Loading documents preview...
Pharmacologic Treatments for COVID-19 Prof. Dr. Zullies Ikawati, Apt Ketua Prodi Magister Farmasi Klinik Fakultas Farmasi UGM Yogyakarta
Pendahuluan
▪ Terapi farmakologis untuk pasien COVID-19 secara umum adalah dengan terapi antivirus ▪ Saat ini belum ada satu pun obat antivirus spesifik untuk virus Covid-19 yang terbukti efektif dan secara resmi direkomendasikan. ▪ Antivirus yang digunakan mengacu pada terapi ketika epidemi SARS dan MERS, atau jenis flu lain ▪ Setiap negara memiliki panduan sendiri, mendasarkan pada pertimbangan masing-masing (pengalaman, ketersediaan obat) ▪ Di Indonesia, setiap RS memiliki panduan sendiri-sendiri berdasarkan pengalaman dan ketersediaan obatnya ▪ Lebih dari 600an uji klinik di seluruh dunia saat ini dilakukan dengan berbagai obat, yang sebagian besar adalah drug repurposing → menggunakan obat yang sudah ada untuk indikasi lain sebagai terapi Covid-19 → sebagai antivirus, anti inflamasi, atau imunomodulator
DRUG USED FOR COVID-19 Selected repurposed drugs :
Investigational Drugs
✓ Chloroquine/hydroxychloroquine
✓ Remdesivir
✓ Lopinavir/ritonavir
✓ Favipiravir (Avigan)
✓ Ribavirin
Adjunctive therapy:
✓ Other antivirals:
✓ Corticosteroid
✓ Oseltamivir
✓ Anti cytokines therapy (anti IL-6)
✓ Umifenovir (Arbidol)
✓ Immunoglobulin therapy
✓ Miscellaneous agents
TATALAKSANA COVID-19 DI INDONESIA Konfirmasi Tanpa Gejala ▪ Isolasi mandiri di rumah selama 10 hari sejak pengambilan spesimen diagnosis konfirmasi ▪ Diberi edukasi apa yang harus dilakukan ▪ Vitamin C dapat diberikan ▪ Obat-obatan suportif baik tradisional (Fitofarmaka) maupun modern dapat dipertimbangkan untuk diberikan ▪ Pemantauan klinis di rumah, kontrol di FKTP setelah 10 hari
PEDOMAN TATALAKSANA COVID-19 Edisi 2 , Agustus 2020; PDPI-PAPDI-PERKI-PERDATIN-IDAI
PENGOBATAN STANDARD KASUS RINGAN, SEDANG DAN BERAT “ Saat ini belum ada terapi spesifik untuk COVID-19 “ Regimen pengobatan sesuai tabel berikut : No.
Obat I
Obat 2
Obat 3
Obat 4
1.
Azitromisin atau Levofloksasin
Klorokuin atau Hidroksiklorokuin
Oseltamivir
Vitamin
2.
Azitromisin atau Levofloksasin
Klorokuin atau Hidroksiklorokuin
Favipiravir
Vitamin
3.
Azitromisin atau Levofloksasin
Klorokuin atau Hidroksiklorokuin
Lopinavir + Ritonavir
Vitamin
4.
