Laporan Praktikum Farmakologi 1a Antidiabetes-dikonversi

  • Uploaded by: syifa fuadina
  • 0
  • 0
  • August 2022
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Laporan Praktikum Farmakologi 1a Antidiabetes-dikonversi as PDF for free.

More details

  • Words: 3,752
  • Pages: 17
Loading documents preview...
LAPORAN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI “ANTIDIABETES”

DISUSUN OLEH : Kelompok 1A Siti Annisa Syafira

11171020000004

Syifa Fuadina

11171020000006

Tanisa Intan Murbarani

11171020000009

Sarah Nahdah ZS

11171020000015

Dery Akmal Arhandika

11171020000017

Lucky Kurnia Lestari

11171020000024

PROGRAM STUDI FARMASI FAKULTAS ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA MEI/2019

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Diabetes mellitus (DM) didefinisikan sebagai suatu penyakit atau gangguan metabolisme kronis dengan multi etiologi yang ditandai dengan tingginya kadar gula darah disertai dengan gangguan metabolisme karbohidrat, lipid dan protein sebagai akibat insufisiensi fungsi insulin. Insufisiensi fungsi insulin dapat disebabkan oleh gangguan atau defisiensi produksi insulin oleh sel-sel beta Langerhans kelenjar pankreas, atau disebabkan oleh kurang responsifnya sel-sel tubuh terhadap insulin. Jika kekurangan produksi insulin atau terdapat resistensi insulin maka kadar glukosa dalam darah akan meninggi (melebihi nilai normal). Insulin adalah suatu zat yang dihasilkan oleh sel beta pankreas. Insulin diperlukan agar glukosa dapat memasuki sel tubuh, di mana gula tersebut kemudian dipergunakan sebagai sumber energi. Jika tidak ada insulin, atau jumlah insulin tidak memadai, atau jika insulin tersebut cacat, maka glukosa tidak dapat memasuki sel dan tetap berada di darah dalam jumlah besar. Penyakit diabetes melitus atau kencing manis disebabkan oleh multifaktor, keturunan merupakan salah satu faktor penyebab. Selain keturunan masih diperlukan faktor-faktor lain yang disebut faktor pencetus, misalnya adanya infeksi virus tertentu, pola makan yang tidak sehat, stres, Diabetes mellitus merupakan penyakit menahun yang ditandai dengan kadar glukosa darah yang melebihi nilai normal. Apabila dibiarkan tidak terkendali, diabetus mellitus dapat menimbulkan komplikasi yang berakibat fatal, misalnya terjadi penyakit jantung koroner, gagal ginjal, kebutaan dan lain-lain. Menurut data stastistik tahun 1995 dari WHO terdapat 135 juta penderita diabetes mellitus di seluruh dunia. Tahun 2005 jumlah diabetes mellitus diperkirakan akan melonjak lagi mencapai sekitar 230 juta. Angka mengejutkan dilansir oleh beberapa Perhimpunan Diabetes Internasional memprediksi jumlah penderita diabetes mellitus lebih dari 220 juta penderita di tahun 2010 dan lebih dari 300 juta di tahun 2025. Data WHO di tahun 2002 diperkirakan terdapat lebih dari 20 juta penderita diabetes

mellitus di tahun 2025. tahun 2030 angkanya bisa melejit mencapai 21 juta penderita. Saat ini penyakit diabetes mellitus banyak dijumpai penduduk Indonesia. Bahkan WHO menyebutkan, jumlah penderita diabetes mellitus di Indonesia menduduki ranking empat setelah India, China, dan Amerika Serikat. Apoteker maupun tenaga teknis kefarmasian, terutama bagi yang bekerja di sektor kefarmasian komunitas, memiliki peran yang sangat penting dalam keberhasilan penatalaksanaan diabetes. Membantu penderita menyesuaikan pola diet sebagaimana yang disarankan ahli gizi, mencegah dan mengendalikan komplikasi yang mungkin timbul, mencegah dan mengendalikan efek samping obat, memberikan rekombinasi penyesuaian rejimen dan dosis obat yang harus dikonsumsi penderita bersama-sama dengan dokter yang merawat penderita, yang kemungkinan dapat berubah dari waktu ke waktu sesuai dengan kondisi penderita, merupakan peran yang sangat sesuai dengan kompetensi dan tugas seorang apoteker. Apoteker dapat juga memberikan tambahan ilmu pengetahuan kepada penderita tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan kondisi dan pengelolaan diabetes. 1.2 Tujuan Percobaan Setelah menyelesaikan praktikum ini, mahasiswa diharapkan: 1.

