Keperawatan Medikal Bedah Laporan Pendahuluan Penderita Diabetes Mellitus Dengan Selulitis

  • Uploaded by: malihatus syarifah
  • 0
  • 0
  • January 2021
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Keperawatan Medikal Bedah Laporan Pendahuluan Penderita Diabetes Mellitus Dengan Selulitis as PDF for free.

More details

  • Words: 6,949
  • Pages: 33
Loading documents preview...
KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH LAPORAN PENDAHULUAN PENDERITA DIABETES MELLITUS DENGAN SELULITIS

Fasilitator: Iis Noventi, S.Kep.,Ns.M.Kep.

Oleh: Malihatus Syarifah

(1120019171)

PROGRAM STUDI PROFESI NERS FAKULTAS KEPERAWATAN DAN KEBIDANAN UNIVERSITAS NAHDLATUL ULAMA SURABAYA 2020

KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta karunianya kepada kami sehingga kami berhasil menyelesaikan laporan praktik Keperawatan Medikal Bedah ini yang alhamdulillah dengan tepat waktu. Laporan ini berisikan tentang informasi “Teori Asuhan Keperawatan Pada Penderita Diabetes Mellitus dengan Selulitis”. Laporan ini di tulis dengan bahasa yang sederhana berdasarkan berbagai literatur tertentu dengan tujuan untuk mempermudah pemahaman mengenai teori yang dibahas. Kendati demikian, tak ada gading yang tak retak. Penulis menyadari bahwa dalam laporan ini terdapat kekurangan dan kelemahan, oleh karena itu penulis terbuka dengan senang hati menerima kritik dan saran yang konstruktif dari semua pihak demi perbaikan dan penyempurnaan laporan ini. Akhirnya, penulis berharap semoga laporan ini dapat memberikan manfaat bagi semua pihak. Lamongan, 13 Mei 2020

Penulis

BAB 1 TINJAUAN TEORI A. Konsep Dasar Diabetes Mellitus 1. Definisi Diabetes Mellitus Diabetes Mellitus adalah gangguan metabolisme yang ditandai dengan

hiperglikemi

yang

berhubungan

dengan

abnormalitas

metabolisme karbohidrat, lemak dan protein yang disebabkan oleh penurunan sekresi insulin atau penurunan sensitivitas insulin atau keduanya

yang

menyebabkan

komplikasi

kronis

mikrovaskular,

makrovaskular dan neuropati (Elin dalam Nurarif & Kusuma, 2015). Diabetes Mellitus adalah penyakit metabolik yang kebanyakan herediter dengan tanda-tanda hiperglikemia dan glukosaria yang disertai dengan atau tidak adanya gejala klinik akut ataupun kronik sebagai akibat dari kurangnya insulin efektif di dalam tubuh (Bararah & Jauhar, 2013). Menurut Rendy & Margareth (2012) Diabetes Mellitus adalah keadaan hiperglikemia kronik yang disertai berbagai kelainan metabolik akibat gangguan hormonal yang menimbulkan berbagai komplikasi kronik pada mata ginjal saraf dan pembuluh darah. Diabetes Mellitus klinis

adalah

suatu

sindroma

gangguan

metabolisme

dengan

hiperglikemia yang tidak semestinya sebagai akibat suatu defisiensi sekresi insulin atau berkurangnya efektifitas biologis dari insulin atau keduanya. 2. Klasifikasi Diabetes Mellitus a. Tipe 1 : Insulin-Dependent Diabetes Mellitus (IDDM) IDDM adalah penyakit hiperglikemi akibat ketidakabsolutan insulin, pengidap penyakit ini harus mendapat insulin pengganti. IDDM disebabkan oleh destruksi autoimun karena infeksi, biasanya virus dan atau respon autoimun secara genetik pada orang yang terkena.

Faktor-faktor Resiko DM Tipe 1 1) Faktor genetik 2) Faktor-faktor imunologi 3) Faktor lingkungan: virus atau toksin 4) Penurunan sel beta:

proses radang, keganasan pankreas,

pembedahan 5) Kehamilan 6) Infeksi lain yang tidak berhubungan langsung b. Tipe 2 : Non-Insulin Dependent Diabetes Mellitus (NIDDM) NIDDM disebabkan oleh kegagaln relatif sel beta dan resistansi insulin. Resistansi insulin adalah turunannya kemampuan insulin untuk merangkum pengambilan glukosa oleh gangguan perifer dan untuk menghambat produksi glukosa oleh hati. Sel beta tidak mampu mengimbangi resistansi insulin sepenuhnya. Faktor-faktor Resiko DM Tipe 2 1) Usia (resistensi insulin cenderung meningkat pada usia > 65 tahun) 2) Obesitas 3) Riwayat keluarga 4) Gaya hidup (Brunner dan Suddarth 2002 dalam Ali Maghfuri 2016) c. Malnutrisi Diabetes Golongan diabetes ini terjadi akibat malnutrisi, biasanya pada penduduk yang miskin. Diabetes tipe ini dapat ditegakkan jika ada gejala yang mungkin yaitu adanya gejala malnutrisi seperti badan kurus, berat badan kurang 80% berat badan ideal. Adanya tanda-tanda malabsorpsi makanan, usia antara 15-40 tahun, memerlukan insulin untuk regulasi DM dan menaukkan berat badan, nyeri perut berulang (Tarwoto, 2012). d. Diabetes Sekunder Merupakan DM yang berhubungan dengan keadaan atau penyakit tertentu, misalnya penyakit pangkreas (pangkreatitis,

neoplasma,

trauma/pankreatomy),

endokrinopati

(akromegali,

cushing’s syndrome, pheochromacytoma, hyperthyroidism), obatobatan atau zat kimia (glukokortikoid, hormone tiroid, dilatin, nicotinic acid), penyakit infeksi seperti congenital rubella, infeksi cytomegalovirus, serta sindrom genetik diabetes seperti Syndrome Down (Tarwoto 2012). 3. Manifestasi Klinis Diabetes Mellitus Menurut Retyana (2015), Gejala diabetes millitus dibedakan menjadi akut dan kronik antara lain : a.

Gejala akut diabetes melitus yaitu :

Poliphagia (banyak makan),

polidipsia (banyak minum), poliuria (banyak kencing/sering kencing di malam hari), nafsu makan bertambah namu berat badan turun dengan cepat (5-10 kg dalam waktu 2-4 minggu), mudah lelah. b.

Gejala kronik diabetes melitus yaitu : Kesemutan, kulit terasa panas atau seperti tertusuk tusuk jarum, rasa kebas di kulit, kram, kelelahan, mudah mengantuk, pandangan mulai kabur, kemampuan seksual menurun bahkan pada pria bisa terjadi impotensi.

4. WOC (Web of causen) Diabetes Mellitus Terlampir 5. Patofisiologi Diabetes Mellitus Diabetes mellitus memiliki patofisiologi dari luka diabetes adalah kompleks dan melibatkan multi faktor diantaranya adalah neuropati sensorik, penyakit arteri perifer, deformitas kaki, dan trauma eksternal. Neuropati perifer merupakan penyebab terbanyak dari luka kaki diabetes. Neuropati perifer pada penderita diabetes mellitus meliputi kerusakan pada syaraf

sensorik,

otonom,

motoric.

