Wajah Studi Agama-agama Dr.media Zainul Bahri.pdf

  • Uploaded by: Ida Bagus Suabadjra
  • 0
  • 0
  • January 2021
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Wajah Studi Agama-agama Dr.media Zainul Bahri.pdf as PDF for free.

More details

  • Words: 75,086
  • Pages: 280
Loading documents preview...
Dr. Media Zainul Bahri

i

sebagai sesuatu yang absurd dan tidak menyenangkan. Menurut Ninian Smart, disebut absurd karena pendekatan ilmiah cenderung untuk melalaikan atau mendistorsi perasaan-perasaan batin dan responsrespons terhadap yang tak terlihat (Yang Ilahi). Disebut tidak disukai karena studi ilmiah membawa pendekatan yang dingin (rasional) terhadap apa yang seharusnya “hangat dan menggetarkan.” Anggapan tersebut keliru, meskipun sepenuhnya dapat dimengerti. Tentu saja ilmu-ilmu humaniora—termasuk agama—harus berurusan dengan perasaan batin, karena manusia tidak bisa dipahami jika sentimen,

Dr. Media Zainul Bahri

Sejak dulu banyak orang menganggap kajian ilmiah terhadap agama

Dr. Media Zainul Bahri

emosi dan penghayatan keagamaannya tidak dipahami. Hal ini tentu berbeda dengan pendekatan dalam ilmu-ilmu pasti (eksak) yang memperlakukan batu-batu atau elektron-elektron. Studi agama juga tidak disukai disebabkan problem menguatnya fundamentalisme agama saat ini yang “alergi” terhadap studi agama yang ilmiah, karena hal itu dianggap akan “membahayakan akidah,” “menyesatkan” atau setidaknya membuat seorang beragama akan jauh dari agamanya disebabkan mengkaji keyakinan agama yang sudah pasti dengan metode-metode ilmiah yang menganggap agama sebagai bagian dari kebudayaan sehingga absah untuk “diobrak-abrik.” “Studi Media Zainul Bahri ini patut dipuji karena bermutu dan sangat informatif. Buku Wajah Studi Agama-Agama ini sesungguhnya tidak mendeskripsikan sejarah salah satu disiplin akademik saja, tetapi sekaligus menunjukkan bagaimana “wajah” masyarakat (muslim) di Indonesia dicerminkan di dalam pemikiran ihwal agama lain.” —Prof. Dr. Edwin P. Wieringa

9 786022 295457

Dari Era Teosofi Indonesia (1901-1940) Hingga Masa Reformasi Penerbit Pustaka Pelajar Celeban Timur UH III/548 Yogyakarta 55167 Telp. (0274) 381542, Faks. (0274) 383083 e-mail:[email protected] website:pustakapelajar.co.id

Dr. Media Zainul Bahri

iii

Wajah Studi Agama-Agama Dari Era Teosofi Indonesia (1901-1940) Hingga Masa Reformasi Penulis Dr. Media Zainul Bahri Desain Cover Haetamy el-Jaid Tata Letak Abi Fairuz Pemerikasa Aksara Ratih Cetakan I, Oktober 2015 Penerbit PUSTAKA PELAJAR Celeban Timur UH III/548 Yogyakarta 55167 Telp. (0274) 381542, Fax. (0274) 383083 E-mail: [email protected] Website: pustakapelajar.co.id ISBN: 978-602-229-545-7

iv

Wajah Studi Agama-Agama

DAFTAR ISI

Ucapan Terima Kasih Pengantar  xi Daftar Isi  xvii



v

BAB I. Pendahuluan Catatan





1

12

BAB II. Aneka Pendekatan Terhadap Studi Agama  13 A. Signifikansi Studi Ilmiah Agama  13 B. Beberapa Pendekatan  15 1. Pendekatan Historis  15 2. Pendekatan Teologis  20 3. Pendekatan Fenomenologis  23 4. Pendekatan Komparatif  27 5. Pendekatan Perenial  30 6. Pendekatan Dialogis  38 7. Pendekatan Sosiologis  43 8. Pendekatan Antropologis  47 9. Pendekatan Psikologis  56 Catatan  61

BAB III. Teosofi: Pengertian dan Tujuan A. Pengertian Teosofi  65 B. Tujuan Teosofi  70 C. Makna Simbol/Lambang Teosofi  72 D. Teosofi dan Agama  79 E. Munculnya Masyarakat Teosofi Indonesia Catatan  94 Dr. Media Zainul Bahri





65

87

xvii

BAB IV. Teosofi dan Model Studi Perbandingan Agama  99 A. Teosofi dan Doktrin Agama-Agama  100 1. Islam dan Teosofi  100 2. Agama Hindu dan Teosofi  102 3. Agama Buddha dan Teosofi  103 4. Agama Kristen dan Teosofi  103 5. Konghucu dan Teosofi  103 6. Baha’i dan Teosofi  104 B. Teosofi dan Model Studi Perbandingan Agama  105 1. Satu Tuhan Banyak Agama  105 2. Kesatuan Esensi dan Hubungan Substansial Para Utusan Tuhan  109 3. Soal Perbedaan Agama  118 4. Soal Penghinaan Agama, Konversi, dan Kerukunan C. Membaca Pandangan Keagamaan Teosofi  129 1. Perenialisme: Cinta dan Kesatuan  129 2. Komparasi “Sederhana”  137 3. India yang Berbeda dan Westernisasi  145 4. Humanisme Religius  149 5. MTI dan Kejawen  152 D. Model Studi yang Dilakukan  157 E. Pendidikan Agama Berbasis Multikultur  161 F. Masa Suram Gerakan Teosofi  162 1. Kecaman dan Reaksi  162 2. Tanggapan Terhadap Kecaman  163 3. Kasus Khusus “Islam”  165 G. Studi Perbandingan Agama Sesudah Teosofi: Menimbang Peran Mahmud Yunus dan Zainal Arifin Abbas  167 H. Model Studi yang Dilakukan  176 Catatan  177

xviii



122

Wajah Studi Agama-Agama

BAB V. Studi Perbandingan Agama Di Masa Orde Baru  185 A. Studi Perbandingan Agama Di Masa Orde Baru: Mencermati Peran Sentral Mukti Ali  185 B. Studi Perbandingan Agama: Pengertian dan Tujuan  188 1. Pengertian  188 2. Kegunaan dan Tujuan  192 C. Tipologi “Agama Langit” dan “Agama Bumi”  199 D. Metodologi  203 1. Periode Awal: Pendekatan Teologis  203 2. Mengapa Apologetik?  211 3. Periode Kedua: Merintis Metodologi Ilmiah  217 E. Studi Perbandingan Agama dan Politik  243 F. Isu-Isu Penting  249 1. Agama dan Pembangunan  249 A. Pembangunan Manusia Seutuhnya  249 B. Kerukunan Antarumat Beragama  253 2. Pluralisme Agama  259 A. Nurcholish Madjid  259 B. Abdurrahman Wahid  271 C. Djohan Efendi  291 D. Jalaluddin Rakhmat  301 3. Dialog Antaragama dan Passing Over  312 A. Dialog Antaragama  312 B. Passing Over  337 G. Model Studi dan Pengajaran  341 1. Materi dan Model Pengajaran  341 2. Model Historis-Kronologis  347 3. Mengapa Selalu Dimulai dengan Teori Asal-Usul Agama  354 H. Model Studi yang Dilakukan  363 Catatan  372

Dr. Media Zainul Bahri

xix

BAB VI. Studi Agama-Agama Di Era Reformasi  389 A. Polemik Pergantian Nama  389 B. Melanjutkan Tradisi  403 C. “Baju Lama, Badan Baru”  404 D. CRCS dan ICRS: Model Religious Studies yang Ideal E. Masa Depan Studi Perbandingan Agama  417 Catatan  421

BAB VII. Penutup





411

425

Bibliografi  427 Biodata Penulis  439 Index  441

xx

Wajah Studi Agama-Agama

BAB I PENDAHULUAN

A. Pendahuluan Secara dramatis, Daniel L. Pals menceritakan bahwa pada suatu hari di musim semi bulan Februari 1870, seorang ilmuwan setengah baya berkebangsaan Jerman menaiki mimbar di sebuah acara kerajaan di London guna menyampaikan satu kuliah umum. Saat itu, profesor-profesor Jerman sudah diakui kemampuannya di Inggris, tak terkecuali orang ini. Meski demikian, ia tampil seperti seorang Inggris tulen. Nama profesor itu adalah Friedrich Max Müller (1823-1900). Ia datang ke Inggris pertama kali sewaktu muda untuk belajar tulisan-tulisan kuno dari kitab Weda-India. Sejak saat itu, ia merasa betah di Inggris, bahkan menikahi gadis Inggris dan akhirnya mendapatkan posisi penting di Universitas Oxford. Müller sangat dikagumi karena pengetahuannya yang mendalam tentang Hinduisme kuno dan keahliannya dalam menulis dengan bahasa Inggris yang ia gunakan untuk membuat tulisan populer mengenai bahasa dan mitologi. Dalam kesempatan kuliah umum itu, ia mengusulkan disiplin ilmu baru, suatu ilmu yang siap ia promosikan dan ia sebut sebagai “the science of religion.”1 Menurut Pals, istilah the science of religion yang diajukan Müller pada mulanya hampir membuat “marah” yang hadir karena masyarakat Inggris—dalam satu dekade itu—masih dihebohkan dengan karya Charles Darwin, The Origin of Species (1859) yang memunculkan persaingan sengit antara sains dan agama. Karena itu, istilah the science of religion kembali memunculkan rasa keingintahuan mereka: apakah mungkin kepastian-kepastian iman yang telah lama dianut dapat “dicampuraduk” dengan kajian ilmiah yang Dr. Media Zainul Bahri

1

selalu mendasarkan diri pada eksperimen, revisi dan perubahanperubahan? Namun Max Müller meyakinkan para pendengarnya bahwa studi ilmiah tentang agama akan memberikan kontribusi kepada agama dan ilmu sekaligus. Ia mengingatkan para audiens bahwa adagium yang dibuat oleh Johann Wolfgang von Goethe (1749-1832), sastrawan termasyhur Jerman, dalam puisinya tentang bahasa manusia yang bisa dipakai dalam agama, yaitu: “Ia yang hanya tahu satu hal, sesungguhnya tidak tahu apa-apa (He who knows one, knows none)”2 (dalam studi agama menjadi: Ia yang hanya tahu satu agama, sesungguhnya tidak tahu apa-apa). Menurut Müller, sudah saatnya pandangan objektif dan benarbenar baru harus digunakan dalam studi agama yang sebenarnya sudah berumur tua. Daripada terus-menerus bertaklid kepada para teolog yang hanya ingin membuktikan kebenaran agamanya sendiri sambil menyalahkan agama orang lain, saatnya kini untuk menerapkan berbagai pendekatan yang beragam, meneliti elemen, bentuk, dan prinsip-prinsip yang bisa ditemukan dalam semua agama, kapan pun dan di mana pun. Dalam disiplin baru ini, banyak hal yang bisa dilakukan sebagaimana telah dilakukan oleh kaum saintis, yaitu mengumpulkan fakta-fakta, adat-istiadat, ritual, dan kepercayaan-kepercayaan dari seluruh agama yang ada di bumi ini, lalu membangun teori tentang agama-agama tersebut, persis seperti ahli biologi dan kimia yang mampu menjelaskan cara kerja alam ini.3 Sejak saat itu, studi ilmiah agama terus menggelinding dan berkembang, tidak semata di Eropa dan Amerika, tetapi juga di Asia. Studi ilmiah itu muncul dengan nama (sebutan) yang bermacammacam seperti Perbandingan Agama (Comparative Religion), Studi Perbandingan Agama (The Study of Comparative Religion) Studi Perbandingan Agama-Agama (Comparative Study of Religions atau Comparative Studies of Religions), Studi Agama-Agama (The Study of Religions), Studi Keagamaan (Religious Studies) dan lain-lain. Semua namaitu biasanya merujuk kepada studi ilmiah agama-agama yang dirintis oleh Max Müller.

2

Wajah Studi Agama-Agama

Di Indonesia, studi ilmiah agama secara resmi dibuka di PTAIN (Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri) Yogyakarta pada tahun 1961 dengan nama (Jurusan) “Ilmu Perbandingan Agama” atau biasa disingkat “Perbandingan Agama” saja. Perintis utama berdirinya studi itu adalah Profesor Mukti Ali. Namun, jauh sebelum 1961, studi Perbandingan Agama di Nusantara sesungguhnya telah dirintis pada akhir abad ke-19 oleh Gerakan Teosofi Hindia-Belanda. Jika ditelusuri kemunculan, perkembangan dan formasi kematangan akademiknya, saya membagi studi ini di Nusantara di abad modern dalam empat fase penting. Yaitu, pertama, Studi Perbandingan Agama, dalam pengertian mempelajari agama-agama, membandingkannya dan secara spesifik mencari titik-temu diantara agama-agama, muncul pertama kali secara mengejutkan diawal abad 20 oleh sebuah paguyuban yang menamakan diri teosofi Hindia Belanda (sejarawan menyebutnya Gerakan Teosofi Indonesia, tetapi saya lebih memilih untuk menyebutnya Masyarakat Teosofi Indonesia atau MTI). MTI adalah organisasi nonpemerintah Belanda—sebagai cabang dari Teosofi Internasional yang berpusat di Adyar, India—yang anggotanya didominasi oleh para priyayi Jawa, kaum santri Muslim non-priyayi, orang-orang Belanda dan Eropa non-Belanda, yang eksis pada rentang waktu 1901 hingga 1940 (pra-kemerdekaan). Tujuan kedua dari tiga tujuan pokok organisasi Teosofi Internasional, yang juga diikuti oleh Teosofi Indonesia, adalah “Memajukan pelajaran membanding-bandingkan agama, Filsafat dan Ilmu Pengetahuan. Dalam sumber yang lain disebutkan: mempelajari agama-agama kuno dan modern, filsafat dan sains.” Helena Blavatsky, tokoh sentral dan pendiri Teosofi Internasional, menyebut tujuan kedua ini, “Untuk mempromosikan studi kepercayaan bangsa Arya dan kitab-kitab suci lainnya dari agama-agama dunia dan berbagai macam ilmu pengetahuan, dan mempertahankan pentingnya literatur Asia kuno, yakni filsafat-filsafat kaum Brahmana, Buddhis dan Zoroaster.”4

Dr. Media Zainul Bahri

3

Ciri utama studi PA pada MTI adalah: (1) Studi PA mereka lakukan dengan pendekatan “dari dalam” (“from within”), yakni mereka mempelajari langsung agama yang dikaji dari para penganutnya, terutama dari ahli agama yang dikaji. Ahli-ahli agama itu kemudian menulis secara berkala pengetahuan tentang agama masing-masing di majalah-majalah Teosofi yang terbit secara berkala selama hampir 40 tahun. (2) Mengeksplorasi ide-ide perenialisme. Teosofi sendiri adalah wujud lain dari paham dan praktik perenialisme. Helena Blavatsky sebagai pendiri teosofi dan tokoh-tokoh utama sesudahnya sering menegaskan bahwa teosofi adalah pengetahuan atau Hikmah yang sangat kuno yang diambil dari para filosof awal Yunani yang kemudian dilanjutkan oleh para generasi filosof sesudahnya ke generasi berikutnya di berbagai negeri yang subur dengan Kearifan Abadi. (3) Sebagai konsekuensi dari yang kedua, MTI banyak mengeksplorasi hubungan di antara agama-agama yang ada di Nusantara, dilihat perbedaan eksoterik dan persamaan (esoterik)-nya, namun aspek titik-temu dan persamaan lebih ditekankan. Mereka selalu menghubungkan titik-temu esoterik agamaagama itu dengan doktrin-doktrin mistik teosofi. Dan terakhir (4), MTI—dalam banyak publikasi mereka—juga melakukan “komparasi sederhana” di antara agama-agama, namun sekali lagi, aspek titik-temu agama-agama lebih ditekankan. Fase kedua adalah fase setelah masa teosofi, yakni studi Perbandingan Agama yang dilakukan oleh para sarjana Muslim Indonesia dimana karya-karya mereka dipelajari bahkan diwajibkan di sekolah-sekolah Islam, seperti pondok pesantren misalnya. Dua sarjana Muslim yang mencolok di era ini— kira-kira akhir 1930-an hingga awal 1960—adalah Mahmud Yunus dengan karyanya, al-Adyân dan Zainal Arifin Abbas dengan bukunya, Perkembangan Fikiran Terhadap Agama (2 jilid). Al-Adyân terbit pertama kali pada November 1937, lalu dicetak ulang hingga akhir 1980, dan Perkembangan Fikiran terbit pertama kali tahun 1951, lalu dicetak ulang pada 1965 dan 1970. Dua karya itu pada masanya adalah buku yang wajib dipelajari pada level sekolah lanjutan atas (semacam madrasah 4

Wajah Studi Agama-Agama

aliyah) baik di sekolah agama milik pemerintah atau di pondok pesantren. Kedua karya itu memiliki kemiripan dalam isi dan metodologinya. Pendekatan historis dan teologis tampak dominan dalam uraian Yunus dan Abbas tentang agama-agama dunia. Yunus sepenuhnya mendasarkan bukunya, al-Adyân, pada produk (pandangan) teologi Islam tentang agama non-Islam. Untuk sejarah agamaagama non-Islam, ia juga merujuk kepada banyak ulama Muslim. Ketika menuliskan sumber-sumber untuk karyanya itu, Yunus menyebut nama-nama penulis dan ulama Muslim terkemuka seperti Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, Ahmad Amin, Farid Wajdi, Jurzi Zaydan, Musthafa Amin, Ibn Hazm, Syahrastani dan lain-lain serta karya-karya mereka yang sudah dikenal baik di kalangan kaum Muslim. Karena itu, model Yunus adalah model teologis dengan corak Islam ala Timur Tengah. Yunus menggambarkan agama-agama non-Islam persis (serupa) dengan gambaran para ulama dan penulis di atas. Yunus sama sekali tidak mendiskusikan agama-agama dan kepercayaan yang ada di Nusantara, misalnya Hindu-Buddha Indonesia, Aliran Kebatinan, atau Katolik-Protestan Indonesia dan perbedaan spesifik mereka dengan agama-agama serupa yang dijelaskannya. Dengan kata lain, Yunus sama sekali tidak mengaitkan agama-agama dunia yang dibicarakannya dengan konteks agamaagama yang ada di Nusantara. Hal serupa juga terlihat pada karya Abbas, Perkembangan Fikiran. Meskipun karya itu jauh lebih tebal dari al-Adyân, karena menguraikan banyak hal tentang sejarah dan isi filsafat dan agama-agama dunia, namun perspektif Islam ala Timur Tengahnya juga cukup menonjol. Seperti halnya Yunus, Abbas juga tidak mendiskusikan agama-agama dan kepercayaan yang hidup di Indonesia. Fase ketiga adalah masa ketika studi PA didirikan di perguruan tinggi Islam. Secara formal-akademik lahir di PTAIN (Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri) Yogyakarta pada 1961, setahun setelah berdirinya dua pendidikan tinggi Islam negeri, yaitu di PTAIN YogDr. Media Zainul Bahri

5

yakarta dan ADIA (Akademi Dinas Ilmu Agama) Jakarta. Kelahiran jurusan Perbandingan Agama di Fakultas Ushuluddin ini tak bisa dilepaskan dari peran Profesor Mukti Ali, seorang cendekiawan Muslim terkemuka yang meraih gelar Doktor di Universitas Karachi, Pakistan dalam bidang Sejarah Islam, dan Magister Universitas McGill, Kanada dalam kajian Islamic Studies. Karena kepeloporannya ini, ia sering disebut sebagai ‘Bapak Ilmu Perbandingan Agama Indonesia.’ Menurut Mukti Ali, ilmu Perbandingan Agama dibutuhkan sebagai ikhtiar menjadi salah satu solusi penting dalam mengelola kemajemukan agama dan budaya di Indonesia. Pemerintah Orde Lama dan Orde Baru menyadari betul akan kebhinekaan Indonesia dan membutuhkan suatu disiplin ilmu keagamaan yang secara langsung dapat memahami pluralisme Indonesia dan cara mengelolanya secara produktif.5 Fase keempat adalah studi Perbandingan Agama di masa reformasi. Fase ini ditandai dengan dua hal penting: (1) perubahan paradigma dari Perbandingan Agama menjadi Studi Agama-Agama pada beberapa program studi Perbandingan Agama di UIN/IAIN. Perubahan paradigma ini membawa konsekuensi serius, misalnya jika pada program studi Perbandingan Agama, perbandingan (komparasi) menjadi sebuah disiplin ilmu di mana pendekatan atau model “perbandingan” mendominasi karya-karya akademik aktor-aktor Perbandingan Agama, baik mahasiswa maupun dosen, maka pada Studi Agama-Agama, perbandingan hanyalah satu saja dari beragam pendekatan Studi Agama. Dengan kata lain, Studi AgamaAgama yang konsen kepada agama sebagai subjek memiliki banyak pendekatan dalam studinya dan dengan otomatis muncullah tematema dan isu-isu yang luas. (2) Seiring dengan perkembangan kehidupan sosial-keagamaan yang kompleks di awal abad ke-21 maka muncul pula problem dan isu-isu sosial keagamaan yang layak menjadi “garapan” atau topik-topik penting Studi Agama-Agama. Bahkan, respons Studi Agama atas perkembangan yang terjadi tidak semata “menyegarkan” studi ini dan membuatnya tetap relevan

6

Wajah Studi Agama-Agama

dan kontekstual, namun juga akan membuat studi ini tetap “dibutuhkan” masyarakat. Studi ini penting dilakukan dengan alasan-alasan yang penting pula. Pertama, dengan mengetahui genealogi studi Perbandingan Agama selama lebih dari satu abad (1901-2014), maka akan diketahui peta disiplin ilmu ini, yang dengannya dapat dibuat rencana dan rancang bangun pengembangan akademik Studi Agama-Agama di Indonesia untuk masa mendatang. Secara akademik pula, belum ada studi ilmiah yang komprehensif mengenai genealogi dan perkembangan studi PA selama satu abad ini. Karenanya, studi ini juga dapat menjadi semacam “karya ensiklopedi” atau “karya sejarah” yang langka dan pertama kali dilakukan di Indonesia. Kedua, hasil dari studi ini akan menunjukkan suatu bentuk wajah Studi Agama-Agama Indonesia yang lahir dari pergumulan wacana dan ide studi Perbandingan Agama dari Barat dan Timur Tengah yang kemudian dikontekstualisasikan—melalui sebuah pergulatan yang dinamis dan panjang—ke dalam kultur kehidupan umat beragama Indonesia. Karena itu, penelitian ini juga akan menunjukkan satu model Studi Agama-Agama yang “khas” yang berbeda dari apa yang terjadi di dunia Barat dan Timur Tengah. Ketiga, dengan melihat kontribusi studi Perbandingan Agama dari masa ke masa terhadap kehidupan keagamaan di Indonesia, maka secara praktis, hasil dari studi ini dapat menjadi rujukan (panduan) dalam membuat rencana strategis dan regulasi untuk pengembangan kerukunan hidup umat beragama, dialog antar agama dan kerja sama agama-agama di Indonesia. Studi ini pertama-tama akan merujuk kepada referensi primer. Untuk studi Perbandingan Agama pada masa Teosofi, saya merujuk kepada majalah-majalah (sebenarnya mirip dengan jurnal) teosofi yang diterbitkan oleh MTI secara berkala selama hampir 40 tahun, yakni Pewarta Theosophie Boeat Tanah Hindia Nederland (atau PTHN, Bahasa Melayu, 21 volume, 188 Nomor, 1911-1938), Teosofie In Nederland Indie: Theoshopie Di Tanah Hindia Nederland (Bahasa Belanda dan Melayu, 80 Nomor, 1918-1925), Theosophie in NederDr. Media Zainul Bahri

7

bersifat pluralistik karena ada banyak agama dan tradisi keagamaan, dan akan tampak bahwa tidak ada studi agama yang dilakukan secara penuh yang tidak tertarik kepada lebih dari satu tradisi. Studi agama bersifat tanpa batas yang tegas, karena tidak mungkin atau tidak realistis untuk menggeneralisir definisi yang baku tentang agama. Satu definisi mungkin akan menjelaskan beberapa elemen istimewa dari satu atau dua agama, namun tidak mungkin mencakup agama-agama lain.3 Agama sebagai bagian dari kebudayaan adalah agama yang dipahami, dihayati dan dipraktikkan oleh manusia-manusia historis dan karena itu ia menjadi bagian dari objek kajian ilmiah. Termasuk dalam hal ini adalah produk-produk yang dihasilkan oleh aktoraktor agama seperti teks atau aktivitas-aktivitas keagamaan seperti lembaga agama dan semacamnya. Segala produk pemikiran dan aktivitas keagamaan biasanya berkelindan erat dengan aktivitas politik, ekonomi, budaya dan kehidupan sosial yang semakin menguatkan agama sebagai objek kajian ilmiah. Di bawah ini akan dipaparkan secara singkat beberapa pendekatan ilmiah yang biasa dilakukan dalam Studi Agama dan Perbandingan Agama.

B. Beberapa Pendekatan 1. Pendekatan Historis Pendekatan historis adalah salah satu pendekatan yang cukup “favorit” dalam Studi Agama dan Perbandingan Agama. Pendekatan ini merupakan pendekatan yang paling tua dan dipakai pertama kalinya untuk mempelajari, menyelidiki, dan meneliti agamaagama baik sebelum ilmu agama menjadi disiplin yang berdiri sendiri (otonom) atau sesudahnya. Dengan pendekatan historis, suatu studi berusaha menelusuri asal-usul dan pertumbuhan ide-ide dan pranata-pranata keagamaan melalui periode-periode perkembangan historis tertentu dan menilai peranan kekuatan-kekuatan yang dimiliki agama untuk memperjuangkan (mempertahankan) dirinya selama periode-periode itu. Menurut Frederick J. Streng, interpretasi historis telah dibenarkan dengan daya tarik dokumentasi dan Dr. Media Zainul Bahri

15

dengan klaim bahwa peristiwa-peristiwa historis diinterpretasikan sebagai hasil peristiwa-peristiwa historis lain atau sebagai hasil kekuatan-kekuatan manusia. Metode menginterpretasikan kehidupan manusia ini merupakan suatu reaksi yang menentang interpretasi doktrinal yang berdasar pada wahyu dan juga yang menentang interpretasi filosofis yang berdasar pada asumsi-asumsi tentang sifat manusia atau esensi realitas. Sebelum menggunakan pendekatan sejarah, seorang peneliti harus memahami benar apa itu sejarah dan bagaimana menulis sejarah suatu agama. Juga terdapat perbedaan antara sejarah (history) dengan kisah sejarah (historical narrative) yang dipahami atau diceritakan dari generasi ke generasi. Selama ini kita sering mendengar kisah suatu sejarah tetapi yang didengar sesungguhnya rekonstruksi sejarah bukan fakta sejarah, dan hanya berasal dari satu sumber. Yang selama ini diterima oleh banyak orang sesungguhnya adalah kisah sejarah, baik itu tentang kemunculan dan perkembangan suatu agama atau non-agama. Dalam kisah-kisah yang direkonstruksi itu terdapat konflik satu sama lain dan kontestasi klaim-klaim. Setiap sejarawan memiliki kepentingan dan tujuantujuan, apakah untuk melegitimasi atau menunjukkan identitas tertentu. Menulis suatu sejarah berarti merekonstruksi suatu episode atau kejadian masa lalu untuk dihadirkan masa kini, untuk dipertanyakan, dilihat relevansi dan kepentingannya dengan masa kini. Pada sisi lain, secara metodologi, penulisan sejarah menggunakan banyak perspektif dan banyak sumber4 karena—sangat mungkin kejadian itu memiliki beragam sumber, yang boleh jadi sama, boleh jadi pula bertentangan. Sehingga hasil yang dipahami pada masa kini juga bisa multiperspektif. Penulisan sejarah tentang agama biasanya tergantung kepada kisah-kisah yang disuguhkan oleh “orang dalam” atau “orang yang terlibat” dengan agama itu. Sejauh mana ia bisa menghadirkan keseluruhan konteks sejarah agamanya dan menunjukkan bukti-buk-

16

Wajah Studi Agama-Agama

ti yang kuat. Kisah-kisah yang direkonstruksi itu lalu dihadapkan kepada rekonstruksi dan bukti lain yang kritis dari “orang luar.”5 Namun, selama ini bukti-bukti—dan yang lebih menonjol adalah “keimanan” yang ditunjukkan oleh “orang yang terlibat” dianggap sebagai “kebenaran” dan merupakan fakta sejarah. Padahal, untuk membuktikan kebenaran fakta sejarah secara ilmiah hal itu membutuhkan kajian kesejarahan lebih mendalam dengan bantuan ilmu-ilmu lain. Hal-hal yang cukup penting itu harus dipahami oleh seseorang yang akan menggunakan pendekatan kesejarahan. Sejarah agama-agama mempunyai dua perhatian utama: (1) melukiskan seobjektif mungkin kondisi-kondisi dan unsur-unsur suatu situasi historis dan (2) mengenal bahwa perubahan-perubahan dalam kehidupan manusia adalah akibat dari interaksi-interaksi dan kondisi-kondisi historis yang mengitari peristiwa keagamaan.6 Menurut Mircea Eliade, penegasan bahwa fakta keagamaan bersifat historis merupakan suatu hal yang sah, setiap fakta keagamaan selalu terkait dengan sejarah. Karena itu, jika seseorang mau memahami fakta keagamaan, ia harus mencoba memahami sifat historisnya. Dengan mengerti sifat historisnya itu, seseorang dapat menunjukkan bagaimana suatu fakta dan makna keagamaan telah dialami dan dihayati dalam tahap-tahap kebudayaan dan sejarah tertentu, dan bagaimana makna itu telah berubah, entah diperkaya atau dipermiskin.7 Hingga saat ini, studi sejarah agama terus berevolusi menjadi kajian ilmiah yang bersikap kritis terhadap pemahaman kesejarahan yang mapan. Kurt Rudolf, seorang ahli sejarah agama, menunjukkan poin-poin penting yang harus dipahami dalam studi sejarah agama:8 (1) Studi kesejarahan tentang agama adalah studi ilmiah tentang suatu peristiwa keagamaan. Disebut “studi ilmiah” karena sejak sejarah agama (the history of religions) menjadi ilmu yang otonom (a science), maka tugasnya adalah refleksi kritis dan historis, bukan bertujuan untuk propaganda atau menyebarkan paham, keyakinan dan klaim keagamaan. Sejarah agama sebagai Dr. Media Zainul Bahri

17

kajian ilmiah seharusnya “bebas nilai secara relatif” dan hanya mengejar objektivitas. Karena itu, dalam cahaya saintifik Barat, sejarah agama tidak bisa menerima begitu saja sebuah hasil dari metode fenomenologi, yaitu “memahami” (understanding, atau Verstehen [bahasa Jerman]), maksudnya “pemahaman diri tentang kebenaran keyakinan seperti yang dirasakan pemeluknya.” “Kebenaran teologis” dari para penganut agama tidak menjadi kriteria bagi sejarah agama untuk menemukan sebuah kebenaran atau ketepatan yang objektif. Justru, sejarah agama harus mengajukan sebuah aturan metode ilmiah, yaitu aturan yang mensyaratkan sarjana dalam bidang ini untuk melakukan “penjarakan secara kritis” atas klaim keyakinan teologis yang berdasar keyakinan kebenaran sejarah versi “orang dalam.” Tugas sejarah agama adalah untuk mengetahui lebih mendalam; tegasnya tidak boleh mengalah kepada pemahaman kesejarahan yang sudah mapan dan pasif, juga tidak boleh berkurang sedikit pun sikap kritisnya. Dalam pengertian inilah disiplin sejarah agama berfungsi untuk “membebaskan” dan melakukan kritik ideologi terhadap paham tradisional yang kaku dan sikap serta pemahaman keagamaan yang naif. Dengan kata lain, sejarah agama bekerja dengan cara investigasi ilmiah terhadap data-data kesejarahan yang selama ini dijadikan landasan keimanan oleh para pemeluk agama. (2) Sejarah agama, saat ini, tidak bisa tidak harus bekerja sama dengan disiplin ilmu lain yang terkait atau sangat terkait seperti filologi, etnologi (antropologi), hermeneutik, sosiologi dan psikologi. Ilmu-ilmu bantu ini, tidak saja memperkaya kajian sejarah agama, namun juga dapat “melawan” ambisi-ambisi teologi dan filsafat agama yang tidak mampu bersikap kritis terhadap sejarah keagamaan. Sejarah agama harus terus berdiskusi, mengadopsi dan meminjam metode disiplin ilmu-ilmu bantu di atas untuk menemukan sedalam-dalamnya kebenaran suatu sejarah keagamaan yang selama ini diklaim secara mapan oleh suatu agama. Sejarah agama adalah sejarah tentang keimanan 18

Wajah Studi Agama-Agama

orang-orang beragama, bukan tentang iman itu sendiri. Karenanya, berbicara tentang “orang-orang” berarti berbicara tentang budayanya, kehidupan sosialnya, dan kejiwaannya. Khusus untuk sosiologi, studi ini telah mendominasi kajian kesejarahan agama dalam rentang waktu yang lama, seperti yang dilakukan oleh Emile Durkheim, Max Weber, Peter L. Berger dan yang paling mutakhir adalah Robert N. Bellah. Sejarah agama dan sosiologi terkait erat karena manusia disebut sebagai homo religiosus dan pada saat yang sama ia juga homo sociologus. Sejarah agama tidak akan meninggalkan “cahaya” sosiologi karena agama sebagai objek kajian sejarah agama sesungguhnya adalah agama dalam pengertiannya sebagai fenomena sosial. (3) Sejarah agama lahir pada masa “pencerahan” (Enlightenment, Aufklarung), di mana manusia mulai menemukan keagungan ilmu pengetahuan dan kemanusiaan dan berusaha melepaskan diri dari dogma dan tradisi yang membelenggu. Karena itu, kalau pun sejarah agama harus berpihak, maka ia harus berpihak kepada “pencerahan manusia” yaitu toleransi, objektivitas ilmiah, penilaian yang kritis, melawan rasisme dan sektarianisme atau eksklusivisme, dan mengembangkan paham-paham kemanusiaan. Dalam pengertian inilah sejarah agama dapat berkontribusi dalam membangun kesadaran akan pentingnya masa lalu bagi masa kini. Kesadaran kesejarahan (historical consciousness) dapat meningkatkan pemahaman akan diri, membangun imaji masa lalu yang objektif demi kemanusiaan masa kini, dan mengatasi model-model pemikiran yang sudah tidak relevan lagi. Sejarah agama—dengan sikap kritisnya—akan menunjukkan kepada umat manusia bahwa mereka memiliki sejarah yang panjang dengan agama, dan (sejarah itu juga menunjukkan) hidup mereka tidak sempurna tanpa agama. Sejarah agama akan menunjukkan sosok manusia (human being) dengan segala kekayaan dan kompleksitasnya karena ia bukanlah homo religiosus dengan tiba-tiba atau sejak lahir, melainkan ia menjadi homo religiosus karena pada saat yang sama Dr. Media Zainul Bahri

19

ia juga homo sociologus, homo sapiens, homo historicus, homo technicus, homo ludens, homo educandum, homo recentis, homo valens, homo aesteticus dan lain-lain. Manusia beragama dapat terus menemukan makna agamisnya yang dinamis bersamasama dengan penemuan-penemuan baru dalam sejarah agama. Model kritis ala Rudolph ini, meskipun ditulis dalam cahaya saintifik Barat yang positivistik, namun inilah salah satu cara terbaik untuk mendorong Studi Agama atau Perbandingan Agama dengan pendekatan kesejarahan menjadi kajian ilmiah yang menarik dan dinamis, dan tidak lagi perlu mengikatkan diri pada Fakultas atau departemen/kajian suatu agama yang biasanya mengkaji agama dengan tujuan dakwah/misionari. 2. Pendekatan Teologis Pendekatan ini dalam rentang sejarah yang cukup lama merupakan pendekatan yang paling dominan dan paling berpengaruh dalam Studi Agama dan studi agama-agama (Perbandingan Agama), bahkan hingga hari ini meskipun tidak lagi mendominasi. Selama berabad-berabad, teologi dianggap sebagai “Ratu Ilmu Pengetahuan (Queen of the Sciences),” terutama di dunia Yahudi, Kristen dan Islam. Inilah pendekatan yang bersifat normatif dan subyektif. Dengan pendekatan ini seorang penganut suatu agama, apakah itu Kristen, Islam atau agama lain ketika membuat studi teologis biasanya ia melakukan satu dari dua hal: pertama, studi internal. Dalam hal ini, seorang sarjana/peneliti agama adalah orang dalam (insider) yang berusaha secara aktif dalam kegiatan ilmiahnya untuk melestarikan dan mempromosikan keunggulan agamanya serta mempertahankannya dari ancaman atau serangan orang lain. Kedua, eksternal. Dalam hal ini, seorang peneliti atau penganut agama tertentu melakukan kajian terhadap agama/keyakinan orang lain untuk “menilai” dan “menghakiminya” dengan ukuran agama sang peneliti. Dulu, pendekatan ini disebut juga pendekatan tekstual atau pendekatan kitabi dengan sifat utamanya: apologis dan polemis. 20

Wajah Studi Agama-Agama

Dalam sejarah Kristen misalnya, muncul teolog-teolog besar seperti St. Augustinus dari Hippo dengan karyanya On Christian Doctrine dan Confessions, Thomas Aquinas dengan Summa Theologica, Paul Tillich dengan Systematic Theology, Karl Barth dengan magnum oppus-nya Church Dogmatics, dan lain-lain. Mereka tidak semata membuat karya teologi yang mempromosikan, mempertajam dan memperdalam keunggulan ajaran Kristen, namun juga melakukan penilaian terhadap agama lain. Thomas Aquinas misalnya mengajarkan bahwa semua agama di luar Kristen adalah palsu. Kita bisa membaca berjilid-jilid karya teolog-teolog Kristen dari abad pertengahan hingga modern dengan model teologis yang apologetik. Begitu pula dalam sejarah Islam. Kita bisa membaca karyakarya teologi pra dan di abad pertengahan seperti al-Ghazali dengan salah satu karyanya, al-Qawl al-Jamîl Fi Radd ‘alâ Man Ghayyara al-Injîl, Ibn ‘Arabi dengan al-Futûhât al-Makkiyyah, ‘Ali Ibn Hazm melalui al-Facl Fi al-Milal wa al-Ahwâ wa al-Nihal, Abdul Karim Syahrastani melalui al-Milal wa al-Nihal, Ibnu Taymiyyah melalui al-Jawâb al-Sahîh Liman Baddala Dîn al-Masîh. Karya-karya ini juga tidak semata mendeklarasikan kesempurnaan Islam namun juga melucuti “kecacatan” agama-agama lain. Di masa kini karya-karya serupa menyeruak lebih banyak lagi. Teologi vis-a-vis Studi Agama Seperti telah disebut tugas seorang teolog adalah mempromosikan keunggulan tradisi agamanya dan meyakinkan orang bahwa doktrin dan ajaran agama tersebut dapat memberi makna dan harapan dalam hidup yang tak menentu. Namun lebih dari itu, seorang teolog juga dapat mendiskusikan isu-isu penting yang kontekstual seperti lingkungan hidup, perubahan iklim global, hak asasi manusia, problem dalam toleransi dan intoleransi, tiadanya harapan bagi manusia yang termarginalkan dan lain-lain. Semua isu itu diberi nilai teologi. Atau sejauh mana doktrin-doktrin teologis dapat merespons isu-isu penting itu. Namun, tetap saja seorang teolog

Dr. Media Zainul Bahri

21

adalah “orang dalam” yang sedang menginterpretasikan pandangan-pandangan teologisnya. Disiplin studi agama atau Perbandingan Agama berbeda dengan tugas teologi di atas, setidaknya itulah yang terjadi (diinginkan) di perguruan tinggi di Barat yang memiliki departemen Studi Agama. Sarjana studi agama harus didesain untuk tidak menjadi “orang dalam” dalam tradisi agama apapun. Tugasnya adalah melakukan kajian ilmiah atas tradisi keagamaan dengan pendekatan-pendekatan ilmiah tertentu, apakah dengan pendekatan fenomenologi, sejarah, sosiologi, antropologi, hermeneutik dan lain-lain. Maka, seorang sarjana bukanlah “orang dalam” yang sedang memainkan peran sebagai seorang teolog yang berbicara kepada audiens agama tertentu. Meskipun seorang sarjana Studi Agama adalah orang yang agamis atau memiliki ketaatan dalam agama tertentu, tetapi ia harus menghindari peran “normatif” seorang teolog. Ia harus menghindari untuk “menilai,” “menentukan,” dan “mempromosikan” nilainilai, norma dan klaim atas tradisi agama yang ditelitinya.9 Tugasnya adalah membuat klasifikasi dan menganalisis klaim-klaim dan konteks-konteks di sekitar tradisi itu, apakah sejarahnya, budayanya, atau interaksi sosialnya yang melahirkan pandangan dan klaim teologi itu. Memang, di sini harus dipahami perbedaan mendasar antara agama (religion), studi agama (the study of religion), dan menjadi agamis (being religious).10 Banyak sarjana, mahasiswa, dan terutama orang awam yang kebingungan untuk membedakan tiga poin itu, dan juga dalam praktiknya. Di Indonesia, hampir semua sarjana agama yang melakukan studi ilmiah terhadap agama— bahkan menjadi profesor dalam studi agama (tertentu), namun di saat yang sama sering kali ia menjadi teolog di tengah-tengah masyarakat atau komunitasnya. Ketika berbicara di depan publik juga, ia “menyatukan” sikap antara sebagai seorang sarjana yang berusaha menjelaskan analisis ilmiahnya sekaligus pula membuat “nilai” “menentukan,” dan “mempromosikan” tradisi keagamaannya. Sikap ini serupa dengan sikap teolog-teolog Kristen di Barat, juga di Asia pada 22

Wajah Studi Agama-Agama

era 1950-an hingga 1990-an. Namun di Barat kini secara gradual sudah ada pembedaan yang tegas antara figur-figur teolog dan sarjana studi agama dengan melihat kiprah dan karya-karya mereka. Menjadi sarjana agama yang mahir tentang agama tidak harus menjadi teolog (orang dalam), sebagaimana juga seorang yang agamis tidak berarti tidak bisa menjadi ahli kajian ilmiah agama. Hal itu sesuai dengan adagium bahwa “untuk mahir mengajar biologi tidak harus menjadi kodok atau ikan terlebih dahulu.” Saat ini, ketika studi agama atau Perbandingan Agama didekati dengan multi pendekatan disiplin ilmiah, maka yang mengajar studi agama tidak harus seseorang yang terlatih dalam disiplin ilmu itu. Sosiolog, antropolog, ahli ilmu politik, psikolog, filsuf, dan ahli ilmu budaya dapat mengajar studi agama atau Perbandingan Agama dengan pendekatan atau perspektif keahlian ilmunya. Memang, agama adalah objek utama untuk studi agama, namun kajiannya tidak lagi didominasi oleh hanya sarjana-sarjana dalam disiplin ilmu agama.11 3. Pendekatan Fenomenologis Pendekatan fenomenologis yang bermula dari cara berfilsafat yang didirikan oleh Edmund Husserl kemudian hari dipergunakan pula dalam berbagai bidang disiplin lain, termasuk Perbandingan Agama. Joachim Wach mengatakan bahwa Fenomenologi Agama bertujuan memahami ide-ide, kegiatan-kegiatan, tingkah laku, dan pranata-pranata keagamaan dengan menangkap maksudnya tanpa mendasarkan diri pada teori-teori yang sudah dipergunakan sebelumnya entah itu teori teologis, filosofis, metafisis, atau psikologis.12 Fenomenologi, seperti telah disebut di muka, awalnya adalah istilah filsafat yang dibangun oleh Edmund Husserl (1859-1938)13 dalam melihat fenomena: gejala yang tampak atau yang menampakkan diri. Fenomenologi adalah ilmu pengetahuan (logos) tentang apa yang tampak (phainomenon).14 Namun, apa yang sesungguhnya disebut fenomena dalam filsafat Husserl, bukan hanya “apa yang menampakkan diri dalam Dr. Media Zainul Bahri

23

dirinya sendiri,” apa yang menampakkan diri seperti apa adanya, apa yang jelas di hadapan kita—sehingga para pengikut aliran ini memopulerkan slogan mereka, “Zurück zu den Sachen selbst, back to the thinks themselves” (kembalilah kepada benda-benda sendiri)— melainkan juga apa yang bisa diserap secara ruhani, tanpa lewat indra, dan tidak mesti berupa sebuah peristiwa.15Jadi, filsafat ini mau mencari meaning (numena) dari apa yang sekadar tampak (fenomena). Filsafat fenomenologi ini besar sekali pengaruhnya di Eropa dan Amerika, tak terkecuali terhadap ilmuwan-ilmuwan agama di atas, yang kemudian melahirkan sebuah disiplin ilmu yang populer disebut fenomenologi agama. Dalam konteks memahami agama orang lain, metode fenomenologis adalah sebuah usaha melihat secara utuh dan menyeluruh pelbagai gejala-gejala keagamaan yang dimanifestasikan dalam bentuk ide, pengalaman dan ritual-ritual para pemeluknya, untuk kemudian didata, diklasifikasi dan dikelompokkan dengan teknik ilmiah tertentu, sehingga diperoleh pandangan yang menyeluruh dan utuh dari isi dan bentuk ritual-ritual yang dilakukan, kemudian ditangkap dengan sangat benar makna agamis (religious meaning) yang dikandungnya16 (tentu dalam perspektif pemeluknya). Alat utama yang digunakan dalam pendekatan model ini adalah apa yang disebut dengan “epoche” dan “eiditik vision”. Epoche adalah sebuah istilah yang digunakan Husserl yang berarti “menangguhkan memberikan penilaian terhadap persoalan kebenaran dari gejala keagamaan, menunjukkan sikap tidak memihak, mendengarkan dengan serius untuk mencapai pemahaman yang benar tentang gejala-gejala keagamaan orang lain/luar.”17 Sementara eidetic vision adalah “the research for the eidos: the essence of the religious fact.”18 (pencarian yang berkenaan dengan eidos (inti sari): yakni esensi tentang fakta-fakta keagamaan). Ringkasnya, “epoche,” bagi seorang peneliti gejala keagamaan orang lain, adalah: (1) sebuah sikap menangguhkan memberikan penilaian tentang benar atau salah dari gejala-gejala keagamaan yang 24

Wajah Studi Agama-Agama

diteliti, karena memberikan penilaian (benar atau salah) biasanya dilakukan oleh Teologi dan Filsafat Agama, bukan oleh Fenomenologi Agama. Sikap ini dibarengi pula dengan melepaskan segala praduga dan asumsi yang ada sebelumnya terhadap objek. (2) bersikap netral/tidak memihak, (3) mendengarkan secara serius apa yang sesungguhnya menjadi makna agamis (religious meaning) dan adanya pengalaman spiritual (spiritual experience) dari gejala-gejala keagamaan yang tampak. Dengan sikap seperti ini, maka akan memudahkan peneliti menemukan eidos: esensi mengenai fakta atau fenomena keagamaan yang ditelitinya. Seorang fenomenolog, dengan kata lain, berarti orang luar (outsider) yang berusaha memahami agama orang lain, dengan cara masuk ke dalam; menanggalkan dan meluruhkan (“epoche”, stopping) segala asumsi, praduga, penilaian dan pengetahuan sebelumnya mengenai agama yang hendak dipahami, dan membiarkan objek berbicara tentang dirinya sendiri hingga dapat diketahui dengan benar dan jelas inti sari (eidos) objek. Dalam menyelidiki fakta keagamaan, dengan pendekatan fenomenologis orang tidak lagi bertitik-tolak dari rumusan-rumusan atau teori-teori tertentu melainkan dari fakta, data, dan gejala-gejala. Apa yang mesti digarap adalah onggokan perbuatan, kepercayaan, dan sistem-sistem yang secara bersama-sama membentuk gejalagejala keagamaan. Pendekatan fenomenologis membiarkan gejalagejala keagamaan “berbicara untuk dirinya sendiri” (speak for themselves) dengan melemparkan jauh-jauh segala yang subjektif, prasangka, teori, dan hal-hal yang kebetulan, dan membatasi diri pada pengamatan gejala-gejala. Penundaan penilaian (“epoche”) mempunyai peranan yang terpenting dalam pendekatan ini. Tugas utama Fenomenologi Agama ialah menjelaskan strukturstruktur inti gejala-gejala keagamaan. Fenomenologi Agama merupakan pendekatan sistematis dan komparatif yang mencoba menggambarkan kesamaan-kesamaan yang terdapat dalam berbagai macam gejala keagamaan. Unsur yang sama ini adalah makna inti yang terdapat di dalamnya. Makna inti ini hanya dapat dipahami lewat Dr. Media Zainul Bahri

25

penggabungan pengetahuan tentang fakta-fakta historis dengan suatu simpati, empati, dan “perasaan” (feeling) terhadap data-data keagamaan. Secara teknis, untuk mendapatkan informasi yang benar tentang pengalaman keagamaan yang valid, Spickard merekomendasikan empat langkah dalam memakai metode fenomenologis, yaitu (1) Menempatkan informan kita dalam suatu tempat yang tepat, lalu mewawancarainya untuk berbagi pengalaman spiritual yang direguknya, (2) Membantu informan itu untuk berkonsentrasi dan menjelaskan secara pasti bagaimana pengalaman spiritual itu hadir di dalam kesadarannya. Diusahakan juga agar “suara-suara” rendah atau “bisikan-bisikan” yang tidak penting dapat dihindari, dan hanya fokus kepada apa “yang sesungguhnya” terjadi. Dengan kata lain, hanya fokus pada kesejatian pengalaman keagamaannya. (3) Melakukan komparasi dan menganalisis data-data yang didapat untuk mengidentifikasi struktur-struktur pokok dari pengalaman itu, dan (4) Melakukan penggambaran ulang dan meringkas pengalaman keagamaan tersebut.19Jadi, mendengarkan dengan serius apa yang menjadi pemahaman dan pengalaman informan dalam keseluruhan sikap dan kesadarannya. Lalu, kita membuat pemilahan, pembagian dan identifikasi data-data yang didapat untuk dicapai satu pengertian dan pandangan yang utuh mengenai subjek yang diteliti. Selanjutnya, fenomenologi, dalam proses kerjanya, bersinergi dengan sejarah agama dan disiplin sejarah lainnya. Keduanya bagaikan dua sisi mata uang yang tak terpisahkan. Apa yang disebut dengan fenomenologi agama atau metode fenomenologis, inheren di dalamnya sejarah agama-agama. Tanpa sejarah fenomenologi tidak akan bekerja dengan sempurna dan makna agamis yang menjadi target yang hendak dicapai tak akan tertangkap secara utuh. Selain makna agamis dan pengalaman spiritual yang diungkapkan, konteks kesejarahan di mana ajaran atau doktrin itu pertama kali muncul atau di “wahyukan” sangat penting untuk (diketahui) kelengkapan data. Oleh karenanya, model ini sering kali disebut dengan Feno26

Wajah Studi Agama-Agama

menologi Historis Agama. Kerja sama, analogi dan hubungan timbal balik keduanya, secara gamblang ditegaskan oleh Raffaele Pettazzoni (1883-1959), sejarawan agama Italia, dalam kutipan berikut: “Fenomenologi dan sejarah saling melengkapi satu sama lain. Fenomenologi tak dapat bekerja tanpa etnologi, filologi dan disiplin sejarah lainnya. Fenomenologi, di lain pihak memberikan kepada ilmu sejarah, pengertian keagamaan yang tak dapat dicapai olehnya. Bila kita mengerti demikian, maka fenomenologi agama adalah pemahaman (Verständniss) religius mengenai sejarah; adalah sejarah dalam dimensi religiusnya. Fenomenologi dan sejarah bukanlah dua ilmu melainkan dua aspek yang saling melengkapi dari suatu ilmu yang menyeluruh mengenai agama, dan ilmu agama yang demikian ini mempunyai suatu ciri yang pas yang ditentukan baginya oleh objek penyelidikannya yang khas.”20 Model fenomenologis ini merupakan pendekatan yang sangat banyak diminati oleh para peminat Perbandingan Agama, bahkan James Spickard menyebutnya sebagai pendekatan yang super-kuat (powerfull) dalam studi agama-agama, padahal di saat yang sama banyak orang yang tak paham tentang pendekatan fenomenologi ini.21 Pendekatan ini sangat lazim disukai karena dianggap sangat membantu dalam memahami agama dan kehidupan (pengalaman) keagamaan orang lain. 4. Pendekatan Komparatif Selain pendekatan sejarah dan fenomenologi, pendekatan komparasi juga sangat diminati oleh para mahasiswa, peneliti dan ahli Perbandingan Agama, karena salah satu tugas Ilmu Perbandingan Agama adalah mem(per) bandingkan agama-agama. Marc Bloch, sejarawan Prancis, seperti dikutip oleh Michael Stausberg, menggambarkan empat proyek studi perbandingan, yaitu: (a) penyaringan (selection); bagaimana melakukan seleksi terhadap beberapa fenomena atau lingkungan sosial yang berbeda, (b) menggambarkan garis-garis evolusi fenomena atau keadaan sosial itu, (c) melakukan pengamatan atas kesamaan dan perbedaan-perbedaan di antara meDr. Media Zainul Bahri

27

reka, dan (d) sejauh kemungkinan yang dapat dicapai adalah membeberkan penjelasan dan analisis kritis. Studi perbandingan ini telah dipakai oleh banyak sekali bidang ilmu, termasuk ilmu sosial dan ilmu humaniora.22 Menurut Stausberg, perbandingan sesungguhnya merupakan aktivitas kognitif umum yang dilakukan manusia di mana saja, baik secara eksplisit maupun implisit. Dalam ranah akademis, Stausberg lebih condong untuk menyebut bahwa studi perbandingan sesungguhnya lebih tepat disebut sebagai desain penelitian (research design), namun banyak sarjana sudah telanjur menyebutnya sebagai metode, yaitu metode perbandingan (the comparative method). Karena itu, metode komparatif telah melekat kuat dan selalu menjadi bagian yang tak terpisahkan dari Metode Penelitian (research methods). 23 Dalam Perbandingan Agama, tugas membandingkan dilakukan dengan menempatkan gejala-gejala keagamaan yang paralel dari agama-agama yang dikaji secara berdampingan, dan membandingkan gejala-gejala itu untuk mengetahui strukturnya. Langkah awal yang harus dilakukan ialah mencari “keparalelan” gejala-gejala atau bentuk-bentuk keagamaan yang spesifik dari agama-agama yang akan dibandingkan, karena perbandingan tidak dapat dilakukan kecuali antara gejala-gejala atau bentuk-bentuk “yang paralel,” yang mempunyai kesejajaran, atau kesamaan. Dengan cara ini, misalnya ide tentang Tuhan dalam suatu agama dibandingkan dengan ide tentang Tuhan dalam agama lain. Ide tentang wahyu dalam suatu agama dibandingkan dengan ide tentang wahyu dalam agama lain. Tokoh sentral dalam suatu agama, dibandingkan dengan tokoh sentral dalam agama lain. Kitab Suci suatu agama dibandingkan dengan kitab suci dalam agama lain. Korban dalam suatu agama, dibandingkan dengan korban dalam agama lain, dan seterusnya. Menurut Kautsar Azhari Noer, dalam praktiknya, metode perbandingan ini sering menemukan kesulitan, bahkan jalan buntu, ketika berusaha menetapkan mana gejala-gejala atau bentuk-bentuk 28

Wajah Studi Agama-Agama

keagamaan yang paralel dari agama-agama yang hendak dibandingkan. Kautsar (2001) memberi tiga contoh gejala keagamaan yang diperbandingkan, yaitu nirwana dalam Buddhisme, al-Qur‘an dalam Islam, dan trikarya dalam Buddhisme Mahayana.24 Sebagaimana telah disinggung bahwa perbandingan tidak dapat dilakukan kecuali antara gejala-gejala atau bentuk-bentuk keagamaan “yang paralel” dari agama-agama yang hendak dibandingkan, maka ide tentang Tuhan harus dibandingkan dengan ide tentang Tuhan, ide tentang wahyu dengan ide tentang wahyu, kitab suci dengan kitab suci, tokoh sentral dengan tokoh sentral dan seterusnya. Akan tetapi, dalam tulisan Kautsar mengenai usaha-usaha membandingkan nirwana, membandingkan al-Qur`an dan membandingkan trikaya, muncul kesulitan ketika menetapkan mana bentuk-bentuk yang paralel yang hendak dibandingkan. Menurut Kautsar, kesulitan ini tampaknya berasal dari keunikan bentukbentuk keagamaan yang ada dalam struktur-struktur berbagai agama yang berbeda. Ada bentuk-bentuk yang paralel antara beberapa agama dan ada bentuk-bentuk yang tidak paralel karena keunikan masing-masing. Bentuk-bentuk yang paralel dapat dibandingkan, bentuk-bentuk yang tidak paralel tidak dapat dibandingkan.25 Untuk mengetahui mana bentuk-bentuk yang paralel dan mana bentuk-bentuk yang tidak paralel, para pengkaji terlebih dulu harus memahami dengan tepat bentuk-bentuk itu dalam masingmasing agama yang dipelajari. Di sini kita kembali kepada problem klasik perbandingan agama yang harus diatasi: “Apakah orang dapat memahami agama yang bukan agamanya sendiri?” Jika persoalan ini belum teratasi, perbandingan antara agama-agama yang dipelajari mustahil dilakukan. Untuk memahami agama-agama lain, seperti yang dikatakan di atas, Kautsar memilih metode personalis atau dialogis yang diusulkan Smith, meskipun metode kontemplatif yang disulkan Florida adalah yang terbaik secara ilmiah. Di sini tampak bahwa membandingkan bentuk-bentuk keagamaan antara berbagai agama bukanlah tugas yang ringan karena sebelum

Dr. Media Zainul Bahri

29

tugas ini dilakukan, harus dipahami terlebih dulu bentuk-bentuk yang hendak dibandingkan itu. Ketidaktepatan, apa lagi kekeliruan, dalam menetapkan bentuk-bentuk yang paralel yang hendak dibandingkan membawa kekeliruan dan kekacauan pemahaman. Akan tetapi, ketepatan dalam menetapkan mana bentuk-bentuk yang paralel membuka peluang yang lebih besar bagi ketepatan perbandingan dan akhirnya memberikan pemahaman yang lebih mendalam dan lebih akurat. Dalam hal ini harus ditetapkan mana persamaan-persamaan yang mendalam dan esensial dan mana-mana persamaan yang dangkal dan longgar. Di samping itu, harus dijaga keseimbangan antara pencarian persamaan-persamaan dan pencarian perbedaan-perbedaan. Perbandingan yang simplistik harus dihindari. Usaha membuat generalisasi yang tergesa-gesa adalah bahaya lain yang harus dihindari pula. Karena itu, metode komparatif ini harus dilakukan dengan sangat hati-hati.26 5. Pendekatan Perenial Perenialisme atau filsafat perenial telah lama dijadikan pendekatan dalam memahami asal-usul wahyu keagamaan, aspek ontologis dan epistemologis agama dan akhirnya memahami perbedaan bentuk-bentuk agama historis dan titik-temu esoterik agamaagama. Saya kira penting untuk memahami sejarah formulasi filsafat perenial secara singkat dan kemudian membedah isinya. Filsafat perenial atau dalam bahasa Latin populer disebut philosophia perennis adalah filsafat tentang Yang Abadi dan Sejati yang memiliki daya tahan (enduring) dan tahan lama dalam keabadiannya (ever lasting) dan telah (atau selalu) diwariskan dari generasi ke generasi.27 Menurut Charles Schmitt, banyak orang menyangka bahwa filsafat perenial berasal dari Leibniz, karena ia memang sering menggunakan istilah itu dalam sebuah surat untuk temannya, Remundo, yang banyak dikutip orang, tertanggal 26 Agustus 1974. Namun, sebuah penelitian yang lebih cermat membuktikan bahwa istilah philosophia perennis sudah digunakan orang jauh sebelum Leibniz, 30