Mampu melaksanakan pengujian antidiabetes.

2.

Memperoleh gambaran manifestasi dari efek antidiabetes.

BAB II LANDASAN TEORI

Diabetes Mellitus (DM) adalah penyakit yang menyebabkan meningkatnya kadar glukosa darah dalam tubuh dan tergolong kedalam penyakit kronis yang bersifat melemahkan sehingga dapat menyebabkan dampak komplikasi serius bagi penderitanya. Perkiraan angka kematian yang disebabkan oleh dampak komplikasi dari penyakit ini diklaim adalah 1 kematian setiap 6 sampai 10 detik di seluruh dunia (Kaul et al, 2013; International Diabetes Federation, 2015; Varma et al, 2014). Penyakit Diabetes Mellitus (DM) dapat di klasifikasikan kedalam tiga kategori yaitu Diabetes Mellitus tipe 1, Diabetes Mellitus tipe 2 dan Diabetes Mellitus Gestational. Diabetes Mellitus tipe 1 adalah penyakit dimana sistem kekebalan tubuh menyerang β-cell yang berfungsi untuk memproduksi hormon insulin. Diabetes Mellitus tipe 2 adalah penyakit dimana jumlah produksi hormon insulin dalam tubuh tidak cukup untuk mengontrol kadar glukosa darah dalam tubuh dan Diabetes Mellitus Gestational adalah penyakit yang menyerang wanita dimana tingkat kadar glukosa darah menjadi tinggi pada masa kehamilan (International Diabetes Federation, 2015; Varma et al, 2014). a. Diabetes mellitus tipe I Diabetes mellitus tipe I adalah penderita yang tergantung oleh suntikan insulin, jika insulin tidak ada, hasil dari penghancuran lemak dan otot akan menumpuk dalam darah dan menghasilkan zat yang disebut keton yang akan menyebabkan terjadianya ketoasidosis koma (Bilous, 2003). Menurut Mayfield (1998), diabetes mellitus tipe 1 (DMTI/diabetes juvenil) biasanya berkembang pada usia anak-anak, namun termanisfestasi dan menjadi parah saat pubertas. Diabetes mellitus tipe I memiliki ciri adanya destruksi sel β pankreas melalui mekanisme celluler mediated autoimune. Destruksi autoimun sel β pankreas berhubungan dengan predisposisi genetik dan faktor lingkungan. Penderita diabetes mellitus tipe 1 sangat tergantung pada insulin untuk kelangsungan hidupnya akibat defisiensi insulin yang absolut, maka akan terjadi komplikasi metabolisme yang serius seperti ketoasidosis akut dan koma (Marble, 1971 dalam Wuragil, 2006). Pada DM tipe 1 kadar glukosa darah sangat tinggi tetapi tubuh tidak dapat memanfaatkannya secara optimal untuk membentuk energi, energi diperoleh melalui

