Makalah Tablet Implantasi

  • Uploaded by: kadek gita dwi anggraini
  • 0
  • 0
  • January 2021
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Makalah Tablet Implantasi as PDF for free.

More details

  • Words: 6,154
  • Pages: 28
Loading documents preview...
BAB I PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang Teknologi farmasi berkembang dengan pesat seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan tuntutan dalam pemenuhan kesehatan. Maka diperlukan lebih banyak lagi studi teknik pembuatan sediaan obat untuk mendapatkan suatu produk yang lebih baik dan lebih efisien (Voight, 1994). Sebagian besar produk obat konvensional seperti tablet dan kapsul diformulasi untuk melepaskan obat aktif dengan segera setelah pemakaian oral sehingga didapat absorpsi sistemik obat yang cepat dan sempurna (Shargel dkk., 2004). Pengobatan untuk mendapatkan efek sistemik, selain tablet yang biasa diberikan secara oral terdapat pula tablet yang lain seperti tablet implant berupa pellet, bulat atau oval pipih, steril dimasukkan secara implantasi dalam kulit badan dengan cara merobek kulit sedikit, kemudian tablet dimasukkan dan kulit dijahit kembali kemudian zat aktifnya akan dilepas perlahan-lahan (Shargel dkk., 2004). Implant obat polimerik dapat menghantar dan mempertahankan kadar obat dalam tubuh untuk suatu jangka waktu yang panjang (Shargel dkk., 2004). Obat dibebaskan secara terkontrol dari matriks polimer, berdifusi dari permukaan masuk dalam peredaran darah untuk selanjutnya dibawa ke organ atau reseptor. Kadar obat dalam plasma darah secara berkelanjutan dipertahankan dalam batas kadar terapetik yang diinginkan (Handayani, 2010). Tablet implantasi atau pellet dibuat secara aseptik dan mesin tablet harus steril (Anief, 1997). Biasanya digunakan pada obat-obatan kontrasepsi berisi hormone (estradiol dan testosterone) untuk mencegah ovulasi seperti Levonogestrel, Norplant, Implanon, dan Disulfiram Tablet Implantations. Terdapat 2 macam implant yaitu Non Biodograndable implant dan Biodograndable implant (Handayani, 2010). Kelebihan dari tablet implant ini adalah kenyamanan (Convenience) terapi dengan implan pasien mendapat pengobatan diluar rumah sakit dengan pengawasan

1

minimal, baik untuk pelepasan obat terkontrol dan memaksimalkan penghantaran obat. Sedangkan kerugian dari sediaan tablet implant yaitu, diperlukan prosedur bedah minor atau mayor untuk memulai terapi, pemberhentian obat implan polimer non-biodegradabel dan pompa osmotik harus dikeluarkan atau diangkat pada akhir pengobatan, dapat menyebabkan kegagalan terapi, ukuran implant yang kecil dalam rangka kenyamanan pasien, menyebabkan hanya obat-obat poten seperti hormon yang cocok untuk dibuat implan, dan biokompatibel, reaksi tubuh terhadap benda asing yang masuk dan keamanan implan (Handayani , 2010). Berdasarkan hal tersebut diatas maka pada makalah ini akan dibahas mengenai perjalanan obat didalam tubuh dari sediaan tablet implant.

1.2.Rumusan Masalah 1.

Bagaimanakah anatomi fisiologi dari sediaan tablet implant?

2.

Bagaimanakah saluran pembuluh darah yang dilalui oleh tablet implant?

3.

Bagaimanakah pelepasan obat dari sediaan tablet implant?

4.

Faktor-faktor apa sajakah yang mempengaruhi sediaan tablet implant?

5.

Bagaimanakah evaluasi biofarmasetika dari sediaan tablet implant?

1.3.Tujuan Penulisan 1.

Untuk memahami anatomi fisiologi dari sediaan tablet implant.

2.

Untuk memahami saluran pembuluh darah yang dilalui oleh tablet implan.

3.

Untuk memahami proses pelepasan obat dari sediaan tablet implant.

4.

Untuk mmemahami faktor-faktor yang mempengaruhi sediaan tablet implant.

5.

Untuk memahami evaluasi biofarmasetika dari sediaan tablet implan.

1.4.Manfaat Makalah 1. Menambah pengetahuan dan wawasan pembaca terkait ilmu biofarmasi tentang sediaan tablet implantasi. 2. Memberi pemahaman terhadap perjalanan obat dalam tubuh dari sediaan tablet implant.

2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi Fisiologi Kulit Kulit adalah pembatas antara manusia dan lingkungannya. Kulit mempunyai berat rata-rata 4 kg dan meliputi area seluas 2m². Kulit berperan sebagai pembatas, melindungi tubuh dari lingkungan luar dan mencegah hilangnya zat-zat tubuh yang penting, terutama air (Weller, et al, 2015). Kulit memiliki 3 lapisan, yaitu: 1. Epidermis Ketebalan epidermis berbeda-beda pada berbagai bagian tubuh, yang paling tebal berukuran 1 milimeter, misalnya pada telapak kaki dan telapak tangan, dan lapisan yang tipis berukuran 0,1 milimeter terdapat pada kelopak mata, pipi, dahi, dan perut. Sel-sel epidermis disebut keratinosit. a. Stratum Korneum Terdiri atas beberapa lapis sel yang pipih, mati, tidak memiliki inti, tidak mengalami proses metabolisme, tidak berwarna, dan sangat sedikit mengandung air. Lapisan ini sebagian besar terdiri atas keratin, jenis protein yang tidak larut dalam air, dan sangat resisten terhadap bahan-bahan kimia. Hal ini berkaitan dengan fungsi kulit untuk memproteksi tubuh dari pengaruh luar. Secara alami, sel-sel yang sudah mati di permukaan kulit akan melepaskan diri untuk beregenerasi. Permukaan stratum korneum dilapisi oleh suatu lapisan pelindung lembab tipis yang bersifat asam, disebut mantel asam kulit (Eroschenko, 2012). b. Stratum Lucidum Terletak tepat di bawah stratum korneum, merupakan lapisan yang tipis, jernih, mengandung eleidin. Antara stratum lucidum dan stratum granulosum terdapat lapisan keratin tipis yang disebut rein's barrier (Szakall) yang tidak bisa ditembus (Eroschenko, 2012).