Kerusakan

syaraf

sensorik

mengakibatkan penderita tidak menyadari bahwa kakinya terkena benda tajam, sedangkan kerusakan syaraf otonom mengakibatkan produksi kelenjar keringat dan minyak menjadi terganggu. Akibatnya kaki akan menjadi kering dan pecah-pecah, yang lama-lama dapat mengakibatkan bakteri masuk ke dalam kulit dan mengakibatkan infeksi. Kerusakan syaraf motoric mengakbatkan perubahan bentuk kaki dan perubahan pada

titik tekan kaki, sehingga lama-lama terbentuk kalus yang tebal pada kaki. Kalus yang tebal apabila tidak ditipiskan lama-lama mengalami inflamasi. Penyebab kedua yang paling sering adalah penyakit arteri perifer. Penyakit arteri perifer ini dapat menyebabkan terjadinya luka diabetes tipe iskemik. Adapun tanda dan gejala yang munculpada penderita diabetes mellitus antara lain banyak minum, banyak kencing, berat badan turun. Pada awalnya berat badan penderita Diabetes mellitus naik yang disebabkan kadar gula tinggi dalam tubuh menurut Mubarak (2015) dalam Huda (2017). Corwin (2009) mengemukakan pada diabetes tipe satu terdapat ketidakmampuan untuk menghasilkan insulin karena sel - sel beta pankreas telah dihancurkan oleh proses autoimun. Hiperglikemi puasa terjadi akibat produkasi glukosa yang tidak terukur oleh hati. Di samping itu glukosa yang berasal dari makanan tidak dapat disimpan dalam hati meskipun tetap berada dalam darah dan menimbulkan hiperglikemia posprandial (sesudah makan). Jika konsentrasi glukosa dalam darah cukup tinggi maka ginjal tidak dapat menyerap kembali semua glukosa yang tersaring keluar, akibatnya glukosa tersebut muncul dalam urin (glukosuria). Ketika glukosa yang berlebihan di ekskresikan ke dalam urin, ekskresi ini akan disertai pengeluaran cairan dan elektrolit yang berlebihan. Keadaan ini dinamakan diuresis osmotik. Sebagai akibat dari kehilangan cairan berlebihan, pasien akan mengalami peningkatan dalam berkemih (poliuria) dan rasa haus (polidipsia). Defisiensi insulin juga akan menggangu metabolisme protein dan lemak yang menyebabkan penurunan berat badan. Pasien dapat mengalami peningkatan selera makan (polifagia), akibat menurunnya simpanan kalori. Gejala lainnya mencakup kelelahan dan kelemahan. Dalam keadaan normal insulin mengendalikan glikogenolisis (pemecahan glukosa yang disimpan) dan glukoneogenesis (pembentukan glukosa baru dari dari asam - asam amino dan substansi lain), namun pada penderita defisiensi insulin, proses ini akan terjadi tanpa hambatan dan lebih lanjut akan turut menimbulkan hiperglikemia. Di samping itu akan terjadi pemecahan lemak yang mengakibatkan

peningkatan produksi badan keton yang merupakan produk samping pemecahan lemak. Badan keton merupakan asam yang menggangu keseimbangan asam basa tubuh apabila jumlahnya berlebihan. Menurut Kowalak (2014), ketoasidosis yang diakibatkannya dapat menyebabkan tanda-tanda dan gejala seperti nyeri abdomen, mual, muntah, hiperventilasi, nafas berbau aseton dan bila tidak ditangani akan menimbulkan perubahan kesadaran, koma bahkan kematian. Pemberian insulin bersama cairan dan elektrolit sesuai kebutuhan akan memperbaiki dengan cepat kelainan metabolik tersebut dan mengatasi gejala hiperglikemi serta ketoasidosis. Diet dan latihan disertai pemantauan kadar gula darah yang sering merupakan komponen terapi yang penting. Diabetes tipe 2 terdapat dua masalah utama yang berhubungan dengan insulin yaitu resistensi insulin dan gangguan sekresi insulin. Normalnya insulin akan terikat dengan reseptor khusus pada permukaan sel. Sebagai akibat terikatnya insulin dengan resptor tersebut, terjadi suatu rangkaian reaksi dalam metabolisme glukosa di dalam sel. Resistensi insulin pada diabetes tipe 2 disertai dengan penurunan reaksi intrasel ini. Dengan demikian insulin menjadi tidak efektif untuk menstimulasi pengambilan glukosa oleh jaringan. Untuk mengatasi resistensi insulin dan untuk mencegah terbentuknya glukosa dalam darah, harus terdapat peningkatan jumlah insulin yang disekresikan. Pada penderita toleransi glukosa terganggu, keadaan ini akibat sekresi insulin berlebihan dan kadar glukosa akan dipertahankan pada tingkat normal atau sedikit meningkat. Jika sel-sel beta tidak mampu mengimbangi peningkatan kebutuhan akan insulin, kadar glukosa akan meningkat dan terjadi Diabetes mellitus tipe 2. Meskipun terjadi gangguan sekresi insulin yang merupakan ciri khas Diabetes mellitus tipe 2, namun masih terdapat insulin dengan jumlah yang adekuat untuk mencegah pemecahan lemak dan produksi badan keton yang menyertainya. Karena itu ketoasidosis diabetik tidak terjadi pada diabetes tipe 2. Diabetes tipe 2 yang tidak terkontrol dapat menimbulkan masalah akut lainnya yang dinamakan Sindrom Hiperglikemik Hiperosmoler Nonketoik (HHNK).

Diabetes tipe 2 paling sering terjadi pada penderita diabetes yang berusia lebih dari 30 tahun dan obesitas. Akibat intoleransi glukosa yang berlangsung lambat (selama bertahun - tahun) dan progresif, maka awitan diabetes tipe 2 dapat berjalan tanpa terdeteksi. Jika gejalanya dialami pasien, gejala sering bersifat ringan, dapat mencakup kelelahan, iritabilitas, poliuria, polidipsi, luka pada kulit yang lama sembuh - sembuh, infeksi vagina atau pandangan yang kabur (jika kadar glukosanya sangat tinggi) (Pearce, 2012; Smeltzer & Bare, 2013 ). 6. Pemeriksaan Penunjang Diabetes Mellitus Pemeriksaan penunjang untuk penderita DM menurut (LeMone, M Burke & Bauldoff, 2016) yaitu sebagai berikut: a.

Pemeriksaan Gula Darah Puasa (GDP) Digunakan untuk mengidentifikasi atau memastikan diagnosis diabetes mellitus selain itu juga untuk memantau terapi DM. Aturan dalam pemberiannya, beritahu pada pasien untuk puasa selama 12 jam sebelum dilakukan pemeriksaan. Jangan diberi insulin sampai spesimen darah diambil. Nilai normal serum atau plasma yaitu 70-110 mg/dl.

b. Pemeriksaan Toleransi Glukosa Oral Pemeriksaan ini digunakan untuk mendiagnosis Diabetes Mellitus jika ditemukan gula darah puasa sebelumnya meningkat atau tidak konsisten. Kontraindikasi untuk pemeriksaan ini yaitu tidak akan dilakukan jika GDP pasien terus meninggi (>200 mg/dl). Pasien dianjurkan untuk minum larutan 75-100 gram glukosa, lalu selang 30,60 dan 120 menit atau 3-6 jam dilakukan pengambilan sampel darah dan urine. c. Pemeriksaan Hemoglobin Terglikolisis Pemeriksaan ini digunakan untuk mengukur efektivitas Diabetes Mellitus. Hasilnya menunjukkan kadar glukosa darah menunggu selang 1-4 bulan lalu akan menunjukkan risiko komplikasi atau tidak. Untuk rentang normal hemoglobin (Hb) adalah 45-5,9%. Pada diabetik tidak terkontrol maka nilainya akan menunjukkan 8% atau

lebih dan untuk pasien yang terkontrol baik nilai normalnya <7%. Faktor dari penurunan hemoglobin (Hb) yaitu anemia, kehilangan darah jangka panjang, dan gagal ginjal kronik. Pada peningkatan kadar hemoglobin bisa disebabkan karena adanya hiperglikemia, konsumsi alkohol, kehamilan, hemodialisis, asupan kortrison yang lama. 7. Komplikasi Diabetes Mellitus a. Komplikasi yang bersifat akut 1) Koma hipoglikemia Koma hiperglikemia terjadi karena pemakaian obat-obatan diabetik yang melebihi dosis yang dianjurkan sehingga terjadi penurunan glukosa dalam darah 2) Ketoasidosis Minimnya glukosa dalam sel akan mengakibatkan sel mencari sumber alternatif untuk memperoleh energi sel, jika tidak terdapat glukosa maka benda-benda keton akan dipakai oleh sel. 3) Koma hyperosmolar Koma ini terjadi karena penurunan komposisi cairan intrasel dan ekstrasel karena banyak diekresi lewat urin. b. Komplikasi yang bersifat kronik 1) Makroangiopati Komplikasi makroangiopati adalah penyakit vaskuler otak, penyakit arteri koronaria, dan penyakit vaskuler perifer. Perubahan

pada

pembulu

darah

besar dapat

mengalami

arterosklerosis sering terjadi pada NIDDM. 2) Mikroangiopati Mikroangiopati yang mengenai pembuluh darah kecil, retinopati diabetik, nefropatiterjadi karena perubahan mikrovaskuler pada struktur dan fungsi ginjal yang menyebabkan komplikasi pada pelvis ginjal. Retinopati yaitu adanya perubahan dalam retina karena penurunan protein dalam retina yang dapat berakibat perubahan dalam penglihatan.