peningkatan katabolisme protein dan lemak, dengan kondisi tersebut terjadi perangsangan lipolisis serta peningkatan kadar asam lemak bebas dan gliserol darah. Dalam hal ini terjadi peningkatan produksi asteil-KoA oleh hati dan akan diubah menjadi asam asetosetat dan direduksi menjadi asam β-hidroksibutirat atau mengalami dekarboksilasi menjadi aseton. Diabetes mellitus tipe I juga disebabkan oleh degenerasi sel β Langerhans pankreas akibat infeksi virus atau pemberian senyawa toksin diabetogenik (streptozotocin atau alloksan), atau secara genetic yang mengakibatkan produksi insulin sangat rendah atau berhenti sama sekali. Hal ini mengakibatkan penurunan pemasukan glukosa dalam otot dan jaringan adiposa (Lawrence, 1994; Nugroho, 2006). b. Diabetes mellitus tipe II Diabetes mellitus tipe 2 (DMTTI atau permulaan pendewasaan) ditandai dengan kondisi sel β pankreas masih cukup baik sehingga masih mampu mensekresi insulin namun dalam kondisi relatif defisiensi. Perkembangan tipe penyakit ini adalah suatu bentuk umum dari diabetes mellitus dan sangat terkait dengan sejarah keluarga yang pernah mengalami diabetes. Resistensi insulin dan hyperinsulinemia biasanya menyebabkan melemahnya toleransi glukosa, destruksi sel-sel β, menjadi penyebab utama terjadinya siklus intoleransi glukosa dan hyperglichemia (Mayfield, 1998). Penderita diabetes tipe II tdak tergantung insulin (non-insulin dependent diabetes mellitus) kebanyakan timbul pada usia 40 tahun. Pada diabetes tipe II ditandai dengan kelainan dalam sekresei insulin maupun kerja insulin. Pankreas masih relative cukup mengahsilkan insulin tetapi insulin yang ada bekerja kurang sempurna karena adanya resistensi insulin (adanya efek respon jaringan terhadap insulin) yang melibatkan reseptor insulin di membran sel yang mengakibatkan penurunan sensifitas sel target, kehilangan reseptor insulin pada membran sel targetnya mengakibatkan terjadi penurunan efektifitas serapan glukosa dari darah, individu yang mengalami overwight memiliki potensial yang lebih besar menderita diabetes di banding individu normal. Penderita DM II cenderung terjadi pada usia lanjut dan biasanya didahului oleh keadaan sakit atau stres yang membutuhkan kadar insulin tinggi (Nugroho, 2006). c. Diabetes Mellitus Kehamilan (Gestational) Diabetes gestational adalah diabetes yang timbul selama masa kehamilan, jenis ini sangat penting diketahui karena dampaknya pada janin kurang baik bila tidak segera di

tangani dengan benar (Suyono, 1995). Masa kehamilan memberikan stress atau tekanan tambahan bagi tubuh. Tubuh tidak dapat memproduksi insulin untuk memenuhi kebutuhan insulin pada waktu kehamilan. Pada 98 % kasus penyakit diabetes ini akan hilang stelah bayi lahir (Johnson, 1998). Salah satu terapi farmakologis adalah dengan pemberian obat hipoglikemia oral. Berdasarkan cara kerjanya, OHO dibagi menjadi 5 golongan: 1. Pemicu sekresi insulin/ insulin secretagogue (sulfonilurea dan glinid) a) Sulfonilurea Obat golongan ini mempunyai efek utama meningkatkan sekresi insulin oleh sel beta pankreas, dan merupakan pilihan utama untuk pasien dengan berat badan normal dan kurang. Namun masih boleh diberikan kepada pasien dengan berat badan lebih. Untuk menghindari hipoglikemia berkepanjangan pada berbagai keadaaan seperti orang tua, gangguan faal ginjal dan hati, kurang nutrisi serta penyakit kardiovaskular, tidak dianjurkan penggunaan sulfonilurea kerja panjang. b) Glinid Glinid merupakan obat yang cara kerjanya sama dengan sulfonilurea, dengan penekanan pada peningkatan sekresi insulin fase pertama. Golongan ini terdiri dari 2 macam obat yaitu Repaglinid (derivat asam benzoat) dan Nateglinid (derivat fenilalanin). Obat ini diabsorpsi dengan cepat setelah pemberian secara oral dan diekskresi secara cepat melalui hati. Obat ini dapat mengatasi hiperglikemia post prandial. 2. Peningkat sensitivitas terhadap insulin (metformin dan tiazolidindion) Tiazolidindion (pioglitazon) berikatan pada Peroxisome Proliferator Activated Receptor Gamma (PPAR-g), suatu reseptor inti di sel otot dan sel lemak. Golongan ini mempunyai efek menurunkan resistensi insulin dengan meningkatkan jumlah protein pengangkut glukosa,

sehingga

meningkatkan

ambilan

glukosa

di

perifer.

Tiazolidindion

dikontraindikasikan pada pasien dengan gagal jantung kelas I-IV karena dapat memperberat edema/retensi cairan dan juga pada gangguan faal hati. Pada pasien yang menggunakan tiazolidindion perlu dilakukan pemantauan faal hati secara berkala Golongan rosiglitazon sudah ditarik dari peredaran karena befek sampingnya. (Perkeni, 2011).