Azitromisin atau Levofloksasin
Klorokuin atau Hidroksiklorokuin
Remdesivir
Vitamin
* Pilihan obat disesuaikan dengan ketersediaan FASYANKES
PROTOKOL TATALAKSANA COVID-19 Edisi I , April 2020; PDPI-PAPDI-PERKI-PERDATINIDAI
OBAT TAMBAHAN PADA COVID-19 Terapi tambahan pada kasus sedang/berat/kritis lain :1 ➢ Deksamethason ( Pasien dalam terapi oksigen dan ventilator) ➢ Antikoagulan sesuai assesment DPJP
Pertimbangkan terapi tambahan lain : 1,2 ➢ Plasma convalescent therapy
➢ Inhibitor IL-6 (Tocilizumab, Sarilumab, Siltuximab) ➢ Human immunoglobulin (IVIG)
➢ Inhibitor IL-1 (Anakinra) ➢ Interferon
• • • • •
➢ Stem cell therapy
Tatalaksana lain : Nutrisi Oksigen Alat bantu napas Tatalaksana komorbid Lainnya
➢ Janus kinase inhibitor (baricitinib) ➢ Imunomodulator lainnya 1 PEDOMAN TATALAKSANA
COVID-19 Edisi 2 , Agustus 2020; PDPI-PAPDI-PERKI-PERDATIN-IDAI 2 https://www.covid19treatmentguidelines.nih.gov/therapeutic-options-under-investigation/
Antivirals : ✓ Chloroquine/hydroxychloroquine ✓ Lopinavir/ritonavir ✓ Ribavirin ✓ Oseltamivir
✓ Umifenovir (Arbidol) ✓ Remdesivir
✓ Favipiravir (Avigan) ✓ Tocilizumab/sarilumab ✓ Camostat mesylate
Sanders et al, 2020
Chloroquine (CQ) and hydroxychloroquine (HCQ) Termasuk golongan antimalaria, tetapi memiliki aktivitas invitro sebagai antivirus pada beberapa virus, termasuk coronavirus
Mechanisms : ✓ Menghambat masuknya virus SARS-CoV2 dengan menghambat glikosilasi pada receptor ACE2
✓ Meningkatkan pH endosomal → menghambat replikasi virus ✓ Memiliki efek imunomodulator dan menekan produksi sitokin dalam proses inflamasi (Devaux, et al, 2020)
Chloroquine (CQ) and hydroxychloroquine (HCQ) Studi in vitro (Yang and Zhao, 2020): Hydroxychloroquine (EC50=0.72 μM) was found to be more potent than chloroquine (EC50=5.47 μM) in vitro. Based on PBPK models results, a loading dose of 400 mg twice daily of hydroxychloroquine sulfate given orally, followed by a maintenance dose of 200 mg given twice daily for 4 days is recommended for SARS-CoV-2 infection, as it reached three times the potency of chloroquine phosphate when given 500 mg twice daily 5 days in advance. Conclusions: Hydroxychloroquine was found to be more potent than chloroquine to inhibit SARS-CoV-2 in vitro.
Dosage Ada beberapa regimen dosis yang digunakan dalam beberapa panduan dan uji klinik Chloroquine Oral
Hydroxychloroquine Oral
500 mg 2 x sehari selama 10 hari
400 mg 2 x sehari pada hari 1, lalu 200 mg 2 x sehari pada hari 2-5
500 mg 2 x sehari selama 7 hari (dewasa 18-65 thn,
BB >50 kg) 500 mg 2 kali sehari pada hari 1 dan 2, lalu 500 mg 1 x sehari pada hari 3-7 (dewasa, BB <50 kg)
400 mg /hari selama 5 hari;
100-200 mg 2 x sehari selama 5-14 hari
Dosis awal 600 mg, dilanjutkan dengan 300 mg 12 jam kemudian di hari 1, lalu 300 mg 2 x sehari pada
200 mg 3 3 x sehari selama 10 hari
hari ke 2 - 5
Catatan: 500 mg chloroquine phosphate equivalen dengan 300 mg chloroquine basa
Update tentang Klorokuin (CQ) dan Hidroksiklorokuin (HCQ) ✓ Penelitian observasional penggunaan klorokuin dan hidroksiklorokuin pada pasien COVID-19 yang sedang berlangsung di beberapa rumah sakit di Indonesia menunjukkan hasil sementara sebagai berikut (BPOM, 2020): ✓ Tidak meningkatkan risiko kematian dibandingkan pengobatan standar pada COVID-19. ✓ Walaupun menimbulkan efek samping pada jantung berupa peningkatan interval QT pada rekaman jantung, tetapi tidak menimbulkan kematian mendadak. Efek samping ini sangat sedikit karena sudah diketahui sehingga bisa diantisipasi sebelumnya. ✓ Penggunaan obat ini dapat mempersingkat lama rawat inap di rumah sakit pada pasien COVID-19.
