang dilakukan oleh Hakim Pengawas diterimanya berdasarkan penunjukan Pengadilan dalam putusan penyataan

236 Hukum Kepailitan di Indonesia

pailit. Beberapa langkah penting yang dilakukan seorang Hakim Pengawas dalam menjalankan kewenangannya. Skema 4. Prosedur Pemberesan Harta Pailit Pengelolaan Budel & Perdamaian dalam kepailitan

Permohonan Kepailitan

Pernyataan Pailit

Pernyataan Pailit

Hakim Pengawas mulai bekerja pada tahap ini

Insolvensi

Pemberesan

Rencana Perdamaian Tidak Ada/Ditolak Kreditor

Pembagian Tidak Dinyatakan Lunas

Pembagian Dinyatakan Lunas

Majelis Hakim Menolak Mengesahkan Perdamaian

Perdamaian Dibatalkan

Pengesahan Perdamaian

Perdamaian

Rehabilitasi

Oleh Majelis Hakim Dilaksanakanadalah wakil pengadilan Pada prinsipnya hakim pengawas yang bertugas mengawasi kerja kurator, ruang lingkup tugas hakim pengawas tidak hanya mengawasi atau memberikan Apabila terbukti secara sederhana bahwa debitor/termohon memiliki setidaknya lebih dari dua utang, dan salah satu diantaranya telah jatuh tempo dan dapat ditagih, izin maka Pengadilan menyatakan debitor berada dalam keadaan pailit. hakim pengawas persetujuan atau kepada kurator akan tetapi Selain memuat pernyataan pailit, putusan tersebut juga memuat pengangkatan kurator, penunjukan Hakim Pengawas, serta pembentukan Panitia Kreditor juga berwenang untuk memberikan instruksi kepada kurator agar Sementara (apabila diperlukan). melakukan atau tidak melakukan sesuatu sehubungan dengan harta pailit. Kemudian hakim pengawas wajib didengar pendapatnya oleh pengadilan sebelum mengambil putusan mengenai pemberesan harta pailit. Hakim Pengawas berwenang untuk mendengar saksi atau memerintahkan penyelidikan oleh para ahli untuk memperoleh kejelasan segala hal yang berkaitan dengan kepailitan. Dalam pelaksanaan tugasnya sebagaimana diatur UU Kepailitan Hakim Pengawas berwenang melakukan hal-hal sebagai berikut : 1. Menerima permohonan dari kreditor pemegang hak jaminan seperti gadai, hipotek, jaminan fidusia, hak tanggungan atau pihak ketiga yang permohonannya untuk melakukan pengangkatan penangguhan atas hak eksekusi harta pailit, sesuai Pasal 57 Ayat (3) UU Kepailitan. 2. Memberikan pendapat kepada pengadilan sebelum pengadilan memutus sesuatu yang berkaitan dengan

Hukum Kepailitan di Indonesia 237

proses pemberesan harta Debitor pailit, sesuai Pasal 66 UU Kepailitan. 3. Hakim Pengawas berwenang mendengarkan keterangan saksi atau memerintahkan penyelidikan oleh para ahli berkaitan dengan kepailitan, sesuai Pasal 67 UU Kepailitan. 4. Memberikan persetujuan kepada kurator untuk melakukan pinjaman pihak ketiga apabila pinjaman tersebut membebankan harta pailit dengan hak jaminan kebendaan, gadai, hipotek, hak tanggungan, jaminan fidusia, sesuai Pasal 69 Ayat (3) UU Kepailitan. 5. Memberi izin kepada kurator untuk menghadap pengadilan sebagaimana maksud Pasal 69 Ayat (5) UU Kepailitan. 6. Menerima laporan dari kurator setiap 3 (tiga) bulan sekali berkaitan dengan keadaan harta pailit dan pelaksanaan tugasnya, sesuai Pasal 74 Ayat (1) UU Kepailitan. 7. Memberikan perpanjangan jangka waktu kepada kurator untuk memberikan laporan keadaan harta pailit dan pelaksanaan tugasnya, sesuai Pasal 74 Ayat (3) UU Kepailitan. 8. Menerima keberatan dari Kreditor, Panitia Kreditor dan dari Debitor tentang perbuatan yang dilakukan oleh Kurator atau permohonan untuk mengeluarkan surat perintah agar kurator melakukan perbuatan tertentu atau tidak melakukan yang sudah direncanakan, sesuai Pasal 77 Ayat (1) UU Kepailitan., 9. Menawarkan kepada kreditor untuk membentuk Panitia Kreditor Tetap setelah pencocokan piutang selesai dilaksanakan, sesuai Pasal 80 Ayat (1) UU Kepailitan. 10. Memimpin/ketua jalannya rapat kreditor, sesuai Pasal 85 UU Kepailitan. 11. Menentukan hari, tanggal, waktu dan tempat dilaksanakannya rapat kreditor pertama yang harus dilaksanakan paling lambat 30 (tiga puluh) hari setelah 238 Hukum Kepailitan di Indonesia

12.

13.

14.

15.

16.

17.

18.

19.

tanggal putusan pailit diucapkan, sesuai Pasal 86 Ayat (1) UU Kepailitan. Setelah tiga hari putusan pailit diucapkan, hakim pengawas wajib meyampaikan rencana pelaksanaan rapat kreditor kepada kurator, sesuai Pasal 86 Ayat (2) UU Kepailitan. Hakim Pengawas dapat mengadakan rapat kreditor apabila dianggap perlu dan atas permintaan: Panitia Kreditor atau sekurang-kurangnya lima kreditor yang mewakili 1/5 (satu perlima) bagian dari jumlah piutang yang diakui atau diterima dengan syarat, sesuai Pasal 90 Ayat (2) UU Nomor 37 Tahun 3004. Hakim Pengawas memberikan izin kepada Debitor pailit jika akan meninggalkan kota, sesuai Pasal 97 UU Kepailitan. Hakim Pengawas harus menetapkan a. batas akhir pengajuan tagihan, b. batas akhir verifikasi pajak untuk menentukan besarnya kewajiban pajak sesuai dengan peraturan perundang-undanganpajak, c. hari, tanggal, waktu dan tempat rapat kreditor untuk mengadakan pencocokan piutang. Selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari setelah putusan pernyataan pailit diucapkan, sesuai Pasal 113 Ayat (1) UU Kepailitan. Meminta Debitor pailit memberikan keterangan dalam rapat pencocokan piutang mengenai sebab kepailitan dan keadaan harta pailit, sesuai Pasal 121 UU Kepailitan. Memerintahkan kurator untuk membacakan daftar piutang yang diakui dan daftar piutang yang dibantah dalam rapat pencocokan piutang, sesuai Pasal 124 Ayat (1) UU Kepailitan. Menandatangani Berita Acara Rapat bersama dengan Panitera Pengganti, sesuai Pasal 126 Ayat (4), Pasal 154 UU Kepailitan. Mendamaikan pihak-pihak yang bersengketa berkaitan dengan piutang yang dibantah atau memeriksa perselisihan antara pihak-pihak tersebut dan apabila Hukum Kepailitan di Indonesia 239

damai tidak tercapai maka hakim pengawas memerintahkan pihak-pihak untuk menyelesaikan perselisihan tersebut di pengadilan, sesuai Pasal 127 UU Kepailitan. 20. Hakim Pengawas menentukan hari dan tanggal persidangan mengenai pengesahan rencana perdamian, sesuai Pasal 156 UU Kepailitan. 21. Atas permintaan kreditor atau kurator, hakim pengawas dapat memerintahkan supaya kelanjutan perusahaan dihentikan, sesuai Pasal 183 Ayat (1) UU Kepailitan. 22. Apabila cukup uang tunai maka Hakim Pengawas dapat memerintahkan Kurator untuk melakukan pembagian kepada kreditor yang piutangnya telah dicocokan, sesuai Pasal 188 UU Kepailitan. 23. Memberikan persetujuan atas daftar pembagian yang telah disusun oleh kurator, sesuai Pasal 189 Ayat (1) UU Kepailitan. 24. Hakim Pengawas menentukan hari, tanggal persidangan untuk memeriksa perlawanan kreditor terhadap daftar pembagian sebagaimana dimaksud Pasal 192, persidangan tersebut terbuka untuk umum, sesuai Pasal 194 Ayat (1) UU Kepailitan. 25. Hakim Pengawas wajib memerintahkan pencoretan terhadap pendaftaran hipotek, hak tanggungan, jaminan fidusia yang membebani benda yang termasuk harta pailit, segera setelah daftar pembagian yang memuat pertanggungjawaban hasil penjualan benda yang dibebankan menjadi mengikat, sesuai Pasal 197 UU Kepailitan. Penetapan Hakim pengawas yang tidak dapat diajukan banding : 1. Segala sesuatu yang diperoleh Debitor seperti gaji, uang jasa, upah, pensiun, uang tunggu, yang tidak termasuk harta pailit, sesuai Pasal 22 huruf b.UU Kepailitan 2. Izin kepada kurator untuk meneruskan penjualan benda milik Debitor dalam rangka eksekusi yang sudah 240 Hukum Kepailitan di Indonesia

3.

4.

5. 6.

7.

8.

ditetapkan jauh sebelum putusan pernyataan pailit diucapkan, sesuai pasal 33 UU Kepailitan. Permintaan dari Panitia Kreditor dalam hal yang bersangkutan tidak setuju dengan pendapat kurator sehubungan dengan tugas panitia kreditor dalam memberikan pendapat kepada kurator, sesuai Pasal 84 UU Kepailitan. Izin kepada kurator untuk melanjutkan usaha Debitor pailit, apabila dalam keadaan kepailitan tidak diangkat Panitia Kreditor, sesuai Pasal 104 Ayat (2) UU Kepailitan. Jumlah uang untuk biaya hidup Debitor dan keluarganya, sesuai Pasal 106 UU Kepailitan. Hari pengucapan sumpah kreditor atas permintaan kurator untuk menguatkan kebenaran piutangnya yang tidak dibantah oleh kurator atau oleh salah seorang kreditor, sesuai Pasal 124, Pasal 125 Ayat(1) UU Kepailitan. Berupa perintah kepada kurator dan kreditor untuk menyelesaikan perselisihan, yang tidak dapat didamaikan oleh Hakim Pengawas karena ada bantahan mengenai pengakuan piutang dari kurator ke pengadilan niaga, sesuai Pasal 127 Ayat (1) UU Kepailitan. Berupa perintah atas permintaan kreditor atau kurator, untuk menghentikan kelanjutan perusahaan Debitor pailit, kelanjutan mana telah ditetapkan sebelum dalam suatu rapat yang diadakan oleh Hakim Pengawas, sesuai Pasal 181, Pasal 183 Ayat (1) UU Kepailitan.

2. Kewenangan Kurator Dalam Proses Pemberesan Harta Pailit Kurator sebagaimana diuraikan dalam Pasal 1 huruf 5 UU Kepailitan adalah Balai Harta Peninggalan atau orang perorangan yang diangkat oleh pengadilan untuk mengurus dan membereskan harta Debitor pailit dibawah pengawasan Hakim Pengawas. Pasal 70 Ayat (2) UU Kepailitan disebutkan bahwa yang dapat menjadi kurator sebagaimana dimaksud Ayat (1) huruf b adalah :

Hukum Kepailitan di Indonesia 241

a. Orang perorangan yang berdomisili di Indonesia, yang memiliki keahlian khusus yang dibutuhkan dalam rangka mengurus dan atau membereskan harta pailit; dan b. Terdaftar pada kementrian yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang hukum dan peraturan perundang-undangan. Pada dasarnya kurator menggantikan kedudukan Debitor untuk mengelola harta kekayaannya sejak pernyataan pailit diputuskan pengadilan. Sejak dinyatakan pailit Debitor secara hukum tidak dapat lagi menguasai dan mengurus harta kekayaannya yang termasuk kedalam harta pailit. Kurator bekerja demi kepentingan harta pailit dalam rangka menyelesaikan atau membayar utang-utang Debitor kepada para kreditor. Kurator harus bekerja untuk menambah atau mengamankan harta pailit atau demi menjaga kepentingan kreditor. Kurator harus bertanggung jawab atas kesalahan atau kelalaiannya dalam melaksanakan tugas pemberesan harta pailit yang mengakibatkan kerugian terhadap harta pailit mencakup juga kerugian terhadap kepentingan kreditor.209 UU Kepailitan memberikan kewenangan kepada Pengadilan untuk mengangkat Kurator sebagaimana disebutkan dalam Pasal 15 Ayat (1), Dalam hal Debitor, kreditor atau pihak lain yang berwenang mengajukan permohonan pernyataan pailit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Ayat (2), Ayat (3), Ayat (4) atau Ayat (5) tidak mengajukan usul pengangkatan kurator kepada Pengadilan maka Balai Harta Peninggalan diangkat selaku kurator. Kurator yang diangkat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 (1) UU Kepailitan harus independen, tidak mempunyai benturan kepentingan dengan Debitor atau kreditor dan tidak sedang menangani perkara kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang lebih dari 3 (tiga) perkara. Dalam praktik pengadilan kurator diusulkan oleh pemohon kepailitan, nama kurator yang diusulkan tercantum dalam petitum permohonan pernyataan pailit yang diajukan pemohon. Karenanya 209

Mahkamah Agung RI, Mengenal Hukum Kepailitan Indonesia, Buku Pendamping, hlm.15.

242 Hukum Kepailitan di Indonesia

sangat subjektif sementara UU Kepailitan mensyaratkan bahwa kurator yang ditunjuk haruslah independen dan tidak mempunyai kepentingan, Penjelasan Pasal 15 Ayat (3) UU Kepailitan menyebutkan yang dimaksud dengan independen dan tidak mempunyai kepentingan adalah bahwa kelangsungan keberadaan kurator tidak bergantung kepada Debitor atau kreditor dan kurator tidak mempunyai kepentingan ekonomis yang sama dengan kepentingan ekonomis Debitor dan kreditor, untuk membuktikan hal tersebut tidak mudah. Sebagaimana Pasal 69 Ayat (1) UU Kepailitan menyebutkan bahwa tugas pokok kurator adalah melakukan pemberesan harta pailit, pengertian ini sangatlah luas dan tidak dibatasi. Pasal 65 UU Kepailitan menyebutkan bahwa hakimpengawas mengawasi pemberesan harta pailit. Pengawasan yang dilakukan oleh hakim Pengawas tidak maksimal karena Hakim pengawas ditunjuk dari Hakim Pengadilan dalam hal ini Hakim pengadilan Niaga yang juga mesti menangani perkara di pengadilan. Penggantian kurator dapat dikabulkan oleh Hakim Pengawas sebagaimana disebutkan dalam Pasal 71 UU Kepailitan yaitu : (1) Pengadilan setiap waktu dapat mengabulkan usulan penggantian kurator, setelah memanggil dan mendengar kurator dan mengangkat kurator lain dan atau mengangkat kurator tambahan atas : a. permohonan kurator sendiri. b. Permohonan kurator lainnya, jika ada c. Usul Hakim Pengawas; atau Permintaan Debitor pailit. (2) Pengadilan harus memberhentikan atau mengangkat kurator atas permohonan atau atas usulan kreditor konkuren berdasarkan putusan rapat kreditor yang diselenggarakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90, dengan persyaratan putusan tersebut harus diambil berdasarkan suara setuju lebih dari ½ jumlah kreditor konkuren atau kuasanya yang hadir dalam rapat dan yang mewakili ½ jumlah piutang kreditor konkuren atau kuasanya yang hadir dalam rapat tersebut. Hukum Kepailitan di Indonesia 243

Pelaksanaan tugas kurator selain diawasi oleh Hakim Pengawas dan semua pihak yang berkepentingan dengan proses pemberesan harta pailit tersebut, kepada kurator juga diwajibkan membuat laporan setiap tiga bulan kepada Hakim Pengawasan tentang keadaan harta pailit dan pelaksanaan tugasnya, laporan tersebut bersifat terbuka untuk umum dan dapat dilihat oleh setiap orang dengan cuma-cuma, sesuai Pasal 74 UU Kepailitan. Pasal 77 Ayat (1) UU Kepailitan menyatakan bahwa Kreditor, Panitia Kreditor dan Debitor dapat melakukan hal-hal : 1. Mengajukan keberatan kepada Hakim Pengawas terhadap perbuatan yang dilakukan oleh kurator, atau 2. Memohon kepada Hakim Pengawas untuk mengeluarkan surat perintah agar kurator melakukan perbuatan tertentu atau tidak melakukan perbuatan tertentu yang sudah direncanakan. Hakim Pengawas setelah menerima keberatan tersebut paling lambat 3 (tiga) hari harus menyampaikan kepada kurator dan memberikan batas waktu kepada kurator untuk memberikan tanggapan kepada Hakim Pengawas, setelah Hakim Pengawas menerima tanggapan kurator paling lambat 3 (tiga) hari sudah harus menerbitkan penetapan. Dalam praktik pengadilan pada umumnya kurator diusulkan oleh pemohon pailit dalam permohonannya, dalam proses persidangan pemohon menyampaikan dokumen yang berkaitan dengan pengusulan seseorang sebagai kurator dengan mengajukan surat pengangkatan kurator tersebut oleh Kementrian Hukum dan HAM serta pernyataan dari calon kurator tersebut bahwa ia tidak sedang menangani perkara kepailitan sebagai kurator lebih dari tiga perkara dan menyatakan kurator tersebut tidak terkait kepentingan dengan kepailitan yang sedang berjalan. Pangadilan selain mempertimbangkan bukti-bukti yang diajukan sebagai lampiran permohonan pengajuan seseorang sebagai kurator dalam kepailitan tersebut hendaknya Debitor dapat mengajukan bukti lain yang menyatakan keberatan tentang disusulkannya seseorang menjadi kurator dalam kepailitan in cassu, keberatan tersebut dapat menjadi pertimbangan bagi 244 Hukum Kepailitan di Indonesia

pengadilan untuk mengabulkan atau menolak seseorang sebagai kurator. Seharusnya asosiasi kurator atau pengurus mengajukan nama-nama kurator atau pengurus dalam daftar ke pengadilan dan pengadilan akan menunjuk kurator yang ada tercantum dalam daftar nama kurator yang ada pada pengadilan, sehingga dapat mencegah adanya rebutan perkara di lingkungan kurator dan dapat memberikan peran lebih kepada asosiasi untuk melakukan pengawasan dan pemberian sanksi oleh organisasi jika terdapat kurator yang nakal dan tidak menjaga nama baik profesinya. Beberapa tindakan Kurator yang memerlukan izin Hakim Pengawas : 1. Untuk meneruskan penjualan benda milik Debitor dalam rangka eksekusi yang sudah ditetapkan jauh sebelum putusan pernyataan pailit diucapkan, sesuai Pasal 33 UU Kepailitan. 2. Untuk tidak menerima suatu warisan, sesuai Pasal 40 Ayat (2) UU Kepailitan. 3. Untuk meminta penyegelan harta pailit kepada pengadilan niaga, sesuai Pasal 99 Ayat (1) UU Kepailitan. 4. Untuk melanjutkan usaha Debitor pailit, apabila dalam kepailitan tidak diangkat panitia kreditor, sesuai Pasal 104 Ayat (2) UU Kepailitan. 5. Untuk menyimpan uang perhiasan, effek dan surat berharga lainnya pada pihak lain atau oleh Hakim Pengawas ditentukan lain, sesuai Pasal 108 Ayat (1) UU Kepailitan. 6. Untuk menyimpan uang tunai yang tidak diperlukan untuk pengurusan harta pailit di Bank untuk kepentingan harta pailit, sesuai Pasal 108 Ayat (2) UU Kepailitan. 7. Untuk mengadakan perdamaian guna mengakhiri suatu perkara yang sedang berjalan atau mencegah timbulnya suatu perkara (dengan meminta saran Panitia kreditor), sesuai Pasal 109 UU Kepailitan. 8. Untuk melakukan penjualan semua benda Debitor pailit secara dibawah tangan dalam rangka pemberesan harta Hukum Kepailitan di Indonesia 245

pailit setelah keadaan insolvensi terjadi, sesuai Pasal 185 Ayat (2) UU Kepailitan. 9. Untuk memutuskan hal-hal tertentu sehubungan dengan semua benda yang tidak segera atau sama sekali tidak dapat dibereskan, yang dilakukan setelah keadaan insolvensi terjadi, sesuai Pasal 185 Ayat (3) UU Kepailitan. Tindakan Kurator yang memerlukan persetujuan Hakim Pengawas : 1. Untuk melakukan tindakan sah dan mengikat, dalam hal terjadinya hasil pengambilan suara yang sama banyaknya diantara para kurator yang setuju dan tidak setuju untuk menyetujui pelaksanaan tindakan yang bersangkutan, sesuai Pasal 127 Ayat (1) UU Kepailitan. 2. Untuk melakukan pencatatan dibawah tangan atas harta pailit, sesuai Pasal 100 Ayat (2) UU Kepailitan. 3. Untuk melakukan tindakan sah dan mengikat, dalam hal terjadi hasil pengambilan suara yang sama banyaknya diantara para kurator yang setuju dan tidak setuju untuk menyetujui pelaksanaan tindakan yang bersangkutan, sesuai Pasal 127 Ayat (1) UU Kepailitan. 4. Daftar pembagian yang disusun olehnya sehubungan dengan pembayaran piutang yang telah dicocokan kepada kreditor setelah keadaan insolvensi terjadi, sesuai Pasal 189 UU Kepailitan. Kedudukan kreditor dalam hukum kepailitan nasional sebagaimana termuat dalam UU Kepailitan lebih cendrung untuk mengutamakan kepentingan kreditor separatis dan kreditor preferen, meskipun kreditor separatis mempunyai hak istimewa karena sifat piutangnya yang dijaminkan dengan hak jaminan kebendaan dimana kreditor separatis dapat melakukan eksekusi atau pelelangan atas harta Debitor yang ada padanya sebagai jaminan UU Kepailitan masih memberikan kesempatan kepada kreditor separatis menagih dari sisa piutangnya kepada Debitor karena jaminan yang ada padanya belum dapat melunasi semua utang Debitor kepadanya dengan menjadi sebagai kreditor konkuren. 246 Hukum Kepailitan di Indonesia