Wajah Studi Agama-Agama

bahkan menjadi judul sebuah buku yang terbit tahun 1540, ditulis oleh seorang pengikut Augustinus, dari Italia: Agostino Steuco (1490-1548). Meskipun besar kemungkinan Steuco adalah orang pertama yang memunculkan istilah itu, dan secara pasti adalah orang pertama yang memberinya makna yang kompoleks dan sistematis, namun ia berangkat dari sebuah tradisi filsafat yang sudah berkembang mapan. Dari tradisi tersebut kemudian ia mencoba memformulasikan sintesis terhadap filsafat, agama, dan sejarah yang ia beri nama philosophia perennis.28 Menurut Steuco seperti dikutip oleh Schmitt, filsafat perenial menegaskan adanya “prinsip tunggal dari segala sesuatu” yang satu dan selalu sama dalam pengetahuan semua manusia. Terdapat sebuah kesejatian tunggal atau Hikmah tunggal yang ada dan akan selalu ada, yang sudah sangat tua setua umur manusia itu sendiri, atau filsafat yang sudah ada “bahkan semenjak awal munculnya spesies manusia.” Pengetahuan perenial itu bermakna pula adanya kesamaan abadi yang tak tereduksi oleh pergeseran ruang dan waktu. Menurut Steuco, yang perlu mendapat penekanan adalah “kontinuitas” sejarah. Perubahan memang terjadi, namun hal itu hanya bersifat minor jika dibandingkan dengan unsur-unsur yang tetap. Sebenarnya Steuco juga berbicara tentang progress, namun dalam pengertiannya yang tak lebih dari “gerak ke depan,” atau “perkembangan” waktu. Perenialisme mengajarkan hanya satu kesejatian tunggal yang mencakup semua periode sejarah, yang meskipun tidak selalu menampakkan diri secara mencolok dalam setiap periode sejarah, namun pasti akan dapat ditemukan oleh orang-orang yang bersungguh mencarinya.29 Steuco banyak memakai ide-ide Yunani tentang degradasi terusmenerus dalam sejarah manusia. Pengetahuan misalnya, telah mengalami tiga tahap degradasi: pertama, ia sempurna, diturunkan secara langsung dari Tuhan kepada manusia. Kemudian menjadi kabur dan terpecah-pecah, dan akhirnya hilang dan hanya tampak sebagai dongeng atau mimpi. Sesuatu yang pernah diketahui secara pasti pada zaman dahulu, menjadi semakin kabur dan terlupakan semuaDr. Media Zainul Bahri

31

nya, atau hanya menjadi dongeng atau mitos. Kesejatian dan Hikmah merupakan sebuah paket yang telah dikemas dengan lengkap, ditransmisikan dari generasi ke generasi umat manusia, dimulai dari Adam. Dalam proses perjalanan waktu pengetahuan tersebut mengalami pemudaran, dan hanya dapat dipertahankan dengan paling baik menurut Steuco, melalui Prisca Theologia.30 Kata Priscus barangkali lebih tepat diterjemahkan dengan “selalu diwariskan” (venerable). Prisca merujuk kepada “para filosof dan teolog yang saling berkesinambungan.” Kontinuitas atas pengetahuan abadi dan sejati para filsuf menurut Schmitt, sama sekali tidak terjadi secara kebetulan, karena memang kesejatian berasal dari sumber mata air yang sama, namun muncul dalam bentuk manifestasi yang beragam. Diwahyukannya kesejatian sudah berlangsung sejak zaman kuno, karena itu berulang-ulang Steuco dan para penganut filsafat perenial menegaskan bahwa Hikmah, Keabadian dan Kesejatian telah ada sejak azali, sejak zaman awal manusia, dan kemudian ditransmisikan kepada generasi-generasi selanjutnya.31 Filsafat perenial mengajarkan bahwa Realitas Ultim, Yang Ilahi (secara ontologis) adalah tanpa nama, sesuatu yang tak terjangkau, di mana tak satu pun ungkapan dapat menunjuknya,32 namun pada saat yang sama filsafat ini memiliki epistemologi bahwa Tuhan juga dapat dijangkau dengan pemahaman akal. Dengan kata lain, Realitas Ultim adalah Godhead, Esensi, Tao, Brahman, Energi, Kesadaran, atau sebutan-sebutan lain yang sejenis. Bagi-Nya, ada sifat-sifat sekaligus tidak ada sifat. Dengan memperhatikan sifat-sifat-Nya, maka Ia adalah wujud yang personal, material dan benar-benar ada dalam ruang dan waktu. Namun, Ia juga dapat muncul dalam karakter yang impersonal, non-material, dan di luar jangkauan dimensi ruang dan waktu. Ia di dalam kita, di sekitar kita, dan bahkan diri kita sendiri; namun Ia juga sekaligus sepenuhnya di luar kita, dan secara esensial sama sekali bukan kita. Banyak yang dapat dikatakan tentang-Nya, namun tak satu pun juga kata dapat menyatakan-Nya.33

32

Wajah Studi Agama-Agama

Frithjof Schuon membuat empat perbedaan fundamental antara Yang Absolut dan yang relatif, atau antara Yang Tak-Berhingga dengan yang berhingga, atau antara Atma dengan Maya. Bentuk pertama mengekspresikan Esensi Tunggal secara a priori, “Goodhead” menurut Eckhart, Beyond Being. Bentuk kedua mengekspresikan Tuhan yang personal, yang secara “Absolut-Relatif,” dan dalam pengertian tertentu juga mencakup keseluruhan wilayah relativitas hingga batas akhir proyeksi kosmogonis.34 Perbedaan pertama ini relevan dengan penjelasan diatas dan banyak mendapat perhatian dari para peminat filsafat perenial. Dalam diskursus filsafat perenial, Schuon membuat kategori yang kompleks dan jelas mengenai dua aspek agama, yaitu esoterisme dan eksoterisme. Dua kategori ini sebagai konsekuensi dari penjelasan mengenai Realitas Yang Ultim, terutama pada aspeknya yang epistemologis, menjadi salah satu pendekatan dalam studi agama, terutama ketika memahami perbedaan dan titik temu serta kesatuan esensial agama-agama. Esoterisme adalah dimensi dalam atau inti agama. Sedangkan Eksoterisme biasanya diartikan sebagai aspek luar, eksternal, formal, dogma, ritual, etika atau moral sebuah agama sebagai kebalikan dari esoterisme sebagai inti terdalam agama. Esoterisme dan eksoterisme saling melengkapi; keduanya bagaikan dua sisi mata uang yang tak dapat dipisahkan. Esoterik bagaikan “hati” dan eksoterik ibarat “badan” agama.35 Kehidupan keagamaan yang eksoterik ada pada dunia bentuk (a world of forms), namun ia bersumber dari Esensi yang Tak Berbentuk (the formless Essence) atau yang esoterik. Dimensi esoterik berada di atas atau melampaui dimensi eksoterik. Esoterisme adalah inti terdalam agama yang mengejawantah dalam bentuk eksoterik dan sekaligus menjamin perkembangan (bentuk agama itu) secara normal dan dalam stabilitas yang maksimal. Esoterisme merupakan pancaran sinar tetapi sekaligus tabir bagi eksoterisme.36 Jika suatu agama, tepatnya para pemeluk agama yang bersangkutan, menolak keberadaan inti atau yang esoterik Dr. Media Zainul Bahri

33

karena ketakpercayaannya atau ketakpahamannya terhadap dimensi ini, maka, menurut Schuon, bangunan agama itu akan berguncang, bahkan mengalami kehancuran bagian demi bagiannya. Yang tinggal hanya unsur-unsurnya yang paling luar saja, yakni sekadar kata-kata kosong dan sentimentalitas belaka.37 Sebab itu bagi Schuon, eksoterisme membutuhkan esoterisme karena dua hal. Pertama, dengan sebab esoterisme, eksoterisme dapat muncul dan mewujud secara normal. Maksudnya, esoterisme, sebagai inti, berfungsi menyuplai darah segar yang merupakan sumber hidup bagi bentuk atau eksoteris agama. Tanpa inti ini, eksoterisme terpaksa hanya bersandar dan tergantung pada dirinya sendiri yang terbatas. Kedua, karena keterbatasan merupakan karakteristik utama dari eksoterisme, dan hal itu memang telah meliputi seluruh dirinya, maka jika eksoterisme tercabut dari dimensi inti (esoterik)-nya, ia hanya menjadi semacam badan yang padat dan gelap, yang karena kepadatannya sendiri akan menyebabkan keretakan. Eksoterisme akhirnya hanya akan terkungkung oleh berbagai akibat lahiriah dari keterbatasannya sendiri.38 Dengan demikian, bagi Schuon, eksoterisme tidak memiliki kepastian mutlak; ia bersifat relatif. Dalam sebuah rumusan yang dibuatnya, Schuon meyakini bahwa kebenaran sejati dan absolut tidak mungkin dapat ditemukan hanya pada sebuah bentuk atau perwujudan yang mungkin (ada). Logikanya, setiap kebenaran yang diungkapkan pasti memiliki bentuk tertentu, yakni perwujudannya, dan dari segi metafisik, mustahil suatu bentuk mesti memuat semua nilai kebenaran sehingga meniadakan bentuk-bentuk lainnya. Menurut pengertiannya, suatu bentuk pasti bersifat terbatas, karena itu tidak mungkin suatu bentuk merupakan satu-satunya perwujudan (dari Kebenaran) yang mungkin dari apa yang diungkapkannya. Menurut pengertiannya pula, suatu bentuk pasti mengandung makna kekhususan atau pembedaan. Yang bersifat khusus hanya mungkin dipahami sebagai bentuk dari suatu species, yakni suatu kategori yang menghimpun kombinasi dari berbagai bentuk yang serupa. Apa yang bersifat terbatas, menurut penger34

Wajah Studi Agama-Agama

dan metode yang digunakan. Pertama, ada suatu dasar epistemologis yang penting. Dalam mempelajari suatu agama lain yang bukan agama sendiri, sumber pengetahuan tentang agama itu bukan hanya berasal dari “thing,” tetapi juga dari para penganut agama itu sendiri. Kedua, masalah audensi harus diperhatikan. Untuk siapa sebuah buku ditulis? Karena isi tulisan sebagian ditentukan oleh pengalaman penulis dan sebagian lagi oleh pengalaman (keadaan) audiensinya. Dalam dunia modern saat ini sebuah buku tidak mungkin ditulis untuk masyarakat tertentu. Buku yang ditulis khusus untuk masyarakat tertentu pasti akan dibaca juga oleh masyarakat lain, terutama oleh masyarakat yang diceritakan dalam buku itu. Misalnya, seorang Muslim menulis tentang Barat, atau Kristen atau umat Kristen, meskipun dalam bahasa Arab atau Urdu, atau bahasa lain, dan ditujukan kepada masyarakat Islam, tetap saja akan dipelajari dan dianalisis oleh sarjana-sarjana Barat, dan hasilnya akan diterbitkan. Hal ini akan memberi pengaruh bukan hanya terhadap tulisan orang Muslim sendiri, tetapi juga terhadap orientasi Barat kepada Islam.53 Hal lain yang harus diperhatikan dalam hubungannya dengan audensi ialah bahwa pernyataan tentang suatu agama tidak valid jika tidak diakui oleh penganut agama itu sendiri.54 Orang-orang non-Kristen bisa saja menghasilkan tulisan yang otoritatif tentang sejarah gereja, namun sebaik, secermat, atau sebijak apa pun, mereka sama sekali tidak bisa membantah orang-orang Kristen mengenai bagaimana keimanan atau kesyahduan Kristen terhadap gereja. Hal yang sama berlaku pula bagi semua agama lain. Apa pun yang dikatakan tentang Islam sebagai agama yang hidup adalah valid hanya sejauh bisa diterima oleh orang-orang Muslim sendiri.55 Langkah kedua adalah bahwa pengamat (peneliti) harus memiliki suatu sifat yang dipersonalisasikan (personalized quality). Dulu seorang sarjana, secara ideal, dipandang sebagai orang pandai akademis yang tak memihak, yang meneliti bahan-bahan penelitiannya itu secara impersonal, dan yang melaporkannya secara objektif. Konsep seperti itu adalah karakteristik tradisi akademis Eropa Barat 40

Wajah Studi Agama-Agama

abad ke-19. Seseorang tidak bisa meremehkan tradisi itu atau hasilhasil yang telah mereka capai dalam studi ini (Perbandingan Agama) maupun dalam bidang-bidang lain. Langkah ketiga adalah jika penulis dan apa yang ditulisnya telah menjadi personal, maka hubungan antara keduanya juga harus personal. Terjadi perjumpaan antara keduanya. Jika komunitas manusia bertemu, muncullah kebutuhan untuk berkomunikasi. Inilah sebuah proses yang akan menjadi suatu dialog. Berbicara tentang masyarakat tidak sama dengan berbicara kepada mereka; juga tidak sama dengan berbicara dengan mereka.56 Dalam situasi dialog terdapat tiga cara yang bisa dilakukan oleh ahli Perbandingan Agama. Pertama, ia dapat berpartisipasi dalam dialog sebagai seorang anggota suatu kelompok tertentu. Dalam sebuah pertemuan misalnya, antara orang-orang Kristen dan orangorang Buddha, jelas bahwa komunikasi akan berlangsung lebih baik jika kontingen Buddha melibatkan orang-orang Buddhis yang memiliki pengetahuan cukup baik dalam bidang Perbandingan Agama. Dalam pertemuan, semua anggota diharapkan tidak bertindak sebagai seseorang yang mencari penganut baru untuk agama masing-masing. Setiap peserta harus menghormati dan menghargai agama (kepercayaan) orang lain;57 Kedua, Ahli Perbandingan Agama dalam pertemuan antara agama-agama dapat berperan sebagai pemandu pertemuan itu. Sebagai ketua, ia harus bisa bertindak sebagai mediator atau penafsir (interpreter) yang membantu agama-agama untuk dapat menginterpretasikan dirinya dalam berhubungan dengan agama lain.58 Ketiga, Ahli Perbandingan Agama bisa pula berperan sebagai pengamat (observer). Jika ia tidak berpartisipasi sebagai peserta dialog, juga tidak sebagai perantara dalam ajang dialog-dialog yang semakin intens diadakan di mana-mana, maka setidaknya ia bisa menjadi pengamat yang mencurahkan perhatian terhadap apa yang sedang berlangsung dalam sebuah dialog. Seperti telah dinyatakan oleh Smith bahwa kaidah pokok dalam studi Perbandingan Agama adalah pernyataan tentang suatu agama Dr. Media Zainul Bahri

41

bisa dianggap valid jika terang dan diakui oleh penganut agama yang bersangkutan. Karena itu, jika orang-orang Muslim dan Buddha mengadakan pertemuan, yang harus diperhatikan adalah suatu pernyataan tentang Islam hanya dapat diakui sebagai valid oleh orang-orang Muslim dan dapat diakui mempunyai arti oleh orangorang Buddha; dan pernyataan tentang agama Buddha adalah valid jika diakui oleh orang-orang Buddha dan dipahami oleh orang-orang Muslim. Dalam ajang dialog di mana pun, para peserta, pemandu dan para penulis tentang tema-tema pokok ini dan akan dibaca oleh banyak orang di mana pun, harus bergerak menuju ke arah pengertian di atas jika mengharapkan interkomunikasi akan berlangsung. 59 Langkah terakhir adalah bahwa keberadaan dialog bukan hanya penting untuk dialog itu sendiri, tetapi untuk implikasi-implikasi selanjutnya. Implikasi itu misalnya, terwujudnya sebuah perdamaian dan kerja sama antar umat manusia sebagai satu masyarakat dunia dalam menghadapi berbagai problem bersama dan mereka semua terlibat didalamnya.60 Sebuah karya yang bernilai adalah jika karya itu ditulis oleh seseorang yang digambarkan oleh W. C. Smith sebagai berikut: When a work does appear worthy of typifying achievement in this realm, we predict that it will be written by a person who has seen and felt, and is morally, spiritually, and intellectually capable of giving expression to, the fact that we – all of us – live together in a world in which not they, not you, but some of us are Muslims, some are Hindus, some are Jews, some are Christians. If he is really great, he will perhaps be able to add, some of us are Communists, some Inquirers.61 (Ketika sebuah karya muncul dan sesuai dengan target yang kita tetapkan dalam bidang ini, kita perkirakan bahwa ia ditulis oleh seseorang yang memang telah melihat dan merasakan secara moral, spiritual, dan intelektual memiliki kemampuan untuk mengekspresikan kenyataan bahwa kita – semuanya – hidup bersama dalam satu dunia di mana tidak ada mereka, tidak ada engkau, melainkan sebagian kita adalah Muslim, Hindu, Yahudi, Kristen. Jika ia benar-benar hebat ia

42

Wajah Studi Agama-Agama

akan menambahkan, di antara sebagian kita adalah Komunis, sebagian sedang dalam pencarian).

Pendekatan dialogis atau personalis yang dipelopori oleh W. C. Smith ini mempunyai dua keistimewaan: keistimewaan akademis dan keistimewaan praktis. Keistimewaan akademis adalah bahwa hasil-hasil penyelidikan metode ini lebih akurat, karena metode ini mempunyai “alat” pengontrol agar terhindar dari kekeliruan dalam memahami agama yang dipelajari, dan “alat” pengontrol itu adalah para penganut agama itu sendiri yang dijadikan teman dialog dan sumber informasi sekaligus. Keistimewaan praktis adalah bahwa metode ini, dengan dialog dengan para penganut berbagai agama, bertujuan tidak hanya untuk memperoleh pengetahuan ilmiah tentang agama-agama yang dipelajari, tetapi juga bertujuan untuk menciptakan harmoni, perdamaian, dan kerja sama antara umat manusia yang berbeda agama dan kepercayaan. Dengan demikian, diharapkan terciptanya satu masyarakat dunia yang mempunyai satu tanggung jawab dalam mengatasi problem-problem dunia. Barangkali pendekatan dialogis ini adalah salah satu pendekatan yang terbaik untuk Perbandingan Agama saat ini, meskipun ia membutuhkan biaya yang mahal dan hanya berlaku untuk agama yang masih hidup. 7. Pendekatan Sosiologis Pendekatan sosiologis terhadap agama bermaksud mencari relevansi dan pengaruh agama terhadap fenomena sosial. Michael S. Northcott menjelaskan bahwa pendekatan sosiologis dibedakan dari pendekatan lainnya karena fokusnya pada interaksi agama dan masyarakat. Pra-anggapan dasar perspektif sosiologis adalah perhatiannya pada struktur sosial, konstruksi pengalaman manusia dan kebudayaan termasuk agama. Objek-objek, pengetahuan, praktikpraktik dan institusi-institusi dalam dunia sosial, oleh para sosiolog dipandang sebagai produk interaksi manusia dan konstruksi sosial. Bagi para sosiolog, agama adalah salah satu bentuk konstruksi sosial. Dr. Media Zainul Bahri

43

Pemahaman akan Tuhan, ritual, nilai, hierarki keyakinan-keyakinan, dan perilaku religius, menurut sosiolog adalah untuk memperoleh kekuatan kreatif atau menjadi subjek dari kekuatan lain yang lebih hebat dalam dunia sosial.62 Pendekatan sosiologis dalam studi agama berfokus kepada masyarakat yang memahami dan mempraktikkan agama; bagaimana pengaruh masyarakat terhadap agama dan pengaruh agama terhadap masyarakat. Emile Durkheim misalnya, sosiolog agama yang paling berpengaruh, seperti dikutip Daniel L. Pals, melihat arti yang sangat penting atas apa yang dinamakan masyarakat (society). Durkheim mengklaim tanpa adanya masyarakat yang melahirkan dan membentuk apa pun: hukum dan moralitas, lapangan kerja dan rekreasi, keluarga dan kepribadian, ilmu pengetahuan, seni (juga agama), maka tak ada satu pun yang akan muncul dalam kehidupan ini.63 Durkheim meyakini bahwa “agama adalah sesuatu yang amat bersifat sosial.”64 Sebagai hasil risetnya yang mendalam pada suku Aborigin di Australia, Durkheim membangun tesisnya yang kukuh tentang agama sebagai hasil “ciptaan” masyarakat. Bagi Durkheim, pada masyarakat Aborigin, pemujaan terhadap Totem (binatang yang disakralkan) tak lain adalah pemujaan terhadap masyarakat itu sendiri. Suku atau klan butuh ikatan yang mempersatukan mereka, dan Totemlah yang disakralkan dan dianggap sebagai elemen yang dapat menyatukan klan. Karena itu, pemujaan (cult) yang terdiri dari perasaan-perasaan peserta upacara (ritual) dan timbul dalam waktu-waktu tertentu, merupakan inti kehidupan suku secara keseluruhan.65 Durkheim ingin menegaskan satu hal yang fundamental bahwa Tuhan atau agama hanya akan ada sejauh Dia memiliki tempat dalam kesadaran masyarakat. Tuhan tidak akan bisa berbuat apa-apa jika tidak ada yang menyembah-Nya. Dan masyarakat pun tidak akan bisa melakukan pemujaan jika tidak ada yang disembah (Tuhan). Karena itu, masyarakat yang menjadi satu-satunya simbol ekspresi tuhan tidak akan berfungsi apa-apa tanpa adanya individu44

Wajah Studi Agama-Agama

individu di dalamnya, sebagaimana juga individu-individu tidak akan bisa berbuat apa-apa jika masyarakat tidak ada. Inilah jantung teori Durkheim tentang agama. Dalam analisis terakhirnya, Durkheim menyatakan bahwa keyakinan dan ritual-ritual agama adalah ekspresi simbolis dari kenyataan sosial. Memakan totem sesungguhnya adalah pernyataan kesetiaan kepada klan. Pemujaan terhadap totem adalah penegasan dan bantuan terhadap klan, sebuah cara simbolis setiap anggota kelompok untuk menyatakan bahwa kepentingan klan lebih utama dari kepentingan individu.66 Tesis Durkheim amat jelas bahwa masyarakatlah yang melahirkan agama. Tanpa masyarakat, maka tidak ada agama. Karya terbaru Sosiologi Agama yang senapas dengan Durkheim adalah Religion in Human Evolution (2011), karya Robert N. Bellah, salah seorang sosiolog hebat dan cemerlang di abad ke-21 ini. Saya sebut “senafas” dengan Durkheim karena sama-sama mengenyampingkan adanya “Tuhan” atau kekuatan “Supranatural” dalam proses kemunculan agama. Jika Durkheim berfokus pada struktur masyarakat yang memunculkan agama, maka Bellah memusatkan perhatian pada proses evolusi biologis makhluk hidup yang kelak melahirkan agama. Menurut Bellah, agama muncul dari proses evolusi biologis natural dan evolusi sosiokultural. Tak ada keterlibatan dunia supernatural sama sekali. Dalam karyanya itu, ia menganalisis kelahiran agama-agama tidak hanya berdasarkan variabelvariabel sosiokultural, tetapi menempatkannya dalam rentang sejarah panjang evolusi spesies di muka Bumi, planet kita yang terbentuk 4,5 miliar tahun lalu bersamaan dengan terbentuknya tata surya. Kemunculan agama tak dapat dilepaskan dari naluri induk hewan-hewan sebelum munculnya mamalia, yakni naluri yang menggerakkan induk hewan-hewan untuk memelihara anak-anak yang baru dilahirkan (parental care). Parental care ditemukan pada sejumlah hewan pra-mammalia, seperti ikan, cumi-cumi, buaya, ular berbisa, dan kemampuan menampakkan parental care ini diteruskan sampai ke hewan mamalia (misalnya anjing, kera, monyet, Dr. Media Zainul Bahri

45

dan tentu saja manusia) dan juga burung. Parental care yang dialami anak-anak yang baru dilahirkan memberi rasa lega, tenang, relaks, dan bebas stres. Pada tahap berikutnya, rasa lega dan bebas stres ini ingin dialami kembali oleh makhluk-makhluk bernyawa, dan keinginan ini terpenuhi dalam kegiatan bermain (play). Bermain adalah suatu kegiatan rekreatif, yang bebas dari tekanan Darwinian mengenai “the struggle for existence” (atau “survival of the fittest”). Bermain adalah suatu kegiatan yang berlangsung di “relaxed field” atau “relaxed selection.” Semua mamalia (misalnya serigala, anjing, chimpanse, manusia) adalah makhluk bermain. Manusia adalah Homo ludens, makhluk bermain, yang baru muncul 300.000 tahun lalu (sementara spesies Homo sendiri muncul 5 juta tahun lalu bersama sepupunya chimpanse dan gorila, dan 2 juta tahun lalu dari spesies Homo ini muncul dua cabang, yakni Homo habilis dan Homo erectus, kemudian dari Homo erectus ini muncul Homo sapiens).67 Melalui parental care dan empati, atau parental love, yang dirasakan dan dialami kembali lewat play, terbangunlah social bonding (ikatan sosial) yang memperluas ikatan kekerabatan. Melalui play, social bonding ini diperkuat dan diperluas terus-menerus, hingga terbangunlah solidaritas. Bellah menempatkan evolusi sosialkultural dalam empat tahap: kebudayaan episodik (atau unitif), kebudayaan mimetik (atau enaktif), kebudayaan mitik (atau simbolik), kebudayaan teoretik (atau konseptual). Zaman Aksial adalah zaman kebudayaan teoretik; dalam zaman-zaman sebelumnya berlangsung evolusi kebudayaan episodik sampai kebudayaan mitik. Walaupun berevolusi, setiap kebudayaan sebelumnya tidak hilang tapi berinteraksi dengan kebudayaan yang menyusulnya.68 Ringkas kata, semua agama di muka bumi asal-usulnya dari naluri parental care makhluk-makhluk bukan mamalia, yang diteruskan ke mamalia, bermain (play), social bonding dan ritual, semuanya merupakan bagian dari mata rantai evolusi kosmik, evolusi geologis, evolusi biologis dan evolusi sosiokultural. Tuhan sama sekali tak diperlukan untuk memunculkan agama-agama di dunia. 46

Wajah Studi Agama-Agama

Karenanya, judul buku Bellah berbunyi Religion in Human Evolution.69 Di samping dua teori besar di atas (yang bercorak ateistik) sebagai bagian dari pendekatan sosial terhadap agama, terdapat pendekatan sosiologis lain yang berkaitan dengan keyakinan akan hadirnya Tuhan dalam kehidupan sosial. Northcott menyatakan bahwa di samping mengajukan pertanyaan “apakah Tuhan ada,” sosiolog mendekati perilaku keagamaan dengan pertanyaan misalnya, “model keyakinan dan ritual keagamaan macam apa yang terus bertahan dalam lingkungan kehidupan tertentu dan mengapa?,” atau “Sejauh mana kaitan antara lingkungan personal atau konteks sosial tertentu dengan keyakinan mengenai Tuhan atau tuhan-tuhan?,” atau “Apakah penjelasan keagamaan mengenai penderitaan sosial berpengaruh untuk memperbaiki penderitaan itu?” Studi sosiologis terhadap agama tidak hanya memberi perhatian pada dependensi keyakinan dan komunitas keagamaan terhadap kekuatan dan proses sosial, tetapi juga memberi perhatian terhadap kekuatan penggerak organisasi dan doktrin keagamaan dalam dunia sosial, termasuk pada bentuk dan karakteristik yang khas dari dunia kehidupan yang dimunculkan oleh komunitaskomunitas religius, baik dalam masyarakat primitif maupun modern. Pendekatan sosiologis terhadap agama, sekali lagi, bertujuan untuk mencari hubungan sejauhmana agama berpengaruh terhadap struktur-struktur sosial dalam memainkan perannya.70 Dalam konteks studi Perbandingan Agama, kehidupan sosial dan keagamaan para pemeluk agama yang berbeda-beda dapat dikaji, diteliti dan diperbandingkan satu sama lain dengan menggunakan metode ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu sosial sekaligus untuk melihat kaitan atau keterpengaruhan antara keyakinan keagamaan dengan kehidupan sosial. 8. Pendekatan Antropologis Pendekatan ini berupaya memahami kebudayaan-kebudayaan produk manusia yang berhubungan dengan agama. Sejauh mana Dr. Media Zainul Bahri

47

agama memberi pengaruh terhadap budaya dan sebaliknya; sejauh mana kebudayaan suatu kelompok masyarakat memberi pengaruh terhadap agama. Dalam sejarah Studi Agama terdapat beberapa figur yang selalu menjadi rujukan atas pendekatan ini, yang kemudian dikenal luas sebagai studi Antropologi Agama. Misalnya Edward Burnett Taylor (1832-1917), James George Frazer (18541941), Andrew Lang (1844-1912), Wilhelm Schmidt (1868-1954), Clifford Geertz dan lain-lain. A. E.B. Tylor Selain Geertz, nama-nama di atas adalah para ilmuwan yang mendedikasikan hidupnya untuk meneliti kebudayaan masyarakat primitif. Tylor misalnya, adalah ilmuwan yang sebagian besar hidupnya dipakai untuk mengarahkan perhatian pada orang-orang primitif, khususnya pada suku Indian di Amerika Tengah. Atas pengamatannya yang sangat serius, ia menghasilkan karya-karya yang bermutu seperti Anahuac: Or Mexico and The Mexican Ancient and Modern (1861), dan Researches inti the Early History of Mankind and the Development of Civilization (1865). Namun, karya puncaknya Primitive Culture (1871) yang ia tulis dalam dua jilid besar, telah mengantarkannya menjadi ahli antropologi Inggris ternama, dan Primitive Culture dapat disebut sebagai “kitab suci” bagi para ilmuwan sesudahnya yang sangat terinspirasi oleh apa yang mereka sebut sebagai “Mr. Taylor’s Science.”71 Pada mulanya, Tylor tidak tertarik pada soal agama. Namun, keterlibatannya pada kehidupan kaum primitif mengharuskannya untuk memahami kepercayaan mereka tentang roh, dewa-dewa, mitos, dan asal-usul kepercayaan itu. Setelah bergelut lama dengan kebudayaan kaum primitif, Tylor sampai pada kesimpulan bahwa agama adalah “keyakinan terhadap sesuatu yang spiritual.” Menurutnya, semua agama, besar dan kecil, yang primitif maupun yang modern, selalu mendasarkan keyakinan kepada roh-roh yang berpikir, berperilaku dan berperasaan seperti manusia. Karena itu, esensi setiap agama adalah animisme (anima: roh), yaitu keper48

Wajah Studi Agama-Agama

cayaan terhadap sesuatu yang hidup, yang memiliki kekuatan, yang berada di balik segala sesuatu.72 Animisme inilah yang menjadi titik perhatian Tylor. Pada masyarakat primitif, awalnya muncul dua pertanyaan dan kegelisahan: pertama, apakah yang membedakan antara tubuh yang hidup dan yang telah mati; apa yang menyebabkan manusia bisa terjaga, tidur, pingsan, sakit dan mati? Kedua, wujud apakah yang muncul dalam mimpi dan khayalan-khayalan manusia? Mencermati kedua persoalan ini, “para filsuf liar kuno” (the ancient savage philosopher) masyarakat primitif kemudian mencoba menjawabnya dengan dua tahap: pertama, dengan menyatakan bahwa setiap manusia memiliki dua hal, yaitu jiwa dan roh (phantom) sebagai bayangan dari diri kedua bagi jiwa. Kedua hal ini juga dianggap sebagai bagian yang tak terpisahkan dari tubuh. Kedua, dengan mengkombinasikan jiwa dan roh tadi, “para filsuf liar” berhasil menemukan konsepsi tentang Jiwa Yang Memiliki Pribadi.73 Pengalaman nyata mereka mengenai kematian dan mimpi menyebabkan masyarakat primitif mampu berpikir untuk pertama kalinya akan suatu teori sederhana bahwa setiap kehidupan disebabkan oleh sejenis roh atau prinsip spiritual. Mereka menganggap roh sebagai sesuatu yang sangat halus, bayangan tak bersubstansi dari manusia dengan bentuk yang sangat “halus,” “tipis” dan berupa “bayangan.” Dialah yang memberikan kehidupan bagi individu tempat ia berada.74 Selanjutnya menurut Tylor, animisme mengalami perkembangan dan pertumbuhan. Mulanya, orang-orang hanya memikirkan satu roh individual sebagai sesuatu yang kecil dan spesifik, menyatu dengan pepohonan, sungai ataupun binatang-binatang yang mereka temukan. Lalu, kekuatan roh ini mulai berkembang. Dalam pemikiran masyarakat primitif, roh sebatang pohon perlahan-lahan berkembang menjadi roh hutan atau roh seluruh pohon. Selanjutnya, roh yang sama juga akan dianggap semakin terpisah dari objek yang pertama kali dikuasainya dengan semakin mengukuhkan identitas dan karakternya sendiri. Masing-masing tempat Dr. Media Zainul Bahri

49

dan wilayah memiliki roh-roh yang berbeda kekuatannya dan bertingkat-tingkat: roh paling tinggi, roh tinggi, roh rendah, dan roh paling rendah. Terdapat roh angin, hujan dan matahari yang derajatnya lebih tinggi dibanding roh pohon dan sungai. Roh-roh pohon tidak bisa berbuat apa-apa jika roh matahari memutuskan untuk tidak menurunkan hujan sehingga pepohonan akan kekeringan atau Dewi Hujan memutuskan untuk menghancurkan pepohonan dengan mengirimkan banjir.75 Dengan pandangan teologis tentang macam-macam tingkatan roh dan kekuasaannya, maka muncullah penyembahan terhadap banyak roh (politeisme). Sistem politeistik yang kompleks semacam ini merupakan ciri khas model keagamaan pada masa Barbar. Sesederhana apa pun, peradaban ini akan selalu mencari tingkatan yang paling tinggi, yaitu ketika mereka berusaha membentuk satu masyarakat yang punya satu Tuhan, satu Kekuatan Tunggal yang mengatasi tuhantuhan lain. Menurut Tylor, dengan perlahan namun pasti, setiap peradaban akan menuju ke arah baru, tahapan paling akhir dari animisme, yaitu percaya kepada satu Tuhan (monoteisme), meskipun jalan yang ditempuh tidak selalu sama. Tidak diragukan lagi, masyarakat Kristen dan Yahudi (termasuk Islam, sic.) merupakan contoh yang paling tepat untuk tahap terakhir ini. Mereka telah membentuk satu formula akhir yang sangat logis dari seluruh perkembangan proses yang telah dimulai berabad-abad sebelumnya, yang diselubungi kabut gelap zaman pra-sejarah. Yaitu, ketika manusia pertama yang disebut Tylor sebagai “filsuf liar” yang menyimpulkan bahwa roh-rohlah yang mengendalikan dunia yang ada di sekelilingnya.76 Dengan berbagai penjelasan di atas, Tylor ingin menunjukkan bahwa asal-usul kepercayaan agama (Tuhan) pada umat manusia sejatinya berevolusi: dari animisme ke politeisme dan berakhir pada monoteisme. Tylor, yang lahir dan besar di Inggris, tentu terpengaruh dengan teori evolusi Charles Darwin. Darwin yang menerbitkan The Origin of Species (1859) kemudian menjadi buah bibir dan sosok yang sangat kontroversial, terutama di Inggris. Gagasannya tentang 50

Wajah Studi Agama-Agama

ide perkembangan (the idea of development) menurut L. Pals, mengambil bentuknya yang paling nyata dalam pemikiran Tylor. Pada tahun-tahun sesudahnya, ketika perdebatan itu kian hebat, muncul banyak pemikir yang mengajukan pertanyaan-pertanyaan “yang menggelisahkan” tentang elemen-elemen dasar keyakinan Kristiani seperti kebenaran sejarah yang dikisahkan Injil, kebenaran mukjizat dan masalah ketuhanan Yesus Kristus. Dengan terbitnya Primitive Culture yang membawa teori baru tentang asal-usul seluruh agama, termasuk agama Kristen, keragu-raguan yang sebelumnya telah mengendap dalam masyarakat Eropa semakin menjadi-jadi.77 Hasil penelitian Tylor sesungguhnya menampilkan kesimpulan yang serupa dengan para sosiolog seperti Durkheim misalnya, bahwa agama sejatinya hasil konstruksi sosial (dan budaya) manusia, dan bukan “wahyu yang diturunkan” Tuhan seperti yang diyakini oleh orang-orang yang beriman. Teori Tylor itu kemudian mendapat perlawanan, terutama dari pihak ilmuwan gereja. Andrew Lang misalnya, seorang ahli folklor dari Skotlandia, yang sebelumnya menjadi pengikut teori Tylor, kemudian membantahnya. Berdasarkan riset yang ia lakukan, terdapat bukti-bukti bahwa masyarakat primitif sejak awal telah menganut monoteisme. Pemahaman keagamaan kaum primitif, kata Lang, tidak pernah dimulai dari politeisme dan monoteisme asli mereka bukan merupakan perkembangan yang sempurna dari animisme. Observasi Lang ini kemudian mendapat dukungan dari Wilhelm Schmidt, seorang antropologis dan pendeta Katolik dari Jerman. Ia juga berargumentasi bahwa paham keagamaan seluruh masyarakat primitif sejak awal adalah monoteis, dan monoteisme merupakan bentuk asli dari seluruh agama manusia yang pernah ada, sampai hari ini.78 B. Clifford Geertz Antropolog lain yang pantas kita jadikan contoh adalah Clifford Geertz. Geertz, salah satu “begawan” antropologi Amerika yang amat masyhur dan memasyhurkan sebuah kota kecil di Jawa TiDr. Media Zainul Bahri

51

mur, menjadi sangat diperhitungkan pada era 1970-an karena konsep baru yang digagasnya, yakni antropologi interpretatif. Seperti diketahui, kariernya bermula ketika menjadi mahasiswa program doktor di tahun kedua di Harvard, Geertz bersama istrinya, berangkat ke pulau Jawa dan menetap selama dua tahun di Mojokuto (Pare, Kediri) Jawa Timur, untuk mempelajari sebuah masyarakat yang heterogen dari sisi budaya dan keyakinan keagamaan. Setelah mendapat gelar doktor dalam bidang antropologi pada 1956, ia kembali ditemani istrinya datang ke Indonesia, tepatnya ke pulau Bali untuk sebuah riset antropologi. Misi utama Geertz sebagai seorang antropolog di Jawa dan Bali adalah etnografi, yakni memberi gambaran rinci dan sistematis tentang masyarakat di dua pulau itu demi mengungkapkan bagaimana keragaman aspek-aspek kehidupan masyarakatnya bisa melebur menjadi sebuah kebudayaan yang utuh.79 Pada 1960 Geertz memublikasikan The Religion of Java, sebuah karya yang amat masyhur dan “kontroversial” mengenai trikotomi abangan-santri-priyayi dalam pola hubungan sosio-religius pada masyarakat Jawa. Karya inilah yang selalu dikenang masyarakat antropologi di seluruh dunia dan mengantarkan Geertz ke panggung kemasyhuran dan tempat “khusus” dalam jagat antropologi Amerika. Setelah itu, muncul karya-karyanya yang lain yang juga bermutu seperti Agricultural Revolution (1963), The Socio-History of an Indonesian Town (1965), Islam Observed (1968), The Interpretation of Culture (1973), Meaning and Order in Morocean (1980) dan Local Knowledge (1983). Dalam sebuah esai berjudul “Thick Description: Toward an Interpretative Theory of Culture,” yang terdapat pada The Interpretation of Culture, Geertz mengingatkan, seperti dikutip oleh L. Pals, bahwa meskipun kata kebudayaan (culture) dipahami oleh para antropolog dengan pengertian yang berbeda-beda, namun kunci untuk memahaminya adalah ide tentang makna (meaning, significance). Manusia, kata Geertz dengan mengutip Weber, adalah “hewan yang terkurung dalam jaring-jaring makna (significance) yang 52

Wajah Studi Agama-Agama

mereka pintal sendiri.” Karena itu, jika seseorang ingin melakukan apa yang telah dilakukan oleh para antropolog, yaitu menjelaskan kebudayaan orang lain, maka ia tidak punya pilihan lain kecuali menggunakan metode yang disebut oleh filsuf Inggris, Gilbert Ryle dengan Thick Description (lukisan yang mendalam). Seseorang harus mampu melukiskan tidak semata apa yang secara aktual terjadi, namun juga (menjelaskan) bagaimana pemahaman seseorang tentang kejadian itu.80 Ryle memberi contoh tentang dua anak yang mengerdipkan mata. Anak yang pertama mengerdipkan mata tanpa disadarinya (dengan tidak sengaja) karena gerak saraf matanya, sedangkan anak yang lain mengerdipkan matanya kepada orang lain secara sengaja. Secara fisik atau “thin description” (lukisan yang dangkal) menunjukkan bahwa kedua peristiwa itu sama saja. Namun, jika seseorang menelusuri lebih lanjut akan makna (significance) masing-masing peristiwa itu, ia akan mendapatkan sebuah perbedaan. Kejadian yang pertama tidak mengandung makna apa-apa. Sebaliknya, kerdipan yang kedua penuh dengan makna yang ingin disampaikan anak kedua. “Thick description” yang melibatkan makna dalam peristiwa tersebut menunjukkan bahwa kerdipan anak kedua (wink) jauh berbeda dari kerdipan anak pertama (twitch). Karena itu, menurut Geertz, dapat dipahami bahwa etnografi—juga antropologi—secara umum selalu melibatkan “lukisan mendalam.” Tugasnya, bukan semata mendeskripsikan (melukiskan) struktur suku-suku primitif atau bagian-bagian ritual yang lebih khusus, misalnya praktik puasa kaum Muslim di bulan Ramadhan. Tugas utamanya adalah mencari makna, menemukan hakikat di balik perbuatan seseorang, makna yang ada di balik seluruh kehidupan dan pemikiran ritual, struktur dan kepercayaan objek yang diteliti.81 Meski demikian, harus pula diingat bahwa suatu kebudayaan bukan sekadar masalah makna saja, atau hanya sebagai sesuatu yang murni bermuatan sistem-sistem simbol seperti layaknya matematika. Adat-istiadat atau perilaku masyarakat juga harus diamati sebab kebudayaan menemukan artikulasinya melalui jalur tingkah Dr. Media Zainul Bahri

53

laku, atau lebih tepatnya melalui tindakan sosial.82 Jika antropologi interpretatif merupakan cara untuk melihat sistem makna dan nilai yang dipakai masyarakat dalam menjalankan kehidupannya, maka antropologi interpretatif ini juga akan selalu tertarik dengan masalah agama. Geertz sangat yakin akan hal itu dan ia tunjukkan dalam bukunya yang amat terkenal, The Religion of Java. Para ahli antropologi menyebut karya ini sebagai buku etnografi terbaik dalam tradisi antropologi Amerika. Geertz tidak semata melakukan studi yang mendalam dengan cara terlibat langsung dengan kehidupan dan bahasa masyarakat Jawa, namun juga ia membahas secara detail hubungan yang kompleks antara tradisi keagamaan Islam, Hindu dan kepercayaan asli setempat (Abangan, Kejawen). Dalam buku ini, Geertz melihat agama bukan semata ekspresi kebutuhan sosial dan ekonomis melainkan juga sebagai fakta kultural sebagaimana adanya dalam kebudayaan masyarakat Jawa.83 Dalam risetnya pada budaya dan agama masyarakat Bali yang sangat unik, Geertz membuat satu kesimpulan bahwa studi apa pun tentang agama akan berhasil dengan baik jika menjalani dua langkah penting: pertama, seseorang harus memulai dengan menganalisis seperangkat makna yang terdapat dalam simbol-simbol keagamaan itu sendiri. Menurut Geertz, hal ini adalah tugas yang cukup sulit. Kedua, yang tak kalah sulitnya adalah karena simbolsimbol itu sangat terkait dengan struktur masyarakat dan aspek psikologi anggota masyarakat, maka rangkaian simbol-simbol itu harus ditelusuri secara kontinu, baik cara terciptanya, proses penerimaan dan pemaknaannya serta penyimpangan terhadap makna itu. Hubungan tersebut dapat dianalogikan melalui sebuah gambar dengan tiga titik yang membentuk sebuah segitiga. Titik pertama untuk simbol, titik kedua untuk masyarakat, dan titik ketiga untuk psikologi individu.84 Contoh lain penggunaan antropologi interpretatif adalah karya Geertz yang berjudul Islam Observed (1968). Buku ini menjelaskan perbandingan budaya Islam Indonesia dan Maroko. Di samping kedua negara ini mayoritas penduduknya beragama Islam, ke54

Wajah Studi Agama-Agama

duanya juga mengalami perubahan sosial yang drastis pada era modern ini. Sebagian besar penduduk Indonesia bekerja dalam bidang pertanian (harap diingat bahwa riset ini dilakukan pada era 1960an) dan mayoritas penduduk Maroko bekerja sebagai penggembala. Keduanya sama-sama pernah dijajah oleh bangsa Barat (Indonesia oleh Belanda dan Maroko oleh Prancis). Geertz ingin melihat peran penting agama yang telah dan sedang dimainkan dalam proses transformasi sosial yang terjadi di kedua negara itu.85 Dalam proses masuknya Islam ke Indonesia, dalam hal ini Jawa, Geertz membuat gambaran tentang legenda Sunan Kalijaga sebagai seorang Wali yang amat populer penyebar Islam di tanah Jawa. Ia lahir di tengah keluarga penguasa saat itu, di masa kekuasaan HinduBuddha, ketika kelas penguasa berkasta tinggi dianggap sebagai elite spiritual di negara tersebut. Dalam suasana kehidupan bangsawan istana, pelaksanaan ritus-ritus agama sesungguhnya berfungsi sebagai kekuatan politik dan otoritas keagamaan raja sekaligus. Yang menarik dari legenda Kalijaga adalah bahwa ia ketika telah menjadi wali penyebar Islam, yang ditahbiskan oleh Sunan Ampel, tidak meninggalkan kebudayaan Hindu-Buddha masa kecilnya dulu. Menurut Geertz, ia kemudian membantu berdirinya kerajaan Mataram dan memanfaatkan posisinya dalam upacara-upacara kerajaan untuk memperkenalkan Islam, dan salah satu caranya adalah dengan tetap menyuarakan nilai-nilai agama Hindu dan Buddha.86 Identik dengan kisah Sunan Kalijaga, menurut Geertz, kemunculan Islam di Maroko dapat dilihat dengan baik dari kisah hidup seorang wali bernama Sidi Lahsen Lyusi (nama sebenarnya adalah Abu Ali al-Hasan Ibn Mas’ud al-Yusi), salah seorang generasi terakhir Marabouth yang hidup sekitar tahun 1600-an. Marabouthisme adalah paham dan praktik mistik Islam Maroko warisan dinasti Murabithun. Seperti juga Kalijaga, Lyusi dianggap oleh kaum Muslim Maroko sebagai seorang wali yang berpengetahuan luas, berakhlak mulia dan memiliki karisma spiritual pada dirinya sehingga ia juga memiliki banyak karamah (keramat).87 Menurut Geertz, Kalijaga dan Lyusi memiliki banyak kesamaan. Keduanya Dr. Media Zainul Bahri

55

muncul dan memainkan peranan dalam masa-masa kritis perkembangan masyarakatnya, namun kemudian mereka menemukan jalan keluar dan penyelesaian. Keduanya mengembara dari satu tempat ke tempat lain dengan penuh semangat pencarian. Keduanya hidup pada masa yang berdekatan: Kalijaga di abad enam-belas dan Lyusi di abad tujuh belas. Keduanya juga berasal dari kalangan elite masyarakatnya, Kalijaga seorang bangsawan, dan Lyusi seorang syarif (keturunan Nabi Muhammad).88 Namun, lanjut Geertz, terdapat perbedaan yang cukup signifikan antara keduanya dalam konteks sosio-kultur mereka dan pemecahan masalah. Di Jawa, krisis yang dihadapi Kalijaga adalah akibat melemahnya Majapahit yang Hindu-Buddha dan demoralisasinya, kemudian introduksi Islam yang vital dan dinamis. Sedangkan di Maroko, krisis yang ditemukan Lyusi adalah masyarakat yang sudah terislamkan selama berabad-abad, namun mengalami disintegrasi dari dalam yang membuat masyarakat terpecah ke dalam kelompok-kelompok kecil dengan seseorang yang dipercayai sebagai ‘Wali’ selaku tokoh sentral. Karena itu, jika Kalijaga mencari penyelesaian krisis masyarakatnya dengan menemukan harmoni, keselarasan, dan keutuhan estetik, maka Lyusi mencoba mengatasinya dengan mengarahkan masyarakat kepada tuntutan-tuntutan moral yang ketat (syari’ah dan akhlak) yang dipercaya sebagai ajaran agama yang benar.89 Dalam definisi Geertz, agama di Maroko dan Indonesia, meskipun sama-sama Islam, namun memperlihatkan budaya, perasaan dan motivasi yang jauh berbeda. Di Indonesia (maksudnya Jawa, sic.), terdapat ketenangan, kesabaran, mawas diri, penuh pertimbangan, kepekaan, asketisme dan bahkan bisa dikatakan hampir-hampir tidak punya obsesi. Di Maroko, Islam bersifat aktif, penuh semangat, berani, tidak sabaran, ulet, moralis, populis dan obsesif.90 9. Pendekatan Psikologis Pendekatan ini bermaksud mencari hubungan atau pengaruh agama terhadap kejiwaan pemeluk agama atau sebaliknya pengaruh 56

Wajah Studi Agama-Agama

kejiwaan pemeluk terhadap keyakinan keagamaannya. Para psikolog religius meyakini ada dimensi yang sakral, spiritual, divine, transenden, supernatural yang tidak empiris yang dapat memengaruhi kejiwaan manusia. Namun, para psikolog non-religius menolak dimensi-dimensi itu atau paling tidak sangat meragukannya. Psikolog non-religius biasanya akan berusaha menjelaskan fenomena keagamaan seseorang tanpa perlu merujuk kepada realitasrealitas yang super-natural itu, sementara psikolog religius ingin tetap membuka kemungkinan realitas itu menjadi satu faktor yang berpengaruh terhadap kejiwaan seseorang.91 Psikolog yang memusuhi agama dan sangat berpengaruh adalah Sigmund Freud. Menurut Freud seperti dikutip Jalaluddin Rakhmat (2004), agama ditandai dengan dua ciri yang menonjol: kepercayaan yang kuat pada Tuhan dalam sosok seorang ayah dan ritus-ritus wajib yang dijalankan secara rumit. Kepercayaan dan praktik keagamaan, kata Freud berakar pada pengalaman universal kanak-kanak. Pada usia dini, anak-anak menganggap orangtua, terutama bapak, sebagai orang yang mahatau dan mahakuasa. Pemeliharaan yang penuh perlindungan dan kasih sayang yang dilakukan oleh sosok-sosok berkuasa seperti itu menenteramkan anak yang tidak berdaya dan ketakutan, serta menciptakan surga buatan baginya. Bertahun-tahun kemudian, ketika kekuatan alam dan situasi hidup lainnya kembali membangkitkan perasaan tidak berdaya, kerinduan individu akan seorang bapak yang berkuasa memperoleh pemuasannya dalam pengkhayalan citra tuhan sebagai bapak yang mengayomi dan melindungi. Kerinduan kepada bapak, yang disebut Freud merupakan “akar setiap bentuk agama” ditandai dengan kegelisahan. Sebabnya, sebagai akibat cengkeraman kompleks Oedipus, ayah juga menjadi objek ketakutan, kekecewaan dan rasa bersalah. Kepasrahana penuh kepada Tuhan sebagai proyeksi ayah pada akhirnya memulihkan kembali hubungan yang telah lama hilang itu.92 Karena itu bagi Freud agama adalah ilusi. Hal ini berarti agama merupakan hasil pemuasan keinginan dan bukan hasil pengamatan Dr. Media Zainul Bahri

57

dan pemikiran. Bagi Freud, agama adalah takhayul, namun ia bukan takhayul sembarangan melainkan takhayul yang sangat menarik karena memunculkan pertanyaan-pertanyaan penting tentang manusia. Mengapa manusia masih mau memercayai agama, bahkan dilakukan dengan kesungguhan yang mendalam, padahal agama adalah kekeliruan? Jika agama itu tidak rasional, mengapa manusia masih membutuhkannya? Dan mengapa pula mereka memeganginya dengan kuat? Freud lalu menulis buku-buku dan artikel yang serius untuk menjawab pertanyaan di atas. Dalam salah satu artikelnya yang berjudul Obsessive Actions and Religious Practices (1907) seperti dikutip L. Pals, Freud menyimpulkan perilaku orang beragama mirip dengan tingkah laku pasien penyakit sarafnya (neurotik). Misalnya, keduanya sama-sama menekankan bentuk-bentuk seremonial dalam melakukan sesuatu, dan sama-sama akan merasa bersalah seandainya tidak melakukan ritus-ritus tersebut dengan sempurna.93 Jadi, menurut Freud, ibadah yang dilakukan orangorang beragama mirip, jika tidak dikatakan sama, dengan tingkah laku orang-orang yang memiliki penyakit saraf (gila). Kebalikan dari Freud adalah William James, seorang psikolog yang pro terhadap agama. Jalaluddin Rakhmat menyebut James sebagai “Bapak” psikologi agama. Bukunya, The Varieties of Religious Experience, merupakan pembahasan (psikologi) agama pertama yang paling mendalam dan komprehensif. Jika Freud menganggap agama sebagai ilusi, khayalan, kekeliruan, sifat kanak-kanak, dan tidak ada manfaatnya sama sekali, maka James berpendapat sebaliknya. Bagi James, agama mempunyai peranan sentral dalam menentukan perilaku manusia dorongan beragama pada manusia, kata James, paling tidak sama menariknya dengan dorongan-dorongan lainnya. James menolak setiap penjelasan agama yang ia sebut sebagai “materialisme medis.” Para ilmuwan dengan pongah menerangkan bahwa pengalaman hidup kita yang lebih tinggi itu adalah pengalaman “hanya sekadar.” Seperti kata Freud bahwa agama “hanya sekadar proyeksi dari ketakutan masa kecil.” 58

Wajah Studi Agama-Agama

Menurut James, argumentasi “hanya sekadar” dapat dengan mudah dibalikkan kepada pencetusnya. Teori-teori ilmiah sekalipun dapat dilacak pada kondisi organis para ilmuwan, sebagaimana pengalaman beragama dapat dihubungkan dengan keadaan emosional orang-orang yang mengalaminya.94 Dalam membahas agama, James tidak mau merujuk kepada orang-orang awam (your ordinary religious believer) yang memperoleh agama melalui tradisi, imitasi, dan kebiasaan. James ingin melihat agama seperti tampak pada perilaku “religious genuises.” Pada diri mereka, kata James, agama tidak lagi menjadi rutinitas yang membosankan, tetapi menjadi “demam yang akut dan menggetarkan” (“an acute fever”). Bagi James, hubungan manusia dengan realitas yang tak terlihat (agama atau Tuhan) memiliki efek pada kehidupan individual. Ia akan mengaktifkan “energi spiritual” dan menggerakkan “karya spiritual.” Agama menggairahkan semangat hidup, meluaskan kepribadian, memperbarui daya hidup, dan memberikan makna dan kemuliaan baru pada hal-hal yang biasa dalam kehidupan. Orang yang beragama akan mencapai perasaan tenteram dan damai. Kebahagiaan agama, menurut James, ditandai dengan hilangnya upaya untuk melarikan diri (no escape): it cares no longer for escape.95 Dengan pengertian itu, maka seorang pemeluk agama sejatinya adalah ia yang “berani” menghadapi badai kehidupan dengan segala problemnya yang kompleks. Selain dari dua contoh pendekatan psikologis dalam agama, studi Perbandingan Agama atau Studi Agama-Agama dapat melihat lebih jauh dan dalam kompleksitas hubungan kejiwaan para pemeluk agama atau kaum ateis dengan agama. Beberapa pendekatan di atas hanyalah sebuah pengantar ringkas dan sederhana, karena studi agama memiliki pendekatan yang luas dan kompleks—atau dalam istilah Ninian Smart bersifat polimetodis.96 Ada pendekatan filologi untuk melihat isi (makna) sebuah naskah atau manuskrip kuno yang bersama-sama dengan sejarah melihat keseluruhan konteksnya. Ada pendekatan politik yang akan memahami pandangan dan sikap politik kaum beragama yang Dr. Media Zainul Bahri

59

(manunggal) Ego dengan Monade, antara badan Manas luhur dengan kesadaran di alam Budhi. Ada yang berpendapat bahwa kata AUM (OM) seakar kata dengan Amen (agama Mesir kuno), lalu berubah menjadi Aion dalam bahasa Yunani kuno dan Aivum dalam bahasa Latin.25 Amen dalam bahasa Mesir kuno kemudian dilanjutkan menjadi “Amen dan Amin” dalam ritual tiga agama Semitik. Slogan teosofi adalah “Satyan Nasti Paro Dharma:” “tak ada agama yang lebih tinggi daripada kenyataan (kebenaran).”26 “Kenyataan” merupakan fokus atau pembicaraan inti kaum teosofi.27 Apa itu kenyataan? Pengetahuan yang “dirasakan,” “dialami,” pengetahuan yang meresap, atau pengetahuan dengan “pengalaman langsung” (tajribah mubasyarah)—dalam istilah sufisme Islam— sehingga melahirkan Kebenaran. Kenyataan yang demikian lebih tinggi tarafnya dari sekadar percaya atau kepercayaan yang biasa dituntut oleh agama—dalam aspeknya yang eksoterik. Namun, dalam sisi batin (dalam, inner) agama yang dituntut adalah memahami dan menyelami yang esoterik. Pengetahuan dan pengalaman esoterik inilah yang sejalan maknanya dengan Kenyataan dalam teosofi. Kadang teosofi juga dimaknai dengan “Keyakinan,” namun tentu bukan sembarang keyakinan, melainkan Keyakinan yang mantap setelah “merasakan” atau “mengalami.” Dalam satu kesempatan, ketika menjelaskan perihal kenyataan itu, orang teosofi mengutip sebuah hadis yang populer di kalangan kaum sufi Muslim, “Barang siapa yang mengetahui dirinya, maka ia telah mengetahui Tuhannya.” Apa atau siapa yang disebut diri itu? Setelah memahami panca indra manusia dengan sifat-sifatnya, yaitu: sifat bau dengan alat hidung (penciuman), rupa dengan alat mata (penglihatan), suara dengan alat telinga (pendengaran), merasakan dengan alat perasaan atau saraf badan, dan sifat rasa dengan alat lidah, maka seseorang harus terus mencari ke “dalam,” ke “dzat,” ke “inti” manusia. Seperti seseorang yang mencium bau (harum) bunga. Di mana bunga itu? Mungkin di kebun. Di mana baunya? Pasti “dalam” bunga. Juga seperti mendengar suara burung, di mana burung? Dr. Media Zainul Bahri

75

Mungkin di atas. Di mana suaranya? Pasti “dalam” burung.28 Rumi (1207-1273), seorang Sufi Masyhur dari Konya, Turki, telah lebih dulu mendendangkan alam makna yang berada di “dalam” dan tarafnya lebih tinggi dibanding bentuk luar. Renungkanlah dua syair Rumi di bawah ini: Pernahkah engkau tahu sebuah nama tanpa yang diberi nama? Atau pernahkah engkau menyunting sekuntum mawar dari M.A. W.A.R? Engkau baru menyebut nama itu: pergi dan carilah yang empunya nama. Bulan itu di langit bukan di air.29 Di hadapan makna, apalah arti bentuk! Sangat tak sepadan. Makna langit tetap tersembunyi di tempat persemayamannya.30 Ketahuilah, bahwa segala bentuk luar akan sirna, tapi Dunia Makna akan menetap selamanya. Sampai kapankah engkau akan terpikat oleh bentuk bejana? Tinggalkan ia: Pergi, airlah yang harus engkau cari! Hanya melihat bentuk, makna tak akan engkau temukan. Jika engkau seorang yang bijak, ambillah mutiara dari dalam kerang.31

Harun Atmawidjaja memberi ilustrasi tentang kedalaman makna bahwa ketika seseorang membaca Pewarta Teosofi, di mana buku itu? Di atas meja. Di mana hurufnya? Di dalam buku. Di mana artinya? Di dalam hati. Buku Pewarta itu berbentuk persegi, kertasnya berwarna putih, hurufnya hitam, bahasanya Melayu. Bagaimana makna/artinya? Makna dalam buku itu tidak persegi, tidak putih, tidak hitam, tidak Melayu, namun terang, terasa, mewujud, hidup dan menyala dalam hati. Berapa lapis buku itu? Orang mengatakan dua lapis: kertasnya yang putih dan jilidnya yang hijau. Seorang teosof akan mengatakan: hurufnya yang hitam dan maknanya yang dalam. Huruf dapat dibaca dengan mata kepala, namun makna hanya dapat dibaca dengan Mata Hati.32

76

Wajah Studi Agama-Agama

Bagi MTI, dengan mengutip sufisme Islam, kenyataan terbagi atas tiga tingkatan. Pertama, ‘Ilm al-Yaqin (Ilmul Yakin), artinya nyata berdasarkan ilmu. Segala bentuk kenyataan hanya berdasarkan teori, ilmu atau mendengar dari orang lain. Sulit meyakini bahwa kenyataan itu benar-benar ada. Kedua, ‘Ayn al-Yaqin (Ainul Yakin), artinya nyata berdasar panca indra. Sesuatu itu diyakini sebagai kenyataan setelah terlihat oleh mata. Namun, bagi orang teosofi, sulit juga meyakini dengan sebenar-benarnya akan sebuah kenyataan jika hanya bersandar kepada mata kepala. Ketiga, Haqq al-Yaqin (Hakul Yakin), inilah tingkatan tertinggi. Kenyataan benarbenar dapat dirasakan sebagai Kenyataan setelah “dialami,” “dirasakan” hakikat-dzatnya dengan segenap lahiriah-batiniahnya.33 Maka, apa yang disebut “Diri” itu adalah benar-benar telah “dirasakan” atau “dialami” sampai ke kedalaman diri itu, tidak semata memahami panca indra belaka. Dengan “mengalami”34 diri itu maka seseorang pasti akan mengenal Tuhannya dengan baik. Alam Kenyataan dalam penjelasan di atas adalah kenyataan dan kebenaran yang harus terus dicari oleh kaum teosofi dan dalam pengertian yang hubungannya dengan alam makna dan alam Tuhan. Jika kenyataan itu terus ditelusuri sampai ke kedalaman jantungnya maka seorang teosof akan manunggal (bersatu) dengan Realitas Yang Satu. Ia akan masuk ke alam Tunggal. Alam Kesempurnaan Yang Satu itu itulah alam Tunggal, alam Buddha, alam Meneng (Diam), alam Hidup dan alam Mati sekaligus. Merasakan tidak hidup tidak mati, merasakan manunggalnya kadim dan baka. Di alam Tunggal itu dirasakan Tuhan itu ada; bukan di sini, bukan di situ, sebab jika dikatakan di sini berarti ada yang di situ, jika dikatakan di situ berarti mesti ada yang di sini. Jika dikatakan Tuhan ada di mana-mana, berarti ia niscaya banyak, padahal Ia Tunggal; tidak di sana tidak di sini. Jika telah berada di alam Tunggal, maka sebaiknya seorang teosof kembali lagi ke alam dualitas; ia akan melihat kegandaan: ada ini ada itu, ada wayang ada dalang, ada sifat ada dzat, ada Aku di sini ada Tuhan di situ. Lalu, teruslah ia kembali ke alam Tiga atau alam Trimurti: ada wayang, ada dalang dan ada peran, dalam Dr. Media Zainul Bahri

77

bahasa China: ada Thian, ada The ada Jihin. Alam tiga ini adalah alam ramai, alam dunia, ada keanekaan dan perbedaan-perbedaan. Namun, bagi kaum teosofi, alam Tunggal, alam kesempurnaan, atau setidaknya dapat memahami dan merasakan kenyataan dan kebenaran seperti dalam penjelasan di atas, itulah yang inti, yang hakiki atau yang sejati. Sementara alam dunia yang ramai dan fana ini adalah alam yang penuh dengan fatamorgana dan tipuan. Dengan mengutip ayat al-Qur‘an, kaum teosofi meyakini bahwa barang siapa yang cinta akan kesenangan dunia, maka sungguh ia telah tertipu (mata’ al-ghurur). 35 Jika semua orang dapat memahami dan merasakan akan Kenyataan dan Kebenaran di atas dengan bersungguh-sungguh mencarinya dalam pelajaran-pelajaran teosofi, maka dunia ini akan damai, penuh cinta kasih dan terciptalah persaudaraan universal seperti yang dicita-citakan oleh Gerakan Teosofi di seluruh dunia. Selain kenyataan yang berhubungan dengan alam makna dan alam Tuhan, ada pula penjelasan mengenai kenyataan yang berhubungan dengan hukum alam atau hukum sebab akibat. Menurut kaum teosofi, kodrat Tuhan telah menciptakan “kenyataan-kenyataan” di alam ini berdasarkan hukum alam yang ajeg atau pasti (konstan/tetap). Segala keteraturan, keselaran dan keindahan di alam ini diciptakan oleh kodrat Tuhan sebagai kenyataan. Maka, manusia harus menjalani hidup berdasarkan kenyataan hukum alam itu atau berdasarkan dharma, dalam bahasa agama Budha. Melakukan apa pun pasti ada akibatnya. Ada sebab pasti ada akibat. Hukum kenyataan ini bersifat pasti dan tetap. Manusia selalu diperintahkan untuk banyak melakukan dharma, kebaikan-kebaikan supaya akibat yang ditimbulkannya juga baik, dan alam ini akan terus teratur dan selaras.36 Konsep kaum teosofi tentang kenyataan yang kedua ini, yang berhubungan dengan hukum alam sangat dipengaruhi oleh ajaran Hindu dan Buddha mengenai hukum kesunyataan, hukum sebab-akibat, hukum karma-pahala dan ajaranajaran lain yang terkait.

