Loading documents preview...
BAB I LATAR BELAKANG Anemia masih menjadi masalah kesehatan di Indonesia. Menurut WHO 2011 anemia merupakan suatu kondisi jumlah sel darah merah tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan fisiologis tubuh.1 Kebutuhan fisiologis seseorang bervariasi berdasarkan usia, jenis kelamin, tempat tinggal, perilaku merokok dan kondisi kehamilan. Penyebab anemia pada umumnya adalah karena kekurangan zat besi, kekurangan asam folat, vitamin B12 dan vitamin A. Peradangan akut dan kronis, infeksi parasit, kelainan bawaan yang mempengaruhi sintesis hemoglobin, kekurangan produksi sel darah merah, dan perdarahan saluran cerna dapat menyebabkan anemia.2 Perdarahan akut Saluran Cerna Bagian Atas (SCBA) merupakan salahsatu penyakit yang sering dijumpai di bagian gawat darurat rumah sakit. Sebahagian besar pasien datang dalam keadaan stabil dan sebahagian lainnya datang dalam keadaan gawat darurat yang memerlukan tindakan yang cepat dan tepat Perdarahan saluran cerna seperti melena dapat mengakibatkan anemia pada seseorang. Melena merupakan buang air besar yang berwarna kehitaman seperti aspal umunya disebabkan karena adanya perdarahan saluran cerna bagian atas mulai dari esofagus sampai duodenum. Warna merah gelap atau hitam berasal dari konversi Hb menjadi hematin oleh bakteri setelah 14 jam. Penyebab saluran cerna bagian atas terbanyak dijumpai di Indonesia adalah pecahnya varises esofagus dengan rata-rata 40-55%, menyusul gastritis hemoragika dengan 20-25% dan ulkus peptikum 15-20%, dengan sisanya akibat keganasan, uremia, dan lain sebagainya.3 Perdarahan saluran cerna bagian atas dapat menyerang semua golongan usia dan kelamin. Banyak faktor yang dapat mempengaruhi prognosis penderita seperti faktor umur, kadar Hb, terkanan darah selama perawatan dan lain-lain.2
1
BAB II STATUS PASIEN I.
Identitas Pasien Nama
: Ny. B
Jenis Kelamin
: Perempuan
Umur
: 90 tahun
Alamat
: Bandungan, Jawa Tengah
Pekerjaan
: Petani
Agama
: Islam
Status Perkawinan
: Menikah
Pendidikan Terakhir : SD
II.
No. RM
: 0662XX
Tanggal Masuk
: 26 Januari 2019
Anamnesis (alloanamnesis) Keluhan Utama Lemas Riwayat Penyakit Sekarang Pasien datang dengan keluhan lemas sejak 1 minggu SMRS. Keluhan lemas disertai dengan adanya keluhan BAB cair berwarna hitam seperti aspal sejak 2 minggu SMRS dengan total sekitar 10 kali. BAK berwarna gelap seperti teh, mimisan, batuk berdarah maupun muntah berdarah disangkal. Terdapat keluhan lainnya seperti mual, nyeri perut dan kepala terasa pusing. Riwayat pusing dan badan terasa lemas dirasakan sejak pasien masih berusia muda dan aktif sebagai petani. Pasien rutin meminum jamujamuan yang dianggap dapat meyehatkan serta meningkatkan stamina tubuhnya. Riwayat meminum obat-obatan rutin lainnya disangkal. Riwayat Penyakit Dahulu Riwayat Hipertensi
: disangkal
Riwayat DM
: disangkal
2
Riwayat Asma
: disangkal
Riwayat Alergi
: disangkal
Riwayat Dispepsia
: disangkal
Riwayat Hepatitis
: disangkal
Riwayat Batuk lama, TBC
: disangkal
Riwayat Berpergian ke luar kota
: disangkal
Riwayat rawat inap
: disangkal
Riwayat Penyakit Keluarga Riwayat Hipertensi
: disangkal
Riwayat DM
: disangkal
Riwayat Asma
: disangkal
Riwayat Alergi
: disangkal
Riwayat Hepatitis
: disangkal
Riwayat Batuk lama, TBC
: disangkal
III. Pemeriksaaan Fisik Kesadaran
: Composmentis
Tekanan darah
: 90/70
Nadi
: 80
Pernapasan
: 20
Suhu
: 36,5˚C
BB
: 45 Kg
TB
: 162 Cm
Status Internus Kepala
: Mesocephal
Rambut
: Abu-abu, tidak mudah rontok, distribusi tidak merata
Mata
Konjungtiva anemis (+/+), sklera ikterik (-/-), pupil isokor (2,5mm/2,5mm), refleks cahaya (+/+)
Telinga
: Bentuk normal, simetris, ottorae (-/-)
Hidung
: Napas cuping hidung (-/-), sekret (-/-), septum deviasi (-/-)
Mulut
: Mulut simetris, bibir pucat (+), bibir kering (-),
3
Leher
: Tidak terdapat pembesaran kelenjar tiroid dan kelenjar getah bening, JVP tidak meningkat
Thorax Cor
:
Inspeksi
: Tidak tampak ictus cordis
Palpasi
: Ictus kordis tidak teraba pulsasi, tidak ada vibrasi
Perkusi
: Batas jantung normal
Auskultasi
: BJ S1 dan S2 reguler, murmur (-), gallop (-)
Pulmo : Dextra Inspeksi
Palpasi
Perkusi
Auskultasi
Sinistra
Pergerakan simetris,
Pergerakan simetris,
retraksi (-)
retraksi (-)
Vokal fremitus normal
Vokal fremitus normal
kanan = kiri
kanan = kiri
Sonor seluruh lapang
Sonor seluruh lapang
paru
paru
SD paru vesikuler (+),
SD paru vesikuler (+),
suara tambahan paru;
suara tambahan paru;
wheezing (-), ronki (-)
wheezing (-), ronki (-)
Abdomen Inspeksi
: Dinding abdomen cembung, spider naevi (-), rose spot (-), warna kulit sama dengan warna kulit sekitar, jaundice (-)
Auskultasi
: Bising usus (+) normal
Perkusi
: Timpani seluruh region abdomen, shifting dullness (-), undulasi (-)
Palpasi
: Nyeri tekan epigastrium (+), hepar dan lien tidak teraba, ballottement ginjal (-)
Ekstremitas
: Edem (-/-), CRT <2 detik, akral dingin (-/-), sianosis (-), turgor kulit normal
4
IV.