Pemohon kepailitan yang berbentuk korporasi sebagian besarnya adalah Bank dimana kreditor jenis ini mempunyai hak jaminan, perbankan disebutkan bahwa dalam pelaksanaan pengelolaan kegiatannya harus menerapkan asas kehati-hatian, sehingga pada saat Bank melakukan perikatan perjanjian pinjam meminjam dengan Debitornya hendaknya telah menerima jaminan sesuai dengan nilai pinjaman yang diberikan kepada Debitornya, sehingga kekurangan nilai dari jaminan kebendaan yang dimilikinya akibat kreditor ini tidak menerapkan asas kehati-hatian dengan baik, sehingga jika dalam penagihan piutangnya yang dijamin dengan hak jaminan kebendaan ataupun dengan hak tanggungan terdapat kekurangan nilai jaminan adalah merupakan resiko dari pihak kreditor perbankan dan berlebihan jika kekurangan pemenuhan piutangnya tersebut akan mengurangi hak atau mengganggu hak dari kreditor konkuren lainnya dalam kepailitan tersebut, kecuali jika nilai harta pailit dapat melunasi semua utang-utangnya kepada semua kreditor.210 UU Kepailitan juga tidak melindungi kepentingan Debitor secara maksimal dikaitkan dengan UU Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas, jika sebuah perseroan telah dinyatakan pailit dengan menyatakan harta benda pailit dalam keadaan insolvency secara hukum perseroan harus terlikuidasi, dengan keadaan demikian tidak ada lagi kemungkinan perseroan tersebut untuk eksis dalam kegiatannya, ini bertentangan dengan maksud dan arah kebijakan pemerintah dibidang ekonomi dengan menutup dan melikuidasi perseroan yang diajukan pailit yang berkemungkinan masih bisa direstrukturisai. Keadaan demikian bertentangan dengan maksud dan tujuan dari UU Perseroan yang pada konsiderannya menyebutkan bahwa perekonomian nasional diselenggarakan berdasarkan atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efesiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian serta menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi

210

Lihat diagram 2, sumber Pengadilan Niaga Jakarta Pusat.

Hukum Kepailitan di Indonesia 247

nasional perlu didukung oleh lembaga perekonomian yang kokoh dalam rangka mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Selanjutnya disebutkan bahwa dalam rangka lebih meningkatkan pembangunan perekonomian nasional yang sekaligus memberikan landasan yang kokoh bagi dunia usaha dalam menghadapi perkembangan ekonomi di era globalisasi pada masa mendatang, perlu didukung oleh suatu undang-undang yang mengatur tentang perseroan terbatas yang dapat menjamin terselenggaranya iklim dunia usaha yang kondusif, untuk lebih memacu pembangunan perekonomian nasional yang disusun sebagai usaha bersama berdasarkan atas asas kekeluargaan. 3. Kepailitan Untuk Menyelesaikan Utang Debitor Pranata atau lembaga kepailitan adalah merupakan salah satu cara alternatif penyelesaian utang-utang Debitor, dengan maksud lain masih terdapat lembaga-lembaga penyelesaian utang seperti arbitrase, negosiasi antara Debitor dan kreditor atau melalui gugatan perkara perdata biasa di Pengadilan Negeri. Kepailitan menyangkut banyak kepentingan, yaitu kepentingan para kreditor, kepentingan masyarakat juga kepentingan negara, oleh sebab itu pranata atau lembaga kepailitan seyogianya hanya merupakan sarana yang bersifat terakhir atau pamungkas atau ultimum remidium.211 Dari hasil pengalaman selama berlangsungnya Pengadilan Niaga, justru pihak-pihak (para kreditor) merasa tidak puas terhadap pembayaran utang Debitor yang diperoleh dari hasil penjualan seluruh aset Debitor. Pada umumnya, hasil harta pailit tidak akan mencukupi untuk membayar lunas setiap piutang kreditor. Kepailitan sebenarrnya adalah pembagian rasa sakit para kreditor.212 Salah satu prinsip umum ketentuan kepailitan adalah paritas creditorium yang berarti bahwa semua kreditor mempunyai hak yang sama atas pembayaran dari hasil kekayaan Debitor yang dibagikan secara proporsional menurut besarnya tagihan mereka 211

Sutan Remy Sjahdeini, op.cit., Hukum Kepailitan, 2002, hlm. 59. Jerry Hoff, op.cit, hlm. 97.

212

248 Hukum Kepailitan di Indonesia

atau pro rata parte (Pasal 1131 dan Pasal 1132 KUHPerdata). Prinsip paritas creditorium tidak berlaku bagi kelompok kreditor separatis dan kreditor preferen. Ditinjau dari sudut pandang Debitor, kalangan bisnis sangat mengkhawatirkan lembaga kepailitan karena mengakibatkan banyak perusahaan tidak operasional (tutup). Bagi kalangan-kalangan bisnis dan wiraswasta domestik, undang-undang kepailitan cenderung menjadi momok yang menakutkan.213 Namun lembaga kepailitan setelah dibentuknya Pengadilan Niaga berdasarkan Undang-undang Nomor 4 Tahun 1998 banyak mendapat perhatian. Dari kajian yang ada faktorfaktor yang mendorong pihak-pihak terkait (para kreditor) menggunakan lembaga kepailitan antara lain adalah:

a. Proses Permohonan Pailit Cepat : Adanya pemberian kerangka waktu yang pasti dan cepat dalam proses pemeriksaan dan pengambilan keputusan dalam permohonan pernyataan pailit, baik ditingkat pertama maupun ditingkat kasasi dan peninjauan kembali telah mendorong kreditor khususnya untuk menggunakan lembaga kepailitan ini sebagai sarana penyelesaian piutangnya. Upaya hukum terhadap putusan Pengadilan Niaga adalah kasasi dan peninjauan kembali (tidak mengenal banding ke Pengadilan Tinggi).

b. Pembuktiannya Sederhana : Sistem pembuktian sederhana (sumir), artinya pemohon cukup membuktikan secara sederhana bahwa persyaratan pailit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 telah terpenuhi. Pembuktian akan adanya utang yang rumit dan kompleks yang diperkirakan akan membutuhkan waktu lama akan ditolak oleh Pengadilan Niaga.

c. Putusan Bersifat Serta Merta (Uitvoerbaar Bij Voorraad) :

213

Andi Muhammad Asrun, A. Prasetyantoko, dkk. Analisa Yuridis dan Empiris Peradilan Niaga, Jakarta, CINLES, Centre for Information & Law, Economic Studies, Pusat Informasi & Pengkajian Hukum Ekonomi, 2000, hlm. 15.

Hukum Kepailitan di Indonesia 249

Putusan atas permohonan pernyataan pailit bersifat serta merta, maksudnya putusan tersebut dapat dilaksanakan terlebih dahulu meskipun terhadap putusan tersebut disediakan upaya hukum kasasi dan peninjauan kembali.

d. Bersifat Adil : Penyelesaian utang-utang Debitor pailit melalui lembaga kepailitan secara prosedur dilakukan melalui proses yang cepat dan transparan (time frame–nya jelas) sehingga lebih memberi keadilan bagi para kreditor, orang-orang yang terkait (berkepentingan) dengan usaha Debitor, bahkan terhadap Debitor sendiri.

e. Memberi Kepastian Hukum : Penyelesaian utang-utang Debitor melalui lembaga kepailitan dengan proses yang cepat, transparan dan bersifat serta merta memberi kepastian hukum bagi para kreditor, Debitor dan lebih jauh memberi kepastian hukum bagi dunia usaha secara makro. 4. Penyelesaian Sengketa Pailit Krisis moneter tahun 1997 yang melanda Indonesia merupakan salah satu penyebab banyak pengusaha Indonesia yang tidak mampu lagi membayar utang-utang mereka terhadap kreditor luar negeri, bahkan ada yang berhenti membayar utangutang mereka yang telah jatuh tempo. Bagi kreditor tanpa jaminan, keadaan tersebut menjadi persoalan karena tidak ada aset yang dapat diuangkan oleh kreditor. Salah satu jalan singkat untuk memperoleh pembayaran adalah melalui proses kepailitan. Upaya untuk mengatasi krisis moneter tidak terlepas dari keharusan penyelesaian utang-utang luar negeri dari para pengusaha Indonesia. Oleh karena itu, Internasional Monetary Fund (IMF) mendesak agar Pemerintah RI segera mengganti atau merubah peraturan kepailitan yang berlaku, (Faillisement

250 Hukum Kepailitan di Indonesia

Verordering) sebagai sarana agar utang-utang pengusaha Indonesia kepada para kreditornya dapat segera diselesaikan.214 Tanggal 22 April 1998, lahirlah Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Tentang Kepailitan (disingkat dengan Perpu Kepailitan). Perpu tersebut menjadi UndangUndang Nomor 4 Tahun 1998, kemudian diubah menjadi UndangUndang Nomor 37 Tahun 2004. Sejak diundangkannya UndangUndang Nomor 4 Tahun 1998 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, yang berwenang menetapkan seseorang, perusahaan, atau badan usaha dalam keadaan pailit, meminta penundaan pembayaran utang dan perkara perniagaan adalah Pengadilan Niaga. Pembentukan Pengadilan Niaga merupakan terobosan fenomenal diantara berbagai upaya pendekatan untuk menyelesaikan masalah penegakan hukum melalui lembaga peradilan, disamping sebagai pionir bagi dilakukannya reformasi peradilan untuk memenuhi kebutuhan dalam bidang hukum dan perekonomian terutama dalam penyelesaian sengketa bisnis. Pengadilan Niaga sebagai pengadilan khusus merupakan simbol bergulirnya proses restrukturisasi institusi peradilan dalam mengimbangi perkembangan sosial dan ekonomi, yang saat itu sedang terkena krisis moneter sehingga perlu adanya penyelesaian sengketa bisnis secara cepat. Pembentukan suatu pengadilan khusus sebagaimana diamanatkan pembentukannya oleh Undang-Undang Dasar 1945 dan Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman dilakukan melalui undang-undang tersendiri.215

214

Sudargo Gautama, Komentar Atas Peraturan Kepailitan Baru Untuk Indonesia1998, Cetakan I, P T Citra Aditya Bakti, Bandung, 1998, hlm.1. 215 Sebagai contoh maka pembentukan pengadilan HAM tidak diatur pada UndangUndang Nomor 19 Tahun 1999 mengenai Hak Asasi Manusia, melainkan melalui Undang-Undang khusus, Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 mengenai pengadilan HAM, contoh lainnya adalah Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak.

Hukum Kepailitan di Indonesia 251

Susunan kekuasaan dan hukum acara sebagaimana ditentukan Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 24 A ayat (5) menyebutkan : “Susunan, kedudukan, keanggotaan dan hukum acara Mahkamah Agung serta badan peradilan dibawahnya diatur dengan undang-undang”. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dalam Pasal 2 ayat (3) menentukan bahwa pembentukan pengadilan ditetapkan dengan undang-undang: “Semua peradilan di seluruh Wilayah Negara Republik Indonesia adalah peradilan Negara dan ditetapkan dengan undang-undang”. Kedudukan Pengadilan Niaga adalah sebagai pengadilan khusus dalam lingkungan peradilan umum tercantum dalam Pasal 27 dari Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Hal senada juga ditegaskan pada Pasal 8 UndangUndang Nomor 49 Tahun 2009 mengenai Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum yang menyebutkan: "Di lingkungan Peradilan Umum dapat dibentuk pengadilan khusus yang diatur dengan undang-undang". Pengaturan keberadaan dan kewenangan Pengadilan Niaga saat ini keberadaanya tercantum dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang tidak dengan undang-undang tersendiri yang mengatur tentang susunan, kedudukan, kewenangan dan hukum acara Pengadilan Niaga sebagaimana ditentukan dalam UndangUndang Dasar 1945. Menjadi persoalan hukum tatkala pengaturan keberadaan dan kewenangan Pengadilan Niaga yang tercantum dalam Undang-Undang Kepailitan tapi tidak dengan undang-undang tersendiri, apakah tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 yang menentukan bahwa pembentukan Pengadilan diseluruh wilayah Negara Republik Indonesia ditetapkan dengan undang-undang.

252 Hukum Kepailitan di Indonesia

Menurut Jimly Asshiddiqie,216 dalam Undang-Undang Dasar 1945: “Ada undang-undang (i) yang diperintahkan untuk diatur dengan undang-undang yang tersendiri, (ii) ada yang diperintahkan untuk diatur dalam undang-undang, meskipun tidak tersendiri, (iii) ada yang ditetapkan dengan undang-undang, (iv) ada yang disahkan dengan undang-undang, (v) ada pula hal-hal yang diberikan oleh undang-undang, (vi) ada yang diatur berdasarkan undang-undang, atau. (vii) ada pula yang dijamin, diatur, dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan. Dalam kedelapan kategori tersebut, tidak semuanya berisi perintah untuk membentuk undang-undang. Yang secara khusus diperintahkan untuk dibentuk dengan undang-undang tersendiri adalah pada kelompok pertama, yaitu yang menyatakan "diatur dengan undang-undang". Pada kelompok kedua, perumusannya berbunyi, "diatur dalam undang-undang". Artinya, materi yang dimaksudkan disini dapat diatur dalam berbagai undang-undang yang bukan bersifat tersendiri.” Pengertian diatur dengan undang-undang dan dalam undang-undang oleh Harun Alrasid, dinyatakan bahwa istilah diatur dalam undang-undang (geregeld in de wet) ”tidak identik dengan ”diatur dengan undang-undang (geregeld bij de wet)” sebagaimana lazim berlaku. Dikatakan, ”diatur dalam undangundang (geregeld in de wet)” menjawab soal mengenai the where, yaitu bahwasanya kaidah (norma) lebih lanjut daripadanya harus termaktub dalam undang-undang, tidak dalam peraturan perundang-undangan lainnya. Sedangkan menurut Maria Farida Indrati, dikatakan ”dengan undang-undang” maka artinya dibuatkan undang-undang tersendiri atau harus dengan suatu undang-undang yang tersendiri. Istilah-istilah ”de wet geregeld”, ”bij de wet geregeld”, yang termasuk pada Grondwet voor het Koninkrijk der Nederlanden, 1815, laatste wijzingen: Staatsblad 2002 No. 144, pada 216

Jimly Asshiddiqie, Perihal Undang-Undang, Jakarta: Konstitusi Press, 2006, hlm. 263268.

Hukum Kepailitan di Indonesia 253

Hoofdstuk 6, di bawah judul Rechtspraak, dipahami dalam makna ”regulated by act of parliament”, manakala hal sesuatu tersebut tidak ternyata diatur dengan undang-undang (niet geregeld bij de wet) maka dinyatakan inkonstitusional. Pendapat ini dikutip dalam dissenting opinion oleh Laica Marzuki, dalam putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 012-016-019/PUU-IV/2006 19 Desember 2006 yang dalam pertimbangan putusan Mahkamah Konstitusi lainnya halaman 283 ”Diatur dengan undang-undang juga berarti bahwa hal dimaksud harus diatur dengan Peraturan Perundangundangan dalam bentuk undang-undang, bukan dalam bentuk Perundang-undangan lainnya”. Pembentukan Pengadilan Niaga yang diatur dalam UndangUndang Kepailitan adalah tidak tepat sebagaimana dinyatakan oleh Hadi Shubhan,217 “Semestinya pembentukan Pengadilan Niaga yang merupakan deferensiasi/spesialisasi dari peradilan umum harus dibentuk dengan undang-undang tersendiri, tidak hanya diselipkan dalam Undang-Undang Kepailitan. Dalam Pasal 24 A ayat (5) Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan bahwa susunan, kedudukan, keanggotaan dan hukum acara Mahkamah Agung serta Badan Peradilan dibawahnya diatur dengan undang-undang. Demikian pula dalam Undang-Undang Peradilan Umum tersebut diatas dalam Pasal 8 ditegaskan bahwa dilingkungan Peradilan Umum dapat diadakan pengkhususan yang diatur dengan undangundang. Kalimat dalam ketentuan konstitusi dan dalam Peraturan Perundang-undangan tersebut secara expresis verbis dikatakan “diatur dengan undang-undang”, maka seharusnya pengaturan mengenai Pengadilan Niaga juga harus diatur dengan undangundang dan bukan hanya diatur dalam undang-undang. Pengertian “diatur dengan undang-undang” berbeda dengan pengertian “diatur dalam undang-undang”. Kalau “diatur dengan undangundang” maka berarti harus diatur dengan undang-undang tersendiri yang khusus mengatur mengenai hal itu, sedangkan kalau “diatur dalam undang-undang” maka bisa diselipkan dalam 217

Hadi Shubhan, Hukum Kepailitan, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2008, hlm. 102-103.