78

Wajah Studi Agama-Agama

D. Teosofi dan Agama Apakah hubungan teosofi dengan agama? Tentu saja hubungannya erat sekali, setidaknya dalam dua hal penting: (1) esensi teosofi dan agama, (2) tujuan keduanya. Marilah kita lihat kedua hal itu. Pertama, MTI dalam banyak publikasi mereka menegaskan bahwa teosofi bukan agama baru, bukan suatu agama dalam pengertiannya yang umum dan dalam pengertian agama sebagai seperangkat sistem. Dua kutipan di bawah ini menegaskan hal itu: Djoega Theosofie itoe boekan agama baroe, apabila dirasakan benarbenar, masing-masing agama itoe seteroesnja pada theosofie dan isjarat boeat menjantausaken kelakoean.37 Djikalau toean-toean setoedjoe dengan pengertian saja ini, barangkali toean-toean dengan lekas mendjawab, bahwa Theosofie itoe boekan agama. Memang betoel boekan agama. Tapi toean-toean djangan loepa, bahwa di dalam Theosofie itoe memang ada sebagian besar berisi pengajaran agama... pengajaran segala agama terbagi atas doea bagian jang besar jaitoe pengadjaran lahir dan pengadjaran batin.38

Teosofi, sebagai ajaran, sikap dan pandangan hidup sesungguhnya merupakan esensi agama. Teosofi adalah inti agama. Seseorang yang mempelajari teosofi atau menjadi anggota teosofi, maka ia mesti sampai kepada esensi/inti terdalam agama. Dalam bahasa MTI, teosofi adalah tiangnya agama.39 Teosofi dapat menjelaskan agama kepada penganutnya secara lebih terang dan dalam dan membuatnya menjadi taat beribadah, seperti penjelasan Leadbeater di bawah ini: Akan tetapi Theosofie itoe menerangkan padanja (seseorang) agamanja sendiri, dan menoendjoek maksoednja agamanja sendiri, jang lebih dalem, jang belom pernah diketahoeinja. Kadang-kadang djoega Theosofie menoeloeng manoesia mengerti agamanja sendiri dan menjuruh mendjalankan ibadah; ada poela orang soedah hampir maoe moertad, dari sebab koerang mengerti agamanja, diberi kenjataan sampai tidak djadi moertad.40

Dr. Media Zainul Bahri

79

Seseorang yang memahami agama hanya sebatas kulit atau identitas atau berhenti pada syari’at, doktrin dan dogma belaka maka—jika mengikuti logika teosofi—agama seseorang tersebut akan runtuh karena tiada tiangnya, atau setidaknya agama itu menjadi layu, kering, tak bergairah, bagaikan jasad tanpa ruh dan pemahaman keagamaannya pun menjadi keras, kaku, saklek dan kurang lembut. Karena itu, teosofi laksana ruh bagi agama yang memberi hidup, dengan teosofi perasaan seorang beragama menjadi bahagia,41 menjadi luas karena teosofi menjelaskan kedalaman ilmu dan agama, menjadi penerang, cahaya dan penuntun hidup.42 Laksana sayap, teosofi dapat membawa terbang seorang pemeluk agama dari yang gelap menuju terang, dari yang fana‘ menuju baka‘, dari ketertarikan hanya kepada yang tampak-terbatas kepada keindahan inti agama yang maha luas tak terbatas.43 Karena fokus teosofi kepada jantung agama, maka dalam pengertiannya yang khusus, seorang teosof sejati sesungguhnya telah melampaui (beyond) syari’at, identitas, buku dan bentuk agamaagama.44 Dalam pengertian inilah teosofi lebih luas dari agamaagama dunia karena fokus teosofi sampai kepada hakikat dan makrifat,45 sampai kepada pengalaman, “mengalami” langsung, “kenyataan,” “kebenaran” yang dialami dibanding sekadar terpikat kepada identitas dan terpenjara oleh kulit luar agama. Dalam sebuah publikasi ditegaskan oleh pemimpin redaksi Koemandang Theosofie: Kami sendiri berfikir, Theosofie itoe sesoenggoehnja segala peladjarannja soedah ada lebih loeas dari pada agama-agama kebanjakan, kerana semoea peladjarannja itoe, orang tidak boleh menerima dengan lantas pertjaja sadja, pada sebeloem peladjaran itoe dinjatakan sendiri, dijakinkan sendiri bagaimana kenjatannja...46

Jika dianalogikan dengan agama sebagai badan atau sistem yang total, teosofi bisa lebih dari agama karena ia merupakan inti sari agama-agama karena perhatian totalnya hanya kepada Tuhan47 dan kepada keelokan dan kelurusan budi, cinta kasih, persaudaraan 80

Wajah Studi Agama-Agama

dan perdamaian utuh, sementara agama sangat memungkinkan untuk “ditafsirkan” dalam cahaya buram kekerasan, kebengisan, konflik, perang dan saling bunuh antarmanusia atau setidaknya selalu memandang ke-liyan-an orang lain (yang berbeda). Mengenai pengertian agama yang condong kepada kehalusan budi dan cinta kasih, Labberton menjelaskannya sebagai berikut: Sebab jang diseboet igama itoe, sifatnja: tjinta pada sesama, ringan memberi pertoeloengan dan sofan ati boedinja; djadi jang diseboet igama jang sedjati itoe boekannja perkara lahir, tetapi perkara di dalem ati, batin. Djika sareat igama itoe dikeras-kerasken, dibagoes-bagoesken dengan tjerita’an dan pentjela’an pada lain roepa igama, itoelah djadi bidji kedjahatan.48

Dalam pengertian ini pula, sudah tidak memadai lagi jika doktrin teosofi yang menekankan rasa kesucian dan pengalaman “rasa ketuhanan” kemudian diikat-ikat oleh adat, cara, wujud, bentuk agama dan kekuasaan lahir. Semua ikatan itu akan membatasi hidup bahkan membunuh hidup padahal hidup memberi kebebasan kepada manusia.49 Nah, teosofi hanya terikat kepada Tuhan Yang Maha Tak Terbatas. Kritik teosofi itu tertuju kepada dua hal: pertama, kepada orang yang menuhankan syari’at, akidah dan identitas. Menurut teosofi, orang mestinya setia dengan esensi agama dibanding kepada bentuk atau manifestasinya. Saat ini banyak orang melakukan kekerasan, merusak kehidupan sesamanya bahkan membunuh dengan dalih setia kepada “syari’at agama,” padahal “esensi agama” mengutuk perbuatan itu. Kedua, sekarang banyak orang yang lebih terpikat kepada lahiriah hidup yang glamour atau pada kekuasaan lahiriah hingga menghalalkan segala cara untuk meraihnya, sementara esensi/roh hidup diabaikan padahal esensi hidup itulah yang mulia karena di dalamnya bersemayam nilai-nilai kejujuran dan kesucian hidup yang harus mewujud dalam praktik. Apakah teosofi membuat seseorang menjadi tak setia dengan syari’at, ajaran atau doktrin agamanya? Tidak juga. Karena selain Dr. Media Zainul Bahri

81

menegaskan bahwa teosofi bukan sebuah agama atau agama baru, Perhimpunan Teosofi dan ajaran-ajarannya tidak hendak memindahkan agama seseorang (Islam misalnya) ke agama lain (Kristen misalnya); tidak menghendaki konversi agama, seperti penegasan di bawah ini: Perhimpoenan Tasaoef ini djangan kita kira jang bakal mendjadikan atau memasoekkan igama atau menoeroet pada lain Nabi, saoepama Christen di djadikan Islam atau Islam di djadikan Christen, itoe perhimpoenan Tasaoef tida sekali-kali akan mempergoenakan jang sademikian, melainkan perhimpoenan Tasaoef bilang mesti kita lid-lid dari lain igama mesti roekoen akan mentjahari apa kehendaknja dan maksoednja dari kita ampoenja Nabi seperti kita misti taoe apa jang diperentah oleh Nabi kita, dan kita misti taoe apa kepintarannja Nabi dan perdjalananja, itoe kita semoea lid wadjib mengetahoei..50

Kutipan di atas menunjukkan dengan jelas justru Perhimpunan ini menginginkan para pemeluk agama—sebagai anggota-anggotanya—untuk meyakini betul agama masing-masing dengan cara mempelajari maksud dan inti ajaran nabi masing-masing serta hidup rukun dalam kebersamaan meskipun berbeda agama dan keyakinan.51 Menurut klaim MTI, pada kenyataannya, alih-alih terjadi konversi—teosofi justru memperkuat keyakinan keagamaan seseorang dan para pengikut teosofi tetap setia dengan (syari’at) agamaagama masing-masing namun dalam pemahamannya yang mistikfilosofis yang melampaui (beyond) makna-makna lahiriah semata. Teosofi membuka mata hati para pemeluk agama untuk mengenal lebih dalam agama masing-masing yang belum pernah diketahui sebelumnya, bahkan—dalam beberapa kasus—menolong orang untuk taat beribadah sesuai keyakinannya. Dalam sebuah kutipan di atas, telah dijelaskan pernah ada kasus seseorang hendak murtad dari agamanya, tetapi guru teosofi menjelaskan kebenaran dan kenyataan agamanya hingga ia urung menjadi murtad.52

82

Wajah Studi Agama-Agama

Bagi teosofi, ajaran dan tujuan agama sesungguhnya bisa dipahami oleh akal, karenanya agama selaras pula dengan kaidah-kaidah yang logis dan rasional. Karena itu, tidak benar kecurigaan dan tuduhan-tuduhan bahwa teosofi adalah agama baru yang menyesatkan dengan model sinkretik (campuran berbagai ajaran agama yang berbeda), teosofi melemahkan keyakinan seseorang, teosofi menjadi ajang konversi atau teosofi hendak merelatifkan dan menyamakan semua agama.53 Ada tuduhan bahwa teosofi adalah agama Hindu dan Buddha, atau Gerakan Hindu Baru (New Hindu Movement). Beberapa orang Islam menuduh Teosofi sebagai agama Kristen. Jika membaca publikasi-publikasi MTI dari tahun 1900 hingga 1950an, segala tuduhan itu tidak sesuai dengan fakta penjelasan-penjelasan publikasi mereka. Kedua, teosofi dan agama memiliki tujuan yang sama. Teosofi mengarahkan pandangan dan tujuan seorang manusia hanya kepada Tuhan, mengajarkan untuk terus memupuk kesucian batin, mengasihi dan mencintai sesama, saling tolong dan bekerja sama, menyuburkan akal-budi yang jernih, kejujuran, kesabaran, keadilan dan kebijaksanaan. Bukankah hal-hal tersebut juga menjadi tujuan normatif agama-agama? Dalam banyak publikasi MTI, mereka menegaskan bahwa tujuan teosofi sama dan sejalan dengan tujuan agama.54 Teosofi dan agama sama-sama menghendaki kebahagiaan manusia dengan cara pengalaman spiritual. Teosofi hendak mencari hakikat (rahasia) agama55 untuk apa? Untuk mencapai kebenaran. Jika demikian, agama sendiri telah “mengandung” atau “menampung” kebenaran dan teosofi adalah alatnya. Karena itu, tak ada pertentangan di antara keduanya. Jika agama hendak menemukan kebenaran, maka agama dan teosofi adalah satu tujuan. Jika pun seorang penganut agama merasa kesulitan mencapai hakikat (rahasia terdalam) agama, maka ia dan seorang teosof tetap dapat bersahabat dan bersaudara, tidak mesti menjadi musuh dan terjadi pertentangan.56 Secara umum, agama dan teosofi bertujuan sama: sama-sama menghendaki sampai kepada kebenaran, persaudaraan dan perdamaian di antara umat manusia dan akhirnya kemajuan Dr. Media Zainul Bahri

83

dunia dalam cahaya keadilan, kemakmuran dan kesetaraan. Dalam bahasa lain, MTI menegaskan bahwa teosofi dan agama-agama dunia hendaknya bersatu mengusahakan perdamaian. Dengan berbagai tujuan yang normatif itu, tampak bahwa teosofi dan agama menghendaki kesempurnaan hidup manusia atau membimbing hidup manusia ke arah kesempurnaan lahir dan batin. Dalam salah satu publikasi Perhimpunan Teosofi disebutkan boleh jadi ada perbedaan antara agama dan teosofi. Perbedaannya adalah jika agama menjanjikan berbagai dogma dan doktrin, terutama yang berkaitan dengan hal-hal metafisis dan para penganutnya harus menerima dan memercayainya begitu saja, maka teosofi menjelaskan dogma-dogma itu. Banyak pemeluk agama yang tidak puas dengan berbagai dogma yang harus diimani, ternyata mereka menemukan penjelasannya ketika menjadi anggota teosofi.57 Jika dilihat secara jeli, sesungguhnya tidak ada perbedaan, yang ada adalah teosofi menjelaskan agama; teosofi menyempurnakan penjelasan-penjelasan mengenai doktrin-doktrin agama yang selama ini taken for granted. Bagi seorang teosof, agama tak lain adalah ajaran yang menuntun manusia kepada kenyataan, kenikmatan dan kesempurnaan. Dalam konteks ini, ada dua model orang beragama: (1) mengerjakan ajaran agama di mulut, (2) mengerjakan ajaran agama di hati.58 Orang yang memahami dan mempraktikkan agama sampai ke dalam (hati) dan menjadi sikap hidup sehari-hari berarti ia telah menjadi seorang teosof; paham dan praktik keagamaannya sejalan dengan teosofi. Di sini agama sebagai kenyataan, pengalaman dan kebenaran yang dirasakan berarti sama dengan tujuan teosofi. Relevan dengan pembahasan ini adalah karya William C. Chittick yang sangat menarik yang berjudul Science of the Cosmos, Science of the Soul: The Pertinence of Islamic Cosmology in the Modern World (2007). Dalam karya itu, Chittick memfokuskan pembahasan pada dua model pengetahuan yang hampir seluruhnya dianut oleh kaum Muslim dalam beragama, yaitu: (1) pengetahuan nukilan atau nakliah (naql) atau pengetahuan tiruan atau meniru (taqlid) dan 84

Wajah Studi Agama-Agama

(2) pengetahuan akliah atau intelektual (‘aqliyah) atau disebut juga pengetahuan dengan cara realisasi dan verifikasi (tahqiq). Menurut Chittick, ilmu nakliah dicirikan oleh fakta bahwa ia harus diturunkan dari satu generasi ke generasi lain. Satu-satunya cara yang mungkin untuk mempelajarinya adalah dengan menerimanya dari orang lain. Pengetahuan nukilan bergantung pada apa kata orang. Ini adalah semacam pengetahuan yang paling umum dalam setiap budaya atau agama. Kaum Muslim mengetahui bahwa Allah menyeru mereka untuk mendirikan shalat wajib lima kali sehari atau puasa pada bulan ramadhan, tetapi pengetahuan ini mereka ambil dari penjelasan ulama, yaitu kaum yang telah mempelajari al-Qur`an dan hadis. Mereka tidak dapat benar-benar menemukan apa yang Allah inginkan dari mereka tanpa penukilan dari sumber-sumber yang diwahyukan. Dalam Islam, termasuk ke dalam ilmu nakliah ini adalah ilmu fikih, tafsir, hadis, gramatikal bahasa Arab dan sejarah.59 Sebaliknya, pengetahuan akliah tidak bisa diturunkan, meskipun guru-guru tetap dibutuhkan guna membimbing ke arah yang benar. Cara untuk menerimanya adalah dengan menemukannya dalam diri sendiri melalui latihan pikiran, kontemplasi, atau sebagaimana yang disebutkan dalam banyak teks, dengan “menjernihkan hati.” Tanpa menguak pengetahuan tersebut melalui penemuan diri, maka orang akan bergantung pada yang lain dalam segala sesuatu yang dia ketahui. Contoh umum dari ilmu akliah, meskipun ia tidak memenuhi semua kriteria, adalah matematika. Kita tidak mengatakan, “Dua ditambah dua sama dengan empat karena sejumlah pihak berwenang mengatakan demikian.” Pikiran mampu menemukan dan memahami kebenaran matematis tersebut dengan sendirinya. Ketika ia menemukannya, itu tidak bergantung kepada sumber-sumber eksternal. Pengetahuan itu dinyatakan benar karena kita memahaminya dan hal itu bersifat self-evident. Kita tidak bisa menyangkal kebenarannya sama dengan tidak bisanya kita menolak kesadaran kita sendiri. Dalam tradisi Islam, ilmu tasawuf dan filsafat Islam adalah kategori ilmu akliah yang mampu

Dr. Media Zainul Bahri

85

menemukan atau mengalami secara langsung “kenyataan” dan “kebenaran” akan Tuhan dan alam ini secara meyakinkan. Menurut Chittick, baik ilmu nukilan/nakliah maupun pengetahuan intelektual/akliah sangat penting bagi kelangsungan hidup agama apa pun. Untuk menjadi anggota salah satu agama, budaya, masyarakat atau kelompok, orang perlu belajar dari mereka yang sudah menjadi anggota, dan proses belajar ini berlangsung dengan cara “meniru.” Namun, yang terbaik tentu adalah “mengalami langsung” akan “kenyataan atau kebenaran” dalam diri kita, bukan sekadar meniru orang atau terus bergantung kepada apa kata orang. Para cendekiawan Muslim berpendapat bahwa meniru orang lain dalam masalah-masalah intelektual adalah status pemula atau pelajar, bukan seorang pakar, namun meniru al-Qur`an dan Nabi dalam masalah-masalah nukilan berarti telah mengikuti jalan yang benar.60 Dalam publikasi MTI yang lain disebutkan pula suatu perbedaan: bahwa jika agama dasarnya adalah kepercayaan, maka teosofi mengakarkan diri pada kenyataan. Teosofi sebagai dharma berarti kenyataan, sedangkan agama berarti kepercayaan.61 Bagi MTI, kenyataan lebih tinggi atau lebih utama dibanding kepercayaan sebagaimana tercantum dalam slogan Teosofi “Satyan Nasti Paro Dharma:” “tak ada agama yang lebih tinggi daripada kenyataan (kebenaran).” Namun, apa yang disebut perbedaan itu sesungguhnya juga bukan perbedaan, namun hubungan yang erat antara keduanya. Dalam sebuah istilah yang dibuat MTI disebutkan bahwa “kenyataan” ada di dalam dharma, namun dharma tentu saja muncul karena adanya “kepercayaan penuh.”62 Dengan kepercayaan penuh, berbudi luhur, lalu “mengamalkan” lelaku spiritual dan mengarahkan komunikasi hanya kepada Tuhan sesuai atau seperti yang diajarkan oleh agama masing-masing, maka seorang pemeluk agama dapat naik derajatnya dari sekadar “percaya” menjadi “mengalami kenyataan/kebenaran” seperti yang dikehendaki oleh teosofi. Inilah relevansi pernyataan kaum teosofi bahwa teosofi adalah tiangnya agama; inti/esensi atau jantung agama. Jika seseorang telah sampai pada derajat ini—yang berarti ia telah melampaui identitas, kulit 86

Wajah Studi Agama-Agama

atau bentuk-luar agama—maka ia akan “mengalami” akan “kenyataan-kebenaran-kedalaman” agama yang dianutnya. Dalam bahasa lain, jika seseorang mampu memahami dan mempraktikkan agama sampai pada “hakikat”nya atau “rasa”nya, maka ia akan mengerti bahwa agama sejalan dengan teosofi.63 Karena itu, Perhimpunan Teosofi menegaskan bahwa teosofi tidak bertentangan dengan agama karena teosofi mengandung inti semua agama dan filsafat. Teosofi adalah inti sari agama, filsafat dan ilmu pengetahuan.64

E. Munculnya Masyarakat Teosofi Indonesia Gerakan Teosofi didirikan pertama kali di kota New York, Amerika Serikat, tahun 1875 oleh 16 orang, termasuk inisiator, Helena Petrovna Blavatsky (1831-1891), seorang wanita bangsawan keturunan rusia yang memiliki bakat mistik atau supranatural yang luar biasa. Termasuk di antara mereka adalah dua orang Amerika, yakni Henry Steel Olcott dan William Quan Judge, sekutu dekat Blavatsky. Segera setelah organisasi tersebut berdiri, Henry Olcott diangkat menjadi Presiden pertama perkumpulan yang kemudian diberi nama Theosophical Society (TS). Tahun 1879 Blavatsky dan Olcott menancapkan pengaruh mereka di India, dan baru pada 1883 pusat TS dipindahkan oleh Madam Blavatsky dari New York ke Adyar, India. Tahun 1907, TS memasuki babak baru karena munculnya seorang tokoh baru asal Inggris, yaitu Annie Bessant, menjadi Presiden TS menggantikan Olcott. Tokoh inilah yang membawa TS berpengaruh secara tajam, tidak saja di India, namun menyebar ke seluruh dunia, termasuk Indonesia.65 Menurut Iskandar Nugraha (2001 & 2011), bukti-bukti pasti yang mengungkap kemunculan awal Gerakan Teosofi di Indonesia hampir tidak ada kecuali beberapa catatan yang hanya memberi gambaran bersifat umum. Salah satu gambaran umum itu memberi petunjuk bahwa Gerakan Teosofi di Hindia (Indonesia) pertama kali didirikan di kota Pekalongan, Jawa Tengah, 8 tahun sesudah Teosofi berdiri di Amerika tahun 1883, dan sebagai bagian dari Gerakan Dr. Media Zainul Bahri

87

Teosofi Nederland, dan tentu saja semuanya menginduk kepada gerakan Internasional yang berpusat di Adyar, India. Loji (lodge) Teosofi di kota kecil ini dipimpin seorang bangsawan Eropa, Baron van Tengnagel. Tahun 1883 belum dapat dipastikan sebagai awal Gerakan Teosofi di Hindia secara pasti, sebab sumber lain menyebutkan tahun 1881. Yang dapat dipastikan oleh Nugraha adalah bahwa kemunculan awal Gerakan itu berada di akhir abad ke-19. Saat itu, setidaknya Teosofi telah menarik perhatian sebagian masyarakat Jawa, terutama di Jawa Tengah. Siapa, apa dan bagaimana latar belakan pendiriannya belum diperoleh petunjuk yang pasti. Yang diketahui adalah bahwa The Pekalongan Theosophical Society ini dipimpin seorang Kapitein Infantri tentara Hindia Belanda yang pernah ditempatkan di Dinas Topografi. Organisasi tersebut secara sah diakui kantor pusat Teosofi di Adyar dan izinnya ditanda tangani Kolonel Olcott.66 Namun sesungguhnya, jauh sebelum Blavatsky mendirikan Teosofi di New York (1875), Madam diberitakan pernah berkunjung ke Hindia lebih dari satu kali. Menurut majalah Teosofi, Lucifer, perhatian Madam cukup tinggi kepada Hindia sebelum ia mendirikan Teosofi, terutama tentang kemungkinan nilai-nilai Jawa yang menurutnya dapat dijadikan penyumbang ajaran Teosofi. Dalam rangka itulah, pada 1852-1860, Blavatsky mengunjungi candi Mendut dan Borobudur, dan sempat singgah di Pekalongan dan bermalam di Pesanggrahan Limpung di bawah gunung Dieng. Pada 1862, ia kembali berkeliling pulau Jawa dan diberitakan menyinggahi banyak tempat di Jawa. Menurut Iskandar, kemungkinan munculnya Gerakan Teosofi awal di Pekalongan dapat dikaitkan dengan fakta kunjungan Blavatsky di Jawa, dan kemungkinan kuat kegiatan Gerakan Teosofi paling awal di Hindia ini masih terbatas pada aspek kebatinan saja seperti yang berlangsung di pusatnya saat itu.67 Mengenai kegiatan detail organisasi Teosofi di akhir abad ke-19 di Hindia serta aktivitas Baron van Tenggnagel hingga wafatnya, menurut Iskandar masih gelap alias belum terkuak. Yang diketahui Baron meninggal di Bogor tahun 1893.68 88

Wajah Studi Agama-Agama

Dalam catatan Nugraha, babak baru gerakan teosofi dimulai kembali pada awal abad 20. Pada 1901, muncul kembali kelompok-kelompok pelajar teosofi di kota semarang. Propaganda-propaganda untuk menarik orang agar masuk gerakan ini diprakarsai oleh Asperen Velde, orang Belanda dan direktur sebuah percetakan dan penerbitan buku-buku. Dengan pekerjaannya itu, ia menyebarkan brosur-brosur mengajak orang menjadi anggota teosofi. Dari jumlah anggota pertama hanya 7 orang di Semarang, gerakan teosofi mulai menyebar ke daerah lain seperti Surabaya, Yogyakarta dan Surakarta. Karena kepeloporannya, Asperen kemudian dijuluki sebagai “Bapak Pemimpin loji bagian Batin.”69 Secara ringkas dapat dikatakan bahwa di awal abad ke-20 hingga tahun 1933, gerakan teosofi Indonesia merangkak maju secara pelan namun pasti; dari tahun ke tahun mendapat simpati dan anggota yang terus membengkak. Pada masa keemasannya, kira-kira tahun 1910 hingga 1930, teosofi membangun banyak organisasi sayap demi merealisasikan semangat persaudaraan, menyebarkan paham teosofi, dan memberdayakan kaum pribumi, terutama dalam bidang pendidikan dan pengembangan kualitas moral ketimuran yang adiluhung. Nugraha mengurai beberapa organisasi penting yang lahir di bawah teosofi, yakni: (1) Bintang Timoer (1911), yang mengkhususkan pengajaran dan praktik tasawuf dan kebatinan, (2) Moeslim Bond (1924), wadah bagi kaum Muslim anggota teosofi untuk belajar menerima kenyataan akan perubahan-perubahan dunia, (3) Mimpitoe atau M 7 (1909), yaitu organisasi yang berfokus memerangi 7 hal: (a) Main (berjudi), (b) Minoem (mabuk), (c) Madon (main perempuan), (d) Madat (mabuk karena menghisap ganja dan sejenisnya), (e) Maling, (f) Modo (mencela atau mengumpat karena dengki dan benci), (g) Mangani (makan berlebihan dari yang dibutuhkan), (4) Perhimpunan Toeloeng-Menoeloeng (1909), (5) Widija-Poestaka (1909), yaitu organisasi yang bertujuan mengumpulkan setiap pengetahuan zaman kuno yang ditemukan di Hindia (Nusantara). Upaya ini dilakukan semata-mata untuk melindunginya dari kemusnahan. (5), NIATWUV (Nederlandsch-Indische Wereld Dr. Media Zainul Bahri

89

Afdeling Theosofische Wereld Universiteit Vereeniging), yaitu Perhimpunan Universitas Dunia Teosofi Cabang Hindia Belanda yang menyelenggarakan sejumlah sekolah dan mendukung pendirian sejumlah pranata pendidikan di Hindia. Salah satu sekolah yang didirikan dan menjadi favorit adalah Sekolah Arjuna (Ardjoenascholen) (1914).70 Sekolah-sekolah yang didirikan kaum teosofi diberi nama Sekolah Arjuna karena tokoh ini sangat digandrungi tidak hanya di dunia wayang, namun juga oleh orang-orang teosofi, dan wayang adalah salah satu media penyebaran paham teosofi yang terfavorit,71 (6) Organisasi Ati Soetji (1914), yang berupaya memajukan kehidupan kaum wanita dan usaha-usaha sosial lainnya. Tiga tujuan Ati Soetji; menjunjung derajat kebangsaan; memajukan onder-wijs (pengajaran); dan membantu ekonomi kaum Bumiputra. Selain itu juga bertujuan mengadakan perlindungan, pertolongan, dan tunjangan kepada mereka yang terkena celaka atau sengsara karena kejahatan.72 Dalam hal keanggotaan, penting dipertanyakan siapakah mayoritas anggota teosofi Indonesia? Nugraha memiliki penjelasan yang cukup jelas. Hasil risetnya menunjukkan bahwa Gerakan Teosofi di Hindia (Indonesia) terdiri orang-orang Belanda asli, Bumiputera, China dan Indo-Eropa (keturunan Eropa). Sampai tahun 1900-an mayoritas Indo sebagai bagian dari masyarakat Eropa Hindia Belanda memiliki kedudukan sosioekonomi yang buruk dan teralienasi. Hal ini karena mereka ditolak oleh “ayah” mereka sendiri bangsa Eropa dan tuntutan-tuntutan mereka tak pernah digubris. Di sisi lain, mereka juga sulit menyesuaikan diri dengan kaum Bumiputera karena posisi mereka yang tetap sebagai orang Eropa. Dengan keadaan ini, kaum Indo yang menjadi penganjur Gerakan Asosiasi mendominasi keanggotaan teosofi. Dalam gerakan ini, mereka agaknya menemukan konsep yang membawa mereka dekat dengan kalangan Bumiputera dan dapat memperjuangkan persamaan seperti yang dikatakan Ricklefs, “Theosophy...was one of the few movements which brought elite Javanese, Indo-Europeans and Dutcman together in this period...”.73 90

Wajah Studi Agama-Agama

Golongan Bumiputera merupakan golongan kedua terbanyak menjadi anggota Teosofi. Di antara kalangan Bumiputera, orang Jawa merupakan kelompok yang paling dominan menjadi anggota. Konsep teosofi dan pendekatan para pemimpin teosofi adalah dua faktor penyebab utama tertariknya kaum priyayi Jawa74 terhadap gerakan ini. Ajaran-ajaran teosofi yang bersifat esoterik, spiritual atau “kebatinan” cocok dengan budaya para priyayi Jawa yang menyukai mistik. Ajaran teosofi dianggap banyak kesamaannya dengan ajaranajaran rahasia yang terdapat dalam kitab-kitab kuno berbahasa Jawa (sebagai warisan mulia leluhur orang-orang Jawa). Para priyayi Jawa itu, meskipun menganut agama Hindu, Islam atau Kristen, pada kenyataannya mereka adalah panteis yang berhasil mengkombinasikan kepercayaan dari agama resmi mereka dengan pemikiran leluhur (nenek moyang) yang memiliki sifat mistik. Itulah sebabnya, menurut Nugraha, mengapa Gerakan Teosofi meskipun kemudian menyebar luas di Nusantara, pengaruh terkuatnya justru terdapat di Jawa Tengah dan Jawa Timur.75 Menurut Nugraha, masuknya seorang Bumiputera dalam lingkungan teosofi yang kebanyakan anggotanya dari kalangan bangsawan tinggi (priyayi) tentu menjadi suatu gengsi atau kebanggaan tersendiri. Anggota-anggota pertama dari kalangan priyayi yang kemudian turut menyebarluaskan ajaran teosofi di kalangan pelajar adalah tokoh-tokoh berkarisma tinggi, baik karena kedudukan, pendidikan maupun karena pemikiran-pemikiran mereka. Faktor inilah yang membuat kaum terpelajar non-priyayi (umumnya orang Jawa) tertarik untuk bergabung dengan teosofi. Kesempatan bergaul dengan kaum priyayi tinggi dan orang-orang Eropa (terutama Belanda) berkedudukan tinggi yang mau menghargai keberadaan mereka, merupakan hal yang sangat langka pada masa itu. Terlebih lagi, Gerakan Teosofi juga memiliki fasilitas intelektual yang memadai, misalnya perpustakaan. C.L.M. Panders, penulis The Life Times of Soekarno (1974), seperti dikutip Nugraha, menceritakan bahwa “Soekarno menghabiskan waktu berjam-jam di Perpustakaan Theosophical Society di mana ia memperoleh akses karena keDr. Media Zainul Bahri

91

anggotaan ayahnya. Di sanalah ia bergumul dengan pemikiran tokoh-tokoh politik termasyhur dalam sejarah.”76 Selain perpustakaan yang memiliki koleksi literatur yang lengkap, Gerakan Teosofi (lewat organisasi NITV), juga menyediakan sarana bagi arena diskusi-diskusi terbuka, baik dalam studie-klasse atau dalam bentuk openbare lezing (ceramah terbuka).77 Watak kolonial yang diwarnai oleh pembagian masyarakat berdasarkan warna kulit yang tajam (colour line division) dan prinsip dasar Gerakan Teosofi yang tidak memandang warna kulit, ras, agama dan suku-bangsa, semakin mendorong kalangan Bumiputera terpelajar bergabung dalam organisasi ini. Berkaitan dengan dominasi orang-orang Jawa, pada kongres teosofi pertama di Yogyakarta pada 1907, dari 78 orang utusan yang hadir di rumah M.R.T. Sosronegoro, 19 priyayi bergelar “Raden” (R), “Raden Mas” (RM), dan “Raden Ngabehi” (R.Ng). Sementara 17 lainnya adalah priyayi wanita. Meskipun Jawa amat dominan, diantara anggota-anggotanya ada juga yang berasal dari kelompok suku lain seperti Sunda, Minangkabau, Melayu, bahkan Manado dan Ambon. Berdasarkan ladenlijst (daftar keanggotaan) tahun 1914 dan 1915, selain para priyayi Jawa, terdapat banyak kaum bangsawan dari Sumatera Barat (Minangkabau). Hal ini dibuktikan dengan adanya gelar-gelar yang ditulis sesudah nama mereka, yaitu “Galar Sutan,” “Galar Datuk,” “Galar Marah,” “Galar Tan,” “Datuk Rangkayo,” dan lainnya.78 Di antara orang Sumatera Barat yang menjadi anggota adalah Haji Agus Salim, tokoh-pejuang dan pahlawan nasional, dan Dt. Sutan Maharadja, seorang tokoh pergerakan nasional yang sangat terkenal.79 Orang-orang Sunda yang menjadi anggota juga banyak yang bergelar “Raden.”80 Secara detail, Herman Tollenaere menguraikan bahwa pada 1930 keanggotan teosofi Indonesia mencapai puncaknya, yaitu 2090 orang, yang terdiri dari: (1) 1006 orang-orang Eropa yang lebih dari 50 %-nya adalah orang-orang Belanda, (2) 876 orang-orang asli Indonesia, (3) 208 orang-orang asing dari Asia, dan (4) 190 orang-orang China dan India (orang-orang India berjumlah sekitar 20 orang dari 92

Wajah Studi Agama-Agama

angka itu). Secara geografis, keanggotaan (dan loji-loji) berpusat di Jawa, dan secara sosial, sebagian besar anggota orang Indonesia adalah para priyayi Jawa, sebagian kecil orang-orang Sumatera Barat dan Ningrat Bali.81 Selain dari gambaran keanggotaan diatas, jika kita menelaah lebih lanjut tulisan-tulisan tentang Islam dalam majalah-majalah Teosofi, kita juga menemukan satu kelompok lain, yaitu kaum santri Muslim. Kelompok santri ini bisa berasal dari golongan priyayi, meskipun sangat jarang, atau berasal dari kaum terpelajar non-priyayi. Dalam stratifikasi masyarakat Jawa, kaum santri ini kedudukannya lebih tinggi dari orang-orang kecil/biasa (wong cilik) tetapi tetap lebih rendah dari kaum priyayi. Mengenai keanggotaan kaum santri Muslim terpelajar ini, Agus Salim menyatakan: Saya bergabung ke dalam Theosophical Society karena saya melihat mereka mengakomodasi banyak kaum Muslim, khususnya Muslim yang diasingkan karena pendidikan Baratnya namun masih berpegang kuat pada tradisi. Mereka adalah orang-orang yang tertarik pada Theosophical Society.82

Dr. Media Zainul Bahri

93

BAB IV TEOSOFI DAN MODEL STUDI PERBANDINGAN AGAMA

Bab ini akan menjelaskan aktivitas dan model studi Perbandingan Agama yang dilakukan oleh MTI. Bab ini merujuk kepada majalahmajalah (istilah yang digunakan saat itu untuk menyebut jurnal) yang mereka terbitkan mulai tahun 1900 hingga 1954 yang merekam sebuah episode penting dalam kehidupan sosial-keagamaan Indonesia, di antaranya Pewarta Theosophie Boeat Tanah Hindia Nederland (atau PTHN, Bahasa Melayu, 21 volume, 188 Nomor, 19111938), Teosofie In Nederland Indie: Theoshopie Di Tanah Hindia Nederland (Bahasa Belanda dan Melayu, 80 Nomor, 1918-1925), Theosophie in Nederlandsch Indie (atau TINI, Bahasa Belanda, 1912-1930), Kumandang Theosofie (atau KT, Bahasa Melayu, 6 volume, 46 Nomor, 1932-1937) dan Persatoean Hidoep (atau PH, Bahasa Melayu, 11 Volume, 109 Nomor, 1930-1940), Pewarta Theosofie Boeat Indonesia (atau PTBI, Bahasa Melayu, 1912-1930), dan Pewarta Theosofi Tjabang Indonesia (atau PTTI, Bahasa Melayu, 1954).1 Publikasi MTI yang berbahasa melayulah yang saya jadikan sumber utama dalam bab ini. Kita akan melihat bagaimana pemahaman keagamaan mereka yang esoterik dan hubungannya dengan agama-agama lain, atau pemahaman esoterik mereka tentang agama-agama. Dari diskusidiskusi dan tulisan yang dipublikasikan tampak bahwa mereka banyak membedah paham pluralisme yang menyangkut tema Satu Tuhan banyak nama (agama), kesatuan esensial para nabi dan kitabkitab suci, dan model perenial serta komparasi yang mereka lakukan. Dr. Media Zainul Bahri

99

A. Teosofi dan Doktrin Agama-Agama Dalam konteks studi Perbandingan Agama, satu hal yang sangat menonjol pada kegiatan MTI adalah membedah doktrin agamaagama yang dianut oleh masyarakat Indonesia. Di sini setiap penulis atau peminat kajian agama yang beragam menjelaskan ajaran agama masing-masing sejauh yang dapat dijelaskan hingga menukik ke aspek batin/esoterik dari agama mereka. Penjelasan mengenai aspek mistik-esoterik merupakan hal yang terpenting yang menjadi fokus mereka, dan dalam beberapa kesempatan mereka kaitkan hal itu dengan doktrin teosofi di mana mereka duduk sebagai anggota/ pengikutnya. Bagaimana pun, penjelasan mengenai aspek syari’at atau eksoterik agama tetap mendapat porsi yang luas karena tidak mungkin menjelaskan yang esoterik tanpa mendeskripsikan yang eksoterik. Maka, anggota teosofi dalam agama apa pun akan mendengar atau membaca doktrin agama orang lain melalui ceramah dan tulisan langsung pemeluknya (tokoh atau sarjananya).2 Para pemeluk agama mendapat penjelasan tentang agama lain langsung dari tangan pertama, hingga mereka memiliki pemahaman yang cukup. Kata pemahaman mengandung beberapa pengertian. Pertama, pemahaman yang belum utuh sehingga memunculkan rasa kepenasaran dan keingintahuan lebih lanjut. Di sini lalu muncul dialog atau diskusi yang komprehensif. Kedua, pemahaman yang cukup baik dan mendalam, namun pendengar atau pembaca tetap mengajukan pertanyaan-pertanyaan atau pernyataan yang kritis. Ketiga, dari pemahaman yang baik dan utuh muncullah cara pandang dan sikap yang positif terhadap agama lain, seperti adanya respek, simpati dan empati atau “merasakan” akan paham, keyakinan dan ritus agama orang lain yang berbeda. 1. Islam dan Teosofi Dari kalangan Islam tampillah kaum terdidik Muslim yang cukup mengerti bahkan mendalami ajaran Islam—untuk ukuran sekarang, kita sebut saja mereka kaum sarjana agama, meskipun 100

Wajah Studi Agama-Agama

tidak bergelar Doktor atau Profesor yang memang langka saat itu— yang menjelaskan banyak aspek doktrin Islam. Dalam banyak publikasi MTI dan dalam rentang waktu belasan hingga puluhan tahun, mereka membedah detail-detail ajaran atau syari’at Islam, seperti rukun Islam yang meliputi syahadat, shalat, zakat, puasa dan haji, serta rukun iman: iman kepada Allah, Malaikat, para utusan Tuhan, kitab-kitab suci, hari akhir dan ketetapan takdir.3 Yang menarik, mereka menguak aspek-aspek esoterik dari berbagai penjelasan doktrin yang eksoterik tersebut. Pada tataran ini mereka membicarakan tasawuf Islam, maka doktrin sufisme al-Ghazali, Ibn ‘Arabi, Rumi dan al-Junaidi kerap disebut. Ini berarti ajaran-ajaran tasawuf sudah akrab dalam kamus keberagamaan mereka saat itu. Di saat yang sama, mereka juga memperkaya penjelasan eksoterik Islam dengan mistik Jawa atau Kejawen yang telah banyak dipengaruhi oleh doktrin-doktrin Hindu-Buddha. Ketika membincang sufisme Islam, mereka menegaskan bahwa Islam sejalan dengan doktrin teosofi; Islam dalam pemahamannya yang mendalam—maksudnya pada dimensi mistik—tidak bertentangan dengan teosofi, namun sejalan-seiring, karena sufisme dan teosofi memiliki satu tekad yang sama yaitu mencoba menguak yang inti atau yang esensi dari ajaran kulit agama. Bahkan, dalam beberapa kesempatan, kaum cerdik Muslim itu, ketika menjelaskan pengertian dan seluk-beluk ‘teosofi’ mereka menyebutnya dengan ‘tasawuf’ dan penjelasannya tentu saja tasawuf Islam. Hal lain yang cukup menonjol adalah istilah-istilah Islam yang banyak sekali digunakan oleh jurnal-jurnal MTI. Mungkin teosofi Indonesia— dengan anggota dan pembacanya yang mayoritas Muslim—mengambil jargon-jargon Islam untuk lebih familier dan mudah dipahami dan diterima. Kita menemukan banyak sekali kata atau istilah seperti Allah, Gusti Allah, nabi dan rasul, ilham, tauhid, syari’at, tarekat, ma’rifat, hakikat dan lain-lain—dengan aksen Arab—dalam publikasi-publikasi MTI, meskipun materi yang sedang dibicarakan misalnya tentang Hinduisme, Buddhisme, Kristen atau Konghucu. Keadaan ini tentu berbeda dengan teosofi di tempat lain, di India Dr. Media Zainul Bahri

101

misalnya yang kental dengan istilah dan aksen Hindu dan budaya Hindustan. Bahkan, yang sangat khas dari teosofi Indonesia adalah peran dan kontribusi Islam, dalam arti anggota teosofi Muslim yang menyebarkan gagasan mengenai inklusivisme dan pluralisme agama dengan basis sufisme Islam. Suatu keunikan yang tidak terdapat pada gerakan teosofi di mana pun. 2. Agama Hindu dan Teosofi Dari pemeluk agama Hindu, muncul banyak sekali penjelasan mengenai karma, reinkarnasi, Trimurti, yoga, bhakti, kitab Weda dan Bhagawadgita, tokoh-tokoh Hindu: dari Sri Ramakrisna hingga Swami Vivekananda, dan lain-lain.4 Diskursus yang mencolok terutama adalah konsep mistik Hindu. Penjelasan berbagai doktrin Hinduisme terutama diarahkan untuk membedah pandangan dunia mistik kaum Hindu dan korelasinya dengan teosofi. Bahkan, banyak kalangan yang menunjuk teosofi identik dengan Hinduisme karena beberapa doktrin pokok teosofi seperti kepercayaan terhadap reinkarnasi, karma-pahala dan pandangan kosmosnya sama atau identik dengan doktrin agama Hindu. Blavatsky sendiri begitu terpesona dengan tradisi Hinduisme dan budaya India, dan melalui teosofi ia ingin melestarikan semua tradisi itu. Annie Bessant, pemimpin teosofi yang sangat berpengaruh setelah Blavatsky dan Henry Olcott, menyatakan bahwa ia amat mencintai India dan agama Hindu. India disebut Bessant sebagai ibu negerinya karena di negeri inilah ia menemukan hidup yang sebenarnya, dan agama Hindu dicintainya karena mengandung banyak kebenaran yang masih tersembunyi.5 Mahatma Gandhi menyebut ajaran teosofi Blavatsky sebagai “wajah terbaik Hinduisme.”Namun, menyebut teosofi identik dengan Hinduisme juga tidak sepenuhnya benar karena doktrin komprehensif teosofi merupakan kumpulan dari kearifan hikmah abadi (perennial wisdom) agama-agama: Hindu, Buddha, Yahudi, Kristen, Zoroaster, Konghucu, Phytagoras, Socrates, filsafat ekslektik dan lain-lain. Jadi, tidak hanya Hinduisme.

102

Wajah Studi Agama-Agama

3. Agama Buddha dan Teosofi Dari para penganut agama Buddha, muncul penjelasan mengenai doktrin-doktrin pokok Buddhisme seperti Empat Kesunyataan (Catur Ariya Saccani), Jalan Tengah (Majjima-Pathipada), Delapan Jalan Mulia, kamma (karma), reinkarnasi, hukum sebabakibat, roda kehidupan (Paticcasamuppada), nirwana, cinta kasih (metta-maitri-karuna), sejarah kehidupan Siddharta dan lain-lain.6 Ada juga tuduhan bahwa teosofi adalah bentuk lain Buddisme karena Blavatsky sendiri disebut oleh A.P. Sinnet sebagai Buddhis esoterik (Esoteric Buddhism). Blavatsky sendiri membantah hal itu dan menyatakan bahwa yang benar adalah ajaran kearifan Siddharta merupakan/menjadi salah satu unsur keseluruhan doktrin teosofi. 4. Agama Kristen dan Teosofi Kaum Kristiani tidak terlalu memberi penjelasan yang luas dan detail mengenai ajaran-ajaran teologis mereka kecuali tentang Yesus mistik/roh, beberapa fase kehidupan Yesus, perbandingan antara Kristus dengan kaum sufi Muslim dan kaum sofis, perbandingan antara Trinitas dengan Trimurti Hindu, beberapa penjelasan mengenai sejarah perkembangan Kristen dan Yahudi serta tempat sembahyang Kristen Protestan dan Katolik.7 Dalam banyak publikasi MTI, anggota teosofi yang beragama Kristen dan non-Kristen terutama mengarahkan pembahasan mereka tentang Yesus dan hubungannya (titik-temu) dengan para tokoh/nabi agama-agama lain dan kaitan ajaran-ajaran mistik dan kearifan Yesus dengan teosofi dan mistik agama-agama lain. Hal ini dapat dipahami karena fokus teosofi memang ke doktrin mistik dan Kristen sendiri bukan merupakan agama syari’at layaknya Islam atau Hindu. 5. Konghucu dan Teosofi Telah lama konghucu, baik sebagai seperangkat etik-filosofis maupun sebagai agama, dianut oleh banyak masyarakat Indonesia, baik di kota-kota besar maupun di pedesaan kecil. Masyarakat Indonesia telah lama mengenal istilah pecinan, yaitu tempat khusus Dr. Media Zainul Bahri

103

jang sempoerna, jang djadi tjonto dan pengadjaran ilmoe kehidoepan batin.40

Mengenai kesinambungan dan kesatuan esensial kitab suci ini, MTI meyakini bahwa pertama, semua kitab suci: Taurat, Injil, Weda, Upanisad, Bhagawad Gita, al-Qur‘an, Tripitaka dan lain-lain adalah benar-benar kitab suci, berisi ajaran mulia untuk para nabi dalam konteks yang berbeda-beda, namun berasal dari Tuhan Yang Sama.41 Kedua, jika dipahami, didalami dan dipraktikkan oleh setiap pemeluk agama, semua kitab suci itu merupakan penerang bagi hidup yang gelap gulita dan akan membawa keselamatan sejati.42 Ketiga, semua kitab suci sederajat; tidak ada yang lebih tinggi atau lebih rendah antara satu dengan yang lainnya. Semua penganut agama yang beragam hendaknya mempelajari dan melakukan studi banding terhadap dua atau beberapa kitab suci itu.43 Keempat, dengan semua kitab suci itu, Tuhan masih terus bersuara dan berbicara kepada semua kaum beriman yang membacanya atau berdialog dengan-Nya melalui kitab-kitab itu.44 Berbagai doktrin MTI tentang kesatuan esensial agama-agama, pesan kenabian dan kitab-kitab suci sesungguhnya merupakan bagian dari usaha Gerakan Teosofi dalam mewujudkan persaudaraan universal di antara umat manusia dengan tanpa memandang ras, bangsa, warna kulit dan agama. Teosofi menyandarkan ideologinya tentang hal ini melalui mistik agama-agama. Sekali lagi, kaum teosofi menegaskan bahwa semua agama adalah benar, sederajat dan samasama berasal dari Kenyataan Ilahi. Karena doktrin ini, seorang teosof tidak suka merendahkan atau menghina agama lain yang berbeda dan tidak setuju jika ada orang berpindah agama. Konversi agama hanya terjadi jika seseorang tidak mengerti akan kemuliaan dan keagungan agamanya. Karena doktrin ini pula teosofi menghendaki: “pemandangan persatoean” dan “persaudaraan” seloeroeh doenia.45 Jika setiap orang saling menghina atau merendahkan keyakinan orang lain yang berbeda, sulit terjadi persatuan dan persaudaraan kemanusiaan itu. Dr. Media Zainul Bahri

115

Bagi MTI, jika Tuhan itu Satu maka kemanusiaan juga satu. Karenanya, perbedaan bangsa, warna kulit dan agama tidak berarti tiadanya kesatuan ketuhanan. Jika seseorang hendak mengenal Tuhan dengan baik, maka ia mesti membuang tabiat membedabedakan agama, bangsa dan warna kulit. Dengan menghormati manusia dan kemanusiaan, niscaya tirai yang menghalangi seseorang dengan Tuhan dapat sirna.46 Dengan konsep kesatuan-kesatuan seperti dijelaskan di atas, kaum teosofi mencita-citakan hanya ada satu agama untuk semua orang. Ketika meresensi buku karya Leadbeater yang berjudul De Vorming van het de Wortelras, seorang anggota menulis: Di dalam boekoe tadi ada menjeboetkan djoega dari hal agama-agama. Nantinja itoe agama-agama mendjadi satoe. Agamanja orang sedoenia (Wereldgodsdienst), agama boeat semoea orang.47

Konsep ini, menurut MTI, sejatinya paralel dengan doktrin Satu Tuhan banyak nama. Karena Tuhan atau Yang Ilahi bersifat kekal-abadi, sementara nama-nama-Nya yang banyak merupakan pemahaman atau respons dari para penganut agama yang beragam, maka kaum teosofi yang lebih fokus kepada yang mistik-esoterik (yang abadi) menghendaki umat manusia mengarahkan pandangan dan batinnya kepada Satu Tuhan, satu kemanusiaan dan satu tempat ibadah. Hal itu akan mewujudkan persaudaraan kemanusiaan dan kemajuan umat manusia, dan dengan sendirinya meminimalisir konflik dan pertikaian. Mengenai hal ini seorang anggota mengutip tulisan Annie Besant: Djadi boleh dipandang nantinja akan ada satoe gredja sedoenia bagi sekalian manoesia, atau satoe masjid oemoem bagi orang sedoenia, dimana orang manoesia dari roepa-roepa igama disitoe tidak hanja sama menjembah pada satoe Toehan sadja; tetapi sama merasa poela djadi hambanja sator Leerar Besar dari kemanoesiaan. Inilah satoe

116

Wajah Studi Agama-Agama

tjita-tjita jang maha moelia jang dapat menarik kemadjoean djika dipikirkan sampai berasa.48

Namun, apakah cita-cita kaum teosofi tersebut utopis alias mustahil diwujudkan? Kenyataannya memang demikian; mustahil diwujudkan. Gerakan teosofi memang memilki banyak mitosyang sulit dipahami kecuali bagi orang-orang yang mempercayai dan mendalami “mistisisme.” Jika tidak, maka banyak doktrin teosofi yang akan menjadi “tertawaan” belaka. Jika ditelusuri, paham dan cita-cita yang menghendaki satu agama atau satu tempat ibadah untuk semua tidak hanya dimiliki kaum teosofi belaka. Hampir semua gerakan sufi atau mistik dalam banyak agama dan tradisi memiliki keinginan itu. Karena concern-nya kepada kasih sayang Tuhan, maka kelembutan dan kedamaian hidup menjadi dambaan kaum mistik. Dengan itu mereka mencita-citakan kesatuan umat manusia, kesatuan persaudaraan dan kesatuan agama serta kesatuan tempat ibadah. Berbagai konsep kesatuan kaum mistik harus dipahami pula sebagai buah dari pengalaman spiritual mereka. Di “alam Tuhan” atau “alam spiritual” yang sering mereka alami, mereka hanya melihat kesatuan, tak ada dualitas dan heterogenitas. Di alam maya, alam fenomenal atau alam manusia inilah baru terlihat keragaman, dualisme, berbagai pertentangan dan paradoks-paradoks. Dalam konteks kesatuan tempat ibadah, Sefik Can, seorang ahli sufisme Rumi dari Turki menyebut istilah rumah ibadah universal dengan mengutip syair Rumi: Orang kafir dan yang beriman mencari-Mu Mereka bersatu (tidak terpisah) berteriak kepada-Mu.49

Dalam terang cahaya syair di atas, Sefik Can melihat Langit laksana Kubah besar yang berfungsi sebagai rumah ibadat universal. Di bawah Kubah itu bermunculan tempat-tempat ibadah partikular semisal masjid, gereja, biara dan sinagog. Di dalamnya, banyak Dr. Media Zainul Bahri

117

manusia dengan beragam agama, suku, ras, warna kulit dan kebangsaan bersimpuh kepada Tuhan dan hanya berharap kepadaNya,50namun tetap dalam naungan satu rumah ibadah universal. 3. Soal Perbedaan Agama Sedari awal, kaum teosofi Indonesia memahami bahwa bentuk, institusi dan wajah agama-agama berbeda satu sama lain. Mengapa “badan” agama-agama itu berbeda? Jawaban mereka sederhana saja: Tjoemah sadja dari sebab samoea Roesoel itoe lahirnja didoenia ada djamannja sendiri, djadi bagi kelahirannja sarak (syari’at) djoega ada jang berbeda, karena satoe-satoe djaman, keadannja dari pikirannja manoesia djuga tida sama.51

Perbedaan konteks tempat para utusan Tuhan dan turunnya wahyu menyebabkan agama menjadi beragam pula. Argumen logis ini juga digunakan oleh kaum pluralis dan para pendukung filsafat perenial. Dalam bahasa MTI yang lain, karena bentuk (form, vorm) kelahiran agama berbeda-beda sesuai dengan kultur masing-masing, maka bentuk “Kenyataan” juga berbeda-beda.52 inilah yang membuat doktrin dan syari’at menjadi beragam dan berbeda. Hal itu wajar karena agama turun bukan di ruang yang hampa sejarah. Syari’at agama biasanya hadir sebagai respons terhadap situasi dan kondisi zaman. Hasan Hanafi, seorang intelektual Muslim kenamaan dari Mesir, menyatakan bahwa wahyu bukanlah sesuatu yang berada di luar konteks yang kukuh tak berubah, melainkan berada dalam konteks yang mengalami perubahan demi perubahan.53 Karena itu, keragaman ras, bangsa, suku bahkan perbedaan ruang dan waktu meniscayakan adanya perbedaan syariat. Sejauh menyangkut aturan-aturan rinci, tak mungkin ada ajaran tunggal dan universal yang bisa dipakai di setiap masa, situasi, dan kondisi.54 Seorang penulis teosofi merujuk kepada cerita tentang empat orang buta yang memegang gajah lalu membuat kesimpulan tentang gajah. Cerita ini sesungguhnya dipopulerkan oleh Jalaluddin 118