3

c. Stratum Granulosum Tersusun oleh sel-sel keratinosit yang berbentuk poligonal, berbutir kasar, berinti mengkerut. Di dalam butir keratohyalin terdapat bahan logam, khususnya tembaga yang menjadi katalisator proses pertandukan kulit (Eroschenko, 2012). d. Stratum Spinosum Memiliki sel yang berbentuk kubus dan seperti berduri. Intinya besar dan oval. Setiap sel berisi filamen-filamen kecil yang terdiri atas serabut protein. Cairan limfe masih ditemukan mengitari sel-sel dalam lapisan malphigi ini (Eroschenko, 2012). b. Stratum Germinativum Adalah lapisan terbawah epidermis. Di dalam stratum germinativum juga terdapat sel-sel melanosit, yaitu sel-sel yang tidak mengalami keratinisasi dan fungsinya hanya membentuk pigmen melanin dan memberikannya kepada sel-sel keratinosit melalui dendrit-dendritnya. Satu sel melanosit melayani sekitar 36 sel keratinosit. Kesatuan ini diberi nama unit melanin epidermal (Eroschenko, 2012). 2. Dermis Terdiri dari bahan dasar serabut kolagen dan elastin yang berada di dalam substansi dasar yang bersifat koloid dan terbuat dari gelatin mukopolisakarida. Serabut kolagen dapat mencapai 72% dari keseluruhan berat kulit manusia bebas lemak. Di dalam dermis terdapat adneksa-adneksa kulit seperti folikel rambut, papila rambut, kelenjar keringat, saluran keringat, kelenjar sebasea, otot penegak rambut, ujung pembuluh darah dan ujung saraf, juga sebagian serabut lemak yang terdapat pada lapisan lemak bawah kulit (Eroschenko, 2012). 3. Hipodermis atau Subkutis Hipodermis atau Lapisan Subkutis (Tela Subcutanea) Tersusun atas jaringan ikat dan jaringan adiposa yang membentuk fasia superficial yang tampak secara anatomis. Hipodermis ini terdiri dari sel-sel lemak, ujung saraf tepi, pembuluh darah dan pembuluh getah bening, kemudian dari beberapa kandungan yang terdapat pada lapisan ini sehingga lapisan hipodermis ini memiliki fungsi sebagai penahan terhadap benturan ke organ

4

tubuh bagian dalam, memberi bentuk pada tubuh, mempertahankan suhu tubuh dan sebagai tempat penyimpan cadangan makanan (Eroschenko, 2012).

Gambar 3.1. Anatomi Kulit Manusia Fisiologi Kulit Kulit memiliki banyak fungsi, yang berguna dalam menjaga homeostasis tubuh. Fungsi-fungsi tersebut dapat dibedakan menjadi fungsi termoregulasi, reservoir darah, proteksi, absorpsi dan cutaneous sensation sekskresi. Kulit juga sebagai barier infeksi dan memungkinkan bertahan dalam berbagai kondisi lingkungan (Harien, 2010). 1. Termoregulasi Kulit Berkontribusi pada termoregulasi tubuh dengan dua cara, yaitu dengan cara melepaskan keringat dari permukaan dan menyesuaikan aliran darah di dermis. Sebagai respon pada lingkungan bersuhu tinggi atau karena panas yang disebabkan oleh olahraga, produksi keringat dari kelenjar ekrin akan meningkat, hal ini menyebabkan menguapnya keringat dari permukaan kulit dan menjadikan temperatur tubuh menurun. Pada saat itu pula, pembuluh darah di dermis akan dilatasi sehingga aliran darah mengalir ke dermis, yang mana

5

akan menyebabkan semakin bertambahnya panas yang keluar dari tubuh. Pada keadaan lingkungan dingin, maka sebaliknya, produksi dari kelenjar keringat ekrin akan menurun dan aliran darah di dermis akan konstriksi untuk mengurangi pengeluaran panas dari tubuh (Tortora & Derrickson, 2009). 2. Reservoir Darah Dermis Mempunyai jaringan pembuluh darah yang luas yang mana membawa 810% dari total pembuluh darah dalam manusia dewasa yang sedang beristirahat (Tortora & Derrickson, 2009). 3. Proteksi Kulit Memproteksi tubuh dengan berbagai cara. Keratin membantu proteksi jaringan dibawahnya dari mikroba, abrasi, panas, dan kimia. Lipid dilepaskan oleh lamellar granules menghambat penguapan air dari permukaan kulit, sehingga menjaga tubuh dari dehidrasi. Lipid juga membantu memperlambat air masuk pada saat renang atau mandi. Minyak sebum dari kelenjar sebasea membantu kulit dan rambut kering dan mengandung bakterisidal yang dapat membunuh bakteri di permukaan. Keringat, yang mana bersifat pH asam membantu memperlambat tumbuhnya beberapa mikroba. Pigmen melanin membantu proteksi dari efek berbahaya sinar ultraviolet (Tortora & Derrickson, 2009). 4. Ekskresi dan Absorbsi Walaupun stratum korneum bersifat tahan air, sekitar 400 mL air menguap melaluinya setiap hari. Keringat berperan sebagai melepas air dan panas dari tubuh, selain itu keringat juga sebagai transportasi untuk ekskresi beberapa jumlah garam, karbon dioksida, dan molekul organik yang dihasilkan oleh pemecahan protein amonia dan urea. Beberapa vitamin yang larut lemak (A, D, E, & K), beberapa obat, dan gas oksigen serta gas karbondioksida dapat menembus kulit. Beberapa material toksik seperti aseton dan karbon tetraklorida, garam dari logam berat seperti timah, arsen, merkuri juga dapat diabsorbsi oleh kulit (Tortora & Derrickson, 2009).

6

5. Cutaneous Sensations Cutaneous Sensations adalah sensasi yang timbul di kulit, termasuk sensasi taktil; sentuhan, tekanan, dan getaran; sensasi termal seperti panas dan dingin. Cutaneous Sensations yang lain adalah rasa sakit, biasanya sakit adalah indikasi adanya jaringan yang akan atau rusak. Di kulit ada banyak susunan akhiran saraf dan reseptor, seperti korpuskel di dalam dermis, dan pleksus akar rambut di setiap folikel rambut (Tortora & Derrickson, 2009).

2.2. Pengertian Tablet Implant Tablet implantasi adalah tablet yang disisipkan dibawah kulit dan dapat melepaskan obat dalam jangka waktu yang lama. Tablet dengan diameter 2-3 mm dan panjang 8 mm (Shargel dkk., 2004). Tablet implantasi berupa pellet, bulat atau oval pipih, steril dimasukkan secara implantasi dalam kulit badan (Anief, 1997). Tablet implantasi digunakan untuk hormone (misalnya penghambat ovulasi), kecepatan melarutnya dalam cairan getah bening harus sangat rendah (Voigt, 1994). Akibat resorpsi yang lambat, satu pellet dapat melepaskan zat aktifnya secara teratur selama 3-5 bulan lamanya (Sulistyowati, 2010).

2.3. Cara Menggunakan Tablet Implant Tablet implant biasanya digunakan melalui bantuan dari tenaga kesehatan, biasanya digunakan pada obat-obatan kontrasepsi. Cara penggunaan tablet implant: 1. Rekayasa tempat pemasangan dengan tepat (apabila terdiri dari 6 buah tablet, seperti kipas terbuka). 2. Tempat pemasangan di lengan kiri atas, diberikan likokain 2%. 3. Dibuat insisi kecil sehingga trokar dapat masuk. 4. Trokar ditusukkan subkutan sampai batasnya. 5. Tablet dimasukkan ke dalam trokar dan didorong dengan alat pendorong sampai terasa ada tahanan. 6. Untuk menempatkan tablet, trokar ditarik ke luar. 7. Untuk menyakinkan bahwa tablet telah di tempatnya, alat pendorong dimasukkan sampai terasa tidak ada tahanan.