254 Hukum Kepailitan di Indonesia

suatu undang-undang yang berkaitan dengan hal tersebut. Dengan demikian, maka pengaturan Pengadilan Niaga yang diatur “dalam”Undang-Undang Kepailitan tidak benar, seharusnya Pengadilan Niaga diatur “dengan” undang-undang tersendiri yang khusus mengatur mengenai Pengadilan Niaga. Filosofi diselipkannya pengaturan Pengadilan Niaga dalam Undang-Undang Kepailitan barangkali lebih pada aspek pragmatisnya, sebab, jika hanya diatur secara sumir yang kemudian akan diatur dengan undang-undang tersendiri, biasanya pelaksanaannya molor dan tidak dibuat secara cepat. Hal ini bisa pula dikaitkan dengan terdesaknya waktu untuk memberlakukan Undang-Undang Kepailitan pada Tahun 1998 berkaitan dengan jadwal dari letter of intent antara Indonesia dengan IMF. Namun demikian alasan ini sama sekali tidak relevan pada saat lahirnya Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004, dimana tidak ada pertimbangan pragmatis seperti pada Tahun 1998 tersebut.” 218 Pembentukan pengadilan khusus harus dengan undangundang nampak pula dari Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 012-016-019/PUU-IV/2006 tanggal 19 Desember 2006 yang menyatakan bahwa pembentukan pengadilan tipikor harus dengan undang-undang bukan merupakan bagian dari Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (Pasal 53 Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi). Rukmana Amanwinata berpendapat lain bahwa dasar hukum pembentukan Pengadilan Niaga merujuk kepada Pasal 24 ayat (3) Undang Undang Dasar 1945 yang menyatakan badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam undang-undang. Kompetensi Pengadilan Niaga pada dasarnya (semula berdasarkan ketentuan Pasal 280 Perpu Nomor 1 Tahun 1998 jo Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998), sekarang berdasarkan Pasal 300 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004), adalah memeriksa dan memutus perkara Permohonan Pernyataan Pailit 218

Ibid.

Hukum Kepailitan di Indonesia 255

(PPP) dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) dan perkara lain di bidang perniagaan. Adapun perkara lain dibidang perniagaan yang saat ini diperiksa Pengadilan Niaga adalah perkara dibidang hak kekayaan intelektual yaitu Desain Industri (Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000), Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu (Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2000), Paten (Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2016), Merek (Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016) dan Hak Cipta (Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014). Berdasarkan ketentuan Pasal 300 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 ditentukan bahwa : (1) Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam undangundang ini, selain memeriksa dan memutus permohonan pernyataan pailit dan penundaan kewajiban pembayaran utang, berwenang pula memeriksa dan memutus perkara lain dibidang perniagaan yang penetapannya dilakukan dengan undang-undang.219 (2) Pembentukan-Pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara bertahap dengan Keputusan Presiden, dengan memperhatikan kebutuhan dan kesiapan sumber daya yang diperlukan. Sejak diundangkannya Undang-Undang No. 4 Tahun 1998 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang No. 1 Tahun 1998 Tentang Kepailitan menjadi undangundang (Selanjutnya disingkat UUK). maka terminologi perniagaan semakin dikenal di kalangan pebisnis terlebih lagi jika menghadapi sengketa di antara mereka. Undang-Undang Kepailitan sendiri tidak menjabarkan apa yang dimaksud dengan perniagaan. Pasal 300 Undang-Undang Kepailitan hanya menyebutkan, Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini, selain memeriksa dan memutus 219

Ketentuan Pasal 301 ayat (2) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 menentukan, bahwa: “(2)Dalam hal menyangkut perkara lain di bidang perniagaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 300 ayat (1), Ketua Mahkamah Agung dapat menetapkan jenis dan nilai perkara yang pada tingkat pertama diperiksa dan diputus oleh hakim tunggal.”

256 Hukum Kepailitan di Indonesia

permohonan pernyataan pailit dan penundaan kewajiban pembayaran utang, berwenang pula memeriksa dan memutus perkara lain di bidang perniagaan yang penetapannya dilakukan dengan undang-undang. Mengingat tidak ada penjabaran lebih rinci apa yang dimaksud dengan perniagaan dalam Undang-Undang Kepailitan, dalam pelaksanaanya telah menimbulkan multi interpretasi, dan sengketa kompetensi jika demikian halnya, maka maksud dan tujuan diterbitkannya Undang-Undang Kepailitan yakni untuk mempercepat proses penyelesaikan sengketa bisnis jauh dari harapan pencari keadilan (Justitiabelen). Dalam konteks inilah, langkah awal yang kiranya dapat dilakukan adalah menelusuri makna, apa yang dimaksud dengan perniagaan dalam berbagai sudut pandang. Pertimbangan dikeluarkannya Undang-Undang Kepailitan oleh legislatif secara implisit selain menggunakan terminologi "perniagaan" juga menggunakan terminologi "dunia usaha" dan "perusahaan". Menjadi pertanyaan adalah, apakah seluruh sengketa dunia usaha dan atau perusahaan harus diselesaikan melalui Pengadilan Niaga atau penyelesaian sengketa dunia usaha melalui Pengadilian Niaga harus memenuhi kriteria tertentu, sehingga tidak tumpang tindih dengan wewenang badan peradilan lainnya? Pasal tersebut jika ditelusuri lebih lanjut, akan menimbulkan pertanyaan apakah yang dimaksud dengan pasal itu "perkara lain dibidang perniagaan", yang dimaksud dengan "perkara lain dibidang perniagaan" itu dianggap sebagai "Commercial Matters"220 atau "Commercial Action"221atau "Commercial Case"222. 220

Sudargo Gautama (c), op.cit. hlm 163-164; Sudargo Gautama (g): "Aneka Masalah Hukum Perdata Internasional", Alumni, Bandung, 1985, hlm 246; Sudargo Gautama (h): "Indonesia dan Konvensi-Konvensi Hukum Perdata Internasional", Alumni, Bandung, 1983, hlm 23, 33, 35 dan 36; Sudargo Gautama (i): "Kapita Selekta Hukum Perdata Internasional", Alumni, Bandung, 1983, hlm 23, 24, 26, 28, 42, 45, 51, 62-64; dan Sudargo Gautama (j): "Hukum Perdata dan Dagang Internasional", Alumni, Bandung, 1980, hlm 110, 120, 122-123; 221 Ibid. hlm 13, 28, 29 dan 204; 222 Ibid. hlm 27;

Hukum Kepailitan di Indonesia 257

Bagaimana halnya dalam peraturan perundang-undangan, apakah ada ketentuan yang mengatur tentang ruang lingkup perniagaan? Untuk menjawab pertanyaan ini, tampaknya perlu ditelusuri ketentuan yang mengatur kaum pedagang atau dunia usaha pada umumnya. Jika ditelusuri ketentuan hukum yang khusus mengatur kalangan pedagang, dapat ditemukan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD)223. KUHD yang berlaku di Indonesia saat ini adalah merupakan ketentuan hukum yang berasal dari Belanda Wetboek van Koophandel (WvK) . WvK sendiri pada dasarnya berasal dari Code de Commerce (CdC) di Perancis. Disebut pada dasarnya, karena dalam beberapa hal ada perbedaan antara WvK dengan CdC. Perbedaan yang mencolok adalah dalam CdC dikenal adanya peradilan khusus untuk penyelesaian kasus perniagaan (Speciale Handelsreehtbanken). Munculnya badan peradilan khusus ini, tidak bisa dilepaskan dari perkembangan hukum perdata. Pada waktu itu para pedagang dianggap sebagai golongan tersendiri dengan perbuatan perniagaannya serta perikatan dagangnya dan bahkan mereka mengadakan badan peradilan sendiri untuk menyelesaikan sengketa dagang. Peraturan perundang-undangan jika ditelusuri bahwa terminologi perdagangan dan perniagaan dianggap sama. Hal ini dapat dilihat dalam pengertian Pedagang yang dijabarkan dalam Keputusan Menteri Perdagangan dan Perindustrian No. 23/MPM/Kep/1998 Tentang Lembaga-lembaga Usaha Perdagangan, dalam Pasal 1 butir 2 disebutkan :"Pedagang adalah perorangan atau badan usaha yang melakukan kegiatan perniagaan/perdagangan secara terus menerus dengan tujuan memperoleh laba". Kriteria yang digunakan adalah ada usaha yang terus menerus. Sedangkan rumusan perusahaan antara lain dijelaskan dalam UU No. 3 Tahun 1982 Tentang Wajib Daftar 223

Nama resmi untuk padanan kata Wetboek van Koophandel (WvK) termuat dalam Tambahan Berita Negara RI. No. 759 tanggal 15 Desember 1953 adalah "Buku UndangUndang Perniagaan ". Lihat R Soekardono. Hukum Dagang Indonesia. Jilid I (bagian pertama). Jakarta : Soeroengan, 1963. Cet. 3 hal. 6 dalam catatan kaki. Istilah perniagaan juga digunakan oleh RA.Koesnoen dalam bukunya Kitab Undang-Undang Hukum Perniagaan (Wetboek van Koophandel), Sumur, Bandung, 1961.

258 Hukum Kepailitan di Indonesia

Perusahaan (UU WDP), Pasal 1 butir b. menyebutkan :"Perusahaan adalah setiap bentuk usaha yang menjalankan setiap jenis usaha yang bersifat tetap dan terus menerus dan yang didirikan, bekerja serta berkedudukan dalam wilayah Negara Republik Indonesia, untuk tujuan memperoleh keuntungan dan atau laba". Rumusan senada tentang perusahaan dapat ditemui dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1997 Tentang Dokumen Perusahaan (UU DP), Pasal 1 butir I menyebutkan :"Perusahaan adalah setiap bentuk usaha yang melakukan kegiatan secara tetap dan terus menerus dengan tujuan memperoleh keuntungan dan atau laba. baik yang diselenggarakan oleh orang-perorangan maupun badan usaha yang berbentuk badan hukum atau bukan badan hukum, yang didirikan dan berkedudukan dalam wilayah Negara Republik Indonesia". Istilah perusahaan selain dalam peraturan perundangundangan dikenal pula istilah perdagangan, hal ini terdapat dalam UU No. 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (UU AAPS). Pasal 66 butir b menyebutkan :"Putusan Arbitrase Internasional hanya diakui serta dapat dilaksanakan di wilayah Republik Indonesia, apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut (b). Putusan Arbitrase Internasional sebagaimana yang dimaksud dalam huruf a terbatas pada putusan yang menurut ketentuan hukum Indonesia termasuk dalam ruang lingkup hukum perdagangan. Selanjutnya dalam penjelasan pasal ini disebutkan, yang dimaksud dengan "ruang lingkup hukum perdagangan" adalah kegiatan-kegiatan antara lain bidang : 1) Perniagaan; 2) Perbankan; 3) Keuangan; 4) Penanaman Modal; 5) Industri dan 6) Hak Kekayaan Intelektual. Dalam penjelasan pasal ini kembali dijumpai istilah perniagaan, namun tidak dijelaskan apa yang dimaksud dengan perniagaan. Sejak diberlakukannya UUK jika dicermati, bahwa sengketa bisnis yang diajukan ke Pengadilan Niaga berbagai macam kasus, tapi kewenangan ini tidak jelas dan tegas disebutkan dalam Undang-Undang Kepailitan. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh tim penulis dari Universitas Andalas Padang tentang eksistensi Pengadilan Niaga, lingkup kegiatan niaga dapat Hukum Kepailitan di Indonesia 259

dikelompokkan ke dalam delapan sub spesies hukum yakni :1. Perbankan; 2. HKI; 3. Perjanjian Dagang; 4. Perlindungan Konsumen; 5. Asuransi; 6. Perseroan; 7. Pengangkutan; dan 8. Pasar Modal. Ke delapan sub spesies ini dapat dikembangkan menjadi 15 sub spesies hukum yang meliputi :1. Kredit Modal Kerja; 2. Sewa Menyewa; 3. Purchasing Order; 4. Promisory Note; 5. Kontrak Kerja; 6. Utang Piutang; 7. Kartu Kredit; 8. L/C; 9. Kredit Pembiyaan; 10. Jaminan Pribadi; 11. anjak Piutang; 12. Pinjaman sindikasi; 13. Surat sanggup; 14. Asuransi; 15. Obligasi.224 Sejak diberlakukannya UUK telah terjadi perluasan kewenangan Pengadilan Niaga tidak hanya kasus dalam kepailitan dan PKPU tetapi meliputi kasus-kasus sengketa bisnis. Dikaji dari proses pembentukannya Pengadilan Niaga diperuntukkan sebagai model atau contoh bagi pengadilan lainnya di Indonesia. Eksistensi Pengadilan Niaga difungsikan sebagai lembaga peradilan yang efektif dan juga sebagai laboratorium bagi terciptanya berbagai kebijakan dan prosedur yang akan mengarah kepada pengembangan sistem peradilan Indonesia secara keseluruhan. Pengadilan Niaga merupakan salah satu proses pembaruan dalam penanganan perkara secara cepat, adil, terbuka, dan efektif dan dapat diterapkan dalam pengadilan khusus lainnya: Penanganan perkara harus diselesaikan dalam waktu relatif singkat baik terhadap perkara kepailitan, maupun Hak Kekayaan Intelektual.225 Menurut Pasal 299 ayat (1) Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, kecuali ditentukan lain dengan undang-undang, hukum acara perdata yang berlaku diterapkan pula terhadap Pengadilan Niaga. Hukum acara perdata yang berlaku pada saat ini adalah HIR/RBg, namun kalau dipelajari isi dari Undang-Undang Kepailitan tampak bahwa terdapat ketentuan-ketentuan acara yang berbeda atau menyimpang dari ketentuan-ketentuan dalam HIR/RBg. 224 Hermayulis.Kedudukkan, Tugas dan Fungsi Organisasi Pengadilan Niaga. Makalah yang disamampaikan dalam Workshop tentang "Judicial Organization Of Commercial Court" yang diselenggarakan oleh CINLES, Jakarta 28-29 Nopember 2002. 225 Lilik Mulyadi, Kompilasi Hukum Perdata, PT Alumni, Bandung, 2009, hlm. 304-307.

260 Hukum Kepailitan di Indonesia

Pembahasan keberadaan hukum acara bagi penyelesaian sengketa bisnis di Pengadilan Niaga, perlu dibahas arah kompetensi Pengadilan Niaga. Sebagaimana dikemukakan dalam Pasal 299 Undang-Undang Kepailitan, kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini maka hukum acara yang berlaku adalah Hukum Acara Perdata. Berkaitan dengan masalah hukum acara di Pengadilan Niaga, ada beberapa hal yang mempunyai sifat kekhususan dalam penyelesaian perkara antara lain, berkaitan dengan: 1. Upaya hukumnya adalah kasasi ke Mahkamah Agung, bahkan dalam perkara hak milik intelektual secara tegas disebutkan upaya hukum terhadap putusan Pengadilan Niaga hanya kasasi. 2. Upaya hukum peninjauan kembali di Pengadilan Niaga untuk perkara kepailitan alasannya ditentukan secara limitatif berdasarkan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004, bahkan dalam procedure renvooi terhadap tagihan piutang dalam rapat verifikasi keberatan dari kreditor yang sudah diputus oleh hakim Pengadilan Niaga tidak ada upaya hukum. Ternyata Mahkamah Agung dalam beberapa putusannya tentang upaya hukum yang seharusnya tidak dibuka upaya hukum malah telah memutus sampai dua kali sampai tingkat peninjauan kembali yaitu dalam perkara rapat verifikasi untuk pencocokan utang Debitor pailit yang terjadi perselisihan jumlah piutang dan tidak dapat didamaikan oleh Hakim Pengawas. Bantahan atau perselisihan jumlah utang antara para pihak tersebut, oleh Hakim Pengawas diminta kepada kurator untuk memberikan pendapatnya tetapi jika ditolak oleh kreditor maupun Debitor harus diajukan procedure renvooi berdasarkan Pasal 118 jo Pasal 127 Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan. Putusan terhadap procedure renvooi menurut Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang No. 4 Tahun 1998 maupun Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan tidak dapat diajukan upaya hukum, bahkan dalam Pasal 82 UndangUndang No. 4 Tahun 1998 dan Pasal 91 Undang-Undang No. 37 Hukum Kepailitan di Indonesia 261

Tahun 2004 ditentukan bahwa putusan terhadap pengurusan dan atau pemberesan harta pailit ditetapkan oleh Pengadilan dalam tingkat terakhir, kecuali undang-undang menetukan lain. Mahkamah Agung dalam perkara procedure renvooi No. 02/PAILIT/2003/ PN.NIAGA.SBY. ternyata telah mengabulkan upaya hukum terhadap procedure renvooi yaitu upaya hukum kasasi dan kemudian dikuatkan pula oleh putusan peninjauan kembali pertama tetapi dibatalkan kembali oleh peninjauan kembali kedua, padahal jelas dan tegas terhadap perkara procedure renvooi merupakan putusan tingkat terakhir tidak ada upaya hukum lain, malah Mahkamah Agung menggabulkan peninjauan kembali sampai dua kali yang menurut Pasal 66 Undang-Undang Mahkamah Agung peninjauan kembali hanya diajukan satu kali. Mahkamah Agung dalam mengabulkan upaya hukum peninjauan kembali terhadap putusan Pengadilan Niaga dalam perkara procedure renvooi kepailitan merupakan ketidaktaatan dan ketidakkonsistenan terhadap asas-asas hukum yang telah ditentukan secara normatif dalam undang-undang. Upaya hukum Peninjauan Kembali dalam perkara hak kekayaan intelektual tidak diatur sebab hal-hal tersebut dapat dilihat dari bunyi pasal-pasal sebagai berikut: 1. Undang-Undang Tentang Desain Industri. Pasal 40 : Terhadap putusan Pengadilan Niaga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (2) hanya dapat dimohonkan kasasi. 2. Undang-Undang Tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu. Pasal 32: Terhadap putusan Pengadilan Niaga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (2) hanya dapat dimohonkan kasasi. 3. Undang-Undang Tentang Paten. Pasal 122: Terhadap putusan Pengadilan Niaga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 121 - ayat (3) hanya dapat diajukan kasasi. 4. Undang-Undang Tentang Merek. 262 Hukum Kepailitan di Indonesia

