Jurnal Tugas Kualitatif Bu Tari

  • Uploaded by: Faiz Rabbani
  • 0
  • 0
  • August 2022
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Jurnal Tugas Kualitatif Bu Tari as PDF for free.

More details

  • Words: 3,915
  • Pages: 14
Loading documents preview...
Berpikir Positif pada individu yang Mengalami Quarter Life Crisis Ghananda Prabendra Dibsi & Faiz Rabbani Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta Abstract; Students graduating from their lectures will continue them to a new life. The demands of people around to work, get married, etc put pressure on them. To overcome the pressures and challenges that make doubts in life, positive thinking is needed for each individual. This research intends to know about positive thinking at quarter life crisis. This research uses a phenomenological qualitative research method. Participants in this study were 4 people who had just graduated from college (new graduates) and were completing the quarter of life crisis from various different universities in various study programs in Surakarta, aged 22-30 years. The data collection technique used was interviewing individuals who had a quarter life crisis. The result is Individuals who are refining QLC, not all of them have a negative mindset. On the other hand, positive thinking also exists in their minds. Each who solves QLC also has hopes of achieving his success, respectively, with environmental problems and personal problems. Keywords: Positive thinking, Emerging adulthood, Quarter-life crisis

Abstrak; Kelulusan mahasiswa dari bangku perkuliahannya yang akan melanjutkan mereka ke tahap kehidupan baru. Tuntutan orang – orang disekitar untuk bekerja, menikah, dan lain – lain memberikan tekanan pada mereka. Untuk mengatasi tekanan dan pemikiran yang membuat bimbang dalam hidup, diperlukannya pemikiran positif pada tiap individu. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pemikiran positif pada individu yang mengalami quarter-life crisis. Penelitian ini menggunakan metode penelitian Kualitatif fenomenologis. Partisipan pada penelitian ini adalah 4 orang yang baru saja lulus dari bangku perkuliahan (fresh graduate) dan sedang mengalami quarter life crisis dari berbagai lulusan universitas yang berbeda-beda dari berbagai program studi yang ada di Surakarta dengan usia 22-30 tahun. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara pada individu yang mengalami Quarter-life crisis. Hasilnya Individu yang sedang mengalami QLC sangat berkaitan dengan pola pikir mereka. Tidak semua dari mereka memiliki pola pikir yang negatif. Di sisi lain, pemikiran positif juga ada dalam pikiran mereka. Individu yang mengalami QLC juga memiliki harapan untuk mencapai kesuksesannya masing – masing, meskipun disulitkan dengan tuntutan lingkungan dan permasalahan pribadinya. Kata kunci: Berpikir positif, Emerging adulthood, Quarter-life crisis

PENDAHULUAN Pada masa remaja sebagai masa peralihan antara masa anak-anak menuju dewasa, individu diharapkan sudah mampu berpikir lebih abstrak, bersikap mandiri dan bertanggung jawab (Papalia & Olds, 2001). Akan tetapi seiring dengan berakhirnya batas waktu individu menjalani masa remajanya, tuntutan dan tekanan dari lingkungan justru bertambah besar karena individu akan memasuki tahap perkembangan dewasa yang lebih kompleks. Reaksi yang muncul dalam menyambut masa dewasa ini bermacam-macam. Ada individu yang merasa senang dan antusias, namun ada juga yang merasa cemas dan takut karena merasa tidak memiliki bekal atau persiapan yang cukup. Kondisi dimana reaksi yang berbeda-beda tersebut mulai bermunculan merupakan suatu fase tersendiri yang dilewati oleh semua individu di penghujung masa remajanya dan bukan lagi sekedar masa transisi singkat semata. Fase tersebut dikenal dengan istilah emerging adulthood. Istilah emerging adulthood dicetuskan pertama kali oleh Arnett (2001) dengan kisaran usia mulai dari 18 tahun hingga 29 tahun. Pada masa ini individu memperoleh banyak tuntutan dari lingkungan, baik dalam hal keterampilan tertentu hingga kematangan seiring dengan dimulainya masa transisi menuju masa dewasa. Masa-masa dependen di fase anak-anak

