Lapkas Omsa

  • Uploaded by: Musa Lande
  • 0
  • 0
  • January 2021
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Lapkas Omsa as PDF for free.

More details

  • Words: 4,369
  • Pages: 31
Loading documents preview...
LAPORAN KASUS OTITIS MEDIA SUPURATIF AKUT

Disusun oleh : Marsha Maryuana Meiranty D. P. Ningrum Musa Barana Lande Rahmawati

Pembimbing

: 0120840174 : 0120840179 : 0120840191 : 0120840219

: dr. Rosmini, Sp. THT-KL : dr. Agustina P. K., Sp.THT-KL

DEPARTEMEN PENDIDIKAN DAN PENGAJARAN FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS CENDERAWASIH RSU DOK II JAYAPURA – PAPUA TAHUN 2017

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN ................................................................................................................... 1 1.1 Latar Belakang ................................................................................................................ 1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA .......................................................................................................... 3 2.1 Anatomi........................................................................................................................... 3 2.2 Fisiologi Pendengaran ..................................................................................................... 7 2.3 Definisi............................................................................................................................ 8 2.4 Epidemiologi ................................................................................................................... 8 2.5 Etiologi............................................................................................................................ 9 2.6 Patofisiologi .................................................................................................................. 10 2.7 Manifestasi Klinis ......................................................................................................... 11 2.8 Penegakkan Diagnosis .................................................................................................. 16 2.9 Penatalaksanaan ............................................................................................................ 17 2.10 Komplikasi .................................................................................................................. 20 2.11 Prognosis ..................................................................................................................... 22 BAB III LAPORAN KASUS .............................................................................................................. 23 3.1 Identitas Pasien ............................................................................................................. 23 3.2 Anamnesis ..................................................................................................................... 23 3.3 Pemeriksaan Fisik ......................................................................................................... 24 3.4 Pemeriksaan Penunjang ................................................................................................ 24 3.5 Diagnosis Kerja............................................................................................................. 25 3.6 Diagnosis Banding ........................................................................................................ 25 3.7 Tatalaksana ................................................................................................................... 25 3.8 Prognosis ....................................................................................................................... 25 BAB IV PEMBAHASAN .................................................................................................................... 26

BAB V KESIMPULAN ..................................................................................................................... 27 DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................ 28

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Otitis Media Akut (OMA) merupakan inflamasi akut telinga tengah yang berlangsung kurang dari tiga minggu (Donaldson, 2015).Yang dimaksud dengan telinga tengah adalah ruang di dalam telinga yang terletak antara membran timpani dengan telinga dalam serta berhubungan dengan nasofaring melalui tuba Eustachius (Tortora dkk, 2009). Dalam realita yang ada, OMA merupakan salah satu dari berbagai penyakit yang umum terjadi di berbagai belahan dunia, termasuk di negara-negara dengan ekonomi rendah dan Indonesia, serta memiliki angka kejadian yang cukup bervariasi pada tiap-tiap negara(Ramakrishnan, 2007). Faktor usia merupakan salah satu faktor resiko yang cukup berkaitan dengan terjadinya OMA. Kasus OMA secara umum banyak terjadi pada anak- anak dibandingkan kalangan usia lainnya. Kondisi demikian terjadi karena faktor anatomis, dimana pada fase perkembangan telinga tengah saat usia anak-anak, tuba Eustachius memang memiliki posisi yang lebih horizontal dengan drainase yang minimal dibandingkan dengan usia lebih dewasa. Hal inilah yang membuat kecenderungan terjadinya OMA pada usia anak-anak lebih besar dan lebih ekstrim dibandingkan usia dewasa (Tortora dkk, 2009). Meskipun secara teoritis dinyatakan demikian, pendataan tentang kasus OMA berdasarkan tingkat usia menunjukkan hasil yang bervariasi pada berbagai negara. Kaneshiro menyatakan bahwa OMA merupakan penyakit yang umum terjadi pada bayi, balita, dan anak-anak, sedangkan kasus OMA pada orang dewasa juga pernah dilaporkan terjadi, namun dengan frekuensi yang tidak setinggi pada anak-anak. Donaldson (2015) bahkan menunjukkan bahwa 70% dari anak-anak mengalami≥ 1 kali serangan OMA sebelum usia 2 tahun. Di Kanada, Dube, dkk (2011) melakukan

1

studi di Quebec dan mendapatkan bahwa pada usia 3 tahun, 60-70% anak telah mengalami minimal 1 kali episode OMA. Mengingat tingginya angka kejadian bakteri yang resisten terhadap antimikroba, maka diperlukan perhatian khusus.Hal ini dikarenakan penggunaan antibiotik merupakan pilihan terapi awal pada OMA. Terapi pembedahan pada OMA dapat dibagi ke dalam tiga prosedur, yakni: timpanosentesis, miringotomi, dan miringotomi dengan pemasangan tuba ventilasi (Donaldson, 2015).