Wajah Studi Agama-Agama

Rumi (1207-1273) seorang sufi dari Konya, Turki sekarang.55 Tentu saja, hasil rabaan setiap orang buta yang bersifat parsial itu akan melahirkan pemahaman yang parsial pula tentang gajah. Namun, mereka mengklaim telah memahami gajah (baca: agama) secara utuh. Dari sini sering kali muncul konflik dan perselisihan.56 Menurut kaum teosofi, Tuhan menurunkan atau memperbarui wahyu-Nya kepada masyarakat yang sakit yang memang membutuhkan. Sakitnya satu masyarakat dengan yang lain berbeda, karena itu obatnya (syari’at) harus berbeda pula, tidak mungkin sama. Seorang anggota membuat tamsil: Tabiatnja seorang Iboe memelihara anak-anaknja jang sama sakit itoe tidak sama; jang seorang diberi nasi dengan kare, jang kedoea boeboer sagoe dan garoet, jang ketiga roti dengan mentega. Demikian djuga kehendak Toehan adanja Ia mengadakan roepa-roepa agama itoe hanja soepaja djadi djalannja masing-masing bangsa menoeroet tabiat jang setoedjoe dengan kodratnja sendiri-diri, boeat berbakti kepada Toehan.57

Maka, setiap bangsa memiliki ajaran yang unik dan cocok bagi diri mereka masing-masing. Setelah dirasa cocok, menurut MTI, setiap pemeluk agama harus teguh menjalankan ajaran, kewajiban dan aturan agama masing-masing dengan bebas dan saling menghormati satu sama lain.58 Salah satu penyebab konflik antarpemeluk agama yang disorot oleh MTI adalah persoalan fanatisme buta. Fanatisme yang dimaksud kaum teosofi adalah perasaan bahwa agamanya lebih baik atau lebih tinggi derajatnya dari agama lain, lalu memandang sinis kepada agama-agama lain. Seorang penulis menganjurkan para anggota teosofi untuk tidak memiliki perasaan bahwa agamanya lebih baik, melainkan mesti merasa bahwa semua agama bertujuan baik, sehingga prasangka dan perselisihan dapat dihindari.59 Seorang guru teosofi mengajarkan untuk tidak “jatuh cinta” atau “kesengsem” kepada tata-cara (syari’at) agama, perkumpulan teosofi atau organiDr. Media Zainul Bahri

119

sasi apa pun yang membuatnya menjadi fanatik buta. Tidak berhenti atau “menuhankan” syari’at. Yang harus dilakukan adalah menemukan inti sari/hakikat agama dan bekerja untuk kepentingan banyak orang.60 Dalam soal fanatisme ini, teosofi memandang bahwa seseorang yang fanatik berlebihan sulit akan terhubung dengan Tuhan dan mendapatkan kebaikan berlimpah. Dalam suatu cerita, setelah memberi nasihat kepada para pemujanya, “Djanganlah terlaloe fanatiek, membeda-bedakan lain igama,” Batara Siwa kemudian menegaskan bahwa Dia selamanya tidak akan menerima ibadah pemujanya selama ia membenci dewa-dewa lain. Namun, pemuja tetap pada pendiriannya. Siwa menegaskan lagi bahwa ia tidak akan mencintainya selama masih ada kebencian kepada dewa lain. Karena sang pemuja tetap pada keyakinannya, maka Siwa turun lagi dengan separuh badan Wisnu dan separuh Siwa. Pemuja fanatik itu menjadi bingung, lalu beribadah kepada dua dewa. Akhirnya, dewa Siwa bersabda bahwa ia turun dengan dua badan untuk membuktikan bahwa semua dewa asalnya hanya dari satu wajah Tuhan.61 Cerita ini mirip sekali dengan ajaran Ibn ‘Arabi (1165-) tentang “Tuhan kepercayaan.” “Tuhan keperacayaan” adalah gambar atau bentuk tuhan, atau pemikiran, konsep, ide, atau gagasan tentang Tuhan yang diciptakan oleh akal manusia. Tuhan seperti itu bukanlah Tuhan sebagaimana Dia sebenarnya, Tuhan pada diri-Nya, ZatNya, tetapi adalah Tuhan ciptaan manusia, yaitu Tuhan yang diciptakan oleh pengetahuan, konsep, penangkapan, atau persepsi manusia. Tuhan seperti itu adalah Tuhan yang “dimasukkan” atau “ditempatkan” oleh manusia dalam pemikiran, konsep, ide, atau gagasannya dan “diikat”-nya dalam dan dengan kepercayaannya. “Bentuk,” “gambar,” atau “wajah” Tuhan seperti itu ditentukan atau diwarnai oleh manusia yang mempunyai kepercayaan kepada-Nya. “Apa yang diketahui” diwarnai oleh “apa yang mengetahui”. Dengan mengutip perkataan al-Junayd, Ibn al-’Arabi berkata, “Warna air adalah warna bejana yang ditempatinya.” Itulah sebabnya Tuhan berkata, “Aku adalah dalam sangkaan hamba-Ku tentang-Ku.” Tu120

Wajah Studi Agama-Agama

han disangka, bukan diketahui. Dengan kata lain, Tuhan hanya dalam sangkaan manusia, bukan dalam pengetahuannya. Tuhan yang sejati tak diketahui dan tak dapat diketahui.62 Karena itu, “Tuhan kepercayaan” adalah Tuhan ciptaan manusia. Manusia tidak bisa mencipta Tuhan, yang mampu dilakukannya adalah mencipta Tuhan dalam keyakinannya. Mencipta mesti berdasar pengetahuan, dan mengetahui sesuatu berarti menemukannya, dan menemukan sesuatu berarti menetapkan batas-batas konseptual pada sesuatu tersebut. Tuhan, sesuai dengan kapasitas pengetahuan manusia dapat ditemukan; Tuhan dapat menjadi objek penemuan (wajd) oleh subjek manusia. Karena itu bagi Ibn ‘Arabi, manusia tidak menyembah Tuhan kecuali dari apa yang telah ditetapkannya sendiri. Karena pengetahuan serta keyakinan manusia sangat beragam sesuai dengan konteks kesejarahan masing-masing, maka ada banyak doktrin dan konsep tentang Tuhan yang berbedabeda. Setiap kelompok akan menolak konsep atau doktrin Tuhan yang tidak sesuai yang ada pada kelompok lain, seperti kata imam Junayd bahwa warna air akan sangat ditentukan oleh warna bejananya. Beragam agama dan kepercayaan ketika menghadirkan Tuhan sesungguhnya sedang “membentuk-Nya,” “memformulasikanNya,” atau “memecah-Nya” dalam bermacam-macam bentuk. Padahal Dia Yang Hakiki adalah Esa, tidak berubah, dan tidak dapat dibatasi atau diikat oleh beragam bentuk.63 Dengan teori ini, Ibn ‘Arabi sesungguhnya hendak mengkritik orang yang memutlakkan, atau jika boleh, “menuhankan” kepercayaannya kepada Tuhan, yang menganggap kepercayaannya itu sebagai satu-satunya yang benar dan menyalahkan kepercayaan orang lain. Orang seperti itu memandang bahwa Tuhan yang dipercayainya itu adalah Tuhan yang sebenarnya, yang berbeda dengan Tuhan yang dipercayai oleh orang lain yang dianggapnya salah. Padahal Tuhan yang diyakininya pun adalah Tuhan hasil kreasi nalar dan kalbunya, bukan Tuhan yang sesungguhnya. Apa yang terjadi saat ini, ketika agama menjadi sistem yang begitu kuat dan dominan, orang cenderung bersikap eksklusif dan intoleran.64 Dr. Media Zainul Bahri

121

4. Soal Penghinaan, Konversi, Pluralisme, dan Kerukunan Dalam konteks ini, kaum teosofi tidak suka dengan perkataan dan sikap yang merendahkan, menjelekkan dan menghina agama orang lain yang berbeda. Ada empat (4) prinsip utama kaum teosofi tentang keberadaan banyak agama dan sikap terhadap agama orang lain. Pertama, menurut mereka, ada ribuan agama yang cocok bagi bangsanya masing-masing. Karena keunikan dan kecocokan kultur itu, maka tidak ada agama yang lebih tinggi dan lebih bagus dari yang lain, dus setiap agama pasti mengandung kebaikan, kemuliaan dan tujuan akhir yang sama.65 Dari pemahaman ini berarti semua agama sederajat. Kiai Somo Citro, lagi-lagi dengan merujuk kepada kaum sufi Muslim, menuliskan sikapnya: Djadi setoedjoe dengan perkata’an-perkata’an ahli soefi, bahwa semoea agama itoe satoe toedjoean. Dari sebab itoe, barangsiapa mempeladjari theosofie, soedah tentoe akan lebih teguh perdjalanannja dan akan lebih dalam pengertian dalam agamanja sendiri, apa poela akan tidak mentjela pada lain agama dan kedjadiannja akan menambah keslametan dalam doenia.66

Kedua, sangat tidak pantas jika seseorang membenci dan menghina agama orang lain hanya karena perbedaan keyakinan, apalagi orang tersebut belum mendalami hakikat agamanya sendiri dan belum mempelajari agama yang dicelanya—dengan alasan “haram” mempelajari agama orang lain. Orang yang menghina agama lain disebut oleh kaum teosofi sebagai “Si picik” yang tidak luas dan tidak dalam pengetahuan agamanya. A. Karim, seorang penulis Muslim menunjukkan kekesalannya sebagai berikut: Agama itoe berpangkat-pangkat, menoeroet orang jang memakainja. Orang, selamanja memudji agamanja sendiri sadja, dan lebih adjaib sekali, agama jang lain ditjatjatnja, pada halnja ia beloem pernah memeriksa agama-agama jang lain; konon katanja haram. Perkataan

122

Wajah Studi Agama-Agama

itoe hamba pandang hanja oleh kepitjikan ilmoe sadja, sebagai katak dibawah tempoeroeng67

Jika ia Muslim, Kristen atau pengikut Hindu, menurut seorang anggota teosofi, berarti ia belum mendalam pengetahuan agamanya.68 Kaum teosofi meyakini jika seseorang telah sampai pada esensi terdalam dari agamanya, ia tidak akan menghina dan membedabedakan agama.69 Ketiga, kasih sayang dan keadilan Tuhan untuk semua orang, bukan hanya untuk satu orang atau satu bangsa saja. Kaum teosofi meyakini jika ada seseorang yang berkeyakinan bahwa hanya dia yang dibimbing Tuhan sedangkan yang lain tidak; hanya suara dia yang merdu dan fasih ketika berdoa yang didengarkan Tuhan, sedangkan doa dan harapan orang lain yang hening tak bersuara tak akan dipedulikan Tuhan, sungguh orang tersebut tidak meyakini akan keadilan dan kekuasaan Tuhan dan menyangka Tuhan buta dan tuli. Jika ada orang yang gampang memvonis orang lain sebagai “sesat” berarti ia lebih tahu dari Tuhan, menurut kaum teosofi, justru orang itulah yang patut dikasihani dan akan menderita akibat perbuatannya itu.70 Hanya Tuhan saja yang lebih tahu agama yang sah, baik, benar dan utama, sedangkan pengetahuan manusia akan hal itu selalu menimbulkan perselisihan.71 Keempat, menurut Labberton, sikap yang baik adalah mempelajari agama orang lain; sikap yang sangat baik adalah mendalami agamanya sendiri lalu mempraktikkannya dalam hal-hal yang baik; sikap yang sangat keliru adalah merayu, membujuk bahkan memaksa orang lain untuk mengikuti agamanya. Sikap yang tak dapat diampuni adalah memakai agamanya sebagai senjata untuk membodohi dan membuat orang lain menjadi fanatik buta.72 Orang-orang teosofi sangat tidak menghendaki konversi agama. Dalam banyak kesempatan mereka menegaskan bahwa para pemeluk agama—apalagi anggota teosofi— mestinya tidak boleh pindah agama. Orang harus setia dengan syari’at atau ajaran agama masing-

Dr. Media Zainul Bahri

123

masing. Seorang teosof Muslim menyebut yang pindah agama sebagai orang yang musyrik atau mungkir, katanya: Bagi Boemipoetera jang soedah berigama Islam laloe berpindah ke Christen atau Boeda itoe sebetulnja tidak boleh, begitoepoen sebaliknja, malah lebih dalam, orang jang bertabiat demikian itoe diseboet mosrik (moengkir), lahirnja melambatkan perdjalanan, karena masingmasing igama itoe hanja roepa-roepa djalan oentoek berbakti kepada Toehan—(Toehan hanja Satoe)—kembali kepada Toehan, dalilnja alKoran: Inna lillahi wa Inna Ilaihi raji’un.73

Perbedaan agama berarti jalan-jalan beragam menuju Tuhan. Dengan mengutip ayat dalam Bhagawadgita yang berbunyi, “Manusia itu datang kepada-Ku menurut beberapa jalan, dan jalan mana pun seorang manusia datang kepada-Ku, Aku terima ia pada jalan itu karena semua jalan itu milik-Ku,”74 dan ayat al-Qur`an yang berbunyi, “Bagi pemeluk tiap-tiap agama, Kami sudah tetapkan aturan tertentu yang harus diikuti mereka sebaik-baiknya, janganlah mereka berbantah perkara itu denganmu, tetapi ajaklah mereka kepada Tuhanmu karena sesungguhnya engkau berada pada petunjuk dan jalan yang lurus,”75 kaum teosofi meyakini bahwa perbedaan jalan bukan hal yang prinsip dan fundamental tetapi tujuanlah yang utama dan tujuan semua jalan pasti kepada Tuhan Yang Sama jua. Seorang penulis Muslim lainnya dari Bogor bernama Broto menegaskan: Adapoen agama itoe adalah beberapa matjam; akan tetapi semoea itoe hanjalah mempoenjai satoe maksoed atau satoe jang ditoedjoenja, jaitoe Sang Hidoep. Maka jang kelihatan berbeda-beda itoe melainkan djalannja sadja.76

Pendapat serupa juga ditunjukkan oleh Louis Baehler, katanya:

124

Wajah Studi Agama-Agama

Adapoen roepa-roepa agama itoe lain tidak hanja beberapa djalan jang menoedjoe pada jang Maha Koewasa. Banjak dan berbeda-beda sekali djalan-djalan jang dapat menoedjoe Tjandi Kali di Kalighat (deket Kalkoeta). Begitoepeon banjak poela djalan ke Ka’batoe’llah. Satoe-satoe igama ialah satoe djalan kepada Allah.77

Jika pluralisme agama sering disebut semakna dengan jargonjargon: “satu Tuhan banyak agama,” “satu Tuhan disebut dengan banyak nama disembah dengan berbagai cara,” “banyak jalan menuju Tuhan,” atau “jalan-jalan mengantarkan ke puncak yang sama,” atau “jalan-jalan yang berbeda mengantarkan ke tujuan yang sama, “agama-agama yang berbeda adalah jalan-jalan yang memiliki validitas yang sama menuju kepada Tuhan yang sama,” “agamaagama yang berbeda bicara tentang yang berbeda (dengan bahasa yang berbeda pula) namun memiliki kebenaran yang sama,”78 maka itulah pandangan dan sikap yang dianut MTI pada sekitar satu abad yang lalu, jauh sebelum tokoh-tokoh pluralis masa kini di Barat dan kaum intelektual Muslim Indonesia mengumandangkan hal serupa. Dalam sebuah publikasi tahun 1926 disebutkan suatu berita yang menarik bahwa Muhammadiyah baru saja mengadakan kongresnya di Surabaya, dan Tuan Muhammad Husni, Bestuur (pimpinan) Perkumpulan Muhammadiyah berpidato tentang “Poesat Persatoean Segala Agama.” Menurut Husni, bapak umat manusia adalah satu yaitu nabi Adam, dan agama yang diberikan kepada umat manusia juga satoe pangkal dan toenggal pokok, dan dasar agama mereka adalah Islam, yaitu berserah kepada Allah.79 Meskipun Husni pada akhirnya merujuk kepada Islam sebagai institusi, namun ia juga menyadari adanya Islam kualitas atau Islam esensi yang dianut semua manusia dengan masing-masing nabi yang beragam. Pandangan tokoh Muhammadiyah itu tentu menarik dan cukup “berbahaya” di lingkungan Muhammadiyah, bahkan sampai hari ini. Dr. Media Zainul Bahri

125

Dengan paham pluralisme, keberagamaan kaum teosofi diperkaya satu sama lain karena mereka bersedia belajar dari kekayaan tradisi agama orang lain yang berbeda. Dengan tetap teguh memegang keyakinan (agama) masing-masing, kaum teosofi sejatinya merayakan keragaman dan perbedaan dalam suatu hubungan yang harmonis. Mereka sadar bahwa Nusantara ini dihuni oleh berbagai agama dan keyakinan yang rentan dengan konflik dan pertikaian, sementara di saat yang sama sebagian besar kaum pribumi sedang berusaha keras untuk merdeka dari penjajah Belanda. Hanya dengan pemahaman agama yang mendalam sampai ke jantungnya dan mau mempelajari agama orang lain, konflik dapat diminimalisir dan kedamaian hidup bersama dapat diraih. Bahkan, mereka “bermimpi” terciptanya persaudaraan universal dan perdamaian dunia dengan “Satu Agama Universal” bagi semua. Pada bagian lain, MTI sesungguhnya juga berhasrat besar untuk mengadakan semacam “dialog antaragama” dalam skala yang besar dan formal yang dapat dihadiri oleh tokoh-tokoh agama di Hindia Belanda. Namun kiranya—sejauh penelusuran penulis—hasrat yang mulia itu tidak pernah terwujud dengan baik sampai berakhirnya gerakan mereka. Hasrat untuk melakukan dialog itu, mereka kemukakan dalam sebuah terbitan tahun 1927. Dalam nomor itu, mereka memberitahukan kepada pembaca bahwa pada 22 Juni 1927 baru saja diadakan dialog antaragama di London yang menghadirkan tokoh-tokoh agama Buddha, Islam, Hindu, Kristen, Konghucu, Yahudi dan Teosofi. Ruangan dialog itu penuh alias dipadati pengunjung yang antusias menghadirinya. Di akhir pemberitahuan itu, penulis Muslim berharap, “Patut sekali djikalau bangsa kita Islam di Indonesia sini bisa mengirimkan oetoesan ka itoe Broderschap, boekan?.” 80 Dengan berbagai pandangan dan kesadaran di atas, perbedaan semestinya tidak menjadi bibit konflik dan perselisihan. Secara spesifik, kaum teosofi menyoroti satu aspek teologis yang sering memicu konflik, yaitu perasaan superioritas satu agama atas yang lain. Perasaan dan sikap itu sering ditonjolkan dalam interaksi sosial ber126

Wajah Studi Agama-Agama

barengan dengan sikap menghina atau merendahkan keyakinan orang lain,81 dan dicarilah ayat kitab suci atau legitimasi agama untuk menyerang agama lain yang dianggap salah.82 Menurut seorang penulis Muslim, jika seseorang menganut agama dan mempraktikkannya, namun buahnya adalah permusuhan dan perselisihan berarti orang tersebut keliru dalam memahami dan mempraktikkan agamanya. Sikap ini harus segera diubah.83 Menurut kaum teosofi, salah satu cara terbaik meminimalisir konflik dan perselisihan antar pemeluk agama adalah menonjolkan paham dan sikap bahwa semua agama bertujuan baik dan mulia; semuanya adalah cara dan jalan yang beragam menuju Tuhan Yang Esa.84 Seorang anggota teosofi yang lain mengingatkan para pemeluk agama untuk tidak berdebat atau berbantah-bantahan mengenai perbedaan agama, karena alih-alih menemukan kebenaran dan kedamaian hal itu sering memicu konflik. Mengapa? Karena setiap orang telah memiliki kepercayaan suci masing-masing. Dengan perdebatan di mulut saja (debat kusir) sulit ditemukan mana yang benar dan mana yang salah, yang muncul selamanya adalah perselisihan. Seharusnya setiap orang menghormati dan membiarkan orang lain berkeyakinan dan mempraktikkan agamanya. Justru dengan berpikir jernih dan mau memahami agamanya secara mendalam, seseorang akan sadar bahwa debat kusir tak ada gunanya.85 Menurut A. Latief, seorang penulis Muslim dan anggota teosofi, pemahaman Islam yang mendalam pasti akan cocok dengan doktrin teosofi, dan jika seseorang ingin meneliti tema-tema mengenai persaudaraan di dalam kitab suci agama-agama, maka ia akan menemukan ayat-ayat mengenai kesatuan esensial agama-agama dan persaudaraan umat manusia.86 Seseorang hanya akan menemukan dua tema itu jika ia mampu menembus aspek terdalam ajaran kitabkitab suci. Jika tidak, maka yang ditonjolkan adalah perbedaan dan pertentangan keyakinan agama, dan hal inilah yang sering memicu konflik. Karena tujuan pokok gerakan teosofi adalah persaudaraan universal dan perdamaian, maka para anggotanya dan semua peng-

Dr. Media Zainul Bahri

127

anut agama dianjurkan untuk menonjolkan kedua aspek itu ketika mempelajari agama-agama. Ketika membicarakan hubungan antar agama dan pentingnya orang memahami agamanya dan agama orang lain sehingga muncul respek satu sama lain, Labberton menegaskan bahwa bagi orang Hindia Belanda (Indonesia) hanya ada dua jalan buat kemajuan mereka: pertama, bersama-sama orang Belanda mempelajari berbagai ilmu pengetahuan hingga sejajar dengan orang-orang Eropa, kedua, dengan cara berperang melawan bangsa lain yang tak sebanding (mungkin maksudnya Belanda). Jalan yang pertama akan menghasilkan perdamaian dan keamanan, dan cara yang kedua akan memunculkan perang dan kebinasaan. Terserah kepada orang Hindia; mau memilih konflik atau persaudaraan, perang atau perdamaian, binasa atau kemajuan. Menurut Labberton, bangsa Eropa, Tionghoa dan Jawa yang telah memilih jalan kedua sesungguhnya telah menjadi kawan atau tentaranya “Sang Ijajil” (mungkin maksudnya Dajjal), sedangkan yang memilih jalan pertama akan jadi tentaranya Sri Tunjung Seto—Sang Guru Dewa, Rajanya Dunia ketenteraman.87 Seorang tokoh teosofi Muslim Indonesia, Raden Djojosoediro mengingatkan kaum Muslim untuk tidak “cemburu” ketika ada sesama Muslim yang pindah agama. Persoalan konversi agama ini, terutama di kalangan kaum Muslim sering menimbulkan konflik baik intra maupun antar pemeluk agama. Menurut Djojosoediro, konflik—baik karena konversi atau hal yang lain—biasanya muncul dari kalangan “kaoem-kaoem jang rendah,” mungkin maksudnya yang rendah pendidikannya. Sementara bagi anggota teosofi yang terpelajar harus dapat hidup bersama dalam guyub dan rukun meski ada perbedaan. Kaum Muslim mesti meneladani Nabi Muhammad yang tidak gampang “cemburu” dan berkonflik dengan orang lain, tetapi lebih banyak menonjolkan welas asih. Djojosoediro memberi contoh negeri India dalam hal kerukunan umat beragama. Di negeri ini—pada waktu itu—berbagai macam bangsa dan ruparupa agama dapat hidup rukun saling menghormati, menghargai 128

Wajah Studi Agama-Agama

dan setiap pemeluk agama bebas menjalankan keyakinannya. India telah membuktikan bahwa adanya perbedaan agama dan keyakinan tidak serta-merta melahirkan konflik dan pertikaian.88 Kebebasan beragama merupakan hal yang paralel dengan konsep dan paham teosofi mengenai kesederajatan agama-agama. Tentu saja, teosofi dengan segala doktrinnya tentang kesatuan dan titiktemu agama-agama sangat mendukung aturan dan praktik kebebasan beragama. Kaum teosofi sangat setuju dengan peraturan yang dibuat pemerintah Belanda dalam pasal X (10) mengenai agama yang menyebutkan bahwa “Tidak boleh memaksa orang lain dalam hal berpikir dan agama. Semua manusia merdeka untuk beribadah kepada Tuhan masing-masing. Hari-hari raya semua agama diakui. Tidak boleh menghina atau mengurangi hak semua agama... dan jangan sampai membuat kesedihan dan kesusahan kepada orang lain. Semua pengajar agama dan ulama tidak mendapat bayaran dari negara.”89 Tidak diketahui kapan undang-undang ini dibuat dan disahkan oleh pemerintah Belanda, namun kaum teosofi memublikasikannya pada 1921 dengan klaim bahwa pemerintahan yang dibentuk Belanda ternyata berdasar persaudaraan atau perdamaian, dan itu sesuai dengan doktrin inti gerakan teosofi. Berbagai ajaran teosofi mengenai Perbandingan Agama ternyata sejalan dengan pasal X tersebut, terutama dalam hal kebebasan beragama.

C. Membaca Pandangan Keagamaan Teosofi Indonesia 1. Perenialisme: Cinta dan Kesatuan Setelah kita membaca keseluruhan penjelasan di atas, maka tampak bahwa pendekatan MTI dalam studi perbandingan agama adalah pertama dan utama menggunakan pendekatan perenial. Teosofi sendiri adalah wujud lain dari paham dan praktik perenialisme. Helena Blavatsky sebagai pendiri teosofi dan tokoh-tokoh utama sesudahnya sering menegaskan bahwa teosofi adalah pengetahuan atau Hikmah yang sangat kuno yang diambil dari para filsuf awal Dr. Media Zainul Bahri

129

Yunani yang kemudian dilanjutkan oleh para generasi filsuf sesudahnya ke generasi berikutnya di berbagai negeri yang subur dengan Kearifan Abadi. Kaum teosofi mengagungkan adanya Realitas Ultim Yang Sejati dan Abadi yang dari-Nya muncul keanekaragaman manifestasi. Dari Yang Esa-Sejati muncul beragam wujud, termasuk bentuk-bentuk agama yang majemuk. Karena itu, sedari awal, Blavatsky telah mengajarkan bahwa agama-agama besar, aliran-aliran dan sekte-sekte adalah ranting-ranting kecil atau tunastunas yang tumbuh di dahan-dahan lebih besar, namun harus disadari bahwa tunas-tunas dan dahan-dahan itu muncul dari pohon yang sama yaitu “Agama Kearifan” (Wisdom Religion). Inilah salah satu ajaran pokok teosofi yang diambil dari Kebijaksanaan Abadi (sophia perennis). Dari pangkal itu, perenialisme selanjutnya membedah dua sisi agama, yaitu: (1) aspek esoterik yang bersifat kekal dan abadi pada semua agama, dan ditemukannya titik-temu serta kesatuan agamaagama, (2) aspek eksoterik yang mengungkap segala perbedaan bentuk agama-agama. Dalam studi sufisme dan perbandingan agama di dunia Islam, figur-figur utama seperti Rene Guenon, Frithjof Schuon yang diikuti oleh Seyyed Hossein Nasr dan William Stodart adalah para ahli sufisme Islam yang mengeksplorasi perenialisme dan menggunakannya untuk menjelaskan titik-temu dan titik-beda di antara agama-agama manusia. Hal pokok lain yang menjadi perhatian kaum teosofi adalah masalah-masalah “gaib” yang berkelindan erat dengan “dongengdongeng” atau “mitos-mitos mistik” tentang alam, tentang orangorang suci, tentang figur-figur penyelamat dunia seperti “Sang Ratu Adil” atau “Sang Jagat Guru” yang selalu hadir dan membimbing murid-murid teosofi, dan akan turun/muncul ke alam fenomenal untuk menyatukan umat manusia, mewujudkan persaudaraan universal atau mewujudkan “Satu Agama Universal” bagi umat manusia. Kita akan menemukan banyak sekali tulisan dalam majalahmajalah MTI yang membicarakan mitos-mitos mistik ini. Boleh jadi, keyakinan mereka tentang dongeng-dongeng gaib itu akan meng130

Wajah Studi Agama-Agama

undang tawa sinis orang-orang modern atau para penganut agama konvensional. Kenyataan akan keyakinan gaib itu sesungguhnya tidak bisa dipisahkan dari keyakinan para filsuf perenial awal dan murid-murid pengikut mereka bahwa Pengetahuan Sejati dan Abadi—apakah ia bernama wahyu atau nama-nama lain yang semakna— pertama kali diturunkan Tuhan secara sempurna kepada manusia suci, apakah ia seorang nabi, rasul, Maharsi atau sejenisnya. Lalu, pesan perenial ketuhanan itu ditransmisikan kepada para pengikut manusia suci dan diwariskan selanjutnya kepada orang-orang terkemudian. Dalam proses transmisi atau pewarisan itu terjadi banyak reduksi sehingga menjadi kabur dan terpecah-pecah. Seiring dengan proses waktu yang lama, pesan perenial itu pelan-pelan memudar, terlupakan, hilang dan akhirnya hanya menjadi semacam “dongeng” atau “mitos” belaka. Bagi kaum teosofi atau para penganut filsafat perenial, apa yang disebut “dongeng” atau “mitos” bagi orang-orang modern (belakangan) justru itulah kebenaran dan kenyataan. Karena mereka merasakannya dengan “intuisi” bukan seperti orang-orang modern yang memandang segala sesuatu dengan pandangan positivistik (logis, rasional, empiris dan dapat diverifikasi). Karena itulah, Annie Besant, salah seorang Presiden Teosofi Internasional yang sangat terkemuka, dengan percaya diri menegaskan bahwa mitos justru jauh lebih nyata dan benar dan dapat secara pasti menangkap bayangan dibanding pengetahuan sejarah yang cuma berusaha meraba-raba bayangan. Katanya: “A myth is far truer than a history, for a history only gives a story of the shadows, whereas a myth gives a story of the substance that casts the shadows.”90 Huston Smith, seorang penganut perenialisme dan pengagum Frithjof Schuon serta penulis buku modern paling top tentang Agama-Agama Dunia menunjukkan kesadaran yang sama dengan Annie Besant dan tokoh-tokoh perenial lainnya. Di depan kuil suci Ise (agama Shinto) di Jepang dengan kriptomania raksasanya, sambil merenungi buku Schuon yang berjudul In The Track of Buddhism (1969), Smith mengakui bahwa ia merasakan keagungan, ketenangDr. Media Zainul Bahri

131

an, keindahan dan nuansa intelektual yang mendalam. Ia berkata: “Saya menjadi mampu melihat bahwa nenek moyang kita sama sekali tidak lebih rendah dari turunannya, dan bahkan, jika kita cermati, mereka justru merupakan pintu gerbang menuju transendensi. Saya baru benar-benar dapat melihat bahwa alam yang perawan—khususnya dalam penampakan yang utama seperti matahari, angin, bulan, petir, kilat serta bumi yang mewadahinya— dapat menjadi simbol yang paling transparan dari yang Ilahi.”91 Bukankah agama Shinto dan kuilnya yang dipuji-puji Smith sebagai jalan menuju Ilahi justru sering menjadi tertawaan orang-orang Jepang modern? Dengan perenialisme dan supranaturalisme yang disebarkan oleh Blavatsky, MTI juga sesungguhnya telah menyerap ide-ide spiritualisme Eropa dan Amerika, meskipun kemudian disesuaikan dengan konteks agama-agama Nusantara. Walaupun perenialisme memiliki jalur yang panjang kepada para filsuf Yunani, tetapi peran Blavatsky secara subjektif amat kuat. Seperti diketahui, Blavatsky adalah orang Rusia yang memiliki pengetahuan dan bakat yang luar biasa dalam hal mistik. Dua karyanya tentang “rahasia mistik”: Isis Unveiled (1877) dan The Secret Doctrine (1888) menjadi semacam buku wajib yang dibaca oleh anggota teosofi di seluruh dunia. Sekutu Blavatsky yang sama-sama dari Eropa adalah William Quan Judge yang lahir di Dublin, Irlandia (1851) dan Annie Besant yang lahir di London, Inggris (1847). Sedangkan teman karib Blavatsky yang orang Amerika adalah Henry Olcott yang lahir di New Jersey pada 1832. Setelah Blavatsky, mereka bertiga adalah tokoh pertama dan terpenting organisasi teosofi internasional. Blavatsky dan ketiga temannya itulah yang paling populer dan paling aktif menyebarkan ajaran teosofi ke seluruh dunia dengan muatan spiritualisme dan supranaturalisme ala Eropa dan Amerika. Adanya fakta mengenai jumlah keanggotaan ITS—seperti disebutkan dalam catatan Herman—bahwa pada 1930 dari 2090 anggota, 1006-nya adalah orangorang Eropa, dan kebanyakan didominasi oleh orang-orang Belanda. Sekali lagi, kita bisa berasumsi bahwa pengaruh spiritualisme dan 132

Wajah Studi Agama-Agama

keagamaan model Eropa—sedikit atau banyak—sulit dihindari oleh para anggota teosofi yang asli Indonesia. Dalam studi agama-agama, perenialisme sendiri dianggap— oleh beberapa ahli studi agama— telah memberi manfaat yang besar bagi kerja sama harmonis antar kaum beriman. Kata-kata penting dari Nabi Malachi, “Tidakkah kita semua berasal dari bapak moyang yang satu? Tidakkah kita diciptakan oleh Tuhan yang satu juga? Mengapa kita kemudian saling tidak memercayai satu sama lain?” diulang kembali oleh seorang rabbi Yahudi beberapa dekade yang lalu ketika ia memberi selamat kepada seorang Kardinal Katolik dalam kesempatan pentahbisannya. Friedrich Heiler (1892-1967), seorang ahli Fenomenologi Agama berkebangsaan Jerman yang meyakini bahwa doktrin tentang kesatuan dan titik-temu agamaagama membawa manfaat praktis, berpandangan bahwa keyakinan akan kesatuan ketuhanan dan hubungan substansial diantara agama-agama seharusnya membangkitkan kesadaran akan kebersamaan dalam satu keluarga dan kewajiban untuk berdiri bersama dalam hangatnya persaudaraan.92 Menurut Heiler, salah satu manfaat dari studi agama yang mendalam adalah ditemukannya hubungan yang erat di antara agamaagama yang berbeda. Para ahli sejarah agama-agama telah menemukan kesejajaran yang tak terhingga jumlahnya antara Kristen dan agama-agama lain. Dalam Kristen misalnya, tidak ada doktrin tentang ketuhanan, etika, ritus-ritus dan lembaga gerejawi yang tidak memiliki padanan yang sejajar dengan agama-agama lain. Begitu pula sarjana-sarjana non-Kristen telah menemukan analogi-analogi yang tak terhitung mengenai eratnya hubungan di antara agamaagama.93 Jika ditembus (menukik) lebih ke dalam lagi, maka Heiler meyakini bahwa salah satu tugas terpenting studi agama adalah menunjukkan adanya kesatuan esensial dari semua bentuk-bentuk agama. Studi agama akan sampai pada satu tujuan yang sama, yaitu pengetahuan yang murni akan Kebenaran. Kesatuan esensial, transenden, atau spiritual ini tentu saja pertama-tama disingkapkan oleh Dr. Media Zainul Bahri

133

mistisisme atau sufisme. Menurut Heiler, Kabbalah dan Khasidisme Yahudi dan sufisme Islam ternyata memperlihatkan kesamaan yang mengejutkan dengan mistisisme Kristen, dan mistisisme ini pada gilirannya menggelombangkan kesatuan di sekitar bentuk-bentuk terkait dari mistisisme yang menjadi inti agama-agama Timur: Taoisme, Brahmanisme, Hinduisme dan Buddhisme. Dalam studi agama yang menekankan pada sufisme atau perenialisme ini, akan ditemukan kesatuan agung yang mencakup keseluruhan bentuk-bentuk dan tingkat keagamaan. Pada agama-agama dengan tingkat yang tinggi, kesatuan agung itu diikat secara lebih erat lagi.94 Meskipun terdapat perbedaan-perbedaan yang mencolok antara agama-agama mistik penebusan (mystic religions of redemption) dengan agama-agama nabi pewahyuan (prophetic religions of revealation) dan bahkan di antara kelompok yang kedua pun terdapat perbedaan-perbedaan besar di antara agama-agama yang memiliki hubungan dekat: Yahudi, Mazdaisme-Zoroaster, Kristen dan Islam, terdapat juga kesatuan ultim, kesatuan pada Realitas Transenden, Yang Kudus, Yang Ilahi. Realitas itu juga imanen dalam hati manusia, juga bermakna Cinta Tertinggi, Kebenaran, Keindahan, dan Kebaikan Tertinggi. Adanya kesatuan itu telah diakui oleh banyak sarjana agama di Barat masa lalu. Scheilermacher menyatakan bahwa semakin pesat kemajuan dalam studi agama, akan semakin tampak bahwa dunia keagamaan adalah satu kesatuan yang tak terbagi. Suara yang sama diutarakan oleh Max Müller, sarjana besar Anglo-Jerman dalam bidang ilmu agama dan “Bapak” ilmu perbandingan agama modern, katanya, “Hanya ada satu agama universal dan abadi yang melingkupi, mendasari, dan melampaui semua agama-agama yang di situ mereka termasuk atau dapat dimasukkan.” 95 Ketika menutup pidato pengukuhannya sebagai Presiden Seksi Iranian dari International Oriental Congress di London pada 1874, Max Müller kembali menyuarakan kesatuan dan damai, dengan mengutip Rigweda (X, 91):

134

Wajah Studi Agama-Agama

Kesatuan telah datang, kesatuan telah bicara maka biarkan ruhmu setuju...! Biarkan usahamu menjadi satu; menyatukan hatimu. Biarkan usahamu menjadi satu; dengan mana engkau dengan erat berpadu... damai, damai, damai.96

Dalam menghargai kesatuan agung agama-agama ini, Heiler merekomendasikan bahwa umat beragama patut merenungi dan mengulang doa Kardinal Nicholas de Cusa: “Engkaulah, wahai Tuhan, yang menjadi tujuan berbagai agama melalui berbagai jalan, dan menamai dengan berbagai nama, karena Engkau tetaplah Engkau, yang tak terpahami dan tak tergambarkan Yang maha pemurah, tunjukkanlah wajah-Mu...Ketika Engkau dengan kemurahanMu ingin melakukan hal itu, maka perang, dendam yang penuh kebencian, dan segala kejahatan akan musnah, dan semua akan mengetahui bahwa hanya ada satu agama di antara aneka bentuk ritus keagamaan (una religio in rituum varietata).”97 Kesatuan ketuhanan, dalam mistik agama-agama tak mungkin terpisah dengan Cinta; suatu paham, denyut, aliran suara dan sentuhan utama kaum mistik. Penyatuan dengan Tuhan, dalam agama apa pun, harus melalui Cinta yang sublim. Cinta ini tidak semata dalam pengertiannya sebagai ritus-ritus atau jalan menuju Tuhan yang dilakukan dengan cinta, bukan kewajiban apalagi keterpaksaan, namun juga sekaligus dan selalu sebuah jalan kepada sesama. Sesama bukan hanya seluruh manusia tanpa kecuali, melainkan seluruh makhluk. Jalan keutamaan mistik tidak hanya berhenti dalam via contemplativa “penerbangan dari yang sendiri kepada yang sendiri,” seperti kata Plotinus, melainkan ia menemukan kelanjutan niscayanya dalam pelayanan kepada sesama, via activa.98 Para nabi dan orang suci, apakah Buddha Gautama, Kong Fu Tze, Lao Tzu, Yesus, Muhammad dan yang lain tentu saja telah mereguk Cinta Tuhan via contemplativa, namun mereka juga harus turun ke

Dr. Media Zainul Bahri

135

bumi untuk membantu yang lemah dan tertindas, menghibur yang sakit dan memberikan pengorbanan terbaiknya via activa. Dalam pandangan kaum mistik, semakin dalam ketundukan, kekaguman dan cinta seseorang kepada Tuhan, semakin dalam pula hormatnya kepada agama lain. Lebih dari dua ribu tahun yang lalu, Raja Ashoka, murid Buddha yang cemerlang menunjukkan dengan jelas kepada rakyatnya bahwa barang siapa yang menghormati agama lain berarti menghormati agamanya sendiri. Sebaliknya, siapa yang mencela keyakinan orang lain berarti mencela keyakinannya sendiri. Pernyataan ini sejatinya masih tetap relevan di masa yang ditandai dengan berbagai intoleransi keagamaan yang menyedihkan. 99 Menurut Heiler, seseorang yang telah sampai menembus misteri agamanya, pasti tidak akan memiliki keinginan lagi untuk “memurtadkan” para pemeluk agama lain demi masuk agamanya. Yang diinginkan orang “arif” itu hanya memberi dan menerima; memberi untuk menghadirkan ajaran agama yang paling dalam dan indah kepada orang lain, sekaligus belajar dan menerima sifat-sifat paling sublim dari keimanan orang lain.100 Jika para pemeluk agama-agama yang majemuk mau belajar untuk saling memahami dan bekerja sama, mereka akan menyumbangkan banyak hal yang dapat menyelamatkan nilai-nilai luhur kemanusiaan yang telah dirusak oleh macam-macam kepentingan rendah dan oleh paham keagamaan yang yang sempit dan kaku. Pada saat yang sama, semua agama berhak untuk terus mempertahankan individualitas atau identitasnya yang autentik. Penjelasan-penjelasan ini cukup menjadi bukti bahwa MTI melalui sebuah perkumpulan resmi (non-pemerintah)—telah merintis, menyumbang dan mengembangkan suatu model pendidikan keagamaan yang humanis, yang dapat mengapresiasi secara mendalam akan kenyataan kemajemukan agama di Nusantara, tanpa harus tercerabut dari identitas masing-masing yang autentik.

136

Wajah Studi Agama-Agama

2. Komparasi “Sederhana” Pendekatan lain adalah komparasi. Metode perbandingan ini sangat kental digunakan oleh MTI dalam menjelaskan berbagai doktrin agama yang berbeda. Secara umum—dalam berbagai publikasinya, MTI melakukan kajian perbandingan agama dalam tiga hal pokok: (1) dalam masalah ketuhanan, (2) dalam ajaran (syariat), dan (3) soal etika. Dalam soal ketuhanan misalnya, seorang penulis teosofi membedah persoalan Trimurti. Dalam sufisme Islam katanya, terdapat ajaran pancaran Nur Muhammad yang menyebabkan adanya alam semesta. Cahaya Muhammad ini memancarkan tiga sifat Tuhan atau Trimurti Tuhan atau al-Tsulutsul Aqdas. Lalu, ia bandingkan dengan Trinitas Kristen dan Trimurti Hindu. Kemudian ia berkesimpulan bahwa Trinitas dan Trimurti keduanya memiliki kedekatan makna dibanding dengan Islam: Begitoe djoega dalam agama Kristen diseboet dengan nama: Vader (Bapa), Zoon (Anak) dan Heilige Geest (Roh Kudus), ada sama roepa djoega maksoednja dengan apa jang agama Hindoe menjeboet: Shiwa, Wisnoe dan Brahma, seperti terseboet diatas itoe. Djadi tentang “Trimurti” ini jang lebih berdekatan atawa setoedjoe tjoema agama Hindoe dan Kristen101

Namun demikian, penulis itu dengan segera menekankan bahwa konsep Trimurti dalam Islam, Hindu dan Kristen dengan penamaan yang berbeda-beda sesungguhnya bermakna Satu Substansi dengan tiga sifat dan bukan “tiga benda jang diikat mendjadi satoe atawa persatoeannja tiga Allah.”102 Jadi, dalam Trinitas dan Trimurti yang harus dipahami adalah konsep dari teologi Kristen mengenai perbedaan ousia sebagai yang esensi, dan hypostatis sebagai bentuk yang menampakkan diri. Muncul pula doktrin tentang Tritunggal dari Tertullianus (120-225 M) yang salah satu pembahasannya adalah substansi dan persona. Dari Tertullianus lahir istilah substansi atau zat dan persona atau pribadi yang selalu disematkan kepada Dr. Media Zainul Bahri

137

Tritunggal. Ia merumuskan bahwa Tuhan Allah adalah satu di dalam substansi-Nya atau zat-Nya dan tiga di dalam persona-Nya atau pribadi-Nya atau oknum-Nya (una substansia, tres personae atau one substance, three persons).103 Seorang anggota teosofi beragama Konghucu menunjukkan kesamaan konsep Tuhan dalam Konghucu, Islam dan Yahudi. Menurutnya, jika dalam al-Qur‘an ada surat al-Ahad (maksudnya alIkhlas) dan banyak ayat yang menerangkan keesaan Tuhan dan kekekalan-Nya, juga dalam Yahudi ada Syema bahwa Tuhan itu Esa dan juga konsep tentang ke-Baka-an-Nya, maka dalam Konghucu ada konsep Sing atau Ch’ing. Ch’ing itu bermakna Sing, yaitu Yang Kekal, Yang Sejati yang Cuma Satu saja. Hanya orang-orang Tionghoa yang bisa merasakan Ch’ing dan menerangkan kesejatianNya. Pada akhirnya, nabi Kong Fu Tze menunjukkan umat manusia bahwa mereka berasal dari Pokok yang sama dan karenanya mereka benar-benar bersaudara.104 Dalam beberapa publikasi MTI, kita menemukan beberapa penulis Konghucu melakukan perbandingan konsep mengenai ketuhanan dan keimanan Konghucu dengan agama-agama lain dengan tujuan untuk menunjukkan persamaan kemanusiaan dan persaudaraan. Masih seputar ketuhanan, seorang penulis Muslim, Raden Djojosoediro menyebut lafazh Allah terdiri atas tiga huruf, yaitu alif, lam dan ha. Menurutnya, tiga huruf itu menunjukkan tiga cahaya yang dipahami dalam agama Hindu sebagai Agni, Maruta dan Waruna. Yang tiga itu disebut juga Yang Mengadakan (Brahma), Yang Memelihara (Wisnu), dan Yang Membinasakan (Siwa). Inilah Trimurti yang bermakna tiga wajah Tuhan. Yang tiga itu sejatinya berasal dari Satu substansi, yaitu biasa disebut Nur Muhammad, Kristus dan Buddha; kualitasnya sama saja.105 Penulis ini memiliki dua pengertian tentang Tuhan, yaitu pertama, pengertian Tuhan orang Islam semakna dengan Tuhan orang Hindu Indonesia (karena konsep Trimurti khas Hindu Indonesia, tepatnya Bali). Akan tetapi tentu saja kesamaan atau kemiripan makna itu dalam esensinya (esoterik), bukan dalam pengertiannya yang harafiah (eksoterik). Kedua, pe138

Wajah Studi Agama-Agama

nyebab munculnya alam semesta yang biasa disebut Nur Muhammad dalam sufisme Islam ternyata kualitas Cahaya Muhammad itu ia samakan juga dengan Kristus dan Buddha. Jadi, dua tokoh terakhir juga semakna dengan Nur Muhammad. Pandangan yang agak mirip dengan di atas datang dari Louis Baehler ketika ia menulis tentang hubungan esensial di antara agama-agama. Ia menyatakan bahwa semua utusan Tuhan, Avatara dan orang suci seperti Rama, Krisna, Buddha, Kristus, Muhammad dan lain-lain, dalam kaitannya dengan Nur Muhammad diibaratkan seperti ombak dengan lautnya.106 Pernyataan ini memiliki pengertian bahwa para nabi suci itu sesungguhnya memiliki dua natur, yaitu natur esensi atau hakikat mereka sebagai penyebab terjadinya alam ini dan natur historis mereka yang menjelma atau turun ke dunia sebagai utusan Tuhan. Dengan kata lain, dapat dikatakan ada Yesus Hakikat dan Yesus historis, ada Muhammad sebagai Esensi dan Muhammad historis, demikian juga Buddha dan lain-lain. Seorang penulis Muslim lainnya mencoba menunjukkan bahwa Tuhan yang Sama pada setiap agama adalah Tuhan yang menciptakan alam ini. Ia merujuk kepada al-Qur‘an surat al-Hadid ayat 1 sampai 5; Yohanes 1: 5 dalam Kristen; Tevijja Sutta dalam agama Buddha; Amos 4:13 dalam Yahudi; Spentomad Gatha 1:10 dalam agama Zoroaster; Bhagawadgita 7,8,9 dalam agama Hindu; dan Sukhmani, Guru, V dalam agama Sikh. Penulis ini meyakinkan pembacanya bahwa dalam kitab-kitab suci tersebut Tuhan menegaskan keberadaan-Nya dan kekuasaan-Nya sebagai Pencipta dan Pengatur semesta raya.107 Pada bagian lain, MTI juga sering sekali menyebut figur para nabi utusan Tuhan dan guru-guru suci dari berbagai agama untuk dipahami kesamaan esensi ajaran-ajaran mereka dan perbedaan lahiriah beberapa doktrin keagamaan. Seorang anggota teosofi dari etnis Tionghoa (beragama Konghucu) membuat tulisan dengan judul “Khong Foe Tze, Jezus Christus, Krishnadji” menjelaskan secara detail kesamaan esensial ajaran para nabi dan guru suci serta adanya ajaran-ajaran partikular yang berbeda disebabkan perbeDr. Media Zainul Bahri

139

daan tempat dan budaya.108 Penyebutan figur para nabi dan orang suci kelihatannya menjadi trend di kalangan kaum teosofi dan selalu dimuat pada tiap publikasi MTI untuk menegaskan bahwa ajaran mereka—terutama mistik—memang berasal dari para nabi, dan para nabi sejatinya memiliki kesatuan esensi ajaran yang sama di mana umat manusia dapat memahami dan menjalin persaudaraan kemanusiaan universal. Menurut kaum teosofi, para utusan Tuhan atau wakil Tuhan— dalam bahasa mereka—adalah harus seorang manusia dan lahir dari seorang manusia (perempuan) karena hanya manusialah dengan segala kemanusiaannya dapat menampung kualitas ketuhanan. Maka dalam sejarah pendiri agama-agama, Yesus, meskipun Ia Tuhan, dilahirkan dari seorang perempuan, begitu pula Siddharta Gautama, Sri Krisna, Osiris dalam agama Mesir kuno, Muhammad, dan semua agama memiliki konsep tentang “wakil Tuhan” yang dilahirkan oleh manusia.109 Hal itu juga berarti hanya manusia yang dapat menyapa manusia dan mengajak kepada jalan Tuhan. Doktrin lain yang sering dijadikan studi komparasi adalah soal karma dan reinkarnasi. Sejatinya dua ajaran itu berasal dari Hindu110 dan Buddha111 yang meyakini sejak awal bahwa setiap perbuatan manusia akan berbuah pahala atau dosa (karma) dan karena itulah setiap manusia akan menikmati pahala atau menanggung dosa pada kehidupannya yang akan datang (sebab belum tuntas diterimanya pada kehidupan terdahulu). Para penganut teosofi, apa pun agama mereka, sangat meyakini akan dua hal itu. Tema ini merupakan salah satu topik yang sering dibicarakan atau paling favorit dalam setiap publikasi MTI. Menurut mereka, dua ajaran itu sesungguhnya juga dikandung oleh semua agama manusia. Seorang penganut teosofi, Reksosiswoio, menulis sebuah artikel yang menunjukkan bahwa inti dan maksud dua doktrin itu terdapat dalam agama-agama. Ia merujuk kepada al-Qur‘an surat al-Sajdah ayat 46, Dhammapada I: 1 dan 2 (Buddha), Devi Bhagavata 1;5; 74 (Hindu), Korintias III; 8 (Kristen), Genesis IX; 6 (Yahudi), Ahunavad Gatha 30; 11 (agama Zoroaster), dan Japji, Guru I (agama Sikh).112 140

Wajah Studi Agama-Agama

Semua kitab suci itu dengan jelas menyatakan bahwa semua perbuatan manusia akan ada akibatnya; setiap orang akan menanggung akibat perbuatannya, baik di waktu dekat maupun di masa yang akan datang. Bahkan, dalam Bhagawadgita ditegaskan bahwa di alam ini mustahil adanya tindakan yang tak bersebab; hukum sebab akibat bersifat pasti. Beberapa penulis Muslim juga menunjukkan kesesuaian ajaran Islam dengan Hindu dan Buddha dalam dua doktrin tersebut. Dalam pemahaman mereka, banyak ayat al-Qur‘an yang menjelaskan fase-fase kehidupan seperti dalam surat al-Baqarah ayat 28 bahwa Tuhan menghidupkan manusia lalu mematikan, kemudian menghidupkan kembali lalu memberikan kematian terakhir. Dalam surat al-Zalzalah dua ayat terakhir menyatakan dengan jelas bahwa setiap manusia akan melihat (menerima) semua konsekuensi perbuatannya, yang baik maupun yang buruk. Lalu, penulis itu merujuk juga kepada surat al-Dhuha ayat 4 bahwa kehidupan akhirat jauh lebih baik daripada kehidupan dunia ini. Menurutnya, ayat ini bisa ditafsirkan bermacam-macam tafsir, salah satunya adalah jika kita mati meninggalkan dunia nanti kita akan hidup lagi (reinkarnasi) dan datang lagi ke dunia ini untuk menikmati segala kesenangan hidup yang lebih baik dibanding hidup yang lalu.113 Karma dan reinkarnasi merupakan satu paket yang tak terpisah. Jika tidak ada reinkarnasi atau kehidupan selanjutnya, jelaslah bahwa Tuhan tidak adil karena begitu banyak persoalan kebahagiaan dan kesengsaraan yang belum tuntas dan belum terjawab dengan memuaskan. Adanya kepastian tentang karma, hukum sebab-akibat, evolusi atau pergerakan dan reinkarnasi menunjukkan keagungan Tuhan di satu sisi dan memberikan keadilan sepantasnya kepada manusia yang belum mendapatkannya pada kehidupan masa kini di sisi lain.114 Seorang anggota teosofi Muslim terkemuka bernama A. Karim menulis artikel dengan judul “Re-Inkarnatie” namun khusus merujuk kepada pandangan sufistik Ibn ‘Arabi (1165-1240). Menurutnya, kitab Fushus al-Hikam karya Ibn ‘Arabi berisi pengetahuan tentang Dr. Media Zainul Bahri

141

reinkarnasi. Ia menunjuk seorang komentator (pen-syarah) Fushus al-Hikam yaitu al-Qaysari dalam bukunya Syarh Fushus al-Hikam yang menyatakan bahwa Nabi Ilyas tak lain adalah Nabi Idris juga, begitu pula Nabi Khidir tak lain adalah Nabi Nuh dan Nabi Ilyas, dan Nabi Ilyas sendiri tak lain adalah Nabi Dzulkifli. Jadi, para nabi itu sesungguhnya ber-inkarnasi; ruhnya sama hanya memakai jasad dan nama baru. Menurut Karim, Nabi Muhammad memerintahkan (secara musyahadah) kepada Ibn ‘Arabi di Damaskus melalui Fushus al-Hikam untuk menyebarkan paham “Reinkarnasi” kepada seluruh dunia. Paham reinkarnasi di sini bukan ajaran mengenai “tanasuk” yaitu “kerasukan” atau “kesurupan” disebabkan masuknya nyawa yang lain seperti orang atau harimau “jadi-jadian” atau siluman, dan bersifat sesaat. Melainkan, reinkarnasi yang benar-benar dipahami dalam doktrin teosofi atau Hindu, yaitu berpindahnya ruh dari jasad lama kepada badan baru dengan membawa semua karma terdahulu.115Pandangan A. Karim ini patut dipertanyakan/ diperdebatkan lebih lanjut. Benarkah kitab Fushus berisi ajaran mengenai Reinkarnasi? Sebab para komentator Ibn ‘Arabi yang diakui seperti ‘Afifi, ‘Abd al-Razaq al-Kasyani, William Chittick dan lainlain tidak pernah mengemukakan hal itu. Seorang penulis Muslim lainnya membandingkan ajaran Hindu tentang Karma-yoga dan Triguna dengan ajaran al-Qur‘an. Karma-yoga yang berarti berbakti kepada Tuhan atau bekerja buat beribadah kepada Tuhan merupakan “jalan utama” dalam hidup. Namun, untuk menempuh jalan utama, hidup manusia selalu dihalangi oleh Triguna, yaitu (1) Tamas, tabiat ingin selalu senang dan merasakan kenikmatan, (2) Rajas, tabiat tamak, loba, ingin memiliki semuanya, dan (3) Satwam, tidak suka disamai atau dikalahkan oleh orang lain). Menurut penulis itu, ajaran di atas serupa dengan yang tercantum di dalam al-Qur‘an surat Ali ‘Imran ayat 12 dan kandungan makna surat al-Takatsur yang menyatakan bahwa manusia dihiasi dengan berbagai macam kesenangan syahwati, seperti ingin memiliki istri yang cantik, anak yang banyak, harta yang banyak dan berkompetisi untuk mendapatkan kemewahan dunia 142

Wajah Studi Agama-Agama

lainnya. Padahal, semua itu hanya kesenangan duniawi yang sesaat dan menipu.116 Di dalam al-Qur‘an terdapat banyak ayat yang mengingatkan manusia untuk tidak tertipu oleh kenikmatan duniawi sehingga lalai berbakti kepada Tuhan. Ajaran al-Qur‘an ini sesungguhnya juga ditegaskan oleh banyak ajaran Hindu selain doktrin tentang Karma-yoga dan Triguna. Jika kita perhatikan, studi perbandingan yang dilakukan selalu menonjolkan persamaan-persamaan ajaran atau makna yang dikandungnya. Dalam publikasi mereka, jarang sekali kita menemukan perbedaan ajaran atau doktrin agama-agama yang dimunculkan, apalagi perdebatan yang sengit sehingga mengarah kepada tulisan yang bersifat kritis, atau tulisan yang menunjukkan kelemahan ajaran agama lain. Hal itu kemungkinan kuat tidak akan dimuat dalam publikasi MTI. Ada juga beberapa perbedaan ajaran dalam dua atau tiga agama yang dimunculkan, namun selalu dicari kesamaan makna esensinya. Model komparasi ini sesungguhnya tidak lepas dari model perenial yang mereka lakukan. Karena dalam filsafat perenial, perbedaan ajaran lahiriah di antara agama-agama tidak bersifat mutlak, namun telah diikat oleh adanya satu ikatan (kesatuan), apakah itu bernama kesatuan ketuhanan, kesatuan esoterik, kesatuan spiritual atau kesatuan transenden. Maknanya sama; ituitu juga. Begitu pula komparasi dalam hal etika. Mereka mengambil ajaran etika, terutama cinta kasih dari pandangan kitab-kitab suci, para nabi dan figur-figur suci, tetapi konsep-konsep atau kandungan makna agama-agama yang memiliki kesamaan doktrin yang mereka tonjolkan. Teosofi sendiri, selain kepada mistik, juga sangat perhatian kepada soal-soal etis ini. Bagi mereka berbakti kepada Tuhan juga mesti berbakti kepada manusia.117 Semua agama dan keyakinan, apakah yang kecil atau besar selalu mengajarkan keluruhan moral dan cinta kasih.118 Kaum teosofi juga selalu merujuk kepada ucapan dan perilaku Buddha, Konghucu, Kristus, Muhammad dan orang-orang suci dari Hindu. Semua mereka, tidak hanya mengajarkan, namun juga menunjukkan kesungguhan hidup dalam kejuDr. Media Zainul Bahri

143

juran, kemurahan, kerelaan berkorban tanpa pamrih, cinta kasih yang sesungguhnya dan kualitas keluhuran moral lainnya. 119 Bagi mereka, Tuhan amat mencintai seorang hamba yang sungguh banyak berbakti kepada kemanusiaan, tak peduli apakah ia Muslim, Kristen, Hindu, Buddha atau penganut Konghucu. Yang dilihat Tuhan adalah pengabdiaannya kepada sesama. Seorang penulis teosofi membuat tamsil mengenai seorang majikan yang memiliki karyawan. Pekerja yang berdedikasi, jujur, loyal, mencintai pekerjaannya dengan sepenuh hati dan kesungguhan, itulah yang dicintai majikan, tak peduli apakah karyawan itu beragama Hindu, Buddha, Islam atau yang lainnya.120 Seorang anggota teosofi lain menunjukkan ajaran etis dari Buddha, Konghucu dan Islam mengenai larangan membunuh binatang. Baginya, binatang itu apakah ayam, babi, kerbau, kambing dan lainlain adalah mungkin reinkarnasi dari manusia. Karena itu, manusia tidak memiliki hak untuk menahan kemajuan (evolusi) jiwa-jiwa hewan itu ke tingkat yang lebih tinggi. Dalam ajaran Konghucu, setiap hewan dan manusia terlahir dengan jiwa, nama dan nasib masing-masing, misalnya Che Cheng adalah hewan reptil, Hoa Cheng hewan yang hidup di air, Loan Cheng hewan yang terbang, T’ao Chen hewan yang berkaki empat, Koan Koa How orang yang miskin dan hina, dan Kong I (Kiang I) adalah orang yang berpangkat atau kaya. Menurutnya, bukankah dalam Islam juga ada larangan memakan binatang-binatang tertentu dan membunuhnya?121 Maka, manusia sesungguhnya tak boleh sembarangan membunuh hewan karena mereka punya jiwa yang akan berevolusi. Salah satu kesungguhan kaum teosofi dalam soal kualitas moral ini, mereka mendirikan organisasi sayap namanya Mimpitoe atau M 7 pada 1 Januari 1909. M 7 berarti kaum teosofi akan bersungguhsungguh memerangi 7 hal, yaitu: (1) Main (berjudi), (2) Minoem (mabuk), (3) Madon (main perempuan), (4) Madat (mabuk karena menghisap ganja dan sejenisnya), (5) Maling, (6) Modo (mencela atau mengumpat karena dengki dan benci), (7) Mangani (makan berlebihan dari yang dibutuhkan).122 144

Wajah Studi Agama-Agama

Jika kita perhatikan, model komparasi dalam etika juga tidak benar-benar sebuah studi perbandingan yang kritis. Karena MTI memiliki perhatian serius terhadap etika dan moral para pemeluk agama, mereka mengambil legitimasi dari setiap ajaran agama tentang pentingnya memiliki keluhuran moral dan kelembutan hati. Lagi-lagi, mereka mengambil semua ajaran agama yang sama atau memiliki kandungan makna yang sama untuk memperkuat paham, pandangan dan sikap keagamaan mereka. Karena itu, kita tidak menemukan sebuah model komparasi kritis sebagaimana lazimnya sebuah metode komparasi dilakukan di masa kini. Kita tidak melihat, bagaimana seorang penulis Muslim, Hindu, Kristen atau Konghucu melakukan identifikasi (identification), pemilahan (selection), pembagian atas topik atau tema-tema tertentu, lalu menjelaskan (explaining), melakukan komparasi (comparison) terhadap suatu tema ajaran agama lain dan menyuguhkan analisis yang kritis dari berbagai sisi. Komparasi yang mereka lakukan berbentuk kerangka yang “sederhana” yang terus menarik benang merah adanya hubungan substansial dan kesatuan agamaagama. 3. India yang “Berbeda” dan Westernisasi Hal penting lain yang patut diperhatikan adalah hubungan teosofi dengan India, atau tepatnya hubungan yang saling memengaruhi antara nilai-nilai India dan teosofi. Herman Tollenaere, seorang Belanda yang ahli teosofi Indonesia, berpendapat bahwa orang-orang Indonesia—pada awal abad ke-20—memiliki pandangan tentang negeri India seperti yang diinformasikan oleh teosofi. Pandangan mereka tentang India berdasarkan dari sejauh mana mereka menerima informasinya dari teosofi Hindia Belanda. Meskipun, secara geografis dan ideologis, terdapat hubungan yang erat antara teosofi dengan India, tetapi tidak otomatis bahwa teosofi itu berakar dari India, setidaknya sampai sebelum tahun 1942-an. Menurut Herman, untuk mengetahui sejauh mana teosofi menyebarkan pemikiran dan nilai-nilai India ke bumi Nusantara, seseorang harus melihat Dr. Media Zainul Bahri

145

bagaimana teosofi merepresentasikan dan memediasi pengaruhpengaruh dari agama, sastra dan politik India.123 Menurut Herman, terdapat sekelompok kecil intelektual dan seniman India124 yang dipengaruhi oleh teosofi. Salah satunya adalah Rabindranath Tagore, seorang pujangga India, yang pernah mengunjungi Jawa dan Bali pada 1927, dan diterima dengan sangat baik dan hangat oleh para intelektual Jawa dan Bali saat itu.125 Tagore saat itu berdiskusi dengan kaum terpelajar Jawa dan Bali tidak semata tentang ajaran-ajaran teosofi, namun juga soal politik. Misalnya perjuangan politik India untuk merdeka dari Inggris. Diskusi itu, tentu saja, juga memiliki pengaruh terhadap pandangan keagamaan dan politik tokoh-tokoh teosofi Jawa dan Bali. Di India sendiri menurut Herman, para anggota teosofi, dalam loji-loji, selalu mendiskusikan soal-soal politik India, terutama isuisu yang menyangkut kemerdekaan India dari Inggris. Saat itu terjadi perdebatan tajam antara Mahatma Gandhi yang menginginkan kemerdekaan penuh India atas Inggris dengan Annie Besant yang menentangnya. Orang-orang teosofi tentu saja berpihak kepada Besant. Dalam banyak tulisannya, Besant memandang (atau memuji) bahwa India adalah negeri utama tempat tinggal ras Arya yang direpresentasikan secara beradab oleh kerajaan Inggris (yang menguasai India).126 Watak politik tokoh-tokoh teosofi rupanya selalu sama, yaitu sikap akomodatif dengan kaum kolonial. Jika di Hindia Belanda ditunjukkan oleh pandangan-pandangan Labberton mengenai sikap akomodatif sebagai jalan terbaik, maka Annie Besant juga menunjukkan hal serupa di India. Mengenai keunggulan ras Arya ini, seorang mantan asisten Residen di Hindia Belanda yang juga anggota teosofi, C.A.H. von Wolzogen Kühr menyatakan sebuah mitos kuno bahwa bangsa India yang membawa peradaban India ke pulau-pulau di Indonesia (dari abad ke-4 sampai abad ke15) adalah bangsa India ras Arya. Dan sekarang (dari abad ke-16 sampai abad ke-20) katanya, yang membawa peradaban ke tanah Hindia Belanda adalah bangsa Belanda yang juga dari ras Arya.127

146

Wajah Studi Agama-Agama

Tentu saja pandangan itu memuat lebih banyak mitosnya daripada kebenarannya. Menurut Herman, jika benar bahwa kedatangan Islam ke Indonesia dibawa oleh para pedagang India dari Gujarat, maka dipastikan para pedagang Muslim itu bukan anggota teosofi, karena di India tidak ada Muslim yang jadi anggota teosofi. Di India sendiri, pandangan tentang teosofi sangat beragam, mulai dari yang menerima dan memujinya hingga yang mengkritiknya. Swami Vivekananda, tokoh Hindu India terkemuka adalah salah satu di antara yang mengkritik tajam teosofi. Katanya, “Teosofi India, yang sebenarnya adalah cangkokan dari spiritualisme Amerika dan sering mengutip kata-kata dari bahasa Sanskerta, sesungguhnya tak lebih dari jargon spiritualitas belaka!” Vivekananda menyesalkan bahwa banyak orang di luar India, termasuk orang-orang Hindia Belanda (Indonesia) yang memandang India dan agama Hindu melalui kacamata teosofi. Padahal hal itu tidak benar. Secara sinis ia menyatakan bahwa “orang-orang Hindu tidak membutuhkan hantu-hantu yang mati dari Rusia dan Amerika.”128 Jadi, bagi Vivekananda, teosofi itu akarnya bukan dari India, melainkan dari spiritualisme Barat. Adanya pandangan bahwa teosofi banyak dipengaruhi oleh pemikiran India dan Hindu juga dibantah oleh fakta-fakta berikut ini. Dari sisi ajaran misalnya, terdapat beberapa istilah yang sama antara teosofi dengan Hindu-Buddha. Padahal menurut Leadbeater misalnya, seorang tokoh teosofi di Hindia Belanda, sangat sering istilah yang sama itu memiliki makna yang berbeda. Misalnya, konsep tentang Cakra (Chakra). Menurut filosofi yoga India, Cakra adalah titik imajiner yang dipakai sebagai media untuk memusatkan pikiran dan hati dalam berhubungan dengan para dewa. Tetapi dalam doktrin teosofi, Cakra berarti sesuatu yang sangat halus (eter) yang benar-benar hidup dalam jiwa manusia. Pengertian teosofi tentang Cakra itu persis sama dengan apa yang dimengerti oleh para pelaku New Age di Barat akhir-akhir ini.129 Ajaran lain yang sama tetapi berbeda adalah soal karma. Dalam teosofi, karma memiliki pengertian yang lebih filosofis dan ideal diDr. Media Zainul Bahri

147

juga judul tulisan hanya dengan memakai “Agama Buddha,” atau “Tentang Agama Islam,” atau “Hindu,” “Baha’i,” “Kristen” atau “Konghucu.” Jika telah selesai satu tulisan tentang satu agama, maka tulisan selanjutnya tentang agama lain. Begitu pula, jika selesai tentang satu tema, tulisan selanjutnya tentang tema lain. Sering sekali kita menemukan tulisan yang “bersambung.” Tetapi, sambungannya tidak langsung pada tulisan berikutnya, melainkan dipotong dulu oleh dua sampai empat tulisan. Kita sebagai pembaca juga tidak bosan dengan hanya membaca satu agama, keyakinan atau satu paham saja atau satu tema saja. Keragaman dalam bentuk penerbitan sangat terasa oleh pembaca, dan hal ini dapat memperkaya horison tentang harmoni dan toleransi dalam pengertian yang sesungguhnya. Kondisi itu berbeda dengan majalah-majalah keagamaan yang terbit pada masa Orde lama hingga tahun 1980-an. Sering kali pada majalah era itu tertera tulisan “Hanya untuk kalangan sendiri,” atau “Hanya untuk kalangan terbatas,” dan biasanya isinya juga tentang paham keagamaan yang eksklusif, juga sering kali menyerang paham atau keyakinan orang lain yang berbeda.