dan remaja telah berlalu, namun di sisi lain belum adanya kemampuan untuk mengemban tanggungjawab sebagai orang dewasa membuat individu menjadi lebih mengeksplorasi diri dalam aspek pekerjaan, percintaan dan pandangannya terhadap dunia itu sendiri. Eksplorasi terhadap identitas diri juga memberikan kontribusi dalam menjadikan fase emerging adulthood sebagai fase ketidakstabilan, karena dalam usahanya mengeksplorasi diri, individu sering mengalami perubahan baik itu dalam hal percintaan, pendidikan hingga pekerjaan, lebih banyak dibandingkan dengan tahapan perkembangan lainnya. (Tanner et al, 2008). Pada masa emerging adulthood, individu juga mulai menyadari bahwa mereka memiliki perbedaan pendapat, nilai dan tidak lagi berada di zaman yang sama dengan para orangtua. Akibatnya, mereka akan cenderung bersikap ambivalen untuk menutupi kebingungan dalam menghadapi periode transisi dari masa anak-anak ke masa dewasa. Hal ini disebabkan norma-norma masa anak-anak sudah tidak bisa lagi diterapkan kepada mereka namun di sisi lain norma orang dewasa belum dapat diaplikasikan sepenuhnya (Atwood & Scholtz, 2008). Meskipun emerging adulthood dimaknai secara positif, ketidakstabilan masih menjadi sumber stres dan kecemasan tersendiri. Hal ini disebabkan karena pada dasarnya individu sudah tidak mau lagi dianggap

sebagai anak-anak namun merasa belum pantas dinilai sebagai orang yang sudah dewasa (Tanner et al, 2008). Tidak semua individu mampu mengatasi tantangan-tantangan dalam tahap emerging adulthood. Beberapa diantaranya akan mengalami kebingungan, mencoba mengatasinya dan bila berhasil akan melanjutkan hidupnya. Sementara itu, beberapa lainnya sangat mungkin mengalami masa yang berat dan membutuhkan terapi untuk membantunya menangani dan mencari solusi atas masalahnya. Bentuk krisis emosional yang terjadi pada individu di usia 20-an tahun mencakup perasaan tak berdaya, terisolasi, ragu akan kemampuan diri sendiri dan takut akan kegagalan. Kondisi ini dikenal dengan istilah quarter-life crisis (Atwood dan Scholtz, 2008). Robbins dan Wilner (2001, dalam Black, 2004) secara umum menjelaskan istilah quarter-life crisis sebagai suatu reaksi yang intens dari individu yang baru saja meninggalkan rasa ‘nyaman’ yang ia peroleh dari pendidikan tinggi yang dijalani dan harus menghadapi realita sesungguhnya dimana didalamnya terdapat ketidakstabilan, perubahan yang terus menerus terjadi, alternatif pilihan yang terlalu banyak serta kepanikan karena perasaan tidak berdaya. Quarter-life crisis juga dialami pada rentang usia yang sama dengan emerging adulthood, yakni antara 18 sampai 29 tahun, dengan onset terjadi

setelah individu menyelesaikan perkuliahan, yang ditandai dengan munculnya reaksi-reaksi emosi seperti frustrasi, panik, tidak berdaya, tidak memiliki tujuan dan sebagainya. Depresi dan gangguan psikologis lainnya juga termasuk ke dalam krisis ini. Beberapa gangguan psikologis yang dialami oleh individu pada tahap emerging adulthood ini meliputi gangguan cemas, gangguan alam perasaan, gangguan ketergantungan zat, gangguan pengendalian impuls hingga gangguan kepribadian. Sumber-sumber ketidakbahagiaan serta kecemasan berkisar pada masalah pekerjaan, relasi interpersonal, finansial, dan karakteristik personal lainnya. (Tanner et al, 2008). Penelitian Mirowsky dan Ross (1999, dalam Tanner et al, 2008) mencoba membandingkan antara emerging adulthood dengan tahapan perkembangan selanjutnya. Hasilnya ditemukan bahwa tingkat terjadinya depresi lebih tinggi dialami di usia 20an tahun daripada di rentang usia lainnya, yang salah satunya disebabkan adanya masalah hubungan interpersonal sebagai isu utama yang dijadikan alasan untuk mencari bantuan profesional. Pada masa kini, quarterlife crisis lebih banyak dialami oleh perempuan karena adanya pergeseran tuntutan dari sekedar menikah dan membangun keluarga menjadi sekaligus adanya