✓ Penggunaan kedua obat ini harus tetap merujuk pada informasi kehati-hatian tentang adanya risiko gangguan jantung pada penggunaan QC dan HCQ → karena itu, penggunaannya harus dalam pengawasan ketat oleh dokter dan dilaksanakan di rumah sakit. ✓ Walaupun uji kliniknya pada Solidarity Trial WHO dihentikan, sampai saat ini HCQ masih masuk dalam salah satu pilihan terapi pada Panduan Terapi Covid-19 di Indonesia
Lopinavir/ritonavir (LPV/RTV) ▪ Termasuk golongan : HIV Protease Inhibitor → Obat utk penderita HIV ▪ Memiliki efek antiretroviral in vitro terhadap SARS-CoV dan MERS-CoV (Chen et al, 2004) ▪ Pada terapi SARS dan MERS, bukti menunjukkan manfaat jika dikombinasikan dengan ribavirin dan atau interferon (Kim et al, 2016)
▪ Publikasi terakhir menunjukkan tidak adanya aktivitas antiviral in vitro terhadap SARSCoV-2 (Yao et al, 2020) ▪ Sebuah uji klinik open label dilakukan untuk membandingkan LPV/RTV ( n = 99 pasien) dengan terapi standar (n = 100) → Hasil: Tidak ada perbedaan dalam pengurangan viral load, durasi viral RNA detectability, lama perawatan, dan waktu kematian. LPV/RTV dihentikan lebih awal karena 13 pasien mengalami adverse effects (Cao, et al, 2020) ▪ Belum dijumpai Publikasi yg mengkombinasi LPV/RTV dengan azitromisin, klaritomisin, maupun doksisiklin → namun sudah sering digunakan oleh klinisi untuk terapi Covid-19 di Indonesia
Dosis Ada beberapa regimen dosis yang digunakan dalam terapi maupun dalam uji klinik yang pernah dilakukan: COVID-19: ◦ LPV 400 mg/RTV 100 mg p.o. 2 kali sehari 14 hari (Cao, et al, 2020) ◦ LPV 400 mg/RTV 100 mg p.o. 2 kali sehari dengan atau tanpa arbidol (200 mg setiap 8 jam) sampai 21 hari (Deng et al, 2020) ◦ LPV 400 mg/RTV 100 mg p.o. dengan atau tanpa interferon (5 juta units interferon-α atau equivalennya, 2 kali sehari diberikan dalam 2 mL aqua steril secara nebulisasi) dan dengan atau tanpa ribavirin sampai 10 hari (Liu, et al, 2020) SARS: LPV 400 mg/RTV 100 mg p.o. selama 14 hari dengan ribavirin (4-g oral loading dose, kemudian 1.2 g p.o. setiap 8 jam atau 8 mg/kg IV setiap 8 jam) (Chu et al, 2004) MERS: ◦ LPV 400 mg/RTV 100 mg p.o. 2 kali sehari dengan ribavirin (various regimens) dan/atau interferon-α (Arabi et al, 2018) ◦ LPV 400 mg/RTV 100 mg p.o. 2 kali sehari dengan interferon β1b (0.25 mg/mL sub-Q on alternate days) selama 14 hari (Kim et al, 2020)
Efektivitas untuk COVID19 belum established dan masih memerlukan studi lanjutan, baik tunggal atau kombinasi dengan obat lain
Precaution ✓ Perlu diperhatikan efek samping umum dari lopinavir/ritonavir: ✓ gastrointestinal distress, spt mual dan diare (sampai 28%) ✓ hepatotoxicity (2%-10%) ✓ Adverse effects dapat memburuk dengan adanya terapi kombinasi dan infeksi virus karena 20% - 30% pasien COVID-19 mengalami peningkatan transaminase (Wu et al, 2020) ✓ Pada sebuah RCT, 50% pasien dengan lopinavir/ritonavir mengalami adverse effect dan 14% pasien menghentikan terapi karena gastrointestinal adverse effects (Cao et al, 2020) ✓ Karena itu, pasien dengan alanine transaminase yang tinggi tidak direkomendasikan menggunakan lopinavir/ritonavir
My note : Kombinasi obat-obat ini sudah digunakan oleh klinisi di Indonesia sebagai obat Covid-19 dalam kondisi terpisah. Telah dilakukan Uji Klinik oleh Unair-BIN-TNI AD, namun belum diketahui hasilnya