7

8. Setelah tablet dipasang, bekas insisi ditutup dengan tensoplas (band aid). Teknik ini berlaku untuk semua jenis implan. (Handayani, 2010).

Gambar 2.1 Cara Menggunakan Tablet Implan

2.4. Mekanisme Kerja Implant Kontrasepsi Cara kerja implan menurut Saifuddin (2006:MK:54) adalah sebagai berikut: 1) Mengentalkan lendir serviks. Kadar levonorgestrel yang konstan mempunyai efek nyata terhadap mucus serviks. Mukus tersebut menebal dan jumlahnya menurun, yang membentuk sawar untuk penetrasi sperma. 2) Menganggu proses pembentukan endometrium sehingga sulit terjadi implantasi. Levonorgestrel menyebabkan supresi terhadap maturasi siklik endometrium yang diinduksi estradiol dan akhirnya menyebabkan atrofi. Perubahan ini dapat mencegah implantasi sekalipun terjadi fertilisasi. Meskipun demikian, tidak ada bukti mengenai fertilisasi yang dapat dideteksi pada pengguna implant. 3) Mengurangi transportasi sprema. Perubahan lendir serviks menjadi lebih kental dan sedikit, sehingga menghambat pergerakan sperma.

8

4) Menekan ovulasi. Menekan ovulasi karena progesteron menghalangi pelepasan luteinizing hormone (LH). Levonorgestrel menyebabkan supresi terhadap lonjakan LH, baik pada hipotalamus maupun hipofisis, yang penting untuk ovulasi.

2.5. Jenis-Jenis Implant Menurut Prawirohardjo (2006:MK-53) terdapat 3 jenis implant yaitu: 1.

Norplant. Terdiri dari 6 batang silastik lembut berongga dengan panjang 3,4 cm, dengan diameter 2,4 mm, yang diisi dengan 36 mg Levonorgestrel dan lama kerjanya 5 tahun.

2.

Implanon. Terdiri dari satu batang putih lentur dengan panjang kira-kira 40 mm, dan diameter 2 mm, yang diisi dengan 68 mg 3Keto-desogestrel dan lama kerjanya 3 tahun.

3.

Jadena dan Indoplant. Terdiri dari 2 batang yang diisi dengan 75 mg Levonorgestrel dengan lama kerja 3 tahun. Menurut

Handayani

(2010)

terdapat

2

macam

implan

yaitu

Non

Biodograndable implan dan Biodograndable implant. 1. Non Biodograndable implant, dengan ciri – ciri sebagai berikut : a.

Norplant (6 “kasul”), berisi hormon Levonogrestel, daya kerja 5 tahun.

b.

Norplant-2 (2 batang), berisi hormon Levonogrestel, daya kerja 3 tahun.

c.

Satu batang, berisi hormon ST-1435, daya kerja 2 tahun.

d.

Satu batang, berisi hormone 3-keto desogesteri daya kerja 2,5-4 tahun.

Non Biodograndable Implan dibedakan menjadi 2 macam, yaitu : a) Norplant Dipakai sejak tahun 1987, terdiri dari 6 “kapsul” kosong silastik (karet silicon) yang diisi dengan hormon Levonogrestel dan ujung – ujung kapsul ditutup dengan silastic adhesive. Tiap “ kapsul” mempunyai panjang 34 mm, diameter 2,4 mm, berisi 36 mg levonorgestrel, serta mempunyai ciri sangat efektif dalam mencegah kehamilan untuk lima tahun. Saat ini Norplant banyak dipakai.

9

b) Norplant -2 Dipakai sejak tahun 1987, terdiri dari dua batang silactik yang padat, dengan panjang tiap batang 44 mm. Dengan masing – masing batang diisi 70 mg Levonorgestrel di dalam matriks batangnya. Ciri norplant-2 adalah sangat efektif untuk mencegah kehamilan 3 tahun. 2. Biodegrodable Implant Implant biodegradable dibagi menjadi 2 macam yaitu: a) Carpronor, suatu “ kapsul” polymer yang berisi levonorgestrel, pada awal penelitian

dan

pengembangannya,

carpronor

berupa

suatu

“kapsul”

biodegradable yang mengandung levonorgestrel yang dilarutkan dalam minyak ethyl-aleate dengan diameter “ kapsul”< 0,24 cm dan panjang “ kapsul” yang teliti terdiri dari 2 ukuran, yaitu 2,5 cm yang berisi 16 mg levonogestrel, melepaskan 20 mcg hormonnya/ hari. Dan 4 cm yang berisi 25 levonorgestrel, melepaskan 30 – 50 mcg hormonal/hari. b) Narethindrone Pellets 1.

Pellets dibuat dari 10 % kolesterol murni dan 90% norechindrone (NET).

2.

Setiap pellets panjang 8 mm berisi 35 mg NET, yang akan dilepaskan saat pellet dengan perlahan – lahan “melarut”. Pellets berukuran kecil, masing – masing sedikit lebih besar dari pada butir

3.

besar. 4.

Dosis harian NET dan efektivitas kontrasepsi bertambah dengan banyaknya jumlah pellets.

2.6. Contoh Sediaan Obat Implant 1.

Levonogestrel

2.

Norplant

3.

Implanon dan

4.

Disulfiram Tablet Implantations

5.

Addtrex Naltrexone

6.

Goserelin Implant (Zoladex)

10

2.7. Keuntungan Penggunaan Tablet Implant 1.

Kadar obat dalam plasma secara berkelanjutan dipertahankan dalam batas kadar terapetik yang diinginkan.

2.

Efek samping pada pemberian langsung sistemik dapat dihindarkan atau dikurangi

3.

Pemberian obat relative lebih menguntungkan, terutama untuk daerah atau periferi dimana supervise tenaga kesehatan tidak tersedia.

4.

Pembebasan obat dalam jumlah kecil secara berkelanjutan kurang memberikan rasa nyeri daripada bila diberikan berkali-kali dengan dosis yang lebih besar.

5.

Kepatuhan penderita mempergunakan obatnya tidak lagi menjadi problema

6.

Pemberian obat dalam bentuk implant relative murah harganya, serta kemubaziran obat dihindarkan. (Prescibendi, 1994)

2.8. Kekurangan Penggunaan Tablet Implant 1.

Kemungkinan implant tidak bikompatibel dengan penderita

2.

Terbentuknya produk sampingan dari polimer bila bahan tidak didagradasi secara biologis

3.

Tidakan operatif pemasangan implant pada tempat yang cocok

4.

Ada kemungkinan implant memberikan perasaan nyeri

5.