3. Penghambat glukoneogenesis (metformin) Obat ini mempunyai efek utama mengurangi produksi glukosa hati (glukoneogenesis), di samping juga memperbaiki ambilan glukosa perifer. Terutama dipakai pada penyandang diabetes gemuk. Metformin dikontraindikasikan pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal (serum kreatinin >1,5 mg/dL) dan hati, serta pasien-pasien dengan kecenderungan hipoksemia (misalnya penyakit serebro-vaskular, sepsis, renjatan, gagal jantung). Metformin dapat memberikan efek samping mual. Untuk mengurangi keluhan tersebut dapat diberikan pada saat atau sesudah makan. Selainitu harus diperhatikan bahwa pemberian metformin secara titrasi pada awal penggunaan akan memudahkan dokter untuk memantau efek samping obat tersebut. (Perkeni, 2011). 4. Penghambat absorpsi glukosa/penghambat glucosidase alfa (akarbose) Obat ini bekerja dengan mengurangi absorpsi glukosa di usus halus, sehingga mempunyai efek menurunkan kadar glukosa darah sesudah makan. Acarbose tidak menimbulkan efek samping hipoglikemia. Efek samping yang paling sering ditemukan ialah kembung dan flatulens. (Perkeni, 2011). 5. DPP-IV inhibitor Glucagon-like peptide-1 (GLP-1) merupakan suatu hormon peptida yang dihasilkan oleh sel L di mukosa usus. Peptida ini disekresi oleh sel mukosa usus bila ada makanan yang masuk ke dalam saluran pencernaan. GLP-1 merupakan perangsang kuat pelepasan insulin dan sekaligus sebagai penghambat sekresi glukagon. Namun demikian, secara cepat GLP1 diubah oleh enzim dipeptidyl peptidase-4 (DPP-4), menjadi metabolit GLP1-(9,36)-amide yang tidak aktif. Sekresi GLP-1 menurun pada DM tipe 2, sehingga upaya yang ditujukan untuk meningkatkan GLP-1 bentuk aktif merupakan hal rasional dalam pengobatan DM tipe 2. Peningkatan konsentrasi GLP1 dapat dicapai dengan pemberian obat yang menghambat kinerja enzim DPP-4 (penghambat DPP4), atau memberikan hormon asli atau analognya (analog incretin=GLP-1 agonis). Berbagai obat yang masuk golongan DPP-4 inhibitor, mampu menghambat kerja DPP-4 sehingga GLP-1 tetap dalam konsentrasi yang tinggi dalam bentuk aktif dan mampu merangsang penglepasan insulin serta menghambat penglepasan glukagon (Perkeni, 2011).

BAB III ALAT, BAHAN DAN PROSEDUR KERJA

3.1 Alat dan Bahan a. Timbangan analitik b. Alat sonde c. Tikus d. Larutan gula 50% e. Metformin Dosis: 500mg/60kg (dosis manusia) Konsentrasi: 500mg / 100ml f. Satu set alat pengukur gula darah

3.2 Prosedur Kerja 1. Penyiapan hewan a. Hewan coba hendaknya dipuasakan semalam sebelum percobaan b. Sebelum digunakan hewan tersebut harus terlebih dahulu ditimbang c. Diberikan tanda pada bagian tertentu dari hewan coba untuk menyatakan berat hewan coba 2. Penyiapan larutan metformin dan larutan glukosa 50% 3. Percobaan a. Sebagai control, tikus 1 diberi larutan glukosa 50% dengan dosis 1 g/kg, kemudian diukur kadar glukosa pada 5 dan 30 menit. b. Tikus 2, diberi larutan glukosa 50% dengan dosis 1 g/kg, selanjutnya diberi suspense metformin kemudian diukur kadar glukosa pada 5 dan 30 menit.

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Pengamatan a. Obat Metformin - Glukosa 1g/kg - Konsentrasi 500mg/100ml Kelompok

Konsentrasi glukosa dalam darah (mg/dL) 5 Menit

30 Menit

1 (500mg/60kgBB)

158

180

2 (1500mg/60KgBB)

63

218

3 (Kontrol Negatif)

143

146

4 (1000mg/60KgBB)

97

147

b. Obat Glibenklamid - Glukosa 50% - Konsentrasi 5mg/100ml Kelompok

Konsentrasi glukosa dalam darah (mg/dL) 5 Menit

30 Menit

45 Menit

60 Menit

1 (5mg/60KgBB)

84

175

174

129

2 (Kontrol Negatif)

139

193

175

29

3 (10mg/60KgBB)

