Allah Dan Umat-nya (4), Jabatan Raja Di Israel

  • Uploaded by: Duta April
  • 0
  • 0
  • February 2021
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Allah Dan Umat-nya (4), Jabatan Raja Di Israel as PDF for free.

More details

  • Words: 3,420
  • Pages: 45
Loading documents preview...
Allah dan Umat-Nya (4), Jabatan Raja di Israel

Dalam beberapa wilayah di TDK raja dianggap sebagai ilahi. Di Mesir, Firaun dianggap sebagai keturunan Ra, sehingga dia sendiri adalah ilah yang berinkarnasi; di Mesopotamia, raja adalah seorang yang dipilih dan ditinggikan oleh para dewa dan diberikan status ilahi dengan dikaitkan dengan seorang dewa yang mati dan bangkit pada festival tahun baru. Di tempat-tempat lain, sebagai contoh, di Asyur, raja dipandang sebagai perwakilan dari dewa yang memerintah.

Adalah pemilihan dan pemberian tugas oleh dewa (dewa-dewa) atas orang-orang atau negeri yang menyediakan dasar bagi otoritas dan kekuasaan raja. Raja adalah saluran bagi berkat ilahi yang dibutuhkan oleh orang-orang untuk hidup. Di Israel juga raja ditunjuk oleh Allah dan menikmati hubungan yang erat dengan Dia (meskipun ia tidak pernah dipandang sebagai ilahi) dan dipandang sebagai saluran berkat Allah bagi umat, yang termasuk kemakmuran materi.

Raja dalam TDK juga memiliki kekuasaan legislatif. Kitab undang-undang Mesopotamia dikaitkan dengan raja-raja; yang paling terkenal ialah kitab undang-undang Hammurabi. Di Israel, Allah adalah sang pemberi hukum, dan raja memiliki tanggungjawab baik untuk menegakkan maupun untuk memelihara hukum perjanjian (ul. 17:18-20; lih. Juga 2 Raj. 22-23; 2 Taw. 31:3; bdk. 2 Sam. 12:1-6; 14:4-8; I Raj. 3:16-28; 7:7).

Secara umum, jabatan raja bersifat turun temurun, dan pergantian kekuasaan seringkali, meskipun tidak harus, diturunkan kepada putera yang tertua. Di Mesir, Asyur dan Ugarit raja menunjuk seorang pewaris takhta dari antara putra-putranya. Di Israel juga, penunjukkan oleh raja adalah wajib (I Raj. 1:20, 27; 2 Taw. 21:3), dan ia tidak diwajibkan untuk memilih putra yang tertua dari putra-putranya (mis. I Raj. 1:17, 30).

A. Allah Sebagai Raja. Kerajaan di Israel adalah perkembangan yang relatif belakangan. Menyusul pendudukan, dan sebelum penunjukkan Saul sebagai raja pertama Israel, bangsa itu diperintah oleh beragam, umumnya lokal, pemimpin. Dari saat Keluaran dan seterusnya, Allah adalah raja Israel; bangsa itu adalah kerajaan-Nya (Kel. 19:6) dan segulla (Kel. 19:5; bdk. Ul. 4:20), sebuah istilah yang menunjukkan harta milik kepunyaan seorang raja.

Jabatan raja bagi Allah diberikan keutamaan khusus dalam apa yang disebut dengan ‘mazmur -mazmur penobatan’. Sebuah segi kunci dari beberapa mazmur ini adalah seruah Yhwh malak (Mzm. 93:1; 96:20; 97:1; 99:1; bdk. 47:2). Ini dapat diterjemahkan dengan TUHAN adalah raja (NRSV) atau TUHAN memerintah (NIV), mengindikasikan status yang terus berlangsung. Mowinckel lebih menyukai terjemahan “Yahweh telah menjadi raja”, menyiratkan bahwa Yahweh telah naik takhta. Dalam pandangannya mazmur-mazmur ini dikarang untuk suatu ‘festival penobatan’ tahunan, yang merupakan bagian dari hari raya Pondok Daun.