Pemeriksaan Penunjang
EKG
Hasil pemeriksaan darah rutin 26/01/2019 pkl 21:13 PEMERIKSAAN
HASIL
NILAI RUJUKAN
SATUAN
3,6 (L)
11,7 – 15,5
g/dl
Leukosit
96,0 (H)
3,6 – 11,0
ribu
Eritrosit
2,79 (L)
3,8 – 5,2
juta
Hematokrit
16,1 (L)
35 – 47
%
Trombosit
507 (H)
150 – 400
ribu
MCV
57,6 (L)
82 – 98
fL
MCH
12,7 (L)
27 – 32
pg
MCHC
22,1 (L)
32 – 37
g/dl
RDW
10
10 – 16
%
MPV
9,8
7 – 11
mikro m3
Limfosit
52,62 (H)
1,0 – 4,5
10^3/mikro
Monosit
0,19
0,2 – 1,0
10^3/mikro
Eosinofil
0,10
0,04 – 0,8
10^3/mikro
Basofil
1,15 (H)
0 – 0,2
10^3/mikro
Neutrofil
41,96 (H)
1,8 – 7,5
10^3/mikro
HEMATOLOGI DARAH LENGKAP Hemaglobin
5
Limfosit %
54,8 (H)
25 - 40
%
Monosit %
0,2 (L)
2–8
%
Eosinofil %
0,1 (L)
2–4
%
1,2
0–1
%
4,37 (L)
50 -70
%
PCT
0,499
0,2 – 0,5
%
PDW
16,0
10 – 18
%
Basofil % Neutrofil %
Golongan Darah
O
-
Hasil pemeriksaan Urin rutin 26/01/29 pkl 21:53 PEMERIKSAAN
HASIL
NILAI RUJUKAN
SATUAN
SEKRESI DAN EKSRESI URIN LENGKAP Warna
Kuning
-
Kekeruhan
Jernih
-
Protein Urine
Negatif
Negatif
g/L
Glucose Urine
Negatif
Negatif
mmol/L
5,0
5–9
-
Bilirubine Urine
Negatif
Negatif
Umol/L
Urobilinogen
Negatif
Negatif
mmol/L
Leukosit
Negatif
Negatif
sel/mL
Eritrosit
Negatif
Negatif
sel/mL
Nitrit
Negatif
Negatif
-
Eritrosit
38,4 (H)
< 8,7
uL
Leukosit
61,1 (H)
< 7,4
uL
Epitel
32,9 (H)
< 12,9
uL
Silinder
7,35 (H)
< 0,47
uL
Bakteri
7,6
< 93
uL
Kristal
0,2 (H)
Negatif
-
Yeast
0,0
Negatif
-
pH
Sedimen
6
Epitel Tubulus
1,2 (H)
Negatif
-
Silinder Patologis
6,03 (H)
Negatif
-
Mucus
1,56 (H)
Negatif
-
Sperma
0,0
Negatif
-
10,2 (H)
Negatif
-
Konduktivity
Hasil pemeriksaan morfologi darah tepi 26/01/19 pkl 21:13 MORFOLOGI DARAH TEPI ERITROSIT Anisopoikilositosis dominasi mikrositik, target, stomatosit, burr, fragmentosit, teardrops, blister, hipokromik, polikromasi, NRBC LEUKOSIT Jumlah meningkat, morfologi dalam batas normal TROMBOSIT Jumlah meningkat, morfologi dalam batas normal KESAN Gambaran Thalasemia Mayor Retik 21,1%
Hasil pemeriksaan darah rutin 28/01/2019 pkl 15:09 PEMERIKSAAN
HASIL
NILAI RUJUKAN
SATUAN
7,2 (L)
11,7 – 15,5
g/dl
Leukosit
19,0 (H)
3,6 – 11,0
ribu
Eritrosit
3,42 (L)
3,8 – 5,2
juta
Hematokrit
24,5 (L)
35 – 47
%
Trombosit
308
150 – 400
ribu
MCV
71,6 (L)
82 – 98
fL
MCH
21,1 (L)
27 – 32
pg
MCHC
29,4 (L)
32 – 37
g/dl
HEMATOLOGI DARAH LENGKAP Hemaglobin
7
RDW
32,3 (H)
10 – 16
%
MPV
10,6
7 – 11
mikro m3
Limfosit
10,4 (H)
1,0 – 4,5
10^3/mikro
Monosit
3,3 (H)
0,2 – 1,0
10^3/mikro
Eosinofil
0,10
0,04 – 0,8
10^3/mikro
Basofil
1,15 (H)
0 – 0,2
10^3/mikro
Neutrofil
41,96 (H)
1,8 – 7,5
10^3/mikro
Limfosit %
54,9 (H)
25 - 40
%
Monosit %
17,4 (H)
2–8
%
Eosinofil %
0,1 (L)
2–4
%
1,2
0–1
%
4,37 (L)
50 -70
%
0,326
0,2 – 0,5
%
Basofil % Neutrofil % PCT
Hasil pemeriksaan fungsi ginjal, profil lipid, dan elektrolit 28/01/2019 pkl 15:09 PEMERIKSAAN
HASIL
NILAI RUJUKAN
SATUAN
58 (H)
10 – 50
mg/dL
1,00 (H)
0,45 – 0,75
mg/dL
13,7 (L)
37 – 92
mg/dL
91,1
<150
mg/dL
2,06 (L)
3,4 – 4,8
g/dL
132
< 200 Dianjurkan
mg/dL
KIMIA KLINIK Ureum Kreatinin HDL HDL Direct LDL-Cholesterol Albumin Cholesterol
200-300 Resiko sedang >= 240 Resiko tinggi Trigliserida
138
70 - 140
mg/dl
136
136 – 146
mmol/dL
Na + K + Cl Natrium
8
Kalium
2,5 (L)
3,5 – 5,1
mmol/dL
Chloride
111 (H)
98 – 106
mmol/dL
Hasil pemeriksaan darah rutin 30/01/2019 pkl 15:09 PEMERIKSAAN
HASIL
NILAI RUJUKAN
SATUAN
9,2 (L)
11,7 – 15,5
g/dl
Leukosit
8,7
3,6 – 11,0
ribu
Eritrosit
4,14
3,8 – 5,2
juta
Hematokrit
31,2 (L)
35 – 47
%
Trombosit
222
150 – 400
ribu
MCV
75,4 (L)
82 – 98
fL
MCH
22,3 (L)
27 – 32
pg
MCHC
29,6 (L)
32 – 37
g/dl
RDW
16,4
10 – 16
%
MPV
10,2
7 – 11
mikro m3
PCT
0,227
0,2 – 0,5
%
2,34 (L)
3,4 – 4,8
g/dL
HEMATOLOGI DARAH LENGKAP Hemaglobin
Albumin
V.