2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Telinga dibagi atas telinga luar, telinga tengah dan dalam. Telinga tengah berbentuk kubus dengan perbatasan (Soepardi, 2007): 

Luar

: membran timpani



Depan

: tuba eustachius



Bawah

: vena jugularis



Belakang

: aditus ad antrum, kanalis fasialis pars vertikalis



Atas

: tegmen timpani (meningen/ otak)



Dalam

: (dari atas ke bawah) kanalis semisirkularis horizontal, kanalis

fasialis, tingkap lonjong (oval window), tingkap bundar (round window) dan promontorium.

Gambar 2.1. (A) Telinga dan pembagiannya, (B) Permukaan lateral Pinna, (C) Kartilago aurikular(Dhingra, 2014)

3

Membran timpani berbentuk bundar dan cekung bila dilihat dari arah liang telinga dan terlihat oblik terhadap sumbu liang telinga. Bagian atas disebut pars flaksida (membran Shrapnell), sedangkan bagian bawah pars tensa (membran propia). Pars flaksida hanya berlapis dua, yaitu bagian luar ialah lanjutan epitel kulit liang telinga dan bagian dalam dilapisi oleh sel kubus bersilia, seperti epitel mukosa saluran napas. Pars tensa mempunyai satu lapis lagi di tengah, yaitu lapisan yang terdiri dari serat kolagen dan sedikit serat elastin yang berjalan secara radier di bagian luar dan sirkuler di bagian dalam. Pada pars flaksida terdapat daerah yang disebut atik. Di tempat ini terdapat aditus ad antrum, yaitu lubang yang menghubungkan telinga tengah dengan antrum mastoid (Soepardi, 2007).

Gambar 2.2. Serat radier, sirkular, dan parabolik dari pars tensa(Dhingra, 2014) Bayangan penonjolan bagian bawah maleus pada membran timpani disebut sebagai umbo.Dari umbo bermula suatu refleks cahaya (cone of light) ke arah bawah yaitu pada pukul 7 untuk membran timpani kiri dan pukul 5 untuk membran timpani kanan.Refleks cahaya ialah cahaya dari luar yang dipantulkan oleh membran timpani.Di membran timpani terdapat 2 macam serabut, sirkular dan radier.Serabut inilah yang menyebabkan timbulnya refleks cahaya yang berupa kerucut itu.Secara

4

klinis refleks cahaya ini dinilai, misalnya bila letak refleks cahaya mendatar, berarti terdapat gangguan pada tuba eustachius (Soepardi, 2007).

Gambar 2.3. Penampakan membran timpani kanan(Probst, 2006) Membran timpani dibagi ke dalam 4 kuadran, dengan menarik garis searah dengan prosesus longus maleus dan garis yang tegak lurus pada garis itu di umbo, sehingga didapatkan bagian atas-depan, atas-belakang, bawah-depan serta bawahbelakang, untuk menyatakan letak perforasi membran timpani (Soepardi, 2007). Bila melakukan miringotomi atau parasentesis, dibuat insisi di bagian bawah belakang membran timpani.Di daerah ini tidak terdapat tulang pendengaran.Di dalam telinga tengah terdapat tulang-tulang pendengaran yang tersusun dari luar ke dalam, yaitu maleus, inkus, stapes (Soepardi, 2007).

5

Gambar 2.4. Pembagian telinga tengah menjadi epi-, meso-, dan hipotimpanum(Dhingra, 2014)

Tulang pendengaran di dalam telinga tengah saling berhubungan.Prosesus longus maleus melekat pada membran timpani, maleus melekat pada inkus, dan inkus melekat pada stapes.Stapes terletak pada tingkap lonjong yang berhubungan dengan koklea. Hubungan antara tulang-tulang pendengaran merupakan persendian (Soepardi, 2007).

6

Gambar 2.5. Tulang pendengaran dan bagian-bagiannya(Dhingra, 2014)

2.2 Fisiologi Pendengaran Proses mendengar diawali dengan ditangkapnya energi bunyi oleh daun telinga dalam bentuk gelombang yang dialirkan melalui udara atau tulang ke koklea. Getaran tersebut menggetarkan membran timpani diteruskan ke telinga tengah melalui rangkaian tulang pendengaran yang akan mengamplifikasi getaran melalui daya ungkit tulang pendengaran dan perkalian perbandingan luas membran timpani dan tingkap lonjong. Energi getar yang telah diamplifikasi ini akan diteruskan ke stapes yang menggerakkan tingkap lonjong sehingga perilimfa pada skala vestibuli bergerak. Getaran diteruskan melalui membrana Reissner yang mendorong endolimfa, sehingga akan menimbulkan gerak relatif antara membran basilaris dan membran tektoria. Proses ini merupakan rangsang mekanik yang menyebabkan terjadinya defleksi stereosilia sel-sel rambut, sehingga kanal ion terbuka dan terjadi penglepasan ion bermuatan listrik dari badan sel. Keadaan ini menimbulkan proses depolarisasi sel rambut, sehingga melepaskan neurotransmitter ke dalam sinapsis yang akan menimbulkan potensial aksi pada saraf auditorius, lalu dilanjutkan ke

7

nukleus auditorius sampai ke korteks pendengaran (area 39-40) di lobus temporalis (Soepardi, 2007).