Pada akhir dari tahun pertanian, sebelum hujan musim semi, ketika tanah itu samasekali tanpa hasil bumi dan kekuatan-kekuatan kekacauan sekali lagi mengancam untuk melanda bumi, Yahweh tampil sebagai raja yang berkemenangan-untuk mengalahkan kekuatankekuatan kosmik tersebut, seperti yang telah Ia lakukan pada permulaan, dan untuk menciptakan bumi kembali untuk tahun yang akan datang. Menurut Mowinckel, festival itu merayakan ‘konflik kosmis, kemenangan, dan penobatan Yahweh’. PL, meskipun demikian, tidak menyebutnya sebagai suatu festival, mengindikasikan bahwa, meskipun ia ada, ia tidak memiliki keutamaan sebagaimana yang diberikan oleh Mowinckel.

Ada kemungkinan beberapa perayaan yang bersifat pemujaan atas Yahweh sebagai raja di Israel, meskipun tidak harus dalam bentuk yang dibayangkan oleh Mowinckel; satu kemungkinan ialah sebuah acara untuk memperingati pengangkutan Tabut ke Yerusalem. Mazmurmazmur penobatan menggambarkan Allah sebagai pencipta. Ia memerintah atas dunia karena Ia yang menjadikannya (Mzm. 93:1; 95:3-5; 96:5) dan seluruh tata ciptaan dihimbau untuk memuji Dia (mis. 96:1-4, 11-13; 98:4-9).

Mazmur-mazmur ini juga memiliki dimensi eskatologis, menunjuk ke depan ke kemenangan akhir Yahweh dan penyempurnaan dari pemerintahan-Nya atas seluruh bumi. Mereka merayakan pemerintahan Yahweh sebagai raja, dan pendeklamasian mereka dalam penyembah- an, entah sebagai bagian atau tidak dari festival tahunan, merupakan saat ketika umat Allah meninjau kembali perbuatanperbuatan-Nya yang heran, melihat diri mereka secara baru sebagai pewaris keselamatan-Nya,

mengakui pemerintahan-Nya sebagai raja atas seluruh dunia sebagai sebuah realitas masa kini ketika tindakan penyelamatan Allah di masa lalu suatu hari akan diteguhkan oleh kedatanganNya dengan kuasa, dan memperbarui pengabdian mereka terhadap-Nya: sebuah masa ketika tindakan penyelamatan Allah di masa lampau dan janji akan penyempurnaan pemerintahan-Nya di masa depan memperhadapkan sang penyembah dan menyerukan akan tanggapan di masa sekarang.

Disamping penekanan Mowinckel, gagasan tentang kemenangan Yahweh atas air kekacauan purba tidaklah menonjol dalam mazmur-mazmur penobatan, meskipun ada gema mengenainya dalam Mazmur 93:3-4. Sebagaimana telah dilihat sebelumnya, tema ini (lebih jelas dalam mis. Mzm. 74:12-17; 89:9-13; 104:5-9) meneguhkan kedaulatan Allah dan ketuhanan-Nya. Bukan hanya atas ciptaan dan alam namun juga atas musuh-musuh historis Israel. Penyejarahan dari mitos penciptaan terlihat dalam peristiwa-peristiwa keluaran, dimana air Laut Merah disamakan dengan air bah purba (mis. Mzm. 89:10; Yes. 51:9-10).

Pembelahan air bagi umat-Nya ketika mereka keluar dari Mesir lantas menandakan tindakan penciptaan melalui mana Yahweh mendirikan pemerintahan-Nya atas Israel (mis. Kel. 15:18; Mzm. 114). Poin terakhir ini menyoroti sebuah unsur dasar dalam pemahaman Israel atas pemerintahan Allah sebagai raja: bahwa sementara Tuhan diakui sebagai Tuhan atas segala bangsa di bumi karena Ia adalah pencipta mereka, ia adalah Raja atas Israel dalam suatu cara yang unik, melalui pemilihan ilahi, dan bahwa hubungan istimewa itu diuraikan dalam perjanjian.