VI.
Diagnosis –
Anemia ec Melena
–
Thalasemia Mayor
–
IHD
–
Hipoalbumin
–
Sindrom Geriatri
Tatalaksana –
IVFD NaCl 20 tpm
–
Injeksi Citicolin 2x2
–
Injeksi Asam Tranexamat 3x1
–
Injeksi Omeprazol 1x1 ampul 9
–
Injeksi Ranitidin 2x1
–
P.O. Asam folat 1x1
–
P.O. Sucralfat Syrup 3x1 Cth
–
P.O. Nitrocaf 2x1
–
P.O. KSR 2x1
VII. Follow Up Tanggal
Jam
Catatan
29/01/19
08.00
30/01/19
08.00
31/01/19
08.30
01/02/19
09.00
S : BAB hitam cair 2 kali, pusing (+), nyeri perut (+) O : Sakit sedang/Cm TD90/70, HR68, RR20, S36.7˚C, SPO2 98% A : Anemia e.c. melena, IHD, Sindrom Geriatri P : IVFD NaCl 20 tpm, Inj Omeprazol 1x1, Inj Ranitidin 1x1, Inj Asam Tranexamat 3x1, Inj Citicolin 2x1, P.O. Asam folat 1x1, P.O. Sucralfat syr 3x1 C, P.O. Nitrocaf 2x1, P.O. KSR 2x1 Pre med dexa, 18.00 pro transfusi prc 2 kolf Pro transfusi Albumin 100cc S : BAB hitam cair 1 kali, pusing (+), nyeri perut (+) O : Sakit sedang/ Cm TD90/80, HR82, RR18, S36.4˚C, SPO2 99% A : Anemia e.c. melena, IHD, Hipoalbumin, Hipokalemia, Sindrom Geriatri P : IVFD NaCl 20 tpm, Inj Omeprazol 1x1, Inj Ranitidin 1x1, Inj Asam Tranexamat 3x1, P.O. Asam folat 1x1, P.O. Sucralfat syr 3x1 C, P.O. Nitrocaf 2x1, P.O. KSR 2x1 S : BAB hitam (-), pusing (+), nyeri perut (+) O : Sakit sedang/ Cm TD90/60, HR80, RR21, S36.5˚C, SPO2 98% A : Anemia e.c. melena, IHD, Hipoalbumin, Thalassemia Mayor, Sindrom Geriatri P : IVFD NaCl 20 tpm, Inj Omeprazol 1x1, Inj Ranitidin 1x1, Inj Asam Tranexamat 3x1, P.O. Asam folat 1x1, P.O. Sucralfat syr 3x1 C, P.O. Nitrocaf 2x1, P.O. KSR 2x1 S : BAB hitam (-), pusing (+), nyeri punggung (+) O : Sakit sedang/ Cm TD90/70, HR72, RR21, S36.5˚C, SPO2 98% 10
02/02/19
08.30
03/02/19
09.00
04/02/19
12.00
A : Anemia e.c. melena, IHD, Thalassemia Mayor, Sindrom Geriatri P : IVFD NaCl 20 tpm, Inj Omeprazol 1x1, Inj Ranitidin 1x1, Inj Asam Tranexamat 3x1, P.O. Asam folat 1x1, P.O. Sucralfat syr 3x1 C, P.O. Nitrocaf 2x1, P.O. KSR 2x1 S : BAB hitam kental 3 kali, pusing (+), nyeri punggung (+) O : Sakit sedang/ Cm TD90/70, HR72, RR18, S36.5˚C, SPO2 98% A : Anemia e.c. melena, IHD, Thalassemia Mayor, Sindrom Geriatri P : IVFD NaCl 20 tpm, Inj Omeprazol 1x1, Inj Ranitidin 1x1, Inj Asam Tranexamat 3x1, P.O. Asam folat 1x1, P.O. Sucralfat syr 3x1 C, P.O. Nitrocaf 2x1, P.O. KSR 2x1 S : BAB hitam kental 1 kali, pusing (+) O : Sakit sedang/ Cm TD110/70, HR90, RR20, S36.6˚C, SPO2 99% A : Anemia e.c. melena, IHD, Thalassemia Mayor, Sindrom Geriatri P : IVFD NaCl 20 tpm, Inj Omeprazol 1x1, Inj Ranitidin 1x1, Inj Asam Tranexamat 3x1, P.O. Asam folat 1x1, P.O. Sucralfat syr 3x1 C, P.O. Nitrocaf 2x1, P.O. KSR 2x1 S : BAB hitam (-), pusing (+) O : Sakit sedang/ Cm TD90/60, HR96, RR20, S36.3˚C, SPO2 99% A : Anemia e.c. melena, IHD, Thalassemia Mayor, Sindrom Geriatri P : IVFD NaCl 20 tpm, Inj Omeprazol 1x1, Inj Ranitidin 1x1, Inj Asam Tranexamat 3x1, P.O. Asam folat 1x1, P.O. Sucralfat syr 3x1 C, P.O. Nitrocaf 2x1, P.O. KSR 2x1 BLPL
11
BAB III TINJAUAN PUSTAKA I.