Pasal 82: Terhadap putusan Pengadilan Niaga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 ayat (8) hanya dapat diajukan kasasi. 5. Undang-Undang Tentang Hak Cipta. Pasal 62 ayat (1) : Terhadap putusan Pengadilan Niaga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (4) hanya dapat diajukan kasasi. Mahkamah Agung dalam putusannya telah menggabulkan permohonan peninjauan kembali yaitu dalam perkara hak kekayaan intelektual No. 084PK/Pdt.Sus/2008 dengan pertimbangan bahwa meskipun Undang-Undang No. 13 Tahun 2016 tentang Paten tidak mengatur tentang peninjauan kembali namun hanya mengatur mengenai kasasi, oleh karena Pasal 23 Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menentukan terhadap putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dapat dimintakan peninjauan kembali. Berdasarkan pertimbangan tersebut diatas Mahkamah Agung berpendapat terdapat cukup alasan untuk mengabulkan permohonan peninjauan kembali yang diajukan oleh pemohon peninjauan kembali: PT. Karya Adikita Galvanize dan membatalkan putusan Mahkamah Agung No.023 K/N/Haki/ 2007 tanggal 18 desember 2007 serta Mahkamah Agung akan mengadili kembali perkara ini. Putusan Mahkamah Agung yang menggabulkan permohonan Peninjauan Kembali terhadap perkara procedure renvooi kepailitan dan perkara hak paten yang secara normatif tidak diperkenankan oleh peraturan perundang-undangan tetapi dengan putusan hakim dimungkinkan untuk mengajukan Peninjauan Kembali, padahal ide dasar yang ingin diterapkan dengan pembentukan Pengadilan Niaga adalah Penyelesaian secara sederhana, cepat dan biaya ringan dalam pemeriksaan perkara untuk tercapainya kepastian hukum dalam sistem peradilan Indonesia. Pemaparan di atas menunjukkan bahwa pengaturan keberadaan Pengadilan Niaga dalam Undang-Undang Kepailitan, Hukum Kepailitan di Indonesia 263

ketidakjelasan kewenangan Pengadilan Niaga dalam hal yang dimaksud dengan perkara perniagaan lainnya dalam konteks perkara bisnis, dan pengaturan upaya hukum Peninjauan Kembali di Pengadilan Niaga, telah memberikan indikasi bahwa pelaksanaannya dalam praktik tidaklah bersifat sederhana bahkan sering terjadi hambatan-hambatan yang berada diluar prosedur akibatnya penyelesaian perkara di Pengadilan Niaga tidak lebih cepat dari proses penyelesaian melalui Pengadilan Negeri bahkan sering kali biaya yang dipikul oleh para pihak tidak lebih murah daripada melalui proses Pengadilan Negeri. Proses pemeriksaan, putusan dan upaya hukum di Pengadilan Niaga walaupun telah ditentukan limit waktu penyelesaiannya sering kali para pihak harus menghadapi adanya keterlambatan penyelesaian ataupun pihak yang kalah mengulurngulur waktu dengan mengajukan peninjauan kembali setelah jangka waktu yang cukup lama dari putusan berkekuatan hukum tetap, kesemuanya itu telah menunjukan betapa panjangnya jalan hukum yang harus ditempuh oleh pencari keadilan di Pengadilan Niaga, sehingga dapat dikatakan bahwa penyelesaian sengketa bisnis melalui Pengadilan Niaga tidak selamanya lebih efisien atau lebih efektif jika dibandingkan dengan prosedur di Pengadilan Negeri. Sistim peradilan di Indonesia secara jelas tercantum dalam Pasal 24 ayat (1) Undang Undang Dasar 1945 yang menyatakan kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Asas utama yang secara universal dikenal di dunia peradilan adalah asas pemeriksaan sederhana, cepat dan biaya ringan. Asas ini sejalan dan setujuan dengan salah satu asas peradilan unggul yang diperkenalkan didunia internasional dengan sebutan “Court Excellent Procedure”. Asas peradilan yang unggul ini merupakan hasil Konsorsium Internasional tentang Kerangka Internasional Untuk Keunggulan Peradilan (International Framework For Court

264 Hukum Kepailitan di Indonesia

Excellence).226 Peradilan unggul mempunyai acara peradilan yang adil, efisien, dan efektif dengan mengutamakan ketepatan waktu, ketepatan jadwal sampai pada minutasi perkara untuk menghindari menumpuknya tunggakan perkara. Penyelesaian perkara bisnis melalui Pengadilan Niaga merupakan semangat dan harapan baru bagi para pencari keadilan untuk dapat menemukan cara yang lebih cepat dan tepat serta menarik minat para pelaku bisnis dalam menyelesaikan sengketa, akan tetapi ternyata dalam praktik masih menimbulkan perkara berupa tidak jelas dan lambatnya para pencari keadilan mendapatkan kepastian hukum atas putusan Pengadilan Niaga, hal ini disebabkan didalam Undang-Undang Kepailitan masih terdapat pasal-pasal yang tidak jelas dan tidak rinci sehingga memberikan kesempatan kepada para pihak untuk mengulur-ngulur pelaksanaan putusan, padahal seharusnya sesuai dengan sifat putusan Pengadilan Niaga yang bersifat serta merta sehingga dapat dilaksanakan terlebih dahulu walaupun para pihak melakukan upaya hukum. 5. Dinamika Penyelesaian Sengketa Kosa kata Inggris terdapat 2 (dua) istilah, yakni "conflict" dan "dispute" yang kedua-duanya mengandung pengertian tentang adanya perbedaan kepentingan diantara kedua pihak atau lebih, tetapi keduanya dapat dibedakan. Kosa kata conflict sudah diserap ke dalam bahasa Indonesia menjadi "konflik", sedangkan kosa kata "dispute" dapat diterjemahkan dengan kosa kata "sengketa". Sebuah konflik, yakni sebuah situasi di mana 2 (dua) pihak atau lebih dihadapkan pada perbedaan kepentingan, tidak akan berkembang menjadi sebuah sengketa apabila pihak yang merasa dirugikan hanya memendam perasaan tidak puas atau keprihatinannya. Sebuah konflik berubah atau berkembang menjadi sebuah 226

http para penanda tangan yang mewakili Konsorsium Internasional untuk Keunggulan Peradilan termasuk : Lembaga Administrasi Kehakiman Australia; Pusat Kehakiman Federal; Pusat Nasional untuk Pengadilan Negara Bagian (NCSC); dan Peradilan Subsidiar Singapura. Hasil Konsorsium ini sudah diluncurkan pada tanggal 15 November 2007.

Hukum Kepailitan di Indonesia 265

sengketa bilamana pihak yang merasa dirugikan telah menyatakan rasa tidak puas atau keprihatinannya, baik secara langsung kepada pihak yang dianggap sebagai penyebab kerugian atau kepada pihak lain.227 Sengketa merupakan kelanjutan dari konflik. Sebuah konflik akan berubah menjadi sengketa bila tidak dapat terselesaikan. Konflik dapat diartikan "pertentangan" diantara para pihak untuk menyelesaikan masalah yang kalau tidak diselesaikan dengan baik dapat mengganggu hubungan di antara mereka. Sepanjang para pihak tersebut dapat menyelesaikan masalahnya dengan baik, rnaka sengketa tidak akan terjadi, namun bila terjadi sebaliknya, para pihak tidak dapat mencapai kesepakatan mengenai solusi pemecahan masalahnya, maka sengketalah yang timbul. Penyelesaian sengketa dapat dilakukan melalui beberapa cara. Peradaban manusia yang berkembang semakin kompleks membawa serta perubahan posisi manusia dari ketertinggalan dalam kepentingan kelompok menjadi individu-individu yang mandiri, yang memiliki kepentingan-kepentingan yang tidak dapat begitu saja ia korbankan pada kepentingan kelompok, maka konflik, cara penyelesaiannya, serta nilai yang ingin dicapai dengan penyelesaian itu pun ikut mengalami perkembangan.228 Ekses perkembangan hukum yang semakin luas memberikan perlindungan, atas hak-hak yang dimiliki oleh seseorang dari perbuatan orang lain yang merugikannya, tata pergaulan dunia baru pasca Perang Dunia II, semakin langkanya sumber daya alam, pandangan sustainable business relationship, telah memberikan sumbangan bagi munculnya cara-cara penyelesaian sengketa yang tidak melulu bertumpu pada nilai-nilai menang atau kalah. Perselisihan itu bisa disebabkan oleh hal yang sepele dan tidak mempunyai akibat hukum apa pun, seperti perbedaan pendapat antara suami-istri, tentang penentuan waktu 227

Siti Megadianty Adam dan Takdir Rahmadi."Sengketa dan Penvelesaiannya". Buletin Musyawarah Nomor 1 Tahun I. Indonesian Center for Environmental Law, Jakarta, 1997, hlm. 1. 228 Roedjiono. 1996. Alternative Dispute Resolutions (Pilihan Penyelesaian Sengketa). Makalah pada Penataran Dosen Hukum Dagang Se-Indonesia. Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, hlm. 1 - 2

266 Hukum Kepailitan di Indonesia

keberangkatan ke luar kota, atau bisa pula merupakan persoalan serius dan mempunyai akibat hukum, misalnya tentang batas tanah dengan tetangga atau perselisihan atas perjanjian yang telah dibuat sebelumnya. Perselisihan atau persengketaan semacam ini merupakan suatu keadaan yang tidak dikehendaki oleh setiap orang yang sehat akal dan pikirannya.229 Dewasa ini, berbagai macam konflik atau sengketa sering muncul dalam masyarakat. Penyebabnya sangat beraneka macam dan multidimensi, seperti karena masalah ekonomi, politik, agama, suku, golongan, harga diri, dan sebagainya. Hal ini kemudian menimbulkan konflik kepentingan (conflict of interest). Konflik atau sengketa merupakan aktualisasi dari suatu perbedaan dan atau pertentangan antara dua pihak atau lebih. Pertentangan kepentingan itulah yang menimbulkan perselisihan/persengketaan. Untuk menghindari gejala tersebut, mereka mencari jalan untuk mengadakan tata tertib, yaitu dengan membuat ketentuan atau kaidah hukum, yang harus ditaati oleh setiap anggota masyarakat, agar dapat mempertahankan hidup bermasyarakat. Kaidah hukum yang ditentukan itu, setiap orang diharuskan untuk bertingkah laku sedemikian rupa, sehingga kepentingan anggota masyarakat lainnya akan terjaga dan dilindungi. Apabila kaidah hukum itu dilanggar, maka kepada yang bersangkutan akan dikenakan sanksi atau hukuman. Kepentingan seperti disebut di atas adalah hak-hak dan kewajiban-kewajiban perdata yang diatur dalam hukum perdata materiil. Hukum perdata (materiil) itu menjelma dalam undangundang atau ketentuan yang tidak tertulis, merupakan pedoman bagi masyarakat tentang bagaimana orang selayaknya berbuat atau tidak berbuat di dalam masyarakat. Pelaksanaan dari hukum perdata (materiil) dapat berlangsung secara diam-diam di antara para pihak yang berinteraksi, tanpa harus melalui instansi resmi. Namun acapkali terjadi hukum perdata (materiil) itu dilanggar, sehingga ada pihak yang dirugikan 229

Budhy Budiman, Mencari Model Ideal Penyelesaian Sengketa, Kajian terhadap Praktik Peradilan Perdata dan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999, lihat situs http

Hukum Kepailitan di Indonesia 267

dan terjadilah gangguan keseimbangan kepentingan di dalam masyarakat, dalam hal ini maka hukum materiil perdata yang telah dilanggar itu haruslah dipertahankan dan ditegakkan. Pelaksanaan hukum perdata (materiil) terutama dalam hal ada pelanggaran atau untuk mempertahankan berlangsungnya hukum perdata (materiil) dalam hal ada tuntutan hak diperlukan rangkaian peraturan hukum lain, yaitu yang disebut hukum formil atau hukum acara perdata. Hukum acara perdata merupakan keseluruhan peraturan yang bertujuan melaksanakan dan mempertahankan atau menegakkan hukum perdata materiil dengan perantaraan kekuasaan negara. Perantaraan negara dalam mempertahankan dan menegakkan hukum perdata materiil itu terjadi melalui peradilan. Cara inilah yang disebut dengan litigasi. Proses penyelesaian disamping melalui litigasi, juga dikenal alternatif penyelesaian sengketa (Alternative Dispute Resolution) di luar pengadilan yang lazim disebut penyelesaian nonlitigasi. Cara penyelesaian sengketa pada dasarnya dapat dibedakan menjadi dua, yaitu melalui jalur litigasi dan jalur nonlitigasi. Jalur litigasi (ordinary court) merupakan mekanisme penyelesaian perkara melalui jalur pengadilan dengan menggunakan pendekatan hukum (law approach) melalui aparat atau lembaga penegak hukum yang berwenang sesuai dengan aturan perundang-undangan. Litigasi merupakan the last resort atau ultimum remedium, yaitu sebagai upaya terakhir manakala penyelesaian sengketa secara kekeluargaan atau perdamaian di luar pengadilan ternyata tidak menemukan titik temu atau jalan keluar. Sedangkan jalur nonlitigasi (extra ordinary court) merupakan mekanisme penyelesaian sengketa di luar pengadilan, tetapi menggunakan mekanisme yang hidup dalarn masyarakat yang bentuk dan macamnya sangat bervariasi, seperti cara musyawarah, perdamaian, kekeluargaan, penyelesaian adat, dan lain-lain. Cara penyelesaian sengketa melalui peradilan mendapat kritik yang cukup tajam, baik dari praktisi maupun teoretisi hukum. Peran dan fungsi peradilan, dianggap mengalami beban 268 Hukum Kepailitan di Indonesia

yang terlampau padat (overloaded), lamban dan buang waktu (waste of time), biaya mahal (very expensive) dan kurang tanggap (unresponsive) terhadap kepentingan umum atau dianggap terlampau formalistik (formalistic) dan terlampau teknis (technically). Proses litigasi menghasilkan kesepakatan yang bersifat adversarial yang belum mampu merangkul kepentingan bersama, cenderung menimbulkan masalah baru, lambat dalam penyelesaiannya, membutuhkan biaya yang mahal, tidak responsif, dan menimbulkan permusuhan di antara pihak yang bersengketa. Alternative Dispute Resolution (ADR) merupakan istilah yang pertama kali dimunculkan di Amerika Serikat. Konsep ini merupakan jawaban atas ketidakpuasan (dissatisfaction) yang muncul di masyarakat Amerika Serikat terhadap sistem pengadilan mereka. Ketidakpuasan tersebut bersumber pada persoalanpersoalan waktu yang dibutuhkan sangat lama dan biaya mahal, serta diragukan kemampuannya menyelesaikan secara memuaskan kasus-kasus yang bersifat rumit. Kerumitan dapat disebabkan oleh substansi kasus yang sarat dengan persoalanpersoalan ilmiah (scientifically complicated) atau dapat juga disebabkan banyaknya serta luasnya stake holders yang harus terlibat. Alternative Dispute Resolution (ADR) dikembangkan oleh para praktisi hukum maupun para akademisi sebagai cara penyelesaian sengketa yang lebih memiliki akses pada keadilan.230 Secara resmi istilah Alternative Dispute Resolution (ADR) dimasukkan oleh American Bar Association (ABA) dengan cara membentuk sebuah komisi khusus untuk penyelesaian sengketa (Special Committee on Dispute Resolution). Tahun-tahun berikutnya pendidikan tinggi hukum di Amerika Serikat secara

230

Mas Achmad Santosa. Alternative Dispute Resolution (ADR) di Bidang Lingkungan Hidup. Makalah disampaikan dalam Acara Forum Dialog tentang Alternative Dispute Resolution (ADR) yang diselenggarakan oleh Tim Pakar Hukum Departemen Kehakiman dan The Asia Foundation. Jakarta: Departemen Kehakiman dan The Asia Foundation, 1995. hlm. 1.

Hukum Kepailitan di Indonesia 269

bertahap memasukkan Alternative Dispute Resolution (ADR) di dalam kurikulum, terutama bentuk mediasi dan negosiasi.231 Melihat latar belakang pendayagunaan Alternative Dispute Resolution (ADR) di Amerika Serikat sebagai representasi negara industri dan ekonomi maju dan negara-negara yang menganut akar budaya nonkonfrontatif yang pada umumnya dimiliki oleh negara-negara sedang berkembang, terdapat sedikit perbedaan. Latar belakang pendayagunaan Alternative Dispute Resolution (ADR) di negara maju disebabkan ketidakpuasan terhadap sistem pengadilan, sedangkan negara-negara yang menganut akar budaya nonkonfrontatif adalah melestarikan budaya nonadversarial menuju masyarakat yang lebih stabil (social stability), sekaligus akses pada keadilan (proses pemeriksaan yang cepat, murah, dan tidak asing bagi masyarakat). Sistem pengadilan dianggap institusi yang tidak memenuhi kebutuhan di atas.232 Proses litigasi merupakan pilihan terakhir menyelesaikan sengketa. Sebelumnya dilakukan perundingan di antara para pihak yang bersengketa, baik secara langsung maupun dengan menunjuk kuasa hukumnya, guna menghasilkan kesepakatan bersama yang menguntungkan kedua belah pihak. Jika proses perundingan ini tidak menghasilkan kesepakatan, baru para pihak akan menyerahkan kepada pengadilan untuk menyelesaikan atau memutuskannya. 6. PKPU sebagai Upaya Preventif Kepailitan Perseroan Terbatas Undang-undang Kepailitan juga mengatur mengenai upaya perdamaian yang dapat ditempuh oleh Debitor dengan para Kreditornya, baik sebelum Debitor dinyatakan pailit oleh pengadilan, atau setelah Debitor dinyatakan pailit oleh pengadilan. Sebelum Debitor dinyatakan pailit oleh pengadilan, Debitor dapat 231

Jacqueline M. Nolan Haley. Alternative Dispute Resolution (ADR). ST. Paul, Minn: West Publishing Co., 1992. hlm. 6. 232 Mas Achmad Santosa. Mekanisme Penyelesaian Sengketa Lingkungan Secara Kooperatif (Alternative Dispute Resolution (ADR)). Indonesian Center for Environmental Law, Jakarta, 1995, hlm. 1.

270 Hukum Kepailitan di Indonesia

mengajukan Rencana Perdamaian (composition plan) kepada para Kreditor yang intinya memuat cara Debitor membayar utangutangnya kepada Kreditor. Rencana perdamaian tersebut sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari Permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) yang diajukan oleh Debitor sebagai tangkisan (counter) terhadap permohonan pailit. Terhadap permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang sepanjang seluruh syaratnya terpenuhi, pengadilan wajib mengabulkan dan memberikan waktu Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Sementara 45 hari dan dapat diperpanjang dengan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Tetap paling lama 270 hari termasuk 45 hari. Pasal 228 ayat (6): Apabila Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang tetap disetujui, penundaan tersebut berikut perpanjangannya tidak boleh melebihi 270 (dua ratus tujuh puluh) hari setelah putusan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang sementara diucapkan. Dalam hal permohonan pailit di counter dengan permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, maka status dari permohonan pailit dipending sampai dengan perkara Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang selesai, yaitu setelah Rencana Perdamaian diterima atau ditolak oleh Kreditor. Jika Rencana Perdamaian diterima, maka Debitor tidak jadi pailit, sebaliknya, jika perdamaian ditolak, maka Debitor dinyatakan pailit. Rencana perdamaian yang diterima, harus disahkan oleh Pengadilan Niaga. Didalam Undang-undang No.1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas, diatur pula beberapa ketentuan mengenai kepailitan. Pasal 90 ayat (1) Direksi hanya dapat mengajukan permohonan ke Pengadilan Negeri agar perusahaan Debitor dinyatakan pailit berdasarkan keputusan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS). Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) merupakan suatu proses yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, yang mempunyai tujuan yang berbeda dengan permohonan Hukum Kepailitan di Indonesia 271

kepailitan. Ketentuan mengenai Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) diatur dalam Pasal 222 s/d Pasal 294. Dikatakan bahwa tujuannya berbeda karena suatu permohonan kepailitan bertujuan agar seorang Debitor dinyatakan pailit sehingga menjadi tidak cakap dalam hukum untuk mengurus harta kekayaannya, dan karena itu tindakan-tindakannya dalam bidang hukum kekayaannya diwakili oleh pengampu (Kurator). Sedangkan suatu permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang tidak bertujuan agar Debitor yang bersangkutan dinyatakan pailit, tetapi agar ia diberi kesempatan guna melunasi hutang-hutangnya dengan tetap didampingi oleh Pengurus (Administrator) yang ditunjuk oleh Pengadilan dan di bawah pengawasan Hakim Pengawas. Dengan demikian dalam Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang tersebut tidak diperlukan Kurator, tetapi Pengurus yang selalu mendampingi Debitor dalam mengurus usahanya. Dengan diteruskannya usahanya tersebut dengan bantuan Pengurus, diharapkan agar bidang usahanya tetap berjalan dan berkembang sehingga dapat menambah asset dan keuntungan agar dapat dihindari adanya kepailitan. Karenanya dapat dikatakan bahwa permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang merupakan sarana untuk menangkis atau menghindari kepailitan, walaupun daya berlakunya hanyalah untuk sementara waktu, yaitu maksimum selama 270 hari. Pada hakekatnya permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang tidak saja hanya bersifat menguntungkan kepentingan Debitor (sebab ia bisa terhindar dari kepailitan), namun juga menguntungkan kepentingan pihak Kreditor. Yang dimaksud dengan “Pengadilan Negeri” di sini adalah Pengadilan Niaga. Karena pada saat Undang-undang ini diundangkan, Pengadilan Niaga belum terbentuk. Selanjutnya ditentukan bahwa dalam hal kepailitan terjadi karena kesalahan atau kelalaian Direksi dan kekayaan perusahaan Debitor tidak cukup untuk menutup kerugian akibat kepailitan tersebut, maka setiap Anggota Direksi secara tanggung renteng bertanggungjawab atas kerugian itu. Tanggung renteng atau 272 Hukum Kepailitan di Indonesia

tanggung menanggung artinya bahwa para anggota Direksi secara bersama-sama menanggung kerugian sebagai akibat kepailitan tersebut. Apabila salah satu Direksi telah menanggung atau membayar kerugian tersebut, maka Direksi yang lain lepas atau bebas dari kewajibannya. Anggota Direksi yang dapat membuktikan bahwa kepailitan bukan karena kesalahan atau kelalaiannya, tidak bertanggungjawab secara tanggung renteng atas kerugian tersebut.