2.3 Definisi Otitis media adalah peradangan sebagian atau seluruh mukosa telinga tengah, tuba eustachius, antrum mastoid, dan sel-sel mastoid.Banyak ahli membuat pembagian dan klasifikasi otitis media (Soepardi, 2007).Otitis media akut merupakan inflamasi pada telinga tengah dalam waktu 3 minggu pertama (Donaldson, 2015).

Otitis Media

Otitis Media Akut (OMA)

Otitis Media Sub Akut

Risiko rendah, Risiko tinggi

Otitis Media Kronik (OMK)

Tipe aman, Tipe bahaya

Gambar 2.6. Skema Pembagian Otitis Media (Soepardi, 2007)

2.4 Epidemiologi Otitis media akut sering terjadi pada anak, hal ini dikarenakan tuba eustachius yang lebar dan pendek (Bull, 2003). Di Amerika Serikat, 70% anak telah mengalami OMA setidaknya satu kali sebelum usia 2 tahun. Puncak kejadian otitis media akut adalah pada anak berusia 3-18 bulan (Donaldson, 2015).

8

Anak yang telah mengalami enam kali serangan otitis media atau lebih disebut dengan istilah "cenderung otitis".Suatu penelitian oleh Howie menunjukkan bahwa suatu episode infeksi S.pneumoniae dalam tahun pertama kehidupan telah dihubungkan

dengan

berlanjutnya

insidens

episode

otitis

media

akut

berulang.Keadaan ini lebih sering ditemukan pada anak laki-laki dibandingkan anak wanita.Insidens kondisi alergi tidak meningkat pada anak-anak ini.Delapan serotipe S.pneumoniae bertanggung jawab lebih atas lebih dari 75% episode otitis media akut (Boies, 1997).

2.5 Etiologi Kuman penyebab utama OMA ialah bakteri piogenik, seperti Streptococcus hemoliticus, Staphylococcus aureus, Pneumococcus.Selain itu, kadang-kadang ditemukan juga Hemophylus influenza, Escherichia coli dan Pseudomonas aurugenosa(Soepardi, 2007).Sejauh ini Streptococcus pneumoniae merupakan organisme penyebab tersering pada semua kelompok umur (Boies, 1997).Hemophlus influenza sering ditemukan pada anak yang berusia di bawah 5 tahun, meskipun juga merupakan patogen pada orang dewasa (Soepardi, 2007). Berikut ini adalah faktor risiko yang mempengaruhi otitis media (Donaldson, 2015): 

Prematuritas & Berat Lahir Rendah



Usia muda



Riwayat Keluarga



Abnormalitas Kraniofasial



Penyakit Neuromuskular



Alergi



Status sosioekonomi rendah



Paparan tembakau & polutan

9



Posisi tidur telentang



Tidak mendapatkan ASI Selain itu, juga terdapat beberapa faktor predisposisi dari terjadinya otitis

media akut.Apapun yang mengganggu fungsi normal dari tuba eustachius merupakan predisposisi terjadinya infeksi telinga tengah. Hal-hal tersebut seperti (Dhingra, 2014): 

Serangan ISPA berulang



Infeksi tonsil dan adenoid



Rinitis dan sinusitis kronik



Alergi



Tumor nasofaring, mengorek hidung



Palatoschisis

2.6 Patofisiologi Telinga tengah biasanya steril, meskipun terdapat mikroba di nasofaring dan faring.Secara fisiologik terdapat mekanisme pencegahan masuknya mikroba ke dalam telinga tengah oleh silia mukosa tuba Eustachius, enzim dan antibodi.Otitis media akut terjadi karena faktor pertahanan tubuh ini terganggu (Soepardi, 2007).Sebagai pelengkap mekanisme pertahanan di permukaan, suatu anyaman kapiler subepitel yang penting menyediakan pula faktor-faktor humoral, leukosit PMN dan sel fagosit lainnya (Boies, 1997). Sumbatan tuba Eustachius merupakan faktor penyebab utama dari otitis media.Karena fungsi tuba Eustachius terganggu, pencegahan invasi kuman ke dalam telinga tengah juga terganggu, sehingga kuman masuk ke dalam telinga tengah dan terjadi peradangan (Soepardi, 2007). Dikatakan juga bahwa pencetus terjadinya OMA ialah infeksi saluran napas atas.Pada anak, makin sering anak terserang infeksi saluran napas, makin besar