Anemia a. Definisi Anemia merupakan suatu keadaan kadar hemoglobin (Hb) di dalam darah lebih rendah dari pada nilai normal untuk kelompok orang menurut umur dan jenis kelamin. Anemia secara fungsional didefinisikan sebagai penurunan jumlah massa eritrosit (red cell mass) sehingga tidak dapat memenuhi fungsinya untuk membawa oksigen dalam jumlah yang cukup ke jaringan perifer (penurunan oxygen carrying capacity).2 Berikut merupakan nilai rujukan normal kadar hemoglobin dalam darah berdasarkan kelompokan umur menurut WHO 2001:
b. Prevalensi Anemia merupakan kelainan yang sangat sering dijumpai baik di klinik maupun di lapangan. Diperkirakan lebih dari 30% penduduk dunia atau 1500 juta orang menderita anemia dengan sebagian besar tinggal di daerah tropik.4
12
Berdasarkan RISKESDAS 2013, proporsi anemia penduduk dengan usia ≥ 1 tahun di Indonesia, ialah sebagai berikut:4
c. Etiologi dan klasifikasi Klasifikasi anemia menurut etiopatogenesis :2 1. Gangguan pembentukan eritrosit oleh sumsum tulang a. Kekurangan bahan esensial pembentuk eritrosit Anemia defisiensi besi Anemia defisiensi asam folat Anemia defisiensi vitamin B12 b. Gangguan penggunaan (utilasi) besi Anemia akibat penyakit kronik Anemia sideroblastik c. Kerusakan sumsum tulang Anemia aplastik Anemia mieloplastik Anemia pada keganasan hematologi Anemia diseritropoietik Anemia pada sindrom mielodisplastik d. Kekurangan eritropoietin Anemia pada gagal ginjal kronik 13
2. Kehilangan darah keluar tubuh (perdarahan) a. Anemia pasca perdarahan akut b. Anemia pasca perdarahan kronik 3. Proses penghancuran eritrosit dalam tubuh sebelum waktunya (hemolisis) a. Anemia hemolitik intrakorpuskular Gangguan membran eritrosit (membranopati) Gangguan enzim eritrosit (enzimopati) Anemia akibat defisiensi G6PD Gangguan hemoglobin (hemoglobinopati) Thalassemia Hemoglobinopati sktruktural; HbS, HbE b. Anemia hemolitik ekstrakorpuskuler Anemia hemolitik autoimun Anemia hemolitik mikroangiopatik Lain-lain 4. Penyebab yang tidak diketahui atau dengan pathogenesis yang kompleks Klasifikasi lain untuk anemia berdasarkan gambaran morfologik dengan melihat indeks eritrosit atau hapusan darah tepi. Dalam klasifikasi ini anemia dibagi menjadi 3 golongan :2 1. Anemia hipokromik mikrositer, bila MCV < 80fl dan MCH < 27pg a. Anemia defisiensi besi b. Thalassemia major c. Anemia akibat penyakit kronik d. Anemia sideroblastik 2. Anemia normokromik normositer, bila MCV 80-95fl
dan
MCH 27-34pg a. Anemia pasca perdarahan akut b. Anemia aplastik c. Anemia hemolitik didapat
14
d. Anemia akibat penyakit kronik e. Anemia pada gagal ginjal kronik f. Anemia pada sindrom mielodisplastik g. Anemia pada keganasan hematogenik 3. Anemia makrositer, bila MCV > 95fl a. Bentuk megaloblastik Anemia defisiensi asam folat Anemia defisiensi B12, termasuk anemia pernisiosa b. Bentuk non megaloblastik Anemia pada penyakit hati kronik Anemia pada hipotiroidisme Anemia pada sindrom mielodisplastik
d. Patofisiologi dan Manifestasi Klinis Gejala pada anemia dapat digolongkan menjadi tiga jenis gejala, yaitu : 1. Gejala umum anemia Dapat disebut pula sebagai sindroma anemia, timbul karena iskemia organ target serta akibat mekanisme kompensasi tubuh terhadap penurunan kadar hemoglobin. Gejala ini muncul pada setiap kasus anemia setelah penurunan hb sampai kadar tertentu (Hb< 7g/dL). Sindrom anemia terdiri dari lemah, lesu, cepat lelah, tinnitus, mata berkunang-kunang, kaki terasa dingin, sesak nafas, dan dyspepsia. Pada pemeriksaan fisik pasien tampak pucat yang mudah dilihat pada konjungtiva, mukosa mulut, telapak tangan dan jaringan dibawah kuku. 15
Sindrom anemia bersifat tidak spesifik karena dapat ditimbulkan oleh penyakit di luar anemia dan tidak sensitif karena timbul setelah penurunan hb yang berat. 2. Gejala khas masing-masing anemia a. Anemia defisiensi besi : disfagia, atrofi papil lidah, stomatitis angularis, dan kuku sendok (koilonychia) b. Anemia megaloblastik : glositis, gangguan neurologik pada defisiensi vitamin B12 c. Anemia hemolitik : ikterus, splenomegali, dan hepatomegali d. Anemia aplastik : perdarahan dan tanda-tanda infeksi 3. Gejala penyakit dasar Sangat bervariasi tergantung dari penyebab anemia tersebut. Misalnya gejala akibat infeksi cacing tambang berupa nyeri perut, pembengkakan parotis dan warna kuning pada telapak tangan. Pada kasus tertentu sering gejala penyakit dasar lebih dominan, seperti anemia akibat penyakit kronik oleh karena artritis reumatoid. e. Diagnosis Anemia merupakan suatu sindrom, bukan satu kesatuan penyakit, yang dapat disebabkan oleh penyakit dasar. Tahap-tahap dalam mendiagnosis anemia adalah : 1. Menentukan adanya anemia 2. Menentukan jenis anemia 3. Menentukan etiologi atau penyakit dasar anemia 4. Menentukan ada atau tidaknya penyakit penyerta yang akan mepengaruhi hasil pengobatan Beberapa pendekatan yang dapat dilakukan untuk mendiagnosis anemia: 1. Pendekatan tradisional dan morfologik Pendekatan
tradisional
ialah
berdasarkan
anamnesis,
pemeriksaan fisik, hasil laboratorium setelah dianalisis maka disimpulkan sebagai sebuah diagnosis. Dari aspek morfologi
16
maka anemia berdasarkan hapusan darah tepi atau indeks eritrosit diklasifikasikan menjadi anemia hipokrom mikrositer, anemia normokromik normositer, dan anemia makrositer. 2. Pendekatan klinis Berdasarkan kecepatan timbulnya penyakit, anemia yang timbul dengan cepat (dalam beberapa hari sampai minggu) biasanya disebabkan oleh: a.