3) Neuropati diabetik Akumulasi orbital didalam jaringan dan perubahan metabolik mengakibatkan fungsi sensorik dan motorik saraf menurun, kehilangan sensorik mengakibatkan penurunan presepsi nyeri. 4) Rentan infeksi Pada pasien dengan Diabetes Mellitus, cenderung mudah mengalami infeksi karena sistem imunitas yang menurun yaitu seperti tuberkulosis paru, gingivitas, dan infeksi saluran kemih 5) Gangren kaki diabetik Gangren kaki diabetik adalah luka pada kaki yang merah kehitam-hitaman dan berbau busuk akibat sumbatan yang terjadi di pembuluh darah di tungkai (Bararah & Jauhar, 2013). Akibat komplikasi dari Diabetes Melitus, akan menimbulkan berbagai masalah fisik maupun psikologis, sehingga menyebabkan penderita merasa putus asa dan tidak dapat menerima keadaannya sehingga akan mempengaruhi konsep diri penderita. Salah satu dampak secara fisik adalah luka pada anggota gerak. Pendampingan secara psikologis dan dukungan keluarga menjadi aspek penting dalam membantu pasien melewati fase pengobatan dan terapi. 8. Pencegahan Diabetes Mellitus Pada penderita DM dapat melakukan pencegahan atau paling tidak memperlambat perkembangan komplikasi dengan cara memantau dan mengendalikan beberapa faktor yaitu (Soegondo, 2011). a.

Kontrol kadar gula darah Pemeriksaan kadar gula darah ini dilakukan dilaboratorium dengan metode oksidasi glukosa yang dapat memberikan hasil yang lebih akurat. Oleh karena itu dapat menentukan diagnosa DM. Namun pemeriksaan ini juga dapat dilakukan secara mandiri dirumah dengan menggunakan uji strip glukosa darah baik menggunakan glukometer maupun secara kasat mata.

b.

Aktivitas olahraga Olahraga selama 30-40 menit dapat meningkatkan pemasukan glukosa kedalam sel sebesar 7-20 kali lipat dibandingkan tanpa olahraga. Olahraga yang tepat untuk DM adalah jalan, jogging, berenang, bersepeda, dan aerobik.

c.

Diet Menurut WHO menyarankan 25-35 grarnfiber perhari dari berbagai bahan makanan seperti sayur-sayuran dan buah-buahan. Konsesus nasional pengelolaan di Indonesia menyarankan 2 (Soegondo, 2011).

d.

Kepatuhan minum obat Berbagai penelitian menunjukkan bahwa kepatuhan minum obat pada pasien untuk pengobatan penyakit yang bersifat kronis. Oleh sebab itu untuk menunjang kesembuhan para penderita diperlukan kepatuhan minum obat guna memperlambat perkembangan komplikasi.

9. Penatalaksanaan Diabetes Mellitus Dalam Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan DM tipe 2 di Indonesia Tahun 2011, terdapat empat pilar penatalaksanaan DM, yaitu (Perkeni, 2015): a.

Edukasi yang komprehensif dan upaya peningkatan motivasi dibutuhkan untuk memberikan pengetahuan mengenai kondisi pasien dan untuk mencapai perubahan perilaku. Pengetahuan tentang pemantauan glukosa darah mandiri, tanda, dan gejala hipoglikemia, tata cara minum obat, pola makan, komplikasi

serta cara

mengatasinya harus diberikan kepada pasien. b.

Pola makan yang seimbang merupakan bagian dari penatalaksanaan diabetes secara total. Prinsip pengaturan makanan penyandang diabetes hampir sama dengan anjuran makan untuk masyarakat umum yaitu makanan yang seimbang dan sesuai dengan kebutuhan kalori dan zat gizi masing-masing individu. Pada pasien diabetes perlu ditekankan pentingnya keteraturan makan dalam hal jadwal makan, jenis, dan jumlah makanan, terutama pada pasien yang menggunakan obat penurun glukosa darah atau insulin. Diet pasien

DM yang utama adalah pembatasan karbohidrat kompleks dan lemak serta peningkatan asupan serat. c.

Aktif bergerak. Latihan jasmani berupa aktivitas fisik sehari-hari dan olahraga secara teratur 3-4 kali seminggu selama 30 menit. Latihan jasmani selain untuk menjaga kebugaran juga dapat menurunkan berat badan dan memperbaiki sensitivitas insulin. Latihan jasmani yang dianjurkan berupa latihan yang bersifat aerobik seperti jalan kaki, bersepeda santai, joging, dan berenang. Latihan jasmani disesuaikan dengan usia dan status kesehatan.

d.

Terapi farmakologis diberikan bersama dengan pengaturan makanan dan latihan jasmani. Terapi berupa suntikan insulin dan obat hipoglikemik oral, diantaranya adalah metformin dan gibenklamid. Metformin adalah obat golongan biguanid yang berfungsi meningkatkan sensitivitas reseptor insulin. Selain itu, metformin juga mencegah terjadinya glukoneogenesis sehingga menurunkan kadar glukosa dalam darah. Masa kerja metformin adalah 8 jam sehingga pemberiannya 3 kali sehari atau per 8 jam. Metformin digunakan untuk menjaga kadar glukosa sewaktu tetap terkontrol (Wicaksono, 2013).

Glibenklamid adalah golongan sulfonilurea

yang mempunyai efek utama meningkatkan sekresi insulin oleh sel beta pankreas dan merupakan pilihan utama untuk pasien dengan berat badan normal ataupun kurang. Penggunaan obat golongan sulfonilurea lebih efektif untuk mengontrol kadar gula 2 jam setelah makan (Wicaksono, 2013). B. Konsep Dasar Selulitis 1. Definisi Selulitis Selulitis adalah suatu infeksi yang menyerang kulit dan jaringan subkutan. Tempat yang paling sering terkena adalah ekstremitas, tetapi juga dapat terjadi di kulit kepala, kepala, dan leher (Cecily, Lynn Betz., 2009). Selulitis merupakan infeksi bakteri pada jaringan subkutan yang pada orangorang dengan imunitas normal, biasanya disebabkan oleh Streptococcus pyrogenes (Graham & Robin., 2005). Selulitis adalah infeksi lapisan dermis

atau subkutis oleh bakteri. Selulitis biasanya terjadi setelah luka, gigitan di kulit atau karbunkel atau furunkel yang tidak teratasi (Corwin, Elizabeth J., 2009). Perbedaan abses dan selulitis (Peterson dan Ellis, 2002; Topaziandan Goldberg, 2002) Karakteristik Durasi Sakit Ukuran Palpasi Lokasi Adanya pus Derajat keparahan Bakteri Sifat

Selulitis Akut Berat dan merata Besar Indurasi jelas Difus Tidak ada Lebih berbahaya Aerob (streptococcus) Difus

Abses Kronis Terlokalisis Kecil Fluktuasi Berbatas jelas Ada Tidak darurat Anaerob (stafilokokus) Terlokalisasi

2. Etiologi Selulitis Organisme

penyebab

selulitis

adalah

Staphylococcus

aureus,

streptokokus grup A, dan Streptococcus pneumoniae (Cecily, Lynn Betz., 2009). Organisme penyebab bisa masuk ke dalam kulit melalui lecet-lecet ringan atau retakan kulit pada jari kaki yang terkena tinea pedis, dan pada banyak kasus, ulkus pada tungkai merupakan pintu masuk bakteri. Faktor predisposisi yang sering adalah edema tungkai, dan selulitis banyak didapatkan pada orang tua yang sering mengalami edema tungkai yang berasal dari jantung, vena dan limfe (Graham & Robin., 2005). 3. Klasifikasi Selulitis Selulitis dapat digolongkan menjadi: a.