10

kemungkinan terjadinya OMA.Pada bayi, terjadinya OMA dipermudah oleh karena tuba Eustachiusnya pendek, lebar dan letaknya agak horizontal (Soepardi, 2007). Terdapat beberapa rute infeksi sehingga terjadi otitis media akut, antara lain (Dhingra, 2014): 1. Melalui tuba eustachius.Merupakan rute paling sering. Infeksi berpindah melalui lumen. 2. Melalui telinga luar. Trauma perforasi pada membran timpani akan membuka jalan terjadinya infeksi telinga tengah 3. Peredaran darah. Merupakan rute yang sangat jarang Seringkali infeksi awalnya disebabkan oleh virus, namun reaksi alergi dan kondisi inflamasi lain yang melibatkan tuba eustachius turut berperan. Inflamasi pada nasofaring meluas ke tepi medial dari tuba eustachius, menyebabkan stasis dan inflamasi.Hal tersebut mengakibatkan penurunan tekanan di dalam telinga tengah.Keadaan stasis mendukung terjadinya kolonisasi bakteri patogen di dalam ruang telinga tengah.Respon yang terjadi berupa reaksi inflamasi akut seperti vasodilatasi, eksudat, invasi leukosit, fagositosis, dan reaksi imunologis lokal di dalam telinga tengah (Donaldson, 2015). Untuk menjadi patogen di daerah seperti telinga atau sinus, bakteri harus melekat pada lapisan mukosa.Infeksi virus yang menyerang dan merusak permukaan mukosa traktus respiratorius mengakibatkan bakteri dapat tumbuh patogen di daerah nasofaring, tuba eustachius, dan ruang telinga tengah (Donaldson, 2015).

2.7 Manifestasi Klinis Gejala klinik OMA bergantung pada stadium penyakit serta umur pasien.Pada anak yang sudah dapat berbicara keluhan utama adalah rasa nyeri di dalam telinga, keluhan di samping suhu tubuh yang tinggi.Biasanya terdapat riwayat batuk pilek sebelumnya.

11

Pada anak yang lebih besar atau pada orang dewasa, selain rasa nyeri terdapat pula gangguan pendengaran berupa rasa penuh di telinga atau rasa kurang dengar. Pada bayi dan anak kecil gejala khas OMA ialah suhu tubuh tinggi dapat sampai 39,5 o

C (pada stadium supurasi), anak gelisah dan sukar tidur, tiba-tiba anak menjerit

waktu tidur, diare, kejang-kejang dan kadang-kadang anak memegang telinganya yang sakit. Bila terjadi ruptur membran timpani, maka sekret mengalir ke liang telinga, suhu tubuh menurun dan anak tertidur tenang (Soepardi, 2007) Perubahan mukosa telinga tengah sebagai akibat infeksi dapat dibagi atas 4 stadium: (1) stadium kataralis, (2) stadium supurasi / bombans, (3) stadium perforasi, (4) stadium resolusi. Keadaan ini berdasarkan pada gambaran membran timpani yang diamati melalui meatus akustikus eksternus (MAE) (Harmadji, Soepriyadi, & Wisnubroto, 2005). 1. Stadium Kataralis Tanda adanya stadium ini adalah adanya retraksi membran timpani akibat terjadinya tekanan negatif di dalam telinga tengah, akibat absorpsi udara.Kadangkadang membran timpani tampak normal atau berwarna keruh pucat dan berlanjut hingga tampak pembuluh darah yang melebar di membran timpani atau seluruh membran timpani tampak hiperemis serta edem.Sekret yang terbentuk mungkin masih bersifat eksudat yang serosa sehingga stadium ini sukar dibedakan dengan otitis media serosa yang disebabkan oleh virus atau alergi (Soepardi, 2007).

12

Gambar 2.7. Membran timpani stadium kataralis 2. Stadium Supurasi/ Bombans Edema yang hebat pada telinga tengah dan hancurnya epitel superficial, serta terbentuknya eksudat yang purulen di kavum timpani, menyebabkan membran timpani menonjol / bombans (bulging) ke arah telinga luar.Pada keadaan ini pasien tampak sangat sakit, nadi dan suhu meningkat, serta rasa nyeri di telinga bertambah hebat. Apabila tekanan nanah di kavum timpani tidak berkurang, maka terjadi iskemia, akibat tekanan pada kapiler-kapiler, serta timbul tromboflebitis pada venavena kecil dan nekrosis mukosa dan submukosa.Nekrosis ini pada membran timpani terlihat sebagai daerah yang lebih lembek dan berwarna kekuningan. Di tempat ini akan terjadi ruptur. Bila tidak dilakukan insisi membran timpani (miringotomi) pada stadium ini, maka kemungkinan besar membran timpani akan ruptur dan nanah keluar ke MAE. Dengan melakukan miringotomi, luka insisi akan menutup kembali, sedangkan apabila terjadi ruptur, maka lubang tempat ruptur (perforasi) tidak mudah menutup kembali (Soepardi, 2007).

13

Gambar 2.8. Membran timpani stadium supuratif/ bombans 3. Stadium Perforasi Karena beberapa sebab seperti terlambatnya pemberian antibiotik atau virulensi kuman yang tinggi, maka dapat terjadi ruptur membran timpani dan nanah keluar mengalir dari telinga tengah ke MAE.Anak yang tadinya gelisah sekarang menjadi tenang, suhu badan turun dan anak dapat tertidur nyenyak. Keadaan ini disebut dengan otitis media akut stadium perforasi(Soepardi, 2007).