Perdarahan akut
b.
Anemia hemolitik
c.
Anemia akibat leukemia akut
d.
Krisis aplastik pada anemia hemolitik kronik
Anemia yang timbulnya perlahan dapat disebabkan oleh : a.
Anemia defisiensi besi
b.
Anemia desfisiensi asam folat atau B12
c.
Anemia akibat penyakit kronik
d.
Anemia hemolitik yang bersifat kongenital
Berdasarakan beratnya anemia, anemia berat disebabkan oleh : a.
Anemia defisiensi besi
b.
Anemia aplastik
c.
Anemia pada leukemia akut
d.
Anemia hemolitik didapat atau kongenital (Thalassemia major)
e.
Anemia pasca perdarahan akut
f.
Anemia pada GGK, stadium terminal
Jenis anemia yang lebih sering bersifat ringan : a. Anemia akibat penyakit kronik b. Anemia pada penyakit sistemik c. Thalassemia Trait Pemeriksaan penujang yang dapat dilakukan : 1. Pemeriksaan penyaring (hb, indeks eritrosit, hapusan darah tepi) 2. Pemeriksaan darah seri anemia (hitung leukosit, trombosit, retikulosit, dan laju endap darah)
17
3. Pemeriksaan sumsum tulang (mengenai keadaan sistem hematopoiesis) 4. Pemeriksaan khusus atas indikasi a. Anemia defisinsi besi : serum iron, TIBC (total iron binding
capacity),
saturasi
transferrin,
protoporfirin
eritrosit, feritin serum, reseptor transferin, dan pengecatan besi pada sumsum tulang (Perl’s stain) b. Anemia megaloblastik : folat serum, vitamin B12 serum, tes supresi deoksiuridin dan tes schilling c. Anemia
hemolitik
:
bilirubin
serum,
tes
Coomb,
elektroforesis hemoglobin d. Anemia aplastik : biopsi sumsum tulang e. Tatalaksana Terapi yang dapat dilakukan pada pasien anemia adalah : 1. Terapi untuk keadaan darurat seperti pada perdarahan akut akibat anemia aplastic yang mengancam jiwa pasien atau anemia pasca perdarahan akut
yang disertai gangguan
hemodinamik 2. Terapi suportif 3. Terapi khas untuk masing-masing anemia 4. Terapi kausal untuk mengobati peyakit dasar yang menyebabkan anemia Berikut merupakan tatalaksana khusus berdasarkan tipe anemia : 1. Anemia mikrositik hipokrom a. Anemia defisiensi besi Mengatasi penyebab pendarahan kronik, misalnya pada ankilostomiasis
diberikan
antelmintik
yang
sesuai.
Pemberian preparat Fe :
Fero sulfat 3 x 3,25 mg secara oral dalam keadaan perut kosong, dapat dimulai dengan dosis yang rendah dan dinaikkan bertahap pada pasien yang tidak kuat dapat diberikan bersama makanan.
18
Fero Glukonat 3 x 200 mg secara oral sehabis makan. Bila terdapat intoleransi terhadap pemberian preparat Fe oral atau gangguan pencernaan sehingga tidak dapat diberikan oral, dapat diberikan secara parenteral dengan dosis 250 mg Fe (3 mg/kg BB). Untuk tiap gram % penurun kadar Hb di bawah normal.
Iron Dextran mengandung Fe 50 mg/l, diberikan secara intra muskular mula-mula 50 mg, kemudian 100-250 mg tiap 1-2 hari sampai dosis total sesuai perhitungan dapat pula diberikan intravena, mula-mula 0,5 ml sebagai dosis percobaan. Bila dalam 3-5 menit menimbulkan reaksi boleh diberikan 250-500 mg.
b. Anemia penyakit kronik Terapi terutama ditunjukkan pada penyakit dasarnya. Pada anemia yang mengancam nyawa, dapat diberikan transfusi darah merah seperlunya. Pengobatan dengan suplementasi besi tidak diindikasikan kecuali untuk mengatasi anemia pada artritis rheumatoid. Pemberian kobalt dan eritropoetin dikatakan dapat memperbaiki anemia pada penyakit kronik. 2. Anemia Makrositik a. Defisiensi Vitamin B12 Pemberian Vitamin B12 1000 mg/hari IM selama 5-7 hari 1x/bulan b. Defisiensi asam folat Meliputi pengobatan terhadap penyebabnya dan dapat dilakukan pula dengan pemberian/suplementasi asam folat oral 1 mg/har 3. Anemia Akibat Perdarahan a. Perdarahan Akut
Mengatasi perdarahan
Mengatasi renjatan dengan transfusi darah atau pemberian cairan perinfus
19
b. Perdarahan Kronik
Mengobati sebab perdarahan
Pemberian preparat Fe
4. Anemia Hemolitik Penatalaksanaan
anemia
hemolitik
disesuaikan
dengan
penyebabnya. Bila karena reaksi toksik imunologik yang dapat diberikan adalah kortikosteroid (prednison, prednisolon), kalau perlu dilakukan splenektomi apabila keduanya tidak berhasil dapat diberikan obat-obat glostatik, seperti klorobusil dan siklophosfamit. 5. Anemia Aplastik Tujuan utama terapi adalah pengobatan yang disesuaikan dengan etiologi dari anemianya. Berbagai teknik pengobatan dapat dilakukanm seperti : a. Transfusi darah, sebaiknya diberikan packed red cell. Bila diperlukan
trombosit,
berikan
darah
segar/platelet
concencrate b. Atasi komplikasi (infeksi) dengan antibiotik, dan higiene yang baik perlu untuk mencegah timbulnya infeksi c. Kortikosteroid dosis rendah mungkin bermanfaat pada perdarahan akibat trombositopenia berat d. Androgen,
seperti
pluokrimesteron,
testosteron,
metandrostenolon dan nondrolon. Efek samping yang mungkin terjadi virilisasi, retensi air dan garam, perubahan hati dan amenore e. Imunosupresif, seperti siklosporin, globulin antitimosit. Champlin dkk menyarankan penggunaannya pada pasien lebih dari 40 tahun yang tidak dapat menjalani transplantasi sumsum tulang dan pada pasien yang telah mendapat transfusi berulang f. Transplantasi sumsum tulang.