Selulitis Sirkumskripta Serous Akut Selulitis yang terbatas pada daerah tertentu yaitu satu atau dua spasia fasial, yang tidak jelas batasnya. Infeksi bakteri mengandung serous, konsistensinya sangat lunak dan spongius. Penamaannya berdasarkan ruang anatomi atau spasia yang terlibat.

b. Selulitis Sirkumskripta Supurartif Akut Prosesnya hampir sama dengan selulitis sirkumskripta serous akut, hanya infeksi bakteri tersebut juga mengandung suppurasi yang purulen. Penamaan berdasarkan spasia yang dikenainya. Jika terbentuk eksudat

yang purulen, mengindikasikan tubuh bertendensi membatasi penyebaran infeksi dan mekanisme resistensi lokal tubuh dalam mengontrol infeksi. Sedangkan Benni et all 1999 dibedakan menjadi: a.

Selulitis Difus Akut Dibagi lagi menjadi beberapa kelas, yaitu: 1) Ludwig’s Angina 2) Selulitis yang berasal dari inframylohyoid 3) Selulitis Senator’s Difus Peripharingeal 4) Selulitis Fasialis Difus Perluasan infeksi odontogenik hingga ke regio bukal, fasial, dan subkutaneus servikal, sehingga berkembang menjadi selulitis fasialis dapat menyebabkan kematian jika tidak segera diberikan penanganan yang adekuat, Infeksi odontogenik biasanya disebabkan oleh Streptococcus sp serta mikroorganisme anerob negatif lainya, namun pada dasarnya, infeksi odontogenik merupakan infeksi campuran, baik dari bakteri anaerob, maupun bakteri aerob. Pada 88,4 % kasus selulitis fasialis, penyebabnya adalah infeksi odontogenik yang berasal dari pulpa dan periodontal, yang berusaha untuk mencari jalan keluar. Faktor-faktor yang mempengaruhi penyebaran ini antara lain : mikroorganisme, asal infeksi, toksisitas yang dihasilkan dan dikeluarkan mikroorganisme, keadaan umum pasien, serta faktor lokal. 5) Fascitis Necrotizing dan gambaran atypical lainnya

b. Selulitis Kronis Selulitis kronis adalah suatu proses infeksi yang berjalan lambat karena terbatasnya virulensi bakteri yang berasal dari fokus gigi. Biasanya terjadi

pada

pasien

dengan

selulitis

sirkumskripta

yang

tidak

mendapatkan perawatan yang adekuat atau tanpa drainase. c.

Selulitis Difus yang Sering Dijumpai Selulitis difus yang paling sering dijumpai adalah Phlegmone / Angina Ludwig’s . Angina Ludwig’s merupakan suatu selulitis difus yang mengenai spasia sublingual, submental dan submandibular bilateral,

kadang-kadang sampai mengenai spasia pharingeal (Berini, Bresco & Gray, 1999 ; Topazian, 2002). Selulitis dimulai dari dasar mulut. Seringkali bilateral, tetapi bila hanya mengenai satu sisi/ unilateral disebut Pseudophlegmon. 4. Manifestasi Selulitis Gambaran klinis tergantung akut atau tidaknya infeksi. Umumnya semua bentuk ditandai dengan kemerahan dengan batas jelas, nyeri tekan dan bengkak. Penyebaran perluasan kemerahan dapat timbul secara cepat di sekitar luka atau ulkus disertai dengan demam dan lesu. Pada keadaan akut, kadang-kadang timbul bula. Dapat dijumpai limfadenopati limfangitis. Tanpa pengobatan yang efektif dapat terjadi supurasi lokal (flegmon, nekrosis atau gangren). Selulitis biasanya didahului oleh gejala sistemik seperti demam, menggigil, dan malaise. Daerah yang terkena terdapat 4 kardinal peradangan yaitu

rubor

(eritema),

color

(hangat),

dolor

(nyeri)

dan

tumor

(pembengkakan). Lesi tampak merah gelap, tidak berbatas tegas pada tepi lesi tidak dapat diraba atau tidak meninggi. Pada infeksi yang berat dapat ditemukan pula vesikel, bula, pustul, atau jaringan neurotik. Ditemukan pembesaran kelenjar getah bening regional dan limfangitis ascenden. Pada pemeriksaan darah tepi biasanya ditemukan leukositosis (Mansjoer,2000). Periode inkubasi sekitar beberapa hari, tidak terlalu lama. Gejala prodormal berupa: malaise anoreksia; demam, menggigil dan berkembang dengan cepat,

sebelum menimbulkan

gejala-gejala

khasnya. Pasien

imunokompromais rentan mengalami infeksi walau dengan patogen yang patogenisitas rendah. Terdapat gejala berupa nyeri yang terlokalisasi dan nyeri tekan. Jika tidak diobati, gejala akan menjalar ke sekitar lesi terutama ke proksimal. Kalau sering residif di tempat yang sama dapat terjadi elefantiasis. Lokasi selulitis pada anak biasanya di kepala dan leher, sedangkan pada orang dewasa paling sering di ekstremitas karena berhubungan dengan riwayat seringnya trauma di ekstremitas. Pada penggunaan salah obat, sering berlokasi di lengan atas. Komplikasi jarang ditemukan, tetapi termasuk

glomerulonefritis akut (jika disebabkan oleh strain nefritogenik streptococcus, limfadenitis, endokarditis bakterial subakut). Kerusakan pembuluh limfe dapat menyebabkan selulitis rekurens. 5. WOC (Web Of Causen) Selulitis Terlampir 6. Patofisiologi Selulitis Patofisiologi menurut Isselbacher (1999; 634) yaitu : Bakteri patogen yang menembus lapisan luar menimbulkan infeksi pada permukaan kulit atau menimbulkan peradangan, penyakit infeksi sering berjangkit pada orang gemuk, rendah gizi, kejemuan atau orang tua pikun dan pada orang kencing manis yang pengobatannya tidak adekuat. Gambaran klinis eritema lokal pada kulit dan system vena dan limfatik pada kedua ektrimitas atas dan bawah. Pada pemeriksaan ditemukan kemerahan yang karakteristik hangat, nyeri tekan, demam dan bakterimia. Selulitis yang tidak berkomplikasi paling sering disebabkan oleh streptokokus grup A, sterptokokus lain atau staphilokokus aureus, kecuali jika luka yang terkait berkembang bakterimia, etiologi microbial yang pasti sulit ditentukan, untuk absses lokalisata yang mempunyai gejala sebagai lesi kultur pus atau bahan yang diaspirasi diperlukan. Meskipun etiologi abses ini biasanya adalah stapilokokus, abses ini kadang disebabkan oleh campuran bakteri aerob dan anaerob yang lebih kompleks. Bau busuk dan pewarnaan gram pus menunjukkan adanya organisme campuran. Ulkus kulit yang tidak nyeri sering terjadi. Lesi ini dangkal dan berindurasi dan dapat mengalami super infeksi. Etiologinya tidak jelas, tetapi mungkin merupakan hasil perubahan peradangan benda asing, nekrosis, dan infeksi derajat rendah. 7. Faktor Resiko Selulitis Rosfanty, (2009) menjelaskan bahwa ada beberapa faktor yang memperparah resiko dari perkembangan selulitis, antara lain : a. Usia Semakin tua usia, kefektifan sistem sirkulasi dalam menghantarkan darah berkurang pada bagian tubuh tertentu. Sehingga abrasi kulit potensi

mengalami infeksi seperti selulitis pada bagian yang sirkulasi darahnya memprihatinka. b. Melemahnya sistem immun (Immunodeficiency) Dengan sistem immune yang melemah maka semakin mempermudah terjadinya infeksi. Contoh pada penderita leukemia lymphotik kronis dan infeksi HIV. Penggunaan obat pelemah immun (bagi orang yang baru transplantasi organ) juga mempermudah infeksi. c. Diabetes mellitus Tidak hanya gula darah meningkat dalam darah namun juga mengurangi sistem immun tubuh dan menambah resiko terinfeksi. Diabetes mengurangi sirkulasi darah pada ekstremitas bawah dan potensial membuat luka pada kaki dan menjadi jalan masuk bagi bakteri penginfeksi. d. Cacar dan ruam saraf Karena penyakit ini menimbulkan luka terbuka yang dapat menjadi jalan masuk bakteri penginfeksi. e. Pembangkakan kronis pada lengan dan tungkai (lymphedema) Pembengkakan jaringan membuat kulit terbuka dan menjadi jalan masuk bagi bakteri penginfeksi. f. Infeksi jamur kronis pada telapak atau jari kaki Infeksi jamur kaki juga dapat membuka celah kulit sehingga menambah resiko bakteri penginfeksi masuk g. Penggunaan steroid kronik Contohnya penggunaan corticosteroid. h. Gigitan & sengat serangga, hewan, atau gigitan manusia i. Penyalahgunaan obat dan alkohol Mengurangi sistem immun sehingga mempermudah bakteri penginfeksi berkembang. j. Malnutrisi Sedangkan lingkungan tropis, panas, banyak debu dan kotoran, mempermudah timbulnya penyakit ini.