F. Masa Suram Gerakan Teosofi 1. Kecaman dan Reaksi Sebagaimana gerakan Teosofi Internasional, gerakan Teosofi di Indonesia juga tak luput dari kecaman dan reaksi dari berbagai pihak. Selain datang dari golongan agama konvensional seperti Islam dan Katolik, reaksi juga datang dari pihak pemerintah Hindia Belanda serta golongan nasionalis Indonesia.155 Nugraha menguraikan bahwa topik kecaman dan reaksi sesuai dengan konteks dan waktu. Pada awalnya, yang dipermasalahkan soal organisasi teosofi sebagai suatu organisasi kebatinan. Pada perkembangan selanjutnya kecaman menjadi bervariasi dengan motif yang meluas, tidak sekadar masalah kepercayaan/keyakinan. Hal itu tidak dapat dilepaskan dengan perkembangan pergerakan nasional dan keadaan Indonesia itu sendiri. Di tahun-tahun awal kemunculannya, organisasi teosofi di Hindia hampir tak pernah men162

Wajah Studi Agama-Agama

dapat kecaman atau menimbulkan reaksi, mungkin karena sebagian besar anggotanya adalah orang Eropa (Belanda) dan kegiatannya boleh dikatakan agak tertutup, dan adanya kenyataan bahwa kegiatan mereka tak lebih dari bidang kebatinan (okultis) semata.156 Hantaman yang keras dari kaum agama konvensional bahwa teosofi adalah ajaran “sesat” dan “membahayakan” eksistensi agama-agama serta “penggembosan” dari kaum nasionalis Indonesia membuat gerakan teosofi Indonesia terus melemah. Jika di masamasa sebelumnya organisasi ini selalu memperlihatkan aktivitas luar biasa di segala bidang, tampaknya sekarang hanya meneruskan segala kegiatan mereka di masa sebelum redup, misalnya di bidang pendidikan dan pengajaran. Sekolah-sekolah milik Teosofi tetap berdiri dan menerima murid. Lewat lembaga inilah proses pengaruh gerakan teosofi tetap berlanjut di kalangan masyarakat, terutama proses transformasi ide-idenya hingga gerakan ini benar-benar hanya tinggal catatan sejarah.157 Seiring dengan hilangnya gerakan teosofi Indonesia, selesai sudah studi Perbandingan Agama yang cukup intensif pada masa itu. Secara resmi, studi PA kemudian dibuka oleh pemerintah Indonesia pada 1961 yang dipelopori oleh Mukti Ali, setahun setelah berdiri PTAIN [Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri] (1960) di Yogyakarta dan ADIA di Jakarta. 2. Tanggapan Terhadap Kecaman Sejauh penelusuran penulis, hampir semua tuduhan dan kecaman terhadap MTI bersifat emosional dan tidak sepenuhnya berdasarkan kenyataan. Misalnya, teosofi sering dituduh sebagai upaya peng-kristenan kaum pribumi, atau teosofi identik dengan agama Kristen, atau teosofi lebih banyak memublikasikan agama Kristen, Hindu dan Buddha, dan hanya sedikit menjelaskan ajaran Islam. Jika kita membaca secara cermat dan detail semua publikasi MTI terutama PTHN, PTBI, KT dan PH, dan kita jadikan publikasipublikasi tersebut sebagai ukuran seberapa sering publikasi/penjelasan suatu agama, maka kita akan menemukan fakta sebaliknya. Dr. Media Zainul Bahri

163

Agama Kristen sering disebut, terutama menyangkut kehidupan Yesus, ajaran Trinitas dan cinta kasih dalam PTHN (1918) nomor 1, PTHN (1922) nomor 1 dan 2, KT (1931) nomor 1, KT 1932 nomor 1, dan PTTI (1954) nomor 32 dan 33. Hanya pada nomor-nomor ini secara khusus membicarakan agama Kristen. Tulisan khusus yang membicarakan agama Hindu adalah PTHN (1917), PTHN (1918) pada halaman 38-40 ada tuduhan bahwa teosofi hanya menyiarkan paham Hindu, PTHN (1920), PTHN (1921), PTHN (1925), PTHN (1926), PTHN (1928), KT (1931 dan 1932). Yang banyak dibicarakan adalah soal Trimurti, karma, reinkarnasi, Weda dan orang-orang suci Hindu. Tulisan khusus yang membahas agama Buddha adalah PTHN (1926), PTHN (1927), PTHN (1923), PTHN (1925), KT (1929, 1931, dan 1932), dan PTTI (1954). Biasanya yang banyak dibicarakan adalah riwayat Sidharta Gautama, ajaran tentang Jalan Tengah, karma, reinkarnasi dan kesunyataan. Tulisan khusus lain yang cukup luas adalah tema tentang “Teosofi dan titik-temu agama-agama.” Tema ini ditulis oleh penulis Hindu, Kristen, Buddha, Konghucu dan Islam, di mana mereka membicarakan secara luas agama masing-masing—terutama aspek mistiknya—yang dihubungkan dengan teosofi, atau dihubungkan antara satu agama dengan agama lain, tentu saja hubungan esoteriknya. Tema tentang “Teosofi dan titik-temu agama-agama,” atau “titik-temu di antara agama-agama” dapat kita baca secara luas, dalam banyak nomor dan dalam ratusan halaman pada PTHN (1917), PTHN (1919), PTHN (1920), PTHN (1921), PTHN (1922), PTHN (1923), PTHN (1925), PTHN (1928), PTHN (1929), PTHN (1930), KT (1929, 1931, dan 1932), dan PTTI (1954). Sementara yang paling sedikit dibicarakan adalah tentang agama Tao dan Baha’i. Agama Konghucu relatif sama banyak porsinya dengan agama Buddha, tetapi Hindu lebih banyak dibanding keduanya. Mengenai kecaman bahwa teosofi adalah agama baru, ingin merelatifkan semua agama, membuat pemeluk agama menjadi ti164

Wajah Studi Agama-Agama

dak yakin dengan syari’at agamanya, merupakan ajang pemurtadan dan hal-hal semacamnya, semua tidak berdasar dan telah dibantah oleh MTI dalam penjelasan terdahulu. 3. Kasus “Khusus Islam” Hal unik dalam teosofi Indonesia adalah fakta tentang keterlibatan Islam, tepatnya tulisan-tulisan tentang Islam yang sangat luas pada majalah-majalah teosofi. Beberapa nama penulis yang sangat aktif adalah A. Latif, A. Karim, Raden Djojodiredjo, Raden Siswosoeparto, J.M., N., Kijahi Somo Tjitro, A. Rivai, Broto, dan Louis Baehler. Sulit melacak siapa di antara mereka yang benar-benar “santri” atau hanya Muslim KTP atau non-Muslim yang hanya tertarik dengan Islam. Tiga kategori itu sangat mungkin melekat pada para penulis tersebut. Dari namanya, mungkin Louis Baehler adalah orang Eropa non-Muslim yang tertarik menulis aspek-aspek Islam pada majalah teosofi. Namun, yang menarik adalah beberapa nama seperti Latif, Karim, Rivai dan Djojodiredjo membuat tulisan-tulisan tentang Islam yang menunjukkan bahwa mereka cukup menguasai aspek syariat dan hakikat Islam. Fakta ini menunjukkan sesuatu yang penting mengenai posisi dan peran Islam dalam mengembangkan organisasi teosofi di Nusantara. Disebut penting dan menarik karena hanya di Hindia Belanda (Indonesia) Islam terlihat sangat menonjol dalam organisasi ini. Seperti dilaporkan oleh Herman, bahkan di India sebagai pusat gerakan Teosofi Internasional, tak ada Muslim yang jadi anggota. Gerakan teosofi di Asia Tenggara pada masa itu, seperti di Vietnam dan Thailand juga tidak menunjukkan keterlibatan Islam (Muslim), apalagi dalam jumlah yang signifikan seperti di Nusantara. Jika membaca sebagian besar majalah teosofi di Hindia Belanda saat itu, kita menemukan tulisan khusus yang membicarakan ajaran Islam secara luas jauh lebih banyak dibanding agama-agama lain, di antaranya PTHN (1911), PTHN (1912), PTHN (1915), PTHN (1916), PTHN (1917), PTHN (1918), PTHN (1919), PTHN (1920), Dr. Media Zainul Bahri

165

PTHN (1921), PTHN (1922), PTHN (1923), PTHN (1925), PTHN (1926), PTHN (1927), PTBI (1928), PTHN (1929), dan KT (1929, 1931, dan 1932). Dalam setiap tahun publikasi tersebut terdapat lima (5) sampai 7 (tujuh) nomor membicarakan aspek-aspek ajaran Islam, dari mulai pentingnya memahami syari’at: shalat, puasa, zakat, haji dan sedekah, hingga keharusan memahami tasawuf Islam. Aspek sufisme ditekankan dengan tetap mendiskusikan aspek syariat. Inilah yang saya sebut “dari syari’at menuju hakikat.” Di saat yang sama, para penulis tentang Islam di atas, banyak membandingkan ajaran esoterik Islam tersebut dengan agama-agama lain, juga hubungannya dengan doktrin teosofi. Sekali lagi, saya menemukan ratusan halaman pembahasan mengenai Islam secara luas yang jauh lebih banyak porsinya dibanding Kristen, Hindu dan Buddha. Bersama-sama dengan pembahasan yang luas mengenai “Islam” dan “Teosofi dan titik-temu” agama-agama adalah pembahasan mengenai pengertian “Teosofi” dan tentang “Jagat Guru.” Dua tema terakhir tidak seluas pembahasannya dibanding dua tema pertama. Dengan menelusuri data-data di atas secara detail, tidak benar tuduhan jika ajaran Islam mendapat “porsi” yang sedikit, sedangkan Kristen, Hindu dan Buddha mendapat “jatah” yang lebih banyak. Sebaliknya, “Islam” merupakan bahan kajian terbesar dalam publikasi MTI bersama dengan “Teosofi dan titik-temu agamaagama.” Justru saya beranggapan bahwa majalah-majalah teosofi itu seperti corong untuk mendakwahkan Islam. Redaksi majalah tersebut telah memberi ruang yang luas sekali bagi penulis-penulis Muslim untuk menjelaskan ide-ide Islam dan teosofi. Dengan ini, dapat juga dikatakan bahwa gerakan teosofi sesungguhnya hendak “menarik” lebih banyak lagi anggota-anggota yang beragama Islam, yang kebanyakan ada di akar rumput. Beberapa data signifikan tentang peran Islam, tentang “teosofi bukan agama baru,” “teosofi tidak menginginkan konversi agama bagi para pemeluk agama di Nusantara,” dan sebaliknya “teosofi menghendaki para pemeluk agama menjadi lebih taat pada agama166

Wajah Studi Agama-Agama

nya masing-masing dengan jalan menekuni aspek hakikat agama dan teosofi” seolah membantah para apologis Muslim modern seperti Herry Nurdi (2006), Ridwan Saidi dan Rizki Ridyasmara (2006), dan Artawijaya (2010) yang selalu memandang teosofi secara “negatif.” Mereka selalu menghubungkan teosofi dengan gerakan Freemasonry dan gerakan politik kaum Zionis yang ingin ‘merusak’ Islam dan agama-agama konvensional. Dengan mengutip Muhammad Natsir misalnya, Artawijaya memandang teosofi sebagai “agama gado-gado” yang ingin “mencampuradukkan semua agama atas nama kebaikan dan nilai-nilai universal.” Akhirnya, bagi Artawijaya, gerakan teosofi hanya memiliki satu tujuan, yaitu “misi besar merusak agama-agama.”158 Menurut penulis, kesalahan fatal para penulis Muslim modern tentang teosofi adalah bahwa mereka selalu “mengukur” gerakan teosofi Hindia Belanda dengan tulisan-tulisan dan ide Blavatsky, Annie Besant, Jiddu Krisnamurti, dan figur lain seperti tokoh teosofi Belanda Dirk Van Hinloopen Labberton dan Bishop Leadbeater. Para penulis itu tidak pernah secara luas merujuk kepada tulisantulisan anggota teosofi pribumi, apakah dari kalangan terdidik priyayi, non-priyayi, dan santri Muslim yang “ahli” dalam kajian Islam, Kristen, Hindu, Buddha dan Konghucu. Seperti telah diungkap, gerakan teosofi Indonesia di masa itu, dalam beberapa hal penting sesungguhnya berbeda dengan teosofi model Blavatsky dan Annie Bessant yang mereka kembangkan di India dan di tempat lain.

G. Studi Perbandingan Agama Sesudah Masa Teosofi: Menimbang Peran Mahmud Yunus dan Zainal Arifin Abbas Sesudah era teosofi, studi PA sesungguhnya tidak pernah benarbenar “tamat.” Sebelum menjadi kajian yang resmi secara akademik di masa Orde Baru melalui PTAIN, riak-riak studi PA setelah kemerdekaan —khususnya pada Muslim Nusantara— masih terdengar meskipun hanya sayup-sayup. Harus diakui—setidaknya meDr. Media Zainul Bahri

167

nurut Karel Steenbrink, studi PA memang tidak pernah memiliki posisi yang kuat dalam sistem pendidikan tradisional Islam di Indonesia. Bahkan sampai sekarang pun, studi PA tidak pernah masuk dalam daftar pelajaran yang harus dipelajari di pesantren-pesantren atau sekolah Islam.159 Sebelum memasuki alam studi PA di masa Orde Baru, saya ingin menyuguhkan dua figur penting dalam studi PA dalam masa pra dan dekade awal setelah kemerdekaan, yaitu peran Mahmud Yunus dan Zainal Arifin Abbas di kalangan kaum terpelajar Muslim Indonesia.160 Dalam konteks pesantren dan sekolah Islam “modern” memang benar bahwa studi PA tidak memiliki posisi yang kuat. Namun, pada masa 1970 akhir hingga 1980 akhir, terdapat mata pelajaran Perbandingan Agama di Madrasah Aliyah Negeri dan Swasta di hampir seluruh wilayah Indonesia. Menurut Steenbrink, kekecualian dari tiadanya studi PA di masa lalu (terutama sebelum dan masa awal kemerdekaan) adalah Mahmud Yunus, seorang pendidik dan intelektual Muslim yang banyak menulis karya-karya tentang Islam, khususnya pendidikan Islam. Beberapa karyanya yang masih terkenang hingga kini misalnya Sejarah Pendidikan Islam: Dari Zaman Nabi Hingga Khilafah Utsmaniyah Turki (1979), Sejarah Pendidikan Islam Di Indonesia (1979), Tafsir Qur`an Karim (1962, 1973), Hukum Perkawinan Dalam Islam (1964, 1991) dan Kamus Arab-Indonesia (1972; dicetak ulang hampir setiap tahun). Karya yang terakhir bahkan masih dipakai di banyak pesantren modern hingga saat ini. Yunus kuliah di Mesir pada 1920-an. Ketika kembali pada 1931, ia mulai mengajar di pesantren di Padang, namun belum ada pelajaran PA. Pada 1932, mulailah ada kurikulum baru yang membuat pelajaran Riwajat-Riwajat Agama untuk pelajar tingkat akhir. Pelajaran inilah yang menjadi pintu masuk untuk karya Mahmud Yunus yang berjudul al-Adyân (Agama-Agama)161 yang selesai ditulisnya pada November 1937 di Padang.162 Inilah sebuah karya pertama yang komprehensif yang ditulis seorang sarjana Muslim Indonesia mengenai agama-agama manusia dalam bahasa Arab, yang 168

Wajah Studi Agama-Agama

diajarkan di pesantren-pesantren dan sekolah Islam lainnya yang mewajibkan para pelajarnya berbicara dan menggunakan bukubuku berbahasa Arab. Dalam karya setebal 72 halaman,163 Yunus menyajikan pembahasan mengenai agama-agama yang dikenal manusia, yaitu Majusi (Zoroaster), Sabean, agama Mesir Kuno, agama kaum Brahmana, Buddha, Sinto, Konghucu, Tao, Fetis di Afrika Barat, Yahudi, Nasrani, dan Islam dengan berbagai sekte pada agama-agama tersebut. Yunus memulai dengan definisi agama, atau yang ia sebut sebagai tadayyun, yaitu “kecenderungan manusia dengan segenap naturnya untuk menerima adanya satu kekuatan, atau Kekuatan yang maha kuat di atas kekuatannya sendiri bahkan di atas kekuatan manusia. Natur keberagamaan ini merupakan tabiat (kualitas) manusia yang paling tua (awal). Pada mulanya manusia berpikir bahwa tuhan itu banyak dan segala fenomena di alam ini merupakan penampakan kekuatan tuhan, baik yang bermanfaat maupun yang berbahaya. Ketika pengetahuan manusia telah berkembang, muncullah kesadaran bahwa tidak mungkin ada banyak tuhan. Tuhan itu pasti hanyalah satu, dan Dialah penyebab segala yang ada, Pencipta yang awal dan yang akhir.”164 Menurut Steenbrink, definisi Yunus itu sama atau setidaknya kental sekali dengan pandangan teori evolusi. Yunus sama sekali tidak menyebut tentang teori revelasi atau adanya agama wahyu sebagai agama primordial yang pertama diturunkan kepada nabi Adam, misalnya. Kelihatannya Yunus hanya mengutip definisi agama itu, mungkin dari para penulis Arab yang telah dipengaruhi oleh teori evolusi dalam agama seperti yang tampak pada karyakarya Edward Taylor, Emile Durkheim dan Malinowsky.165 Lalu, Yunus membagi agama-agama ke dalam dua kelompok besar: (1) agama yang bersifat ruhiyah dan (2) agama material. Agama ruhiyah adalah yang menyembah ruh (bukan materi) yang abstrak. Agama ini terdiri atas: (a) agama-agama ketuhanan yang memang menyembah Satu Tuhan Yang Agung, (b) agama orang-orang dulu yang menyembah ruh, (c) agama orang-orang yang menyemDr. Media Zainul Bahri

169

bah alam. Agama-agama ketuhanan terbagi lagi menjadi agama tauhid dan agama syirik. Agama tauhid adalah agama yang hanya menyembah satu tuhan yang maha kuasa. Agama ini terdiri atas lima kelompok yang terkenal, yaitu: (a) Zarathustra atau agama majusi atau agama orang Persia dahulu, (b) agama-agama orang India dan China, (c) agama Yahudi, (d) agama Masehi, dan (e) agama Islam. Sedangkan dalam daftar agama-agama syirik, yaitu yang menyembah tuhan lebih dari satu, yang paling terkenal adalah: (a) agama Mesir kuno, (b) Asyur, (c) Babilonia, (d) Yunani, (e) Romawi, dan (f) kaum Brahmana.166 Pada satu sisi, Yunus memberi apresiasi positif terhadap agamaagama non-Islam dan non-Semitik sebagai agama tauhid. Ia menyebut Zoroaster bersama-sama dengan Siddharta Gautama, Kong Fu Tze dan Lao Tze sebagai tokoh-tokoh hikmah dengan ajaranajaran mulianya. Para pengikut merekalah yang menyelewengkan agama ini menjadi agama syirik dan menuhankan tokoh-tokohnya. Terhadap agama Hindu juga, Yunus memandang bahwa ajaran asalnya adalah monoteis, tetapi pada perkembangannya menjadi Trimurti, yaitu menyembah tuhan Brahma, Wisnu dan Syiwa.167 Cukup aneh Yunus menyebut Trimurti ini, karena konsep ketuhanan ini hanya populer di Indonesia, terutama Hindu Bali. Padahal ia sedang menyajikan pembahasan mengenai konsep ketuhanan Hindu India. Menurut Yunus, orang-orang Hindu menyadari akan konsep Tuhan Yang Esa, namun karena tuhan itu memiliki nama dan sifat yang banyak, maka yang kemudian disembah adalah manifestasi nama-nama dan sifat itu yang kemudian dipanggil dengan dewa. Menurut Yunus lebih lanjut, konsep tentang banyak tuhan (maksudnya dewa) dan Trimurti sesungguhnya tidak terdapat dalam kitab suci Weda.168 Pada sisi lain, kajian Yunus jelas bersifat apologetik. Dengan judul “agama-agama syirik” dan “agama-agama yang menyembah patung, bintang, matahari dan kekuatan alam lain” segera kita memahami bahwa ia sedang melakukan penilaian (penghakiman) teologis terhadap agama-agama yang dianggapnya telah menyimpang. 170

Wajah Studi Agama-Agama

Terhadap agama Yahudi dan Nasrani, Yunus membuat pembahasan yang cukup panjang menyangkut sejarah, ajaran-ajaran pokok dan sekte-sekte mereka. Terhadap Kristen, Yunus membahas secara khusus mengenai Katolik dan Protestan, dua sekte yang justru tidak dibicarakan oleh penulis Muslim ahli PA, Syahrastani dalam alMilal wa al-Nihal. Yunus juga mendeskripsikan penyimpanganpenyimpangan serius yang dilakukan para teolog Yahudi dan Kristen atas ajaran-ajaran asli yang diturunkan Tuhan. Yunus menyebut—dengan mengutip sejarawan Prancis—misalnya bahwa Taurat adalah produk dari para teolog dan sejarawan Yahudi yang ditulis beberapa abad setelah wafatnya Musa. Taurat sekarang adalah produk penulisan ulang atas sejarah Bani Israel. Taurat yang asli telah hilang.169 Terhadap agama Kristen, Yunus menunjukkan kritik kerasnya bahwa doktrin penyaliban nabi Isa dan konsep Trinitas benar-benar sulit diterima “akal sehat” dan bertentangan dengan keadilan Tuhan.170 Pada mulanya, agama Kristen adalah agama tauhid dari Allah, namun kaum Nasrani mengubahnya menjadi agama pagan dengan konsep Trinitas yang tidak masuk akal. Agama ini dinodai kesuciannya oleh kaum Nasrani sendiri dengan mengambil ide-ide dan tradisi keagamaan dari Yunani, Romawi, Trinitas Mesir kuno dan kaum Brahmana.171 Dalam membahas soal teologi agama-agama, Yunus selalu menunjukkan bagaimana pandangan Islam atas model akidah atau syari’at dari agama yang sedang dibicarakannya. Di akhir pembahasan, tentu saja adalah tentang agama Islam sebagai agama terakhir dan yang terbaik (huwa akhir al-adyan wa ahsanuha), yang tak ada kecacatan sedikit pun dalam seluruh aspeknya.172 Sebagaimana ulama Islam lainnya, Yunus juga menjelaskan sekte-sekte Islam seperti Asy’ariyah, Mu’tazilah dan Syi’ah. Dalam kaitan sekte itu, Yunus membuat pembahasan khusus yang cukup panjang mengenai Jama’ah Ahmadiyah dengan dua alirannya, yaitu Lahore dan Qadiyan.173 Sebagai buku ajar yang memuat banyak agama dengan kajian yang cukup komprehensif, karya Yunus itu cukup menarik dan Dr. Media Zainul Bahri

171

membawa suatu horison baru bagi para pelajar Muslim tentang agama-agama non-Islam. Untuk ukuran saat itu, al-Adyân merupakan sebuah prestasi dan memiliki tempat yang khusus di kalangan santri Muslim. Menurut Steenbrink, meskipun gaya tulisan Yunus itu sederhana, namun bagi para pelajar tingkat akhir dan para guru, buku itu sangat menarik dan suatu hal yang baru tentang agamaagama non-Islam. Dalam menulis karya itu, Yunus kelihatannya seperti memiliki hubungan yang dekat dengan keadaan dunia yang majemuk di mana non-Muslim benar-benar nyata, dan karya itu juga memuat informasi yang cukup “akurat” tentang kaum nonMuslim. Salah satu sisi menariknya adalah jika Nuruddin al-Raniri, dalam karyanya al-Tibyân fî Ma’rifat al-Adyân, membuat catatan tentang Hamzah Fansuri dan Syamsuddin al-Sumatrani sebagai tokoh-tokoh yang dianggap “menyimpang” dari Islam yang “benar,” maka Yunus juga membuat penjelasan yang panjang mengenai Jama’ah Ahmadiyah, satu sekte dalam Islam yang juga dipandang telah “menyimpang secara serius” pada saat itu,174 bahkan hingga hari ini. Tokoh kedua yang juga sangat penting dalam penyebaran pengetahuan tentang PA adalah Haji Zainal Arifin Abbas, seorang pengajar agama Islam dan Filsafat yang tinggal di Medan dari tahun 1900 hingga 1970. Ia menulis Sejarah Hidup Nabi Muhammad dan Tafsir al-Qur‘an. Namun, karyanya yang paling ambisius adalah Perkembangan Fikiran Terhadap Agama (1951). Inilah karya yang ditulisnya dalam tiga volume yang di dalamnya terdapat pembahasan mengenai agama-agama dunia, baik yang tinggal sejarahnya maupun agama yang masih hidup. Sebagaimana terlihat dari judulnya, maka isi buku itu seperti dinyatakan oleh penulisnya, “...adalah intisari dari pendapat puluhan ahli pikir dalam sedjarah 2500 tahun jang lalu, mulai dari Thales orang Maleiti sampai kita sekarang ini.”175 Abbas mengurai sejarah pemikiran umat manusia tentang agama dan respons-respons mereka. Dalam satu pembahasan yang panjang, ia mengurai berbagai pengertian agama dan menyebut lebih dari 100 pemikir, sarjana dan kaum mistik yang menjelaskan 172

Wajah Studi Agama-Agama

pengertian itu, namun ia banyak mengutip buku al-Din wa alWahy wa al-Islam karya Mustafa Abdur-Raziq, mantan Rektor Universitas al-Azhar, Mesir. Menurut Steenbrink, Abbas banyak menghadirkan kutipan tanpa komentar lebih lanjut, tanpa konteks dan tidak bersikap kritis.176 Terutama Abbas banyak mengutip sarjana Muslim dari Mesir ketika membicarakan agama-agama nonIslam. Misalnya ketika menulis tentang agama Mesir Kuno (Purba) sebagian besar ia mengutip buku Filsafat Timur karya Muhammad Ghallab.177 Ketika menjelaskan agama Hindu, ia pun banyak merujuk kepada Ghallab dan Tsaqafat al-Hind karya Abdus Salam.178 Meskipun dalam beberapa bagian ia juga merujuk kepada Hadza Ra‘y al-Hind karya Gustav de Bone179 dan Ensiklopedi Dunia. Dengan membaca daftar isinya saja segera kita melihat bahwa Abbas memang berambisi untuk mengurai sejarah panjang pemikiran umat manusia tentang agama. Terdapat tiga bab khusus yang mengulas pandangan para filsuf Yunani Kuno tentang agama; dari mulai Thales, Xenophanes, Parmenides, Zeno, Socrates hingga Plato. Satu bab khusus pandangan para filsuf Muslim: Ibnu Sina, Ibnu Bajah, Ibnu Thufayl, Ibn Rusyd, Ibn Khaldun dan lain-lain. Satu bab khusus pandangan para filsuf Barat; dari Descartes, Venilone, Jocques Benicte Bosuette, Leibniz, Newton, Clark (mungkin Samuel Clarke), Rocke (mungkin maksudnya John Locke, karena Abbas menyebut karya Locke yang terbit tahun 1690, Essay Concerning Human Understanding), Voltaire, Rousseau, astronomis Herschel, Herbert Spencer dan Leneitte. Nama-nama pemikir itu bahkan hingga tiga puluh orang, dengan begitu saja diterjemahkan (pemikiran mereka) oleh Abbas tanpa ada pendahuluan dan komentar lebih lanjut.180 Setelah itu Abbas menjelaskan, dalam bab-bab yang panjang (dan detail) agama-agama manusia: Mesir Kuno, India (Hindu), Buddha, Kaldea, Yahudi, agama-agama di Persia (Majusi dan Manu), dan Shinto. Menurut Steenbrink lebih lanjut, buku Abbas itu mengandung banyak kesalahan, kekacauan, inkonsistensi, baik dalam penyebutan nama-nama, istilah atau pemahamannya mengenai suatu peDr. Media Zainul Bahri

173

mikiran. Karena itu buku tersebut cukup membingungkan. Misalnya ketika ia membicarakan tiga tuhan dalam agama Yunani, yaitu Apollo, Delphes dan Zuess, ia terjemahkan ke dalam bahasa Arab yang membingungkan. Lalu, ketika membahas konsep mana atau mani dalam pemikiran Durkheim, ia identikkan kata itu dengan “makna,” suatu istilah dalam bahasa Arab dan Indonesia yang berarti makna. 181 Menurut saya, meski terdapat beberapa kekeliruan dan inkonsistensi, karya Abbas ini cukup menarik, dan meski banyak merujuk kepada karya-karya sarjana Muslim ketika menulis tentang agama-agama non-Islam, ia dapat menyajikannya dengan pendekatan yang simpatik dan humanis. Abbas selalu menyandingkan agama dengan peradaban suatu bangsa. Ketika membicarakan agama Mesir Kuno, ia menegaskan bahwa peradaban Mesir yang agung itu tak lain adalah karena orang-orang Mesir memiliki agama. Rajaraja Mesir juga senang berteman dengan kaum agamawan. Pada masa kekuasaan raja Amnahat dan Amoun misalnya, agama menjadi pelajaran wajib orang-orang Mesir, banyak kaum adib atau intelektual yang lahir dari pengajaran agama. Bahkan konsep Tuhan Yang Maha Esa yang memanifestasi dalam banyak atiribut-Nya seperti Tuhan Matahari, Tuhan Alam dan lain-lain, telah dikenal dan diajarkan pada masa dua raja itu. Karena itulah, peradaban tinggi Mesir yang kental dengan agama, menurut Abbas, sesungguhnya “turun dari langit” bukan semata hasil pemikiran manusia. Menurut Abbas, kemajuan pikiran dan peradaban orang Mesir pada masa itu, terutama masa Amnahat I, kira-kira serupa dengan peradaban Islam abad ke-7 atau peradaban Barat abad ke-17 Masehi. Menurut Abbas, peradaban Mesir bersama-sama dengan Tiongkok pada masa 3000 tahun sebelum Masehi atau masa Nabi Isa, menjadi agung berkat peranan besar agama.182 Hal yang sama juga ia tunjukkan ketika menulis tentang Agama India (Hindu). Meskipun ia tidak menyebut kitab suci Weda sebagai berasal dari Tuhan, juga “bukan kitab suci orang India dan Aria, melainkan dibawa oleh orang-orang yang datang kemudian ke lem174

Wajah Studi Agama-Agama

bah Punjab,”183 namun ia berhasil memaparkan secara detail paham, keyakinan dan praktik orang-orang Hindu secara lebih simpatik. Orang-orang Hindu sesungguhnya telah mengenal konsep Tuhan Yang Satu dan konsep kesatuan Tuhan dengan alam. Tuhan yang satu itu kemudian memanifestasi dalam bentuk yang banyak. Menurut Abbas, filsafat adalah agama dan agama adalah filsafat. Itulah yang terjadi di India, Tiongkok dan Mesir kuno.184 Penjelasan Abbas tentang syari’at agama Hindu yang meliputi hak dan kewajiban raja, mencari rejeki yang halal, masa haid perempuan, hubungan suami-istri, hak-hak perempuan, soal poligami, soal halal-haram, soal dosa, soal riba dan lain-lain, disajikan secara cukup menarik dan informatif untuk ukuran buku agama-agama pada masa itu. Ringkasnya, meskipun buku itu tetap menonjolkan Islam sebagai agama yang paling sempurna dan dalam beberapa hal menyebut keyakinan lain sebagai syirik185 dan menyimpang—dan karena itu dapat pula disebut sebagai karya “semi apologetik,” tetapi Abbas membuat deskripsi simpatik tentang keyakinan agama lain; dalam pengertian bahwa Abbas sering menekankan betapa umat manusia dalam macam-macam agama itu ingin selalu dekat dengan Tuhan, ingin membangun masyarakat yang beretika dengan landasan agama dan pada akhirnya mereka berhasil membangun peradaban dunia dengan beralaskan agama. Abbas selalu melihat positif apresiasi bangsa-bangsa terhadap agama, yang pada saatnya, apresiasi itu memunculkan peradaban yang kemudian memengaruhi masyarakat dunia dari masa ke masa. Karena itu, karya tersebut tidak seluruhnya penuh dengan “tuduhan” dan penilaian yang “merendahkan,” meskipun sulit pula disebut objektif sepenuhnya. Dalam menjelaskan doktrin-doktrin agama lain sering kali Abbas menggunakan istilah-istilah Islam seperti kata halal, haram, Khalik, Allah, syari’at dan lain-lain. Mungkin salah satu alasannya adalah supaya buku itu lebih mudah dipahami oleh “pandangan dunia” (worldview) para pelajar Muslim. Apalagi buku itu kemudian menjadi buku wajib (buku ajar) para pelajar di PGA, yaitu calon guru-guru agama. Dr. Media Zainul Bahri

175

H. Model Studi yang Dilakukan Pendekatan historis dan teologis tampak dominan dalam uraian Yunus dan Abbas tentang agama-agama. Yunus sepenuhnya mendasarkan bukunya, al-Adyân, pada produk (pandangan) teologi Islam tentang agama non-Islam. Untuk sejarah agama-agama nonIslam, ia juga merujuk kepada banyak ulama Muslim. Ketika menuliskan sumber-sumber untuk karyanya itu, Yunus menyebut nama-nama penulis dan ulama Muslim terkemuka seperti Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, Ahmad Amin, Farid Wajdi, Jurzi Zaydan, Musthafa Amin, Ibn Hazm, Syahrastani dan lain-lain serta karyakarya mereka yang sudah dikenal baik di kalangan kaum Muslim. Karena itu, model Yunus adalah model teologis dengan corak Islam ala Timur Tengah. Yunus menggambarkan agama-agama nonIslam persis (serupa) dengan gambaran para ulama dan penulis di atas. Yunus sama sekali tidak mendiskusikan agama-agama dan kepercayaan yang ada di Nusantara, misalnya Hindu-Buddha Indonesia, Aliran Kebatinan, atau Katolik-Protestan Indonesia dan perbedaan spesifik mereka dengan agama-agama serupa yang dijelaskannya. Dengan kata lain, Yunus sama sekali tidak mengaitkan agama-agama dunia yang dibicarakannya dengan konteks agamaagama yang ada di Nusantara. Hal serupa juga terlihat pada karya Abbas, Perkembangan Fikiran. Meskipun karya itu jauh lebih tebal dari al-Adyân karena menguraikan banyak hal tentang sejarah dan isi filsafat dan agama-agama dunia, namun perspektif Islam ala Timur Tengahnya juga cukup menonjol. Seperti halnya Yunus, Abbas juga tidak mendiskusikan agama-agama dan kepercayaan yang hidup di Indonesia.

176

Wajah Studi Agama-Agama

BAB V STUDI PERBANDINGAN AGAMA DI MASA ORDE BARU (1968-1998)

Pada Bab IV kita telah melihat suatu model studi Perbandingan Agama (selanjutnya disingkat PA) pada MTI di masa 1900 awal hingga 1940. Ada suatu model studi PA yang digunakan dan dikembangkan oleh sekelompok elite atau anggota terbatas teosofi. Disebut elite atau terbatas karena model studi itu memang terbatas pada paguyuban loji-loji dan publikasi jurnal yang berputar hanya di kalangan mereka. Kajian dan model studi PA masa itu tidak bersifat resmi sebagai regulasi pemerintah kolonial di sekolah-sekolah atau akademi karena itu tidak bersifat masif, terstruktur dan sistematis. Pada bab ini kita akan melihat kebangkitan kembali—jika boleh disebut—studi PA, namun dengan penampilannya yang “resmi” dan terstruktur karena berdiri di atas fondasi pemerintah Orde Baru dan didukung oleh aktor-aktor yang terdidik secara modern dalam disiplin ilmu PA. Fokus bab ini hanya terbatas pada sarjana Muslim Indonesia dan lembaga pendidikan tinggi Islam Indonesia, khususnya di Yogyakarta dan Jakarta.

A. Studi Perbandingan Agama Di Masa Orde Baru: Mencermati Peran Sentral Mukti Ali Ilmu PA di kalangan kaum Muslim Indonesia secara formalakademik lahir di PTAIN (Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri) Yogyakarta pada 1961, setahun setelah berdirinya dua pendidikan tinggi Islam negeri, yaitu di PTAIN Yogyakarta dan ADIA (Akademi Dr. Media Zainul Bahri

185

Dinas Ilmu Agama) Jakarta. Kelahiran jurusan PA di Fakultas Ushuluddin ini tak bisa dilepaskan dari peran Profesor Mukti Ali, seorang cendekiawan Muslim terkemuka yang meraih gelar Doktor di Universitas Karachi, Pakistan dalam bidang Sejarah Islam, dan Magister Universitas McGill, Kanada dalam kajian Islamic Studies. Pada 11 September 1971, Mukti Ali dilantik jadi Menteri Agama kabinet Orde Baru. Mukti Ali layak disebut sebagai seorang Menteri Agama yang menempati posisi khusus dalam sejarah kebijakan pemerintah Indonesia di bidang agama, baik dalam pengertian perannya dalam proses panjang modernisasi politik-keagamaan yang sedang mengalami masa “transisi” waktu itu,1 maupun dalam kebijakan-kebijakannya dalam hal mengatur hubungan intra dan antar pemeluk agama yang berbeda serta hubungan (tokoh-tokoh dan lembaga) agama dengan pemerintah. Karena kecintaannya yang mendalam kepada ilmu PA berkat pengaruh yang kuat dari profesornya, Willfred Cantwell Smith, ketika menjadi Menteri Agama, Mukti Ali tak pernah lelah memperkenalkan kepada mahasiswa dan masyarakat luas akan pentingnya belajar ilmu PA. Ia juga menjadikan dialog antar umat beragama sebagai kebijakan utama di Departemen Agama.2 Terlepas dari peran politiknya sebagai Menteri Agama, di awal berdirinya studi PA pada 1961, Mukti Ali adalah figur utama yang berperan menyusun kurikulum ilmu PA untuk pertama kalinya. Menurut pengakuannya, mata kuliah yang ia susun untuk diajarkan adalah: Ilmu PA, Sosiologi Agama, Filsafat Agama, Psikologi Agama, Kristologi, Dogmatika Kristen, Sejarah Gereja, Tafsir Injil, Orientalisme dan Kebatinan, di samping Tafsir, Hadis, Fikih, Ilmu Kalam dan Aliran-Aliran Modern dalam Islam. Saat itu hanya ada dua orang mahasiswa PA yaitu Yusnina Hanim dan Habibullah.3 Menurut Mukti Ali, pendirian jurusan PA pada masa itu berdasarkan beberapa faktor penting. Pertama, merupakan regulasi pemerintah untuk pengembangan keilmuan, khususnya ilmu agama. Kedua, ilmu PA dibutuhkan sebagai ikhtiar menjadi salah satu solusi penting dalam mengelola kemajemukan agama dan budaya di Indonesia. 186

Wajah Studi Agama-Agama

Ketiga, secara umum ilmu PA dianggap dapat berkontribusi bagi “ketahanan nasional,” suatu terminologi yang “dikeramatkan” oleh Orde Baru.4 Namun, menurut Mukti Ali, harus diakui keadaan studi agama, khususnya agama Islam, di Indonesia di tahun 1950 dan 1960-an sangat lemah. Sebab kelemahan dalam pengembangan ilmu agama, khususnya Islam, antara lain (1) kekurangan bacaan ilmiah, (2) kekurangan kegiatan penelitian secara ilmiah, (3) kekurangan diskusi akademis, dan (4), masih rendahnya penguasaan bahasa asing di antara sebagian besar mahasiswa dan dosen, sementara relatif sedikit buku-buku ilmu agama yang ditulis dalam bahasa Indonesia yang pembahasannya sangat analitik. Ini merupakan sebab-sebab yang praktis.5 Faktor-faktor fundamental lainnya masa itu menurut Mukti Ali adalah: Pertama, kehidupan keagamaan di Indonesia yang lebih menekankan aspek mistik, tepatnya lebih ke “amaliah” daripada “pemikiran.” Karena itu, kehidupan keagamaan model itu jauh dari pendekatan agama secara ilmiah. Kedua, pemikiran ulama-ulama di Indonesia dalam Islam masa itu lebih banyak ditekankan dalam bidang fikih dengan pendekatan yang sangat normatif. Ketiga, dengan kondisi itu muncullah reaksi di kalangan pemikir-pemikir Muslim Indonesia, seperti Profesor Harun Nasution, Guru Besar Filsafat Islam IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta. Ia menentang kehidupan agama yang serba mistis dan pendekatan agama secara normatif yang terpusat kepada fikih. Karenanya, ia menulis buku-buku yang amat penting dan fundamental dalam bidang Ilmu Kalam dan Filsafat. Meski demikian, Ilmu PA, dalam menghadapi reaksi seperti itu, menurut Mukti Ali, tetap mesti berhati-hati supaya ilmu itu tidak terseret ke dalam Teologi maupun Filsafat Agama. Keempat, timbulnya semangat dakwah yang begitu hebat di Indonesia, terutama setelah terjadi pemberontakan komunis pada 1965. Dengan pemberontakan itu umat Islam menjadi sadar bahwa dakwah di Indonesia harus lebih ditingkatkan. Semangat dakwah yang seperti ini menimbulkan satu cabang ilmu pengetahuan senDr. Media Zainul Bahri

187

diri, yaitu “Ilmu Dakwah” atau “Misiologi.” Jika dalam Perbandingan Agama, agama-agama diuraikan sebagaimana adanya dengan berusaha untuk mencari persamaan dan perbedaan antara satu agama dengan agama lainnya, maka dalam Ilmu Dakwah, agama-agama diuraikan dalam hubungannya dengan agama Islam untuk menunjukkan keunggulan Islam atas agama-agama lain. Tentu saja ilmu Perbandingan Agama berbeda dengan Ilmu Dakwah. Kelima, yang menyebabkan ilmu PA kurang berkembang di Indonesia adalah dugaan bahwa ilmu ini datang dari Barat. Karena itu, orang-orang Islam melihatnya dengan curiga. Keenam, peserta-peserta kuliah PA kurang menguasai ilmuilmu bantu Perbandingan Agama, seperti sejarah, sosiologi, antropologi, arkeologi, yaitu ilmu-ilmu yang dapat membantu orang untuk memahami fenomena berbagai agama. Selain kekurangan itu, peserta Jurusan ilmu ini juga kurang memahami bahasa asing. Hal yang ideal jika orang yang ingin mempelajari ilmu PA itu adalah memahami bahasa asli dari kitab suci dan ajaran-ajaran dari agama yang akan dipelajarinya. Seorang peminat PA, menurut Mukti Ali, harus menguasai bahasa Arab, supaya dapat memahami Islam dari sumber aslinya, dan menguasai bahasa-bahasa modern, khususnya Inggris, agar dapat memahami buku-buku yang ditulis dalam bahasa asing.6

B. Ilmu Perbandingan Agama: Pengertian dan Tujuan 1. Pengertian Penting untuk mengetahui pengertian ilmu yang baru berdiri ini dan tujuannya pada Mukti Ali dan sarjana-sarjana PA sesudahnya yang menulis dan mengajarkan ilmu ini di perguruan tinggi Islam. Pengertian yang mereka pahami dengan segala misinya akan memberi kita gambaran bagaimana posisi ilmu ini dalam kancah ilmu-ilmu mapan lain yang berhubungan dengannya dan relasinya dengan Islam sebagai studi akademik dan praktik dakwah.