Perlunya adanya jaminan tidak terjadi kebocoran matriks dan faktor-faktor lain yang dapat menyebabkan kehilangan kontrol pembebasan obat. (Prescibendi, 1994)

2.9. Pelepasan Obat dalam Tubuh Nasib obat dalam tubuh merupakan peristiwa-peristiwa yang di alami obat dalam tubuh. Aksi beberapa obat membutuhkan suatu proses untuk mencapai konsentrasi yang cukup dalam jaringan sasarannya (Shargel dkk., 2004). Perjalanan obat dalam tubuh melalui 3 fase yaitu:

11

1. Fase farmasetika, fase ini meliputi waktu mulai penggunaan sediaan obat melalui mulut hingga pelepasan zat aktifnya kedalam cairan tubuh. 2. Fase farmakokinetika, fase ini meliputi waktu selama obat diangkut ke organ yang ditentukan, setelah obat dilepas dari bentuk sediaan. Obat harus diabsorpsi kedalam darah kemudian didistribusikan melalui tiap-tiap jaringan tubuh. Dalam darah, obat akan dapat terikat protein darah dan mengalami metabolisme kemudian diekskresikan. 3. Fase Farmakodinamika, bila obat berinteraksi dengan sisi reseptor, biasanya protein membran, akan menimbulkan respon biologik. Tujuan pokok dari fase ini adalah optimalisasi dari efek biologik. Dua proses penting yang menentukan konsentrasi obat di dalam tubuh pada waktu tertentu adalah translokasi dari molekul obat dan transformasi senyawa obat. Translokasi obat yang menentukan proses absorpsi dan distribusi. Transformasi obat menerangkan proses metabolisme obat atau proses eliminasi lain yang terlibat dalam tubuh (Ansel, 1989). 2.9.1. ABSORPSI Absoprsi menggambarkan kecepatan pada saat obat meninggalkan tempat atau sisi pemberian. Obat agar dapat diabsorpsi harus dilepaskan dari bentuk sediaannya sebagai contoh apabila obat dalam bentuk tablet maka harus mengalami disintegrasi sediaan dan disolusi senyawa aktifnya. Pelepasam obat dari sediaannya tergantung dari faktor fisika kimiawi obat, bentuk sediaan, dan lingkungan dalam tubuh tempat obat diabsorpsi. Dalam hal ini, formulasi bentuk sediaan adalah faktor paling penting dalam pelepasan obat. Apabila molekul obat terikat pada permukaan kulit atau mukosa oleh ikatan ion, ikatan hidrogen atau van der Waal dinamakan adsorpsi. Sedangkan jika obat mencapai lapisan yang lebih dalam tapi tidak mencapai kapiler darah dinamakan peristiwa penetrasi. Kemudian, obat menembus melalui dinding kapiler dan menuju sirkulasi sistemik dinamakan absorpsi. Secara ringkas,

Definisi

absorpsi

adalah perpindahan obat dari tempat

pemberian

ke sirkulasi sistemik (peredaran darah). Obat harus berada dalam larutan air pada tempat absorpsi agar dapat dapat diabsorpsi. Mekanisme absorpsi bisa dengan cara

12

difusi pasif, transport aktif, transport konvektif, difusi terfasilitasi, transport pasangan ion dan pinositosis (Shargel dkk., 2004). Faktor yang mempengaruhi Absorpsi Proses awal farmakokinetika adalah absorpsi obat apabila obat diberikan secara ekstravaskuler. Pada proses absorpsi obat melibatkan transport melewati membran sel sebelum obat mencapai jaringan atau organ. Faktor-faktor yang mempengaruhi absorpsi obat antara lain : 1.

Kecepatan disolusi obat Kecepatan disolusi obat merupakan syarat utama bagi obat-obat dalam

bentuk padatan misalnya tablet dan kecepatan disolusi ini dipengaruhi oleh luas permukaan obat yang melarut. 2.

Ukuran partikel Untuk obat yang sukar larut dalam air, ukuran partikel sangat

mempengaruhi. Obat-obat dengan ukuran partikel kecil relatif mudah larut dalam cairan dibandingkan partikel dengan ukuran yang besar.

3.

Kelarutan dalam lipid atau air Absorpsi obat juga dipengaruhi oleh koefisien partisi. Telah disampaikan

bahwa medium absorpsi sebagian besar berupa air sedangkan membran sel lebih bersifat lipofilik. Oleh karena itu, suatu obat harus dapat larut dalam air maupun lipid. 4.

lonisasi Sebagian besar obat merupakan suatu elektrolit lemah sehingga ionisasinya

dipengaruhi oleh pH medium. Dalam mediumnya obat tersebut dalam dua bentuk yaitu bentuk terion yang lebih mudah larut dalam air dan bentuk tak terionkan yang mudah larut dalam lipid dan lebih mudah diabsorpsi. 5.

Aliran darah pada tempat absorpsi Aliran darah pada tempat absorpsi adalah penting karena membantu proses

absorpsi yaitu mengambil obat menuju sirkulasi sistemik. Semakin besar aliran darah maka absorpsi juga semakin besar.

13

6.

Pengaruh makanan atau obat lainnya. Beberapa makanan atau obat dapat mempengaruhi proses absorpsi suatu

obat lainnya. Pemberian makanan atau obat dapat mempengaruhi variabel di atas sehingga mempengaruhi keefektivan absorpsi obat. 2.9.2. DISTRIBUSI Distribusi merupakan perpindahan obat dari sirkulasi sistemik menuju ke suatu tempat di dalam tubuh (cairan dan jaringan). Tempat distribusi adalah cairan pada berbagai jaringan yaitu protein plasma,hati, ginjal, tulang, lemak, barrier darah otak, barter plasenta. Tempat distribusi tersebut merupakan parameter kualitatif distribusi. Sedangkan mekanisme distribusi dapat melalui transport konvektif, pinosrtosis ataudifusi pasif. Komposisi cairan tubuh meliputi caitan ekstraseluler dan intraseluler. Cairan

ekstraseluler

mengandung

plasma

darah

(berkisar

4,5%

berat badan), cairan interstitial (16%) dan getah bening (1,2%). Cairan intraseluler (30-40 %) merupakan penjumlahan kandungan cairan dariseluruh sel tubuh. Cairan transeluler (2,5%) meliputi cairan synovinal, pleura, peritoneal, intraocular, serebrospinal dan sekresi digestif. Supaya dapat masuk ke kompartemen seluler dari kompartemen ekstraseluler, obat harus dapat menembus barter seluler (Shargel dkk., 2004). BARTER DARAH OTAK Barter mengandung beberapa lapisan sel endotelial yang digabungkan oleh tight junction. Otak sulit ditembus oleh beberapa obat misalnya beberapa obat antikanker dan antibiotik misalnya aminoglikosida karena barter tersebut bersifat lipid solubel. Pada kondisi inflamasi misalnya meningitis, dapat menggangu integritas barter sehingga beberapa obat dapat menembusnya (Shargel dkk., 2004). VOLUME DISTRIBUSI Volume distribusi adalah volume cairan tubuh tempat suatu obat pada akhirnya terdistribusikan, dinotasikan Vd. Volume distribusi menggambarkan luas distribusi obat dalam tubuh. Volume distribusi merupakan parameter kuantitatif distribusi. Vd =