8. Pemeriksaan Penunjang Selulitis a.

Pemeriksaan Laboratorium 1) CBC (Complete Blood Count), menunjukkan kenaikan jumlah leukosit

dan

rata-rata

sedimentasi

eritrosit.

Sehingga

mengindikasikan adanya infeksi bakteri. 2) BUN level 3) Kreatinin level 4) Kultur darah, dilaksanakan bila infeksi tergeneralisasi telah diduga 5) Mengkultur dan membuat apusan Gram, dilakukan secara terbatas pada daerah penampakan luka namun sangat membantu pada area abses atau terdapat bula. 6) Pemeriksaan laboratorium tidak dilaksanakan apabila penderita belum memenuhi beberapa kriteria; seperti area kulit yang terkena kecil, tidak terasa sakit, tidak ada tanda sistemik (demam, dingin, dehidrasi, takipnea, takikardia, hipotensi), dan tidak ada faktor resiko (Rosfanty, 2009). b.

Pemeriksaan Imaging 1) Plain-film Radiography, tidak diperlukan pada kasus yang tidak lengkap (seperti kriteria yang telah disebutkan) 2) CT (Computed Tomography) Baik Plain-film Radiography maupun CT keduanya dapat digunakan saat tata klinis menyarankan subjucent osteomyelitis. 3) MRI (Magnetic Resonance Imaging), Sangat membantu pada diagnosis infeksi selulitis akut yang parah, mengidentifikasi pyomyositis, necrotizing fascitiis, dan infeksi selulitis dengan atau tanpa pembentukan abses pada subkutaneus (Rosfanty, 2009).

9. Komplikasi Selulitis a.

Bakterimea nanah / lokal abses, superinfeksi oleh bakteri gram negatif, limpangitis, tromboplebitis

b.

Facial Selulitis pada anak dapat menyebabkan meningitis

c.

Dapat menyebabkan kematian jaringan atau gangren

d.

Osteomielitis

e.

Atritis septic

f.

Glomerulonefritis

g.

Fasitis necroticans

(Corwin, Elizabeth J., 2009) 10. Penatalaksanaan Selulitis a. Selulitis pasca trauma, khususnya setelah gigitan hewan, berikan antibiotic untuk mengatasi basial gram negative dan gram positif. Jika perlu berikan analgesic dan NSAID untuk mengontrol nyeri dan demam. b. Insisi dan drainase pada keadaan terbentuk abses. Incisi drainase, salah satu tindakan dalam ilmu bedah yang bertujuan untuk mengeluarkan abses atau pus dari jaringan lunak akibat proses infeksi. Tindakan ini dilakukan pertama dengan melakukan tindakan anestesi lokal, aspirasi pus pada daerah pembengkakan kemudian kemudian dilakukan tindakan incise drainase & pemasangan drain. c. Perawatan lebih lajut bagi pasien rawat inap: 1) Beberapa pasien membutuhkan terapi antibiotik intravenous. Diberikan

penicillin

atau

obat

sejenis

penicillin

(misalnya

cloxacillin) 2) Jika infeksinya ringan, diberikan sediaan per-oral (ditelan). 3) Biasanya sebelum diberikan sediaan per-oral, terlebih dahulu diberikan suntikan antibiotik jika: penderita berusia lanjut, selulitis menyebar dengan segera ke bagian tubuh lainnya, demam tinggi. 4) Jika selulitis menyerang tungkai, sebaiknya tungkai dibiarkan dalam posisi terangkat dan dikompres dingin untuk mengurangi nyeri dan pembengkakan. 5) Pelepasan antibiotic parenteral pada pasien rawat jalan menunjukan bahwa dia telah sembuh dari infeksi 6) Perawatan lebih lanjut bagi pasien rawat jalan : perlindungan penyakit cellulites bagi pasien rawat jalan dapat dilakukan dengan cara memberikan erythromycin atau oral penicillin dua kali sehari atau intramuscular benzathine penicillin. (Corwin, Elizabeth J., 2009)

C. Konsep Dasar Selulitis 1.

Pengkajian a.

Biodata Berisikan nama,tempat tangal lahir,jenis kelamin,umur,alamat,suku bangsa, dan penyakit ini dapat menyerang segala usia namun lebih sering menyerang usia lanjut.

b. Keluhan utama Pasien merasakan demam,malaise,nyeri sendi dan menggigil. c.

Riwayat penyakit sekarang Pasien merasakan badanya demam,malaise,disertai dengan nyeri sendi dan menggigil dan terjadi pada area yang robek pada kulit biasanya terjadi pada ekstrimitas bawah

d. Riwayat penyakit dahulu Apakah pasien sebelumnya pernah mengalami sakit seperti ini apakah pasien alkoholisme dan malnutrisi e.

Riwayat penyakit keluarga Adakah

keluarga

yang

mengalami

sekit

yang

sama

sebelumnya,apakah keluarga ada riwayat penyakit DM, dan malnutrisi f.

Kebiasaan sehari-hari Biasanya selulitis ini timbul pada pasien yang higine atau kebersihanya jelek

g.

Pemeriksaan fisik 1) Keadaan umum

: Cukup baik

2) Kesadaran

: composmetis, lemah, pucat

3) TTV

: biasanya meningkat karena adanya proses

infeksi 4) Kepala

: rambut bersih tidak ada luka

5) Mata

: Konjungtiva anemis,skela tidak ikterik

6) Hidung

: tidak ada polip,hidung bersih

7) Leher

: tidak ada pembesaran kelenjar tiroid

8) Dada

:

I         : datar,simetris umumnya tidak ada kelainan Pa      : ictus cordis tidak tampak Pe      : sonor tidak ada kelainan A       : tidak ada whezing ronchi 9) Abdomen                    : I  

: supel datar tidak ada distensi abdomen

Pa : tidak ada nyeri tekan Pe : tidak ada kelainan atau tympani A

: bising usus normal atau tidak ada kelainan

10) Ekstremitas bawah : Adakah luka pada ekstremitas serta oedem 11) Ekstremitas atas      : Adakah luka pada ekstremitas serta oedem 12) Genetalia          : tidak ada kelainan 13) Integumen         : Gejala awal berupa kemerahan dan nyeri tekan yang terasa di suatu daerah yang kecil di kulit. Kulit yang terinfeksi menjadi panas dan bengkak, dan tampak seperti kulit jeruk yang mengelupas (peau d’orange). Pada kulit yang terinfeksi bisa ditemukan lepuhan kecil berisi cairan (vesikel) atau lepuhan besar berisi cairan (bula), yang bisa pecah. 2.

Diagnosa a.

Gangguan integritas kulit/jaringan ditandai dengan perubahan jaringan dan/atau lapisan kulit

b.

Perfusi perifer tidak efektif ditandai dengan turgor kulit menurun, warna kulit pucat

c.

Nyeri akut ditandai dengan mengeluh nyeri

d.

Hipertermia ditandai dengan suhu tubuh diatas nilai normal

e.

Gangguan mobilitas fisik ditandai dengan rentang gerak menurun, fisik lemah

3.