63

63

73

64

4 (15mg/60KgBB)

49

43

37

41

konsentrasi glukosa (mg/dL)

kurva konsentrasi gula 250 200 150 100 50 0 5

30

45

60

waktu (menit) kelompok 1a

kelompok 2a

kelompok 3a

kelompok 4a

kelompok 1c

kelompok 2c

kelompokm 3c

kelompok 4c

4.2 Pembahasan Pada praktikum kali ini dilakukan pengujian obat antidiabetik terhadap tikus dengan pemberian dosis yang berbeda. Tujuan dilakukannya praktikum ini diantaranya untuk mampu melaksanakan uji antidiabetes dan mampu memperoleh gambaran manifestasi dari efek antidiabetes. Berdasarkan katzung edisi 12 diabetes mellitus didefinisikan sebagai peningkatan glukosa darah yang berkaitan dengan tidak ada atau kurang memadainya sekresi insulin pankres, dengan atau tanpa 150mmHg, dan tanda-tanda neuropati perifer ringan. Sedangkan, antidiabetes merupakan suatu aktivitas yang diberikan oleh senyawa tertentu yang dapat mengobati penyakit diabetes. Obat antidiabetes dibagi menjadi 5 golongan diantaranya golongan sulfonilurea, golongan biguanid, golongan analog meglitinid, golongan thiazolidindion, golongan penghambat alpha-glukosidase. Sulfonilurea berdasarkan Triplitt et al tahun 2005 diklasifikasikan menjadi 2, yaitu generasi pertama dan generasi kedua. Penggolongan ini didasarkan perbedaan pada potensi efek terapi, potensi efek samping selektif dan penempelan pada protein serum. Yang termasuk dalam generasi pertama meliputi asetoheksamid, klorpropamid, tolazamid dan tolbutamid. Sedangkan sulfonilurea golongan kedua adalah glimepirid, glipizid dan gliburid, yang mempunyai potensi hipoglikemi lebih besar dari generasi pertama. Obat golongan biguanid menurut Suherman tahun 2007 merupakan suatu antihiperglikemik, tidak merangsang sekresi insulin dan umumnya tidak menyebabkan

hipoglikemik. Metformin oral diabsorbsi di intestin dan tidak terikat dengan protein plasma di dalam darah dan diekskresi melalui urin. Metformin diminum pada saat makan, pada pasien DM yang tidak memberikan respon terhadap sulfonilurea, dapat diberikan metformin atau digunakan sebagai terapi kombinasi bersama insulin atau sulfonilurea. Obat golongan meglitinid menurut Suherman tahun 2007 memiliki mekanisme kerja obat golongan ini hampir sama dengan sulfonilurea. Golongan ADO ini merangsang insulin dengan menutup kanal K yang ATP independent di sel β pankreas. Repaglinid dan nateglinid merupakan golongan obat ini. Absorbsinya cepat saat diberikan secara oral dan mencapai kadar puncaknya dalam waktu 1jam. Waktu paruhnya 1jam, maka harus diberikan beberapa kali dalam sehari, pada waktu sebelum makan. Obat ini mengalami metabolisme di hati (utamanya), 10% dimetabolisme di dalam ginjal. Efek samping utama hipoglikemia dan gangguan saluran pencernaan, juga reaksi alergi. Antidiabetik oral ini juga disebut dengan golongan tiazolidinedionberdasarkan Suherman tahun 2007, termasuk dalam golongan ini yang tersedia secara komersial adalah rosiglitazon dan pioglitazon. Obat golongan ini mampu meningkatkan sensitivitas insulin terhadap jaringan sasaran, diduga memiliki aktivitas untuk mengurangi resistensi insulin dengan meningkatkan ambilan glukosa dan metabolisme dalam otot dan jaringan adipose. Agen ini juga menahan glukoneogenesis di hati dan memberikan efek tambahan pada metabolisme lemak, steroidogenesis di ovarium, tekanan darah sistemik dan sistem fibrinolitik. Obat golongan alpha-glukosidase bekerja secara kompetitif menghambat kerja enzim alfa glukosidase di dalam saluran cerna sehingga dapat menurunkan hiperglikemia postprandial, bekerja di lumen usus, tidak menyebabkan hipoglikemia