B. Pelembagaan Monarki di Israel Israel didirikan sebagai sebuah negara teokratis. Allah adalah penguasa mutlak umat itu, dan mereka mempunyai HukumNya untuk membimbing mereka. Ini terlihat dalam tanggapan Gideon kepada mereka yang ingin menjadikan- nya raja:.... (Hak. 8:23). Namun demikian, pendudukan negeri itu membawa penurunan yang nyata dalam nilai-nilai moral dan spiritual dari bangsa itu. Allah mungkin adalah raja, namun umat itu, yang terserak di seluruh tanah itu, hanya sedikit atau tidak sama sekali menaruh perhatian kepada-Nya, dan tanpa perwakilan duniawi untuk menegakkan Hukum Taurat, hasilnya adalah ketergelinciran kepada anarki. Hal ini disimpulkan dalam keluhan yang berulang dalam hari-hari dimana di Israel tidak ada raja maka setiap orang melakukan apa yang dipandangnya benar (Hak. 17:6; 21:25; Lih. Juga 18:1; 19:1).

Juga ancaman-ancaman dari bangsa-bangsa lain menjadikannya makin perlu untuk sebuah otoritas pusat untuk mengkoordinasi pertahanan nasional. Selama periode hakim-hakim, peranan ini dipenuhi oleh para pemimpin yang karena kualitas kharismatiknya memampukan mereka untuk menyatukan suku-suku untuk menghadapi musuh bersama. Para pemimpin ini nampaknya dihargai juga dengan memelihara disiplin rohani (Hak. 2:1819), yang biasanya diakhiri, “maka hakim itu mati”. Ini menekankan sebuah isu penting dalam kitab hakim-hakim: kepemimpin- an yang benar.

Dibawah pemimpin yang benar maka umat berjalan di jalan-jalan Allah dan tanah itu mendapat damai. Tanpa kepemimpinan yang baik, umat berpaling dari Allah dan sebagai konsekuensinya, dikalahkan dan ditindas. Hakim yang terakhir, Samuel, memimpin umat itu dengan baik, namun seiring dengan semakin menuanya umurnya dan otoritasnya diturunkan kepada putraputranya yang tidak berjalan di jalan-jalannya (I Sam. 8:3), telah mungkin ada ketakutan bahwa lingkaran yang menyakitkan dari ketidaktaatan dan kekalahan akan dimulai lagi, yang membawa kepada teriakan tuntutan akan sistem baru pemerintahan nasional.

Pelembagaan monarki mewakili sebuah perubah- an signifikan dari tradisi-tradisi yang dihubung- kan dengan keluaran dan perjanjian Sinai. Dibawah sistem yang lebih tua, pemerintah lebih bersifat desentralisasi, berfokus pada komunitas -komunitas lokal ketimbang pada otoritas pusat. Tidak ada ketentaraan, dan ancaman dihadapi oleh pengerahan suku-suku. Hal ini berlangsung terus bahkan hingga awal-awal pemerintahan Saul (I Sam. 11:6-8). Namun demikian, sebagai- mana yang telah kita lihat, sistem tersebut telah berada dibawah kegentingan yang parah dalam periode hakim-hakim.

Kurangnya arahan pusat membawa kepada kekacauan spiritual dan moral, dan perkumpulan suku-suku secara tradisional untuk bertempur terjadi seringkali hanya setelah masalah tersebut menjadi serius. Dalam keadaan seperti itu adalah mudah untuk melihat bagaimana penunjukkan raja mungkin mencul sebagai suatu keniscayaan bagi baik kelangsungan politik maupun spiritual dari bangsa itu. Pada saat yang sama, ada resiko ketegangan antara administrasi pusat, dengan ketentaraannya dengan pelayanan masyarakat yang bertambah dan kemungkinan putusnya kontak dengan isu-isu serta kebutuhan lokal, serta tradisi yang lebih tua.