188

Wajah Studi Agama-Agama

non-Islam, memiliki otak yang cerdas (berpengetahuan luas) namun tetap memiliki komitmen terhadap Islam dan terjaga kesalehannya.48 Menurut Singgih, rumusan Mukti Ali mengenai “ilmiah agamis” sesungguhnya sejalan dengan ide Dr. Satiman dan Dr. Muhammad Hatta (sang proklamator) ketika merumuskan Perguruan Tinggi Agama Islam pada 1960-an, yaitu bahwa PTAI kelak akan mencetak sarjana (ahli) yang cerdas pikirannya, namun tetap terjaga kesalehannya. Cerdas dan saleh—dengan segala kualitasnya, misalnya rendah hati (tawadhu’)—menurut Singgih, inilah yang konsisten melekat pada pribadi Mukti Ali hingga akhir hayatnya.49 Melalui testimoni kedua figur studi PA UIN Yogyakarta tersebut, akan sulit bagi kita membuat—katakanlah— pembagian “periodisasi” atau “dua dimensi” pandangan Mukti Ali ke dalam periode teologis dan ilmiah. Pembagian itu, dalam perspektif muridmurid Mukti Ali, setidaknya akan terlihat absurd, kurang tepat dan tidak relevan. Akan tetetapi, saya hanya ingin kembali kepada teks atau data-data yang diketengahkan Mukti Ali sendiri (dan muridmurid intelektualnya) dengan cara melihatnya dari perspektif Studi Ilmiah Agama yang saat ini berkembang. Cara pandang itu mungkin tidak adil karena melihat studi PA 30 atau 40 tahun lalu dengan “kacamata” sekarang, tetapi bagi saya hal itu masih “tepat” dan “relevan” dilakukan mengingat Studi Ilmiah Agama yang diletakkan oleh Max Müller lebih dari satu abad yang lalu adalah Studi Agama yang “deskriptif” dan “non-normatif,” yang bisa dipakai untuk melihat model-model studi PA yang dilakukan sesudahnya. Lagi pula, apa yang dimaksud sebagai studi PA bagi Mukti Ali adalah seperti apa yang dirumuskan oleh Max Müller mengenai Studi Ilmiah Agama, hanya saja Mukti Ali menambahkan rumusan “agamis” atau “doktriner.” Periodisasi itu juga penting untuk mengurai gagasangagasan Mukti Ali mengenai studi PA dalam periode yang panjang secara lebih “mudah” dan dalam sebuah “bingkai” yang bisa dipilah-pilah. Pertama, kita melihat periode awal Mukti Ali sebagai perintis. Dalam karya pertamanya tentang PA, ia menulis: 204

Wajah Studi Agama-Agama

Methodos dalam Ilmu Perbandingan Agama sebagian besar tergantung kepada pandangan orang terhadap agama-agama bukan agamanja. Biasanya Perbandingan Agama itu dilakukan dari dalam Agama jang dipeluk oleh seorang dalam usahanja untuk menilai isi dan tjiri dari agama lain.50 Memang harus diakui bahwa ilmu Perbandingan Agama bisa mendjadi bahaja jang besar bagi agama Islam, apabila salah mempergunakannja, tetapi sebaliknja akan merupakan bantuan jang besar sekali bagi perkembangan agama Islam, apabila betul dalam mempergunakannja...51

Dalam kutipan pertama kita memahami studi PA sebagai kajian “subjektif” karena isinya adalah menilai yang dalam terminologi sekarang disebut juga “menghakimi” (judgment), yaitu menilai atau menghakimi keyakinan/agama orang lain berdasarkan atau dengan ukuran agama pengkaji. Jika konsisten mengikuti rumus ini, maka pendekatan (metode) apa pun dalam studi PA apakah fenomenologis, historis, psikologis, apalagi teologis, akan muncul sebuah “penilaian” atau “penghakiman” apakah di bagian akhir pembahasan atau bersama-sama dengan pembahasan yang dilakukan.52 Mukti Ali sendiri ketika diundang berceramah di Perguruan Tinggi Theologia Duta Wacana Yogyakarta (20 September 1968) tentang konsep Tuhan Yang Esa dalam al-Qur`an memakai metode ini. Ceramah itu kemudian menjadi buku berjudul Ke-Esaan Tuhan Dalam AlQur`an (1969). Di bagian akhir buku itu, Mukti Ali menegaskan bahwa dalam Islam tidak banyak muncul sekte-sekte yang bertentangan satu sama lain karena sumber utama, yaitu al-Qur`an sudah terang, konsisten dan tidak membuat bingung tentang konsep mengenai keesaan Tuhan. Hal itu berbeda dengan Kristen. Mukti Ali “menilai” banyak pasal soal ketuhanan dalam Al-Kitab sulit digabungkan atau disintesiskan karena memang bertentangan satu sama lain. Karena itu, sejak awal hingga kini selalu muncul sekte yang banyak sekali dalam Kristen.53

Dr. Media Zainul Bahri

205

Dilihat dari perspektif studi PA sekarang, pandangan Mukti Ali ini adalah pandangan teologis, bukan penjelasan seorang sarjana PA. Hal ini juga diperkuat oleh pandangan Djam’annuri bahwa dalam ceramah itu, Mukti Ali sedang memosisikan dirinya sebagai sarjana Muslim yang sedang mengemukakan pandangan teologisnya, bukan sebagai seorang ahli Perbandingan Agama.54 Nah, sarjana-sarjana Muslim yang menulis karya tentang PA dan telah disebut seperti Thalhas, Rifai, Mastur Halim, Agus Hakim, Abu Ahmadi, Zakiah Daradjat, Bahri Ghazali, Abdullah Ali dan masih banyak lagi adalah para “pengikut” atau “murid” Mukti Ali dalam hal penggunaan pendekatan teologis. Figur-figur lain yang menonjol yang memakai metode serupa, namun bukan murid Mukti Ali juga muncul seperti Ahmad Shalabi dalam hampir semua karyanya tentang PA dan Abu Zahra, Profesor Tamu IAIN dari Mesir. Salah satu karyanya adalah Agama Kristen Menurut Pandangan Islam (1969). Pendekatan komparatif dalam semangat teologis yang apologetik, dalam pengertian membandingkan keunggulan Islam dengan keyakinan dan agama lain juga mulai muncul di awal tahun 1960an dan marak berkembang pada tahun-tahun sesudahnya. Hasbullah Bakry misalnya, menulis beberapa buku: Isa Dalam Al-Qur‘an dan Muhammad Dalam Bible (1960), Yesus Kristus dalam Pandangan Islam dan Kristen (1965), dan Al-Qur‘an Sebagai Korektor terhadap Taurat dan Injil (1966). Tharick Chehab dalam karyanya Bible dan Al-Qur‘an: Sebuah Studi Perbandingan (1961) pada akhirnya berkesimpulan bahwa Injil yang diturunkan Allah kepada nabi Isa sudah tidak ada lagi dan Injil-Injil yang ada di tangan orang Kristen adalah palsu atau setidaknya banyak mengalami penyimpangan. Meski demikian dalam Injil yang asli dan palsu sesungguhnya terdapat keterangan yang jelas mengenai kabar akan datangnya Nabi Muhammad, namun penafsirannya kemudian diselewengkan.55 Dalam semangat yang sama dengan Hasbullah Bakry dan Chehab, karya Abuyamin Ruham, Agama Kristen dan Islam serta Perbandingannya (1968),56 juga menunjukkan isi serupa. 206

Wajah Studi Agama-Agama

Karya lain yang patut disebut adalah Islam dan Kebatinan karya H.M. Rasyidi (1967). Buku kecil setebal 134 halaman ini membandingkan ajaran kebatinan yang berasaskan Hindu-Buddha dan Teosofi dengan Islam sebagai agama wahyu. Rasyidi mengkritik ajaran-ajaran kebatinan yang absurd, tidak konsisten, tidak percaya akan alam akhirat dan menginginkan ekstase atau lepas dari penderitaan di dunia ini, lalu menunjukkan Islam sebagai agama yang suci, konsisten, realistis dan humanis.57 Fatchuddin Abd. Ganie, seorang akademisi senior PA dari UIN Yogyakarta juga memublikasikan hasil penelitiannya yang bertitel Perbandingan Agama (Suatu Pembahasan Phenomenologis) (1970). Karya ini meskipun memakai nama “Fenomenologis”, tetapi isinya juga studi perbandingan tentang beberapa ajaran Kristen semisal doktrin tentang Tuhan, Dosa, Firman, Roh Kudus, Sembahyang dan Syahadat (Kredo). Hasilnya, pada banyak ajaran itu Islam lebih jelas, konsisten dan unggul dibanding Kristen.58 Contoh lain yang dapat ditunjukkan adalah Toleransi dan Kemerdekaan Beragama Dalam Islam Menuju Dialog dan Kerukunan Antar Agama karya Umar Hasyim (1979). Buku setebal 459 halaman ini membandingkan konsep dan praktik toleransi dan kerukunan pada agama Kristen dan Islam. Hasyim menunjukkan bahwa ajaran Injil dan terutama sejarah perjalanan Kristen penuh dengan intoleransi, kekerasan dan perang terhadap agama lain. Salah satu ayat tentang Kristen sebagai agama pedang adalah: “Janganlah kamu sangkakan bahwa Aku (Isa) datang untuk membawa perdamaian di dunia ini. Aku datang bukan membawa keamanan, tetapi membawa pedang. Aku datang untuk memisahkan manusia dengan ayahnya, anak perempuan dengan ibunya, dan memisahkan menantu perempuan dari mertuanya; dan orang yang serumahnya masing-masing akan menjadi seterunya.”59 Puluhan halaman buku itu lalu menunjukkan sejarah Kristen yang penuh intoleransi dan darah karena misionari dan konflik dengan para penganut agama lain, termasuk kaum Muslim. Dalam penjelasan yang luas, Hasyim lalu menunjukkan ajaran Dr. Media Zainul Bahri

207

Islam yang indah mengenai toleransi, kerukunan dan perdamaian serta praktiknya dalam sepanjang sejarah Islam. Sementara agama Kristen banyak dipotret dari aspek sejarah, sedangkan Islam lebih banyak diulas dari ajaran-ajarannya yang ideal. Jadi, buku itu adalah perbandingan “tidak relevan” antara Kristen yang “historis” dengan Islam yang “ideal.” Pendekatan teologis, fenomenologis, dan historis dengan semangat “dakwah” terus berkembang secara masif hingga ujung tahun 1980. Setelah berdiri tahun 1961 hingga awal 1990, kita juga bisa membayangkan berapa ratus skripsi, tesis dan hasil penelitian dosen PA (yang tidak diterbitkan dan dibaca secara luas) muncul dalam semangat “dakwah” itu. Karena itu menurut Burhanuddin Daya (murid generasi pertama Mukti Ali), sampai awal 1990-an belum ada buku PA yang ditulis di Indonesia yang memenuhi kriteria objektif murni, dalam arti diterima sepenuhnya oleh pemeluk agama yang menjadi obyek kajiannya. Bukankah tulisan mengenai suatu agama oleh seseorang baru dapat dikatakan baik dan benar, jika penganut agama bersangkutan mengakui kebenaran tulisan itu?60 Daya mengkritik beberapa buku PA yang beredar di masyarakat. Ia menulis: Karya Mukti Ali, Ilmu Perbandingan Agama masih menulis “Guna PA Bagi Seorang Muslim,” Honig Jr. dalam Ilmu Agama selalu mengakhiri setiap bab dengan evaluasi kitab Bibel. Verkuyl dalam karyanya, Samakah Semua Agama? hanya menonjolkan keunggulan Injil dari agama-agama lain. HM Rasyidi melalui Empat Kuliah Agama Islam Pada Perguruan Tinggi menelaah agama-agama non Islam secara filosofis hanya untuk menunjukkan kebenaran absolut Islam sebagai agama samawi terakhir. Banyak buku-buku PA untuk pelajar Sekolah Menengah Atas yang ditulis untuk kepentingan dakwah. Studi ini biasanya melakukan perbandingan (ritual, kredo, nabi, kitab suci satu agama dibandingkan dengan agama lain). Metode perbandingan memang mudah, tapi tidak selalu membawa kepada pandangan yang obyektif.61

208

Wajah Studi Agama-Agama

Kutipan Mukti Ali soal “bahaya studi PA jika salah menggunakannya” juga dapat dipahami dalam perspektif studi PA bercorak “teologis” versus studi yang “benar-benar ilmiah.” Mukti Ali tidak ingin seorang Muslim mesti melepaskan identitas keislamannya ketika mendalami PA. Bahkan, seharusnyalah, seorang Muslim menggunakan ilmu ini untuk dakwah: mengajak orang lain yang belum mendapat petunjuk tentang kebenaran (Islam) untuk melihat keunggulan agama Nabi Muhammad ini.62 Jadi, meskipun Begawan ini menulis tentang berbagai metode ilmiah untuk disiplin ilmu ini—sebagaimana ia banyak merujuk kepada karya-karya Barat—namun kelihatannya ia bersikap “hati-hati” dan “setengah hati.” Di alam dunia Islam Indonesia pada era 1960-an dan 1970-an rasanya sulit—secara psikologis dan kultural—untuk seorang Mukti Ali (meski ia mengagumi sosok dan pemikiran gurunya, Smith) menyuguhkan disiplin ilmu yang baru berdiri itu dengan seperangkat “ilmiah murni” secara penuh seperti halnya terjadi di beberapa perguruan tinggi di Barat saat itu (meski tidak semuanya). Sikap “ambigu” atau setidaknya “setengah hati” terlihat jelas juga dalam karya Zakiah Daradjat. Buku itu sesungguhnya telah “berhasil” menyajikan pendekatan-pendekatan ilmiah dan prosedur ilmiah yang seharusnya ditempuh dalam disiplin ilmu ini. Namun, Zakiah dalam subbab-subbab tertentu menunjukkan kekhawatirannya atas akidah Islam jika seorang Muslim terjun sepenuhnya dalam penggunaan metode ilmiah yang ia paparkannya sendiri. Misalnya, ia menyatakan bahwa menghargai agama orang lain tidak identik dengan pengakuan akan kebaikan dan kebenaran agama tersebut. Dan bagi seorang Muslim, dalam tugasnya menyelidiki agamaagama lain, maka harus selalu berpedoman pokok kepada al-Qur`an.63 Jika ini dilakukan, lagi-lagi pengkaji akan terjebak dalam pandangan dan sikap teologis. Menurut Singgih, kalaupun kita harus mengatakan bahwa Mukti Ali telah terjatuh ke dalam sikap “apologetik” karena pendekatan teologis yang dilakukannya, maka hal itu terjadi karena ia sepenuhnya mengikuti model Joachim Wach, yaitu bahwa ilmu Dr. Media Zainul Bahri

209

harus bertujuan untuk ibadah.64 Dalam kaitan ini, Djam’annuri menambahkan bahwa setelah selesai menjabat Menteri Agama, Mukti Ali membuat dua program utama: (1) mengoordinir dosendosen menulis Agama-Agama Dunia, (2) menjadikan buku Joachim Wach, The Comparative Study of Religions (1966), sebagai teks utama program studi PA. Mengapa buku Wach? Karena bagi Mukti Ali karya itu mendiskusikan tiga hal fundamental, yaitu meaning, method dan objek kajian. Menurut Djam’annuri, metode Wach adalah metode sintesis, yakni perpaduan antara sui-generik (yang doktriner) dengan saintifik. Dari model ini, Mukti Ali menyusun gagasannya mengenai “scientific-cum-doctrinair.” Wach adalah seorang teolog, dan Mukti Ali merasa sangat cocok dengan Wach yang berpendirian bahwa ilmu tidak sekadar untuk ilmu, melainkan ilmu untuk ibadah.65 Kita juga dapat memahami bahwa ilmu PA adalah sebuah studi yang “sensitif” dan “bahaya” tidak semata bagi kaum Muslim namun juga bagi semua pemeluk agama, sebab dalam satu perspektif yang “pesimis” jika mendalaminya secara serius, ilmu ini akan mengantarkan para pengkajinya kepada sebuah “keragu-raguan baru” tentang keunikan dan kebenaran absolut agamanya ketika berhadapan dengan agama-agama lain yang juga memiliki kebenaran, keindahan, dan ajaran-ajaran yang rasional. Tentu saja, keadaan ini cukup membuat seseorang menjadi “bergetar,” “limbung” dan “goyah” keimanannya dan mulai merenungkan hal-hal yang positif pada agama lain. Akan tetapi, dalam perspektif lain yang “optimis” ilmu ini justru membawa manfaat yang besar bagi kesadaran kemanusiaan dan keagamaan. Mempelajari agama orang lain berarti membuka cakrawala tentang kebudayaan dan peradaban orang lain sebab sebagian besar peradaban agung umat manusia dibangun di atas kontribusi signifikan agama-agama manusia. Sebutkan saja monumen-monumen besar dunia atau rumusan-rumusan etis dan filosofis yang membentuk karakter umat manusia. Sebagian besarnya ditancapkan oleh agama. Mempelajari agama orang lain dengan sikap simpatik dan dalam semangat wawasan 210

Wajah Studi Agama-Agama

yang terbuka (open minded) sejatinya akan memperkaya tradisi agamanya sendiri dan membawa sensasi baru dalam menghayati pengalaman keagamaannya. 2. Mengapa Apologetik? Mengapa Apologetik? mungkin pertanyaan banyak orang. Untuk menjawabnya secara luas kita perlu sekilas menengok ke belakang. Mircea Eliade menyebut bahwa Ilmu Agama (Religionwissenschaft) mulai dirintis pada abad ke-19 dalam waktu yang hampir bersamaan dengan Ilmu Bahasa. Max Müller, sebagai sarjana yang dianggap “Bapak” Ilmu Agama atau Perbandingan Agama di dunia, dalam pengantarnya pada edisi Chips from a German Workshop (London, 1867) memberinya nama “Ilmu Agama-Agama” atau “Ilmu Perbandingan Agama.” Menurut Wilfred C. Smith, disiplin Ilmu Agama (Perbandingan Agama) dimulai menjadi kajian serius sejak Zaman Penemuan (the Age of Discovery) ketika dunia Kristen Barat menemukan bagian-bagian dunia lain; agama-agama lain, kemudian mulai menyelidiki, mengurasnya dan secara bertahap menjadi sadar akan adanya masyarakat dan wilayah yang berada jauh dari bumi mereka. Abad ke-19 adalah era bangkitnya sebuah usaha yang serius, berdisiplin untuk mengumpulkan dan menemukan bahanbahan, merekamnya secara hati-hati, memahami dan mencermatinya secara lebih sistematis. Lalu, ketika banyak yang menggandrungi kajian dunia Timur (oriental) dan antropologi, maka mulailah di sana-sini dibuka jurusan Religionwissenschaft.66 Dengan kata lain, muncul kesan yang kuat bahwa ilmu PA adalah temuan Kristen Barat, dan proyek awalnya menurut Ninian Smart, tak lepas dari kesan “Western imperialism and Christian superiority.”67 Bahkan dalam penjelasan khusus Smith, definisi dan kategori “agama” pun adalah temuan Kristen Barat, yang kemudian banyak digunakan atau sangat berpengaruh di dunia Timur.68 John Hinnells menulis secara eksplisit bahwa,

Dr. Media Zainul Bahri

211

The term ‘comparative study of religion’ is widely suspected, because it was used by particular Western academics, mainly in the nineteenth century, who were trying to prove that Christianity was superior to other religions.69

Karena itu, perbandingan dilakukan untuk menguasai atau meletakkan “yang lain” (agama lain) dalam kerangka (ukuran) subjektif (agama) pembanding. Inilah yang terjadi pada suatu periode panjang studi PA di Barat. Rupanya itulah juga yang terjadi di Indonesia. Apakah hal itu merupakan gejala umum di banyak belahan dunia? Seperti diketahui, dalam waktu yang sangat lama, Teologi dianggap sebagai Queen of the Sciences (Ratunya para ilmu); “Induk”nya ilmu-ilmu yang dikenal oleh manusia.70 Karena itu, wajar jika ia memiliki pengaruh atau “cengkeraman” yang sangat kuat selama berabad-abad dalam memori kolektif umat beragama. Di Indonesia pun, pola pikir dan sikap teologis memiliki sejarah yang panjang mulai abad pertengahan; abad Majapahit; abad para Wali Songo, bahkan bisa lebih jauh lagi ke belakang. Karena itu tidak mengherankan kuatnya cara pandang dan sikap teologis yang selalu hadir, baik pada masa sebelum kemerdekaan, maupun di masa-masa sesudah kemerdekaan hingga runtuhnya Orde Lama dan Orde Baru. Kita bisa memahami “pandangan dunia” kaum Muslim Indonesia pada masa 1950an hingga akhir 1980-an yang berkutat kuat pada Teologi dan Fikih, karena atmosfer studi agama (Islam) yang mereka hirup dan temukan adalah pada dua dimensi itu. Teologi dan Fikih memiliki pengaruh yang sangat kuat dalam denyut nadi kaum Muslim Indonesia karena memiliki riwayat, silsilah, dan hubungan yang panjang, terutama hubungan intelektual dan emosional dengan ulama-ulama besar di Timur Tengah yang menjadi Guru-Guru bagi ulama-ulama besar Nusantara. Teologi dan Fikih berhubungan langsung dengan proses terus-menerus mereka “menjadi Muslim,” dan bersentuhan langsung dengan soal-soal praktis kehidupan mereka. Mungkin, Tasawuf dan Filsafat Islam dikenal, tetapi tidak diakrabi; tidak 212

Wajah Studi Agama-Agama

familier, tidak bersentuhan langsung dengan persoalan praktis, karena itu “level”nya dianggap terlalu tinggi bagi mayoritas kaum Muslim Indonesia. Secara politis, seperti telah disebut Mukti Ali di muka, semangat dakwah meningkat di Indonesia akibat pemberontakan komunis pada 1948 dan 1965. Dua peristiwa itu menyadarkan kaum Muslim bahwa semangat dakwah harus terus digalakkan mengingat Indonesia dihuni oleh mayoritas Muslim yang secara teologis sangat bertentangan dengan paham komunisme, yang dalam pandangan kaum Muslim saat itu adalah paham pengusung utama ateisme. Dalam tensi sosial-politik yang meninggi antara komunisme dan kaum beragama saat itu, maka kegiatan sosial-keagamaan apa pun, termasuk pendidikan, harus bermuatan dakwah. Hal lain dari munculnya sikap dan kajian teologis yang apologetik adalah polemik teologis terutama yang terjadi antara Islam dan Kristen Indonesia, yang pada perkembangsnnya melibatkan banyak pihak dan munculnya banyak publikasi karya-karya teologis. Dari pihak Islam misalnya, polemik merupakan respons atau “serangan balik” kepada karya-karya non-Islam, terutama Kristen yang melakukan serangan terhadap aspek-aspek Islam yang dianggap sakral seperti soal akidah, al-Qur`an dan pribadi Nabi Muhammad yang sering kali “diserang” atau dikritik secara tajam oleh para sarjana (penulis) non-Muslim. Dari sini muncullah buku-buku para sarjana Muslim sebagai bentuk “pertahanan” atau “serangan balik.” Kisah saling serang Islam-Kristen di Indonesia adalah kisah permusuhan yang cukup lama dalam sejarah perjumpaan kedua komunitas itu. Ismatu Ropi, dalam karyanya yang sangat baik tentang “hubungan rapuh” Islam-Kristen memuat penjelasan karyakarya polemis di antara keduanya, sejak abad ke-19 hingga masa Orde Baru. Misalnya, Hendrik Kraemer menulis sebuah buku ajar berjudul Agama Islam (1928) untuk guru-guru Kristen. Namun, isinya terdapat hal-hal yang dianggap “menyinggung” atau “menghina” keyakinan kaum Muslim. Maka muncullah respons atas karya Kraemer itu. Seorang tokoh Muhammadiyah, A.D. Haanie menulis Dr. Media Zainul Bahri

213

Islam Menentang Kraemer (1929) sebagai bentuk perlawanan atas buku Agama Islam. 71 Kasus lain adalah Ten Berge, seorang Pendeta Jesuit menulis dua artikel pada 1931 yang salah satu isinya menghina Nabi Muhammad sebagai orang Arab yang “bodoh” dan suka tidur dengan perempuan. Kontan saja, tulisan itu mengundang amarah dan reaksi. Salah satunya adalah Muhammad Natsir, mantan Perdana Menteri dan tokoh Masyumi, yang kemudian menulis “Islam, Katolik dan Pemerintah Kolonial” sebagai bentuk bantahan yang keras. Antara tahun 1930 dan 1940, Natsir juga menulis beberapa artikel sebagai reaksi atas aktivitas Kristenisasi dan serangan kaum nasionalis sekuler serta kaum abangan. Dua artikelnya yang berjudul Qur`an en Evangelie dan Moehammad als Profeet adalah reaksi atas tulisan-tulisan Domingus Christoffel yang sering menyerang Islam dan menghina Nabi Muhammad.72 Pada masa Orde Lama dan Orde Baru muncul tokoh-tokoh Islam atau sarjana Muslim yang membuat tulisan polemis atau tulisan yang bersifat reaktif. Di antaranya adalah A. Hassan, tokoh utama Persatuan Islam dan Hasbullah Bakry. Hassan menulis buku berjudul Iesa dan Agamanja: Djawaban Terhadap Buku ‘Isa didalam Alquran (1958). Dari judulnya saja terlihat bahwa buku itu merupakan reaksi (balasan atau pertahanan) atas buku berjudul Isa didalam Alquran (1956) tulisan seorang Kristen Advent bernama Rifai Boerhanoe’ddin.73 Buku Hassan itu kemudian dielaborasi lebih luas oleh O. Hashem dengan judul Keesaan Tuhan: Sebuah Pembahasan Ilmiah (1962). Karya Hasbullah Bakry yang berjudul Isa dalam Qur`an, Muhammad dalam Bible (1959) adalah buku yang menyanggah karya F.L.Bakker berjudul Tuhan Yesus dalam Agama Islam (1957). 74 Sebagai respons atas maraknya isu Kristenisasi di Jawa muncul karya Umar Hasyim yang berjudul Toleransi dan Kemerdekaan Dalam Islam Sebagai Dasar Menuju Dialog dan Kerukunan Antar Agama (1979). Dalam satu bab berjudul “Cita-Cita, Program Kerja, Dan Metode Kerja Mereka” Hasyim menyebutkan bahwa ia menerima 214

Wajah Studi Agama-Agama

selebaran (pamflet) yang isinya menerangkan bahwa umat Kristen Katolik akan mengkristenkan pulau Jawa dalam waktu 20 tahun, dan seluruh Indonesia dalam 50 tahun dengan berbagai cara dan program kerja mereka.75 Karya-karya lain yang menunjukkan “permusuhan” Islam-Kristen itu misalnya Kedudukan Indjil Barnabas Menurut Islam (1970) karya Anwar Musaddad, Di Sekitar Perdjandjian Lama dan Perdjandjian Baru (tanpa tahun) karya Djarnawi Hadikusuma, dan tulisan-tulisan Sidi Gazalba seperti Dialog Antara Propagandis Kristen dan Logika (1971), Dialog Antara Kristen Advent dan Islam (1972), dan Djawaban Atas Kritik Kristen Terhadap Islam (1971). 76 Dengan beberapa contoh karya di atas, saya tidak berniat untuk menganalisis lebih jauh isi, materi dan konteks lahirnya karya-karya itu, namun saya hanya ingin menunjukkan bahwa tulisan-tulisan yang bercorak teologis-apologetik juga lahir disebabkan adanya “serangan” yang agresif karena kebencian dan permusuhan yang cukup lama yang menempel dalam memori kolektif dua agama turunan Nabi Ibrahim tersebut, sehingga memunculkan “serangan balik” atau semata bentuk “pertahanan.” Namun, tentu tidak sedikit karya-karya apologis yang lahir karena panggilan keyakinan keagamaannya untuk menunjukkan mana keyakinan yang “benar,” “suci,” dan mana keyakinan yang telah “menyimpang” atau “palsu.” Selain faktor-faktor seperti semangat dakwah atau misionarisme, pemahaman keagamaan yang formal-normatif, dan polemik teologis antara Islam dengan Kristen, Burhanuddin Daya juga menyebut bahwa pada masa-masa itu ilmu PA tidak dikenal dengan baik, apa lagi metodenya. Saya ingin kembali mengutip ungkapan Burhanuddin Daya mengenai sifat apologi ilmu PA pada awal kemunculannya. Ia menulis: Sebelum Institut Agama Islam Negeri (IAIN) ada, pemerintah Indonesia sudah mempunyai dua lembaga pendidikan tinggi Islam, yaitu Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) di Yogyakarta dan

Dr. Media Zainul Bahri

215

Akademi Dinas Ilmu Agama (ADIA) di Jakarta. Masing-masing didirikan tahun 1951 dan 1957... Sampai saat itu, pemahaman terhadap Perbandingan Agama masih sangat terbatas. Perbandingan Agama dipahami sebagai alat dakwah. Agama-agama lain diajarkan untuk kepentingan pembuktian keunggulan Islam. Begitu juga buku-buku yang ditulis. Perbandingan Agama sebagai ilmu yang memiliki metode, sistem, sejarah dan objek pembahasan tidak dikenal. Tokoh-tokoh yang mengajarkannya bukan ahli Perbandingan Agama. Ahmad Shalabi, ahli kebudayaan Islam; Mahmud Yunus, ahli pendidikan Islam; Muchtar Luthfi dan Iljas Ja’qub; dua-duanya mubaligh politik; begitu pula H. Zainal Arifin Abbas, adalah seorang ulama.77

Meski demikian, pada sosok Mukti Ali kita tidak benar-benar menemukan ia sebagai seorang apologis seperti dalam gambaran para sarjana Muslim semasanya. Saya sudah menyinggung bahwa selain mengagumi Wilfred Smith, Mukti Ali sesungguhnya juga telah mewarisi “jalan pikiran” gurunya itu, namun ia harus bersikap “hati-hati” dalam menghadapi euforia kaum Muslim atas semangat dakwah yang baru dan sedang berlangsung di masa itu. Pada Januari 1962 Mukti Ali memberi ceramah tentang Isra dan Mikraj, antara Iman dan Ilmu Pengetahuan. Ceramah ini menurut saya memberi petunjuk yang jelas bahwa Mukti Ali adalah sarjana Muslim yang istimewa. Dalam ceramah itu, ia memberi ulasan khusus mengenai munculnya para apologis Muslim modern yang memandang bahwa Islam sedang terancam karena adanya serangan dari agama Kristen, rasionalisme, liberalisme dan Westernisasi. Menurut Mukti Ali, para apologis Muslim secara “membabi-buta” mempertahakan Islam dari berbagai serangan itu dengan cara menunjukkan bahwa kesempurnaan dan keunggulan Islam terdapat dalam seluruh cita, ide, nilai dan implementasinya secara sempurna.78 Para apologis itu selalu berbangga dengan zaman keemasan sejarah Islam pada masa Khulafa Rasyidin, Umawi dan Abbasiah. Menurut Mukti Ali, tak ada yang bisa dilakukan oleh kaum apologis selain emosi dan semangat belaka. Padahal—Mukti Ali membuat 216

Wajah Studi Agama-Agama

catatan penting—bahwa agama dan dunia hanya bisa dibangun dengan iman, otak (ilmu) dan tjutjuran peluh (kerja keras),79 bukan dengan emosi dan mimpi romantisme masa lalu. Dalam konteks inilah, Mukti Ali kemudian menunjukkan bahwa ia bukan seorang apologis; ia malah mengkritik pandangan dan sikap apologi, lalu menekankan kepada kaum Muslim akan pentingnya ilmu pengetahuan dan sikap rasional dalam membangun agama dan negara. Ia menulis: Memang betul disana-sini apologi menimbulkan faedah yang positif, tetapi dalam keseluruhannja ia adalah negatif. Ia menimbulkan kepuasan, tidak lebih daripada itu, dan djarang sekali apologi itu bisa menimbulkan semangat untuk bekerdja lebih keras. Dalam masjarakat jang dinamis, jang segala pikiran harus dipergunakan untuk mentjari soal-soal baru jang creatif untuk disadjikan kepada masjarakat, sematjam di Indonesia sekarang ini, maka usaha-usaha apologi sebenarnja lebih banjak merugikan daripada menguntungkan.80

3. Periode Kedua: Merintis Metodologi Ilmiah Dalam semangat rasionalisasi dan pengembangan ilmu pengetahuan inilah, maka pada periode kedua—lagi-lagi hanya istilah teknis belaka—kita tidak mungkin bisa mengabaikan keinginan Mukti Ali untuk membuat kajian PA menjadi ilmu yang otonom dengan seperangkat metodologi tertentu. Ia menegaskan: Perbandingan Agama itu bukan apology. Perbandingan Agama bukanlah suatu alat untuk mempertahankan kepertjajaan dan agama seseorang, tetapi sebaliknja, Perbandingan Agama merupakan alat untuk memahami fungsi dan tjiri agama, sebagai suatu tjiri jang naluri bagi manusia...81 Sekarang timbul pertanjaan, apakah mungkin bagi seorang jang telah mempertjajai sesuatu agama bisa menaruh simpati terhadap agama dan kepertjajaan lain dalam penjelidikannja itu? Kami kira bisa, sebab

Dr. Media Zainul Bahri

217

sekalipun orang telah mempunjai kejakinan jang kokoh tentang benarnja sesuatu kepertjajaan jang ia peluk, ia toh bisa menghargai pengalaman-pengalaman rohani lain orang, karena keharusan bagi seseorang untuk menghargai dan menghormati sesama manusia, termasuk djuga agama dan kepertjajaannja...82

Dua pernyataan penting bahwa studi PA bukan “sikap teologis yang apologetik” dan kemampuan atau keharusan seorang pengkaji PA untuk bersikap “simpatik” terhadap keyakinan orang lain menunjukkan bahwa Mukti Ali sejak awal telah menyadari akan keharusan kemandirian ilmu ini dan perbedaannya yang tegas dengan Teologi, Sejarah Agama, dan Filsafat Agama misalnya, meskipun dalam beberapa kasus ia sendiri dan murid-muridnya “terjebak” mempraktikkan kajian PA dengan pendekatan teologis. Mukti Ali menyebut tiga bagian pokok Ilmu Agama (Science of Religion) yaitu Sejarah Agama (History of Religion), Perbandingan Agama (Comparison of Religion), dan Filsafat Agama (Philosophy of Religion). Pembagian ini dalam perspektif Mukti Ali menunjukkan bahwa PA adalah disiplin otonom yang berusaha memahami aspek-aspek yang diperoleh dari Sejarah Agama misalnya, kemudian menghubungkan atau membandingkan satu agama dengan lainnya untuk menemukan struktur yang fundamental dari berbagai pengalaman dan konsepsi keagamaan dengan cara menganalisis persamaan dan perbedaan di antara agama-agama.83 Bagi Mukti Ali dalam periode itu, “Perbandingan” adalah sebuah disiplin ilmu sekaligus juga pendekatan yang berbeda (baik definisi, tujuan dan metodenya) dengan cabang ilmu-ilmu agama lain. Studi ilmiah agama dalam kerangka sikap simpatik dalam mempelajari agama orang lain seperti disebut Mukti Ali sesungguhnya merupakan arus utama (mainstream) di Barat, dan Mukti Ali sendiri mengambilnya dari tradisi Barat. Sejak akhir abad ke-19, lalu awal abad ke-20 hingga tahun 1980-an, figur-figur penting studi PA di Barat seperti Rafael Pettazoni, Fridrich Heiler, Joachim Wach, Mircea Eliade, Willfred Cantwell Smith, Ninian Smart, Joseph Ki218

Wajah Studi Agama-Agama

tagawa, Raimundo Pannikar hingga Ursula King, Jacques Waardenburgh dan Frank Whalink telah menancapkan “fondasi” mengenai studi ilmiah agama kritis dari sisi metodologi, dan keharusan memiliki sikap yang simpatik dan empati terhadap keyakinan dan ritus agama-agama yang dikaji, dari sisi materi agama-agama. Jika seseorang menggunakan cara ini dan kaidah lain yang melengkapinya tentu ia akan berhasil mendeskripsikan sebuah pandangan dunia tentang agama yang dikajinya atau pengalaman spiritual para pemeluknya yang relatif lebih objektif. Dan yang terpenting ia akan menghindari sikap “menilai” atau “menghakimi” seperti yang biasa dilakukan oleh Teologi Agama. Dalam karyanya pada periode kedua ini, Ilmu Perbandingan Agama Di Indonesia (1988), sebuah karya yang ditulis Mukti Ali sebagai prasaran dalam seminar Peringatan Seperempat Abad Ilmu Perbandingan Agama di IAIN sekaligus karya yang mengantarkannya ke gerbang pensiun pada Agustus 1988, aspek metode ilmiah dalam studi PA terlihat lebih menonjol. Mukti Ali termasuk sarjana yang percaya bahwa untuk memahami agama secara luas dibutuhkan beragam pendekatan. Ia setuju dengan pendekatan konvensional yang biasa dilakukan seperti pendekatan historis yang dibantu atau didasarkan pada hasil penelitian arkeologis dan filologis, pendekatan antropologis, sosiologis, psikologis, fenomenologis; pada model ini ia menunjukkan perhatian yang cukup luas, dan pendekatan tipologis. Namun berbagai pendekatan itu dalam pengertiannya sebagai metode ilmiah dengan prosedur dan disiplin yang empiris, logis dan utuh dari premis-premis yang jelas, dianggap Mukti Ali masih memiliki kekurangan karena persoalan agama adalah soal realitas dan pengalaman spiritual. Karena itu, ia menambahkan satu pendekatan yang khas agama, yaitu “dogmatis.” Dengan model ini, Mukti Ali menganggap telah membuat “sintesis” baru yaitu apa yang disebut sebagai pendekatan “religion-scientifik” atau “scientifik-cum-doctrinair” atau “ilmiah agamais.”84 Apa yang dimaksud dengan “ilmiah-agamais”? Kiranya Mukti Ali menunjuk kepada “makna agamis” (religious meaning) yang diDr. Media Zainul Bahri

219

kandung dalam keyakinan, pemahaman, ritus, simbol dan hal-hal yang serupa. Ia merujuk kepada pandangan Mircea Eliade bahwa arti suatu fenomena agama dapat dipahami hanya jika ia dipelajari sebagai sesuatu yang agamais. Menurut Eliade, untuk dapat memahami esensi fenomena keagamaan, alat-alat seperti fisiologi, psikologi, ekonomi, bahasa, seni, atau studi-studi lainnya, adalah palsu (dalam pengertian yang moderat: tidak cukup!). Harus ada sebuah cara untuk bisa menangkap sebuah fenomena yang lahir dari elemen kesucian, dari Yang Kudus.85 Jika ilmiah-agamais yang dimaksud Mukti Ali untuk menemukan religious meaning dari pengalaman keagamaan, maka pendekatan Fenomenologis-lah yang sedang dibidiknya. Bagaimana pengalaman keagamaan yang subjektif itu bisa diteliti? Bagi Mukti Ali yang subjektif itu bisa diobjektifkan karena ia memiliki beragam ekspresi, dan ekspresi-ekspresi itu memiliki struktur positif yang bisa dipelajari. Pengalaman keagamaan itu diekspresikan dalam tiga bentuk: pertama, teoretis atau intelektualis, termasuk di dalamnya teologi, kosmologi, dan antropologi; kedua, praktis atau amalan, yaitu ibadah; dan ketiga adalah sosiologis, yaitu ekspresi dalam bentuk pergaulan sosialnya. Ekspresi teoritis dari pengalaman keagamaan yang utama adalah mitos, doktrin, dogma dan soal-soal teologis lainnya. Adapun tema fundamental dalam pemikiran agama (intelektualis) adalah Tuhan dan kosmos, yang di dalamnya dunia dan manusia. Setelah masalah ketuhanan, maka masalah dunia adalah topik besar kedua yang dikandung dalam ekspresi intelektual dari pengalaman keagamaan. Termasuk dalam kosmologi ini adalah masalah hakikat dunia, asal-usulnya, susunannya dan kehancurannya. Hakikat manusia adalah topik terakhir dari tiga topik besar: teologi, kosmologi, dan antropologi. Namun, yang dimaksud manusia (dalam pengertian antropologis) di sini bagi Mukti Ali adalah soal ontologis-filosofis: apa dan siapa manusia dalam pandangan agama-agama, ruhnya, tujuan hidupnya dan tujuan akhirnya.86 Ini semacam pembahasan manusia dari perspektif teologi dan filsafat agama-agama. Jadi, bukan antropologi dalam pe220

Wajah Studi Agama-Agama

ngertian budaya-budaya dan struktur kebudayaan manusia dengan berbagai kompleksitasnya seperti yang lazim dipelajari dalam Ilmu Antropologi. Soal cara atau metode untuk memahami agama orang lain memang cukup populer dalam studi PA. Mukti Ali sendiri membuat satu ulasan khusus mengenai hal ini dengan mengutip seluruhnya dari Joachim Wach. Menurut Mukti Ali, setidaknya ada empat hal yang harus diperhatikan seorang pengkaji untuk memahami keyakinan orang lain, (1) syarat intelektual; berarti adanya data dan informasi yang menyeluruh mengenai agama yang hendak dipahami. Hal itu hanya dapat dipahami dengan cara menguasai bahasa asli kitab sucinya. Sulit rasanya untuk memahami agama orang lain tanpa kemampuan membaca kitab sucinya dan ajaran-ajarannya dalam bahasa ibunya (asli). (2) Kondisi emosional yang cukup; berarti harus ada “feeling,” perhatian, partisipasi aktif, kepedulian, keinginan untuk bergaul dan tidak bersikap masa bodoh. (3) Kemauan yang kuat dan harus berorientasi konstruktif, dan (4) memiliki pengalaman dalam pengertiannya yang luas, yakni mampu menyelami pikiran, watak, perasaan, dan segala perilaku pemeluk agama yang ditelitinya.87 Catatan Mukti Ali ini kemudian dikutip oleh hampir semua buku ajar PA di Indonesia. Sampai di sini Mukti Ali telah membuat semacam peta yang cukup sistematis, simpel, bisa diaplikasikan (applicable) dan komprehensif, dalam pengertian bahwa ilmu-ilmu sosial sebagai perangkat metodologis telah disinggungnya. Meskipun secara garis besar, corak yang terlihat dominan masih pada aspek (pendekatan) teologis. Aspek yang dominan memang masih pada Teologi, yaitu Teologi tentang manusia dan alam. Bagaimanapun, pada masa itu Mukti Ali sudah mulai memperkenalkan ilmu-ilmu sosial dalam penelitian tentang agama.88 Dalam periode ini, dapat dikatakan Mukti Ali telah mengukuhkan aspek metodologis bagi studi PA. Bahkan dalam dua periodisasi yang saya buat atau dalam rentang hampir tiga dekade (19611988) karier dan pengabdiannya dalam studi PA, ilmu Perbandingan Dr. Media Zainul Bahri

221

Agama ini sebagai disiplin dan metode (perbandingan) telah menjelma menjadi sosok yang jelas (bukan “banci”) dengan sebuah kejelasan pula—untuk masa itu—dalam aspek ontologis, epistemologis dan aksiologisnya sebagaimana lazimnya sebuah ilmu yang otonom. Inilah jasa terbesar Mukti Ali dalam mendirikan dan membangun ilmu PA di Indonesia sebagai ilmu yang benar-benar baru dalam konstelasi studi agama atau studi Islam Indonesia. Karena jasanya ini, ia disebut sebagai Bapak Ilmu Perbandingan Agama Indonesia yang dapat disejajarkan—dalam beberapa hal—dengan Muhammad ‘Abd al-Karim al-Syahrastani di dunia Islam.89 Meskipun harus diingat, bagi Djam’annuri, bahwa segala usaha Mukti Ali dalam mengukuhkan ilmu PA, pada aspek terminologi, metodologi dan aksiologinya—adalah dalam konteks Perguruan Tinggi Islam atau bagian dari studi Islam. Di saat yang sama ketika merumuskan scientific cum-doctrinaire, Mukti Ali sendiri secara jujur menyatakan bahwa “sebenarnya Ilmu Perbandingan Agama sebagai ilmu belum pernah dibicarakan secara mendalam di Indonesia,”90 namun melalui rumusannya mengenai “ilmiah agamais” itu ia telah membuka jalan yang lebar bagi ‘pengembangan’ dan ‘pendalaman’ studi PA selanjutnya. Karena itulah, beberapa “murid” senior Mukti Ali pada masa awal 1990-an kemudian mempertegas aspek metodologis dan cara kerja disiplin ilmu ini. Sekadar contoh beberapa nama seperti Burhanuddin Daya, Alef Theria Wasim, Amin Abdullah, Romdhon, Djam’annuri, dan Singgih Basuki dari UIN Yogyakarta, Farihin Chumaidi dari UIN Bandung, Kautsar Azhari Noer dari UIN Jakarta adalah para sarjana ahli PA yang berkontribusi dalam memperjelas objek, cakupan, dan cara kerja PA. Bahkan, pada gilirannya, mereka terus mendorong ilmu PA ke arah transformasi baru, baik dari aspek metodologis maupun isu-isunya yang terus berkembang. Dalam hal pengertian dan manfaat studi PA, Singgih menekankan kembali pandangan Mukti Ali bahwa dengan mempelajari agama-agama dan pendekatan-pendekatan yang melingkupinya, maka seseorang akan memahami bahwa agama itu multi dimensi, 222

Wajah Studi Agama-Agama

bukan hanya terdiri atas aspek yang normatif atau doktriner saja, melainkan ada aspek-aspek sosial atau agama sebagai fenomena sosial. Bagi Mukti Ali, seperti dikemukakan Singgih, poin penting studi PA adalah bahwa seorang pengkaji akan memahami: (1) struktur asasi pengalaman keagamaan, dan (2) makna (meaning), nilai dan pentingnya agama bagi kehidupan manusia. Jadi, studi PA bukan semata mencari persamaan dan perbedaan di antara agamaagama. Jika hanya melakukan itu, maka orang awam juga bisa melakukannya.91 Menurut Djam’annuri, dengan scientifik-cum-doctrinair, Mukti Ali mengarahkan studi PA dalam dua proses: pertama, proses obyektif-saintifik, yakni menjadikan agama-agama atau fenomena keagamaan sebagai konsumsi keilmuan yang “objektif.” Kedua, proses studi dalam cahaya “dialog imani” atau dengan muatan yang “doktriner.” Dalam arti, bagaimana melihat studi PA dari perspektif studi keislaman. Menurut Djam’annuri, tahap kedua ini tidak boleh dibaca sebagai bagian dari studi PA, melainkan harus dilihat bahwa studi PA berada di “lingkungan” IAIN/UIN yang memiliki misi keislaman.92 Dalam hal metode konvensional PA, Burhanuddin Daya menegaskan bahwa tidak benar adanya anggapan jika ilmu ini tidak memiliki metode tersendiri. Metode yang berlaku dalam PA, di samping metode ilmu-ilmu sosial, juga metode filsafat dan metode teologis, atau metode teks suci, tergantung pada aspek apa yang diteliti, siapa yang meneliti dan untuk kepentingan apa penelitian dilakukan.93 Menurut Daya, studi agama berkembang menjadi disiplin yang berdiri sendiri dirintis oleh Max Müller dengan teori etimologi dan perbandingan bahasa (etymological theories dan comparative linguistics), juga menggunakan metode sejarah. Orang yang fanatik dengan metode sejarah adalah C.P. Tiele (1830-1902). Ia orang pertama yang menawarkan survey sejarah terhadap sejumlah agama berdasarkan studi atas sumber material dalam bahasa-bahasa asli Iran, Mesir, Mesopotamia, Israel dan Yunani. Tiele kemudian melengkapinya dengan metode filsafat.94 Dr. Media Zainul Bahri

223

Muncul pula metode kritik dalam memahami Bibel, kehidupan Yesus dan sejarah gereja. Tokohnya adalah Joseph-Ernest Renan (1823-1892). Lalu muncul metode psikologi dengan tokoh-tokoh seperti William James, Hendry Leuba dan lain-lain. Lalu, metode antropologi tentang asal-usul agama pada masyarakat primitif dan teori evolusi agama. Lalu, metode sosiologi. Lalu, metode tipologi Nathan Soderblom (1866-1931). 95 Jadi, dalam pandangan Burhanuddin, ilmu PA tidak hanya fokus pada perbandingan ajaran teologis pada agama-agama semata, namun dapat meminjam macam-macam disiplin/pendekatan ilmu lain, tergantung pada aspek yang ditelitinya. Pandangan ini sesungguhnya juga masih dalam kerangka yang telah dirumuskan Mukti Ali. Alef Theria Wasim mencoba mendiskusikan lebih lanjut pandangan Mukti Ali di atas. Menurutnya, secara terminologis, ilmu PA adalah sebutan lain dari Ilmu Agama (science of religion atau Religionwissenschaft). Disebut ilmu PA karena lebih menekankan aspek “perbandingan,” dalam pengertian mementingkan perbedaan dan persamaan objek yang dikaji. Akan tetapi, Alef mengingatkan bahwa studi perbandingan bukan perkara mudah. Ia memerlukan keahlian dan keterampilan tersendiri. Ketika Alef menulis artikel ini (pada 1989), ilmu PA tidak bisa menghindari pengaruh kuat ilmu-ilmu sosial.96 Dalam konteks inilah, orang bisa mengerti gagasan Mukti Ali mengenai gabungan pendekatan-pendekatan ilmu sosial dengan pendekatan “dogmatis” atau “doktriner” (fenomenologis). Meski demikian bagi Alef, pertanyaan yang cukup menantang adalah apakah ilmu PA akan menjadi ilmu “murni,” “netral” atau “berdiri sendiri” yang lepas dari studi Islam di IAIN? Atau tetap menjadi bagian dari wilayah studi Islam IAIN? Menurut Alef, jika lepas dari IAIN, maka studi PA akan menghasilkan sarjana yang ahli Hinduisme, Buddhisme, Yudaisme, Kristen, dan lain-lain yang tanpa keterkaitan dengan perbandingan atau analisis dari Islam.97 Apakah hal ini yang diinginkan? Kelihatannya Alef tidak menyetujui model itu. Seperti Mukti Ali, ia mengusulkan para pengkaji studi 224

Wajah Studi Agama-Agama

PA dalam melakukan studi untuk tidak mengambil secara mentah apa yang datang dari “Barat,” namun juga tidak melulu menjadi “orang dalam” yang sempit. Tidak semata mengikuti model para Orientalis Barat dalam mengkaji agama sebagai yang netral dan ilmiah murni, juga tidak menjadi apologis terhadap agama sendiri. Bagi Alef, yang terbaik adalah meneruskan ide Mukti Ali tentang Scientific-cum-Doctrinair (ScD), tetapi harus jelas apa yang mau dikembangkan dalam rumusan ScD itu? Cara kerjanya seperti apa (secara konkret)? Jika telah ditemukan model yang konkret, maka kerja selanjutnya adalah menemukan sintesis baru dari rumusan ScD itu.98 Secara umum, artikel Alef di atas berisi banyak pertanyaan kritis dan “kegelisahan” mengenai bentuk konkret dari rumusan ScD Mukti Ali. Namun, Alef sendiri tidak memiliki jawaban yang memuaskan, kecuali hanya meneruskan rumusan metodologis Mukti Ali tersebut. Hal itu dikuatkan dengan komentar Alef di akhir artikel tersebut bahwa ketidakjelasan sosok ilmu PA, termasuk fungsi dan prospek pengembangannya di IAIN, akan semakin berkurang jika kita bisa menegaskan kembali tujuan umum dan tujuan khusus dari studi PA. Tujuan yang bersifat umum adalah tujuan ilmu pengetahuan secara umum, yakni untuk “mengetahui” dan “memahami” (dalam hal ini agama), sedangkan tujuan khusus adalah tujuan yang lebih ditekankan pada kepentingan pemeluknya (yakni Muslim karena di IAIN), misalnya untuk memperdalam keyakinan Islam, untuk dakwah, untuk membina keislaman di kalangan kaum Muslim sendiri, dan akhirnya tujuan khusus ilmu ini adalah untuk “ibadah.”99 Lagi-lagi, pandangan Alef ini tak lain adalah gagasan pokok yang telah ditancapkan oleh Mukti Ali. Tiga sarjana PA lain, yaitu Romdhon, Farichin, dan Kautsar bersepakat (atau setidaknya membuat catatan) dalam hal-hal penting berikut: (1) studi PA adalah studi deskriptif bukan normatif seperti dalam teologi. Studi deskriptif adalah usaha untuk memahami dan menggambarkan objek tanpa melibatkan unsur-unsur subjektif dan berubah-ubah dari pihak pengkaji. Semboyannya adalah “ObDr. Media Zainul Bahri

225

jektivitas.” Inilah ciri dan karakter sikap ilmiah. Studi PA juga memiliki perbedaan yang tegas dengan Teologi Agama dan Filsafat Agama dalam hal objek kajian dan cara kerjanya. Studi PA hendak mengkaji semua agama, tidak hanya satu agama atau agama tertentu saja seperti dalam Teologi dan Filsafat Agama. Dalam melakukan kajiannya, PA tidak memberikan penilaian, baik yang berkenaan dengan “salah” dan “benar,” maupun yang berkenaan dengan “kekuatan” dan “kelemahan” pada agama-agama yang dikaji. Persoalan “penilaian” itu adalah wewenang Teologi dan Filsafat Agama. Juga PA tidak bertugas mengaslikan, memperbarui atau memajukan suatu agama sebab itu juga tugas Teologi.100 Dalam Diktat Ilmu Perbandingan Agama: Sejarah dan Metode (Jakarta, 1989), Kautsar membuat Skema perbedaan yang tegas antara PA, Filsafat Agama, dan Teologi Agama, sebagai berikut:101 Perbedaan Antara Perbandingan Agama, Filsafat Agama, dan Teologi PERBANDINGAN FILSAFAT AGAMA AGAMA Deskriptif Objektif Netral Tidak terikat Berdasar pada pengamatan Empiris, Positif Bertolak dari keinginan untuk mengetahui Membicarakan semua agama

226

TEOLOGI

Normatif Subjektif Netral atau berpihak Tidak terikat atau terikat Berdasar pada akal

Normatif Subjektif Berpihak Terikat

Metafisis, Spekulatif Bertolak dari kritik rasional, keraguraguan, atau pertanyaan Membicarakan dasardasar agama pada umumnya atau dasardasar agama satu agama

Metafisis, Spekulatif Bertolak dari kepercayaan atau keimanan

Berdasar pada wahyu

Membicarakan satu agama

Wajah Studi Agama-Agama

(2) Objek formal PA adalah pengalaman keagamaan (religious experience) yang diekspresikan melalui pemikiran, perbuatan dan persekutuan menurut istilah Joachim Wach, atau tiga ekspresi dalam bahasa Mukti Ali adalah teoretis (intelektualis), praktis (amalan), dan sosiologis (pergaulan). Dari berbagai ekspresi atau fenomena yang muncul dari pengalaman keagamaan itu, hendak menemukan “makna agamis” (religious meaning). Menurut Farichin, pertama-tama Ilmu PA diarahkan pada pemahaman tentang “makna” (meaning) dari fenomena-fenomena agama. Ini adalah khas Ilmu PA yang membedakannya dengan bidang-bidang studi lain yang sejenis yang sama-sama mengkaji agama-agama seperti Sejarah Agama, Sosiologi Agama, Psikologi Agama, Antropologi Agama dan lain-lain. Sebab, jika tidak dibedakan dengan tegas, maka kemandirian dan eksistensi Ilmu PA akan digugat oleh bidang-bidang studi lain yang sejenis, dan hal itu akan membuat “goyah” ilmu PA sebagai ilmu yang telah berdiri sendiri.102 Lalu, menurut Farichin lebih lanjut, objek kajian ilmu PA bukan hanya satu agama tertentu yang diyakini kebenarannya, dan juga bukan hanya satu agama tertentu di luar agamanya sendiri. Garapan pengkajian dan penelitian ilmu PA adalah lebih dari satu agama, baik agama-agama masa lalu maupun agama-agama yang hidup masa kini (living religions).103 Kedua, Farichin juga menyatakan bahwa Ilmu PA sesungguhnya juga berbeda dengan Fenomenologi Agama. Perbedaannya jelas bahwa fokus penelitian PA adalah persamaan, perbedaan, tipologi, klasifikasi, generalisasi dan struktur asasi dari agama-agama. Sedangkan Fenomenologi Agama mengarahkan penelitiannya untuk memahami religious meaning dari berbagai fenomena agama yang dikajinya. Ilmu PA juga berbeda dengan Sosiologi Agama yang fokus kajiannya pada pengaruh dan peranan agama dalam kehidupan masyarakat, atau sebaliknya. Dalam dua catatan di atas, Farichin menegaskan tugas pokok PA yang tidak bisa keluar dari bangunan atau struktur pokok agama-agama yaitu kredonya, keyakinannya, ritusnya, mitosnya dan hal-hal yang berkaitan.104 Jadi, Farichin— dalam hal tugas pokok dan objek formal PA—menegaskan posisiDr. Media Zainul Bahri

227

kat agamis atau model pemerintahan yang berasaskan agama, munculnya pandangan teologi yang progresif mengenai pluralisme agama dan dialog antaragama dan hal-hal lain, menyebabkan gairah terhadap studi agama meningkat, baik dari sisi isu-isu yang muncul maupun metodologinya. Pada saat yang sama, banyak dosen IAIN yang dikirim sekolah ke luar negeri, terutama Barat, sebagai salah satu program unggulan Departemen Agama kala itu (yang dirintis oleh Menteri Agama Munawwir Syadzali) mulai kembali pulang ke tanah air dengan membawa “oleh-oleh” berupa isu-isu dan metodologi studi agama yang berkembang di Barat saat itu. Keadaan ini berpengaruh secara langsung terhadap munculnya sosok baru studi agama di Indonesia yang progresif dan sering kali “kontroversial.” Kedua, keadaan di dalam negeri sendiri, pada era 1990-an, adalah masa senja Orde Baru. Gelombang demokratisasi di negeranegara maju tak bisa dibendung untuk masuk ke Indonesia. Diskursus yang marak—waktu itu—soal politik, suksesi kepemimpinan, demokrasi dan tatanan sosial mau tak mau harus juga membincangkan peran sosok agama: menyangkut pemahaman masyarakat atas agama, lembaga-lembaga agama, bagaimana cara mengelola kemajemukan agama dalam sebuah negara demokrasi, posisi dan kontribusi tafsir agama atas persoalan yang sedang trend saat itu. Dari sinilah gayung bersambut. Faktor yang pertama berjumpa dengan yang kedua. Keadaan inilah yang menyebabkan studi PA mendapat perhatian luas seiring dengan harapan masyarakat atas kontribusinya di bidang kerukunan umat beragama misalnya, atau dalam bidang lain yang membawa kesejukan (dan harmoni) bagi kehidupan sosial-keagamaan yang sedang meluncur ke arah perubahan. Meski demikian, hingga menjelang masa reformasi (tahun 1997) di mana perubahan yang telah diprediksi benar-benar terjadi, belum banyak muncul karya-karya PA sarjana Muslim Indonesia yang benar-benar ilmiah. Jika di Barat pada tahun-tahun ini, banyak muncul karya yang serius dari para sarjana Studi Agama-Agama (religious studies) mengenai metodologi, atau dari sisi materi agama Dr. Media Zainul Bahri

239

banyak lahir pula buku-buku mengenai agama-agama dunia yang valid atau isu-isu yang berkembang seperti pluralisme agama dan dialog antaragama, maka tidak demikian halnya yang terjadi di tanah air. Tidak benar-benar nihil; memang muncul beberapa karya bermutu yang langsung berkaitan dengan studi PA, namun cukup sedikit dari segi kuantitas. Sebaliknya, karya-karya yang berkaitan langsung dengan studi Islam semarak muncul di mana-mana. Sebagian besarnya merupakan karya yang bermutu, baik tentang tema-tema tertentu maupun karya yang menyoroti metodologi studi Islam kontemporer. Perkembangan yang kurang signifikan dari sisi produktivitas karya-karya bermutu tentang PA dikeluhkan oleh Burhanuddin Daya; salah satu orang dalam lingkaran pusat studi PA. Katanya: Tidak majunya studi PA di Indonesia disebabkan tidak ada penelitian serius, publikasi dan penerbitan PA berkala, juga lemahnya metodologi sarjana-sarjana PA sendiri, Guru Besarnya hanya Mukti Ali itu pun sudah pensiun. Hal itu sangat jauh berbeda dengan di Eropa dan Amerika.129

Keadaan itu tentu disadari juga oleh para akademisi yang terlibat langsung dengan kajian PA. Kautsar Azhari Noer misalnya menulis satu artikel yang relevan berjudul Beberapa Kemungkinan Pengembangan Studi Perbandingan Agama (1998). Menurutnya, PA sebagai sebuah cabang studi ilmiah tentang agama-agama perlu mendapat perhatian serius agar studi ini dapat berkembang dengan baik sesuai dengan tuntutan akademis yang inovatif dan tuntutan praktis yang dinamis. Apa kemungkinan-kemungkinan yang dapat dilakukan untuk mengembangkan PA? Menurut Kautsar setidaknya ada empat (4) hal penting yang harus disoroti: (1) Berbagi (sharing) informasi di antara para sarjana PA, mengingat abad ini adalah abad “banjir bah” informasi. (2) Peningkatan kualitas ilmiah para tenaga pengajar PA. Misalnya, pengiriman para dosen itu untuk belajar S-2 dan S-3 di bidang studi PA atau Studi Agama-Agama di 240

Wajah Studi Agama-Agama

Barat, atau mendatangkan Guru Besar PA dari luar negeri untuk mengajar di UIN/IAIN selama satu atau dua semester. (3) Pengembangan tema-tema yang relevan dengan kehidupan/perubahan umat manusia. PA harus meninggalkan tema atau topik-topik lama yang sudah tidak relevan. (4) Pengembangan metodologi. Pendekatan-pendekatan studi PA selama ini seperti sosiologis, antropologis, psikologis, fenomenologis, historis, komparasi dan dialogis memiliki kelebihan dan kelemahan masing-masing. Tergantung kepada objek kajian yang hendak diteliti. Dalam hal memahami struktur, sistem dan esensi agama-agama, menurut Kautsar, pendekatan fenomenologis dan dialogis masih merupakan pendekatan terbaik. Pada masa akhir 1980 hingga pertengahan 1990-an sebagai era kemunculan studi PA yang ilmiah dan humanis, meskipun tidak banyak—seperti telah disinggung, beberapa karya bermutu layak untuk dicatat. Dalam aspek metodologi PA, lahir karya-karya seperti Ilmu Perbandingan Agama di Indonesia (1988) tulisan Mukti Ali, Diktat Ilmu Perbandingan Agama: Sejarah dan Metode (1989) karya Kautsar Azhari Noer. Lalu, ada pula dua buku kumpulan tulisan ahli-ahli PA Indonesia terbitan INIS (Indonesia-Netherlands Cooperation in Islamic Studies), yaitu Ilmu Perbandingan Agama di Indonesia (Beberapa Permasalahan) (1990) dan Ilmu Perbandingan Agama Di Indonesia dan Belanda (1992). Ilmu Perbandingan Agama (1994) karya Mudjahid Abdul Manaf, dosen PA IAIN Semarang, Metodologi Ilmu Perbandingan Agama: Suatu Pengantar Awal (1996) karya Romdhon. Muncul pula Agama Masa Depan, Perspektif Filsafat Perenial (1995) karya Komaruddin Hidayat dan M. Wahyuni Nafis. Studi Agama, Normativitas atau Historisitas (1996) karya M. Amin Abdullah. Dua karya terakhir ini mendapat sambutan luas publik. Karya Amin Abdullah pada tahun itu telah mengukuhkan metodologi PA yang bercorak deskriptif, historis-empirik bersamasama dengan pendekatan fenomenologis dan teologi yang telah direkonstruksi. Lalu, patut disebut juga Perbandingan Agama (1994) karya Achmad Asrori, dosen PA IAIN Raden Intan Tanjungkarang, Dr. Media Zainul Bahri

241

Lampung, dan Ilmu Perbandingan Agama (1994) karya Mudjahid Abdul Manaf, dosen PA IAIN Semarang. Dua tulisan menarik Kautsar Azhari Noer yang dimuat Jurnal Ulumul Qur‘an berjudul “Perbandingan Agama: Apa yang Diperbandingkan (1993)” dan “Passing Over” Memperkaya Pengalaman Keagamaan (1994)” pantas juga disebut sebagai tawaran kritis atas metode memahami struktur asasi dan esensi agama-agama. Karya-karya lain yang sangat mungkin tak terjangkau oleh saya. Dalam hal materi studi PA segelintir karya bermutu juga muncul seperti Agama-Agama Dunia (1988) karya 12 dosen PA Yogyakarta, Ajaran Ontologi Aliran Kebatinan (1996) karya Romdhon. Dua karya itu ditulis dalam semangat akurasi dan validitas iman, penghayatan dan pemahaman keagamaan para pemeluknya. Santri dan Abangan Di Jawa (diterbitkan oleh INIS pada 1988, meskipun Tesis di McGill, Kanada ini selesai pada 1975) karya Zaini Muchtarom, akademisi senior PA (khususnya dalam bidang Sosiologi Agama) dan sudah pensiun, juga sebuah karya kritis tentang pergumulan santri dan abangan dengan pendekatan sejarah sosialpolitik di Jawa. Tentang dialog antaragama yang mulai marak pada masa itu, maka buku terbitan Interfidei, Dialog: Kritik & Identitas Agama (1993) adalah karya sangat baik mengenai seluk-beluk dialog intra dan antariman serta posisi identitas masing-masing pemeluk agama. Buku ini ditulis oleh 13 tokoh agama dan budaya terkemuka Indonesia dan tiga tokoh agama dari luar negeri. Buku lain yang berkaitan langsung dengan tema PA adalah “Passing Over,” Melintas Batas Agama (1998). Inilah buku segar pada era itu yang mendapat apresiasi dan sambutan antusias publik. Dalam konteks metode memahami agama lain yang berbeda, karya ini cukup berpengaruh bahkan sampai hari ini. Passing Over ditulis oleh 18 tokoh dan sarjana agama terkemuka dari Islam, Kristen, Konghucu, Buddha dan Hindu. Namun, tulisan khusus Kautsar Azhari Noer, “Passing Over”: Memperkaya Pengalaman Keagamaan,” di samping kemudian menjadi judul buku, artikel tersebut merupakan salah satu tema pokok dalam PA yang sedang hangat dibicarakan saat itu. 242

Wajah Studi Agama-Agama

E. Studi Perbandingan Agama dan Politik Meskipun berada di tengah pembahasan (yang mungkin semestinya berada di awal), namun saya tetap ingin membuat satu bagian khusus mengenai hubungan studi PA dan politik, suatu pembahasan yang sulit dihindari. Bagian ini saya letakkan di tengah dengan harapan dapat melengkapi penjelasan bagian-bagian penting di atas dan bagian-bagian yang akan dibahas di bawah, terutama bagian mengenai isu-isu penting. Bahwa secara akademis, Mukti Ali memiliki kemampuan dan minat yang sangat besar terhadap studi PA dan dialog antaragama, tak ada yang meragukan. Namun, naiknya ia menjadi Menteri Agama dan dengan jabatan itu ia menyebarkan isu-isu penting dalam studi PA tak bisa dilepaskan dari sebuah proses dan kerja politik. Dua tulisan Ali Munhanif, Islam and Struggle for Religious Pluralism in Indonesia; A Political Reading of the Religious Thought of Mukti Ali (1996) dan Prof. Dr. A. Mukti Ali; Modernisasi Politik-Keagamaan Orde-Baru (1998) serta satu tulisan Herman Beck, A Pillar of Social Harmony: The Study of Comparative Religion In Contemporary Indonesia (2002) kiranya dapat menjelaskan proses dan kerja politik itu. Saya ingin mendiskusikan dua hal pokok yang saling terkait erat: pertama soal proses politik Mukti Ali menjadi Menteri Agama, dan kedua soal kisruh sosial politik hingga menjadi latar belakang (backround) pembentukan PTAIN dan studi PA khususnya serta harapan sumbangan studi ini secara sosio-kultural. Pertama, proses politik di sekitar Mukti Ali. Menurut Munhanif, keahlian Mukti Ali dalam ilmu agama, ketokohannya sebagai intelektual Muslim, dan perhatiannya pada dialog antaragama adalah beberapa alasan pokok ia dipercaya menjadi Menteri. Namun, kemunculan Korps Karyawan (Kokar) Departemen Agama adalah fenomena yang kelak memainkan peran kunci (king maker) bagi Mukti Ali menuju kursi Menteri Agama. Korps itu muncul sebagai bentuk kekecewaan, atau tepatnya perlawanan dari orang-orang yang “kecewa” (terutama yang dianggap keluarga Masyumi) terhadap Menteri Agama Mohammad Dachlan yang berasal dari Nahdlatul Ulama (NU). MenuDr. Media Zainul Bahri