7. Rapat Verifikasi Pencocokan Piutang Verifikasi atau pencocokan berarti menguji kebenaran piutang kreditor yang dimasukkan pada kurator. Menurut Pasal 115 Undang-Undang Kepailitan disebutkan bahwa semua kreditor wajib menyerahkan piutangnya masing-masing kepada kurator disertai perhitungan atau keterangan tertulis lainnya yang menunjukkan sifat dan jumlah piutang, disertai dengan surat bukti atau salinannya, dan suatu pernyataan ada atau tidaknya kreditor mempunyai suatu hak istimewa, hak gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotek, hak agunan atas kebendaan lainnya, atau hak untuk menahan benda.233 Para kreditor yang bersangkutan berhak meminta surat tanda terima penyerahan dari kurator. Kurator akan memeriksa kebenaran tagihan yang dimasukkan oleh kreditor, karena itu kreditor harus menyertakan bukti-bukti yang mendukung tagihan tersebut. Apabila tagihantagihan itu berdasarkan bukti yang ada dapat ditetapkan dengan pasti, maka tagihan tersebut dapat diakui (diverifikasi). Kreditornya disebut kreditor yang diakui. Mengenai pencocokan utang dilakukan melalui rapat kreditor. Pencocokan utang diadakan apabila nilai harta pailit yang dapat dibayarkan kepada kreditor yang diistimewakan dan kreditor konkuren melebihi jumlah tagihan terhadap harta pailit.234 233 234

Munir Fuady, Op.Cit., hal 129-131 Ibid., hlm. 162-163.

Hukum Kepailitan di Indonesia 273

Pasal 113 Undang-Undang Kepailitan menyebutkan paling lambat 14 (empat belas) hari setelah putusan pernyataan pailit diucapkan, Hakim Pengawas harus menetapkan: a. Batas akhir pengajuan tagihan; b. Batas akhir verifikasi pajak untuk menentukan besarnya kewajiban pajak sesuai dengan peraturan perundangundangan di bidang perpajakan; c. Hari, tanggal, waktu, dan tempat rapat kreditor untuk mengadakan pencocokan piutang. Semua kreditor wajib menyerahkan daftar piutangnya kepada kurator. Jadi tugas kurator dalam tahap ini adalah mencocokkan tagihan ke Debitor sehingga diketahui: a. Siapa kreditor b. Memeriksa keabsahan tagihan c. Memastikan besar jumlah tagihan. Pencocokkan piutang tersebut, kemungkinan timbulnya masalah bisa saja terjadi, yakni: a. Kreditor tidak dapat membuktikan piutang; b. Kreditor belum dapat menunjukkan jumlah piutangnya; dan c. Kreditor palsu.235 Rapat verifikasi untuk pencocokan piutang, menurut Pasal 113 sampai dengan Pasal 143 Undang-Undang Kepailitan oleh Lilik Mulyadi236, Hakim Pengawas setelah proses menerima salinan putusan maka akan menentukan hari, tanggal, waktu dan tempat rapat kreditor pertama sebagai rapat pencocokan piutang (verifikasi) yang harus diselenggarakan dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari setelah tanggal putusan permohonan pernyataan pailit diucapkan. Tujuan pencocokan piutang tidak lain adalah untuk menetapkan piutang mana yang diakui (tetap atau sementara) termasuk mana yang mempunyai hak didahulukan (hak istimewa atau agunan) dan mana yang dibantah oleh kreditor. 235

Sentosa Sembiring, Hukum Kepailitan dan Peraturan Perundang-undangan yang Terkait dengan Kepailitan, Nuansa Aulia, Bandung, 2006, hlm. 34-35. 236 Lilik Mulyadi, Penyelesaian Perkara Hubungan Industrial serta Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) oleh Pengadilan Khusus Indonesia dalam Teori dan Praktik, cet. 1, Bayu Media Publishing, Malang, 2008, hlm. 378-382.

274 Hukum Kepailitan di Indonesia

Hakim Pengawas wajib menyampaikan kepada kurator rencana penyelenggaraan rapat kreditor pertama tersebut, dalam jangka waktu 3 (tiga) hari setelah putusan permohonan pernyataan pailit. Selanjutnya berdasarkan ketentuan Pasal 86 ayat (2) UndangUndang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, kurator mengumumkan putusan permohonan pernyataan pailit dalam Berita Negara RI dan sekurang-kurangnya 2 (dua) surat kabar harian, dalam jangka waktu 5 (lima) hari setelah tanggal putusan permohonan pernyataan pailit. Hari ke- 30 (tiga puluh) atau boleh kurang dari itu diselenggarakan rapat kreditor pertama oleh hakim pengawas beserta kurator dengan dibantu oleh panitera pengganti. Hakim pengawas bertindak selaku ketua dalam rapat tersebut. Di samping sebagai ketua rapat, tugas pokok hakim pengawas adalah mengawasi pengurusan dan pemberesan harta pailit sedangkan panitera pengganti bertugas mencatat segala kejadian yang dibicarakan dalam rapat kreditor serta membuat berita acara rapat yang ditandatangani oleh hakim pengawas dan panitera pengganti. Rapat kreditor pertama tersebut wajib dihadiri oleh Debitor sendiri, dengan maksud agar Debitor dapat memberikan keterangan kepada hakim pengawas tentang sebab musabab kepailitan dan keadaan harta pailit. Debitor yang pailit adalah badan hukum, maka menurut Pasal 122 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, pengurus badan hukum itulah yang wajib hadir. Meskipun demikian, pengurus badan hukum tersebut tetap dapat didampingi oleh advokat bila memang diperlukan. Berdasarkan ketentuan Pasal 123 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang kewajiban demikian tidak berlaku bagi kreditor. Disamping Debitor pailit, maka para kreditor juga harus hadir dalam rapat, baik dapat menghadap sendiri ataupun dengan melalui kuasanya. Hakim pengawas selaku ketua rapat meminta atau menanyakan kepada kurator apakah telah membuat pencatatan tentang harta pailit Hukum Kepailitan di Indonesia 275

yang harus dilakukan paling lambat 2 (dua) hari setelah putusan surat pengangkatan sebagai kurator, kemudian hakim pengawas meminta kurator menunjukkan daftar yang menyatakan sifat, jumlah piutang dan harta pailit, nama dan tempat tinggal kreditor beserta jumlah piutang masing-masing kreditor. Rapat pertama kreditor tersebut apabila ditemukan adanya utang yang bersifat rumit atau banyak kreditor, hakim pengawas wajib menawarkan kepada kreditor untuk membentuk panitia kreditor tetap. Hakim Pengawas meminta keterangan kepada Debitor pailit tentang sebab musabab kepailitan dan keadaan harta pailit. Hakim pengawas pada rapat kreditor pertama ini menanyakan kepada Debitor apakah akan menawarkan rencana perdamaian kepada para kreditor ataukah tidak. Rencana perdamaian ini dapat diajukan oleh Debitor pailit paling lambat 8 (delapan) hari sebelum rapat pencocokan piutang dan dapat dilakukan di Kepaniteraan Pengadilan Niaga. Apabila Debitor pailit tidak menawarkan rencana perdamaian atau ada menawarkan perdamaian akan tetapi ditolak kreditor, maka demi hukum harta pailit dalam keadaan tidak mampu membayar (insolvency). Sejak Insolvency terjadi, proses pengurusan dan pemberesan harta pailit dimulai. Berdasarkan ketentuan Pasal 16 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, kurator berwenang melaksanakan tugas pengurusan dan/atau pemberesan atas harta pailit sejak tanggal putusan pailit diucapkan meskipun terhadap putusan tersebut diajukan kasasi atau peninjauan kembali. Proses pengurusan dan pemberesan harta pailit dalam arti pengurusan piutang kepada para kreditor, dimulai dengan pencocokan piutang. Hakim Pengawas dapat menetapkan batas akhir pengajuan tagihan dan hari, tanggal, waktu dan tempat kreditor untuk mengadakan pencocokan piutang. Rapat pencocokan piutang ini hakim pengawas membacakan daftar piutang yang sementara diakui dan dibantah oleh kurator. Dikaji dari perspektif praktik peradilan biasanya yang membacakan daftar piutang tersebut adalah kurator. Aspek ini Debitor pailit juga berhak membantah atas diterimanya suatu piutang baik 276 Hukum Kepailitan di Indonesia

seluruhnya maupun sebagian atau membantah adanya peringkat piutang dengan mengemukakan alasannya secara sederhana. Tagihan-tagihan yang dimasukkan para kurator, statusnya 237 bisa: a. Diakui, artinya tagihan-tagihan tersebut diakui kebenarannya baik oleh kurator maupun kreditor atau para kreditor. b. Diakui dengan syarat, artinya terhadap tagihan tersebut masih diperlukan syarat tambahan. c. Dibantah, artinya tagihan tersebut tidak diakui kebenarannya oleh kurator maupun kreditor atau para kreditor. d. Dilakukan pencocokan utang secara pro memori, artinya tagihan tersebut dari semula tidak dapat ditetapkan apakah pencocokan nanti akan didapatkan suatu hak. Bantahan terhadap daftar piutang tersebut, hakim pengawas berusaha menyelesaikannya, akan tetapi apabila tidak berhasil mendamaikan perselisihan tersebut maka hakim pengawas menyerahkan perselisihan tersebut kepada majelis hakim pemutus perkara permohonan pernyataan pailit pada sidang yang telah ditetapkan. Pasal 120 ayat (1) Undang-Undang Kepailitan, menyatakan apabila kreditor yang piutangnya dibantah tidak hadir dalam sidang, panitera akan segera memberitahukan dengan surat dinas tercatat tentang bantahan piutang tersebut, tetapi yang bersangkutan tidak boleh mengajukan perkara tentang tidak adanya pemberitahuan termaksud (ayat 2), artinya kreditor tidak boleh mengajukan perlawanan dengan alasan tidak ada pemberitahuan tentang bantahan piutang tersebut. Pasal 118 ayat (4) Undang-Undang Kepailitan, Hakim dapat memutuskan: a. Bila kreditor yang meminta pencocokan piutang tidak hadir dalam sidang yang ditentukan, maka dianggap permohonannya telah ditarik kembali,

237

Rahayu Hartini, Op.Cit., hlm. 162-163.

Hukum Kepailitan di Indonesia 277

b. Bila yang mengajukan bantahan terhadap piutang tidak hadir dalam sidang, maka dianggap telah menarik kembali bantahannya dan Hakim mengakui piutang yang bersangkutan. Rapat tersebut juga akan menentukan golongan kreditor dan status tagihannya. Golongan kreditor tersebut adalah: a. Golongan khusus, yaitu kreditor yang mempunyai hak tanggungan, gadai atau hak agunan atas kebendaan lainnya yang dapat mengeksekusi haknya seolah-olah tidak terjadi kepailitan (Pasal 56 Undang-Undang Kepailitan). Pemegang hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (1) yang melaksanakan haknya tersebut, wajib memberikan pertanggung jawaban kepada kurator tentang hasil penjualan barang yang menjadi agunan dan menyerahkannya kepada kurator sisanya setelah dikurangi jumlah utang, bunga dan biaya. b. Golongan istimewa (privilege), yaitu kreditor yang piutangnya mempunyai kedudukan istimewa artinya golongan kreditor yang mempunyai hak untuk pelunasan terlebih dahulu atas hasil penjualan harta pailit (Pasal 1133, 1134, 1139, 1149 KUH Perdata); c. Golongan konkuren, atau kreditor konkuren yaitu kreditor-kreditor yang tidak termasuk golongan khusus atau golongan istimewa. Pelunasan piutang-piutang mereka dicukupkan dengan sisa hasil penjualan atau pelelangan harta pailit sesudah diambil bagian golongan khusus dan golongan istimewa, sisa penjualan harta pailit itu dibagi menurut imbangan besar kecilnya piutang para kreditor konkuren itu (Pasal 1132 KUH Perdata).238 Putusan majelis hakim pemutus perkara permohonan pernyataan pailit terhadap bantahan piutang tersebut dicatat dalam daftar piutang oleh kurator dan tidak dapat dilakukan upaya hukum. Rapat verifikasi yang telah selesai maka kurator melaporkan keadaan harta pailit. Menyelesaikan pemberesan harta 238

Ibid, hlm. 166-168.

278 Hukum Kepailitan di Indonesia

pailit, kurator harus menjual harta pailit di muka umum. Penjualan harta pailit di bawah tangan dapat dilaksanakan dengan izin hakim pengawas berbentuk penetapan. Hakim pengawas memberikan persetujuan daftar pembagian yang disusun kurator, yang memuat rincian penerimaan dan pengeluaran termasuk di dalamnya upah kurator, nama kreditor, jumlah yang dicocokkan dari tiap-tiap piutang dan bagian yang wajib diterimakan kepada kreditor. Besarnya jumlah bagian kreditor yang piutangnya diterima dengan bersyarat dalam daftar pembagian dihitung berdasarkan persentase dari seluruh jumlah piutang. Setelah kurator mencocokkan, maka dibayar penuh piutang tersebut atau setelah daftar pembagian penutup menjadi mengikat, maka berakhirlah kepailitan.239

239

Lilik Mulyadi, Op.Cit., hlm. 381-382.

Hukum Kepailitan di Indonesia 279

1. Pendahuluan Indonesia bukanlah satu-satunya negara yang mengalami krisis ekonomi yang sangat berat, namun negara-negara lain seperti Korea Selatan, Malaysia, Thailand, dan Philipina juga mengalami krisis yang sama. Menarik untuk dicermati adalah, mengapa negara-negara tersebut sudah mampu keluar dari krisis. Apakah keberhasilannya karena mereka memiliki sistem hukum yang memperbaiki proses penegakan hukum dengan jalan membentuk Pengadilan Niaga. Semula Pengadilan Niaga hanya untuk menyelesaikan masalah kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU), tapi dalam salah satu pasal UU Kepailitan ternyata menginginkan Pengadilan Niaga juga digunakan untuk menyelesaikan sengketa niaga lainnya.240 Menyadari terdapatnya berbagai macam pola dan sistem yang digunakan di pelbagai negara mengenai commercial court ini, maka dibutuhkan pengkajian komparatif terhadap Pengadilan Niaga di dunia, dengan melihat kompetensi substansial (ruang lingkup kewenangan mengadili), masalah keacaraan, kedudukan dan batas-batas dengan badan-badan peradilan lain. Hasil dari pengkajian komparatif ini adalah pengindentifikasian beberapa model kedudukan dan kompetensi pengadilan niaga yang dikenal dan yang mungkin lebih sesuai untuk dikembangkan di Indonesia.241 Dipaparkan negara yang dijadikan bahan perbandingan untuk melihat model pengadilan bidang niaga. Negara tersebut 240

Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan Bandung, Diskusi Terbatas Perluasan Kewenangan Pengadilan Niaga, Makalah, 18 Januari 2003, hlm 1-13 241 Ibid.

280 Hukum Kepailitan di Indonesia

antara lain: Belarus, Lithuania, USA, Malaysia, Singapura, Korea Selatan, dan Perancis. Alasan dipilihnya tujuh negara tersebut karena Belarus dan Lithuania merupakan dua negara yang mewakili bagian Eropa Timur yang merupakan bekas pecahan Uni Soviet. Kedua negara tersebut sama-sama merupakan negara yang mendapatkan paket IMF serupa dengan Indonesia dalam hal membentuk pengadilan bidang niaga. Malaysia, Singapura, dan Korea Selatan merupakan wakil dari Asia yang pada tahun 1997 mengalami krisis ekonomi seperti halnya Indonesia. Selain itu dilihat pula model pengadilan bidang niaga di USA karena ia merupakan salah satu negara maju yang memiliki kekuatan di IMF. Sedangkan dipilihnya Perancis karena ia merupakan negara yang memiliki sistem hukum eropa kontinental seperti di Indonesia, bahkan KUHD Indonesia pada pokoknya berasal pula dari Code de Commerce di Perancis. Selain itu Perancis juga memiliki pengadilan bidang niaga yang menurut sejarah bahwa perihal peradilan khusus dalam perselisihan-perselisihan perniagaan yang diatur dalam Code de Commerce tidak seluruhnya ditransfer dalam Wetboek van Koophandel di Nederland dan tidak pula dalam KUHD di Indonesia.242 Berikut ini paparan negara-negara tersebut. a. Negara Belarus243 Belarus merupakan salah satu negara pecahan Uni Soviet, yang berhasil memisahkan diri setelah bubarnya Uni Soviet. Bentuk pemerintahan di Belarus adalah Superpresidensiil Republik dan sebagai kepala negara adalah Presiden yang menjabat selama lima tahun dalam satu periode. Sejak abad ke-16, sistem hukum yang digunakan di Belarus adalah The Statutes of the Grand Duchy of Lithuania. Namun sistem hukum modern Belarus merupakan bagian dari rumpun Sistem Hukum Romano-German. Sumber hukum menurut sistem hukum Belarus adalah: 242

Soekardono, Hukum Dagang Indonesia, Dian Rakyat, Jilid I (bagian pertama), Jakarta, 1993, hlm.8 243 Tatyana Khodosevich, The Belanis Legal System, http