20
II.
Perdarahan Saluran Cerna a. Definisi Perdarahan saluran cerna bagian atas didefinisikan sebagai perdarahan yang terjadi di sebelah proksimal ligamentum Treitz pada duodenum distal. Sebagian besar perdarahan saluran cerna bagian atas terjadi sebagai akibat penyakit ulkus peptikum (PUD, peptic ulcer disease) yang disebabkan oleh H. Pylori atau penggunaan obat-obat anti-inflamasi non-steroid (OAINS) atau alkohol. Robekan MalloryWeiss, varises esofagus, dan gastritis merupakan penyebab perdarahan saluran cerna bagian atas yang jarang.5 b. Epidemiologi Perdarahan saluran cerna bagian atas memiliki prevalensi sekitar 75% hingga 80 % dari seluruh kasus perdarahan akut saluran cerna. Insidensinya telah menurun, tetapi angka kematian dari perdarahan akut saluran cerna, masih berkisar 3 % hingga 10 %, dan belum ada perubahan selama 50 tahun terakhir. Peptic ulcers adalah penyebab terbanyak pada pasien perdarahan saluran cerna, terhitung sekitar 40 % dari seluruh kasus. Penyebab lainnya seperti erosi gastric (15 % - 25 % dari kasus), perdarahan varises (5 % - 25 % dari kasus), dan Mallory-Weiss Tear (5 % - 15 % dari kasus). Penggunaan aspirin ataupun NSAIDs memiliki prevalensi sekitar 45 % hingga 60 % dari keseluruhan kasus perdarahan akut. Di Indonesia kejadian yang sebenarnya di populasi tidak diketahui. Berbeda dengan di negera barat dimana perdarahan karena tukak peptik menempati urutan terbanyak maka di Indonesia perdarahan karena ruptura varises gastroesofagei merupakan penyebab tersering yaitu sekitar 50-60%, gastritis erosif hemoragika sekitar 25-30%, tukak peptik sekitar 10-15% dan karena sebab lainnya < 5%. Mortalitas secara keseluruhan masih tinggi, sekitar 25%, kematian pada penderita ruptur varises bisa mencapai 60% sedangkan kematian pada perdarahan non varises sekitar 9-12%.
21
c. Etiologi Berikut adalah penyebab dari saluran cerna bagian atas :6 1.
Duodenal ulcer (20 – 30 %)
2.
Gastric atau duodenal erosions (20 – 30 %)
3.
Varices (15 – 20 %)
4.
Gastric ulcer (10 – 20 %)
5.
Mallory – Weiss tear (5 – 10 %)
6.
Erosive esophagitis (5 – 10 %)
7.
Angioma (5 – 10 %)
8.
Arteriovenous malformation (< 5 %)
9.
Gastrointestinal stromal tumors
d. Faktor Resiko The American Society for Gastrointestinal Endoscopy (ASGE) mengelompokkan pasien dengan perdarahan saluran cerna bagian atas berdasarkan usia dan kaitan antara kelompok usia dengan resiko kematian. ASGE menemukan angka mortalitas untuk 3.3% pada pasien usia 21-31 tahun, untuk 10.1% pada pasien berusia 41-50 tahun, dan untuk 14.4% untuk pasien berusia 71-80 tahun. Menurut organisasi tersebut, ada beberapa faktor resiko yang menyebabkan
kematian,
perdarahan
berulang,
kebutuhan
akan
endoskopi hemostasis ataupun operasi, yaitu: usia lebih dari 60 tahun, comorbidity berat, perdarahan aktif (contoh, hematemesis, darah merah per nasogastric tube, darah segar per rectum), hipotensi, dan coagulopathy berat. Pasien dengan
hemorrhagic shock
memiliki
angka kematian yang mencapai 30 %. 5 e. Patofisiologi Penggunaan NSAIDs merupakan penyebab umum terjadi tukak gaster. Penggunaan obat ini dapat mengganggu proses peresapan mukosa, proses penghancuran mukosa, dan dapat menyebabkan cedera. Sebanyak
30%
orang
dewasa
yang
menggunakan
NSAIDs
mempunyai GI yang kurang baik. Faktor yang menyebabkan peningkatan penyakit tukak gaster dari penggunaan NSAIDs adalah
22
usia, jenis kelamin, pengambilan dosis yang tinggi atau kombinasi dari NSAIDs, penggunaan NSAIDs dalam jangka waktu yang lama, penggunaan disertai antikoagulan, dan severe comorbid illness.2 Sebuah studi prospektif jangka panjang didapatkan pasien dengan arthritis dengan usia diatas 65 tahun, yang secara teratur menggunakan aspirin pada dosis rendah beresiko menderita dyspepsia apabila berhenti menggunakan NSAIDs. Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan NSAIDs harus dikurangi. (Anand, B.S., 2011) Walaupun prevalensi penggunaan NSAIDs pada anak tidak diketahui, tetapi sudah tampak adanya peningkatan, terutama pada anak dengan arthritis kronik yang dirawat dengan NSAIDs. Laporan menunjukkan terjadinya ulserasi pada penggunaan ibuprofen dosis rendah, walau hanya 1 atau 2 dosis. Penggunaan kortikosteroid saja tidak meningkatkan terjadinya tukak gaster, tetapi penggunaan bersama NSAIDs mempunyai potensi untuk menimbulkan tukak gaster. Resiko perdarahan saluran cerna bahagian atas dapat terjadi dengan penggunaan spironolactone diuretic atau serotonin reuptake inhibitor. f. Manifestasi Klinis Gejala klinis perdarahan saluran cerna: Ada 3 gejala khas, yaitu: 1. Hematemesis Muntah darah dan mengindikasikan adanya perdarahan saluran cerna atas, yang berwarna coklat merah atau “coffee ground”. 2. Hematochezia Keluarnya darah dari rectum yang diakibatkan perdarahan saluran cerna bahagian bawah, tetapi dapat juga dikarenakan perdarahan saluran cerna bahagian atas yang sudah berat. 3. Melena Kotoran (feses) yang berwarna gelap yang dikarenakan kotoran bercampur
asam
lambung;
biasanya
mengindikasikan
perdarahan saluran cerna bahagian atas, atau perdarahan daripada usus-usus ataupun colon bahagian kanan dapat juga
23
menjadi sumber lainnya. Disertai gejala anemia, yaitu: pusing, syncope, angina atau dyspnea. Studi meta-analysis mendokumentasikan insidensi dari gejala klinis UGIB akut sebagai berikut:4 1.