14

Gambar 2.9. Membran timpani stadium perforasi

4. Stadium Resolusi Bila membran timpani tetap utuh, maka keadaan membran timpani perlahanlahan akan normal kembali. Bila sudah terjadi perforasi, maka sekret akan berkurang dan akhirnya kering. Bila daya tahan tubuh baik atau virulensi kuman rendah, maka resolusi dapat terjadi walaupun tanpa pengobatan.OMA berubah menjadi OMSK bila perforasi menetap dengan sekret yang keluar terus menerus atau hilang timbul.OMA dapat menimbulkan gejala sisa (sequele) berupa otitis media serosa bila sekret menetap di kavum timpani tanpa terjadinya perforasi(Soepardi, 2007).

15

2.8 Penegakkan Diagnosis Diagnosis OMA cukup ditegakkan secara klinik, yaitu meliputi anamnesis dan pemeriksaan telinga (otoskop) yang didasarkan pada stadiumnya (Harmadji, Soepriyadi, & Wisnubroto, 2005). Stadium 1. Kataral

Anamnesis

Otoskopi

Diawali dengan ISPA dan - Membran timpani: diikuti dengan gejala di telinga:

Retrkasi,

warna

mulai

hiperemia

- Terasa penuh

- Kadang-kadang

- Grebeg-grebeg

tampak

adanya air fluid level

- Gangguan pendengaran 2. Supurasi / Bombans

- Otalgia hebat

- Membran timpani:

- Gangguan pendengaran - Febris, batuk, pilek - Pada

bayi

Bombans dan hiperemia - Belum

dan

anak

ada

sekret

di

MAE

kadang disertai dengan: gelisah, rewel, kejang, gastroenteritis - Belum terjadi otorea 3. Perforasi

- Otorea, mukopurulen - Otalgia

dan

mereda

febris

- Membran timpani: Perforasi, sentral, kecil di kuadran antero-inferior

16

- Gangguan pendengaran - Masih ada batuk dan pilek

- Sekret:

mukopurulen

kadang tampak pulsasi - Warna membran timpani hiperemia

4. Resolusi

Gejala-gejala pada stadium - Membran timpani: sebelumnya sudah banyak mereda

pulih

menjadi

normal kembali

Kadang masih ada gejala sisa: Tinitus

Sudah

- Masih dijumpai lubang perforasi

dan

gangguan

pendengaran

- Tidak

dijumpai

sekret

lagi

2.9 Penatalaksanaan Pengobatan OMA tergantung pada stadium penyakitnya.Pada stadium oklusi pengobatan terutama bertujuan untuk membuka kembali tuba Eustachius, sehingga tekanan negatif di telinga tengah hilang.Untuk ini diberikan obat tetes hidung. HCl efedrin 0,5% dalam larutan fisiologis (anak < 12 tahun) atau HCl efedrin 1% dalam alrutan fisiologis untuk yang berumur di atas 12 tahun dan orang dewasa. Selain itu sumber infeksi harus diobati.Antibiotika diberikan apabila penyebab penyakit adalah kuman, bukan oleh virus atau alergi (Soepardi, 2007). Terapi pada stadium presupurasi ialah antibiotika, obat tetes hidung, dan analgetika.Antibiotika yang dianjurkan ialah

dari golongan penisilin

atau

ampisilin.Terapi awal diberikan penisilin intramuskular agar didapatkan konsentrasi yang adekuat di dalam darah, sehingga tidak terjadi mastoiditis yang terselubung, gangguan pendengaran sebagai gejala sisa dan kekambuhan.Pemberian antibiotika

17

dianjurkan minimal selama 7 hari.Bila pasien alergi terhadap penisilin, maka diberikan eritromisin. Pada anak, ampisilin diberikan dengan dosis 50-100 mg/kgBB per hari, dibagi dalam 4 dosis, atau amoksisilin 40 mg/kgBB/hari dibagi dalam 3 dosis, atau eritromisin 40 mg/kgBB/hari (Soepardi, 2007).

Gambar 2.10. Agen antibakterial untuk OMA(Dhingra, 2014) Pada stadium supurasi selain diberikan antibiotika, idealnya harus disertai dengan miringotomi, bila membran timpani masih utuh.Dengan miringotomi gejalagejala klinis lebih cepat hilang dan ruptur dapat dihindari. Miringotomi ialah tindakan insisi pada pars tensa membran timpani, agar terjadi drainase sekret keluar dari telinga tengah ke liang telinga luar (Soepardi, 2007). Istilah miringotomi sering dikacaukan dengan parasentesis.Timpanosentesis sebetulnya berarti pungsi pada membran timpani untuk mendapatkan sekret guna pemeriksaan mikrobiologik (dengan semprit dan jarum khusus).Miringotomi merupakan tindakan pembedahan kecil yang dilakukan dengan syarat tindakan ini harus dilakukan secara a-vue (dilihat langsung), anak harus tenang dan dapat dikuasai, (sehingga membran timpani dapat terlihat dengan baik).Lokasi miringotomi ialah di kuadran posterior-inferior. Untuk tindakan ini haruslah memakai lampu kepala yang mempunyai sinar cukup terang, memakai corong telinga yang sesuai dengan besar liang telinga, dan pisau khusus (miringotom) yang digunakan berukuran kecil dan steril (Soepardi, 2007).