dan tidak

mempengaruhi kadar insulin. Efek samping yang ditimbulkan dapat berupa gejala gastrointestinal, flatulen dan diare (Waspadji, 1996). Yang termasuk dalam golongan ini adalah akarbose dan miglitol (Suherman, 2007). Masing-masing golongan obat antidiabetes tersebut memiliki mekanisme kerja berbeda-beda yang pada akhirnya dapat memberikan efek mengurangi kadar glukosa dalam darah. Pada praktikum kelas A menggunakan obat metformin yang termasuk ke dalam golongan antidiabetes biguanid dengan dosis 500mg/60kgBB, 1000mg/60kgBB dan 1500mg/60kgBB. Sedangkan untuk kelas C dilakukan pengujian dengan obat glibenklamid

yang termasuk kedalam antidiabetes golongan sulfonilurea generasi kedua dengan dosis 5mg/60kgBB, 10mg/60kgBB, dan 15mg/60kgBB. Sebelum dilakukan perlakuan tikus dipuasakan terlebih dahulu tujuannya yaitu agar obat cepat diabsorpsi sebab pemberian obat dilakukan dengan rute pemberian obat secara oral. Kemudian masing-masing tikus diberikan glukosa sebannyak 50mg/100ml yang dikonversi menjadi VAO berdasarkan berat badan tikus sehingga kadar glukosa dalam darah tikus tinggi (diabetes) dan selanjutnya dapat diberikan obat antidiabetes guna dapat mengamati kerja dari obat antidiabetes tersebut. Berdasarkan pengamatan pada pemberian obat antidiabetes metformin didapatkan hasil pengamatan kadar glukosa dalam darah pada 5 menit setelah pemberian obat yaitu dosis 500mg/60kgBB memiliki kadar glukosa yang lebih tinggi dibandingkan dengan control yang tidak diberikan obat antidiabetes. Sedangkan pada dosis 1000mg/60kgBB dan 1500mg/60kgBB sudah didapatkan hasil glukosa dalam darah yang lebih rendah dibandingkan dengan control dan pada dosis 1500mg/60kgBB didapatkan hasil penurunan kadar glukosa dalam darah yang signifikan dibandingkan dengan dosis 1000mg/kgBB. Pada waktu 30 menit didapatkan hasil kadar glukosa dalam darah lebih tinggi pada dosis 1500mg/60kgBB sebesar 218mg/dL. Sedangkan, pada Unnes Journal of Life Science kadar glukosa tikus yang sudah diberikan glukosa dan diberikan metformin dengan dosis 9g/200gBB pada menit ke-30 sebesar 86,92mg/dL dan mengalami penurunan kadar glukosa pada menit ke-45 hingga 45,37mg/dL. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya obat yang diberikan pada tikus belum terabsorpsi sehinggga belum menimbulkan efek menurunkan kadar glukosa dalam darah, dan tikus yang dipuasakan tetap memproduksi insulin sehingga menyebabkan kadar insulin banyak didalam tubuh, serta dapat juga glukosa yang diberikan belum terdistribusikan secara merata ke seluruh tubuh. Pada pengamatan obat antidiabetes metformin setelah pemberian selama 30 menit didapatkan hasil kadar glukosa dalam darah pada semua dosis lebih tinggi dibandingkan dengan kadar glukosa pada kontrol dan juga pada setiap dosis mengalami kenaikan kadar glukosa dalam darah pada rentang 5-30 menit. Hal ini dikarenakan pada saat pengecekan kadar glukosa dengan glucometer darah tidak sepenuhnya masuk ke dalam strip glucometer, yang mana volume darah yang dimasukkan dalam strip glukocek berpengaruh. waktu pengamatan yang kurang, dimana berdasarkan goodman and gilman waktu paruh dari