243

rut Kokar, dengan Muljanto Sumardi sebagai tokoh utamanya, Departemen Agama di bawah Dachlan telah dijadikan instrumen politik untuk melindungi kepentingan-kepentingan NU. Ketika Orde Baru melakukan kampanye besar-besaran pada pemilu 1971 untuk mengooptasi seluruh departemen ke dalam barisan pendukung Golkar, hal itu tidak berpengaruh banyak pada orientasi ideologis pimpinan Departemen Agama.130 Mohammad Dachlan, sebagai Menteri dari partai NU, secara politis menghendaki departemennya untuk tetap berperan mendukung agenda-agenda politik NU yang tentu saja tidak mendasarkan pada agenda-agenda pemerintah Orde Baru yang sedang gencar melakukan proyek pembangunan di segala bidang. Dengan lobi intensif yang dilakukan Kokar dengan pusat kekuasaan Orde Baru, yang saat itu direpresentasikan oleh CSIS (Kelompok Tanahabang), akhirnya Mohammad Dachlan “berhasil” dicopot dari kursi Menteri dan dilantiklah Mukti Ali pada 11 September 1971 sebagai Menteri Agama yang baru.131 Kedua, seperti tercatat dalam sejarah bahwa di masa-masa akhir kekuasaan presiden Soekarno, terjadi konflik yang cukup keras di antara pemeluk agama di tanah air. Mukti Ali sebenarnya sangat meyakini bahwa masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang cinta damai dan kerukunan. Namun kenyataannya, di era 1960-an konflik antar pemeluk agama sulit dihindari, tetapi kondisi ini jika dilihat secara positif—kelak akan memunculkan sejarah baru bagi kaum Muslim Indonesia, yaitu pembentukan PTAIN. Pada 1959 Sukarno membuat regulasi ideologis tentang Manipol-Usdek, dan setahun sesudahnya ideologi itu disempurnakan menjadi Nasakom (nasionalis-Komunis-Agama). Melalui Nasakom, Soekarno berharap dapat menyatukan kaum nasionalis, komunis dan agama (Muslim). Namun, pada praktiknya, ideologi itu justru memunculkan konflik baru di antara ketiga golongan itu, meskipun tidak sedikit yang menerimanya. Di kalangan kaum Muslim menurut Beck, politik Soekarno itu bahkan memunculkan konflik antara Muslim modernis-ortodoks dengan tradisionalis-ortodoks. Di saat yang sa244

Wajah Studi Agama-Agama

ma, ketika tekanan terhadap komunisme meningkat, kelompok Kristen secara agresif melakukan misionari, suatu aktivitas yang biasa mereka lakukan sejak masa kolonial dulu. Keadaan ini membuat kaum Muslim merasa terancam dan harus melakukan sesuatu terhadap kaum minoritas Kristen itu. Dengan keadaan yang cukup panas itu, pemerintah Soekarno menyetujui pendirian PTAIN di Yogyakarta dan ADIA di Jakarta sebagai cara untuk menunjukkan perhatian pemerintah terhadap Muslim Indonesia dengan beberapa harapan, yaitu semoga kebutuhan kaum Muslim dalam bidang pendidikan agama dapat terpuaskan, tetapi di sisi lain pemerintah menghendaki kaum Muslim dapat “setia” terhadap pemerintah, dan yang terpenting adalah bahwa melalui lembaga milik pemerintah itu, pemerintah dapat “mentraining” kaum Muslim mengenai pentingnya hidup rukun dan damai.132 Dalam konteks inilah, studi PA dipilih sebagai studi-ilmiah yang cocok untuk proyek kerukunan di negeri yang sedang dilanda konflik sektarian dan agama itu. Apakah setelah itu keadaan menjadi semakin membaik? Ternyata tidak. Setelah peristiwa PKI 1965, banyak kaum komunis yang masuk Kristen karena takut dibunuh, dan pada saat yang sama, agresivitas misionari kaum Kristen berhasil mengkristenkan kaum Muslim yang tidak berpendidikan dengan iming-iming pendidikan, kebutuhan pokok dan kecukupan material lainnya. Keadaan ini tentu saja semakin memperburuk konflik Islam-Kristen. “Bom waktu” yang akan meledakkan konflik itu menjadi perang saudara dapat meletus kapan saja. Segera setelah Soeharto menjadi presiden, ia memikirkan langkah-langkah dan kebijakan untuk membuat “stabilitas” sebagai pra-syarat pembangunan. Pada Maret 1967, Soeharto mengumpulkan tokoh-tokoh agama untuk membuat proyek dialog dan kerukunan sebagai langkah menuju “stabilitas.” Akhirnya, pada 30 November 1967, diadakan perhelatan nasional dialog antar-agama dengan nama Musjawarah Antar Agama, di mana Mukti Ali terlibat di dalamnya. Namun, konferensi ini gagal total karena penolakan kelompok Kristen atas poin-poin penting. MenuDr. Media Zainul Bahri

245

rut kelompok Muslim, kegagalan musyawarah itu karena kaum Kristen menolak tiga proposal pokok presiden Soeharto, yaitu: (1) Untuk menahan diri dari segala sikap memaksakan kehendak dalam beragama, (2) untuk menahan diri dari kegiatan misionari (dakwah) kepada orang yang sudah memeluk agama, dan (3) untuk mengembangkan paham keagamaan yang mendukung sikap toleransi sosial. Kelompok Muslim cenderung menerima proposal Soeharto tersebut demi menjaga stabilitas, sementara kelompok Kristen cenderung menolaknya karena akan menghalangi “kewajiban keagamaan” untuk berdakwah, jika proposal itu disetujui.133 Menurut Beck, karena kegagalan itu, sekarang Soeharto mengubah kebijakannya dari memfokuskan pada “stabilitas” menuju fokus pada “pembangunan.” Proyek pembangunan itu dimulai dengan dicetuskannya istilah Pelita I, yaitu dari 1969 hingga 1974. Semangat pembangunan dalam kehidupan sosial-politik pada Pelita I ini terermin pada studi PA di masa-masa itu, dan Mukti Ali adalah figur utamanya. Saat itu kata Beck, Mukti Ali bukan semata salah satu dari sedikit Sarjana Indonesia yang memiliki keahlian dalam bidang Perbandingan Agama, namun sebagai Menteri Agama pada periode 1971-1978, ia juga telah mengembangkan paham dan bentuk keagamaan yang cocok dengan kebijakan pembangunan Soeharto.134 Segera setelah dilantik menjadi Menteri, Mukti Ali membuat rumusan-rumusan doktrin keagamaan yang sesuai dengan semangat pembangunan. Baginya, agama tidak semata mendorong umat manusia untuk hidup rukun dan harmonis, namun juga mampu memberi sumbangan bagi pembangunan. Mukti Ali melihat tiga potensi kekuatan agama. Pertama, agama sesungguhnya dipenuhi ajaran yang mendorong manusia untuk bekerja keras dalam kehidupan ini. Kedua, selain mendorong bekerja, agama juga sumber kreativitas dan inovasi. Dengan kata lain, agama adalah inspirasi bagi “kerja cerdas.” Ketiga, agama juga sesungguhnya menyatukan, bukan memisahkan. Agama dapat menyinergikan aktivitas individual dan sosial sekaligus dalam satu kesatuan utuh. Dengan tiga gagasan pokok itu, Mukti Ali meyakini bahwa agama dapat ber246

Wajah Studi Agama-Agama

peran dalam pembangunan ekonomi dan keharmonisan sosial di era modern.135 Pandangan keagamaan Mukti Ali yang “rasional” dan “modern” saat itu memang sangat “pas” dengan harapan dan proyekproyek pembangunan Orde baru. Kecocokan itu juga menemukan momentumnya yang juga “pas” ketika Menteri Agama sebelumnya, Muhammad Dachlan, tidak bisa diharapkan lagi untuk ikut dalam arus besar “rasionalisasi” agama dan “pembangunan.” Dengan Mukti Ali, Soeharto telah menemukan figur yang “pas” yang sesuai dengan “semangat zamannya” (istilah Jerman: Zeitgeist). Namun menurut Beck, karya-karya Mukti Ali dari 1965 hingga 1971 (sebelum menjadi Menteri) sesungguhnya telah menunjukkan poin-poin penting yang sudah sesuai dengan keinginan Soeharto. Pertama, dalam pandangan keagamaan misalnya, Mukti Ali menegaskan bahwa natur keberagamaan sesungguhnya melekat dalam diri manusia. Karena itu, seseorang yang tidak beragama berarti ia yang melawan esensi naturnya sendiri. Dengan demikian, pembicaraan mengenai apakah Tuhan itu ada atau tidak, bagi Mukti Ali, tidak relevan. Yang paling relevan untuk dibicarakan adalah apakah Tuhan yang disembah itu Tuhan yang benar atau tuhan yang salah. Tuhan yang sejati, kata Mukti Ali, adalah Tuhan yang terdapat pada agama-agama monoteistik. Sedangkan agama dan tradisi non-monoteistik “terpisah” dari keesaan dan kekuasaan Tuhan. Pemikiran keagamaan ini cocok dengan pandangan Orde Baru yang sedang giat menghadang/melawan komunisme (yang selalu dianggap identik dengan ateisme), yang ditakutkan akan bangkit atau populer kembali kapan saja. Pandangan keagamaan Mukti Ali saat itu, yang membela doktrin monoteistik dianggap memperkuat Pancasila. Dari poin ini saja menurut Beck, studi PA dianggap sesuai dengan kebijakan pemerintah Orde Baru.136 Kedua, Mukti Ali juga mengajukan konsep agree in disagreement: sepakat dalam ketidaksepakatan atau sepakat dalam perbedaan. Konsep ini juga berhasil dalam praktiknya. Ketika Soeharto gagal membuat kesepakatan penting mengenai kerukunan dan Dr. Media Zainul Bahri

247

dialog antaragama dalam Musjawarah Antar Agama (1968), Mukti Ali pada 1969 berhasil mengumpulkan tokoh-tokoh agama yang beragam untuk sebuah perhelatan dialog antaragama yang tidak resmi. Mukti Ali berhasil meyakinkan koleganya, yaitu tokoh-tokoh agama non-Islam bahwa dialog antaragama tidak semata fokus pada persoalan-persoalan teologis, melainkan penting pula mendalami isu-isu sosial-keagamaan yang juga menjadi pusat perhatian setiap pemeluk agama. Dalam konteks ini, studi PA memberi sumbangan pengetahuan yang sangat signifikan bagi pemahaman mengenai isu-isu sosial-keagamaan itu dan menjadi sumber utama bagi dialog antaragama yang akan membawa dampak positif bagi stabilitas sosial. Menurut Beck, gagasan dan proposal Mukti Ali mengenai signifikansi dan relevansi studi PA sangat berbeda dengan tokoh modernis Muhammadiyah, Hasbullah Bakry dan gerakan Muhammadiyah sendiri yang selalu menggunakan studi PA dalam cara yang apologis. Hasbullah Bakry misalnya, menulis beberapa buku perbandingan agama dengan pendekatan teologis dan tujuan apologetik. Juga training-training kader Muhammadiyah yang disebut Darul Arqam pada 1970-an mengajarkan studi perbandingan agama dengan tujuan apologetik; jauh berbeda dengan apa yang dilakukan oleh Mukti Ali, yang juga anggota Muhammadiyah yang mengajarkan studi PA demi meretas dialog antaragama.137 Ketiga, bahwa pada periode 1965-1970, Mukti Ali tidak kenal lelah memperkenalkan studi PA sebagai disiplin “ilmu sosial” yang sangat penting bagi masyarakat Indonesia yang sedang dalam proses “menjadi.” Mukti Ali menyadari benar bahwa hubungan harmonis antarpemeluk agama adalah kondisi yang sangat dibutuhkan dalam pembangunan, sedangkan huru-hara adalah halangan yang sangat serius. Dalam pengertian ini, hidup bersama dalam sikap saling menghormati dan toleran satu sama lain adalah kebutuhan bersama. Karena itu bagi Mukti Ali, gagasan mengenai agree in disagreement tidak semata dapat meminimalisir pertentangan yang disebabkan perbedaan-perbedaan di antara agama-agama, namun juga akan menunjukkan “kebersamaan” (bahwa agama-agama memiliki ajar248

Wajah Studi Agama-Agama

an yang sama, juga perhatian dan kebutuhan yang sama). Studi PA akan memberi kontribusi yang signifikan untuk mengembangkan hal-hal di atas.138 Sejak dini, Mukti Ali sebenarnya telah menyadari atau mengarahkan studi PA bagi kepentingan kehidupan sosial dibanding hanya sebagai sekadar “ilmu murni” dengan seperangkat metode ilmiah tertentu. Baginya, ilmu PA harus bermanfaat bagi kehidupan sosial yang harmonis antarpemeluk agama. Studi PA dan relevansi sosial-nya ini disandarkan oleh Mukti Ali kepada karya-karya Joachim Wach, Friedrich Heiler dan Wilfred Cantwell Smith. Para sarjana ini telah mengarahkan studi PA sebagai disiplin yang sangat penting dalam mempromosikan dialog antaragama dan hidup harmoni di antara umat manusia. Mukti Ali mengadopsi pendekatan para sarjana itu untuk konteks Indonesia yang ternyata sesuai dengan kebijakan (keinginan) pemerintah Orde Baru.139 Karena itulah gayung bersambut, dan dalam bingkai inilah kita bisa memahami hubungan ilmu PA dan politik kerukunan dan pembangunan.

F. Isu-Isu Penting 1. Agama dan Pembangunan A. Pembangunan Manusia Seutuhnya Seperti telah disebut bahwa salah satu tugas pokok Mukti Ali sebagai Menteri Agama kala itu adalah membuat rumusan-rumusan bagaimana agama memberi kontribusi yang signifikan bagi “pembangunan nasional” dan “stabilitas”; dua istilah yang sangat “sakti” dan proyek besar dalam pemerintahan Orde Baru yang sedang gencar membangun. Karena itu, isu tentang hubungan agama dan pembangunan merupakan salah satu diskursus yang pokok pada awal-awal berdirinya studi PA. Isu itu kemudian ramai dibicarakan orang karena usaha-usaha Mukti Ali yang serius sebagai Menteri Agama membicarakan hal itu dalam forum-forum nasional, baik resmi maupun informal. Bagi Mukti Ali, agama harus berperan memberi makna bagi arah pembangunan yang membawa kesejahteraan, bukan hanya bagi fisik-lahiriah manusia-manusia IndoneDr. Media Zainul Bahri

249

sia, tetapi juga sejahtera batin-spiritualnya. Karena itu, pertamatama harus dipahami dulu apa pengertian pembangunan guna mencapai kebahagiaan lahir dan batin itu? Bagi Mukti Ali, pembangunan adalah proses untuk menciptakan manusia baru, yaitu manusia yang dapat terbebas dari dua hal sekaligus, yaitu bebas dari ancaman fisik seperti kelaparan, penyakit dan hal-hal semacamnya, serta bebas dari penyakit mental dan rohani140 seperti kebodohan, kekeringan spiritual hingga teralienasi, dan termasuk dalam pengertian ini adalah kesalahan memahami agama yang benar dan humanis. Karena itu, maka tujuan pembangunan adalah membentuk karakter manusia seutuhnya dan umat manusia secara umum. Hal itu berarti, sekali lagi, bahwa pembangunan tidak semata fokus kepada kesejahteraan ekonomi semata, melainkan juga pada mental-spiritual umat manusia.141 Untuk mencapai pembangunan yang utuh dan integral bagi manusia, menurut Mukti Ali, diperlukan sebuah revolusi; revolusi bukan dalam pengertiannya yang negatif, tetapi revolusi dalam pengertian perubahan radikal pada nilai-nilai dan struktur masyarakat, tanpa kekerasan dan tanpa anarki.142 Dengan pandangan ini, Mukti Ali sesungguhnya menghendaki perubahan yang radikal dari paradigma, cara pandang dan mental manusia Indonesia yang tradisional dan konservatif ke arah yang modern-progresif. Pandangannya yang sangat maju pada saat mengemukakan ide ini di awal 1970-an sejatinya telah menempatkan Mukti Ali sebagai pejabat tinggi pemerintah dan Cendekiawan Muslim yang berpandangan jauh ke depan, namun sekaligus juga sulit diimplementasikan dalam kondisi masyarakat yang masih tradisional, “ndeso” dan “baru bangun” untuk memulai pembangunan. Dalam skenario besar pembangunan seperti yang diinginkan Mukti Ali tersebut, maka ia sendiri, sebagai Menteri Agama, kemudian mengetengahkan pentingnya peranan agama dalam proses pembangunan itu. Bagi Mukti Ali, pembangunan bertujuan membangun manusia, dan agama juga bertujuan untuk kebahagiaan umat manusia. Karenanya, pembangunan memerlukan nilai agama 250

Wajah Studi Agama-Agama

dan agama akan memberi bentuk hidup yang berkualitas. Jika pembangunan mengabaikan agama, maka pembangunan model itu akan kehilangan tujuan, kedalaman dan keindahannya. Karena itu menjadi jelas bahwa agama tidak semata memberi motivasi dan tujuan bagi pembangunan, melainkan juga telah menjadi roh (spirit) dalam “badan” pembangunan itu sendiri.143 Gagasan yang cemerlang dari Mukti Ali ini, jika ditelusuri lebih dalam maka akan muncul suatu pandangan yang koheren bahwa proses-proses pembangunan terutama dalam bidang ekonomi dan politik harus membawa turut serta nilai-nilai utama dari agama seperti kejujuran, keadilan, kesetaraan dan kasih sayang. Semua pembangunan dalam bidang ekonomi tidak boleh curang, koruptif dan hanya dikuasai oleh segelintir orang saja, seperti halnya pembangunan dalam bidang politik dan lembaga-lembaga politik tidak boleh manipulatif. Mukti Ali berjasa besar memopulerkan istilah “pembangunan manusia seutuhnya,” yaitu pembangunan yang menghendaki kesejahteraan fisik dan batin manusia Indonesia. Bagi Mukti Ali, tidak ada perbedaan (pengotakan) atau diskriminasi antara pembangunan spiritual dan non-spiritual. Keduanya berjalan secara utuh dalam satu paket. Karena itu, Mukti Ali menyebut pendekatannya dalam skenario besar pembangunan nasional sebagai pendekatan integral atau menyeluruh.144 Bagi Mukti Ali, ketika pembangunan dimaknai sebagai proses pembebasan manusia, maka para pemeluk agama harus menyadari potensi-potensi yang besar pada diri mereka. Dengan kata lain, para pemeluk agama tidak semata berproduksi dan berkonsumsi saja, melainkan mampu merealisasikan aspirasi mereka untuk kebebasan, kehormatan, keadilan dan pertumbuhan spiritualitas keagamaan mereka. Dengan dasar ini pula, para pemeluk agama harus berusaha untuk membentuk masyarakat yang baru dengan kultur dan etos yang baru pula. Mereka harus berani merenungkan kembali konsep-konsep keagamaan dan sikap hidupnya vis-a-vis (berhadapan dengan) perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Para pemeluk agama, kata Mukti Ali, harus menafsir ulang pemahaman Dr. Media Zainul Bahri

251

dan praktik keagamaan selama ini dalam konteks kontribusi agama bagi pembangunan. Pemahaman dan sikap keagamaan harus progresif dan sesuai dengan semangat pembangunan. Dengan kata lain, paham keagamaan yang fatalistik, terlalu mistik dan membuat orang malas harus diganti dengan paham baru yang rasional, progresif dan modern dengan tetap tidak menghilangkan unsur-unsur spirit dan pokok dalam agama. Pada saat yang sama, ahli-ahli agama juga harus bekerja sama dengan para ahli di bidang ilmu lain dalam proses pembangunan manusia seutuhnya itu.145 Gagasan Mukti Ali mengenai agama dan pembangunan dapat dilihat juga sebagai transformasi wajah Departemen Agama yang sebelumnya didominasi oleh kaum tradisionalis (menteri-menteri sebelumnya berasal dari kalangan NU) ke arah modernistik. Mukti Ali adalah Muslim modernis, yang ketika diangkat oleh Presiden Soeharto, ia tidak berafiliasi kepada partai politik mana pun. Ia dianggap modernis, selain karena alumni Barat dan banyak terlibat dalam pertemuan internasional mengenai dialog antaragama, juga gagasannya mengenai pembangunan itu sangat progresif. Karena gagasannya tentang pembangunan itu, saya setuju dengan pandangan Karel Steenbrink yang menyebut Mukti Ali sebagai Weberian. Dalam memimpin Departemen Agama, Mukti Ali kata Steenbrink, mencoba mempraktikkan teori Max Weber (tentang hubungan Protestanisme dan kapitalisme) di Indonesia dan pada agamaagama.146 Gambaran di atas dengan jelas menunjukkan bahwa ia mendorong semua agama di Indonesia untuk terlibat aktif dalam pembangunan sosial dan ekonomi. Sekolah-sekolah agama yang berbasis tradisional oleh Mukti Ali didorong untuk menambah keterampilan dan latihan-latihan yang bersifat praktis agar memiliki nilai lebih (added value, sic.). Beberapa lembaga yang konsen kepada pengembangan masyarakat dari luar negeri juga diundang untuk membantu sekolah-sekolah Islam dalam negeri dalam menjalankan proyek-proyek pembangunan terutama dalam bidang pertanian dan peternakan. Mukti Ali secara serius berusaha mendorong agama agar sejalan dengan proyek-proyek pembangunan fisik (terutama 252

Wajah Studi Agama-Agama

ekonomi), dan di sisi lain, ia menekankan bahwa ajaran-ajaran agama yang bersifat normatif harus bisa menunjukkan pandangan dan sikap untuk saling menghormati atas berbagai perbedaan keyakinan. 147 B. Kerukunan Antarumat Beragama Isu lain yang juga sangat penting dibicarakan sepanjang studi PA di masa Orde Baru, bahkan sampai sekarang, adalah soal kerukunan intra dan antar-umat beragama. Mukti Ali, baik sebagai Menteri Agama atau akademisi PA yang konsen kepada kerukunan, selalu bersemangat membicarakan ide-ide tentang kerukunan dan praktiknya dalam kehidupan nyata. Seperti telah disinggung, bagi Mukti Ali, pembangunan sangat bergantung kepada agama, termasuk di dalamnya adalah ketergantungan kepada kerukunan hidup antaragama. Pembangunan mustahil dilakukan dalam masyarakat yang kacau. Karena itu, kerukunan merupakan salah satu fondasi pokok dalam pembangunan. Menurut Mukti Ali, kerukunan dalam kehidupan beragama hanya akan terwujud jika masing-masing pemeluk agama memiliki sikap tenggang rasa dan lapang dada. Hal ini sulit dilakukan,148 namun dengan kesadaran, kemauan dan usaha tidak mustahil dapat tercipta. Demi menciptakan kerukunan sejati, Mukti Ali mengajukan lima pandangan teologis yang niscaya dianut oleh para pemeluk agama yang beragam,149 yaitu pertama, sinkretisme: pandangan yang menyatakan bahwa semua agama adalah sama karena manifestasi dari Tuhan yang sama. Dalam agama Hindu, tokoh sinkretis yang paling terkenal adalah Sri Ramakrishna. Di Indonesia, sinkretisme juga tumbuh subur, terutama melalui agama “kejawen” dan gerakan-gerakan kebatinan. Dari segi teologi, dasar sinkretisme adalah suatu pandangan hidup yang tidak melihat adanya “garis batas” antara Tuhan dan yang diciptakan-Nya, antara Khalik dan makhluk-Nya. Sinkretisme berpendapat bahwa semua agama adalah manifestasi dari Kebenaran Yang Asal, pancaran dari Terang Asli yang satu, ekspresi dari Substansi yang satu, atau sebagai ombak dari Dr. Media Zainul Bahri

253

Samudra yang satu.150 Menurut Mukti Ali, ajaran sinkretisme ini tidak dapat diterima, karena dalam Islam misalnya, terdapat perbedaan yang tegas antara Khalik dengan makhluk, antara Sang Pencipta dengan yang diciptakan, antara yang menyembah dan Yang Disembah.151 Kedua, rekonsepsi (reconception), yaitu mengevaluasi kembali agama sendiri ketika berhadapan dengan agama lain. Tokohnya adalah W.E. Hocking. Ia berpendapat semua agama adalah sama saja. Yang menjadi problem adalah bagaimana sebenarnya hubungan di antara agama-agama yang ada dan bagaimana membuat satu agama yang dapat memenuhi semua kebutuhan manusia. Ia menghendaki dibentuk suatu agama universal yang dapat memenuhi kebutuhan semua orang dan bangsa, dan caranya adalah dengan jalan rekonsepsi.152 Bagi Mukti Ali, jalan re-konsepsi ini tidak dapat diterima, karena dengan jalan ini agama berarti produk manusia, padahal agama sesungguhnya adalah wahyu ciptaan Tuhan. Bukan akal yang menciptakan agama, tetapi agamalah yang membimbing manusia untuk menggunakan akalnya.153 Ketiga, adalah sintesis: menciptakan agama baru dengan cara mengambil berbagai elemen dari macam-macam agama.154 Pemikiran ini juga tidak dapat diterima sebab masing-masing agama memiliki latar belakang dan sejarahnya sendiri-sendiri yang sulit untuk disatukan.155 Keempat, penggantian, yaitu keyakinan bahwa agamanya sendiri yang paling benar, sedang agama-agama lain salah, karena itu seseorang berusaha mengajak orang lain untuk masuk ke dalam agamanya. Agama-agama lain yang masih hidup harus diganti dengan agama yang dipeluknya.156 Pandangan ini juga tidak dapat diterima, apalagi dalam masyarakat yang plural (plural society). Jalan ini tidak akan memunculkan kerukunan hidup beragama, bahkan yang niscaya hadir adalah konflik dan intoleransi.157 Jalan ini justru sangat membahayakan kerukunan. Kelima, adalah setuju dalam perbedaan (agree in disagreement): keyakinan bahwa agama yang ia peluk itulah yang terbaik dan paling benar, dan mempersilakan orang lain untuk memercayai bahwa agamanya juga yang paling 254

Wajah Studi Agama-Agama

baik dan paling benar. Jika keyakinan itu tidak ada, maka untuk apa orang memeluk suatu agama. Dengan keyakinan itu pula, seseorang akan bersikap dan berbuat sesuai dengan ucapan batinnya sebagai dorongan dari agama yang ia peluk. Ia juga yakin bahwa selain terdapat perbedaan, agama juga memiliki banyak persamaan. Berdasarkan pengertian ini, harusnya muncul sikap saling menghormati-menghargai secara tulus yang akan berbuah toleransi dan kerukunan yang sesungguhnya. Menurut Mukti Ali inilah jalan yang terbaik bagi semua pemeluk agama.158 Seseorang bisa mengerti dan menghargai orang lain dengan tetap setia kepada keyakinan agamanya. Di masa kejayaan Orde Baru, istilah agree in disagreement sangat populer dalam konteks hubungan antarumat beragama. Mukti Ali berhasil memopulerkan istilah ini tidak semata dalam kuliah-kuliah PA, namun hingga masyarakat luas berkat “kekuasaannya” sebagai Menteri Agama kala itu. Konsep agree in disagreement adalah tawaran terbaik dari Mukti Ali dari konsep-konsep lain yang akan mengalami jalan buntu untuk dapat diterima oleh semua pemeluk agama di Indonesia yang sangat majemuk. “Konsep kiri,” yaitu ajaran sinkretisme, re-konsepsi, dan sintesis tidak akan diterima oleh mayoritas umat beragama yang “konservatif.” Begitu pula “konsep kanan” yaitu paham eksklusif “penggantian” juga pasti ditolak oleh sebagian besar kaum beragama yang moderat, inklusif, apalagi yang liberal. Konsep agree in disagreement sesungguhnya cukup menarik dan dapat memuaskan semua umat beragama secara umum pada era itu, meskipun jika dilihat secara kritis pandangan-pandangan dasar Mukti Ali mengenai sinkretisme misalnya dapat diperdebatkan lebih lanjut. Apakah benar dalam sinkretisme itu ada paham yang ingin menyamakan Tuhan dengan makhluk-Nya? Apakah para tokoh mistik sebodoh itu? Apa yang dimaksud “sama” dan “beda” itu dalam pengertian mistik? Apakah benar jika ada pandangan mistik tentang kesamaan substansial semua agama, lalu seseorang tidak setia kepada agamanya? Atau orang tersebut akan berpindah-pindah dalam beribadah? Hari ini ke gereja besok ke masjid, apakah seperti itu? Di Dr. Media Zainul Bahri

255

sini Mukti Ali langsung melakukan generalisasi atas konsep sinkretisme tanpa melihat lebih dalam dan luas maksud objektif dari doktrin itu. Meski demikian, gagasan agree in disagreement secara teologis dan sosial cukup masuk akal untuk dapat diterima semua pihak. Secara sederhana konsep itu ingin menunjukkan bahwa dalam berinteraksi, para pemeluk agama yang berbeda-beda memiliki pandangan-pandangan teologis mendasar yang tidak dapat disepakati karena perbedaan konteks, penghayatan-pengalaman spiritual dan pandangan dunia (world view) yang memang berbeda sejak dari hulu hingga hilirnya. Dalam hubungannya dengan ilmu PA, muncul pertanyaan: dengan “kerukunan” sebagai—katakanlah tujuan praktis atau “subjektif” dari ilmu PA—apakah ilmu ini masih bisa dikatakan sebagai ilmu? Demi menjawab ini, Mukti Ali membuat satu artikel menarik berjudul “Ilmu Perbandingan Agama dan Kerukunan Hidup Antar Umat Beragama” untuk buku Memoar 70 Tahun T.B. Simatupang (1990). Dalam artikel itu, Mukti Ali membuat dua kelompok besar dalam studi PA yang berkembang di dunia saat itu. Kelompok pertama, adalah para sarjana agama yang “paling senior” seperti C.P. Tiele, Max Müller, J.G. Frazer dan Chantepie de la Saussaye. Menurut Mukti Ali, mereka adalah “orang-orang liberal” dalam arti mereka tidak terikat kepada otoritas tertentu dalam agama. Bagi mereka, satu-satunya otoritas agama adalah otoritas kebenaran yang ditemukan dalam penelitian yang bebas.159 Ilmu adalah untuk ilmu. Pandangan mereka kelak diteruskan oleh sebagian besar tokoh-tokoh IAHR dan para sarjana Eropa. Mereka tidak setuju jika studi PA sebagai disiplin ilmu dimaksudkan (bertujuan) untuk “meningkatkan kehidupan” atau demi membangun hubungan yang harmonis antarpemeluk agama. R.J. Zwi Werblowsky misalnya, yang menjadi Sekretaris Jenderal IAHR (pada 1959) mengkritik tajam buku Joachim Wach, The Comparative Study of Religion (1958). Menurut Werblowsky, buku itu secara serius mencampuradukkan antara Religionwissen256

Wajah Studi Agama-Agama

schaft (ilmu PA) dengan teologi. Buku itu sebenarnya secara umum ditujukan kepada ahli-ahli teologi atau para pembaca yang simpati terhadap aspek-aspek teologi. Dan Wach memang seorang teolog, sedangkan ilmu PA tidak bisa kompromi dengan teologi. Karena itu, buku itu bukan karya tentang PA, melainkan “teologi yang berusaha ke arah pendekatan positif terhadap kajian PA.”160 Menurut Mukti Ali, pandangan Werblowsky itu adalah aliran keilmuan yang “murni” dan “objektif.” Seorang sarjana agama sesungguhnya adalah—menurut Werblowsky—”harus meninggalkan agamanya dari studinya, betapapun kuat motif dan dorongan keagamaan yang membuat ia mengkaji agama.” Menurut Mukti Ali, tak diragukan lagi sebagian besar sarjana agama di Barat dan tokoh IAHR sependapat dengan Werblowsky bahwa kecenderungan “agama pribadi” yang dianut (seorang pengkaji agama) tidak boleh dilibatkan pada kajian ilmiah agama.161 Sekali lagi, ilmu adalah untuk ilmu. Kelompok kedua, adalah sebagian sarjana dari Barat dan sebagian besar sarjana dari Timur yang menyetujui bahwa Studi Agama atau PA dapat memberi sumbangan yang sangat positif bagi peningkatan kehidupan keagamaan dan hubungan yang harmonis di antara pemeluk agama yang beragam. Mereka adalah Friedrich Heiler, Sri Rama Krishna, Swami Vivekananda, Rudolf Otto, Sarvepalli Radhakrishnan, R.C. Zaehner dan lain-lain. Friedrich Heiler misalnya, berpendapat bahwa salah satu manfaat dari studi agama yang mendalam adalah ditemukannya hubungan yang erat di antara agama-agama yang berbeda. Jika ditembus (menukik) lebih ke dalam lagi, maka Heiler meyakini bahwa salah satu tugas terpenting studi agama adalah menunjukkan adanya kesatuan esensial dari semua bentuk agama. Karena itu bagi Heiler, satu-satunya alasan pokok yang dapat dibenarkan ketika “melibatkan diri” dalam studi agama adalah untuk mempererat hubungan di antara pemeluk agama yang beragam.162 Pandangan Heiler tentang Kesatuan Sumber dan tujuan agamaagama dalam studi PA yang dapat memberi sumbangan besar bagi kemanusiaan diamini oleh nama-nama besar di atas. Radhakrishnan Dr. Media Zainul Bahri

257

misalnya, dalam hampir semua bukunya menyatakan dengan jelas bahwa tugas dan tanggung jawab studi PA adalah untuk membantu menyatukan umat manusia.163 Menurutnya, Studi Agama dapat membawa harapan yang lebih baik, kepercayaan dan penghargaan yang tumbuh di antara pemeluk agama.164 Hal yang sama disuarakan Zaehner. Menurutnya, studi PA memiliki tiga fungsi utama: (1) meluaskan perhatian pada agama-agama dunia, (2) melakukan interpretasi, membanding dan mempertentangkan sistem-sistemnya, dan (3) membawa semua itu dalam “pengertian harmoni dan persahabatan” yang makin dekat di antara agama-agama besar.165 Di antara perdebatan dua kelompok besar di atas, Mukti Ali menyatakan sikapnya bahwa selain pendekatan saintific-cum-doktriner, studi PA dapat digunakan untuk “memperoleh kerukunan hidup antarumat beragama.” Berulang kali, Mukti Ali menyampaikan bahwa ilmu bukan sekadar untuk ilmu, ilmu adalah untuk beribadah kepada Allah. Karena itulah, Mukti Ali menginginkan dan mengarahkan bahwa studi PA harus bermanfaat membentuk dunia yang aman dan damai berdasarkan etika dan moral, yang jauh dari pertikaian, permusuhan, dan kebencian, dan itu adalah bentuk ibadah kepada Tuhan.166 Gagasan Mukti Ali mengenai kerukunan kemudian lebih diperkuat oleh Menteri Agama sesudahnya, yaitu Alamsjah Ratu Perwiranegara (yang menjabat pada 1978-1983).167 Untuk memantapkan kerukunan akibat beberapa konflik serius baik intra maupun antarpemeluk agama kala itu, Menteri Alamsjah membuat kebijakan apa yang kemudian populer disebut sebagai Trilogi Kerukunan Umat Beragama, yaitu (1) kerukunan intern umat beragama, (2) kerukunan antar-umat beragama, dan (3) kerukunan antara umat beragama dengan pemerintah.168 Perhatian serius Mukti Ali mengenai pentingnya agama mendorong pembangunan, dialog antar-agama dan kerukunan antarumat beragama—sekali lagi menunjukkan fakta yang kuat bahwa ilmu PA harus fungsional; harus memiliki kontribusi positif bagi manusia dan kemanusiaan, dan para akademisi PA idealnya mampu 258

Wajah Studi Agama-Agama

terlibat penuh dengan persoalan sosial-keagamaan yang konkret. Bagi Mukti Ali, ilmu PA jangan dibuat hanya “mengawang-awang” di langit, tetapi harus “membumi” dalam bentuk-bentuk yang konkret pada kehidupan nyata sosial-keagamaan. Inilah yang disebut ilmu untuk ibadah, bukan sekadar ilmu untuk ilmu. 2. Pluralisme Agama Pada masa 1990-an, seiring dengan isu dan diskursus Studi Agama yang berkembang di Barat serta perkembangan kehidupan sosial-keagamaan dalam negeri, muncul isu-isu penting, yang selain hangat dibicarakan di dunia akademis dan masyarakat luas, juga menjadi semacam “wajah baru” Studi Agama Indonesia. Isu-isu aktual di masa itu pada gilirannya berperan menunjukkan arah baru Studi Islam dan Studi Agama-Agama serta merangsang munculnya tema-tema lain yang lebih luas serta metodologi yang menyertainya. Pertama-tama, dapat dikatakan bahwa diskursus mengenai konsep pluralisme agama saat itu merupakan isu yang paling hangat dan menyedot perhatian luas publik keagamaan. Di bawah ini, saya akan menyajikan empat tokoh Islam—secara singkat saja— yang berhasil menggulirkan gagasan mengenai pluralisme agama dan mendapat sambutan luas, terutama dalam jagat kajian Studi Agama dan Studi Islam Indonesia. Mereka adalah Nurcholish Madjid, Abdurrahman Wahid, Djohan Effendi dan Jalaluddin Rakhmat. A. Nurcholish Madjid Nurcholish Madjid atau biasa disapa Cak Nur adalah figur utama yang membuat isu pluralisme agama ramai dibicarakan. Cak Nur kemudian menjadi ikon yang sulit dipisahkan dengan isu itu, meskipun pada masa-masa sebelumnya Mukti Ali juga sebenarnya telah membicarakan tema itu secara terbatas, atau Ahmad Wahib melalui catatan hariannya yang terkenal itu. Jika pada era 1970-an Cak Nur populer karena gagasannya mengenai pembaruan pemikiran Islam Indonesia dan isu soal Sekularisasi, maka di tahun 1990an ia kembali ramai menjadi pembicaraan publik karena tulisanDr. Media Zainul Bahri

259

tulisan dan ceramahnya mengenai pentingnya memahami pluralisme agama dalam masyarakat Indonesia yang sangat majemuk. Karena ketokohannya sebagai cendekiawan Muslim Indonesia terkemuka dan bantuan media massa yang intens memublikasikan gagasan-gagasannya, dan terutama sekali penerbitan Yayasan Paramadina yang didukung oleh kelas menengah Muslim perkotaan, memudahkan Cak Nur untuk “meledakkan” isu itu menjadi pembicaraan ramai kaum terpelajar Indonesia. Sebagai seorang sarjana yang dibesarkan dalam tradisi studistudi keIslaman (Islamic studies) Cak Nur banyak mengelaborasi teologi Islam untuk tema-tema agama yang dibicarakannya, termasuk wacana pluralisme agama. Menurut Cak Nur ayat 148 surat alBaqarah adalah inti sari dari problem dan sekaligus solusi tentang pluralitas dan pluralisme dalam pemahaman Islam.169 Dalam pemahaman Cak Nur, pluralisme (bukan pluralitas! sic.) merupakan aturan Tuhan (Sunnatullah) yang tidak akan berubah, sehingga juga tidak mungkin dilawan atau diingkari.170 Kenyataan sosiologis memang telah menunjukkan bahwa masyarakat terbagi ke dalam berbagai macam kelompok dan komunitas yang masing-masing memiliki keyakinan, paham dan orientasi yang memberikan mereka arah petunjuk.171 Jika dalam surat al-Hujurât ayat 13 Tuhan menegaskan bahwa Dia mencipta manusia beraneka bangsa dan suku supaya saling mengenal dan menghargai, maka menurut Cak Nur, pluralitas itu kini meningkat menjadi pluralisme, yaitu suatu sistem nilai yang memandang kemajemukan secara positif-optimis dengan menerimanya sebagai kenyataan dan berbuat sebaik mungkin berdasarkan kenyataan itu. Dalam cahaya al-Qur‘an, apa yang diharapkan adalah bahwa komunitas yang beragam itu saling berkompetisi dalam hal kebaikan dengan cara yang dapat dibenarkan dan sehat guna meraih yang terbaik bagi semua.172 Secara teologis, gagasan Cak Nur tentang pluralisme agama memancar dari pandangannya yang mendalam seputar konsep Tawhid, Islam dan Kalimah Sawâ‘ (titik-temu) di antara agama-agama. Menurut Cak Nur, paham Tawhid, yakni Ketuhanan Yang Maha 260

Wajah Studi Agama-Agama

Esa atau memahaesakan Tuhan, adalah ajaran pokok semua nabi dan rasul. Konsekuensi terpenting Tawhid yang murni adalah sikap pasrah sepenuhnya hanya kepada Allah, Tuhan Yang Maha Esa itu, tanpa memberi ruang sedikit pun untuk berpasrah selain kepadaNya. Ini pulalah yang disebut al-islâm (kepasrahan) yang menjadi inti sari semua agama yang benar.173 Cak Nur banyak mengelaborasi pandangan Ibn Taymiyyah mengenai pengertian al-islâm ini dan merujuk kepada pandangan-pandangan Muhammad Asad dan Abdullah Yusuf Ali dalam hal tafsir al-Qur‘an tentang pengertian alislâm dan kontinuitas para nabi. Cak Nur sampai pada kesimpulan, yang sebenarnya juga bukan sesuatu yang baru, bahwa “agama yang benar di sisi Allah adalah kepasrahan total atau sikap penuh berserah diri (al-islâm).” Inilah pengertian yang sesungguhnya dari surat Ali ‘Imran ayat 19, “Inna al-Dîn ‘Inda Allâh al-Islâm.” Penegasan al-Qur‘an itu disertai dengan konsekuensi selanjutnya bahwa siapa pun yang menganut agama selain al-Islâm atau yang tidak disertai sikap penuh pasrah dan berserah diri kepada Allah adalah suatu sikap yang tidak sejati, karena itu tertolak, meskipun ia adalah seorang “Muslim formal” atau “beragama Islam” dalam pengertian sosiologisnya.174 Cak Nur perlu berulang kali menggarisbawahi bahwa hanya sikap berserah diri sepenuhnya kepada Allah sebagai konsekuensi dari mengesakan Tuhan Yang Maha Esa itu, tanpa sedikit pun mengasosiasikan atribut ketuhanan kepada apa dan siapa pun selain-Nya, itulah satu-satunya sikap keagamaan yang benar, dan selain sikap itu, dengan sendirinya tertolak.175 Karena itu, dengan merunut cara pandang Cak Nur, maka alislâm di sini pertama-tama harus dimaknai sebagai sebuah kualitas sikap, yaitu sikap berpasrah sepenuhnya kepada Allah. Jadi, sebelum Islam menjadi “proper name” atau “agama historis” Nabi Muhammad, al-islâm sebagai kualitas sikap pasrah itu sesungguhnya telah menjadi ajaran pokok semua utusan Tuhan bersamaan dengan doktrin mengenai Tauhid. Dengan al-islâm dalam pengertian generiknya, maka sumbu titik-temu agama-agama yang dibawa oleh para rasul menjadi terlihat terang. Cak Nur kembali mengutip Ibn TayDr. Media Zainul Bahri

261

miyyah yang menyatakan bahwa karena pokok agama, yakni alislâm, itu satu, meskipun syari’atnya bermacam-macam, maka Nabi Muhammad menyatakan dalam sebuah hadis shahih, “Kami, golongan para nabi, agama kami adalah satu,” dan “Para nabi itu semuanya bersaudara, tunggal ayah dan lain ibu,” dan “Yang paling berhak kepada Isa putra Maryam adalah aku.”176 Dengan hadis Nabi ini, lalu ayat-ayat al-Qur`an yang akan dijelaskan serta pandangan para ulama salaf dahulu, maka bagi Cak Nur menjadi jelas adanya “hubungan substansial” para nabi atau “kontinuitas” paralel di antara mereka. Dengan ajaran dasar mengenai al-islâm dan Tauhid yang diturunkan kepada para rasul sebagai ajaran pokok yang benar karena berasal dari Allah, maka terdapat konsep Kesatuan Kebenaran, yaitu adanya Kebenaran Universal untuk semua utusan Tuhan dan umat manusia, karena ia datang dari Tuhan Yang Satu dan Sama dan Maha Benar. Menurut Cak Nur, Kebenaran Universal itu, dengan sendirinya, bersifat tunggal, meskipun ada kemungkinan manifestasi lahiriahnya beraneka ragam. Dengan kata lain, Kebenaran Universal, atau dapat juga disebut sebagai “Agama Universal,” “Agama Yang Lurus” atau “Agama Yang Benar” itu tunggal adanya karena berasal dari Tuhan Yang Tunggal, meskipun ketika turun ke dunia historis, atau ke alam fenomena, menjadi bentuk/ wujud agama-agama dan keyakinan yang beragam (berbeda). Bahkan menurut Cak Nur, secara antropologis, pada mulanya umat manusia adalah tunggal karena berpegang pada kebenaran yang tunggal. Namun, mereka kemudian berselisih satu sama lain karena adanya kepentingan yang berbeda dan nafsu memenangkan suatu persaingan, maka terjadilah perbedaan dan perpecahan sebagai bagian dari hukum alam yang tak mungkin dihindari.177 Sejak saat itu manusia menjadi beragam dan bermacam-macam, termasuk keyakinan keagamaannya. Meski begitu, al-Qur`an telah merekam mengenai Kesatuan asal umat manusia itu dan perpecahan mereka hingga menyebabkan Tuhan mengutus banyak nabi dengan ajaran historis yang berbeda-beda, namun Satu dalam esensinya.

262

Wajah Studi Agama-Agama

Dalam keyakinan Cak Nur, adanya persamaan atau “kesatuan esensial” dari sumber agama yang berbeda-beda bukan sesuatu yang mengejutkan, sebab semua yang benar berasal dari sumber yang sama, yaitu Allah Yang Maha Benar (al-Haqq). Dan semua nabi dan rasul membawa ajaran kebenaran yang sama. Perbedaan yang ada hanyalah dalam bentuk-bentuk respons khusus (partikular) tugas seorang rasul sesuai dengan konteks ruang dan waktu di mana ia berada. Karenanya, perbedaan (manifestasi, bentuk atau syari’at agama-agama) tidak bersifat prinsipil, sedangkan ajaran pokok para nabi dan rasul adalah sama.178 Ketika membicarakan hubungan substansial para nabi, Cak Nur membuat catatan-catatan khusus mengenai komunitas para pemilik kitab suci atau Ahl alKitâb. Menurut Cak Nur, konsep Islam mengenai Ahl al-Kitâb merupakan doktrin yang unik yang tidak pernah ada sebelum Islam. Dengan doktrin ini Islam memberi pengakuan tertentu kepada para penganut lain yang memiliki kitab suci, namun bukan berarti memandang semua agama adalah sama—suatu hal yang mustahil karena banyak agama yang berbeda memiliki prinsip-prinsip ajaran yang berbeda pula. Konsep mengenai Ahl al-Kitâb juga memiliki dampak sosiokultur dan keagamaan yang luar biasa, sehingga dalam pandangan Cak Nur, Islam adalah agama yang pertama kali memperkenalkan pandangan tentang toleransi dan kebebasan beragama pada umat manusia, dan pada gilirannya, dalam sejarah peradaban Islam, kaum Muslim mengembangkan budaya kosmopolitanisme yang didasarkan pada tata masyarakat yang terbuka dan toleran.179 Pembicaraan tentang Ahl al-Kitâb biasanya dialamatkan kepada kaum Yahudi dan Nasrani karena al-Qur‘an menyebut kedua komunitas itu secara eksplisit sebagai Ahl al-Kitâb. Namun, bagi Cak Nur karena orang Arab umumnya dan kaum Muslim perdana khususnya hanya mengenal dua komunitas itu sebagai yang memiliki kitab suci, maka hal itu menjadi alasan kontekstual atau asbab nuzûl al-Qur‘an hanya menyebut dua komunitas itu. Dengan mengutip para sarjana Islam yang dianggap Cak Nur memiliki otoritas, keDr. Media Zainul Bahri

263

luasan cakrawala dan kedalaman pemahaman Islam, Cak Nur ingin melangkah lebih jauh tentang komunitas keagamaan lain yang juga memiliki kitab suci selain Yahudi dan Kristen. Maka dengan merujuk kepada pandangan Abdullah Yusuf Ali melalui The Holy Qur‘an, Translation and Commentary, Muhammad Rasyid Ridha melalui Tafsîr al-Manâr, dan seorang ulama Nusantara, Abdul Hamid Hakim melalui karyanya al-Mu’în al-Mubîn, Cak Nur mengajak kaum Muslim untuk mempertimbangkan secara serius, untuk tidak menyebutnya “mengajak menyetujui,” bahwa para pemeluk agama lain seperti kaum Sabean, Majusi, Zoroaster, Hindu, Buddha, Konghucu, Shinto Tao dan lain-lain yang memang memiliki kitab yang disucikan oleh para pemeluknya, juga pantas disebut Ahl al-Kitâb.180 Dari uraian panjang Cak Nur tentang hal ini, kiranya ia memiliki tiga alasan pokok: pertama, terdapat ayat-ayat dalam al-Qur‘an yang menegaskan bahwa “Tuhan telah mengutus seorang utusan (rasul) kepada setiap umat (komunitas),” “Dan rasul-rasul itu ada yang diceritakan (oleh al-Qur‘an) dan ada yang tidak,” juga ayat lain yang menyatakan bahwa “Tuhan tidak pernah mengutus seorang rasul kecuali dalam bahasa kaumnya.” Nah, menurut Cak Nur, apa yang disebut ummah adalah sekumpulan manusia. Karenanya, kalau di Jawa ada sekumpulan manusia, maka di situ ada nabi. Begitu pula di tempat lain seperti China, India atau Persia misalnya, Tuhan pasti mengutus seorang utusan untuk membawa kabar gembira dan ajaran pokok lainnya. Namun, jangan harap utusan Tuhan itu disebut “nabi” atau “rasul” pada bangsa-bangsa non-Semitik karena dua kata itu berasal dari bahasa Arab dan Ibrani yang artinya orang yang mendapat berita dan utusan. Juga apa yang dimaksud dengan “bahasa kaumnya” adalah bahasa dan simbol-simbol yang dikenal oleh komunitas tempat utusan Tuhan itu berada; bahasa kultural, the mode of thinking, dan termasuk pula kosmologi.181 Kedua, Dengan kembali mengutip pandangan Rasyid Ridha Cak Nur berargumen bahwa al-Qur‘an hanya menyebut kaum Yahudi, Nasrani, Sabean dan Majusi disebabkan komunitas inilah yang pertama-tama dikenal oleh bangsa Arab dan letak geografis mereka 264

Wajah Studi Agama-Agama

juga berdekatan dengan bangsa Arab. Orang-orang Arab pada masa itu belum pernah melakukan perjalanan ke negeri India, Jepang atau China sehingga mereka tidak mengetahui komunitas keagamaan lain. Menurut Ridha seperti dirujuk Cak Nur, al-Qur‘an telah berhasil mencapai maksudnya dengan cara menyebut agama-agama yang dikenal oleh bangsa Arab tanpa perlu membuat keterangan yang asing (ighrâb) tentang golongan lain yang tidak dikenal bangsa Arab.182 Ketiga, dengan merujuk kepada pandangan Abdul Hamîd Hakîm, Cak Nur setuju bahwa agama-agama Hindu, Buddha, China dan Jepang termasuk Ahl al-Kitâb adalah karena ajaran asli/dasar mereka adalah Tauhid.183 Seperti telah disebut di muka bahwa pada setiap komunitas Tuhan menurunkan seorang rasul yang membawa ajaran pokok berupa Tawhid: mengenal Tuhan Yang Maha Esa dan Maha Pencipta segala sesuatu. Karena ajaran dasar mereka adalah Tawhid, maka Ahl al-Kitâb tidak termasuk ke dalam golongan kaum musyrik. Dalam hal ini Cak Nur lalu merujuk kepada pendapat Ibn Taymiyyah. Menurut Ibn Taymiyyah seperti dikutip Cak Nur, asal-usul agama Ahl al-Kitâb adalah mengikuti kitab-kitab yang diturunkan dari Allah yang membawa ajaran Tawhid, bukan ajaran syirik. Kitab suci mereka juga tidak mengandung syirik. Jika Allah menyifati mereka dengan syirik seperti tercantum dalam surat al-Taubah: 31 misalnya, karena mereka memang melakukan syirik dan bid’ah, itu adalah penyimpangan dan tidak berarti ajaran asli/ dasar mereka berkurang keasliannya karena perbuatan syirik mereka. Hal itu sama dengan ajaran Islam dan kitab suci al-Qur‘an yang mengajarkan doktrin Tauhid dan memerangi pandangan serta sikap syirik. Namun, dalam praktiknya tidak sedikit kaum Muslim yang menciptakan banyak bid’ah dan melakukan perbuatan syirik.184 Karena ajaran pokok para utusan Tuhan yang turun pada semua bangsa di dunia ini—dalam beragam bahasa, kultur dan manifestasinya—maka kata Cak Nur, semua agama, baik karena dinamika internalnya sendiri atau karena persinggungannya satu sama lain, akan secara bertahap menemukan kebenaran asalnya sendiri, seDr. Media Zainul Bahri

265

hingga semuanya akan bertumpu dalam suatu “titik-pertemuan,” “common platform” atau dalam istilah al-Qur`an “kalimah sawâ`” sebagaimana perintah Allah kepada Nabi Muhammad untuk mengajak kaum Ahl al-Kitâb kepada kalimah sawâ` itu, yakni konsep dan sikap ber-Tawhid dan tidak menyekutukan-Nya dengan siapa dan apa pun jua.185 Dengan mengakui Ahl al-Kitâb sebagai komunitas yang menganut paham Tawhid dengan ajaran dasar yang ber-Tawhid juga, maka kini Cak Nur melangkah kepada persoalan keselamatan di akhirat, suatu persoalan klasik yang telah dan akan terus menjadi perdebatan sengit di kalangan ulama dan sarjana Muslim, apakah non-Muslim (bukan umat Nabi Muhammad) akan selamat di akhirat serta mendapat rahmat-Nya? Sebagaimana sarjana Muslim pluralis (atau inklusif) lainnya, Cak Nur juga mengetengahkan surat al-Baqarah ayat 62 yang menyatakan bahwa orang-orang yang beriman (pengikut Nabi Muhammad), kaum Yahudi, kaum Nasrani, kaum Sabean, siapa saja di antara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari akhir, dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. Menurut Cak Nur, perbedaan pandangan di kalangan ahli tafsir mengenai ayat ini sulit didamaikan karena dalam pandangan para ahli tafsir tradisional siapa pun yang ingkar terhadap Nabi Muhammad adalah “kafir” dan orang kafir “tidak akan masuk surga.” Karena itu, beberapa mufassir tradisional akan menafsirkan ayat itu dengan pendapat bahwa yang dimaksud kaum Yahudi, Nasrani, Sabean, dan Majusi adalah mereka para penganut agama tersebut sebelum Islam datang. Atau, komunitas keagamaan itu adalah mereka yang kemudian masuk Islam setelah datangnya Nabi Muhammad. Karenanya, yang dimaksud dengan beriman kepada Allah, hari akhir, dan berbuat kebajikan adalah menurut ajaran agama Islam versi Nabi Muhammad. 186 Namun, Cak Nur kelihatannya lebih mendukung pandangan tafsir Abdullah Yusuf Ali dan Muhammad Asad yang menyatakan 266

Wajah Studi Agama-Agama

bahwa firman Allah itu sebuah ketegasan bahwa siapa pun dapat memperoleh keselamatan (salvation) asalkan ia beriman kepada Allah, hari akhir dan berbuat baik, tanpa memandang apakah ia keturunan Nabi Ibrahim seperti kaum Yahudi (dan kaum Quraisy di Mekkah) atau bukan. Ini sejalan dengan penegasan Tuhan kepada Nabi Ibrahim sendiri, ketika nabi itu dinyatakan akan diangkat oleh Allah untuk menjadi pemimpin umat manusia, dan ketika Ibrahim bertanya, dengan nada memohon, “Bagaimana dengan keturunanku (anak-cucuku) (apakah mereka juga akan diangkat menjadi pemimpin umat manusia)? Maka Allah menjawab, “PerjanjianKu ini tidak berlaku bagi mereka yang zalim.”187 Jadi, menurut Cak Nur, keselamatan tidak didapat oleh manusia karena faktor keturunan, tetapi oleh siapa saja berdasarkan iman kepada Allah, hari akhirat, dan prestasi yang saleh, suatu prinsip yang banyak sekali mendapat tekanan dalam kitab suci.188 Seluruh pandangan teologis Cak Nur di atas; dari konsep Tawhid, Islam, Ahl al-Kitâb hingga keselamatan kaum beriman dalam tradisi agama apa pun sesungguhnya menggambarkan pandangan utuh dan holistik Cak Nur mengenai apa yang disebut dengan “pluralisme agama” bukan sekadar “pluralitas agama.” Menurut Cak Nur, berdasarkan prinsip-prinsip teologis di atas, umat Islam melalui para pemimpin dan ulamanya sejatinya telah lama mengembangkan pluralisme agama. Khusus mengenai konsep Ahl al-Kitâb, menurut Cak Nur, maka pluralisme agama dalam Islam bukan semata pengakuan terhadap kaum Yahudi dan Kristen beserta berbagai aliran dan sektenya yang secara eksplisit memang disebut oleh al-Qur`an sebagai Ahl al-Kitâb, namun juga mencakup agama-agama lain seperti Majusi atau Zoroastrian, agama-agama di India seperti Hindu dan Buddha, dan agama-agama di China dan Jepang.189 Apa yang dimaksud Cak Nur dengan pengertian pluralisme agama? Dalam sebuah tulisan Cak Nur menjelaskan pandangan para ahli teologi mengenai sikap-sikap beragama, yaitu pertama, sikap eksklusif dalam melihat agama lain (Agama-agama lain adalah Dr. Media Zainul Bahri

267

jalan yang salah, yang menyesatkan bagi para pengikutnya). Kedua, sikap inklusif (Agama-agama lain adalah bentuk implisit agama kita), dan ketiga, pluralis, yang bisa diekspresikan dalam macammacam rumusan, misalnya: “Agama-agama lain adalah jalan yang sama-sama sah untuk mencapai Kebenaran yang Sama,” atau “Agama-agama lain berbicara secara berbeda, tetapi merupakan kebenaran-kebenaran yang sama-sama sah.” Nah, menurut Cak Nur, sebagai sebuah pandangan keagamaan, pada dasarnya Islam bersifat inklusif dan merentangkan tafsirannya ke arah yang semakin pluralis.190 Jadi, bagi Cak Nur, prinsip-prinsip Islam yang ia pahami minimal membawa semangat inklusivisme, dan jika ditelusuri lebih dalam hingga ke jantungnya (hakikat) maka ajaran-ajaran pokok Islam sejatinya sesuai dengan semangat doktrin pluralisme agama, yaitu pengakuan bahwa agama-agama non-Islam adalah jalan-jalan yang sejajar dan sama-sama absah dalam mencapai Tujuan Akhir yang Sama, yaitu Tuhan Yang Mahaesa. Cak Nur lalu merujuk kepada filsafat perenial, yang juga diapresiasi oleh sarjana-sarjana Muslim terkemuka seperti Rene Guenon, Frithjof Schuon dan Seyyed Hossein Nasr, yang salah satu doktrin pokoknya adalah bahwa setiap agama merupakan ekspresi keimanan (dalam bentuk yang beragam) terhadap Tuhan yang sama. Ibarat roda, pusat roda itu adalah Tuhan, dan jari-jarinya adalah beragam jalan dari berbagai agama. Filsafat perenial, lanjut Cak Nur, juga membagi agama pada level esoterik (batin) dan eksoterik (lahir). Satu agama berbeda dengan agama lain dalam level eksoterik, tetapi relatif sama dalam level esoteriknya. Karenanya, ada istilah “Satu Tuhan Banyak Jalan.”191 Meski demikian, harus pula disadari bahwa Cak Nur menegaskan bahwa Nabi Muhammad adalah nabi dan utusan Tuhan yang terakhir. Cak Nur—dalam banyak kesempatan—sering menyatakan tentang hal ini, bahkan ia membuat satu tulisan khusus mengenai hal ini.192 Di sini kita melihat Cak Nur sebagai “Muslim formal” yang sulit untuk tidak bersikap taat terhadap ajaran normatif Islam. Menurut Cak Nur, ajaran bahwa Nabi Muhammad adalah 268