Intervensi No 1

SDKI BAB : IV Kategori : Psikologis Sub Kategori : Kenyamanan Kode : D.0077

SLKI Tingkat Nyeri (L.08066) Nyeri

dan Definisi: Pengalaman sensorik atau emosional yang berkaitan dengan kerusakan jaringan aktual atau fungsional dengan onset mendadak Nyeri Akut atau lambat dan berintensitas ringan hingga Definisi: berat dan konsisten. Pengalaman sensorik atau emosional yang berkaitan dengan kerusakan Ekspektasi: Menurun jaringan aktual atau fungsional, Kriteria Hasil: dengan onset mendadak atau lambat 1. Kemampuan menuntaskan aktivitas dan berintegritas ringan hingga berat Keterangan: yang berlangsung kurang dari 3 1 = Menurun bulan. 2 = Cukup Menurun 3 = Sedang Penyebab 4 = Cukup Meningkat 1. Agen pencedra fisiologis (mis, 5 = Meningkat inflamasi, iskemia, neoplasma) 2. Keluhan nyeri 2. Agen pencedra kimiawi (mis, 3. Meringis terbakar, bahan kimia iritan) 4. Sikap protektif 3. Agen pencedra fisik (mis, abses 5. Gelisah amputasi terbakar, terpotong, 6. Kesulitan tidur mengangkat beban berat, 7. Menarik diri prosedur operasi, trauma latihan 8. Berfokus pada diri sendiri fisik yang berlebihan) 9. Diaforesis Gejala dan Tanda Mayor 10.Perasaan depresi (tertekan) a. Subjektif 11.Perasaan takut mengalami cedera

SIKI Manajemen Nyeri (I.08238) Definisi: Mengidentifikasi dan mengelola pengalaman sensorik atau emosional dengan onset mendadak atau lambat dan berintensitas ringan hingga berat dan konstan. Tindakan Observasi 1. Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi, frekwensi, kualitas, intensitas nyeri 2. Identifikasi skala nyeri 3. Identivikasi respon nyeri non verbal 4. Identifikasi faktor yang memperberat dan memperingan nyeri 5. Identifikasi pengetahuan dan keyakinan tentang nyeri 6. Identifikasi pengaruh budaya terhadap respon nyeri 7. Identifikasi pengaruh nyeri terhadap kualitas hidup 8. Monitor keberhasilan terapi komplementer yang sudah diberikan 9. Monitor efek samping penggunaan analgetik Terapeutik 1. Berikan teknik non farmakologis untuk mengurangi rasa nyeri (mis. TENS,

1. Mengeluh nyeri

2

berulang 12.Anoreksia b. Objektif 13.Perineum terasa tertekan 1. Tampak meringis 14.Uterus teraba membulat 2. Bersikap protektif (mis. 15.Ketegangan otot Waspada, posisi menghindari 16.Pupil dilatasi nyeri) 17.Muntah 3. Gelisah 18.Mual 4. Frekwensi nadi meningkat Keterangan: 5. Sulit Tidur 1 = Meningkat 2 = Cukup Meningkat Gejala dan Tanda Minor 3 = Sedang a. Subjektif 4 = Cukup Menurun (tidak tersedia) 5 = Menurun b. Objektif 19.Frekwensi nadi 1. Tekanan darah meningkat 20.Pola napas 2. Pola napas berubah 21.Tekanan darah 3. Nafsu makan berubah 22.Proses berpikir 4. Proses berfikir terganggu 23.Fokus 5. Menarik diri 24.Fungsi berkemih 6. Berfokus pada diri sendiri 25.Perilaku 7. Diaforesis 26.Nafsu makan 27.Pola tidur Kondisi Klinis Terkait Keterangan: 1. Kondisi pembedahan 1 = Memburuk 2. Cedera traumatis 2 = Cukup Memburuk 3. Infeksi 3 = Sedang 4. Sindroma coroner akut 4 = Cukup Membaik 5. Glaukoma 5 = Membaik Kategori: Fisiologis Mobilitas Fisik Sub Kategori: Aktivitas/istirahat Definisi: kemampuan dalam gerakan fisik

hypnosis, akupresur, terapi musik, biofeedback, terapi pijat, aroma terapi, teknik imajinasi terbimbing, kompres hangat atau dingin, terapi bermain) 2. Kontrol lingkungan yang memperberat rasa nyeri (mis. Suhu ruangan, pencahayaan, dan kebisingan) 3. Fasilitasi istirahat tidur 4. Pertimbangkan jenis dan sumber nyeri dalam pemilihan strategi meredakan nyeri Edukasi 1. Jelaskan penyebab, periode, dan pemicu nyeri 2. Jelaskan strategi meredahkan nyeri 3. Anjurkan memonitor nyeri secara mandiri 4. Anjurkan menggunakan analgesik secara tepat 5. Anjurkan teknik non farmakologis untuk mengurangi rasa nyeri Kolaborasi 1. Kolaborasi pemberian analgetik, jika perlu

Dukungan Ambulasi (1.06171) Definisi: memfasilitasi pasien

untuk

Gangguan Mobilitas Fisik Definisi: keterbatasan dalam gerakan fisik dari satu atau lebih ekstremitas secara mandiri Penyebab: 1. Kerusakan integritas struktur tulang 2. Perubahan metabolisme 3. Ketidakbugaran fisik 4. Penurunan kendali otot 5. Penurunan massa otot 6. Penurunan kekuatan otot 7. Kekauan sendi 8. Gangguan muskuloskletal 9. Gangguan Neuromuskular 10. Nyeri 11. Kecemasan 12. Gangguan sensori persepsi Gejala dan Tanda Mayor: Subjektif: 1. Mengeluh sulit menggerakkan ekstremitas Objektif: 1. Kekeuatan otot menurun 2. Rentang gerak (ROM) menurun Gejala dan Tanda Minor: Subjektif: 1. Nyeri saat bergerak 2. Enggan melakukan pergerakan 3. Merasa cemas saat bergerak Objektif:

dari satu atau lebih ekstremitas secara mandiri Ekspetasi: Meningkat Kriteria Hasil: 1. pergerakan ekstremitas 2. kekuatan otot 3. rentang gerak (ROM) Keterangan: 1= Menurun 2= Cukup Menurun 3= Sedang 4= Cukup Meningkat 5= Meningkat 4. nyeri 5. kecemasan 6. kaku sendi 7. Gerakan tidak terkoordinasi 8. Gerakan terbatas 9. Kelemahan fisik Keterangan: 1= Meningkat 2= Cukup meningkat 3= Sedang 4= Cukup menurun 5= Menurun

meningkatkan aktivitas berpindah Tindakan Observasi: 1. Identifikasi adanya nyeri atau keluhan fisik lainnya 2. Identifikasi toleransi fisik melakukan ambulasi 3. Monitor frekuensi jantung dan tekanan darah sebelum memulai ambulasi 4. Monitor kondisi umum selama melakukan ambulasi Terapeutik 1. Fasilitasi aktifitas ambulasi dengan alat bantu (tongkat, kruk) 2. Fasilitasi melakukan mobilisasi fisik, jika perlu 3. Libatkan keluarga untuk membantu pasien dalam meningkatkan ambulasi Edukasi: 1. Jelaskan tujuan dan prosedur melakukan ambulasi 2. Anjurkan melakukan ambulasi dini 3. Ajarkan ambulasi sederhana yang harus dilakukan (berjalan dari tempat tidur ke kursi roda, berjalan dari tempat tidur ke kamar mandi, berjalan sesuai toleransi) Dukungan Mobilisasi (1.05173) Definisi: memfasiltasi pasien meningkatkan aktivitas pergerakan fisik

untuk

1. 2. 3. 4.