18

Komplikasi miringotomi yang kemungkinan terjadi ialah perdarahan akibat trauma pada liang telinga luar, dislokasi tulang pendengaran, trauma pada fenestra rotundum, trauma pada n.fasialis, trauma pada bulbus jugulare (bila ada anomali letak). Mengingat komplikasi itu, maka dianjurkan untuk melakukan miringotomi dengan nekrosis umum dan memakai mikroskop.Tindakan miringotomi dengan memakai mikroskop, selain aman, dapat juga mengisap sekret dari telinga tengah sebanyak-banyaknya.Hanya dengan cara ini biayanya lebih mahal (Soepardi, 2007). Bila terapi sudah adekuat sebetulnya miringotomi tidak perlu dilakukan, kecuali bila jelas tampak adanya nanah di telinga tengah.Sebagian ahli berpendapat bahwa miringotomi tidak perlu dilakukan, apabila terapi yang adekuat sudah dapat diberikan (antibiotika yang tepat & dosis cukup). Komplikasi timpanosintesis kurang lebih sama dengan komlikasi miringotomi (Soepardi, 2007). Pada stadium perforasi sering terlihat sekret banyak keluar dan kadang terlihat sekret keluar secara berdenyut (pulsasi).Pengobatan yang diberikan adalah obat cuci telinga H2O2 3% selama 3-5 hari serta antibiotika yang adekuat. Biasanya sekret akan hilang dan perforasi dapat menutup kembali dalam waktu 7-10 hari (Soepardi, 2007). Pada stadium resolusi, maka membran timpani berangsur normal kembali, sekret tidak ada lagi dan perforasi membran timpani menutup. Bila tidak terjadi resolusi biasanya akan tampak sekret mengalir di liang telinga luar melalui perforasi di membran timpani. Keadaan ini dapat disebabkan karena berlanjutnya edema mukosa telinga tengah.Pada keadaan demikian antibiotika dapat dilanjutkan sampai 3 minggu.Bila 3 minggu setelah pengobatan sekret masih tetap banyak, kemungkinan telah terjadi mastoiditis (Soepardi, 2007). Bila OMA berlanjut dengan keluarnya sekret dari telinga tengah lebih dari 3 minggu, maka keadaan ini disebut otitis media supuratif subakut.Bila perforasi menetap dan sekret tetap keluar lebih dari satu setengah bulan atau dua bulan, maka keadaan ini disebut otitis media supuratif kronis (OMSK) (Soepardi, 2007).

19

Gambar 2.11. Pengobatan OMA(Dhingra, 2014)

2.10 Komplikasi Komplikasi otitis media terjadi apabila sawar (barrier) pertahanan telinga tengah yang normal dilewati, sehingga memungkinkan infeksi menjalar ke struktur di sekitarnya.Pertahanan pertama ini adalah mukosa kavum timpani yang juga seperti mukosa saluran napas, mampu melokalisasi infeksi.Bila sawar ini runtuh, masih ada sawar kedua, yaitu dinding tulang kavum timpani dan sel mastoid. Bila sawar ini runtuh, maka struktur lunak di sekitarnya akan terkena(Soepardi, 2007).

20

Pada otitis media akut atau suatu eksaserbasi akut penyebaran biasanya melalui osteotromboflebitis atau hematogen. Penyebaran melalui osteotromboflebitis dapat diketahui dengan adanya (1) komplikasi terjadi pada awal suatu infeksi atau eksaserbasi akut, dapat terjadi pada hari pertama atau kedua sampai hari kesepuluh, (2) gejala prodromal tidak jelas seperti didapatkan pada gejala meningitis lokal, (3) pada operasi, didapatkan dinding tulang telinga tengah utuh, dan tulang serta lapisan mukoperiosteal meradang dan mudah berdarah, sehingga disebut juga mastoiditis hemoragika(Soepardi, 2007). 1. Mastoiditis Akut Terjadi empiema di rongga mastoid akibat terjadinya blokade di daerah epitimpanum.Sering diikuti dengan abses di belakang daun telinga (abses subperiostel mastoid).Perlu segera di lakukan evakuasi empiema lewat pendekatan mastoidektomi simpel (Schwartze) (Harmadji, Soepriyadi, & Wisnubroto, 2005). 2. Komplikasi Intrakranial Mastoiditis akut kalau tidak dapat segera diatasi dapat meluas ke dalam intrakranial (meningitis dan abses otak) (Harmadji, Soepriyadi, & Wisnubroto, 2005). 3. Paresis nervus fasialis Nervus fasialis dapat terkena oleh penyebaran infeksi langsung ke kanalis fasialis.Akumulasi pus di dalam kavum timpani dapat menimbulkan kompresi pada nervus fasialis.Pada OMA operasi dekompresi kanalis fasialis tidak diperlukan.Perlu diberikan antibiotik dosis tinggi dan terapi penunjang lainnya, serta menghilangkan tekanan di dalam kavum timpani dengan drainase. Bila dalam jangka waktu tertentu ternyata tidak ada perbaikan setelah diukur dengan elektrodiagnostik (misalnya elektromiografi),

barulah

dipikirkan

untuk

melakukan

2007;.Harmadji, Soepriyadi, & Wisnubroto, 2005).