Ketegangan ini direfleksikan dalam riwayat PL, yang kelihatan gamang dengan pelembagaan monarki. Nampak bahwa I Sam. 8-12 meletakkan sudut-sudut pandang yang kontras secara sebelah menyebelah: I Sam. 8:1-22, 10:17-27 dan 12:1-25 biasanya dianggap sebagai berlawanan dengan penunjukkan raja, sementara I Samuel 9:1-10:16 dan 11:1-11 dianggap sebagai lebih positif. Monarki juga dipandang secara lebih positif dalam nas-nas yang mewakili perjanjian dengan Daud sebagai sebuah penggenapan dari janji Allah kepada Abraham (mis. Mzm. 72:17; 2 Sam. 7:12; bdk. Kej. 15:4), dan mereka yang memandang pemerintahan Daud sebagai sebuah pola dari Mesias yang akan datang.

Pembacaan yang teliti dari riwayat-riwayat yang berbeda dari penunjukkan Saul oleh Samuel menyingkapkan nuansa-nuansa yang berbeda. Dalam I Samuel 9:1-10:16 Saul menjumpai Samuel, yang mengurapinya menjadi raja, atau pemuka (nagid). Disini Samuel tidak nampak negatif terhadap Saul. Saul adalah pilihan Allah (9:17), diteguhkan oleh kehadiran Roh (10:9-12). Riwayat ini menghindari penggunaan istilah ‘raja’ (Melek), mengindikasikan bahwa peranan Saul tidak berarti merampas tempat Allah sebagai raja Israel.

Dalam I Samuel 10:17-25 Saul dipilih oleh undian; ketrlibatan ilahi dapat dianggap ada disana, namun tidak disebutkan oleh sang penulis. Dalam riwayat ini Samuel menuduh umat itu menolak Allah sebagai raja. Disini Saul digambarkan sebagai raja, menyiratkan bahwa kemungkinan ada konflik antara para penguasa duniawi dan ilahi, dan samuel ingin menjauhkan dirinya sendiri dari keputusan umat itu.

Pembacaan—pembacaan ini menyiratkan bahwa sebuah bagian penting dari masalah tersebut ada dalam pilihan istilah ‘raja’, dan sikap serta ekspektasi dari umat itu yang juga dihubungkan dengannya. Dari saat Keluaran tidak ada masalah dengan pendelegasian otoritas Allah kepada para pemimpin, dan Samuel tidak nampak menentang penunjukkan jenis pemimpin yang tepat. Namun demikian, umat itu tidak sekedar ingin seseorang untuk menjadi wakil Allah dan memimpin dalam jalan-jalan-Nya; permintaan mereka adalah supaya Samuel menunjuk seorang raja untuk memimpin kita-sama seperti yang dimiliki bangsa-bangsa lain (I Sam. 8:5; lih, juga 8:20).

Mereka ingin mengambil model raja mereka dari praktik bangsa-bangsa di sekitar mereka, termasuk perangkat rajani yang menyertainya, dan bagian dari kritik Samuel menunjukkan harga dari pergerakan semacam itu, khususnya pada penetapan ketentaraan (I Sam. 8:1118). Permintaan umat itu juga menyangkal apa yang terletak pada inti dari perjanjian Sinai: kekhasan mereka sebagai umat Allah sendiri. Mereka dipisahkan dari bangsa-bangsa, dengan Allah sebagai raja mereka, namun sekarang mereka ingin menjadi seperti orangorang lain. Dengan menolak pemerintahan teokratis mereka menolak Yahweh sebagai raja (I Sam. 8:7; 10:19).

Faktor ketiga disini adalah kurangnya kepercayaan umat itu kepada Allah (I Sam. 8:20). Mereka menginginkan seorang raja yang dapat dilihat pada kepala pasukan mereka, sebuah figur kepala yang mengesankan yang akan mengilhami keyakinan dalam umatnya sendiri dan memberikan rasa takjub dalam diri musuhnya. Sesuatu yang berhubungan dengan ini kemungkinan berada dalam keputusan fatal mereka untuk membawa Tabut Perjanjian di depan mereka dalam pertempuran (I Sam. 4:3-11), dan meskipun peristiwa-peristiwa yang menyusul memang sungguh-sungguh mendemonstrasikan kuasa Allah, umat itu nampaknya menginginkan sesuatu yang lebih terlihat dan nyata ketimbang yang dapat diberikan oleh hadirat Allah.