14

Q CP

Dimana Q adalah jumlah obat total dan Cp adalah konsentrasi obat dalam darah. Volume plasma berkisar 0,05 L/kg BB. Beberapa obat misalnya heparin yang hanya didistribusikan pada kompartemen plasma karena molekulnya terlalu besar untuk menembus dinding kapiler. Di samping itu juga disebabkan karena ikatan yang kuat dengan protein plasma.Volume ekstraseluler berkisar 0,2 L/kg dan tepat untuk obat-obat yang bersifat polar misalnya vekuronium, gentamisin dan karbesilin. Obat tersebut sulit menembus sel karena kelarutan lipidnya rendah sehingga tidak dapat menembus barrier darah-otak dan plasenta. Cairan total tubuh berkisar 0,55 L/kg dan volume distribusi dicapai oleh obat yang larutdalam lipid misalnya fenitoin. Ikatan obat diluar kompartemen plasma seperti pada lemak tubuh akan meningkatkan volume distribusi (Shargel dkk., 2004). IKATAN OBAT PADA MATERIAL BIOLOGI Plasma darah mengandung 93 % air dan 7 % terdiri berbagai senyawa terlarit terutama protein. Fraksi protein utama adalah albumin (5% dari total plasma). Protein tidak hanya ditemukan pada plasma namun juga pada jaringan. Obat biasanya terikat pada albumin meskipun beberapa obat terikat pada protein lainnya. Ikatan

obat

dengan

albumin bersifat reversibel dan ikatan yang

terlibat biasanya adalah lemah dan spesifik. Albumin serum manusia mempunyai BM sebesar 67.500 dan tersusun oleh 20 asam amino yang berbeda. Jenis asam amino dan posisinya dalam molekul protein menentukan ikatannya dengan obat. Kelompok basa misalnya arginin, histidin dan lisin bertanggung jawab mengikat obat asam, sedangkan kelompok asam amino basa misalnya asam aspartat, asam glutamat dan tirosin mengikat obat basa. Pada pH 7,4 darah, kelompok karbonil asam terprotonasi menjadi ion positif dan membentuk muatan positif maupun negatif pada permukaannya. Sehingga dapat menarik ion yang bermuatan ion berlawanan dengan kekuatan elektrostatik. Obat dapat terikat albumin melalui ikatan hidrogen, van der Waals dan hidrofobik. Obat asam terikat kuat pada albumin sedangkan obat basa terikat lemah pada albumin. Ikatan tersebut bersifat reversibel dan tidak spesifik (Shargel dkk., 2004).

15

Faktor-faktor yang mempengaruhi distribusi Telah disampaikan bahwa efektivitas distribusi berkaitan langsung dengan derajat pengikatan pada protein plasma. Derajat pengikatan obat pada protein tergantung pada afinitas obat terhadap protein, jumlah tempat pengikatan, kadar protein dan kadar obat. Keempat faktor tersebut dipengaruhi oleh kondisi penyakit dan pendesakan. Penyakit seperti pada organ hati, ginjal, atau luka bakar dan trauma dapat mengakibatkan kondisi yang dinamakan hipoalbuminemia (kadar albumin mengalami penurunan di dalam plasma). Oleh sebab itu, kadar obat dalam bentuk bebas akan meningkat sehingga akan meningkatkan efek farmakologi obat bersangkutan. Pendesakan dapat terjadi manakala terdapat obat lain yang mempunyai afinitas yang lebih besar terhadap protein plasma sehingga mengakibatkan kadar obat bebas meningkat dan pada akhirnya efek obat juga meningkat. Pendesakan akan bermakna klinik manakala ikatan obat dan protein sebesar lebih dari 80-90 % dan volume distribusinya kecil ( < 0,15 mL/g). Sebagai contoh warfarin dapat didesak oleh klofibrat atau asam mefenamat sehingga meningkatkan efek antikoagulasi warfarin sehingga penderita dapat mengalami pendarahan. 2.9.3. METABOLISME Metabolisme mempunyai tiga tujuan utama yaitu menyediakan energi bagi fungsi tubuh dan pemeliharaan; memecah senyawa misalnya katabolisme, menjadi senyawa yang lebih sederhana dan biosintesis molekul yang lebih komplek misalnya anabolisme, biasanya membutuhkan energy; dan mengubah senyawa asing (obat) menjadi lebih polar, larut air dan terionisasi sehingga lebih mudah diekskresi. Metabolisme obat disebut juga biotransformasi meskipun antara keduanya juga sering dibedakan. Sebagian ahli mengatakan bahwa istilah metabolisme

hanya

ditujukan

untuk

perubahan-perubahan biokimiawi

atau kimiawi yang dilakukan oleh tubuh terhadap senyawa endogen sedang biotransformasi peristiwa yang sama bagi senyawa eksogen (xenobiotika). Metabolisme

obat

atau

biotransformasi

adalah

suatu

secara biokimia atau kimiawi suatu senyawa di dalam organisme hidup.

perubahan Definisi

lainnya adalah perubahan suatu senyawa menjadi senyawa lainnya yang disebut

16

metabolit yang terjadi pada sistem biologis. Reaksi metabolisme obat tersebut sebagian besar terjadi pada oragn hati khususnya pada sub-seluler retikulum endoplasma. Organ-organ yang bertanggung jawab dalam metabolism obat adalah hati, paru, ginjal, mukosa dan darah merah (Ansel, 1989). JALUR METABOLISME OBAT Enzim yang berperan dalam metabolisme obat terdapat pada fraksi mitokondrial atau mikrosomal. Bahkan metabolisme obat dapat terjadi manakala enzim metabolisme diproduksi oleh sel-sel di sirkulasi sistemik. Obat kemungkinan dimetabolisme dalam epitelium gastrointestinal selama absorpsi atau oleh hati sebelum mencapai sirkulasi sistemik, proses terakhir ini dinamakan efek lintas pertama (first-pass effect) yang mengakibatkan penurunan bioavailabilitas (Ansel, 1989). Faktor-faktor yang mempengaruhi metabolisme obat Metabolisme obat di dalam tubuh dapat mengalami perubahan dan hal ini membawa dampak pada perubahan efek farmakologi obat yang bersangkutan, Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi metabolisme obat adalah: 1. Intrinsik obat Faktor intrinsik obat ini meliputi kelarutannya dalam lipid, ikatan protein plasma, dosis yang digunakan dan cara pemberian. 2. Fisiologi organisme Faktor fisiologi ini adalah jenis makhluk hidup, galur (ras), jenis kelamin, umur dan kondisi kehamilan. Malation suatu jenis pestisida, pada mamalia dan manusia diubah menjadi malation diasid dan mengalami dekarboksilasi dan dikonjugasikan dengan enzim metabolisme fase II untuk diekskresikan, sedangkan pada insektisida malation diubah menjadi malaokson yang bersifat toksik. 3. Kondisi patologi Kondisi patologi meliputi jenis dan tingkat penyakit dapat mempengaruhi metabolisme suatu obat. Telah disampaikan bahwa hati merupakan organ utama bagi reaksi metabolisme obat sehingga apabila terjadi kondisi patologi pada organ tersebut misalnya nekrosis hepar atau hepatitis maka obat yang lebih dominan dimetabolisme di hati seperti tolbutamid dapat mengalami gangguan metabolisme