21

dekompresi(Soepardi,

2.11 Prognosis Kematian yang disebabkan oleh OMA sangat jarang di era modern ini. Dengan terapi antibiotik yang efektif, tanda sistemik seperti demam dan letargis akan menghilang bersamaan dengan hilangnya nyeri dalam waktu 48 jam. Dan biasanya tuli pendengaran konduktif jugaakan membaik. Efusi telinga tengah dan tuli pendengaran konduktif dapat menetap selama periode terapi, dengan perkiraan 70% anak akan mengalami efusi telinga tengah dalam waktu 14 hari, 50% dalam satu bulan, 20% dalam 2 bulan, dan 10% setelah 3 bulan (Donaldson, 2014).

22

BAB III LAPORAN KASUS 3.1 Identitas Pasien 1. Nama pasien

: Nn. YM

2. Umur

: 22 Tahun

3. Jenis kelamin

: Perempuan

4. Alamat

: Lembah Sunyi

5. Pekerjaan

: Mahasiswi

6. Suku

: Dani

7. Agama

: Kristen Protestan

8. Nomor DM

: 430269

9. Berat badan

: 61 Kg

10. Tekananan darah

: 110/80 mmHg

11. Tanggal Pemeriksaan

: 22 Januari 2018

3.2 Anamnesis 1. Keluhan Utama Otalgia 2. Riwayat Penyakit Sekarang Pasien datang ke poli THT dirujuk dari Puskesmas Imbi dengan diagnosa suspek OMSK. Pasien mengaku nyeri pada telinga kanan disertai dengan keluar nanah bau (+), nyeri tekan preaurikular (+), tinitus (+), gangguan pendengaran (+), demam (-), batuk dan pilek (-) 3. Riwayat Penyakit Dahulu Pasien mengaku sebelumnya sering mengalami batuk dan pilek, keluhan dirasakan pada bulan November. 4. Riwayat Penyakit Keluarga

23

Pada riwayat keluarga pasien, tidak ada yang pernah mengalami penyakit seperti ini. 5. Riwayat Penyakit Psikososial Pasien merasa terganggu dengan adanya otore dan adanya gangguan pendengaran. 6. Riwayat Sosial Ekonomi Pekerjaan pasien sehari-hari adalah mahasiswi. 7. Kebiasaan Korek-korek telinga (+)

3.3 Pemeriksaan Fisik 1. Status Vital Kesadaran

: Composmentis

Keadaan Umum

: Tampak Sakit sedang

Tekanan darah

: 110/80 mmHg

Nadi

: 96 kali/menit

Respirasi

: 20 kali/menit

2. Telinga Telinga Kanan

: MAE sekret (+), berdenging, membran timpani perforasi sentral kecil

Telinga Kiri

: Mae dalam batas normal, membran timpani utuh

3. Hidung Hidung dalam batas normal 4. Tenggorok Tenggorok dalam batas normal

3.4 Pemeriksaan Penunjang Pada pasien tidak dilakukan pemeriksaan penunjang.

24

3.5 Diagnosis Kerja Otitis media supuratif akut (OMSA) stadium resolusi

3.6 Diagnosis Banding Otitis media supuratif kronik (OMSK)

3.7 Tatalaksana 1. Tarivit 2x1(5 tetes) selama 4 hari Merupakan obat tetes yang berfungsi sebagai antiseptik dan anti-infeksi telinga yang disebabkan oleh bakteri. 2. Ciprofloxacin tablet 500 mg 2x1 Merupakan antibiotik yang digunakan untuk menekan petumbuhan bakteri 3. Natrium Diklofenak tablet 50 mg 2x1 Merupakan obat antiinflamasi nonsteroid (NSAID) yang digunakan utuk mengobati perdangan dan rasa sakit atau nyeri. 4. Cetirizine tablet 10 mg 2x1 Merupakan obat golongan antihistamin yang dapat digunakan untuk mengatasi gejala-gejala alergi