metformin sekitar 2 jam dan berdasarkan katzung edisi 12 dosis metformin mulai dari 500 mg hingga maksimum 2,55 gram per hari dengan pemakaian dosis terendah yang masih efektif, sehingga semakin besar dosis yang diberikan dapat memberikan efek antidiabetes yang lebih tinggi. Sedangkan pada pemberian obat antidiabetes glibenklamid didapatkan hasil pengamatan kadar glukosa dalam darah pada menit ke-5 menuju ke-30 masih mengalami kenaikan kadar glukosa, namun tidak melebihi kadar glukosa pada control. Mulai dari menit ke-30 menuju menit ke-45 sudah mengalami penurunan kadar glukosa dalam darah dan kadar glukosa lebih menurun pada menit ke-45 menuju menit ke-60, dimana diketahui waktu paruh glibenlamid golongan sulfonilurea generasi kedua berdasarkan goodman and gilman 3-5 jam, waktu onset dari glibenklamid 30-60 menit, durasi obat bekerja selama 1824 jam dan jika diberikan 30 menit sebelum makan waktu yang dibutuhkan untuk mencapai konsentrasi optimal dalam plasma memiliki waktu paruh lebih singkat sehingga pada waktu ke-30 obat sudah mulai bekerja. Sedangkan, pada tikus kontrol kadar glukosa menit ke-60 lebih rendah dibandingkan dengan tikus yang diberikan obat antidiabetes, hal ini dapat disebabkan darah tidak sepenuhnya masuk dalam strip glucometer pada saat pengecekan kadar glukosa dengan alat glucometer, yang mana volume darah yang dimasukkan dalam strip glukocek berpengaruh. Terlalu sedikit maupun terlalu berlebih akan mengakibatkan perbedaan data sebab kadar glukosa yang dicek pula akan berbeda. Idealnya volume darah harus selalu cukup dalam strip agar dapat dibandingkan pada variabel waktu. Pada dosis 15mg/kgBB glibenklamid memiliki efektifitas kerja lebih baik sebagai antidiabetes jika dibandingkan dengan dosis 5mg/kgBB dan 10mg/kgBB, dimana diketahui pada pionas BPOM dosis awal glibenklamid sebesar 5mg per hari dan dosis maksimum 15mg sehari. Hasil pengamatan ini juga berbanding lurus dengan hasil pegamatan yang tertera pada Unnes Journal of Life Science, dimana pada menit ke-60 dengan pemberian glibenklamid 0,09g/200gBB kadar glukosa sebesar 25,06mg/dL hingga menit ke-90 sebesar 23,63mg/dL. Hasil pengecekan pada obat golongan metformin kelompok 2 dan 4 pada menit ke-5 menunjukkan kadar glukosa yang lebih rendah jika dibandingan kadar glukosa tikus puasa yaitu sebesar <110mg/dL berdasarkan jurnal Indian J Pharmacol dan pada obat golongan sulfoniluria terdapat pada kelompok 1, 3, dan 4 yang memiliki kadar glukosa yang lebih rendah dari glokosa puasa. Perbandingan hasil pengamatan jika dilihat dari obat yang

digunakan didapatkan hasil obat golongan sulfonilurea memiliki efektifitas lebih baik sebagai obat antidiabetes jika dibandingkan dengan obat golongan biguanida. Dimana berdasarkan pernyataan goodman and gilman obat antidiabetes golongan sulfonilurea bekerja dengan menstimulasi pelepasan insulin dari sel β-pankreas. Efek sulfonilurea diawali dengan mengikat dan memblok saluran K+ sensitive-ATP yang telah diklon. Dengan demikian, obat ini menyerupai perangsangan sekresi fisiologis yan juga menurunkan kemampuan konduksi saluran ini. Berkurangnya konduksi K+ ini menyebabkan depolarisasi membrane dan influx Ca+ melalui saluran Ca+ sensitivetegangan. Sedangkan, laju absorpsi sulfoniurea yang berbeda, semuanya diabsorbsi secara efektif dari saluran gastrointestinal. Namun, makanan dan hiperglikemia dapat mengurangi absorbsi sulfoniurea (hiperglikemia sendiri menghambat motilitas lambung dan usus sehingga dapat memperlambat absorbsi berbagai obat). Semua senyawa sulfoniurea dimetabolime oleh hati, dan metabolitnya diekskresikan di dalam urin seperti yang diperkirakan, sulfoniurea dapat menyebabkan reaksi hipoglikemia termasuk koma. Sulfoniurea