Hukum Kepailitan di Indonesia 281

a. Contitusi (Supreme Law) b. Codes c. Keputusan-keputusan dan maklumat presiden d. Peraturan yang dikeluarkan parlemen e. Keputusan pemerintah Negara lainnya yang juga merupakan bagian dari rumpun sistem hukum Romano-German, putusan hakim atau yurisprudensi bukan merupakan sumber hukum yang sangat penting. Namun, putusan dari Supreme Court dan supreme Economic Court dalam pelaksanaannya dapat digunakan sebagai sumber hukum. Perjanjian internasional dalam sistem hukum Belarus merupakan sumber hukum yang tidak kalah pentingnya. Kodifikasi di Belarus yang berdasar pada model legislasi diakui oleh Inter Parliementary Assembly of the States yang merupakan partisipan dari CIS. Belarus telah merevisi civil code terbarunya yang telah diterima sejak tahun 1998, yang masuk menjadi bagian civil code adalah perjanjian (termasuk kontrak dan tort), hukum kepemilikan, hukum intelektual, hukum pewarisan, dan hukum perdata intemasional. Adapula kodifikasi hukum pertanahan yang merupakan sumber hukum bagi hukum pertanahan, kodifikasi hukum keluarga untuk masalah-masalah yang berkaitan dengan hukum keluarga dan kodifikasi hukum perburuhan. Kodifikasi terbaru lainnya adalah code of civil procedure (1999) merupakan hukum acara bagi civil code. Selain itu terdapat pula peraturan untuk penyelesaian sengketa hukum yang berkaitan dengan masalah ekonomi yang diatur dalam code of commercial procedure (diterima sejak 15 Desember 1998). Criminal Code dan code of Criminal Procedure baru diimplementasikan pada tahun 1999, dan adminstrative code pada tahun 1984. Sistem peradilan di Belarus berdasar pada prinsip-prinsip teritorial dan spesialisasi. Kekuasaan presiden di Belarus sangat dominan bahkan pada praktik pelaksanaan hukum pada sistem peradilan. Presiden lah yang berhak memilih hakim-hakim pada semua badan peradilan. Terdapat tiga kekuasaan kehakiman yang ketiganya mempunyai kekuasaan indepeden, yakni, pertama, 282 Hukum Kepailitan di Indonesia

Supreme Court merupakan badan peradilan yang mempunyai kompetensi mengadili sengketa dalam bidang umum seperti masalah yang diatur dalam civil code, criminal code, family code, code of land, dan labor code. Kedua, Supreme Economic Court merupakan badan peradilan yang mempunyai kompetensi mengadili sengketa dalam bidang ekonomi yang berkaitan dengan masalah perlindungan hak dan kewajiban perusahaan dan individual, dan Ketiga, Constitutional Court, merupakan badan peradilan yang memiliki kewenangan dalam masalah pengawasan pelaksanaan kontitusi. Badan lain di luar ketiga kekuasaan kehakiman ini adalah sebuah Committee of the State Control yang bertugas mengawasi masalah keuangan negara, penggunaan fasilitas negara, dan mengatur masalah kebijakan keuangan dan pajak negara. b. Negara Lithuania244 Republik Lithuania merupakan salah satu dan sekian negara yang memisahkan diri dari Uni Soviet sejak tahun 1990. Sistem hukum negara ini berdasar pada sistem hukum tradisional eropa kontinental. Dalam perkembangannya terjadi reformasi hukum yang dikarenakan perubahan yang sangat luas pada bidang sosial dan ekonomi yang mengarah pada sistem demokrasi dan sistem ekonomi pasar bebas, maka sistem hukurn negara Lithuania sedang pada tahap harmonisasi hukum pada EU. Reformasi sistem hukum yang dilakukan parlemen di Lithuania (disebut dengan Seimas) pada tahun 2001 adalah dengan merevisi civil code, code of civil procedure, Criminal Code, code of Criminal Procedure, code of the execution of penalties, dan labor code. Diatur dalam civil code tersebut termasuk pula di dalamnya masalah yang berkaitan dengan hukum perusahaan dan masalah yang berkaitan dengan aspek-aspek hukum commercial, civil code tersebut terbagi dalam enam buku, yakni, buku pertama terdiri dan 139 pasal, antara lain berisi: Ketentuan umum yang mengatur masalah sumber-sumber hukum perdata (pasal 1.1-1.2), 244

Elona Norvaisaite, a Guide to Lithuanian Legal system, http

Hukum Kepailitan di Indonesia 283

interpretasi, kebebasan berkontrak (pasal 1.3-1.5), hukum perdata internasional (pasal 1.10-1.62), legal transactions (pasal 1.63-1.96), Object of transactions (pasal 1.97-1.116), perlindungan hak-hak sipil (pasal 1.36-1.139) masuk pula dalam buku ini instrumen dalam European Union Rome convention tahun 1980 mengenai the applicable to contractual obligations. Buku kedua, mengatur tentang orang yang terbagi dalam tiga bagian, yakni, bagian pertama Natural persons (pasal 2.1-2.32), bagian kedua, Legal persons (pasal 2.1322.2.185), dan bagian ketiga, Commercial agency (pasal 2.152-2.185). Buku ketiga, hukum keluarga yang terdiri dari 314 pasal, yang berisi pengaturan masalah perkawinan, pemisahan, perceraian, adopsi, hak perwalian anak, dan lain-lain. Buku keempat, mengatur masalah Real Rights yang terdiri dari 258 pasal, berisi masalah kepemilikan, perlindungan hak intelektual, dan lainlain. Buku kelima berisi tentang successon yang terdiri dari 76 pasal. Buku keenam mengatur masalah hukum perjanjian yang terdiri dari 1018 pasal. Buku keenam ini berisi empat bagian, yakni, bagian pertama masalah perjanjian pada umumnya (pasal 6.1-6.151), bagian kedua, mengatur perjanjian pada kontrak (pasal 6.1546.228) pada bagian ini disesuaikan dengan prinsip-prinsip yang ada pada UNIDROITPrinciples of International Commercial Contract. Bagian ketiga, adalah masalah unfair obligations, dan Bagian keempat (pasal 6.30 5-6.1018), mengatur masalah perjanjian yang khusus seperti, leasing, loan, franchising, factoring, kontrak kontruksi, dan lain-lain.245 Sistem peradilan di Lithuania terdiri dari badan peradilan umum (masalah perdata dan pidana). Pada badan peradilan ini terdiri dari empat tingkatan pengadilan, antara lain, local court (tingkat pertama), district court (tingkat kedua), court of appeals (tingkat ketiga), dan Supreme court (tingkat tertinggi). Tahun 1999, dibentuk lagi badan peradilan yang khusus menangani masalah litigasi di bidang administrasi, misalnya, sengketa pajak, dan sengketa administrasi. Badan ini terdiri dari tingkatan pengadilan, antara lain, district administrative court (tingkat pertama), higher 245

Eeti Ohispanx, The New Civil Code of Lithuania, http /features/lithuania. ht

284 Hukum Kepailitan di Indonesia

administrative court (tingkat kedua), dan highest administrative court (tingkat ketiga), dan Supreme court(tingkat tertinggi). Hakim-hakim pada tingkat Supreme Court diangkat oleh Seimas (parlemen), sedangkan hakim-hakim pada tingkatan ketiga, kedua, dan pertama diangkat oleh presiden. Putusan hakim yang dibuat tidak dijadikan sumber hukum di negara Lithuania. Meskipun demikian, putusan hakim tersebut dapat dijadikan rekomendasi untuk putusan hakim berikutnya walaupun tidak mengikat seperti halnya di negara yang menganut sistem hukum common law. Suatu badan peradilan namun bukan merupakan bagian dari sistem peradilan yang telah disebutkan, yaitu, Mahkamah Kontitusi. Lembaga ini berdiri secara independen dengan kekuasaan untuk menentukan pembuatan laws dan legal acts yang dibuat menyangkut masalah konstitusi dan menentukan legal acts yang dibuat oleh presiden dan pemerintah. c. Negara Amerika Serikat246 Negara ini merupakan negara yang berbentuk Republik Federal yang terdiri dari 50 negara bagian. Sumber hukum yang tertinggi di USA adalah Konstitusi yang dibentuk pada tahun 1789, konstitusi ini mendelegasikan kekuasaan pada negara-negara bagian. Konstitusi tersebut terbagi dalam tiga cabang, antara lain, kekuasaan eksekutif, kekuasaan legislatif, dan kekuasaan judicial. Setiap sistem peradilan di masing-masing negara bagian memiliki kekuasaan dan struktur yang independen namun saling berhubungan dengan putusan hakim yang dapat digunakan sebagai rekomendasi atau contoh putusan terhadap suatu masalah yang hampir sama. Kekuasaan tertinggi di setiap judicial branch atau district courts adalah Supreme Court. Sistem peradilan di USA tidak dikenal Pengadilan Niaga, karena masalah-masalah yang berkaitan dengan commercial masuk menjadi bagian bidang hukum privat, namun masing-

246

The United States Bankruptcy and Insolvency Process, http

Hukum Kepailitan di Indonesia 285

masing substansi mempunyai undang-undang sektoral, seperti company law, insurance law, contract law, dan bankruptcy law. Kepailitan di USA di atur di dalam The Bankruptcy Reform Act of 1978 mulai efektif berlaku pada tanggal 6 November 1979. Perubahan besar terjadi pada sistem hukum kepailitan dengan mengamandemen bankruptcy and federal judgeship Act tahun 1984, the bankruptcy judges, United States Trustees, and Family farmer bankruptcy Acttahun 1986, dan Bankruptcy Reform Act tahun 1994. Hakim-hakim kepailitan pada tingkat district court akan menyimak dan menentukan suatu, kasus merupakan kasus kepailitan dan diproses menurut bankruptcy code. Kreditors dimungkinkan untuk aktif berpartisipasi pula pada proses beracara kepailitan. Mereka dapat bertanya kepada Debitor yang berkaitan dengan masalah keuangan Debitor dan property yang dimiliki Debitor. Kreditor dapat pula membuktikan claim yang diajukan. d. Negara Malaysia247 Malaysia menjalankan sistem pemerintahannya dengan bentuk Monarki Konstitusional. Kontitusi federasi secara tegas dibagi kedalam tiga bagian, antara lain, legislatif, judikatif dan eksekutif. Kekuasaan eksekutif dipegang oleh seorang Raja berdasarkan konstitusi dan pelaksana kekuasaan legislatif oleh sejumlah menteri kabinet yang dikepalai oleh Perdana Menteri. Sedangkan kekuasaan kehakiman dipegang oleh Malaysia's high court dengan tingkatan dibawahnya court of appeal. Hukum kepailitan Malaysia ditangani oleh Malaysia's high court dan court appeal dengan berdasarkan bankruptcy act 1967, bankruptcy rule 1969, bankruptcy (fees) rules 1969, companies act 196, companies (winding up) rules 1972, trade unions regulations 1959, societies act 1966. Pemerintah Malaysia membentuk suatu official assignee departemen yang berada dibawah kewenangan Malaysia's Legal affairs Department, yang berfungsi untuk: a. Mengurus masalah yang berhubungan dengan kepailitan b. Sebagai likuidator dalam perusahaan yang bermasalah 247

www.LAIR.com/profile/malaysiabankruptcycourt.htm

286 Hukum Kepailitan di Indonesia

c.

Melayani dan memberikan bantuan untuk mencari perusahaan yang bermasalah dan yang mengalami kebangkrutan.

e. Negara Singapura248 Singapura tidak mengenal Pengadilan Niaga, masalah kepailitan dan masalah yang berkaitan dengan bidang niaga diatur melalui peradilan umum dan merupakan bagian dari hukum privat. Kekuasaan peradilan tertinggi ada pada Supreme court, the high court, dan the subordinate courts. Suatu lembaga yang banyak menangani masalah privat dan commercial adalah the Small Claims Tribunals sebagai satu subordinate courts di Singapura. The Small Claims Tribunals tersebut dibentuk pada tanggal 1 February 1985. Lembaga ini diatur dalam The Small Claims Tribunals Act, chapter 308. Lembaga ini dibentuk dengan tujuan memberikan pelayanan sebagai forum yang cepat dan biaya ringan dalam menangani small claims antara konsumen dan pedagang. Kriteria suatu perkara masuk ke small claims tribunal ini adalah berdasarkan besarnya nilai nominal yang diperkarakan. Sebelum tahun 1995 besarnya nominal yang masuk yurisdiksi lembaga ini adalah perkara atau gugatan tidak lebih dari $2,000/-, tapi pada tahun 1996 batas nominalnya bertambah yaitu $5,000/-, sedangkan pada tahun 1997 besar nominal yang masuk ke yurisdiksi small claims tribunals jika gugatan/perkara mencapai nominal $10,000/-. Masalah atau perkara yang sudah masuk ke small claims tribunals ini setiap tahunnya meningkat, bahkan pada tahun 2001 mencapai 33.768 perkara. Ini membuktikan kepercayaan publik kepada lembaga ini untuk menyelesaikan perkara dengan sistem yang cepat dalam mencari keadilan dengan biaya yang sesuai. Yurisdiksi lembaga ini apabila perkara yang akan diajukan tidak lebih dari $10,000/-, dimana perkara yang akan diselesaikan muncul dari masalah-masalah: a. Kontrak penjualan barang-barang atau produk, atau 248

www.llrx.com/features/singapore/smallclaimstribunals.htm

Hukum Kepailitan di Indonesia 287

b. c.

Kontrak penyediaan layanan jasa, atau Kerusakan yang menimbulkan kerugian terhadap hak milik (tetapi tidak termasuk kerusakan yang timbul dari kecelakaan yang berhubungan dengan kendaraan bermotor). Semua perkara yang masuk ke small claims tribunals ini memiliki batas waktu tidak lebih dari setahun sejak tanggal memperoleh perkara. Prosedur suatu perkara dibawa ke lembaga ini sangat mudah dan simple. Suatu perusahaan atau individu yang ingin memasukan perkaranya disebut "claimant" sedangkan perusahaan/individu yang digugat disebut "respondent". Pihak yang digugat dapat mengajukan gugatan balik yang disebut dengan "counterclaim". Para pihak dapat mengisi form pendaftaran pada tribunal ini bahkan disediakan pula pengisian form melalui electronic filling (Internet). Setelah gugatan masuk dalam lembaga ini, para pihak masih dapat menyelesaikan masalah diantara para pihak secara masingmasing sebelum ditetapkan tanggal konsultasi/mediasi dan harus dinyatakan oleh mereka dengan menulis pernyataan untuk menarik kembali gugatan. Jika permasalahannya tidak dapat diselesaikan secara masing-masing, maka para pihak akan mendapatkan atau melalui mediasi/konsultasi. Apabila para pihak yang berperkara adalah perusahaan maka hanya dapat diwakilkan oleh seorang direktur atau pegawai tetapnya. Perwakilan ini harus disediakan atau diberi wewenang melalui surat pemberian wewenang kepada pihak yang mewakili. Hasil dari konsultasi/mediasi dapat mengikat para pihak yang mengajukan perkara. f. Negara Korea Selatan249 Sistem hukum modern Korea Selatan pada dasarnya mengikuti sistem hukum civil eropa kontinental yang ditransfer dari sistem hukum Jepang, karena sejak tahun 1910 sampai 1945 Korea Selatan merupakan negara jajahan Jepang maka seluruh 249

Heija B. Ryoo, Korean Legal Research Resources on the Internet, http

288 Hukum Kepailitan di Indonesia

aturan hukum jepang atau sistem hukum Jepang digunakan di Korea Selatan, tetapi pada tahun 1948, ketika Korea Selatan telah memproklamirkan diri dari Jepang menjadi suatu Republik Korea, banyak sistem hukum Jepang yang tidak lagi digunakan. Masuknya militer USA di Korea selatan sejak tahun 1945-1948, maka mulai berpengaruhnya sistem hukum Anglo Amerikan. Sehingga kegiatan legislatif pada tahun 1950-an dan 1960-an mencoba menghapuskan sistem hukum Jepang dan mulai menjadikan sistem hukum anglo amerika sebagai dasar pembentukan sistem hukum korea selatan. Hal ini disebabkan karena Korea Selatan memiliki hubungan politik dan bisnis yang kuat dengan USA. Sejak tahun 1970-an dan 80-an, banyak aturan hukum yang mengubah juga ke arah perubahan administrasi, pertumbuhan ekonomi, dan pembangunan sosial. Perubahan sistem demokrasi masyarakat korea membawa pergantian konstitusi pada tahun 1980-an, maka pada tahun 1993 adalah pertama kalinya pemerintah sipil di Korea Selatan, merupakan kegiatan legislatif sebagai lanjutan reformasi dan perbaikan sistem hukum. Sistem pemerintah di Korea dibagi dalam tiga cabang, antara lain legislatif, eksekutif, dan yudikatif sistem judicial di Korea terdiri dari tiga tingkatan pengadilan, yakni: a. The ditrict courts (termasuk juga pengadilan khusus, seperti family court dan administrative court), pengadilan ini merupakan The Courts of original jurisdiction. b. The high courts, merupakan the intermediate appellate courts. c. Supreme court, sebagai the highest court. Peradilan di atas merupakan peradilan umum yang mengatur masalah hukum privat dan publik (di luar masalah administrasi). Termasuk pula bidang hukum perniagaan, tetapi di Korea Selatan disediakan pula arbitration court untuk bidang niaga. Selain itu terdapat pula Constitutional Court System yang dibentuk sejak September 1998, badan ini bukan merupakan bagian dari struktur peradilan umum di atas. Yurisdiksi peradilan ini adalah: a. Impeachment Hukum Kepailitan di Indonesia 289

b. Sengketa partai politik c. Kompetensi sengketa di antara badan pemerintahan negara, antara badan pemerintahan pusat dengan pemerintahan lokal, dan di antara badan pemerintahan lokal sendiri. d. Keberatan terhadap pelaksanaan konstitusi. Constiutional court ini terdiri dari 9 hakim yang ditentukan oleh presiden untuk masa jabatan 6 tahun selama satu periode dan dapat dipilih kembali. Untuk materi impeachment, terdapat 3 hakim yang dipilih oleh national assembly, dan 3 hakim yang dipilih oleh hakim agung dari supreme court. Sistem peradilan di Korea lebih mengikut sistem peradilan dalam tradisi sistem hukum civil, tidak ada sama sekali gaya sistem peradilan Amerika digunakan yaitu bahwa putusan hakim tidak mengikat sepenuhnya untuk digunakan dalam kasus serupa karena lebih mengacu pada konstitusi. Sumber hukum yang digunakan di Korea Selatan terdiri dari: a. Class I: Konstitusi b. Class II: Statuta, Peraturan presiden darurat, dan treaties c. Class III: Keputusan Presiden, peraturan national assembly, peraturan supreme court, peraturan contitutional court. d. Class IV: peraturan pemerintah e. Class V: peraturan pemerintah lokal g. Negara Perancis Sistem peradilan Perancis terbagi dalam dua bidang hukum, yaitu, bidang hukum privat (judicial order) dan bidang hukum publik (administrative order). Bidang yang masuk pada hukum privat (judicial order) adalah bidang hukurn privat atau hukum mengenai warganegara termasuk di dalamnya bidang hukum pidana dan hukum perdata internasional. Sedangkan yang masuk dalam bidang hukum publik adalah bidang hukum yang berkaitan dengan bidang administrasi. Hukum privat mempunyai tingkatan pengadilan yang terdiri dari: trial court level, appeal court level, dan supreme court. Tingkat pertama (trial court level) mempunyai enam bagian yakni, criminal

290 Hukum Kepailitan di Indonesia

jurisdiction, ordinary jurisdiction, dan empat yurisdiksi khusus, yaitu, bidang commerce, labor, rural, dan affairs of social security. Tingkat kedua (appeals court) merupakan pengadilan tingkat banding yang termasuk didalamnya satu kamar pidana dan court of assises (semacam pengadilan kriminal tingkat banding), social chamber, commercial, chamber, dan civil chamber. Tingkatan supreme court bukan merupakan tingkatan ketiga melainkan tingkat pengadilan tertinggi. Bidang hukum privat di supreme court sebagai Cour de Cassation. Di dalamnya terdiri dari satu kamar pidana, tiga kamar perdata, satu kamar bidang sosial dan satu kamar commercial. Para pengacara dan hakim di Perancis berasal dari latar belakang pendidikan yang sama. Para hakim adalah orang-orang yang telah memilih profesinya sebagai hakim. Menjadi hakim harus mengalami masa pendidikan selama tiga tahun dan memulai karirnya sebagai hakim muda di pengadilan sampai mereka benarbenar memperoleh wilayah pengadilan mana yang menjadi tugasnya. Hakim di Perancis dapat berkedudukan sebagai magistrates atau standing magitrates. Apabila sebagai magistrates, sama halnya di United States, adalah hakim di mahkamah atau pengadilan. Sedangkan standing magistrates adalah prosecutor atau jaksa yang bekerja dalam yurisdiksi pidana. Menjadi prosekutor maka ia harus melalui pendidikanataumagistratureschool.