17

sehingga efek farmakologinya dapat meningkat. Dalam hal ini, pengetahuan mengenai penyesuaian dosis pada penderita tersebut adalah penting bagi pada apoteker yang akan berkerja di rumah sakit. 4. Susunan makanan Unsur-unsur makanan meliputi protein, lemak, karbohidrat, vitamin, unsur runutan dan alkohol dapat mempengaruhi metabolisme obat. Ini terkait bahwa unsur makanan tersebut dapat memacu kemampuan baik secara kualitas maupun kapasitas enzim metabolisme obat khususnya P-450 untuk mengkatalisis reaksi metabolisme obat. 5. Lingkungan Faktor lingkungan meliputi produk petroleum, logam berat dan insektisida yang berasal dari cemaran lingkungan. Mekanisme dari faktor tersebut adalah juga terkait

dengan

kemampuannya

menginduksi

atau

menghambat

enzim

pemetabolisme. 2.9.4. EKSKRESI Ekskresi merupakan perpindahan obat dari sirkulasi sistemik (darah) menuju ke organ ekskresi. Obat mengalami ekskresi untuk keperluan detokstfikasi obat tersebut. Apabila obat tidak diekskresi maka obat akan tertinggal dalam tubuh dan mengakibatkan ketoksikan pada organisme bersangkutan. Tempat atau jalur ekskresi adalah melalui ginjal (organ utama), hati atau empedu, paru, kelenjar saliva, kelenjar susu dan kelenjar keringat (Ansel, 1989).

2.10. TRANSPORT OBAT Transport merupakan suatu peristiwa perpindahan dari satu tempat ke tempat yang lain disertai dengan penembusan membrane seluler. Kecuali metabolisme, proses farmakokinetika melibatkan transport membran tersebut. Obat berpindahpindah dalam tubuh melalui dua jalan yaitu transfer difusional misalnya molekul ke molekul, dengan jarak yang pendek, transfer beraliran misalnya dalam aliran darah. Dalam aliran darah (sistem kardiovaskuler), transfer beraliran tidak dipengaruhi oleh sifat kimiawi obat. Sedangkan pada transfer difusi dipengaruhi oleh ukuran molekul obat dan kelarutannya dalam lipid. Semakin kecil ukuran partikel suatu

18

obat maka proses transport obat juga semakin besar dan semakin larut dalam lipid maka transfer pada barrier hidrofobik semakin besar pula (Shargel dkk., 2004). MEMBRAN SEL Barrier antara dua kompartemen dalam tubuh terdiri dari membran sel. Membran tersebut memisahkan antara kompartemen ekstraseluler dengan intraseluler. Yang dimaksud dengan membran sel adalah suatu organel yang memisahkan isi sel dari lingkungan sekitarnya. Membran sel mempunyai gugus yang dapat membentuk ikatan ionik atau hidrogen dengan gugus yang sesuai dari suatu obat. Sehingga sifat dari suatu membran adalah semipermiabel, mempunyai tegangan permukaan yang rendah dan mempunyai tegangan listrik (potensial membran). Terdapat dua macam model membran sel yaitu model Davson Danielli dan Mosaik Cair. Pada model Davson Danielli, membran sel terdiri dari 2 lapis lipid yaitu gugus hidrofil pada permukaan mebran dan gugus hidrofob berada dalam membran sel (Ansel,1989).

Gambar 2.2. Struktur Membran Sel

Ilustrasi membran ini seperti pada gambar 2.2, dimana kedua gugus tersebut diselubungi oleh protein. Bangunan membran pada model ini adalah statis. Di lain pihak, model mosaik cair terdiri dari matrik cair dengan dua lapis molekul lipid. Molekul protein terletak menyebar secara tidak merata. Protein membran ini dapat

19

berfungsi sebagai pemerkuat membran, molekul pembawa, enzim, pori senyawa larut dalam air atau reseptor (Ansel, 1989). 2.11.

Tahap Penentu dalam Absorpsi Obat

Absorpsi sistemik dari suatu produk obat terdiri atas suatu rangkaian proses laju. Untuk obat-obat yang memiliki kelarutan kecil didalam air, laju pelarutan (disolusi) sering kali merupkan tahap yang paling lambat, oleh karena itu mengakibatkan terjadinya efek penentu kecepatan terhadap bioavailabilitas obat. Tetapi sebaliknya, untuk obat yang mempunyai kelarutan besar dalam air, laju pelarutannya cepat sedangkan laju lintas atau tembus membrane merupakan tahap yang paling lambat atau merupakan tahap penentu kecepatan (Shargel dkk., 2004).

2.12.

Sifat Fisikokimia Obat

Obat-obat yang secara fisika dan kimia tidak stabil memerlukan bahan tambahan, penyalut atau proses fabrikasi khusus untuk melindungi produk obat dari peruraian. Aktivitas farmakodinamik poten dari obat-obat seperti estrogen dan hormone-hormon lain, antibiotika penisilin, bahan kemoterapeutik, dan lainnya dapat menyebabkan reaksi yang merugikan pada personel yang terpapar pada obatobat tersebut selama fabrikasi dan juga menghadirkan suatu masalah (Shargel dkk., 2004).

2.13.

Kelarutan, pH dan Absorpsi Obat

Profil pH kelarutan merupakan suatu gambaran dari kelarutan obat pada berbagai pH fisologis. Dalam formulasi obat controlled release, bahan pendapar ditambahkan untuk memperlambat atau memodifikasi laju pelepasan dari suatu pelarutan obat yang cepat. Untuk menjadi efektif, produk obat pelepasan terkendali harus merupakan suatu bentuk sediaan yang nondisintegrasi. Bahan pendapar dapat dilepaskan secara lambat sehingga obat tidak melarut dengan segera dalam cairan pencernaan yang mengelilinginya (Shargel dkk., 2004).