pencapaian dalam karier, kemandirian secara finansial, membangun kehidupan sosial yang aktif serta tahu apa yang diinginkan (Dickerson, 2004). Faktor-faktor tersebut di masa lalu hanya menjadi tuntutan bagi kaum pria saja. Ibrahim dan Hassan (2009) menjelaskan fenomena di negaranegara Muslim di Asia Tenggara seperti Malaysia dan Indonesia, dimana terjadi pergeseran usia pernikahan menjadi semakin tua pada perempuan karena adanya penundaan yang disebabkan keterlibatan perempuan dalam karier dan pendidikan lanjut. Di sisi lain, budaya Timur dan normanorma tradisional khususnya dalam relasi interpersonal tersebut masih cukup banyak ditemui di sebagian besar masyarakat Indonesia. Kondisi ini dapat menjadi salah satu pemicu munculnya quarterlife crisis di Indonesia, terutama kota-kota besar seperti Jakarta. Sepertt dalam Michael (2019) diketahui bahwa semakin tinggi harga diri seseorang maka semakin tinggi pula tingkat pemilihan pasangan pada individu yang mengalami quarter life crisis di indonesia. Norma budaya, lingkungan keluarga dan pertemanan secara langsung maupun tidak langsung memberikan tekanan khususnya kepada kaum perempuan untuk menikah karena adanya tenggat waktu usia. Menurut Arnett (2004), individu di negara Asia atau warga Amerika keturunan Asia masih memperoleh tuntutan yang besar dari pihak keluarga, khususnya orangtua, untuk menikah

sebelum memasuki usia 30 tahun. Hal ini disebabkan budaya dan nilai-nilai yang dianut bangsa Asia lebih bersifat kolektivistik karena ada kebutuhan untuk meneruskan garis keturunan dan mempertimbangkan tanggapan yang akan diperoleh dari lingkungan. Nilai mengenai perbedaan peran gender juga ikut memberikan tekanan tersendiri bagi individu. Sebagai negara patriarkhi, budaya di Indonesia masih menganggap bahwa pernikahan adalah pencapaian utama yang harus diraih oleh setiap individu, khususnya perempuan apabila sebelum usia 30 tahun mereka belum menikah. Arnett (2004) menegaskan bahwa individu pada masa emerging adulthood pada dasarnya memiliki alasan tersendiri dibalik keputusannya untuk menunda pernikahan, misalnya karena belum puas mencapai karier yang diinginkan, kriteria pasangan yang belum sesuai dengan standar pribadi, hingga target-target lainnya. Namun alasan ini kerap digoyahkan oleh perspektif biologis dari budaya yang ada di sekitar mereka, contohnya resiko sulitnya memiliki anak karena faktor usia. Bagi perempuan, anggapan yang muncul adalah semakin tua usia maka semakin sedikit pria yang akan tertarik karena mereka akan memilih perempuan yang usianya lebih muda. Perasaan kuatir, bingung dan rasa takut yang dirasakan oleh individu yang mengalami quarter-life crisis juga menyangkut gambaran-gambaran akan masa depan mereka, misalnya

pengambilan keputusan yang salah dalam hal pemilihan pasangan hingga ancaman perceraian. Hal ini disebabkan karena individu menginginkan segala sesuatu yang ideal, baik dalam hal pekerjaan, pernikahan serta hal-hal lainnya di masa depan. Selain masalah pernikahan, quarterlife crisis juga dilatarbelakangi oleh tuntutan untuk menjadi dewasa yang ditandai dengan dimulainya individu memasuki dunia pekerjaan secara penuh yang berarti juga keharusan untuk memiliki penghasilan sendiri serta adanya kesempatan untuk melanjutkan pendidikan ke taraf yang lebih tinggi setelah lepas dari dunia perkuliahan, dengan berbagai macam permasalahan yang dialami pada saat quarter life crisis. Menimbulkan ketakutan pada dirinya sendiri. (Aronson, 2008). Ketakutan berlebihan bisa berakar dari bayangan dan pikiran negatif yang selama ini Anda biarkan terus meneror diri. Meyakini semua akan baik-baik saja dan membayangkan hal-hal positif yang dapat terjadi ketika melewati hal yang ditakutkan dapat membuat lebih kebal terhadap tekanan yang dialami ketika rasa takut. Fritscher (2017). Berpikir merupakan aktivitas kerja akal seseorang untuk menghasilkan pemikiran. Pemikiran tersebut dapat berupa positif atau negatif. Pemikiran yang positif diarahkan kepada kebiasaan pemecahan masalah. Berpikir positif