Riwayat dari pengangkatan Saul dalam I Samuel 9:1-10:16 adalah segaris dengan pola kepemimpinan dalam kitab Hakim-hakim. Kemenangan Saul atas bani Amon dalam I samuel 11 juga mengikuti pola awal tersebut. Ini menyiratkan kemungkinan dari sebuah model jabatan raja yang tidak seperti bangsa-bangsa sekeliling, yang menjaga kekhasan Israel dan tidak berkonflik dengan hubungan umat itu dengan Allah. Namun demikian, akar masalah dari dosa umat itu ada dalam membuat permintaan tetap ada. Hal ini disoroti dalam I Samuel 12.

Dalam apa yang nampak sebagai sebuah penyerahan kekuasaan resmi, Samuel memanggil umat itu untuk meneguhkan kejujuran dan integritas dari masa pelayanannya sendiri (I Sam. 12:1-5), sebelum dilanjutkan dengan menunjuk kan keberdosaan dari keputusan meminta seorang raja (ay. 6-17). Ini diikuti dengan pertobatan umat itu (ay.19) dan sebuah pernyataan ulang dari komitmen Allah (ay.22), lantas membuka kemungkinan untuk bergerak maju. Jika umat itu tetap berjalan di jalan Allah, mereka dan raja mereka masih dapat mengecap berkat-Nya (ay. 21-24).

Ada kemungkinan petunjuk akan kegelisahan Samuel atas situasi baru itu, dalam bahwa ia menyaran kan bahwa raja tidak akan berkontribusi apapun yang positif terhadap ini; namun demikian, ada, sekali lagi, saran tersirat bahwa tidak perlu ada konflik antara raja duniawi dan ilahi. Namun demikian, ada sebuah alternatif yang suram. Jika sang raja memilih untuk mengikuti jalannya sendiri, raja dan umat itu akan menghadapi penghukuman Allah (ay. 25). Ketegang -an ini nyata segera dalam ketidaktaatan dan sebagai akibatnya penolakan akan Saul, dan mengemuka lagi dalam hubungan antara raja dan wakil-wakil yang ditunjuk Allah, seperti nabi-nabi.

Sebuah koreksi terhadap penyalah gunaan kekuasaan rajani adalah “Hukum Raja’ dalam Ulangan 17:14-20, yang menekankan bahwa raja sendiri berada dibawah otoritas pemerintahan Allah. Karena ia begitu akurat merefleksikan perilaku dari raja-raja Israel, beberapa mengklaim bahwa ia muncul dari suatu masa ketika apa yang ia peringatkan telah menjadi suatu realitas yang tidak menyenangkan. Namun begitu, Musa pasti telah akrab dengan masalah pelembagaan monarki dari pengalamannya sendiri di Mesir dan dari contoh-contoh bangsa-bangsa lain, dan kemungkinan besar telah mengantisipasi bahaya dari sistem monarki di Israel. Kata-kata tersebut kemungkinan telah dihidupkan kembali oleh para reformator yang kemudian yang ingin untuk mengekang perbuatan yang keterlaluan dari raja dan untuk menekankan kewajiban untuk tunduk terhadap hukum perjanjian.

C. Perjanjian Allah dengan Daud Kita telah memperhatikan kaitan antara Ulangan 12:8, yang melihat penetapan dari tempat kudus terpusat sebagai obat penawar bagi kekacauan; dan Hakimhakim 17:6 dan 21:25, yang melihat pelembagaan monarki sebagai solusi terhadap masalah yang sama. Ada hubungan yang krusial antara hadirat Allah diantara umat-Nya dan pelembagaan dari raja duniawi, yang akan memerintah atas nama Allah sebagai perwakilanNya. Ini merefleksikan pandangan yang dipegang secara luas-dalam TDK bahwa raja merupakan penatalayan dari ilah, dan bahwa ada kaitan antara struktur politik dari negara dengan tatanan kosmik yang terletak dibelakangnya.