Hematemesis - 40-50%,
2.
Melena - 70-80%,
3.
Hematochezia - 15-20%,
4.
Hematochezia disertai melena - 90-98%,
5.
Syncope - 14.4%,
6.
Presyncope -43.2%,
7.
Dyspepsia - 18%,
8.
Nyeri epigastric - 41%,
9.
Heartburn - 21%,
10. Diffuse nyeri abdominal - 10%, 11. Dysphagia - 5%, 12. Berat badan turun - 12% 13. Jaundice - 5.2% (Caestecker, J.d., 2011) g. Diagnosis Pada anamnesis yang perlu ditanyakan adalah riwayat penyakit hati kronis, riwayat dispepsia, riwayat mengkonsumsi NSAID, obat rematik, alkohol, jamu- jamuan, obat untuk
penyakit jantung,obat stroke.
Kemudian ditanya riwayat penyakit ginjal, riwayat penyakit paru dan adanya perdarahan ditempat lainnya. Riwayat muntah-muntah sebelum terjadinya hematemesis sangat mendukung kemungkinan adanya sindroma Mallory Weiss. Dalam anamnesis yang perlu ditekankan : 1.
Sejak kapan terjadinya perdarahan dan berapa perkiraan darah yang keluar
2.
Riwayat perdarahan sebelumnya
3.
Riwayat perdarahan dalam keluarga
4.
Ada tidaknya perdarahan dibagian tubuh lain
24
5.
Penggunaan obat-obatan terutama antiinflamasi nonsteroid dan antikoagulan
6.
Kebiasaan minum alkohol
7.
Mencari kemungkinan adanya penyakit hati kronis, demam berdarah, demam tifoid, GGK, DM, hipertensi, alergi obatobatan
8.
Riwayat transfusi sebelumnya
Pemeriksaan fisik awal perdarahan saluran cerna Adanya stigmata penyakit hati kronik, suhu badan dan perdarahan di tempat lain, tandatanda Langkah awal menentukan beratnya perdarahan dengan memfokuskan status hemodinamiknya. Pemeriksaan meliputi : 1. Tekanan darah dan nadi posisi baring 2. Perubahan ortostatik tekanan darah dan nadi 3. Ada tidaknya vasokonstriksi perifer ( akral dingin ) 4. Kelayakan nafas 5. Tingkat kesadaran 6. Produksi urin. Perdarahan akut dalam jumlah besar melebihi 20 % volume intravaskular akan mengakibatkan kondisi hemodinamik tidak stabil dengan tanda-tanda sebagai berikut:2 1. Hipotensi ( tekanan darah < 90/60 mmHg , frekuensi nadi > 100x/menit ) 2. Tekanan diastolik ortostatik turun > 10 mmHg atau sistolik turun > 20 mmHgFrekuensi nadi ortostatik meningkat > 15/menit 3. Akral dingin 4. Kesadaran menurun 5. Anuria atau oliguria Kecurigaan perdarahan akut dalam jumlah besar selain ditandai kondisi hemodinamik tidak stabil ialah bila ditemukan: hematemesis, hematokezia, darah segar pada aspirasi pipa nasogastrik dengan,
25
hipotensi persisten, 24 jam menghabiskan transfusi darah melebihi 800 – 1000 mL. Diagnosis dapat dibuat berdasarkan inspeksi muntahan pasien atau pemasangan selang nasogastric (NGT, nasogastric tube) dan deteksi darah yang jelas terlihat; cairan bercampur darah, atau “ampas kopi”’ Namun, aspirat perdarahan telah berhenti, intermiten, atau tidak dapat dideteksi akibat spasme pilorik. Pada semua pasien dengan perdarahan saluran gastrointestinal (GIT) perlu dimasukkan pipa nasogastrik dengan melakukan aspirasi isi lambung. Hal ini terutama penting apabila perdarahan tidak jelas. Tujuan dari tindakan ini adalah:2 1. Menentukan lokasi perdarahan 2. Memperkirakan jumlah perdarahan dan apakah perdarahan telah berhenti. Angiography menatalaksana
dapat
digunakan
perdarahan
berat,
untuk khususnya
mendiagnosa ketika
dan
penyebab
perdarahan tidak dapat ditentukan dengan menggunakan endoskopi atas maupun bawah. Conventional
radiographic
imaging
biasanya
tidak
terlalu
dibutuhkan pada pasien dengan perdarahan saluran cerna tetapi adakalanya dapat memberikan beberapa informasi penting. Misalnya pada CT scan; CT Scan dapat mengidentifikasi adanya lesi massa, seperti tumor intra-abdominal ataupun abnormalitas pada usus yang mungkin dapat menjadi sumber perdarahan. h. Tatalaksana 1.