merupakan sikap mental yang melibatkan proses memasukan pikiran pikiran, kata-kata, dan gambarangambaran yang konstruktif (membangun) bagi perkembangan pikiran anda. Pikiran positif menghadirkan kebahagiaan, sukacita, kesehatan, serta kesuksesan dalam setiap situasi dan tindakan anda. Apapun yang pikiran anda harapkan, pikiran positif akan mewujudkannya. Sedangkan pemikiran negatif hanya berusaha menghindar dari pemecahan masalah. Dalam kehidupannya seharihari, manusia selalu menggunakan daya pikirnya untuk memecahkan masalahmasalah yang mereka hadapi. Akan tetapi, banyak manusia yang menyalahgunakan kemampuan berpikir yang dimilikinya. Manusia seringkali berpikir negatif terhadap dirinya, orang lain, maupun permasalahan yang sedang dihadapinya. Hal inilah yang membuat dirinya merasa tertekan, cemas, takut dan tidak nyaman dalam hidupnya. Sebagaimana dikemukakan oleh Greenberg dan Christine A. Padesky (2004) bahwa ”pemikiran menentukan suasana hati, mempengaruhi perilaku, serta mempengaruhi respon biologis individu”. Padahal, manusia dapat hidup lebih baik jika mereka mengembangkan 3 kemampuan berpikir positif. Dengan berpikir positif, manusia akan lebih merasa tenang, nyaman, serta optimis dalam hidupnya. Menurut Albrecth (2003) “berpikir positif adalah kemampuan

seseorang untuk memfokuskan perhatian kepada sisi positif dari suatu hal dan menggunakan bahasa positif untuk membentuk dan mengungkapkan pikiran”. Sedangkan menurut Ubaedy (2008) berpikir positif adalah upaya kita untuk mengisi pikiran dengan muatan yang positif yaitu berbagai bentuk pemikiran yang benar (tidak melanggar norma), baik (bagi kita, orang lain, dan lingkungan), dan bermanfaat (menghasilkan sesuatu yang berguna). Kemudian, dengan pemikiran yang positif akan mendorong untuk melakukan hal-hal yang positif, antara lain merealisasikan tujuantujuan positif atau target-target positif, mengembangkan berbagai potensi yang kita miliki (bakat, pengetahuan, pengalaman, karakter) dan untuk menyelesaikan masalah atau persoalan yang muncul dengan cara positif, kreatif dan konstruktif. Selain itu, berpikir positif juga terkait dengan kemampuan untuk meminimalisir pikiran-pikiran negatif yang muncul. Dengan demikian, berpikir positif adalah satu hal yang sangat penting dalam kehidupan individu. Berpikir positif bukanlah sekedar gaya hidup yang akan dengan mudahnya diganti dengan gaya hidup yang baru. Tetapi seharusnya menjadi sebuah kebiasaan hidup setiap individu. Berpikir positif akan mampu menghasilkan perasaan yang positif sehingga menimbulkan perilaku yang positif pula. Sebaliknya, pikiran yang negatif akan menghasilkan perasaan dan perilaku yang negatif..