Pilihan Allah terhadap Daud memenuhi kebutuhan baik bagi sebuah perwakilan duniawi dan bagi tempat kudus terpusat. Daud memerintah atas nama Yahweh, sebagai gembala dari kawanan domba-Nya (mis. II Sam. 5:2; 7:7; Mzm. 78:52, 70-72; 79:13; 95; 100:3; Yes. 40:11). Dengan menaruh Tabut Perjanjian, sebagai lambang kehadiran Allah dan pemerintahan-Nya sebagai raja, di Yerusalem dan dengan membuat rencana bagi pembangunan Bait suci, yang akan menjadi ‘istana’ bagi raja ilahi (lih. Jug. II Sam. 7:2), Daud mendirikan kota itu sebagai titik tumpu dari penyembahan Israel dan tradisitradisi religius bangsa itu. Sebagai hasilnya, pemilihan Daud dikaitkan secara erat dengan pemilihan Yerusalem.

Sementara pemilihan akan Saul adalah serupa dengan pemilihan hakim-hakim terdahulu, pemilihan Daud dan para penerusnya menandai sebuah perubahan signifikan dari pemimpin kharismatik kepada monarki yang bersifat dinasti. Ini menerima pengesahan ilahi dalam 2 Samuel 7:8-17, dan meskipun perkataan berit tidak muncul, nas itu secara umum diambil untuk menandai penetapan dari hubungan perjanjian antara Allah dan rumah Daud. Melalui perjanjian ini Allah memberikan Daud jaminan bahwa keluarga dan kerajaannya akan dikokohkan untuk selama-lamanya (mis. 2 Sam. 7:13, 16; Mzm. 89:2-4, 28-29).

Sama seperti perjanjian dengan Abraham, perjanjian Daud adalah tidakbersyarat: meskipun dengan kegagalan dari pribadi dari kerajaan itu, dan bahkan kerajaan itu sendiri, janji ilahi tidak akan ditarik. Perjanjian ini lantas mengantisipasi raja mesias-dalam siapa raja yang ideal akan digenapi, dan melalui siapa kemuliaan Daud akan dipulihkan (Yes. 9:2-7; 11:1-9). Beberapa ‘mazmur rajani’ yang kemungkinan telah dikarang untuk merayakan naik takhtanya seorang raja tertentu dari ketrunan Daud, ditafsirkan kembali dalam konteks ibadah Israel dan akhirnya diberlakukan kepada pemimpin yang akan datang ini (mis. Mazm. 2).

Raja Israel tidaklah besifat ilahi, namun memiliki hubungan yang erat dengan Allah. Ia adalah orang yang diurapi Allah (Mzm. 2:2; 89:20; lih. Jug. I Sam. 24:5-7) dan dengan sendirinya diberkati dengan Roh Allah (I Sam. 16:13). Raja memerintah dalam kekuatan Allah (Mzm. 18:1, 21:1) dan menjalankan keadilan atas nama Dia (mzm. 72:1); ia bersandar pada pertolongan Allah dan perlindungan-Nya pada masa kesukaran (Mzm. 18; 20; 28:7); ia menikmati hadirat Allah (Mzm. 21:6; 61:7) dan dikelilingi oleh hesed-Nya (Mzm. 18:50; 21:7; 63:3; 89).

Pemilihan, pengurapan dan pendudukkan raja dilihat sebagai sebuah adopsi, melalui mana ia menjadi anak Allah (2 Sam. 7:14; Mzm. 2:7, 12; 89:26-27) dan masuk kedalam sebuah warisan yang mencakup jabatan raja atas seluruh dunia (Mzm. 2:8-9; bdk. 72:8-11). Jabatan raja yang bersifat universal ini merefleksikan fakta tentang pemerintahan Allah yang sekarang atas semua ciptaan, dan juga menunjuk ke depan kepada kedatangan kerajaan Allah, yang, dibawah pemerintahan mesias, akan menjangkau ujungujung bumi (Mi. 5:4; Za. 9:9-10).