OSELTAMIVIR (TAMIFLU) Antiviral untuk virus influenza, dengan mekanisme : neuroaminidase inhibitor
Uji klinik atau pengalaman : Sebuah studi retrospektif pada 99 pasien COVID-19 di Wuhan pada tgl 11 – 20 Januari 2020, 76%
menerima terapi antivirus osetalmivir (75 mg orally setiap 12 jam). Pada akhir evaluasi, 58% pasien masih dirawat, 31% sembuh, and 11% meninggal (Chen et al, 2020). Walaupun cukup banyak digunakan untuk terapi Covid-19 di China, belum ada bukti yang mendukung efektivitas oseltamivir (Lu, 2020). Pada uji invitro, inhibitor neuraminidase tidak aktif terhadap SARS-CoV (Tan 2004),
Penggunaan oseltamivir di Iran untuk Covid-19 menunjukkan hasil tidak efektif, sehingga saat ini
dikeluarkan dari protocol terapi di Iran (https://ifpnews.com/tamiflu-not-effective-in-treating-covid-19-iran) Namun banyak pasien dengan gejala yang mirip COVID-19 mungkin mengalami influenza, jadi lebih baik diberikan untuk mengurangi perburukan gejala pasien akibat influenza (Joseph, 2020)
Inhibition of SARS Coronavirus Infection In Vitro with Clinically Approved Antiviral Drugs
Tan et al, 2004
Mengapa Oseltamivir kurang poten terhadap Covid-19?
https://hungarytoday.hu/coronavirus-dangers-flu-doctor-medic/
Oseltamivir adalah inhibitor neuraminidase Pada virus influenza, terdapat neuraminidase yang menjadi target aksi oseltamivir dalam menghambat replikasi virus, sedangkan SARS-CoV2 tidak memiliki neuraminidase
DOSIS • Dosis yang dipakai pada terapi COVID-19 di Wuhan adalah 75 mg orally setiap 12 jam (Chen et al, 2020) • Dosis oseltamivir pada uji yg lain bervariasi, meliputi: • 300 mg/sehari, • 150 mg 2 x sehari; • 75 mg per oral 1-2 kali sehari, atau • 4–6 mg/kg peroral • Diberikan selama 5 hari
Remdesivir Merupakan analog nukleotida adenosin → berinkorporasi ke dalam rantai RNA virus menyebabkan penghambatan sintesis RNA virus Remdesivir adalah antiviral spektrum luas yang memiliki aktivitas terhadap coronavirus Sebelumnya telah diuji pada SARS, MERS, dan Ebola
Remdesivir menunjukkan aktivitas in vitro terhadap SARS-CoV-2 (Wang et al, 2020), SARS-CoV and MERS-CoV (Sheahan et al, 2020), dan aktif pada model binatang yang terinfeksi SARS and MERS; Data farmakokinetik diperoleh dari data untuk Ebola Uji klinik Remdesivir untuk Covid-19 telah dilakukan di beberapa negara dalam WHO Solidarity Trial Saat ini remdesivir (Veklury) dari Gilead mendapatkan Emergency Use Authorization (EUA) dari FDA untuk pasien suspek maupun konfirmasi Covid19 yang dirawat di RS, baik dewasa dan anak-anak
In vitro study ✓ EC90 value of remdesivir against 2019-nCoV in Vero E6 cells was 1.76 μM, suggesting its working concentration is likely to be achieved in non-human primate model
✓ Preliminary data showed that remdesivir also inhibited virus infection efficiently in a human
cell line (human liver cancer Huh-7 cells), which is sensitive to 2019-nCoV.2
✓ The EC90 value of chloroquine against the 2019nCoV in Vero E6 cells was 6.90 μM Wang et al, 2020; Cell Research vol. 30, p. 269–271(2020)
▪
The safety and efficacy of Veklury (remdesivir) for the treatment of COVID-19 are being evaluated in multiple ongoing clinical trials.