Dengan berpikir positif maka akan membentuk kepribadian yang baik, menambah kreativitas, menciptakan hubungan yang sehat antar individu, serta meningkatkan kesehatan jasmani dan rohani. Seseorang yang berpikir positif akan tercermin pada perilakunya dalam kehidupan sehari-hari. Menurut Ubaedy (2008) ciri-ciri umum orang yang berpikir positif antara lain: merasa bahagia dengan dirinya, memiliki kesimpulan positif terhadap dirinya, memiliki kepercayaan yang bagus terhadap kemampuannya, mampu membina hubungan positif dengan orang lain , mampu membina hubungan yang harmonis dengan kenyataan. Dalam hal ini, pada individu yang menginjak masa emerging adulthood atau dewasa awal, dengan usia kisaran 18 – 29 tahun yang sedang mengalami quarter life crisis, cenderung berpikir negatif. Di lain sisi, apabila individu emerging adulthood ini mampu mengeluarkan pemikiran – pemikiran positifnya, dapat kemungkinan membantu mereka keluar dari masa quarter life crisis ini. METODE Ditinjau dari jenis datanya pendekatan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif Fenomenologis. Creswell (2016), menjelaskan tentang pendekatan fenomenologis sebagai pendekatan yang berusaha mencari

esensi atau makna terhadap suatu fenomena. Partisipan didalam penelitian ini adalah individu yang berusia 20-30 tahun yang freshgraduate, merasa cemas dengan masa depan, sedang mencari pekerjaan dan diminta untuk segera menikah, teknik pengumpulan Partisipan dengan cara Purposive Sampling. Infor man Inisia l Usia (tahu n) Jenis Kela min Pendi dikan terak hir Asal

1

2

3

4

I

F

E

L

24

23

21

23

Laki -laki

Laki- Pere laki mpua n S1 S1 D3 Psik Huku Bidan ologi m Sura karta -

Peker jaan Status Belu m Men ikah

Laki -laki

dilakukan oleh teman sejawat Prosedur pengumpulan data diawali dengan mengajukan sejumlah pertanyaan wawancara (Ing: interview schedule) kepada tiap-tiap subjek. Pertanyaan yang diajukan bersifat terbuka karena tujuannya adalah untuk mengeksplorasi jawaban-jawaban subjek. Peneliti dalam menentukan partisipan atau subjek penelitian dengan cara purposif.

HASIL DAN PEMBAHASAN Dari hasil penelitian ditemuan 4 tema dan 19 sub tema TEMA Harapan yang positif

S1 DK V

Suko harjo -

Boyol Bog ali or -

Belu m Meni kah

Belu m Meni kah

Belu m Men ikah

Data hasil wawancara selanjutnya dianalisis menggunakan metode teknik analisis isi (Content Analysis) dapat membuat inferensiinferensi yang dapat ditiru (replicabel) dan sahih data dengan memperhatikan konteksnya (Bungin, 2015). Keabsahan data menggunakan peer review yang

Afirmasi diri

Pernyataan yang tidak menilai

Penyesuaian diri yang realistis

SUB TEMA Harapan Tindakan Pengaruh Harapan Perasaan Dukungan orang terdekat Prestasi Kelebihan Manfaat kelebihan Perasaan Produktifitas Subjek Tindakan Rencana Pengalaman buruk Verbalisasi subjek Pengalaman buruk Sikap Usaha Perasaan Usaha

Tema I (harapan yang positif)

Tema 2 (Afirmasi Diri)

Dari hasil temuan diatas, Keempat subjek sama-sama memiliki Harapan positif yang berbeda-beda untuk masa depan mereka. Hal ini ditunjukkan dengan adanya cita-cita dan langkah-langkah mereka untuk mencapai harapan mereka. “Oh ya langkah langkah nya mungkin eee yang mungkin sudah saya lakukan ya mas mungkin saya lebih mungkin lebih apa ya memperbanyak membaca lagi misalkan membaca eee ya membaca apa saja terus teratur berlatih mungkin karena sebelum masuk kan ada tes tes gitu kan ya mas itu melatih soal soal tes tes kaya gitu terus sama sharing sharing berdoa sering sodakoh terus ya kalo bisa puasa senin kamis...” Selain itu keempat subjek sama-sama mendapatkan dukungan dari orang tua mereka. “...eee ya didukung lah sama orang tua ya itu dengan motivasi motivasi mungkin saya ngga tau mungkin orang tua ya doakan lah sebagai anak ya mesti orang tua selalu mendukung selalu mendoakan.” Yang ditunjukkan dengan pernyataan mereka yang menyatakan bahwa dukungan orang tua merupakan salah satu motivasi bagi mereka. Saat harapan/impian mereka tidak tercapai, subjek I dan E menghadapinya dengan lapang dada dan akan berusaha lebih keras (KUTIPAN WAWANCARA), sedangkan subjek L dan F merasa kecewa, putus asa dan mengganti harapan yang pernah impikan (KUTIPAN WAWANCARA).