20

BAB III PEMBAHASAN

3.1. Anatomi Fisiologi Tablet Implan Implan dimasukkan subdermal didalam dermis, karena mempunyai jaringan pembuluh darah yang luas yang mana membawa 8-10% dari total pembuluh darah dalam manusia dewasa yang sedang beristirahat (Tortora & Derrickson, 2009) tepat dibawah kulit dibagian dalam lengan atas yang tidak dominan sekitar 8-10 cm (3-4 inchi) diatas epikondilus medialis humerus untuk menghindari pembuluh darah besar dan saraf yang terletak lebih dalam pada jaringan ikat antara bisep dan trisep otot. Tablet dengan diameter 2-3 mm dan panjang 8 mm (Shargel dkk., 2004). Tablet implantasi berupa pellet, bulat atau oval pipih, steril dimasukkan secara implantasi dalam kulit badan (Anief, 1997). Obat tidak larut dan tidak terdisintegrasi oleh cairan bawah kulit. Tablet implantasi digunakan untuk hormone (misalnya penghambat ovulasi), prostaglandin, antibiotika-kecepatan melarutnya dalam cairan getah bening harus sangat rendah (Voigt, 1994). Akibat resorpsi yang lambat, satu pellet dapat melepaskan zat aktifnya secara teratur selama 3-5 bulan lamanya (Sulistyowati, 2010). Implan obat polimerik dapat menghantar dan mempertahankan kadar obat didalam tubuh untuk suatu jangka waktu yang panjang. Polimer yang dapat terdegradasi dan tidak dapat terdegradasi dapat diresapkan dengan obat dalam suatu sistem penghantaran obat terkendali. Sebagai contoh, implant levo-nogestrel merupakan suatu seri dari enam kapsul fleksibel yang terbuat dari silastik (kopolimer dimetilsiloksan/metilvinilsiloksan), masing-masing mengandung 36𝜇g progestin levonogestrel. Kapsul ditutup dengan pelekat silastik dan disterilisasi. Untuk kontrasepsi implant levonogestrel efektif sampai 5 tahun dan kemudian harus diganti. Efektivitas kontrasepsi dari Progestasert ditingkatkan oleh pelepasan progesterone secara terus menerus kedalam rongga uterus pada laju rata-rata 65 𝜇g/hari selama satu tahun (Shargel dkk, 2004).

21

3.2. Saluran Pembuluh Darah Yang Dilalui Oleh Tablet Implant Obat dibebaskan secara terkontrol dari matriks polimer, berdifusi dari permukaan masuk dalam peredaran darah untuk selanjutnya dibawa ke organ atau reseptor. Kadar obat dalam plasma darah secara berkelanjutan dipertahankan dalam batas kadar terapetik yang diinginkan. Secara perlahan, implant akan melepaskan progestin ke dalam aliran darah. Komponen cairan didalam cairan tisu berpenetrasi melalui lapisan semipermeabel. Kecepatan ditentukan oleh permeabilitas cairan, luas permukaan efektif dan ketebalan lapisan semipermeabel. Kompartemen sediaan didorong untuk mengurangi volumenya dan larutan obat dilepaskan dikontrol dengan tujuan memberikan efek yang lama (berbulan-bulan sampai tahunan) (Handayani, 2010).

3.3. Pelepasan Tablet Implan dalam Tubuh Nasib obat dalam tubuh merupakan peristiwa-peristiwa yang di alami obat dalam tubuh. Aksi beberapa obat membutuhkan suatu proses untuk mencapai konsentrasi yang cukup dalam jaringan sasarannya. 3.3.1. Absorpsi Setelah penyisipan implan, etonogestrel dengan cepat diserap kedalam sirkulasi. Konsentrasi penghambat ovulasi dicapai dalam waktu satu hari. Konsentrasi serum maksimum (antara 472 dan 1270 pg/ml) dicapai dalam 1-13 hari. Laju pelepasan implan berkurang seiring dengan waktu. Akibatnya, konsentrasi serum menurun dengan cepat selama beberapa bulan pertama. Pada akhir tahun pertama konsentrasi tahun rata-rata sekitar 200 pg/ml (kisaran 150-261 pg/ml), yang perlahan-lahan menurun hingga 156 pg/ml (kisaran 111-202 pg/ml) pada akhir ketiga tahun. Variasi konsentrasi serum yang teramati sebagian disebabkan perbedaan berat badan (Handayani, 2010). 3.3.2. Distribusi Etonogestrel 99,5-99% terikat pada protein serum, terutama pada albumin dan sedikit pada hormone seks yang mengikat globulin. Distribusi pusat dan total volume distribusi adalah 27 l dan 220 l, dan hampir tidak berubah selama penggunaan implanon.

22

3.3.3. Metabolisme Tablet implan akan dimetabolisme dihati oleh enzim CYP3A4. Hasil metabolism berupa tetrahydrolevonogestrel, hydroxinorgestren, dan bentuk konjunggasi dengan sulfat atau glukoronidase. 3.3.4. Ekskresi Setelah pemberian etonogestrel rata-rata waktu paruh eliminasi sekitar 25 jam dan bersihan serum adalah sekitar 7,5/jam. Baik bersihan dan waktu paruh eliminasi tetap konstan selama periode terapi. Eksresi etonogestrel dan metabolitnya, baik sebagai steroid bebas atau sebagai konjungasi adalah melalui urin dan feses. Setelah penyisipan implant pada ibu menyusui, etonogestrel dieksresikan ke dalam ASI selama 4 bulan pertama. Pada ibu menyusui, transfer etonogestrel rata-rata pada bayi adalah sekitar 0,2% dari dosis harian etonogestrel absolut pada ibu (2,2% katika nilai dinormalisasi per kg berat badan). Konsentrasi menunjukkan penurunan secara bertahap dan signifikan secara statistik dari waktu ke waktu (Handayani, 2010 ).

3.4. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Sediaan Tablet Implant Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi sediaan tablet implant yaitu: 3.4.1. Faktor Absorpsi Tablet Implant Absorpsi melalui kulit secara fisiologi tidak memiliki fungsi absorpsi, terjadi terutama transepidermal, disamping transfolikular, kemampuan absorpsi melalui kulit lebih rendah dibandingkan melalui mukosa. Absorpsi tertinggi dimiliki zat yang terutama larut dalam lemak, yang masih menunjukan sedikit larut dalam air. Demikian juga rangsang yang menyebabkan hiperemi atau beberapa zat perut seperti dimetilsulfoksid, dapat memperbaiki absorpsi. Pada daerah kulit yang meradang jumlah absorpsi dipertinggi (Sulistyowati, 2010). 3.4.2. Faktor Bentuk Sediaan Bentuk sediaan padat seperti tablet yang ditanamkan dibawah kulit atau dalam bentuk suspensi menyebabkan absorpsi menjadi lebih lambat dibandingkan dengan sediaan larutan (Sulistyowati, 2010). Bentuk pellet atau implant sering untuk hormon yang poten seperti hormone steroid.