▪
Because Veklury (remdesivir) may help hospitalized patients, FDA is allowing this drug to be provided to hospitalized patients, irrespective of disease severity, under an expansion of the Emergency Use Authorization (UEA) issued on August 28, 2020.
▪
Under the EUA, health care providers and patients are provided with information about the risks of Veklury (remdesivir).
▪
However, a review of final data from clinical trials included in the New Drug Application (NDA) is necessary for us to determine whether the drug is safe and effective in treating COVID-19.
Avigan (Favipiravir) ➢ Favipiravir, atau Avigan,adalah antiviral yang bekerja menghambat sintesis RNA virus
➢ Pertama kali disetujui th 2004 di Jepang sebagai obat influenza yang tidak bisa diatasi dengan obat lain. ➢ Favipiravir juga menunjukkan aktivitas in vitro terhadap SARS-CoV-2 dengan IC50 67μM (agak tinggi) (Wang et al, 2020), dan membutuhkan loading dose sebesar 2400 mg sampai 3000 mg setiap 12 jam sebanyak 2 kali dosis, dilanjutkan dengan maintenance dose : 1200 mg to 1800 mg setiap 12 jam (Shiraki, et al, 2020)
➢ Pada February 2020, Favipiravir diteliti di China untuk terapi experimental pada COVID-19 → 17 Maret 2020, Pejabat China menyatakan bahwa obat ini cukup efektif untuk mengobati COVID di Wuhan dan Shenzhen. ➢ Pada Uji Klinik di Shenzhen, favipiravir digunakan sebagai obat tambahan pada interferon-alpha aerosol inhalation (5.000.000 units 2 kali sehari) → Menghasilkan pembersihan virus yang lebih cepat daripada kelompok lopinavir/ritonavir, dengan median 4 hari vs 11 hari, dan juga perbaikan paru (Cai, et al, 2020) * (artikel ditarik)
Target Favipiravir pada virus influenza
Furuta, et al, 2013)
AVIGAN (FAVIPIRAVIR) ▪ Favipiravir is an oral antiviral approved for the treatment of influenza in Japan. ▪ Japan has commenced with a phase 3 clinical trial.
▪ In the United States, a phase 2 trial will enroll approximately 50 patients with COVID-19, in
collaboration with Brigham and Women's Hospital, Massachusetts General Hospital, and the University of Massachusetts Medical School. ▪ In India, a phase 3 trial combining 2 antiviral agents, favipiravir and umifenovir, started in May
2020. ▪ The Drug Controller General of India granted Cipla accelerated approval to make and sell
favipiravir in an effort to meet the "urgent and unmet" need for COVID-19 treatment options in the country, the company said ▪ Cipla said it would launch favipiravir as “Ciplenza” in the first week of August, priced at 68
Indian rupees (91 cents) per 200 mg table
▪ Sebuah studi retrospektif pada 201 pasien COVID-19 di China menemukan bahwa pada mereka yang
mengalami ARDS, treatment dengan methylprednisolone berhubungan dengan pengurangan risiko kematian (23/50 [46%] vs 21/34 [62%] tanpa steroid; HR, 0.38 [95% CI,0.20-0.72]) (Wu et al, 2020), tetapi peneliti mengakui masih adanya bias dalam studi ini. ▪ Evidence yang telah ada adalah terapi kortikosteroid untuk infeksi virus terdahulu sbb (Russell, CD. et al. Lancet 2020;395(10223):473-475.):
AZITROMISIN ▪ Azitromisin adalah antibiotik makrolida yang sekaligus
memiliki efek antivirus dan imunomodulator, terutama pada saluran pernafasan. ▪ Pada COVID-19, azitromisin digunakan bersama
hidroksiklorokuin di Perancis dan menunjukkan hasil yang baik, walaupun masih perlu dibuktikan pada jumlah pasien yang lebih banyak. ▪ Kombinasi ini juga memunculkan concern terhadap
risiko peningkatan efek samping aritmia ventricular akibat interaksi tersebut. Perlu digunakan dengan hatihati dan pemantauan terhadap jantung ▪ Dosis : 500 mg 1 kali sehari selama 5 – 7 hari