Keempat subjek juga menceritakan prestasi-prestasi yang pernah mereka capai hingga kini, dengan prestasi subjek yang berbedabeda. Hal ini menunjukan bahwa mereka merasa bangga dan percaya diri pada kelebihan diri masing-masing. Kelebihan pada diri masingmasing subjek, membawa diri mereka pada level kehidupan yang berbedabeda dengan teman-temannya. Saat melihat temannya lebih sukses darinya, subjek I dan F merasa sedih sekaligus senang dikarena belum mampu mencapai level kesuksesan temannya tersebut, tetapi ia juga merasa senang dengan adanya teman yang sukses. ”Kalo melihat temen sukses gitu ya mungkin ada perasaan senang ada perasaan sedih...”. Hal ini menunjukan adanya dukungan kepada temannya. Sedangkan pada subjek L merasa iri dengan adanya teman yang lebih sukses dibandingkan dirinya. “Wahh sialan, nii orang udah lulus duluan daripada gua”. Hal ini menunjukkan kata-kata kotor yang terlontar darinya ketika melihat temannya sukses. Selain itu pada subjek E justru ia merasa tertantang untuk lebih berusaha lebih keras ketika mendapati temannya sukses dibidangnya, “yaa cuman ngrasa gimana yaa mas, dia aja bisa masak siih aku masih koyo ngenengene wae, aku mestine bisa” dee wee wis isoh mosok sih aku gak isoh...” hal

ini menunjukkan adanya keinginannya untuk maju. Semua subjek pernah mengalami kejadian buruk khususnya dari orang lain yang sering kali membuat mereka merasa patah semangat dan menyerah, namun mereka memiliki cara yang berbeda untuk menguatkan dirinya. Seperti pada subjek E dan F dengan memberikan kata-kata positif pada diri mereka sendiri, hal ini ditunjukkan dengan “...Ayoo koe kii isoh ko kii mesti isoh wis tho iso isoo“. Selain itu pada subjek L dan I, keduanya memberikan katakata yang negatif untuk menguatkan diri mereka sendiri, seperti dengan berkata-kata kasar kepada diri mereka sendiri, orang lain serta termasuk keadaan yang sedang mereka alami. Keempat subjek memiliki pengalaman pahit berbeda-beda yang membuat mereka merasa sedih. Seperti pada subjek E yang menyatakan “Yaa dibohongin oleh orang-orang sekitar, lingkungan...”). Subjek E merasa kecewa dan patah semangat ketika dibohongi oleh beberapa teman dilingkungannya dan pernah dianggap tidak berguna oleh orang tuanya, lalu Subjek I pernah diputuskan oleh pacarnya dan tidak dianggap oleh dosen hingga sedih dan kecewa hingga sempat tidak bernafsu makan “Ya itu eee pas apa ya eee itu mas eee di kecewain sama seorang wanita”, lalu subjek L mengatakan “...sangat trauma mas bahkan saat itu saya sampai-

sampai berdiam diri dikamar dan males banget keluar kamar mas, ogah...”, dia merasa sedih dan putus asa hingga mengurung diri dikamar selama beberapa hari karena pernah dibully dari SMP hingga SMA, dan Subjek F pernah mabuk dan bertengkar di suatu klub malam yang membuatnya merasa menyesal hingga merasa sungkan untuk pergi keluar malam yang ditunjukkan dari “...pernah berantem di suatu bar minuman gitu, dengan saya kondisi saya mabuk bertengkarlah saya dengan temen saya sendiri yaahh jadine terjadilah baku hantam...”. Hampir semua subjek memiliki kesamaan permasalahan yang sedang dialami. Pada subjek I, L dan K samasama sedang mencari pekerjaan dan dikejar umur “Yaa mencari pekerjaan ini mas”. Hanya saja pada subjek I sering kali merasa kurang percaya diri ketika dirinya dihadapkan kepada orang lain. Selain itu pada subjek F, merasa tertekan dengan adanya desakan dari pacarnya untuk segera menikahinya “... males banget gua mas disisi lain dikode-kode nikah sama pacar, padahal kerja aja masih nyari nii, yaa kalo kaya gitu mending gua diemin aja, kesel, cepek ndengerinnya, rasanya pengen segera pergi aja dari tempat itu.” DISKUSI Hasil penelitian ini selaras dengan penelitian dari Habibie, dkk (2019) yang berjudul Peran Religiusitas terhadap Quarter-Life Crisis (QLC)