Hubungan yang intim antara raja dan Yahweh dapat dilihat dalam keterlibatan raja dengan ibadah. Saul gagal untuk menyatukan monarki dangan kelembagaan yang lebih tua. Namun begitu, dibawah Daud, kaitan itu dibangun, dan pada saat-saat penting dalam kehidupan bagsa itu, raja terlihat menuntun umat itu dalam ibadah, termasuk mempersembahkan korban (2 sam. 6:13, 24:25; I Raj. 3:3-4; 8:62-63; 12:32-33; 2 Raj. 16:1-16). Dan mendoakan serta mengucapkan berkat Allah (I Raj. 8:14-66; 2 Raj. 19:14-19).

Dalam Mazmur 110:4 raja digambarkan sebagai seorang imam, dan ketika Tabut diboyong ke Yerusalem, Daud mempersembahkan korban sementara mengenakan jubah efod imam (2 Sam. 6:12-19). Aspekaspek dalam hal ini terlihat kemudian; namun demikian, adalah dalam pribadi Daud maka monarki yang ideal dikaitkan dengan pelembagaan keimaman menjadi semakin dekat untuk direalisasikan ketimbang siapapun dari para penerusnya.

Diterima secara luas bahwa ada hubungan yang erat antara perjanjian Daud dan perjanjian Abraham. Ada spekulasi mengenai bagaimana kedua tradisi tersebut mungkin telah mem- pengaruhi satu sama lain, namun nampaknya ada sedikit keraguan bahwa era keemasan dari sejarah Israel dibawah Daud dan Salomo dianggap sebagai sebuah penggenapan dari janji-janji yang dibuat dengan para bapa leluhur. Dibawah Daud, Israel bangkit di panggung dunia sebagai sebuah bangsa yang penting yang dimensi-dimensinya berhubungan erat dengan batasan-batasan yang dijanjikan Allah kepada Abraham (Kej. 15:18-21).

Sama seperti bapa leluhur, Daud juga dijanjikan nama yang besar (2 Sam. 7:9; bdk. Kej. 12:2). Raja keturunan Daud juga mewarisi janji yang dibuat kepada Abraham bahwa segala bangsa akan akan diberkati melalui dia, dan mereka akan menyebutnya berbahagia (Mzm. 72:17b; Kej. 12:3; 18:18). Melalui raja, berkat ilahi, subyek dari perjanjian Abraham, akan dianugerahkan atas Israel, dan melalui dia akan menjangkau kepada semua orang.

Kaitan lebih jauh nyata dalam bahasa yang serupa dengan yang dijanjikan Allah kepada Daud, seperti yang sebelumnya Ia berikan kepada Abraham, suatu keturunan yang akan datang dari dagingmu sendiri (2 Sam. 7:12; bdk. Kej. 15:4), menyiratkan bahwa janji Allah akan keturunan kepada bapa leluhur akan digenapi melalui Daud dan silsilahnya. Kelangsungan antara janji kepada Abraham dan Daud terlihat juga dalam Yeremia 33:22, dimana kata-kata Allah.... menggemakan Kejadian 22:17.

Ada ketegangan-ketegangan dalam PL antara perjanjian Daud dan Sinai. Meskipun demikian, sama seperti perjanjian sinai berkelanjutan dengan dan mewakili sebuah penggenapan sebagian dengan perjanjian Abraham, demikian juga dengan perjanjian dengan Daud, sebagaimana unsur-unsur penggenapan dari perjanjian Abraham, juga menggenapi dan berusaha untuk mempertahankan ideal dari perjanjian Sinai. Sebagaimana yang telah kita lihat, penetapan dari sebuah tempat kudus pusat (Ul..) sejajar dengan penetapan seorang raja (Hak. 17:6; 21:25) sebagai obat penawar bagi anarki.