▪ Sebuah uji klinik di UK (RECOVERY) menemukan fakta bahwa
deksametason 6 mg/hari mengurangi kematian sampai 1/3 pada pasien COVID-19 yg menggunakan ventilasi mekanis, dan sampai 1/5 pada pasien yang menggunakan oksigen, namun tidak berpengaruh pada pasien yang tidak menggunakan bantuan respirasi ▪ Deksametason diduga bermanfaat karena berefek anti-inflamasi dan
dapat menekan sintesis sitokin yang terlibat dalam “cytokine storms” yg dapat menyebabkan kematian ▪ Tidak bermanfaat untuk pencegahan maupun pengobatan pada
Covid-19 ringan karena memiliki efek sebagai imunosupresan dan tidak memiliki efek anti virus
Anticytokine: Tocilizumab (Actemra) ✓ Pada gejala Covid-19 yang parah, disebutkan terjadi “cytokine storms” yang melibatkan pelepasan sitokin besar-besaran, yang merusak jaringan paru-paru, salah satunya adalah interleukin-6 (IL-6)
✓ Tocilizumab adalah obat imunosupresan yang biasanya digunakan untuk rheumatoid artritis bekerja sebagai anti IL-6 ✓ Sebuah uji klinik pada 20 pasien COVID-19 dengan gejala berat yang menerima tocilizumab 400 mg menunjukkan perbaikan klinis pada 91 % pasien (Xu, et al, 2020). ✓ FDA saat ini menyetujui uji klinik fase III mengevaluasi efektivitas dan keamanan tocilizumab (Actemra) secara intravena plus terapi standar pada pasien dengan pneumonia COVID-19 yang parah.
▪ Basel, 29 July - Roche announced that the phase III COVACTA study of
Actemra®/RoActemra® (tocilizumab) did not meet its primary endpoint of improved clinical status in hospitalised adult patients with severe COVID-19 associated pneumonia. ▪ In addition, the key secondary endpoints, which included the difference in patient
mortality at week four, were not met; however, there was a positive trend in time to hospital discharge in patients treated with Actemra/RoActemra. ▪ The COVACTA study did not identify any new safety signals for Actemra/RoActemra.
Further analysis of the trial results is needed to fully understand the data. The results will be submitted for publication in a peer-reviewed journal. https://www.roche.com/investors/updates/inv-update-2020-07-29.htm
▪ Laporan pertama ttg terapi dengan plasma convalescent adalah dari China, dengan 5 org pasien
Covid-19 berat. Dari 5 pasien, 3 sembuh dan 2 dalam keadan stabil setelah menerima transfuse plasma (Shen, et al, 2020) ▪ Satu case series dari 3 orang pasien Covid di Wuhan China melaporkan keberhasilan pemberian
intravenous immunoglobulin pada dosis 0.3 to 0.5 g/kg/d for 5 days (Cao et al, 2020) ▪ Tanggal 13 April 2020, FDA mengeluarkan Recommendations for Investigational COVID-19
Convalescent Plasma, yang meliputi: ▪ pathways for use of investigational COVID-19 convalescent plasma ▪ patient eligibility ▪ collection of COVID-19 convalescent plasma, including donor eligibility and donor
qualifications ▪ labeling, and record keeping ▪ Tgl 23 Agustus 2020, FDA mengeluarkan ijin emergency use authorization (EUA) utk
Convalescent plasma untuk Covid 19
▪ Hingga saat ini, belum ada obat antivirus COVID-19 yang telah mendapatkan
persetujuan dari badan otoritas obat (BPOM, FDA, EMA, dll) sebagai obat Covid-19 ▪ Sebagian besar masih dalam uji klinik dan mendapatkan Emergency Use
Authorization (EUA) dengan pertimbangan kondisi darurat dan belum ada obat yang tersedia ▪ Ada kemungkinan dengan berkembangnya pengetahuan tentang virus SARS-
COV2 dan patofisiologi penyakit COVID-19, akan dikembangkan obat-obat lain dengan berbagai target dan mekanisme aksi lainnya
SEKIAN TERIMAKASIH SEMOGA BERMANFAAT