23

3.4.3. Faktor Fisiko-Kimia Zat Aktif Tablet implantasi digunakan untuk hormone (misalnya penghambat ovulasi), kecepatan melarutnya dalam cairan getah bening harus sangat rendah. Zat aktif dari sediaan tablet implant harus larut dalam lemak agar penyerapan zat aktif dalam aliran darah semakin tinggi. Ukuran implant yang kecil dalam rangka kenyamanan pasien, menyebabkan hanya obat-obat poten seperti hormon yang cocok untuk dibuat implant. Implant obat polimerik dapat menghantar dan mempertahankan kadar obat didalam tubuh untuk suatu jangka waktu yang panjang agar obat yang terkandung dilepaskan dengan kecepatan yang konstan. Polimer yang dapat terdegradasi dan tidak dapat terdegradasi dapat diresapkan dengan obat dalam suatu sistem penghantaran obat terkendali (Sulistyowati, 2010). 3.4.4. Faktor Lingkungan Kenaikan suhu kulit menambah kemampuan penetrasi zat yang dipakai melalui kerja panas dari luar. Hidrasi kulit juga sangat berpengaruh dan perlu diperhatikan dalam hal penetrasi obat melalui kulit. Hidrasi secara fisik mengubah jaringan kulit dan mengakibatkan perubahan dalam difusi-koefisien serta aktifitaskoefisien obat yang akan berpenetrasi, sehingga mempercepat obat melalui kulit.

3.5.Evaluasi Biofarmasetika Dari Sediaan Tablet Implan Pada sediaan tablet implant dengan efek sistemik, dimungkinkan untuk memperkirakan aktivitas farmakologik atau terapetik, atau menentukan kadar obat dalam darah dan membandingkannya dengan kadar yang didapat dari cara pemberian intravena atau jika mungkin dengan cara pemberian lainnya. Tahapan uji evaluasi biofarmasetik meliputi menentukan waktu aksi yang diharapkan, memilih pembawa yang dapat memberikan hasil yang sesuai harapan dan penentuan kadar obat didalam darah.

24

BAB IV KESIMPULAN 4.1.1. Anatomi Fisiologi dari sediaan tablet implant, tablet dimasukkan subdermal tepat dibawah kulit dibagian dalam lengan atas yang tidak dominan sekitar 8-10 cm (3-4 inchi) diatas epikondilus medialis humerus untuk menghindari pembuluh darah besar dan saraf yang terletak lebih dalam pada jaringan ikat antara bisep dan trisep otot. Tablet dengan diameter 2-3 mm dan panjang 8 mm (Shargel dkk., 2004). Tablet berupa pellet, bulat atau oval pipih, steril dimasukkan secara implantasi dalam kulit badan untuk jangka waktu yang panjang (Anief, 1997). 4.1.2. Saluran

pembuluh

darah

yang

dilalui

tablet

implant,

implant

akan melepaskan progestin ke dalam aliran darah. Komponen cairan didalam cairan tisu berpenetrasi melalui lapisan semipermeabel. Obat dibebaskan secara terkontrol dari matriks polimer, berdifusi dari permukaan masuk dalam peredaran darah untuk selanjutnya dibawa ke organ atau reseptor. 4.1.3. Pelepasan tablet implant dalam tubuh, yaitu setelah tablet implant dimasukkan dibawah kulit dengan cepat diserap kedalam sirkulasi kemudian obat dibebaskan secara terkontrol dari matriks polimer, selanjutnya dibawa ke organ atau reseptor. Tablet implant akan dimetabolisme di hati oleh enzim CYP3A4 dan dieksresikan melalui urin dan feses. 4.1.4. Faktor yang mempengaruhi sediaan tablet implant yaitu: a.

Faktor absorpsi tablet implant, kemampuan absorpsi melalui kulit lebih rendah dibandingkan melalui mukosa. Absorpsi tertinggi dimiliki zat yang terutama larut dalam lemak, yang masih menunjukan sedikit larut dalam air.

b.

Faktor bentuk sediaan, sediaan padat seperti tablet yang ditanamkan dibawah kulit atau dalam bentuk suspensi menyebabkan absorpsi menjadi lebih lambat dibandingkan dengan sediaan larutan. Bentuk 25

pellet atau implant sering untuk hormon yang poten seperti hormone steroid. c.

Faktor fisiko-kimia zat aktif, tablet implantasi digunakan untuk hormone (misalnya penghambat ovulasi), kecepatan melarutnya dalam cairan getah bening harus sangat rendah. Zat aktif dari sediaan tablet implant harus larut dalam lemak agar penyerapan zat aktif dalam aliran darah semakin tinggi.

d.

Faktor lingkungan, kenaikan suhu kulit menambah kemampuan penetrasi zat yang dipakai melalui kerja panas dari luar.

1.4.5. Evaluasi biofarmasetika dari sediaan tablet implant, yaitu pada sediaan tablet implant dengan efek sistemik, dimungkinkan untuk memperkirakan aktivitas farmakologik atau terapetik, atau menentukan kadar obat dalam darah dan membandingkannya dengan kadar yang didapat dari cara pemberian intravena atau jika mungkin dengan cara pemberian lainnya.

26

DAFTAR PUSTAKA

Anief. 1997. Ilmu Meracik Obat. Yogyakarta. Gajah Mada University Press.

Ansel, H. C. 1989. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. Jakarta: Universitas Indonesia Press.

Eroschenko, V.P. 2012. Atlas Histologi diFiore. Jakarta: EGC.

Handayani, Sri. 2010. Buku Ajar Pelayanan Keluarga Berencana. Yogyakarta: Pustaka Rihama.

Harien. 2010. Anatomi Fisiologi Kulit dan Penyembuhan Luka. Malang: Universitas Muhammadiyah Malang.

Joenoes, Z. N. 1994. Ars Prescribendi Resep yang Rasional Edisi 3. Surabaya: Airlangga university press.

Lachman, L., Schwartz, J.B., dan Lieberman H. A., 1989, Pharmaceutical Dosage Forms., Tablets, 2nd Ed, 492, Marcell Dekker Inc., New York. Prawirohardjo, S. 2006. Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka. Saifuddin, Abdul Bari. 2006. Buku Pedoman Praktis Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal. Jakarta: Yayasan Bina Sarwono Prawirohardjo.

Shargel, Leon., Wu-Pong, Susanna., dan Andrew. 2004. Biofarmasetika dan Farmakokinetika terapan Edisi Kelima. Surabaya: Universitas Airlangga.

Sulistyowati, Eddy. 2010. Obat dan Pengaruhnya Terhadap Tubuh Manusia. Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta. 27

Tortora, G. J., & Derrickson, B. 2009. Principles of Anatomu & Physiology. USA: John Wiley & Sons. Inc.

Voight, R. 1994. Buku Pelajaran Teknologi Farmasi. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

28

Related Documents

Makalah Tablet Implantasi
January 2021 0
Tablet Weaving
February 2021 0
Tablet Implant
February 2021 0
Tablet Konvensional
January 2021 2

More Documents from "ReDey"

Makalah Tablet Implantasi
January 2021 0
Lp Asam Urat
January 2021 1
Land Law Assesment 1
February 2021 3
Ppt - Turunan (xi Sem 2)
February 2021 3
Russian Monarcy
March 2021 0