dapat

diurutkan

menurut

berkurangnya

resiko

dalam

menyebabkan

hipoglikemia berdasarkan waktu paruhnya. Makin panjang waktu paruhnya, makin besar kemungkinan senyawa tersebut menginduksi hipoglikemia. Efek antidiabetik dari obat golongan biguanida lebih rendah dibandingkan dengan obat golongan sulfoniurea karena efek primer dari obat golongan biguanida adalah mengurangi produksi glukosa hati melalui pengaktifan enzim AMP-activated protein kinase (protein kinase yang diaktifkan oleh AMP). Mekanisme kerja minor lainnya adalah penghambatan gluconeogenesis di ginjal, perlambatan penyerapan glukosa di saluran cerna, disertai peningkatan konversi glukosa menjadi laktat oleh enterosit, simulasi langsung glikolisis di jaringan, peningkatan pengeluaran glukosa dari darah dan penurunan kadar glucagon plasma. Efek biguanid dalam penurunan glukosa darah tidak bergantung pada fungsi sel beta pancreas. Metformin tidak dimetabolisasi tidak terikat ke protein plasma, dan diekskresikan oleh ginjal sebagai senyawa aktif. Sedangkan efek samping metformin yaitu menurunkan produksi glukosa endogen.

BAB V KESIMPULAN

Berdasarkan hasil praktikum dapat disimpulkan bahwa obat golongan sulfonilurea memiliki efektifitas lebih baik sebagai obat antidiabetes jika dibandingkan dengan obat golongan biguanida. Hal ini berbanding lurus dengan literature Goodman and Gillman. Namun, jika dilihat dari efek samping yang ditimbulkan obat golongan biguanida lebih baik dari obat golongan sulfoniurea.

DAFTAR PUSTAKA

Bilous, Rudy W. 2003. Diabetes. Alih bahasa: Pangemanan, Christine. Jakarta: Dian Rakyat Goodman and Gilman’s. 1992. The Pharmacological Basis of Therapeutics. Eight Edition. New York. McGraw-Hill : 3. International Diabetes Federation (IDF). (2015). IDF Diabetes Atlas, diakses pada 11 Mei 2019 dari https://www.idf.org/e-library/epidemiology-research/diabetes-atlas.html Jain DK, Arya RK. Anomallies In Alloxan Induced Diabetic Model: It Is Better To Standarize It First. Indian J Pharmacol. 2011; 43(1): 91. Katzung, G. Bertram. 2002. Farmakologi : Dasar dan Klinik. Buku 2. Penerbit Salemba Medika. Jakarta. Kee, J.L. dan Hayes E. R. 1996. Farmakologi: Pendekatan Proses Keperawatan. Alih Bahasa : Dr. Peter Anugrah. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta Mayfield, J. 1998. Diagnosis and Classification of Diabetes Mellitus; New Criteria. http://www.aafp.org/afp/981015ap/mayfield.html Diakses 11 Mei 2019 Mustofa, dkk. 2012. Efek Pemberian Jus Lidah Buaya Terhadap Kadar Glukosa Darah Tikus Putih. Unnes Journal of Life Science. Semarang. PERKENI. 2011. Konsensus pengelolaan diabetes melitus tipe 2 di indonesia 2011. Semarang: PB PERKENI. Suherman S. K., 2007. Insulin dan Antidiabetik Oral. Dalam : Gunawan, S.G. Farmakologi dan Terapi. Edisi 5. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. pp: 485; 48993 Tarr, J.M., Kaul, K., Chopra, M., et al. 2013. "Pathophysiology of Diabetic Retinopathy". ISRN Ophthalmology. Triplitt C.L., Reasner C.A. and Isley W.L., 2008, Diabetes Mellitus, Dalam Pharmacotherapy Handbook, The McGraw-Hill Companies, United States of America, pp. 1205–1241 Varma, R., Bressler, N.M., Doan, Q. V., et al. 2014. "Prevalence of and risk factors for diabetic macular edema in the United States". JAMA Ophthalmol, 132(11): 1334– 1340. Waspadji, S, 1995, Penelitian Diabetes Mellitus Suatu Tinjauan Tentang Hasil Penelitian dan Kebutuhan Penelitian Masa yang Akan Datang dalam Diabetes Mellitus Penatalaksanaan Terpadu, Editor Soegondo, S., Soewondo, P., I., Penerbit FKUI, Jakarta. Wuragil, D.K. 2006. Potensi Ekstrak Sambiloto (Andrographis paniculata) Terhadap Kadar Glukosa Darah dan Keberadaan Tumor Nekrosis Faktor Alfa Pada Pankreas Tikus (Rattus

norvegicus) Diabetes Hasil Paparan MLD-STZ. Skripsi Jurusan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Malang: Universitas Brawijaya.

Related Documents


More Documents from "Vira Syahfitri"