Sendi kaku Gerakan tidak terkoordinasi Gerakan terbatas Fisik lemah

Kondisi Klinis Terkait: 1. Stroke 2. Cedera medulla spinalis 3. Trauma 4. Fraktur 5. Keganasan 6. Osteoarthritis 7. Osteomalasia

3

BAB : IV Kategori : Lingkungan Sub Kategori : Keamanan dan proteksi Kode : D.0192 Gangguan integritas kulit/jaringan Definisi:

Tindakan Observasi: 1. Identifikasi adanya nyeri atau keluhan fisik lainnya 2. Identifikasi toleransi fisik melakukan pergerakan 3. Monitor frekuensi jantung dan tekanan darah sebelum memulai mobilisasi 4. Monitor kondisi umum selama melakukan moblisasi Terapeutik: 1. Fasilitasi aktifitas mobilisasi dengan alat bantu (pagar tempat tidur) 2. Fasilitasi melakukan pergerakan, jika perlu 3. Libatkan keluarga untuk membantu pasien dalam meningkatkan pergerakan Edukasi: 1. Jelaskan tujuan dan prosedur mobilisasi 2. Anjurkan melakukan mobilisasi dini 3. Ajarkan mobilisasi sederhana yang harus dilakukan (duduk ditempat tidur, duduk di sisi tempat tidur, pidah dari tempat tidur ke kursi). Integritas Kulit / Jaringan Perawatan Luka (1.14564) Definisi: Mengidentifikasi dan meningkatkan Definisi: Keluhan kulit ( dermis atau penyembuhan luka serta mencegah terjadinya epidermis) atau jaringan (membrane komplikasi luka. mukosa, kornea, fasia, otot, tendon, tulang, Tindakan: Observasi kartilago, kapsul sendi atauligamen) 1. Monitor karakteristik luka (mis.drainase, warna dan ukuran serta bau) Ekspektasi: Meningkat

Kerusakan kulit (dermis/epidemis) atau jaringan (membran mukosa, kornea, fasia, otot, tendon, tulang, kartilago, kapsul sendi dan ligamen) Penyebab 1. Perubahan sirkulasi 2. Perubahan status nutrisi 3. Kekurangan/kelebihan volume cairan 4. Penurunan mobilitas 5. Bahan kimia iritatif 6. Suhu lingkungan yang ekstrim 7. Kelembapan 8. Proses penuaan 9. Neuropati perifer 10. Perubahan pigmentasi 11. Perubahan hormonal 12. Kurang terpapar informasi tentang upaya mempertahankan/ melindungi integritas jaringan Gejala dan Tanda Mayor c. Subjektif Tidak ada d. Objektif Kerusakan jaringan dan/atau lapisan kulit Gejala dan Tanda Minor c. Subjektif (tidak tersedia) d. Objektif

2. Kriteria hasil: 13. Elastisitas 14. Hidrasi 15. Perfusi jaringan Keterangan: 1 = Menurun 2 = Cukup Menurun 3 = Sedang 4=Cukup Meningkat 5 = Meningkat 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24.

Kerusakan jaringan Kerusakan lapisan kulit Nyeri Kemerahan Hematoma Pigmentasi abnormal Jaringan parut Nekrosis Abrosi kornea

Keterangan: 1 = Meningkat 2 = Cukup meningkat 3 = Sedang 4 = Cukup menurun 5 = Menurun 25. Suhu kulit 26. Sensasi 27. Tekstur

Monitor tanda-tanda infeksi.

Terapeutik 1. Lepaskan balutan dan plestersecara perlahan 2. Cukur rambut di daerah sekitar luka, jika perlu. 3. bersihkan dengan cairan NaCl atau pembersih non toksik, sesuai kebutuhan. 4. Bersihkan jaringan nekrotik. 5. berikan salep sesuai ke kulit,/lesi, jika perlu 6. Pasang balutan sesuai dengan jenis luka. 7. Pertahankan teknik steril saat melakukan perawatan luka. 8. Ganti balutan sesuai jumlah eksudat dan drainase. 9. Jadwalkan perubahan posisi setiap 2 jam atau sesuai kondisi pasien. 10. berikan diet dengan kalori 30-35 kkal/kgBB/ hari dan protein. 1,25-1,5 g/kgBB/hari 11. berikan supelmen vitamin dan mineral (mis. Vitamin A, vitamin C, Zinc, asam amino) sesuai indikasi. 12. Berikan terapi TENS (Stimulasi saraf transcutaneous), jika perlu Edukasi 1. Jelaskan tanda tanda gejala infeksi 2. Anjurkan konsumsi makanan tinggi kalori dan protein.

2. 3. 4. 5.

4

Nyeri Perdarahan Kemerahan Hematoma

Kondisi Klinis Terkait 1. Imobilisasi 2. Gagal jantung kongestif 3. Gagal ginjal 4. Diabetes mellitus 5. Imunodefisiansi (mis, AIDS) Kategori : Lingkungan Sub Kategori : Keamanan dan Proteksi Kode : D 0130

28. Pertumbuhan rambut Keterangan: 1 = Memburuk 2 = Cukup Memburuk 3 = Sedang 4 = Cukup Membaik 5 = Membaik

Termoregulasi (L.14134) Definisi: pengaturan suhu tubuh agar tetap berada pada rentang normal Ekspektasi: Membaik Kriteria Hasil: Hipertermia 1. Menggigil 2. Kulit merah Definisi : 3. Kejang Suhu tubuh meningkat diatas rentang 4. Akrosianosis normal tubuh 5. Konsumsi oksigen Penyebab: 6. Piloereksi 1. Dehidrasi 7. Vasokonstriksi perifer 2. Terpapar lingkungan panas 8. Kutis memarota 3. Proses penyakit (infeksi, kanker) 9. Pucat 4. Ketidaksesuaian pakaian dengan 10. Takikardi suhu lingkungan 11. Takipnea 5. Peningkatan laju metabolisme 12. Bradikardi 6. Respon trauma 13. Dasar kuku sianolik 7. Aktivitas berlebihan 14. Hipoksia 8. Penggunaan incubator Keterangan:

3. Ajarkan prosedur perawatan luka secara mandiri. Kolaborasi 1. Kolaborasi prosedur debridement (mis. Enzimatik, biologis, mekanis, autolitik) jika perlu 2. Kolaborasi pemberian antibiotic, jika perlu.

Manajemen Hipertermia (I.15506) Definisi: mengidentifikasi dan mengelola peningkatan suhu tubuh akibat disfungsi termoregulasi Tindakan: Observasi 1. Identifikasi penyebab hipertermi (dehidrasi, lingkungan panas, penggunaan inkubator) 2. Monitor suhu tubuh 3. Monitor kadar elektrolit 4. Monitor haluaran urine 5. Monitor komplikasi akibat hpertermi Terepeutik 1. Sediakan lingkungan yang dingin 2. Longgarkan atau lepaskan pakaian basahi dan kipasi permukaan tubuh 3. Berikan cairan oral 4. Ganti linen setiap hari atau lebih sering jika mengalami hiperhidrosi (keringat berlebih)

Gejala dan Tanda Mayor Objektif 1. Suhu tubuh diatas nilai normal Tanda dan Gejala Minor Objektif: 1. Kulit merah 2. Kejang 3. Takikardi 4. Takipnea 5. Kulit terasa hangat Kondisi Klinis Terkait 1. Proses infeksi 2. Hipertiroid 3. Stroke 4. Dehidrasi 5. Trauma 6. Prematuritas

1. 2. 3. 4. 5. 6.

1 = Menurun 2 = Cukup Menurun 3 = Sedang 4 = Cukup Meningkat 5 = Meningkat

5. Lakukan pendinginan eksternal (selimut hipotermia atau kompres dingin pada dahi, leher, dada, abdomen, aksila) 6. Hindari pemberian antipiretik atau aspirin 7. Berikan oksigen, jika perlu

Suhu tubuh Suhu kulit Kadar glukosa darah Pengisian kapiler Ventilasi Tekanan darah Keterangan: 1 = Memburuk 2 = Cukup Memburuk 3 = Sedang 4 = Cukup Membaik 5 = Membaik

Edukasi 1. Anjurkan tirah baring Kolaborasi 1. Kolaborasi pemberian cairan dan elektrolit intravena

4.