Sebuah kaitan yang serupa jelas antara nas yang sama dalam Ulangan, ketika Allah menjanjikan keamanan dari semua musuhmu di sekelilingmu (Ul. 12:10), dan 2 Sam. 7:1, yang mengacu kepada Tuhan memberikan Daud keamanan dari semua musuhnya disekelilingnya. Dan, dengan mantap, setelah diberikan keamanan nari musuh-musuhnya, Daud meresponi dengan mengungkapkan hasrat untuk membangun sebuah tempat suci.

D. Raja dan Keadilan Dalam TDK raja bertanggungjawab bagi pelaksanaan keadilan. Ini dpandang sebagai penting untuk memelihara keselarasan dari tata ciptaan, dan menjamin bukan saja hubungan yang benar dalam masyarakat melainkan pula kemakmuran dari suatu bangsa. Gagasan tentang raja Israel sebagai penyokong keadilan terlihat dalam Mazmur 72:1-4.

Mazmur 72 menunjukkan peranan vital yang dimainkan oleh sang raja didalam kehidupan bagsa itu. Raja ber- gantung kepada Yahweh dan karena bawahannya adalah milik Yahweh (umat-Mu; ay. 2), raja dapat dipertanggung jawabkan dalam penggunaan yang benar dari kuasa rajani -nya. Menjalankan kebenaran dan keadilan termasuk memberikan perlindungan istimewa kepada anggota masyarakat yang lebih lemah, yang juga adalah milik Yahweh (....ay.2; lih. Juga ay. 12-14). Gagasan bahwa umat itu adalah milik Yahweh, dan raja menjalankan otoritas atas nama Yahweh, diungkapkan lebih jauh dalam peng- gambaran Israel sebagai kawanan domba Yahweh. Raja keturunan Daud dipanggil untuk menggembalakan umat Allah (2 Sam. 5:2; 7:7; Mzm. 78:71); untuk menyediakan bagi mereka (Yer. 3:15; Yeh. 34:2-3), untuk melindungi mereka (Yeh. 34:5) dan untuk memperhatikan mereka yang membutuhkan (Yeh. 34:4).

Kita juga melihat sebuah hubungan antara keadilan dan kemakmuran (salom, Mzm. 72:2-3). Salom seringkali diterjemahkan sebagai ‘kedamaian’, namun mengacu kepada segala bentuk kesejahteraan. Disini kesejahteraan spiritual, moral, sosial dan material yang bersumber dari pemerintahan seorang raja yang adil dan benar yang memerintah atas nama Allah. Perilaku lurus dari raja membawa berkat-dan bahkan memampukan bulir gandum untuk tumbuh ber -kembang (ay. 16). Ini menyusul dari kaitan antara struktur politik dan kosmik, dan gagasan bahwa keselarasan dari tata ciptaan bergantung pada raja yang memenuhi tanggungjawab hukumnya. Dan, sebagaimana yang telah kita lihat, dalam antisipasi akan kerajaan yang mendunia, berkat yang dihubungkan dengan raja keturunan Daud juga menjangkau bangsa-bangsa lain (Mzm. 72:17).

Dimensi kosmik dari keadilan juga terlihat dalam Mazmur 82, dimana kegagalan dari perwakilan yang ditunjuk Allah untuk menegakkan keadilan berarti bahwa dasar-dasar bumi akan berguncang (ay. 5). Kepentingan dari fungsi yudisial raja terlihat juga dalam Yeremia 22:2-5, dimana pelaksanaan yang patut dari keadilan adalah kondisi yang wajib bagi keberlanjutan monarki Daud. Secara mantap, sebuah fungsi utama dari raja keturunan Daud yang ideal adalah untuk mendirikan dan memelihara kebenaran dan keadilan yang sejati (Yes. 11:3-5; 16:5; Yer. 23:5-6).

Related Documents


More Documents from "mohd rozani"