pada Mahasiswa, menyatakan bahwa religiusitas berperan secara signifikan terhadap quarter-life crisis pada mahasiswa. Dikarenakan didalam religiusitas sendiri terdapat aspek pemikiran yang positif. Dengan adanya pemikiran yang positif ini maka partisipanpun dapat mengatasi permasalahan-pemasalahan QLC yang mereka hadapi.

KESIMPULAN DAN SARAN Individu yang sedang mengalami QLC sangat berkaitan dengan pola pikir mereka. Tidak semua dari mereka memiliki pola pikir yang negatif. Di sisi lain, pemikiran positif juga ada dalam pikiran mereka. Individu yang mengalami QLC juga memiliki harapan untuk mencapai kesuksesannya masing – masing. Diombang – ambing dengan tekanan dari keluarga, teman, dan lingkungan sekitar yang memberikan dampak pada hidup mereka. Hal ini tidak menyurutkan harapan akan bagaimana mereka untuk kedepannya. Proses menghadapi luka dan pengalaman pahit yang pernah dialami tidak mudah. Butuh dukungan lebih dari orang tua, teman dan khususnya diri sendiri untuk selalu bangkit. Dengan adanya dukungan dari orang terdekat dan berpikir positif akan dirinya sendiri, individu yang sedang mengalami QLC akan lebih percaya diri, dan mampu menjalani aktivitas kesehariannya dengan baik. Proses penerimaan diri

yang dilakukan oleh mereka, menunjukkan bahwa mereka sadar akan apa yang sedang mereka alami. Bingung mencari pekerjaan, tuntutan dan kekangan dari orang tua, tuntutan dari pacar untuk segera menikah, dan beban pikiran yang dipikul oleh individu yang mengalami QLC membuat mereka berpikiran negatif pula. Selanjutnya mereka mengubah pemikiran tersebut menjadi pemikiran yang positif untuk menghadapi problema – problema yang mereka alami.

KELEBIHN AN KEKURANGAN Untuk penelitian selanjutnya dapat dilakukan intervensi pada partisipan untuk mengetahui pengaruh Pikiran positif pada QLC Subjek yang sedikit sehingga tdak mendapatkan sudut pandang yang lebih DAFTAR PUSTAKA Arnett, J.J. (2004). Emerging Adulthood : The Winding Road From the Late Teens Through the Twenties. New York : Oxford University Press. Atwood, J., Scholtz, C. (2008). The Quarter-life Time Period : An Age of

Indulgence, Both?.

Crisis or

Journal

Contemporary

of

Family

Therapy, 30, 233-250 Black,

and

Theses

(PQDT)

UMI 3323041 Dickerson, V.C (2004). Young Women Strunggling for

“Halfway

an Identity. Journal of

Between Somewhere and

Family Process, Proquest

Nothing”

:

Vol.43; 3 : pg. 337

Exploration

of

A.

(2010).

An The

Quarter-Life Crisis and Life Satisfaction Among Graduate

Students.

Thesis for Master of

Fischer, K, (2008). Ramen Noodles, Rent and Resumes : An After-College Guide to Life California : SuperCollege LLC.

Education, University of Arkansas.

Proquest

Fritscher, L. 2017. The Psychology

Dissertations and Theses

of Fear. Journal of

(PQDT) UMI 1484631

Psychology. New York.

Carman, M.J (2008). Exploration

Gallo, E., Gallo, J .(2011). How 18

of The Dimensions of

Become 26 : The Changing

Emerging

Concept of Adulthood.

Adults’ the

http://www.naepc.org/jour

Transition to Adulthood.

nal/issue08b.pdf . diunduh

Dissertation for Doctor

pada 8 Februari 2012.