Non endiskopis a. Bilas lambung Salah satu usaha menghentikan perdarahan yang sudah lama dilakukan adalah bilas lambung lewat pipa nasogastrik dengan air suhu kamar. Prosedur ini diharapkan mengurangi distensi lambung dan memperbaiki proses hemostatik, namun demikian manfaatnya dalam menghentikan perdarahan tidak terbukti. prosedur sangat diperlukan untuk persiapan pemeriksaan
26
endoskopi dan dapat dipakai untuk membuat perkiraan kasar jumlah perdarahan. b. Vitamin K Pemberian vitamin K pada pasien dengan penyakit hati kronis yang mengalami perdarahan SCBA diperbolehkan, dengan pertimbangan pemberiaan tersebut tidak merugikan dan relatif murah. c. Vasopresin Vasopressin dapat menghentikan perdarahan SCBA lewat efek vasokonstriksi
pembuluh darah splanknik, menyebabkan
aliran darah dan tekanan vena porta melihat. Digunakan di klinik untuk perdarahan akut varises esofagus sejak 1953. Pernah dicobakan pada perdarahan non varises, namun berhentinya perdarahan tidak berbeda dengan plasebo. Terdapat dua bentuk sediaan, yakni pitresinyang mengandung vasopressin
murni
dan
preparat
pituitari
gland
yang
mengandung vasopressin dan oksitosin. Pemberiaan vasopressin dilakukan dengan mengencerkan sediaan vasopressin 50 unit dalam 100 ml dekstrose 5%, diberikan 0,5-1 mg/menit/IV selama 20-60 menit dan dapat diulang tiap 3 sampai 6 jam; atau setelah pemberian pertama dilanjutkan per infus 0,1-0,5 U/menit. Vasopressin dapat menimbulkan efek samping serius berupa insufisiensi koroner mendadak, oleh karena itu pemberiannya disarankan bersamaan preparat nitrat, misalnya nitrogliserin intravena dengan dosis awal 40 mcg/menit kemudian secara titrasi dinaikkan sampai maksimal 400mcg/menit dengan tetap mempertahankan tekanan sistolik di atas 90 mmHg d. Somatostatin dan analognya (octerotid) Somatostatin dan analognya (octreotid) diketahui dapat menurunkan aliran darah splanknik, khasiatnya lebih selektif dibanding dengan vasopressin. Penggunaan di klinik pada
27
perdarahan akut varises esofagus dimulai sekitar tahun 1978. Somatostatin dapat menghentikan perdarahan akut varises esofagus pada 70-80% kasus, dan dapat pula digunakan pada perdarahan non varises. Dosis pemberian somastatin, diawali dengan bolus 250 mcg/iv, dilanjutkan per infus 250 mcg/jam selama 12-24 jam atau sampai perdarahan berhenti, octreotid dosis bolus 100 mcg intravena dilanjutkan
perinfus 25
mcg/jam selama 8-24 jam atau sampai perdarahan berhenti. e. Obat-obatan golongan antisekresi asam Obat-obatan golongan antisekresi asam yang dilaporkan bermanfaat untuk mencegah perdarahan ulang SCBA karena tukak peptik ialah inhibitor proton dosis tinggi. Diawali oleh bolus omeprazole 80 mg/iv kemudian dilanjutkan per infus 8 mg/KGBB/jam selama 72 jam, perdarahan ulang pada kelompok plasebo 20% sedangkan yang diberi omeprazole hanya 4,2%. Suntikan omeprazole yang beredar di Indonesia hanya untuk pemberian bolus, yang bisa digunakan per infus ialah persediaan esomeprazole dan pantoprazole dengan dosis sama seperti omeprazole. Pada perdarahan SCBA ini antasida, sukralfat, dan antagonis reseptor H2 dalam mencegah perdarahan ulang SCBA karena tukak peptik kurang bermanfaat. 2.
Endoskopis Terapi endoskopi ditujukan pada perdarahan tukak yang masih aktif atau tukak dengan pembuluh darah yang tampak. Metode terapinya meliputi: a. Contact thermal (monopolar atau bipolar elektrokoagulasi, heater probe) b.
Noncontact thermal (laser)
c. Nonthermal
(misalnya
suntikan
adrenalin,
polidokanol,
alkohol, cyanoacrylate, atau pemakain klip)
28
Berbagai cara terapi endoskopi tersebut akan efektif dan aman apabila dilakukan ahli endoskopi yang terapil dan berpengalaman. Endoskopi terapeutik ini dapat diterapkan pada 90% kasus perdarahan, sedangkan sisanya 10% sisanya tidak dapat dikerjakan karena alasan teknis seperti darah terlalu banyak sehingga pengamatan terhalang atau letak lesi tidak terjangkau. Secara keseluruhan 80% perdarahan tukak peptik dapat berhenti spontan, namun pada kasus perdarahan arterial yang bisa berhenti spontan hanya 30%. 3.
Radiologis Terapi angiografi perlu pertimbangkan bila perdarahan tetap berlangsung dan belum bisa ditentukan asal perdarahan, atau bila terapi endoskopi dinilai gagal dan pembedahan sangat berisiko. Tindakan hemostasis yang bisa dilakukan dengan penyuntikan vasopressin atau embolisasi arterial. Bila dinilai tidak ada kontra indikasi dan fasilitas dimungkinkan, pada perdarahan varises dapat dipertimbangkan TIPS (Trans Jugular Intrahepatic Porto Systemic Shunt).
4.
Pembedahan Terapi pembedahan dilakuan bila terapi medik, endoskopi dan radiologi dinilai gagal.
29
DAFTAR PUSTAKA 1. WHO, The global prevalence of anaemia in 2011, 2011, Department of Nutrition for Health and Development (NHD) World Health Organization 20, Avenue Appia, 1211 Geneva http://www.who.int/vmnis/indicators/haemoglobin.pdf. 2. Sudoyo, Aru W., Setiyohadi, Bambang, Alwi, Idrus, et al, Buku ajar ilmu penyakit dalam, 2010, Jakarta: Interna Publishing 3. Hilmy, Kedaruratan Medik Pedoman Penatalaksanaan Praktis, 2010, Jakarta: Binarupa Aksara 4. Trihono,
RISKESDAS
2013,
2013,
Jakarta:
Badan
Penelitian
dan
Pengembangan Kesehatan Kementrian Kesehatan Republik Indonesia http://www.depkes.go.id/resources/download/general/Hasil%20Riskesdas%2 02013.pdf 5. Dubey, S., Perdarahan Gastrointestinal Atas, 2008, Dalam: Greenberg, M.I., et al. Teks Atlas Kedokteran Kedaruratan Greenberg Vol 1. Jakarta: Penerbit Erlangga 6. Porter, R.S., et al., The Merck Manual of Patient Symptoms, 2008, USA: Merck Research Laboratories
30