Implementasi Tindakan keperawatan adalah perilaku atau aktivitas spesifik yang dikerjakan

oleh

perawat

untuk

mengimplementasikan

intervensi

keperawatan (Tim Pokja SIKI DPP PPNI, 2018). Implementasi proses keperawatan merupakan rangkaian aktivitas keperawatan dari hari ke hari yang harus dilakukan dan didokumentasikan dengan cermat. Perawat melakukan pengawasan terhadap efektivitas intervensi yang dilakukan, bersamaan pula dengan menilai perkembangan pasien terhadap pencapaian tujuan atau hasil yang diharapkan. Pada tahap ini, perawat harus melaksanakan tindakan keperawatan yang ada dalam rencana keperawatan dan langsung mencatatnya dalam format tindakan keperawatan (Dinarti, 2013). Implementasi keperawatan membutuhkan fleksibilitas dan kreativitas perawat. Sebelum melakukan suatu tindakan, perawat harus mengetahui alasan mengapa tindakan tersebut dilakukan. Perawat harus yakin bahwa tindakan keperawatan yang dilakukan sesuai dengan yang sudah direncanakan, dilakukan dengan cara yang tepat, aman, serta sesuai dengan kondisi pasien, selalu dievaluasi apakah sudah efektif, dan selalu didokumentasikan menurut urutan waktu (Oda Debora, 2013). Tujuan pendokumentasian tindakan keperawatan adalah sebagai berikut (Abd. Wahid & Imam. S, 2012). a.

Mengomunikasikan/memberitahukan tindakan keperawatan dan rencana perawatan selanjutnya pada perawat lain.

b.

Memberikan petunjuk yang lengkap dari tindakan perawatan yang perlu dilaksanakan untuk menyelesaikan masalah pasien.

c.

Menjadi bahan bukti yang benar dari tujuan langsung dengan maksud mengenal masalah pasien di atas.

d.

Sebagai dasar untuk mengetahui efektivitas perencanaan jika diperlukan untuk merevisi perencanaan.

5.

Evaluasi Evaluasi keperawatan

dicatat menyesuaikan

dengan setiap

diagnosa keperawatan. Evaluasi untuk setiap diagnosa keperawatan yaitu SOAP meliputi data subjektif (S) yang berisikan pernyataan atau keluhan

dari pasien, data objektif (O) yaitu data yang diobservasi oleh perawat atau keluarga di mana data subjektif dan data objektif harus relevan dengan diagnosa keperawatan yang dievaluasi. Selanjutnya analisis/assesment (A) yaitu interpretasi makna data subjektif dan objektif untuk menilai sejauh mana tujuan yang telah ditetapkan dalam rencana keperawatan tercapai. Dikatakan tujuan tercapai apabila pasien mampu menunjukkan perilaku sesuai kondisi yang ditetapkan pada tujuan, sebagian tercapai apabila perilaku pasien tidak seluruhnya tercapai sesuai dengan tujuan, sedangkan tidak tercapai apabila pasien tidak mampu menunjukkan perilaku yang diharapkan sesuai dengan tujuan. Setelah analisis/assessment (A) dilanjutkan dengan planning (P) yang merupakan rencana tindakan berdasarkan analisis. Jika tujuan telah dicapai, maka perawat akan menghentikan rencana dan apabila belum tercapai, perawat akan melakukan modifikasi rencana untuk melanjutkan rencana keperawatan pasien. Evaluasi ini disebut juga evaluasi proses (Dinarti, 2013).

DAFTAR PUSTAKA Arif, Mansjoer, dkk. (2000). Kapita Selekta Kedokteran, Edisi 3. Medica. Aesculpalus, FKUI, Jakarta. Brunner dan Suddart. (2015). Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta : EGC Cecily, Lynn Betz.(2009).Buku Saku Keperawatan Pediatri. Jakarta: EGC. Corwin, Elizabeth J. (2009). Patofisiologi: Buku Saku. Jakarta: EGC. Graham & Robin. (2005). Dermatologi:Catatan Kuliah. Jakarta: Erlangga. Nurarif, Amin & Kusuma, Hardi. 2015. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa Medis & NANDA, NIC, NOC. Yogyakarta: Mediaction Jogja. PERKENI. 2015. Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Mellitus Tipe 2 di Indonesia. Jakarta: PERKENI. Tim Pokja SIKI DPP PPNI. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia Definisi dan Tindakan Keperawatan. Jakarta: Dewan Pengurus PPNI. Tim Pokja SLKI DPP PPNI. (2018). Standar Luaran Keperawatan Indonesia Definisi dan Kriteria hasil Kepreawatan. Jakarta: Dewan Pengurus PPNI. Tim Pokja SDKI DPP PPNI. (2017). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia Definisi dan Indikator Diagnostik. Jakarta: Dewan Pengurus PPNI. Wicaksono. 2013. Diabetes Mellitus Tipe 2 Gula Darah Tidak Terkontrol dengan Komplikasi Neuropati Diabetikum. Jurnal Fakultas Kedokteran Lmpung, Medula, Volume 1, Nomor 3.

Lampiran WOC Genetik,infeksi virus,lingkungan Obesitas,usia,gaya hidup Kerusakan pankreas

Malnutrisi protein, KH

Obat-obatan

Penyakit pankreas

Penyakit hormonal

Kerusakan pankreas

Toksin terhadap sel beta

Kerusakan pankreas

Merangsang sekresi sel-sel beta hiperaktif dan rusak

Jumlah reseptor insulin

Penghancuran sel-sel beta Insulin yang ada kurang selektif kerja tidak sempurna DM tipe 1 DM tipe 2

Fungsi sel Fungsi sel beta

Fungsi sel beta

DM malnutrisi DM tipe lain

1,5 Kelemahan Kesemutan (deformitas) Impoten Sensorik

Resistensi insulin

Penumpukan makromolekul pada dinding glomelurus

Motorik Autonom

Katabolisme protein

Glukogen meningkat

Asam amino

Katogenesis Hiperglikemia

Glukoneogenesis Glumeluruskilerotik

Inkontinensia GGK GFR Sindrom bertahap uremik Katarak & buta

Edema

GFR (insufisiensi Glukosa menjadi sarbital ginjal) Netropati Neuropati Disfungsi endotel mic. vas

Resiko ketidakseimbang an cairan

Proteurinaria (albumonuria) hipoalbuminomia Permeabilitas

Retinopati

Microangiopati

Stroke Penyakit pembuluh darah otak

Disfungsi endotel mac. Vas & jantung

Penurunan massa otot

Luka

Penyakit pembuluh darah perifer

PJK Makroangiopati

Perubahan dinding entel/ arteriosklerosis

Resistensi infeksi menurun

Penurunan berat badan

Angine & IMA

Aklusi

Penipisan simpanan protein tubuh

Peningkatan BUN

Gangguan integritas kulit/ jaringan

Pertumbuhan mikroorganisme

Ganggren

Infeksi

Kompensasi tubuh Rasa lapar

Glukosuria Osmotik deurisis Poliuria

Polifagia Dehidrasi Resiko berat badan lebih

Katosemia

VLDL LDL

Penurunan pH darah Asidosis metabolik

Rasa haus

Nafas Koma diabetik kusmaul & bau aseton

Polidipsi

Hemokosentrasi

Bau Harga diri rendah

Lipolisis

Hipovolemia Menyerang kulit dan jaringan

Vaskularisasi terganggu Resiko syok

Perfusi perifer tidak efektif

Selulitis

Perubahan status kesehatan Gelisah dan cemas Ansietas

Vasodilatasi pembuluh darah

Reaksi inflamasi Respon antigen antibodi

Peningkatan permaebilitas kapiler

Pelepasan mediator kimia

Perpindahan cairan interstitil Edema

Mengiritasi ujung saraf bebas

Mengaktifkan neutrofil dan makrofag

Penekanan pembuluh darah

Nyeri tekan

Pelepasan pirogen endogen

Penurunan suplai darah ke jaringan

Nyeri akut

Penurunan suplai oksigen dan nutrisi Penurunan kekuatan otot Atropi, kelemahan otot Gangguan mobilitas fisik

Perfusi perifer tidak efektif

Merangsang sel-sel endotel hipotalamus Memicu pelepasan prostaglandin

Proses penyembuhan terganggu

Nekrosis Gangguan integritas kulit/jaringan

Memicu kerja termostat hipotalamus Peningkatan sel point (titik patok suhu tubuh) Peningkatan suhu tubuh

Hipertermia

Related Documents


More Documents from "Prazz Apriliand"