Hukum Kepailitan di Indonesia 291

A Abdul R, Saliman, 6 Abdurrachman,, 172 Ade Maman Suherman, 193 Agnes M.Toar, 191 Ahmadi Miru, 185 Alan Redfern, 186, 187 Algra, N.E, 21 Alternatif, 178, 179, 180, 186, 189, 190, 192, 261 Alternative, 179, 184, 196, 269, 270, 271, 272 Alumni, 16, 18, 25, 172, 223, 260, 263 Andi Muhammad Asrun, 251 Arbitrase, 160, 161, 178, 179, 180, 181, 190, 191, 192, 193, 196, 261 Aria Suryadi, 50, 51

B Bambang Kesowo,, 39 Bambang Sutiyoso, 174, 175, 178, 195 Bandung, 16, 18, 20, 25, 99, 110, 171, 172, 173, 190, 191, 193, 214, 223, 253, 260, 263, 276, 282 Bank Indonesia, 29, 32, 52, 54, 55, 56, 58, 59, 104, 122, 123, 130, 186, 210, 234 Bisnis, 6, 20, 32, 171, 173, 174, 175, 176, 179, 193, 197 Budhy Budiman, 269 Burgelijk Wetboek, 221

D Dagang, 6, 147, 171, 175, 191, 260, 262, 269, 283 Dahlan,, 193 292 Hukum Kepailitan di Indonesia

Departemen, 214, 216, 217, 218, 272 Depdiknas,, 173 Dispute, 179, 184, 196, 269, 270, 271, 272

E E.Oeser, 184, 188 Eeti Ohispanx, 287 Ekonomi, 20, 171, 191, 193, 196, 251 Elona Norvaisaite, 285 Erman Rajagukguk, 192, 193 Eryanto Nugroho, 50, 51

F Frank E.A Sander, 179 Fred B.G. Tumbuan, 9

G Garry Goodpaster, 196, 197 Gatot Soemartono, 181 Gunawan Widjaja, 70, 81, 189

H H. Priyatna Abdurrasyid, 179, 182 Hadi Shubhan, 20, 27, 256 Harold F. Lusk, 24 Heija B. Ryoo, 291 Hendri Soekarso, 22 Henry Campbell, 21, 173 Hermayulis., 262 Herni Sri Nurbaiti, 50, 51 http, 169, 267, 269, 283, 285, 287, 291 Huala Adolf, 184, 185, 191 Hukum, 1, 2, 5, 6, 7, 8, 20, 22, 23, 30, 31, 36, 42, 51, 63, 70, 75, 81, 86, 87, 94, 99, 103, 104, 116, 120, 130, 136, 138, 142, 153, 163, 168, 170, 171,

Imran Nating, 49, 126 , 294 Indonesia, 1, 2, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 16, 18, 22, 27, 31, 32, 34, 37, 38, 39, 50, 51, 53, 56, 57, 62, 111, 113, 116, 120, 123, 130, 131, 147, 160, 163, 168, 170, 172, 173, 175, 178, 179, 180, 181, 182, 183, 184, 190, 191, 192, 193, 194, 196, 197, 198, 200, 201, 206, 207, 213, 214, 216, 221, 229, 230, 231, 232, 233, 234, 235, 237, 244, 252, 253, 254, 255, 257, 260, 261, 262, 266, 267, 268, 269, 277, 282, 283 Internasional, 133, 174, 191, 253, 260, 261, 267

112, 113, 114, 115, 116, 118, 119, 120, 121, 122, 123, 125, 127, 128, 129, 132, 137, 138, 139, 140, 141, 142, 143, 144, 146, 147, 150, 151, 153, 154, 157, 158, 159, 163, 164, 166, 167, 168, 174, 198, 199, 201, 205, 210, 213, 214, 215, 216, 217, 218, 219, 220, 221, 223, 224, 225, 226, 229, 230, 231, 232, 233, 234, 235, 236, 238, 239, 240, 241, 242, 243, 244, 245, 246, 247, 248, 249, 250, 251, 253, 254, 255, 256, 257, 258, 259, 262, 263, 264, 266, 267, 273, 274, 275, 276, 277, 278, 279, 280, 282, 288 Kitab, 6, 171, 175, 220, 221, 260 Konsiliasi, 186, 188, 192 Kontrak, 84, 174, 185, 262, 290 Kurator, 9, 16, 20, 28, 38, 49, 60, 62, 63, 64, 69, 81, 86, 87, 88, 89, 90, 91, 92, 95, 96, 108, 109, 113, 114, 126, 139, 140, 148, 149, 157, 159, 213, 214, 215, 216, 217, 218, 219, 220, 221, 222, 223, 224, 225, 226, 227, 228, 229, 230, 231, 232, 235, 236, 237, 238, 240, 242, 244, 245, 247, 248, 274, 276

J

L

172, 173, 174, 175, 178, 179, 180, 184, 185, 188, 191, 192, 193, 194, 196, 200, 207, 221, 229, 244, 246, 250, 251, 252, 256, 260, 263, 269, 270, 272, 276, 282, 283, 284, 289, 293 Hukum Perdata, 175, 221, 260, 263 Husseyn Umar, 180, 183

I

Jacqueline M. Nolan Haley, 272 Jerry Hoff, 9, 21, 221, 251 Jimly Asshiddiqie, 255 Johannes Ibrahim, 173

K Kamus, 27, 173, 181, 182, 213 Kartini Mulyadi, 16, 18, 19, 25, 118, 142, 221 Kartono,, 17, 23 Kasasi, 64, 78, 102, 109, 110, 135, 136, 137, 144, 164, 165, 166, 200 Kepailitan, 1, 2, 3, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 13, 14, 16, 17, 18, 19, 21, 22, 23, 25, 30, 31, 32, 33, 34, 35, 36, 37, 39, 40, 41, 42, 43, 44, 47, 50, 51, 52, 53, 54, 55, 56, 59, 61, 62, 63, 64, 65, 66, 67, 70, 72, 73, 74, 75, 78, 79, 80, 81, 84, 98, 99, 100, 101, 102, 103, 104, 106,

Lawrence M. Friedman, 193, 194 Lilik Mulyadi, 263, 277, 281 Lucy Dyah Hendrawati, 181

M Mahkamah Agung, 4, 10, 30, 39, 56, 64, 65, 66, 67, 68, 93, 100, 102, 103, 116, 120, 137, 164, 165, 186, 201, 202, 229, 230, 231, 232, 235, 244, 254, 256, 258, 263, 264, 265, 266 Man S. Satrawidjaja, 23 Maralda H. Kairupan, 187 Martin Hunter, 186 Mas Achmad Santosa, 272 Mediasi, 181, 185, 186, 192 Munir Fuady, 20, 189, 190, 275

Hukum Kepailitan di Indonesia 293

P Pemberesan, 49, 126, 220, 225, 238, 239, 244 Pengadilan Niaga, 10, 15, 28, 30, 38, 39, 40, 43, 47, 53, 55, 56, 57, 58, 60, 61, 64, 65, 69, 70, 72, 73, 74, 75, 77, 78, 80, 81, 82, 83, 84, 86, 93, 94, 96, 97, 100, 101, 102, 103, 104, 106, 108, 109, 110, 111, 114, 115, 129, 130, 134, 135, 152, 157, 158, 159, 160, 161, 164, 165, 166, 179, 197, 198, 199, 200, 201, 202, 203, 214, 216, 219, 226, 227, 228, 229, 230, 231, 232, 233, 249, 250, 251, 252, 253, 254, 255, 256, 257, 258, 259, 262, 263, 264, 265, 266, 267, 274, 275, 278, 282, 288, 289 Peninjauan Kembali, 38, 66, 78, 102, 103, 137, 165, 166, 219, 264, 266 Penyelesaian, 10, 18, 25, 52, 70, 174, 176, 178, 179, 180, 181, 185, 186, 189, 190, 191, 192, 193, 194, 196, 197, 223, 252, 261, 266, 267, 268, 269, 272, 277 Peraturan, 3, 6, 7, 8, 9, 10, 99, 100, 186, 198, 201, 208, 214, 217, 253, 256, 258, 260, 276, 284, 292 Perorangan, 62, 119, 137, 207 Perpu, 3, 10, 39, 198, 199, 201, 253, 258 Perusahaan, 20, 21, 29, 36, 52, 57, 58, 112, 113, 174, 210, 219, 261 Peter Behrens, 184 Peter J.M. Declercq, 26 Putusan, 20, 33, 34, 35, 36, 37, 38, 55, 58, 62, 64, 66, 80, 88, 96, 102, 104, 105, 106, 109, 110, 115, 127, 128, 130, 137, 140, 152, 158, 164, 165, 193, 200, 229, 230, 231, 252, 257, 261, 264, 266, 281, 287

R R Soekardono, 260 R.Otje Salman,, 191, 192 Rahayu Hartini, 6, 8, 22, 62, 104, 279 Ricardo Simanjuntak, 17, 23 Richard Burton, 172, 173 Roedjiono, 269 294 Hukum Kepailitan di Indonesia

Rudhy Lontoh,, 223

S S. Wojomeksito, 27 S. Wojowasito, 213 Sanusi Bintang, 193 Sengketa, 174, 175, 176, 177, 178, 179, 180, 181, 184, 186, 189, 190, 191, 192, 193, 196, 197, 252, 261, 268, 269, 272, 292 Sentosa Sembiring, 55, 98, 99, 276 Siti Anisah, 163, 166, 167, 168 Siti Megadianty, 192, 268 Soekardono, 283 Soetandyo Wignjosoebroto, 1 Sri Endah Kinasih, 181 Sudargo Gautama, 214, 253, 260 Sumaryo Suryokusumo, 188 Sunarmi, 1, 2, 3, 4, 5 Sunarmi,, 1, 2, 3, 4, 5 Sutan remy Syahdeini, 31 Suyud Margono, 178, 191

T Tanggung jawab, 126, 221, 222, 223 Tatyana Khodosevich, 283 Thomas E.Crowly, 192

U Undang-Undang, 3, 6, 7, 8, 18, 23, 45, 47, 48, 49, 50, 53, 54, 55, 56, 59, 60, 61, 62, 63, 64, 65, 66, 81, 84, 85, 107, 108, 112, 114, 118, 119, 123, 142, 171, 175, 179, 180, 181, 182, 183, 185, 190, 197, 198, 199, 200, 201, 206, 208, 210, 213, 215, 216, 217, 220, 221,223, 224, 225, 226, 253, 254, 255, 256, 257, 258, 259, 260, 261, 262, 263, 264, 265, 266, 267, 269, 274, 275, 276, 277, 278, 279, 280

V Valerine J.L. Kriekhoff, 192 Victor M. Simatupang, 22

W W.Poeggel, 188

Y Yuridis, 251

Hukum Kepailitan di Indonesia 295

A. BUKU Abdul R, Saliman, dkk, Esensi Hukum Bisnis Indonesia, Prenada Media, Jakarta, 2004. Abdul R. Saliman, Hukum Bisnis Untuk Perusahaan: Teori dan Contoh Kasus, Kencana, Jakarta, 2011. Abdurrachman, Aneka Masalah, Hukum Dalam Pembangunan Nasional, Alumni, Bandung, 1979. Ade Maman Suherman, Aspek Hukum Dalam Ekonomi Global, Penerbit Ghalia Indonesia, Bogor, 2005. Agnes M.Toar, Uraian Singkat tentang Arbitrase Dagang di Indonesia, Seri Dasar- Dasar Hukum Ekonomi 2, Arbitrase di Indonesia, Penerbit Ghalia Indonesia, 1995. Ahmadi Miru, Hukum Kontrak Perancangan Kontrak, PT.RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2007. Alan Redfern dan Martin Hunter dengan Nigel Blackaby dan Constantine Partides, Law and Practice of International Commercial Arbitration, Forth edition, Sweet & Maxwell Limited, 2004. Algra, N.E., Inleiding tot Het Nederlands Privaatrecht, Tjeenk Willink, Groningen, 1975. Andi Muhammad Asrun, A. Prasetyantoko, dkk. Analisa Yuridis dan Empiris Peradilan Niaga, Jakarta, CINLES, Centre for Information & Law, Economic Studies, Pusat Informasi & Pengkajian Aria Suryadi, Eryanto Nugroho dan Herni Sri Nurbaiti, Kepailitan di Negeri Pailit, Penerbit Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia cetakan II, Jakarta, 2004. 296 Hukum Kepailitan di Indonesia

Bambang Sutiyoso, Penyelesaian Sengketa Bisnis, Citra Media, Yogyakarta, 2006. Erman Rajagukguk, Arbitrase Dalam Putusan Pengadilan, Penerbit Chandra Pratama, Jakarta, 2000. Frank E.A Sander, Alternative Methods of Dispute Resolution: An Overview, 37U.FIa.L.Rev, 1985, Copyright di dalam Acontracts Anthology, Edited with Comments By Peter Linzer, Anderson Publishing Co, 1989. Gatot Soemartono, Arbitrase dan Mediasi di Indonesia, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2006. Garry Goodpaster. 1995. Tinjauan Terhadap Penyelesaian Sengketa, dalam Seri Dasar-dasar Hukum Ekonomi Arbitrase di Indonesia. Ghalia Indonesia, Jakarta. Gunawan Widjaja, Perdamaian Sebagai Upaya Penyelesaian Hutang, Jakarta, Business News, 2000. --------, Alternatif Penyelesaian Sengketa, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2005. Hadi Shubhan, Hukum Kepailitan, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2008. Harold F. Lusk, Business Law: Principles and Cases, Richard D. Irwin Inc., Homewood Illinois, 1986. Henry Campbell Black, Black"s Law Dictionary, Sixth Ed., West Publishing Co, St. Paul Minn., 1990. H. Priyatna Abdurrasyid, Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Suatu Pengantar, PT. Fikahati Aneksa, BANI, Jakarta, 2002. Husseyn Umar, Beberapa Catatan Tentang Latar Belakang Dan Prinsip Dasar Bentuk-Bentuk APS Dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999, Pusat Pengkajian Hukum dan MARI, Jakarta, 2002. Huala Adolf, Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, 2004. Imran Nating, Tanggung Jawab Kurator dalam Pengurusan dan Pemberesan Harta Pailit, Raja Garfindo Persada, Jakarta, 2004. Hukum Kepailitan di Indonesia 297

--------, Peranan Dan Tanggung jawab Kurator Dalam pengurusan Dan Pemberesan Pailit, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2004. Jacqueline M. Nolan Haley.. Alternative Dispute Resolution (ADR). ST. Paul, Minn: West Publishing Co. 1992. Jerry Hoff, Indonesian Bankruptcy Law, Jakarta, Tatanusa, 1999, -------, Undang-Undang Kepailitan di Indonesia (Indonesian Bankruptcy Law), diterjemahkan oleh Kartini Mulyadi , Jakarta : Tatanusa, 2000. Jimly Asshiddiqie, Perihal Undang-Undang, Jakarta: Konstitusi Press, 2006. Johannes Ibrahim dan Lindawati Sewu, Hukum Bisnis Dalam Persepsi Manusia Modern, Refika Aditama, Bandung, 2004, . J.Djohansjah, kreditor preferen dan separatis, pusat pengkajian hukum, Jakarta, 2012. Kartini Mulyadi, Kepailitan dan Penyelesaian Utang Piutang, dalam : Rudhy A. Lontoh (et.al.), Penyelesaian Utang Piutang Melalui Pailit atau Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Bandung, Alumni, 2001. --------, action pauliana dan pokok pokok tentang pengadilan niaga, alumni, bandung, 2007. Kartono, Kepailitan dan Pengunduran Pembayaran, Pradnya Paramita, Jakarta, 1999. Lawrence M. Friedman, American Law An Introduction, Second Edition, Hukum Amerika Sebuah Pengantar, Penerjemah Wishnu Basuki, Penerbit T.Tatanusa, Jakarta, Indonesia, 2001. Lilik Mulyadi, Penyelesaian Perkara Hubungan Industrial serta Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) oleh Pengadilan Khusus Indonesia dalam Teori dan Praktik, cet. 1, Bayu Media Publishing, Malang, 2008, . ---------, Kompilasi Hukum Perdata, PT Alumni, Bandung, 2009. Lucy Dyah Hendrawati dan Sri Endah Kinasih, Makna Sumpah Pocong Sebagai Upaya Penyelesaian Sengketa Pada Masyarakat Madura : Studi Kasus di Masjid Madegan,

298 Hukum Kepailitan di Indonesia

Polagan Sampang, Madura, Jurnal Penelitian Dinamika Sosial Vol.6 No. 2, Agustus 2005. Mahadi, Falsafah hukum: suatu pengantar, alumni, bandung, 2003. Man S. Satrawidjaja, Hukum Kepailitan & Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Munir Fuady, Arbitrase Nasional, Alternatif Penyelesaian Sengketa, Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000. --------, Pengantar Hukum Bisnis, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005. --------, Hukum Pailit Dalam Teori dan Praktik, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2014. Peter Behrens, Alternative Methods of Dispute Settlement in International Economic Relations, dalam Ernst-Ulrich Petersman and Gunther Jaenicke, Adjudication of International Trade Dispute in International and National Economic Law, Fribourg U.P., 1992. Peter J.M. Declercq, Netherlands Insolvency Law, The Netherlands Bankruptcy Act and The Most Important Legal Concept, T.M.C. Assen Press, The Haque, 2002. Rahayu Hartini, Hukum Kepailitan, UMM Press Edisi Revisi Cetakan II, Jakarta, 2004. Ricardo Simanjuntak, Esesnsi Pembuktian Sederhana dalam Kepailitan, Pusat pengkajian hukum, Jakarta, 2008. Richard Burton Simatupang, Aspek Hukum dalam Bisnis, Rineka Cipta, Jakarta, 1996. Rudhy Lontoh, Denny Kalimang, Benny Ponto, ed., Penyelesaian Utang Piutang melalui Pailit atau penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Bandung: Alumni, 2001. R Soekardono. Hukum Dagang Indonesia. Jilid I (bagian pertama). Jakarta : Soeroengan, 1963. Cet. 3 R.Otje Salman, Kontekstualisasi Hukum Adat Dalam Proses Penyelesaian Sengketa, dalam Prospek Dan Pelaksanaan Arbitrase Di Indonesia, Mengenang Alm. Prof. Dr. Komar Kantaatmadja, SH.,LL.M, Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001. Hukum Kepailitan di Indonesia 299