3.8 Prognosis 1. Quo ad vitam

: ad bonam

2. Quo ad functionam

: ad bonam

3. Quo ad sanationam

: ad bonam

25

BAB IV PEMBAHASAN Otitis media supuratif akut (OMSA) adalah radang mukosa telinga tengah yang diikuti dengan pembentukan mukopus di dalam kavum timpani. OMSA dapat terjadi akibat terganggunya fungsi normal dari tuba eustachius. Infeksi saluran pernafasan atas (ISPA) yang berulang merupakan faktor penyebab utama terganggunya fungsi tuba eustachius. Fungsi tuba eustachius yang terganggu menyebabkan pencegahan invasi kuman ke dalam telinga tengah terganggu, sehingga kuman masuk ke dalam telinga tengah dan terjadi peradangan. Pada pasien ini ditemukan riwayat sering batuk dan pilek kurang dari dua bulan yang lalu. Riwayat tersebut dapat menjadi pencetus terjadinya otitis media supuratif akut. Diagnosis OMSA cukup ditegakkan secara klinik, yaitu meliputi anamnesis dan pemeriksaan telinga (otoskop) yang didasarkan pada stadiumnya. Pada pasien didiagnosis sebagai OMSA stadium resolusi dikarenakan dari anamnesa dan pemeriksaan telinga, ditemukan bahwa pasien merasakan nyeri pada telinga kanan disertai dengan keluar pus yang bau, nyeri tekan preaurikular, tinitus, gangguan pendengaran, tapi pasien sudah tidak demam, tidak batuk dan pilek lagi, membran timpani perforasi sentral kecil. Hal ini sesuai dengan literatur yang megatakan bahwa OMSA stadium resolusi ditandai dengan gejala-gejala pada stadium sebelumnya seperti demam, batuk, dan pilek sudah banyak mereda. Kadang masih ada gejala sisa seperti tinitus dan gangguan pendengaran. Membran timpani masih dijumpai lubang perforasi, serta sekret yang keluar akan berkurang dan akhirnya kering. Pada penderita ini didiagnosa banding dengan OMSK karena ditemukan gejala-gejala yang mirip dengan OMSA, tetapi waktu keluarnya sekret telinga tidak lebih dari dua bulan. Hal ini sesuai dengan literature yang mengatkan bahwa OMSA dapat menjadi OMSK bila proses keluarnya sekret lebih dari 2 bulan.

26

BAB V KESIMPULAN 1.

Pasien perempuan Nn. Y.M. usia 22 Tahun alamat Lembah Sunyi datang ke Rumah Sakit pada tanggal 22 Januari 2018 dengan keluhan otalgia. Pasien datang ke poli THT dirujuk dari Puskesmas Imbi dengan diagnosa suspek OMSK.

2.

Pasien mengaku nyeri pada telinga kanan disertai dengan keluar nanah bau (+), nyeri tekan preaurikular (+), tinitus (+), gangguan pendengaran (+), demam (-), batuk dan pilek (-).

3.

Pada pemeriksaan fisik telinga didapatkan MAE sekret (+), berdenging, membran timpani perforasi sentral kecil. Hidung dan tenggorok dalam batas normal.

4.

Diagnosa OMSA ditegakkan berdasarkan hasil dari anamnesa dan pemeriksaan fisik yang didapatkan dari pasien.

5.

Otitis media adalah peradangan sebagian atau seluruh mukosa telinga tengah, tuba eustachius, antrum mastoid, dan sel-sel mastoid.Banyak ahli membuat pembagian dan klasifikasi otitis media (Soepardi, 2007).Otitis media akut merupakan inflamasi pada telinga tengah dalam waktu 3 minggu pertama

6.

Tatalaksana pada pasien dilakukan dengan memberikan pasien Tarivit, Ciprofloxacin, Natrium Diklofenak, dan Cetirizine

27

DAFTAR PUSTAKA Boies, Adams, Higler. Boies Buku Ajar Penyakit THT Edisi 6. EGC. 1997 Bull TR. Color Atlas of ENT Diagnosis 6th ed. London: Thieme. 2003 Dhingra PL, Dhingra S, Dhingra D. Disease of Ear Nose and Throat & Head and Neck Surgery 6th ed. Haryana: Elsevier. 2014 Donaldson JD. Acute Otitis Media. Medscape reference. 2015 Dube E. Burden of acute otitis media on canadian families. Canadian Family Physician, 57: 60, 62-64. 2011 Harmadji, S., Soepriyadi, & Wisnubroto. (2005). Pedoman Diagnosis dan Terapi Bag/. In R. d. Soetomo, Pedoman Diagnosis dan Terapi Bag/SMF Ilmu Penyakit Telinga, Hidung, dan Tenggorokan Edisi ke-3 (pp. 10-13). Surabaya: FK UNAIR. Probst R, Grevers G, Iro H. Basic Otorhinolaryngology A Step by Step Learning Guide. Stuttgart: Thieme. 2006 Ramakrishnan K. Diagnosis and treatment of otitis media.Ann Fann Physician 76(11): 1650-1658. 2007 Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher Edisi 6. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 2007 Tortora GJ. Principles of Anatomy and Physiology 13th ed. USA: Biological Science Textbook. 2012

28

Related Documents

Lapkas Omsa
January 2021 1
Lapkas Cad
February 2021 1
Dispepsia Lapkas
February 2021 1
Lapkas Hemopneumothorax
January 2021 3
Referat Omsa
January 2021 2
Referat Tht Omsa
January 2021 0

More Documents from "dapi253"