Perceptions

of

of

Philosophy

Counselor and

in

Education

Greenberg, G., Ganshorn, K. (2001). Solution-focused

Supervision,

therapy : Counselling

Syracuse

University.

Model for Busy Family

Proquest

Dissertations

Physicians. Canadian

Family Physician :

Dissertation for Doctor

2001;47:2289-2295

of Philosophy, George

Ibrahim, R., Hassan, Z. (2009).

Proquest

Understanding Singlehood

from

the

Experienced of Never Married

Women

Malaysia

:

Preliminary European

Washington University.

and

Theses

(PQDT)

UMI 3449653

in

Nash, R.J., Murray, M.C., (2010).

Some

Helping College Students

Findings. Journal

of

Social Sciences, Vol 8 :3 Lanz, M., Tagliabue, S. (2007). Do I Really Need Someone in Order to Become An

Find Purpose : The Campus Guide to Meaning-Making. San Fransisco : Jossey Bass. Nelson, J.L, Barry, C.M (2005). Distinguishing Features

Adult?: Romantic Relationship During Emerging Adulthod

of Emerging Adulthood : The

Role

of

Classification

in Italy. Journal of

Adult. Adolescent Research 2007; 22; 531.

Miller,

Dissertations

Selfas

Journal

Adolescent

an of

Research

http://jar.sagepub.com/cgi/

2005;

content/abstract/22/5/531

http://jar.sagepub.com/c

diunduh pada 6 April 2012.

gi/content/abstract/20/2/

J.L.,

(2011).

Relationship

The

Between

242 diunduh pada 12 Maret 2012.

Identity

Development

Process

and

Correlates

Distress

Predictors

Psychological

in Emerging Adulthood.

20

Olson-Madden,

J.

(2007). and of

Life

Satisfaction Among 18 to

Adulthood : Learning

35 Years Olds : An

and

Exploration

The

During the First Stage of

Crisis

Adulthood. Chapter 2

of

Quarterlife

Development

Phenomenon.

(pp. 34-67). In M.C

Dissertation for Doctor

Smith & N. DeFrates-

of

Densch

Philosophy,

(Eds.),

University of Denver.

Handbook of research

Proquest

on adult development

and

Dissertation

Theses

(PQDT)

UMI 3278560

and learning. Mahwah, NJ : Lawrence Erlbaum.

Robbins, A., Wilner, A. (2001).

Young, R.A., Marshall, S.K.,

Quarterlife Crisis : The

Valach, L., Domene, J.F

Unique Challenges of Life

(2011).

in Your Twenties. New

Adulthood

York : Tarcher Penguin

Project and Counselling.

Schiaba, L.P., (2006). Emotions and

Emerging

Transition

Albrecht. 2003. Berpikir positif Edisi

for

Yogyakarta:

of

Psychology,

Revisi. Pustaka

Pelajar Arikunto

Massachussets School of Psychology.

:Actions,

New York : Springer.

Adulthood. Dissertation Doctor

to

Proquest

Dissertations and Theses

Burns, David D. 1988. Terapi Kognitif.

Jakarta:

Erlangga

(PQDT) UMI 3217505 Elfiky, Ibrahim. 2011. Terapi Tanner, J.L, Arnett, J.J, Leis, J.A, (2008).

Emerging

Berpikir Positif. Jakarta: Zaman

Gickman,

Rosalene. 2005. Berpikir Optimal.

Semarang:

Dahara Prize Habibie, A., Syakarofath, N. A., & Anwar, Z. (2019). Peran

Religiusitas

terhadap Crisis

Quarter-Life (QLC)

Mahasiswa.

pada

GADJAH

MADA JOURNAL OF PSYCHOLOGY, VOLUME 5, NO. 2: 129-138 https://jurnal.ugm.ac.id/ gamajop. Hendrarno. 2003. Bimbingan dan Konseling.

Semarang:

Swadaya

Manunggal

Kualitatif, dan R& D). Bandung: Alf

Related Documents

Tugas Bu Zun
January 2021 2
Tari Tauh
February 2021 3
Bu Irma
February 2021 1

More Documents from "Agustina Aryanti"