RA. Koesnoen dalam bukunya Kitab Undang-Undang Hukum Perniagaan (Wetboek van Koophandel), Sumur, Bandung, 1961. Sanusi Bintang dan Dahlan, Pokok-Pokok Hukum Ekonom dan Bisnis, Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000. Siti Megadianty Adam dan Takdir Rahmadi, Sengketa dan Penyelesaiannya, Buletin Musyawarah Nomor 1 Tahun I. Jakarta: Indonesia Center for Environ-mental Law, 1997. Soekardono, Hukum Dagang Indonesia, Dian Rakyat, Jilid I (bagian pertama), Jakarta, 1993. Soetandyo Wignjosoebroto dalam Sunarmi, Prinsip Keseimbangan Dalam Hukum Kepailitan di Indonesia, Edisi 2, Softmedia, Jakarta, 2010. Sentosa Sembiring, Hukum Kepailitan Dan Peraturan Perundangundangan Yang Terkait Dengan Kepailitan, CV. Nuansa Aulia, Bandung, 2006. Siti Anisah, Perlindungan Kepentingan Kreditur Debitur Dalam Hukum Kepailitan di Indonesia, Cetakan ke-II, Total Media, Yogyakarta, 2008. Sumaryo Suryokusumo, Studi Kasus Hukum Intemasional, PT. Tatanusa, Jakarta, 2007. Sunarmi, Prinsip Keseimbangan Dalam Hukum Kepailitan di Indonesia, Edisi 2, Softmedia, Jakarta, 2010. S. Wojomeksito, Kamus Umum Belanda Indonesia, Jakarta, PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1999. Sudargo Gautama, "Hukum Perdata dan Dagang Internasional", Alumni, Bandung, 1980. -------- "Indonesia dan Konvensi-Konvensi Hukum Perdata Internasional", Alumni, Bandung, 1983. -------- "Kapita Selekta Hukum Perdata Internasional", Alumni, Bandung, 1983. -------- "Aneka Masalah Hukum Perdata Internasional", Alumni, Bandung, 1985. --------, Komentar atas Peraturan Kepailitan Baru untuk Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1998. 300 Hukum Kepailitan di Indonesia

Sutan remy Syahdeini, Hukum Kepailitan Memahami Undangundang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan, Cetakan ke-III, Grafiti, Jakarta, 2009. Suyud Margono, ADR dan Arbitrase Proses Pelembagaan dan Aspek Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2000. S. Wojowasito, Kamus Umum Belanda Indonesia, Ichtiar baru Van Hoeve, Jakarta, 2001. Thomas E.Crowly, Settle It Out of Court, New York: Jhon Willey & Sons, Inc.1994, hlm 22-24: (Disadur dan diterjemahankan oleh Erman Rajagukguk : Penyelesaian Sengketa Alternatif, Negosiasi- Mediasi-Konsiliasi - Arbitrase, Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2005. Valerine J.L. Kriekhoff, Mediasi (Tinjauan dari Segi Antropologi Hukum); (dalam: Antropologi Hukum Sebuah Bunga Rampai, Penyunting T.Ihromi, Penerbit Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2003. Victor M. Simatupang & Hendri Soekarso, Pengantar Hukum Kepailitan di Indonesia, Rineke Cipta, Jakarta, 1994. W. Poeggel and E.Oeser, Methods of diplomatic Settlement, dalam Mohammed Bedjaoui (ed). International Law. Achievements and Prospects, Dordrecht: Martinus Nijhoff and UNESCO, 1991. WiwiekAwiati, Conflict Transformation, Bahan Pelatihan Hukum ADR, Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), Jakarta, 2000. B. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgelijk Wetboek), diterjemahkan oleh R. Subekti dan R. Tcitrosudibio, vet. 30, (Jakarta, Pradnya Paramita, 1999. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 tentang Kepailitan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Depdiknas, Kamus Besar Bahasa Indonesia, PT Balai Pustaka, Jakarta, 1994. Hukum Kepailitan di Indonesia 301

Mahkamah Agung, Pedoman Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan Perdata Umum dan Perdata Khusus, Edisi 2007, Buku II. Mahkamah Agung RI, Mengenal Hukum Kepailitan Indonesia, Buku Pendamping. Mahkamah Agung, Seri Pendidikan Hukum Mengenal Hukum Kepailitan Indonesia, Buku Pendamping, 2005. Mahkamah Agung, Seri Pendidikan Hukum Mengenal Hukum Kepailitan Indonesia, Buku Pendamping, 2005. Putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat No. 19/Pailit/2005/PN. Niaga.Jkt.Pst. Putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat No. 20/Pailit/2005/PN. Niaga.Jkt.Pst. Putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat No.21/Pailit/2005/PN. Niaga.Jkt.Pst. Putusan kasasi MA No. 029 K/N/2005. Putusan Peninjauan Kembali MA No. 07 PK/N/2006. Putusan Pengadilan Negeri/Niaga Jakarta Pusat NomOR.12/Pailit /2005/PN.Niaga.Jkt.Pst. Putusan Kasasi MA No.020 K/N/2005. Putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat No.16/Pailit/PN.Niaga.Jkt. Pst. Peraturan Bank Indonesia No.8/5/PBI/2006 tentang Mediasi Perbankan di Indonesia dan Pokok-Pokok Hukum Jaminan dan Jaminan Perorangan, Liberty, Yogyakarta, 1980. Departemen Kehakiman, Keptusan Menteri Kehakiman tentang Pedoman besarnya Imbalan Jasa bagi Kurator, KepMen. Kehakiman No. M. 02-UM / 1993. Departemen Kehakiman, Keputusan Menteri Kehakiman tentang Pedoman Besarnya Imbalan Jasa bagi Kurator dan pengurus, KepMen. Kehakiman No M.09. ht. 0510/ 1998.

302 Hukum Kepailitan di Indonesia

C. SUMBER LAIN Bambang Kesowo, Perpu Nomor 1 Tahun 1999, Latar Belakang dan Arahnya, Makalah Para Pakar yang Berkaitan dengan Undang-undang Nomor 4 Tahun 1998 jo. Perpu Nomor 1 Tahun Budhy Budiman, Mencari Model Ideal Penyelesaian Sengketa, Kajian terhadap Praktik Peradilan Perdata dan UndangUndang Nomor 30 Tahun 1999. Fred B.G. Tumbuan, “Seminar Pendidikan Kurator” yang diadakan oleh Asosiasi Kurator & Pengurus Indonesia (AKPI) dengan Asosiasi Advokat Indonesia (AAI) di Jakarta, 25 Oktober – 5 Nopember 1999. Hermayulis. Kedudukkan, Tugas dan Fungsi Organisasi Pengadilan Niaga. Makalah yang disamampaikan dalam Workshop tentang "Judicial Organization Of Commercial Court" yang diselenggarakan oleh CINLES, Jakarta 28-29 Nopember 2002. Kartini muljadi, pengertian dan prinsip prinsip umum hukum kepailitan, makalah, Jakarta2004. Mas Achmad Santosa. Alternative Dispute Resolution (ADR) di Bidang Lingkungan Hidup. Makalah disampaikan dalam Acara Forum Dialog tentang Alternative Dispute Resolution (ADR) yang diselenggarakan oleh Tim Pakar Hukum Departemen Kehakiman dan The Asia Foundation. Jakarta: Departemen Kehakiman dan The Asia Foundation. 1995. Maralda H. Kairupan, Court battles not the only way to settle business dispute, The Jakarta Post, May 23, 2007. Mas Achmad Santosa. Mekanisme Penyelesaian Sengketa Lingkungan Secara Kooperatif (Alternative Dispute Resolution (ADR)). Indonesian Center for Environmental Law, Jakarta, 1995. Roedjiono. Alternative Dispute Resolutions (Pilihan Penyelesaian Sengketa). Makalah pada Penataran Dosen Hukum Dagang Se-Indonesia. Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 1996. Hukum Kepailitan di Indonesia 303

http://www. uika-bogor.ac.id/juro.htm. Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan Bandung, Diskusi Terbatas Perluasan Kewenangan Pengadilan Niaga, Makalah, 18 Januari 2003. Harian Kompas, Pengusaha Lebih Suka Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa. 19 Pebruari 1995. http://www.courtexcellence.com Siti Megadianty Adam dan Takdir Rahmadi."Sengketa dan Penvelesaiannya". Buletin Musyawarah Nomor 1 Tahun I. Indonesian Center for Environmental Law, Jakarta, 1997. Tatyana Khodosevich, The Belanis Legal System, http://www.llrx.com/features/belarus. htm Elona Norvaisaite, a Guide to Lithuanian Legal system, http://www.llr.com/features/ lithuanian.htm Eeti Ohispanx, The New Civil Code of Lithuania, http://www.llrx.con /features/lithuania. ht The United States Bankruptcy and Insolvency Process, http://IAIR.com/profile/ unitedstates.htm www.LAIR.com/profile/malaysiabankruptcycourt.htm www.llrx.com/features/singapore/smallclaimstribunals.htm Heija B. Ryoo, Korean Legal Research Resources on the Internet, http://www.google.com/ DOCLJMEN'TS/Koreanllegalresearch.htm http://en.wikipedia.org/wiki/Bankruptcy

304 Hukum Kepailitan di Indonesia

Asas Hukum

:

Asas keseimbangan

:

Asas Usaha,

:

Kelangsungan

Asas Integritas

:

Pikiran-pikiran dasar yang ada di dalam dan di belakang aturan hukum; (ratio legis) dari peraturan hukum. Nilai-nilai yang melandasi normanorma hukum. asas keseimbangan merupakan suatu asas yang disatu pihak terdapat ketentuan yang dapat mencegah terjadinya penyalahkgunaan pranata dan lembaga kepailitan oleh Debitur yang tidak jujur, di lain pihak terdapat ketentuan yang dapat mencegah terjadinya penyalahgunaan lembaga kepailitan oleh kreditur yang tidak beritikad baik. Dalam Undang-undang ini terdapat ketentuan yang memungkinkan perusahaan Debitur yang prospektif tetap dilangsungkan atau dilanjutkan usahanya. Asas integrasi dalam Undangundang ini mengandung pengertian bahwa sistem hukum formil dan hukum materilnya merupakan satu kesatuan yang utuh dari sistem Hukum Kepailitan di Indonesia 305

Asas Mendorong Investasi dan Bisnis.

:

Asas Memberi manfaat dan Perlindungan yang Seimbang bagi Kreditur dan Debitur.

:

306 Hukum Kepailitan di Indonesia

hukum perdata dan hukum acara perdata nasional. Undang-undang kepailitan harus dapat mendorong meningkatnya investasi dan pasar modal, terutama ditujukan kepada investor asing dan pelaku bisnis asing, serta memudahkan pengusaha untuk memperoleh kredit luar negeri, dengan ratifikasi terhadap Perjanjian Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) dapat mendorong liberalisasi di bidang perdagangan barang dan jasa, dengan berlakunya UU Nomor 8 Tahun 1995 Tentang Pasar Modal di Indonesia membuat pengusaha Indonesia mendapatkan akses langsung dari lembagalembaga pembiayaan luar negeri, Undang-undang kepailitan harus memuat asas-asas dan ketentuanketentuan yang dapat diterima masyarakat internasional sehingga hal tersebut dapat sejalan dengan hukum kepailitan di negara-negara para pemodal dan kredit asing yang diinginkan oleh pemerintah dan dunia usaha Indonesia. asas ini tidak sepenuhnya termuat dalam UU Kepailitan. Undang-undang kepailitan hendaknya dapat memberikan manfaat tidak hanya kepada kreditur akan tetapi juga kepada Debitur dan harus memberikan perlindungan yang seimbang bagi

Asas Putusan Pernyataan Pailit Tidak Dapat Dijatuhkan Terhadap Debitur Yang Masih Solven

:

kreditur dan Debitur, dengan undang-undang kepailitan diharapkan kreditur mendapatkan pembayaran utang-utangnya dari Debitur dengan mudah dan mendapatkan akses terhadap harta benda Debitur yang dinyatakan pailit karena tidak mampu membayar utang-utangnya, tanpa merugikan pihak-pihak lainnya yang berkepentingan dengan kepailitan tersebut, dengan memperhatikan rasa keadilan dan memberikan kepastian hukum. Pernyataan pailit menurut asasnya hanya dapat diajukan kepada Debitur yang tidak mampu membayar utang-utangnya lebih 50 % dari jumlah seluruh utangnya, sedangkan Debitur mempunyai tagihan atau piutang kepada Debitur lain melebihi 50 % jumlah utangnya, keadaan tersebut tidak dapat dijadikan alasan untuk mengajukan pailit terhadap Debitur termohon pailit. pasal 1 Fv menentukan bahwa seorang Debitur dapat diajukan ke pengadilan untuk dinyatakan pailit hanya apabila Debitur telah berhenti membayar utangutangnya, keadaan berhenti membayar merupakan keadaan dimana Debitur benar-benar tidak mampu membayar utang-utangnya atau Debitur sudah dalam keadaan Hukum Kepailitan di Indonesia 307

Asas Persetujuan Putusan Pailit Harus Disetujui Oleh Para Kreditur Mayoritas.

308 Hukum Kepailitan di Indonesia

insolvensi, bukan karena Debitur tidak mau membayar utangnya. Untuk menentukan keadaan keuangan Debitur benar-benar tidak mampu membayar utangutangnya hanya dapat ditentukan dengan melakukan financial audit atau financial due diligence, yang dilakukan oleh akuntan publik. UU Kepailitan tidak menganut asas tersebut. Pengajuan kepailitan oleh seorang kreditur dapat diajukan akan tetapi apakah Debitur dapat dinyatakan pailit hendaknya mendengarkan sikap dan mendapat persetujuan dari kreditur lain melalui rapat kreditur, putusan pailit hendaknya mendapat persetujuan kreditur terutama kreditur yang memiliki sebagian besar piutangnya. sehingga kepailitan menjadi kesepakatan bersama antara Debitur dengan para krediturnya. Asas ini tidak dikenal dalam UU Kepailitan.

Asas Keadaan Diam (Standstill atau Stay)

:

Asas Mengakui Hak Separatis Kreditur Pemegang Hak Jaminan.

:

Asas Proses Putusan Pernyataan Pailit Tidak Berkepanjangan.

:

Undang-undang kepailitan seharusnya memberlakukan keadaan diam secara otomatis, pemberlakuan keadaan diam sudah berjalan sejak kepailitan didaftarkan di pengadilan, hal tersebut dapat melindungi kepentingan para kreditur dari upaya-upaya Debitur untuk berlaku tidak jujur sehingga menimbulkan kerugian kepada kreditur UU Kepailitan memberikan kedudukan istimewa kepada kreditur pemegang hak jaminan kebendaan akan tetapi tidak sepenuhnya dilaksanakan karena adanya tenggang waktu selama 90 hari bagi kreditur menunggu untuk melakukan pelelangan terhadap harta jaminan tersebut. UU Kepailitan membatasi lamanya proses kepailitan di semua tingkat peradilan, keadaan tersebut memberikan kepastian tentang waktu atau lamanya proses kepailitan di pengadilan, kelemahan dari UU Kepailitan tidak memberikan tenggang waktu yang jelas kepada kurator untuk melaksanakan pemberesan harta pailit, hal ini memakan waktu yang panjang, sehingga memberikan kesan hukum kepailitan tidak dapat memberikan kepastian tentang lamanya proses pasca putusan pailit tersebut. Hukum Kepailitan di Indonesia 309

Asas Proses Putusan pailit Terbuka Untuk Umum

:

Asas Memberikan Kesempatan Restrukturi sasi Utang Sebelum Diambil Putusan Pernyataan Pailit Kepada Debitur Yang Masih Memiliki Usaha Yang Prospektif.

:

310 Hukum Kepailitan di Indonesia

Asas proses putusan pailit terbuka untuk umum bertujuan agar semua pihak yang berkepentingan dengan kepailitan tersebut mengetahui bahwa Debitur dalam keadaan pailit, lebih banyak kepenting terkait apabila Debitur pailit adalah bank, hal tersebut tidak hanya berkaitan dengan kepentingan Debitur dan kreditur akan tetapi juga menyangkut kepentingan masyarakat yang mempunyai dana dan atau mendapat fasilitas kredit dari bank tersebut, karenanya proses dan putusan pailit harus dapat diakses dan terbuka untuk umum. Hukum kepailitan seharusnya tidak hanya bertujuan untuk menyelesaikan utang-utang Debitur dengan menyatakan pailit, hendaknya ada tindakan-tindakan pengadilan yang mendahului putusan pailit untuk memberikan kesempatan kepada Debitur termohon pailit melakukan restrukturisasi utang dan melakukan debt and corporate restructuring atau corporate reorganization atau corporate rehabilitation, sehingga memungkinkan perusahaan atau Debitur kembali dalam kedaan mampu membayar utang-utangnya. UU Kepailitan tidak menganut asas tersebut, hanya saja dalam proses

Asas Yang Merugikan Harta Pailit Adalah Tindak pidana.

:

Pengadilan Niaga

:

Prestasi

:

pemberesan pailit dalam rapatrapat kreditur diberikan kesempatan kepada Debitur mengajukan rencana perdamaian terkait kepailitannya tersebut. Hukum kepailitan seharusnya juga mengatur ketentuan-ketentuan pidana terhadap Debitur yang melakukan kecurangan dan pelanggaran ketentuan-ketentuan kepailitan, yang merugikan kepentingan kreditur ataupun harta pailit. demikian juga dengan ketentuan terhadap kreditur yang bersekongkol dengan Debitur dalam proses kepailitan yang merugikan kreditur lainnya, demikian juga sanksi pidana terhadap Debitur yang melakukan adanya kreditur-kreditur fiktif dalam proses kepailitan yang diajukannya. UU Kepailitan tidak memuat ketentuan tersebut. merupakan pengadilan khusus yang berada di lingkungan peradilan umum yang berwenang menerima, memeriksa dan memutus permohonan pernyataan pailit dan penundaan kewajiban pembayaran utang serta perkara lain di bidang perniagaan yaitu perkara sengketa merek, paten, desain industri dan pelanggaran hak cipta. untuk memberikan sesuatu”, “untuk berbuat sesuatu”, atau “untuk tidak Hukum Kepailitan di Indonesia 311

RUPS

:

Pailit

:

kepailitan

:

312 Hukum Kepailitan di Indonesia

berbuat sesua. Suatu organ perseroan yang memegang kekuasaan tertinggi dalam perseroan dan memegang segala wewenang yang bersifat residual. Sebagai suatu usaha bersama untuk mendapat pembayaran bagi semua kreditur secara adil dan tertib, agar semua kreditur mendapat pembayaran menurut imbangan besar kecilnya piutang masingmasing dengan tidak berebutan. Sita umum atas semua kekayaan Debitur pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas

A AEC AFCL B BW

:

Asean Economic Community Asean Finance Corporation Limited

:

Burgerlijk Wetboek

BV BI BMIP

Beperkte Aanspraklijkheid Bank Indonesia Bangun Mustika Inter Persada

C CV CISG

Commanditaire Vennotschap Contract For The International Sale of Goods

F FV H BHP HIR I ITPC IAI

Faillissement Verordening

:

Balai Harta Peninggalan Herziene Indonesia Reglement

: :

Indonesian Trade Promotion Centre Initiative for Asean Integration

J Hukum Kepailitan di Indonesia 313

Jo

:

Juncto

K KUH Dagang

:

KUH Perdata

:

Kitab Undang-undang Hukum Dagang Kitab Undang-undang Hukum Perdata

N NV

:

Naamloze Vennootchap

P PT PK PERPU

: : :

PKPU

:

Perseroan Terbatas Peninjauan Kembali Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Pemutusan Hubungan Kerja

PHK R RUPS R.V RUU

: : :

Rapat Umum Pemegang Saham Recth voordeting Rancangan Undang Undang

S SPM SIP

Surat Perenyataan Mutu Securities Investor Protection Act

T TDUP TDP TT

Tanda Daftar Usaha Perdagangan Tanda Daftar Perusahaan Telegraphic Transfer

314 Hukum Kepailitan di Indonesia

U UUPT UUPM UU W WvK

:

Undang-Undang Perseroan Terbatas Undang-Undang Pasar Modal Undang-undang

Wetboek van Koophandel

Hukum Kepailitan di Indonesia 315

Related Documents


More Documents from "bayyazid wandila"

Hukum Kepailitan
March 2021 0