Wajah Studi Agama-Agama

hasa Latin (Katolik) dan satunya dengan bahasa Arab (Islam). Terhadap agama-agama lain yang berbeda, Gus Dur memandang bahwa dengan cara melihat persamaan-persamaan esensial diantara agama-agama, maka yang muncul adalah unsur yang dapat mempersatukan ketimbang memisahkan dan sikap saling menghargai satu sama lain.223 Bagi Gus Dur, secara esensial semua agama adalah sama karena diwahyukan dari Tuhan Yang Sama. Pandangan Gus Dur ini sama dengan doktrin dalam filsafat perenial bahwa Satu Esensi yang sama itu memanifestasi dalam banyak atribut, bentuk atau identitas kultural yang bermacam-macam. Perbedaan-perbedaan bentuk atau manifestasi agama yang disebabkan oleh keragaman budaya menurut Gus Dur, sejatinya harus membuat orang saling mengenal dan menyayangi demi menegakkan moralitas, solidaritas dan kasih sayang di antara sesama.224 Pandangan esoterik keagamaan Gus Dur itu membawanya kepada penafsiran-penafsiran Islam yang pluralis dan liberal; liberal dalam arti lebih menekankan konteks ajaran agama dibanding terpaku pada yang tekstual. Tentang persoalan siapakah yang disebut orang kafir? Bagi Gus Dur, non-Muslim bukanlah orang kafir. Non-Muslim yang memiliki agama tidak bisa disebut kafir. Dalam penafsiran Gus Dur, kelompok yang disebut kafir dalam al-Qur‘an adalah orang-orang yang menolak eksistensi Tuhan, nikmat Tuhan, dan kaum kafir Mekkah yang memerangi Nabi Muhammad dan sahabatnya. Jadi, harus dilihat konteksnya.225 Dalam soal merayakan Natal misalnya. Ketika Gus Dur ditanya tentang orang-orang Islam yang ikut merayakan atau berpartisipasi dalam kegiatan Natal tetangga mereka yang Kristen karena adanya pandangan bahwa Nabi Isa memiliki tempat yang istimewa dalam ajaran Islam, Gus Dur menjawab, “ Jika kita mengikuti ajaran agama kita secara penuh, maka kita (kaum Muslim) juga boleh merayakan Natal sebagaimana kita merayakan kelahiran Nabi Muhammad.”226 Dalam sebuah tulisan berjudul Harlah, Natal dan Maulid, Gus Dur kembali menegaskan bahwa Natal memang diakui oleh kitab suci al-Qur’an, juga sebagai kata penunjuk hari kelahiran Nabi Isa, 280

Wajah Studi Agama-Agama

yang harus dihormati oleh umat Islam juga. Bahwa hari kelahiran itu memang harus dirayakan dalam bentuk berbeda, atau dalam bentuk yang sama tetapi dengan maksud yang berbeda, adalah hal yang tidak perlu dipersoalkan. Bagi Gus Dur, jika ia merayakan Natal adalah penghormatan untuk Nabi Isa dalam pengertian yang ia yakini, sebagai Nabi Allah. Ini berarti, kemerdekaan bagi kaum Muslim untuk turut menghormati hari kelahiran Nabi Isa, yang sekarang disebut hari Natal. Mereka bebas merayakannya atau tidak, karena itu sesuatu yang dibolehkan oleh agama. Gus Dur sendiri menghormatinya, bahkan ia senang jika ikut merayakannya bersama-sama dengan kaum Kristiani. Bagi Gus Dur, “Penghargaan kepada kaum non-Muslim oleh kaum Muslim, tidak berarti menunjukkan kita telah meninggalkan akidah kita sendiri, melainkan justru menunjukkan kedewasaan pandangan kita di mata mereka.”227 Di Mesir misalnya, menurut Gus Dur, Mufti kaum Muslim -yang bukan pejabat pemerintahan- mengirimkan ucapan selamat Natal secara tertulis, kepada Paus Shanuda (Pausnya kaum Kristen Koptik di Mesir). Begitu pula sebaliknya, Paus itu memberi ucapan selamat pada hari raya Idul Fitri dan Idul Adha. Bagi Gus Dur, Natal dan Maulid Nabi Muhammad, awalnya adalah sebuah acara keagamaan, namun lama-kelamaan berubah menjadi sebuah “budaya” atau “dibudayakan” oleh masyarakat setempat.228 Terhadap kontroversi keberadaan Konghucu di Indonesia, apakah ia sebuah agama atau hanya sekadar filsafat hidup? Gus Dur membuat uraian kesejarahan. Menurutnya, Paham Konghucu (Konfusionisme) adalah sebuah kenyataan sejarah yang dibawa ke Indonesia oleh bangsa Tionghoa dari tanah air mereka, sejak berabadabad yang lalu. Orang-orang keturunan Tionghoa didatangkan oleh pemerintahan kolonial Belanda ke Nusantara untuk menggali tambang, membuka tanah-tanah pertanian dan mengolah hutan. Mereka datang ke sini dalam gelombang kedua, karena dibutuhkan untuk mengolah daerah-daerah kosong yang masih merupakan tanah-tanah perawan (virgin lands). Sementara itu, pada abad ke15, seorang Menteri Peperangan Tiongkok yang menjadi wali raja Dr. Media Zainul Bahri

281

yang masih kecil, dan seorang pengikut Konghucu yang fundamentalis, merasa takut jika orang-orang Tionghoa di perantauan akan kembali ke daratan China dan membeli tanah-tanah –yang terbatas jumlahnya itu, dari harta yang diperoleh dari perantauan. Karena itu, ia memerintahkan ditariknya kapal-kapal laut Tiongkok dari perantauan, lalu di akar di pantai Hainan. Dengan peristiwa ini, maka terputuslah orang-orang China perantauan dengan leluhurnya. Di Indonesia sendiri, saat ini banyak orang asli Indonesia yang beragama Islam sesungguhnya adalah keturunan Tionghoa, namun telah bercampur dengan darah Arab dan lain-lain. Menurut Gus Dur, sebagian orang Tionghoa yang dulu datang ke Nusantara memandang Konfusionisme sebagai agama termasuk budayabudaya yang mereka warisi dari leluhur. Sedangkan sebagian orang, termasuk paham Komunis di Tiongkok tidak bisa menerima paham ini sebagai agama, melainkan hanya sebagai filsafat hidup. Menurut Gus Dur, jika ia ditanya pendapatnya soal ini, maka menurutnya, persoalan agama harus diserahkan kepada para pemeluknya, bukan kepada pemerintah. Jika orang-orang Konghucu menganggap Konfusionisme sebagai agama, maka hal itu harus dihormati dan diterima oleh pemerintah. Jika ada pejabat yang tidak menghargai kenyataan ini, maka ia telah menentang UUD 1945.229 Pandangan Gus Dur bahwa persoalan agama harus diserahkan kepada para pemeluknya adalah pandangan Studi Perbandingan Agama modern yang mengarah kepada sikap-sikap yang humanis dan pluralis. Memang, seharusnya yang berhak menentukan validitas suatu keyakinan adalah para pemeluknya, bukan orang luar dan bukan negara. Karena hanya pemeluknya yang memiliki pengalaman dan penghayatan penuh atas keyakinannya itu. Pandangan-pandangan keagamaan Gus Dur yang humanis dan pluralis itu, menurut Husein Muhammad, seorang tokoh NU dari Cirebon dan pendukung pluralisme, adalah gagasan yang juga diusung oleh para sufi besar. Para sufi agung seperti Ibn ‘Arabî, Rûmî, al-Ghazâlî, dan Ibn ‘Athâillah, kata Husein, adalah mereka yang sering menyuarakan gagasan pluralisme dan persaudaraan univer282

Wajah Studi Agama-Agama

sal. Mereka tidak memiliki keraguan sedikit pun bahwa tidak ada apa pun di alam semesta ini kecuali Tuhan Yang Satu, yang ke hadapan-Nya seluruh yang ada tunduk dan berserah. Seluruh yang ada, sejak ia ada sampai keberadaannya dicabut, selalu dan akan terus menerus mencari Dia melalui jalan dan bahasa yang berbedabeda, seperti sebuah syair sufistik yang indah: Bahasa kita begitu beragam tetapi Engkaulah Satu-satunya yang Indah Dan kita masing-masing menuju kepada Keindahan Yang Satu itu.230

Kedua, gagasan pluralisme Gus Dur juga berakar pada pandangan politiknya, dalam arti politik kebangsaan. Sejak awal Gus Dur meyakini bahwa Pancasila merupakan ideologi terbaik bagi bangsa Indonesia, dan bukan ideologi negara Islam. Gus Dur adalah salah satu tokoh muda NU pada 1980 yang berperan aktif mendorong NU untuk menerima asas tunggal Pancasila. Dalam negara Pancasila, semua pemeluk agama memiliki hak dan kewajiban yang sama di depan hukum. Tidak ada agama yang dinomorduakan, juga tidak ada yang dinomorsatukan. Pancasila memang tidak bisa dibandingkan dengan agama. Pancasila, yang berfungsi sebagai ideologi dasar negara dan konstitusi dapat mengakomodasi aspirasi berbagai agama dan menempatkannya secara fungsional. Dalam pengertian inilah menurut Gus Dur, Pancasila dipahami sebagai aturan main yang mengatur semua agama dan keyakinan dalam kehidupan sosialnya. Sebagai seorang nasionalis, Gus Dur memandang bahwa meletakkan Pancasila sebagai dasar negara oleh para pendiri bangsa ini sudah sangat tepat. Gus Dur sering merujuk kepada Muktamar NU tahun 1935 di Banjarmasin (Borneo Selatan), yang memutuskan bahwa Negara Hindia Belanda yang diperintah oleh kolonial Belanda (non-Muslim) wajib hukumnya dipertahankan secara agama dengan dua alasan: pertama, karena kaum Muslim merdeka Dr. Media Zainul Bahri

283

dan bebas menjalankan ajaran Islam, dan kedua, karena dulu di kawasan tersebut (Nusantara) telah ada Kerajaan Islam.231 Fleksibilitas tokoh-tokoh NU dan tokoh Islam lainnya kemudian ditunjukkan pula melalui penerimaan Pancasila dan UUD 1945 sebagai dasar dan konstitusi negara, sambil menolak Piagam Jakarta. Namun demikian, menurut Gus Dur, hubungan antara Islam dengan Pancasila belum benar-benar dapat selesai dengan tuntas, mengingat kemungkinan munculnya friksi antara kepentingan kaum Muslim dengan kepentingan negara. Friksi itu niscaya muncul karena adanya perbedaan watak di antara keduanya. Islam, sebagai agama, memberlakukan nilai-nilai normatif dalam kehidupan individu dan kolektif para pemeluknya, sedangkan negara seperti Republik Indonesia tidak akan mungkin memberlakukan nilai-nilai normatif yang tidak diterima oleh semua warga negara, yang berasal dari agama dan pandangan hidup yang berlainan. Dengan kata lain, tidak semua nilai normatif yang dimiliki Islam dapat diberlakukan dalam kehidupan bernegara di Indonesia.232 Meski demikian, penerimaan ideologi Pancasila oleh kaum Muslim telah didudukkan secara tepat, yaitu sebagai landasan konstitusional dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, sedangkan Islam menjadi akidah dalam kehidupan kaum Muslim. Antara ideologi sebagai landasan konstitusional tidak dipertentangkan dengan agama, tidak mencari penggantinya dan tidak diperlakukan sebagai agama.233 Bagi Gus Dur, esensi Pancasila adalah menjaga pluralisme. Gus Dur merujuk kepada pidato Bung Karno bahwa kebhinekaanlah yang menjadi alasan berdirinya bangsa ini. Kebhinekaan atau pluralitas budaya bangsa ini, selain menjadi pengikat dalam membentuk sebuah bangsa juga merupakan kekayaan yang menghimpun untuk menjadi sebuah wadah yang disebut Negara Kesatuan Republik Indonesia.234 Dengan Pancasila dan kebhinekaan itu, maka semua pemeluk agama memiliki kemerdekaan untuk berkeyakinan dan bebas mengekspresikan keyakinannya tersebut. Karena itulah bagi Gus Dur, mengekang kebebasan beragama dengan alasan apa pun, termasuk oleh negara, adalah tindakan kriminal yang harus 284

Wajah Studi Agama-Agama

dilawan.235 Menurut Gus Dur, kesadaran pluralisme hanya akan muncul jika negara tidak melakukan “formalisasi” ajaran agama. Dalam pemahaman teologis Gus Dur, karena al-Qur`an sendiri menjamin kebebasan beragama dan tidak ada pemaksaan dalam berkeyakinan, maka negara tidak boleh menentukan satu agama tertentu lebih unggul dibanding agama lain. 236 Namun, dalam konteks masyarakat Indonesia yang agamis, Gus Dur juga tidak setuju jika Pancasila diberi arti sebagai ideologi sekuler, dalam arti memisahkan agama dari negara seperti pandangan Ali Abdurraziq, seorang pemikir liberal dari Mesir. Agama, dalam hal ini Islam, menurut Gus Dur, dalam negara Pancasila memiliki dua fungsi: pertama, sebagai sumber etika sosial, dan kedua, unsur-unsur Islam sesungguhnya dapat berpenetrasi menjadi hukum positif melalui konsensus, misalnya lahirnya undang-undang tentang Perkawinan (1974) dan undang-undang Peradilan Agama (1989)237 sebagai produk yang “Islami.” Dalam konteks Pancasila, kebhinekaan, dan kebebasan beragama inilah Gus Dur selalu tampil di depan untuk membela kelompok-kelompok minoritas keagamaan yang dihambat kebebasan beragamanya oleh kelompok mayoritas. Gus Dur membela kebebasan beragama itu sembari mengkritik pandangan dan sikap kaum Muslim, terutama tokoh-tokohnya, seperti Majelis Ulama Indonesia (MUI) misalnya, yang bersikap arogan dalam kehidupan bernegara yang majemuk ini. Dalam hal ini kita bisa melihat pembelaan Gus Dur terhadap pluralisme yang diharamkan oleh MUI dan Ahmadiyah. Menurut Gus Dur, batasan dan hubungan antara kebenaran sebuah keyakinan dengan pergaulan antara sesama penganut agama dalam konteks negara Republik Indonesia tidak bisa hanya melihat dari kerangka keyakinan keagamaan saja. Banyak kaum Muslim misalnya, yang melihat dan memperlakukan penganut agama lain hanya dengan kerangka akidah Islam saja. Dengan ukuran ini, seorang Muslim menjadi sangat arogan dan puas ketika ‘mengalahkan’ agama lain. Arogansi seperti inilah yang menjadikan kaum Muslim yang “sempit pandangan” itu berstandar ganda daDr. Media Zainul Bahri

285

lam bernegara. Di satu pihak, mereka memerlukan negara untuk tetap hidup. Di pihak lain, mereka tidak peduli terhadap eksistensi/ wujud negara ini. Padahal, salah satu cara untuk mempertahankannya adalah memahami watak kemajemukan hidup beragama di negeri ini, yaitu dengan bersikap toleransi (tenggang rasa) antara sesama penganut agama. Dalam pengertian inilah, Gus Dur memandang bahwa MUI yang mengeluarkan fatwa haram atas pluralisme memperlihatkan adanya sikap yang tidak mau tahu dengan toleransi, yang sebenarnya menjadi inti dari kehidupan beragama yang serba majemuk di negeri ini. Itulah sebabnya, mengapa para pendiri Republik Indonesia berkeras mengatakan bahwa negara ini bukanlah sebuah negara agama. Lalu apakah para pemimpin Islam waktu itu seperti: Ki Bagus Hadikusumo dan K.H. Kahar Muzakir dari Muhammadiyah, Abikusno Tjokrosuyoso dari Serikat Islam, Achmad Subarjo dari Masyumi, AR. Baswedan dari Partai Arab Indonesia, K.H. Wahid Hasjim dari Nahdlatul Ulama dan H. Agus Salim, adalah tokoh-tokoh gadungan yang tidak mewakili golongan Islam?238 Menurut Gus Dur, mereka adalah tokoh-tokoh Muslim pendiri Indonesia yang berpandangan luas mengenai hubungan timbal balik dengan para pengikut dan pimpinan agama-agama lain. Selama lebih dari empat dasawarsa, umat beragama hidup dalam tradisi saling menghormati. Secara retoris, Gus Dur bertanya: “Mengapa kita harus menerima ‘pandangan kaku’ seperti itu, yang dimulai oleh segelintir orang yang ‘menggunakan’ MUI secara tidak wajar? Bukankah itu adalah sikap tergesa-gesa dari mereka yang menganggap diri sendiri sebagai pihak yang paling berhak menafsirkan ‘kebenaran’ ajaran Islam?”239 Ketika Mr. AA Maramis mengajukan keberataan atas Piagam Jakarta, karena akan mengakibatkan dua kelas warga negara di Indonesia (Muslim sebagai kelas pertama dan Non Muslim kelas kedua), maka kata Gus Dur, para pendiri negara ini setuju seluruhnya untuk mengeluarkan piagam tersebut dari pembukaan UUD 45. Berarti negeri ini bukan lagi negara agama, atau tepatnya negara Islam, dan dengan demikian penafsiran Mah286

Wajah Studi Agama-Agama

kamah Agung atas UUD 45 menjadi satu-satunya penafsiran legal atas hukum di negeri ini.240 Pemikiran Wahid yang sangat penting dalam soal Islam, negara dan pluralisme adalah penolakannya terhadap formalisasi, ideologisasi, dan syariatisasi Islam.241 Bagi Wahid, kejayaan Islam justru terletak pada kemampuan agama ini untuk berkembang secara kultural.242 Dengan kata lain, Wahid lebih memberikan apresiasi kepada upaya kulturalisasi (culturalization). Karena itu, ayat yang berbunyi “udkhulû fi al-silmi kâffah” dan al-silmi ditafsirkan oleh kaum Islam formalis dengan kata “Islami,” tetapi Wahid menafsirkan kata itu dengan “perdamaian.” Menurut Wahid, konsekuensi dari kedua penafsiran itu punya implikasi luas. Mereka yang terbiasa dengan formalisasi, akan terikat kepada upaya-upaya untuk mewujudkan “sistem Islami” secara fundamental dengan mengabaikan pluralitas masyarakat. Orang lain yang tidak sepaham dengan mereka yang “Islami” itu akan dianggap kurang atau tidak Islami. “Sistem Islami” secara otomatis juga akan menempatkan warga non-Muslim di bawah kedudukan kaum Muslim, atau dengan kata lain, non-Muslim akan menjadi warga negara kelas dua.243 Ini yang ditolak secara tegas oleh Wahid. Ideologisasi Islam juga ditolak Wahid karena tidak sesuai dengan perkembangan Islam di Indonesia, yang dikenal dengan “negerinya kaum Muslim moderat.” Islam di Indonesia, bagi Wahid, muncul dalam keseharian kultural yang tidak berbaju ideologis.244 Di sisi lain, Wahid melihat bahwa ideologisasi Islam mudah mendorong umat Islam kepada upaya-upaya politis yang mengarah pada penafsiran tekstual dan radikal terhadap teks-teks keagamaan. Implikasi paling nyata dari ideologisasi Islam adalah upaya-upaya sejumlah kalangan untuk menjadikan Islam sebagai ideologi alternatif terhadap Pancasila, serta keinginan sejumlah kelompok untuk memperjuangkan kembalinya Piagam Jakarta. Juga langkah-langkah sejumlah pemerintah daerah dan DPRD yang mengeluarkan peraturan daerah berdasarkan “Syari’at Islam.” Menurut Wahid, usahausaha untuk “meng-Islam-kan” dasar negara dan “men-syariatkan” Dr. Media Zainul Bahri

287

peraturan-peraturan daerah bukan saja ahistoris, melainkan juga bertentangan dengan UUD 1945.245 Penolakan Wahid terhadap formalisasi, ideologisasi, dan syariatisasi itu mendorongnya untuk tidak menyetujui gagasan tentang negara Islam. Seperti sering dinyatakannya, Wahid secara tegas menolak gagasan negara Islam.246 Sikapnya ini didasari oleh pandangan bahwa Islam sebagai jalan hidup (syari’at) tidak memiliki konsep yang baku tentang negara.247 Wahid mengklaim, sepanjang hidupnya ia telah mencari dengan sia-sia makhluk yang bernama negara Islam itu. “Sampai hari ini belum juga saya temukan. Sehingga saya sampai pada kesimpulan bahwa Islam memang tidak memiliki konsep yang jelas tentang bagaimana negara dibuat dan dipertahankan.” 248 Atas larangan terhadap Ahmadiyah, Gus Dur juga menyesalkan pelarangan dan fatwa MUI tentang kesesatannya. Menurut Gus Dur, MUI lagi-lagi menunjukkan sikap arogan dan tidak bertanggung jawab. Maka Gus Dur, bersama-sama dengan tokoh Islam lain seperti Azyumardi Azra, Ahmad Syafi’i Ma’arif (yang disegani orang karena sikapnya yang hati-hati), M. Syafi’i Anwar, dan Dawam Rahardjo menolak fatwa MUI itu. Menurut Gus Dur, dirinya dan tokoh-tokoh itu memahami benar bahwa Gerakan Ahmadiyah Indonesia (GAI) dilindungi oleh konstitusi kita, betapa pun kita berbeda pendirian dengan mereka. Sementara argumentasi orang-orang yang tergabung dalam usaha pelarangan atau yang mendukung argumentasi untuk melarang GAI itu, adalah bahwa Saudi Arabia melarangnya. Namun, kata Gus Dur, mereka melupakan satu hal fundamental, yaitu Saudi Arabia adalah sebuah negara Islam, sedangkan Republik ini bukan negara agama. Negeri ini, dengan Pancasila dan sifat nasionalitasnya, dapat menerima perbedaan apa pun dalam paham kenegaraan (kecuali komunisme dalam pandangan sejumlah orang). Menurut Gus Dur, jika GAI dilarang, karena berbeda dari pendapat doktriner sebagian besar kaum Muslim di negeri ini, maka konsekuensinya adalah harus melarang juga pandanganpandangan kaum Kristen, Katolik, Buddha, Hindu dan lain-lain. 288

Wajah Studi Agama-Agama

Lagi-lagi Gus Dur bertanya secara retoris: bukankah keyakinan mereka juga tidak sama dengan keyakinan teologis mayoritas kaum Muslim? 249 Menurut Gus Dur, menguatnya fundamentalisme Islam akhirakhir ini, telah memunculkan kelompok Islam yang arogan yang keinginannya hanya menunjukkan kelebihan Islam atas agamaagama lain. Mereka adalah orang-orang yang tidak memiliki pengetahuan agama yang mendalam. Kesenangan mereka adalah bersikap curiga secara berlebihan dan menonjolkan perbedaan-perbedaan yang ada ketimbang mencari titik-temu antara Islam dengan agama-agama lain. Keadaan ini sesungguhnya dapat memecah belah kaum Muslim sendiri. Karena itu, Gus Dur menawarkan beberapa pandangan penting: (1) kaum Muslim mesti meresapi kembali pandangan teologis dari al-Qur‘an bahwa manusia diciptakan berbeda-beda untuk saling mengenal (al-Hujurat: 13) dan satu ayat yang memerintahkan kaum Muslim untuk bersatu, berpegang teguh kepada tali Allah dan tidak terpecah belah, (2) kaum Muslim harus sadar dan bersikap realistis bahwa mereka tidak hidup sendirian di sini, melainkan ditakdirkan oleh Allah untuk hidup bersama-sama dengan para penganut agama lain. Bahkan mereka saat ini harus hidup dengan mereka yang tidak ber-Tuhan (Ateis), atau mereka yang memiliki kerangka etis lain.250 Kaum Muslim hidup bersama dengan orang-orang lain dalam satu ikatan kebangsaan. Segala perbedaan seharusnya mendorong munculnya sikap yang arif bijaksana, bukan sikap yang membuat hubungan yang ada menjadi semakin memburuk, seperti pendapat MUI yang menimbulkan reaksi yang begitu keras. Dengan berbagai kesadaran ini, Gus Dur berharap bahwa Islam akan menjadi agama yang besar bersamaan dengan kedewasaan sikap dan keluasan pandangan kaum Muslim sendiri.251 Jelas kiranya bahwa pandangan-pandangan Gus Dur tentang pluralisme, humanisme, toleransi dan dialog antaragama seperti yang akan kita lihat, seluruhnya berakar pada warisan sejarah peradaban Islam, pandangan teologis Islam, Pancasila dan kenyataan Dr. Media Zainul Bahri

289

keragaman kultur masyarakat Indonesia. Sebagai agamawan yang memiliki pandangan luas mengenai kebudayaan, Gus Dur menggagas apa yang disebut sebagai “Pribumisasi Islam.” Pribumisasi Islam pantas pula kita letakkan sebagai salah satu unsur paham pluralisme pada diri Gus Dur. Tesis Pribumisasi bagi Gus Dur bermula dari sebuah kenyataan bahwa Islam mengalami perubahanperubahan besar dalam sejarahnya. Dalam bidang teologi, fikih, politik dan unsur-unsur Islam lainnya, Islam selalu mengalami pergumulan dan dialektika dengan budaya-budaya di seluruh dunia tempat Islam datang dan disambut. Ruh Islam tetap pada esensinya, namun bentuk-bentuk luarnya tidak harus selalu di “Arabkan,” karena tidak adanya keharusan (kewajiban) hukum agama untuk diseragamkan. Dalam konteks Islam Indonesia, Gus Dur bertanya: mengapa harus menggunakan kata ‘shalat,’ kalau kata ‘sembahyang’ juga tidak kalah benarnya? Mengapa harus ‘dimushalakan,’ padahal dahulu toh cukup langgar atau surau? Belum lagi ulang tahun, yang baru terasa ‘sreg’ kalau dijadikan ‘milad.’ Dulu tuan guru atau kiai sekarang harus ustadz dan syekh, baru terasa berwibawa. Bukankah ini pertanda Islam tercabut dari lokalitas yang semula mendukung kehadirannya di Nusantara ini?252 Menurut Gus Dur, yang ‘dipribumikan’ adalah manifestasi atau ekspresi kehidupan Islam, bukan ajaran yang menyangkut inti keimanan dan peribadatan formalnya. Tidak diperlukan adanya ‘alQur’an Batak’ atau ‘Hadis Jawa.’ Islam tetap Islam, di mana saja berada. Namun tidak berarti semua harus disamakan ‘bentuk-luar’nya. Karena itu, sebagai bentuk kecintaan kepada budaya-budaya yang telah lama berakar di Nusantara, Gus Dur lagi-lagi bertanya secara retoris: salahkah jika Islam ‘dipribumikan’ sebagai manifestasi kehidupan?253 Tentu saja bagi Gus Dur, jawaban atas pertanyaaan itu adalah bukan semata tidak salah melainkan juga perlu demi menunjukkan Islam yang rahmatan lil ‘alamin, di mana rahmatnya bisa “menyentuh” atau “mengakomodasi” kebudayaan umat manusia yang sejalan dengan esensi ajaran Islam, bahkan rahmat itu bisa mewujud dalam wajah kebudayaan yang humanis. 290

Wajah Studi Agama-Agama

Seperti telah disebut di awal, Gus Dur tidak membuat tulisan akademik yang utuh, sistematis dan komprehensif mengenai gagasan-gagasannya tentang pluralisme, humanisme dan toleransi antarumat beragama. Akan tetapi, ia lebih banyak menunjukkan aksi-aksi nyata dalam memperjuangkan dan mewujudkan pluralisme itu. Ketika menjadi Presiden misalnya, Gus Dur, melalui Kepres No. 6/2000, mencabut peraturan yang melarang pemeluk Konghucu untuk menjalankan ajaran agamanya secara terbuka. Indonesia juga pernah memiliki SK (Surat Keputusan) Menteri Dalam Negeri tahun 1974 tentang pengisian kolom agama pada KTP yang hanya mengakui lima agama selain Konghucu. SK ini oleh Gus Dur kemudian dianulir karena bertentangan dengan Pasal 29 UUD 1945 tentang Kebebasan Beragama dan Hak Asasi Manusia. Sebenarnya Gus Dur juga mengusulkan agar TAP MPRS No. XXIX/ MPR/1966 yang melarang Marxisme-Leninisme untuk dicabut, namun usul Gus Dur itu kandas oleh penolakan yang masif dari berbagai elemen masyarakat, terutama oleh umat Islam sendiri yang trauma dengan peristiwa Gerakan PKI pada 30 September 1965. Semua usaha itu menunjukkan komitmen Gus Dur yang kuat kepada pluralisme dan humanisme universal yang tidak dapat lagi dibatasi oleh sekat-sekat primordialisme yang sempit. C. Djohan Effendi Membincang isu pluralisme agama dan dialog antar-iman di era Indonesia modern tak mungkin mengabaikan sosok dan peran penting Djohan Effendi. Secara pribadi dan pemikiran ia dikenal dekat dengan Mukti Ali, Gus Dur, dan Cak Nur. Bersama dengan dua nama terakhir dan tokoh-tokoh Muslim lainnya, Djohan juga berani membela kebebasan beragama dan kelompok minoritas keagamaan yang tertindas. Yang unik dari Djohan adalah bahwa ia seorang birokrat di pemerintahan dan aktivis LSM sekaligus. Sebagai pegawai, ia pernah menjadi staf pribadi Sekjen Departemen Agama (Bahrum Rangkuti waktu itu), penulis pidato-pidato Menteri Agama Mukti Ali, dan selama 20 tahun menjadi penulis pidatoDr. Media Zainul Bahri

291

pidato Presiden Soeharto.254 Puncaknya, sebagai birokrat, Djohan diangkat oleh Presiden Gus Dur sebagai Kepala Litbang Departemen Agama. Sebagai aktivis LSM, Djohan memfasilitasi lahirnya lembaga-lembaga dialog lintas agama dan iman seperti DIAN (Dialog Antariman) Interfidei, MADIA (Masyarakat Dialog Antaragama) dan ICRP (Indonesian Conference on Religion and Peace).255 Terkait dengan wacana pluralisme agama, Djohan menulis banyak artikel, baik terkait langsung dengan isu tersebut maupun menyangkut isu-isu kerukunan, dialog antar-iman dan kebebasan beragama. Sebelum bicara pluralisme agama, Djohan pertama-tama mendefinisikan dulu apa itu pluralisme. Menurutnya, pluralisme adalah; Cara pandang dan pendekatan yang apresiatif dalam menghadapi heterogenitas suatu masyarakat yang para warganya terdiri dari berbagai kelompok etnik, ras, agama dan sosial yang menerima, menghargai dan mendorong partisipasi dan pengembangan budaya tradisional serta kepentingan spesifik mereka dalam lingkup kehidupan bersama256

Dengan pengertian itu, Djohan mengandaikan bahwa pluralisme akan benar-benar berfungsi jika terdapat ruang bersama di mana masing-masing pihak terlibat dalam pembentukan dan pengembangan komunitas bersama yang lebih luas, mencakup dan mewadahi semuanya tanpa menelantarkan kekayaan tradisi masingmasing.257 Dengan perspektif ini, maka prinsip utama pluralisme bagi Djohan adalah: (1) adanya sikap toleran dan respek terhadap pandangan, perspektif dan pengalaman masing-masing kelompok yang berbeda; (2) bersikap terbuka dan bisa menerima berbagai tanggapan semua pihak yang semuanya sah sepanjang bersikap konsekuen dan konsisten menjunjung pluralisme.258 Terlihat bahwa Djohan sedang merumuskan pengertian pluralisme pada level sosio-politik dan prinsip-prinsip penting di dalamnya. Penjelasan di atas dengan gamblang menunjukkan bahwa 292

Wajah Studi Agama-Agama

dalam pluralisme (yang dianut siapa pun: individu, kelompok atau negara), maka yang ditonjolkan bukan semata sikap respek, apresiatif dan toleran terhadap berbagai paham, cara pandang dan pengalaman masing-masing, melainkan juga adanya keterlibatan aktif dalam membentuk dan mengembangkan komunitas masing-masing yang diikat oleh prinsip-prinsip pluralisme, kebersamaan dan kesetaraan. Jadi, bukan pluralisme dalam pengertian pasif dan cuek, masa bodoh, yang penting tidak saling mengganggu, melainkan pluralisme yang peduli, aktif, dinamis, dan kreatif dalam mengembangkan komunitas bersama. Bagi Djohan pemahaman mengenai pluralisme sosial itu merupakan modal yang sangat penting bagi masyarakat multikultural. Saat ini masyarakat multikultural, yakni komunitas yang terdiri dari beragam ras, etnik, budaya, dan agama, menghadapi tantangan problem yang lebih luas dan kompleks. Problem masyarakat majemuk yang multikultur saat ini lebih menantang karena adanya persoalan diskriminasi, kesenjangan sosial-ekonomi, problem politik dan ideologi, adanya tuntutan persamaan dan kesetaraan dalam kedudukan dan kekuasaan dan lain-lain.259 Menurut Djohan, berbagai tantangan itu harus meneguhkan warga bangsa untuk berkomitmen pada dua hal pokok: (1) masyarakat multikultural secara konsisten dan konsekuen tidak memperlakukan komunitas-komunitas kultural, baik internal maupun eksternal, secara diskriminatif, baik disengaja maupun tidak. Masyarakat model ini harus menjamin keadilan sosial dan akses yang sama, baik bagi mayoritas maupun minoritas, untuk mendapatkan kekuasaan politik dan kemampuan bekerja sama dalam semangat kesetaraan. Dalam lingkup yang lebih luas, masyarakat multikultural hendaknya dapat mengembangkan identitas nasional yang tidak menyingkirkan kelompok mana pun. (2) Dengan semangat itu, maka para warga masyarakat multikultural tidak perlu ragu dan takut untuk menyatakan identitas kultural mereka karena adanya jaminan non-diskriminasi.260

Dr. Media Zainul Bahri

293

Setelah menjelaskan pluralisme sosial, Djohan merumuskan pengertian pluralisme agama dari perspektifnya sebagai sarjana Muslim. Menurutnya, pluralisme agama adalah fakta yang tak mungkin dihindari, sama tidak mungkinnya untuk mengambil sikap antipluralisme. Islam, yang dipahami Djohan, mengakui eksistensi agama-agama yang ada dan tidak menolak nilai-nilai ajaran agama-agama itu. Secara eksplisit, al-Qur’an menegaskan bahwa rahmat dan ganjaran Tuhan akan diberikan kepada kaum beriman selain umat Nabi Muhammad yang diiringi amal kebajikan (al-Baqarah: 62).261 Dari perspektif ini, maka pluralisme agama bagi Djohan adalah adanya pengakuan nilai-nilai kesucian dan kebenaran pada agama-agama non-Islam dan adanya kasih sayang Tuhan atau jalan keselamatan di akhirat kelak bagi para pemeluk agama nonIslam. Pandangan pluralisme agama Djohan didasarkan pada tiga hal penting. Pertama, menurut Djohan soal paham pluralisme agama terkait erat dengan konsep kesatuan kenabian. Al-Qur’an mengajarkan bahwa iman kepada para nabi berarti pula bahwa kaum Muslim tidak boleh membeda-bedakan mereka (al-Baqarah: 136). Semua nabi dan rasul, menurut Djohan, membawa misi yang sama, yaitu menebarkan agama perdamaian yang berlandaskan pada kepasrahan kepada Tuhan. Terkait dengan konsep kesatuan kenabian, Djohan mengutip hadis Nabi, “Para nabi itu bersaudara, ibu-ibu mereka berlainan namun agama mereka satu.” Hadis ini dianggap Djohan memperkuat konsep kesatuan kenabian.262 Kedua, dengan konsep kesatuan kenabian, maka Islam mengakui adanya titik-temu esensial dari berbagai agama, khususnya agama-agama Semitik. Titik-temu itu misalnya dapat dilihat dari persamaan ajaran mengenai kepercayaan terhadap Tuhan YME sebagai landasan untuk hidup bersama (Ali Imran: 63).263 Ketiga, adanya pandangan bahwa manusia sebagai makhluk yang relatif tidak mungkin mampu menangkap dan menjangkau secara utuhmenyeluruh akan agama sebagai doktrin kebenaran mutlak, apalagi menjangkau Tuhan. Karena itu, bagi Djohan, ketika seorang peng294

Wajah Studi Agama-Agama

anut agama berbicara tentang agama, maka yang sedang dibicarakannya adalah agama dalam pemahaman, pengertian dan tafsir dia atas agama, bahkan agama yang dimaksudkannya adalah selalu dalam bayang-bayang perspektif aliran atau sekte agama yang dianutnya. Seorang beragama tidak mungkin dapat bicara “agama” dengan penjelasan yang komprehensif yang dapat disetujui oleh para pemeluk agama lain.264 Dalam mengapresiasi paham pluralisme agama dan fakta kemajemukan agama yang rentan terhadap konflik intra dan antar pemeluk agama, Djohan menawarkan apa yang ia sebut sebagai “Teologi Kerukunan.” Teologi ini berarti suatu pandangan keagamaan yang tidak bersifat memonopoli kebenaran dan keselamatan; suatu pandangan keagamaan yang didasarkan pada kesadaran bahwa agama sebagai ajaran kebenaran tak pernah tertangkap dan terungkap oleh manusia secara penuh dan utuh, dan bahwa keberagamaan seseorang—pada umumnya—lebih merupakan produk atau pengaruh dari lingkungannya.265 Teologi Kerukunan merekomendasikan bahwa penerimaan dan penganutan suatu agama sebagai satu-satunya keyakinan yang benar dan menyelamatkan, tidak lagi cocok dan relevan. Pandangan yang eksklusif itu lahir dari pandangan keagamaan yang bersifat mutlak dan statis. Padahal pengalaman dan pengahayatan keagamaan selalu bersifat dinamis. Pandangan yang eksklusif itu dengan sendirinya tidak sesuai dengan paham pluralisme agama. Menurut Djohan, jika seorang Muslim membaca ayat ihdinas shirâmal mustaqîm minimal 17 kali dalam sembahyangnya, mengapa ia harus menganggap keyakinannya sebagai satu-satunya kebenaran? Jika agama bisa dianggap sebagai jalan keselamatan, tidakkah keberagamaan itu pada hakikatnya suatu proses pencarian yang tiada henti (seperti diisyaratkan dalam ayat di atas)?266 Karena itu efek dari paham pluralisme agama adalah bahwa paham itu bisa merangsang pemeluk agama untuk beragama dalam proses yang terus dinamis, tidak statis dan final.

Dr. Media Zainul Bahri

295

Teologi Kerukunan bagi Djohan lahir dari pergulatan dalam dialog antar-iman yang intens. Pada gilirannya, Teologi Kerukunan juga akan melahirkan dialog yang berkualitas, yaitu dialog yang tidak asal dialog, melainkan dialog yang terbuka yang menuntut kedewasaan. Dialog yang dilakukan dengan dirinya sendiri dan dengan orang lain dalam semangat kesetaraan dan semangat mencari kebenaran dan titik-temu agama-agama.267 Berdasar pengalamannya terlibat dalam banyak dialog, Djohan merasa kecewa dengan dialog-dialog yang dilakukan selama ini. Menurut Djohan, hasilhasil yang dicapai dialog antaragama tidak memuaskan, terutama ketika dihadapkan pada kenyataan bahwa prakarsa dialog hanya melahirkan toleransi sosial.268 Dialog hanya menghasilkan sikap saling menghormati saja, tetapi tidak menyentuh pada soal-soal yang substansial dan mendalam, misalnya pada soal iman dan teologi. Analisis Djohan yang mendalam terhadap gesekan dan benturan keras dalam kehidupan umat beragama, membawanya kepada suatu pemahaman bahwa toleransi sosial masih cukup rapuh dan mudah terjatuh kembali pada sikap saling curiga. Karena itu, Djohan berpikir untuk memecahkan masalah ini dari akarnya, yaitu iman. Dalam berbagai program dialog selama ini, kata Djohan, masalah-masalah yang menyangkut keimanan dan teologi selalu dihindari, karena ingin menghindari perdebatan yang tidak perlu, bahkan berbahaya karena masalah iman sangat sensitif. Tetapi, bagi Djohan justru itulah masalah mendasar yang harus dipecahkan, yaitu keberanian berdialog pada soal-soal teologi yang sensitif.269 Teologi Kerukunan yang digagas Djohan juga dapat dibaca sebagai bentuk kekecewaan dia terhadap model kerukunan yang dibuat oleh pemerintah Orde Baru yang formalistik, monolog dan top-down. Djohan lalu memikirkan model kerukunan yang cocok dengan apa yang dihadapi dan dibutuhkan oleh para pemeluk agama; suatu model yang berakar dari situasi yang dihadapi masyarakat itu sendiri, yang menurutnya, lebih membutuhkan dialog yang “jujur dan terbuka” dibanding hanya menerima peraturan dan an296

Wajah Studi Agama-Agama

caman. Teologi kerukunan yang digagasnya adalah sesuai dengan berkembangnya teologi inklusivisme yang dipelopori tokoh-tokoh agama non-pemerintah, yang dengan gembira diapresiasi oleh Djohan sendiri.270 Djohan merasa cocok dengan teologi inklusivisme karena model teologi ini mendorong umat beragama untuk memeriksa kembali paham keselamatan yang dianut masing-masing agama. Setiap pemeluk agama berhak mengklaim keselamatan bagi dirinya, namun pada saat yang sama ia tidak berhak untuk menghakimi bahwa pemeluk agama lain tidak akan selamat alias akan masuk neraka. Bagi Djohan jelas bahwa surga dan neraka adalah hak prerogatif Tuhan. Manusia tidak pantas merampas wewenang Tuhan itu. Bagi Djohan, dalam konteks hubungan antarpemeluk agama yang beragam, perlu ditumbuhkan sikap absolut-relatif. Absolut bahwa dirinya benar dan selamat, tetapi kebenaran dan keselamatan itu menjadi relatif di hadapan pemeluk agama lain yang juga mengklaim kebenaran dan keselamatan. Teologi inklusif bekerja dalam kesadaran menghargai pilihan-pilihan orang lain yang berbeda secara tulus.271 Sebagai kelanjutan dari Teologi Kerukunan, Djohan meyakini bahwa kehadiran agama-agama yang beragam merupakan anugerah Tuhan yang indah. Bagi Djohan, jika para pemeluk agama mau membaca secara luas seluk beluk agama-agama, maka setiap orang beriman akan menyadari betapa kaya perbendaharaan kearifan yang tersimpan dalam tiap-tiap agama. Setiap penganut agama, menurut Djohan, mestinya membuka diri untuk menyimak nilai-nilai luhur yang tersimpan dalam berbagai agama dan keyakinan.272 Bacaan dan pengalaman seorang pemeluk agama akan persentuhannya dengan keyakinan orang lain akan memperkaya cakrawala dan horizon keagamaan orang tersebut. Pandangan dan sikap keagamaan Djohan yang pluralis sesungguhnya disuburkan pula oleh sufisme Islam. Sejak 1970-an Djohan ternyata sudah gandrung dengan sufisme, dan menulis skripsi yang membahas tasawuf al-Qur’an tentang perkembangan jiwa Dr. Media Zainul Bahri

297

manusia. Dengan penuh keyakinan, Djohan menuturkan bahwa sufisme merupakan wahana untuk mengembangkan apa yang diharapkan sebagai teologi cinta, sebab esensi sufisme memang cinta. Teologi cinta bisa memberi makna bagi hidup manusia yang keras dan gersang. Cinta dalam sufisme bisa mengembangkan kehidupan yang lebih manusiawi dan bermartabat dalam sorotan Nur Ilahi. Bagi Djohan, teologi cinta dalam sufisme dapat menjadi obat bagi dua hal pokok: (1) secara psikologis, teologi itu membawa optimisme dan harapan. Sikap-sikap kebencian juga dapat diubah dan diganti oleh cinta; (2) sufisme mengajak para pengkajinya untuk sampai pada jantung/esensi agama. Dengan menukik pada dimensi batin/terdalam dari agama, lahirlah pandangan dan sikap keagamaan yang lentur, toleran dan menolak sikap-sikap absolut dalam beragama.273 Dengan teologi cinta dari sufisme, Djohan memimpikan sebuah dunia yang tidak dipisahkan oleh kotak-kotak agama. Hal ini tidak berarti ia menafikan agama-agama, namun sebagai pemikir dan aktivis dialog antar-iman, Djohan memandang bahwa para pemeluk agama lebih senang menciptakan pembatas satu sama lain. Tembok pembatas itu dibangun di atas teologi kebencian. Dengan teologi cinta, Djohan tidak bermaksud untuk melebur agama-agama menjadi satu—sebuah usaha yang mustahil—melainkan untuk mendekatkan para pemeluk agama dalam satu kesadaran bahwa mereka adalah umat yang satu, seperti telah dinyatakan oleh al-Qur’an, yang semestinya saling mengasihi. Ketika dunia dipenuhi oleh konflik, kebencian dan permusuhan, di mana para pemeluk agama juga terlibat di dalamnya, maka bagi Djohan, ruh cintalah yang harus disuburkan dalam kehidupan umat manusia.274 Terkait erat dengan gagasan pluralisme agama, Djohan sangat menekankan pada kebebasan beragama dan berkeyakinan. Menurutnya, kebebasan berkeyakinan adalah hak yang paling asasi dalam kehidupan umat manusia, baik pada tingkat pribadi maupun pada tingkat kolektif. Bahkan, dengan mengutip tulisan Agus Salim, salah satu tokoh pendiri bangsa ini, Djohan menyetujui bahwa kebe298

Wajah Studi Agama-Agama

basan berkeyakinan itu bukan semata bagi orang yang percaya kepada Tuhan Yang Esa saja, melainkan harus pula ada kebebasan berkeyakinan bagi orang-orang yang percaya pada tuhan yang banyak (polities) dan bagi orang ateis sekalipun. Mereka tetap berhak hidup di tanah Indonesia. Dalam konteks ini menurut Djohan, hukum positif harus adil dan harus menjamin kebebasan berkeyakinan tersebut. 275 Seperti telah disebut, dalam masyarakat yang multikultur dan multi agama, toleransi yang harus dikembangkan adalah toleransi yang tidak berhenti pada sekadar pengakuan akan keberadaan orang lain yang menganut keyakinan yang berbeda bahkan bertentangan dengan kaum Muslim, melainkan juga menuntut komitmen dan usaha untuk hidup bergandengan dalam semangat kebersamaan dan kesetaraan.276 Bahkan, menurut Djohan, dari perspektif Islam yang diyakininya, menghormati keyakinan orang lain dan membela kebebasan berkeyakinan adalah bagian dari ajaran Islam dan merupakan bagian dari kemusliman. Keharusan untuk membela kebebasan beragama, menurut Djohan, telah diisyaratkan oleh alQur’an sendiri yang disimbolkan dalam sikap mempertahankan rumah-rumah peribadatan seperti biara, gereja, sinagog dan masjid (surat al-Hajj: 40).277 Sekali lagi, bagi Djohan, diskriminasi adalah musuh bersama masyarakat multikultur dan multi agama. Ia adalah aib dan noda yang mencemari sebuah masyarakat beradab yang menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan dan kemanusiaan. Diskriminasi bersumber dari egoisme kelompok yang ingin menang sendiri, sikap yang meremehkan pihak lain—yang dianggap minoritas—hingga memunculkan perlakuan tidak adil terhadap keberadaan dan kepentingan mereka. Indonesia di hari-hari ini menurut Djohan, adalah Indonesia yang digaduhkan oleh fenomena egoisme sektarian yang makin marak yang ditandai oleh tindak kekerasan dan pemaksaan kehendak dari mereka yang merasa lebih berhak tinggal di tanah Indonesia ini. Menurut Djohan, ia sukar untuk mengerti mengapa mereka yang mengaku beriman kepada Tuhan namun bertindak Dr. Media Zainul Bahri

299

seolah-olah lebih tuhan dari Tuhan sendiri, Pencipta dan Pemilik Kerajaan langit dan bumi, yang menyediakan bumi untuk dihuni dan dinikmati oleh manusia makhluk ciptaan-Nya, tak peduli apakah mereka beriman atau kufur terhadap-Nya, apakah mereka beragama atau tidak? Bagi Djohan, sikap-sikap egoisme dan arogansi atas nama tuhan yang disertai tindak kekerasan adalah sebuah kezaliman tiada tara.278 Seseorang yang arogan dan diskriminatif dalam beragama dan dalam kehidupan sosial biasanya adalah ia yang anti-pluralis. Menurut Djohan, seorang anti-pluralis tidak bersedia berbagi tempat dengan orang lain yang tidak sepaham dengannya. Ia tidak bersedia menerima kehadiran orang lain yang berbeda, apalagi bertentangan dengannya. Jika seorang anti-pluralis memegang kekuasaan, ia akan memaksakan pikiran dan pendirian yang tidak sama dengan pikiran dan pendirian yang hidup dan berkembang. Baginya satu-satunya kebenaran adalah pikiran dan pendiriannya. Yang lain dianggap “salah” dan “sesat.” Dengan memonopoli kebenaran, seorang antipluralis, disadari atau tidak, telah mengambil posisi Tuhan dan dengan gampang menghakimi iman orang lain.279 Pandangan dan sikap seorang anti-pluralis, selain tidak cocok dengan atmosfer masyarakat multikultur dan multi agama, juga bertentangan dengan semangat agama yang humanis. Sebagai Muslim, Djohan selalu tersentuh dengan pribadi Nabi Muhammad yang menunjukkan sikap-sikap yang simpatik terhadap keyakinan non-Islam. Bagi Djohan, konflik-konflik Nabi dengan orang-orang Yahudi Madinah misalnya, bukan karena keyakinan keagamaan mereka, melainkan karena pengkhianatan mereka sendiri terhadap perjanjian-perjanjian yang dibuat dengan Nabi. Djohan juga senang untuk merujuk kepada fakta sejarah bahwa Nabi—di masjidnya—pernah berdebat keras soal ketuhanan dengan orang-orang Kristen Najran. Namun, ketika saatnya mereka harus melakukan kebaktian dan pamit kepada Nabi untuk meninggalkan masjid tempat mereka berdebat, secara mengejutkan Nabi

300

Wajah Studi Agama-Agama

mencegah mereka pergi keluar dari masjid dan mempersilakan mereka melakukan kebaktian di dalam masjid Nabawi itu.280 D. Jalaluddin Rakhmat Jalaluddin Rakhmat adalah salah satu cendekiawan Muslim Indonesia yang mulai dikenal dan diperhitungkan pada era 1990-an. Ia juga dikenal sebagai dai yang memikat dan orator ulung karena kekayaan kosakata, intonasi suaranya yang sangat khas dan gaya bicaranya yang komunikatif. Selain karena talenta yang dimilikinya dan bacaannya yang sangat luas, juga karena ia adalah ahli komunikasi dengan pendidikan formal dalam bidang Ilmu Komunikasi, bahkan menjadi Guru besar dalam bidang itu. Saat itu, dua karyanya yang cukup populer adalah Islam Aktual dan Islam Alternatif. Melalui pengajian rutin di “Salman ITB” Kang Jalal, begitu sapaan akrabnya, mulai menyebarkan gagasan-gagasan keislamannya yang banyak merujuk kepada pemikiran Ali Ibn Abi Thalib, Murtadha Muthahari dan tokoh-tokoh Syi’ah (Iran) lainnya. Di awal kemunculannya, ia tidak pernah mengaku sebagai penganut Syi’ah. Namun, setelah reformasi meletus dan adanya jaminan kebebasan berpendapat, berkeyakinan dan berserikat Kang Jalal mulai mendeklarasikan dirinya sebagai penganut Syi’ah, sebagai salah satu pendiri Ijabi (Ikatan Jamaah Ahlul Bayt Indonesia), dan menjadi Ketua Dewan Syuro lembaga Syi’ah Indonesia itu. Dulu, Kang Jalal banyak bicara tentang Islam yang berpihak kepada kaum lemah dan tertindas, lalu ia mendalami sufisme, terutama dari tokoh-tokoh Syi’ah. Pada saat yang bersamaan ia juga menggulirkan gagasan-gagasan keislaman yang bercorak inklusif, liberal dan pluralis. Baru belakangan ini ia secara intensif menulis dan berceramah tentang Syi’ah. Pandangan pluralisme agama Kang Jalal sesungguhnya telah dimulai pada pertengahan era 1990-an. Namun, baru beberapa tahun terakhir ini gagasan-gagasan teologisnya tentang isu tersebut baru diterbitkan dalam bentuk buku dengan judul Islam dan Pluralisme, Akhlak Quran Menyikapi Perbedaan (2006). Kang Jalal memulai pandangan teologisnya dengan mengemukakan renungan Dr. Media Zainul Bahri

301

Gamal al-Banna, seorang anggota Ikhwan al-Muslimin dan adik dari Hasan al-Banna, salah satu tokoh terkemuka Ikhwan. Ketika meringkuk di penjara di tengah kota Kairo yang menyesakkan dan dalam ancaman penguasa Muslim yang tidak berperikemanusiaan, Gamal al-Banna, kata Kang Jalal menemukan epifani; menemukan Islam-nya yang “baru” dan melihat dunia dengan cara yang baru. Ia melihat moral sosial dan sistem sosial orang-orang Eropa lebih Islami dibanding orang Islam sendiri yang penuh kemunafikan. Secara moral, masyarakat Eropa bisa jadi lebih dekat dengan Allah dan idealisme Islam dibanding banyak masyarakat yang mengaku sebagai pemeluk Muslim. Dalam renungan Gamal, orang-orang non-Muslim yang telah berjasa besar bagi kemanusiaan, seperti Thomas Alfa Edison misalnya, yang menemukan listrik dan dipakai oleh seluruh manusia, layak masuk surga. Kaum Muslim tidak berhak mengklaim bahwa hanya mereka yang masuk surga sedang kaum non-Muslim masuk neraka, karena kunci-kunci surga bukan di tangan kaum Muslim.281 Menurut Gamal seperti dijelaskan Kang Jalal, pandangan eksklusif tentang neraka bagi kaum non-Muslim adalah keberanian yang luar biasa dalam merampas wewenang Allah. Apakah kaum Muslim yang memegang kunci-kunci neraka? Apakah mereka yang menenggelamkan manusia ke neraka? Atas dasar apa mereka membangun kesimpulan itu? Apakah mereka tidak sadar bahwa rahmat Allah tidak terbatas dan Dia akan membalas satu kebaikan dengan tujuh ratus lipat kebaikan? Menurut Kang Jalal, Gamal al-Banna berubah dari seorang eksklusif menjadi pluralis. Bagi kaum pluralis, semua pemeluk agama memiliki peluang yang sama untuk memperoleh keselamatan dan masuk surganya Allah. Semua agama benar berdasarkan kriteria masing-masing (Each one is valid within its particular culture). Kaum pluralis percaya rahmat Allah itu luas. Tuhan berfirman dalam hadis qudsi, “Al-Khalqu ‘iyâlî,” semua makhluk itu keluarga besar Tuhan. Menurut Kang Jalal, “pertanyaan dan kegelisahan Gamal al-Banna adalah juga pertanyaan saya sekian lama. Dan jawaban saya sama seperti jawaban al-Banna.” Kasih 302

Wajah Studi Agama-Agama

sayang Tuhan jauh lebih luas dari kasih sayang seorang ibu kepada anak-anaknya.282 Kang Jalal mendasarkan pandangan teologisnya kepada dua karya tafsir yang dikaguminya, yaitu pertama Tafsîr yang ditulis oleh Sayyid Husseyn Fadhlullah, tokoh Syi’ah Hizbullah Libanon, dan kedua, Tafsîr al-Manâr karya Sayyid Rasyîd Ridhâ yang mewakili mazhab Ahlussunnah. Ketika menafsirkan surat al-Baqarah ayat 62 dan al-Ma‘idah ayat 69, Sayyid Fadhlullah menegaskan bahwa makna ayat-ayat itu sangat jelas. Keselamatan pada hari akhirat akan dicapai oleh semua kelompok agama yang berbeda-beda dalam pemikiran dan pandangan agamanya berdasarkan akidah dan kehidupan mereka dengan satu syarat: memenuhi kaidah iman kepada Allah, hari akhir, dan amal saleh. Bagi Kang Jalal, ayat-ayat itu sangat jelas mendukung pluralisme. Ayat-ayat itu tidak menjelaskan semua agama benar atau semua kelompok agama sama. Tidak sama sekali. Ayat-ayat itu menegaskan bahwa semua golongan agama akan selamat selama mereka beriman kepada Allah, hari akhir, dan beramal saleh. Sebagian mufasir eksklusif mengakui makna ayat-ayat itu, tetapi mereka menganggap ayat-ayat itu telah dihapus (nasakh) oleh surat Ali ‘Imran ayat 85, “Barang siapa yang mencari agama selain Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima darinya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang merugi.” Menurut Sayyid Fadlullah, makna ayat ini tidak bertentangan dengan ayat 62 al-Baqarah dan ayat 69 al-Ma‘idah. Karena itu tidak ada ayat yang di-mansûkh. Islam pada Ali ‘Imran 85 adalah Islam yang “umum, yang meliputi semua risalah langit, bukan Islam dalam arti istilah,” bukan Islam dalam arti agama Islam yang dibawa Nabi Muhammad. Kesimpulan Fadhlullah itu diambil dari konteks ayat itu dan ayat-ayat lain. Misalnya ayat 19 Ali ‘Imran: “Sesungguhnya agama di sisi Allah adalah Islam.” Menurut Fadhlullah, berdasarkan keterangan al-Qur‘an sendiri bahwa semua agama itu Islam dalam pengertian Islam umum, yaitu kepasrahan kepada Tuhan. Hal itu misalnya ditegaskan lagi dalam surat al-Baqarah 131-132.283

Dr. Media Zainul Bahri

303

Kang Jalal sependapat sepenuhnya dengan Sayyid Fadhlullah bahwa makna Islam dalam Ali ‘Imran 85 adalah “kepasrahan total” bukan Islam institusi. Menurut Kang Jalal selanjutnya, ayat 62 surat al-Baqarah bagi Fadhlullah dimaksudkan untuk menegaskan unsur asasi yang mempersatukan semua agama dan menjadi syarat untuk memperoleh pahala Allah. Fadhlullah menyindir orang yang merasa akan selamat hanya karena nama atau penampilan lahiriah belaka. Keselamatan adalah berpegang teguh pada keimanan kepada Allah dan memiliki prestasi amal saleh. Atas ayat 62 surat alBaqarah itu, Rasyîd Ridhâ juga menegaskan bahwa hukum Allah itu adil dan sama. Dia memperlakukan semua pemeluk agama dengan sunah yang sama, tidak berpihak pada satu kelompok dan menzalimi kelompok lain. Ketetapan dari sunah ini ialah bahwa bagi mereka pahala tertentu dengan janji Allah melalui lisan rasul mereka. Rasyid Ridha lalu menyebut surat an-Nisa ayat 123-124. Menurutnya, dua ayat itu menjelaskan perlakuan Allah kepada setiap umat yang memercayai Nabi dan wahyunya masing-masing, yang mengira bahwa kebahagiaan pada hari akhirat seakan-akan pasti akan tercapai hanya karena ia Muslim, Yahudi, Nasrani, Shabiah, misalnya. Padahal Allah berfirman keselamatan bukan karena kelompok keagamaan (jinsiyyah dîniyyah). Keselamatan diraih dengan iman yang benar yang menguasai jiwa dan amal saleh yang dapat memperbaiki manusia. Karena itu bagi Kang Jalal, tertolaklah anggapan bahwa keputusan Allah bergantung pada angan-angan orang Islam dan Ahli Kitab. Sudah ditetapkan bahwa keputusan Allah bergantung pada prestasi amal saleh dan iman yang benar (menurut agamanya masing-masing). Jadi, menurut Kang Jalal, berdasarkan uraian Sayyid Rasyîd Ridhâ itu, maka orang yang merasa pasti akan selamat hanya karena ia Muslim, Nasrani atau Yahudi adalah orang yang terbuai atau tertipu (mughtarrîn) dengan nama (identitas lahiriah). Keselamatan hanya melalui tiga syarat seperti disebut al-Baqarah ayat 62 di atas.284 Menurut Kang Jalal, jika semua agama adalah valid, mengapa Tuhan harus repot membuat agama yang bermacam-macam? Me304

Wajah Studi Agama-Agama

ngapa Allah tidak menjadikan agama itu satu saja? Apa tujuan penciptaan berbagai agama? Bagi Kang Jalal berbagai pertanyaan itu telah dijawab oleh al-Qur‘an dengan indah melalui surat al-Ma‘idah ayat 48. Ayat itu berisi tiga pesan penting kata Kang Jalal, yaitu: (1) Agama itu berbeda-beda dari segi aturan hidup (syari’at) dan orientasi hidup (akidah). Karena itu, pluralisme bukan berarti semua agama sama. Agama historis berbeda dengan agama lainnya dalam hal syari’at dan akidahnya. Perbedaan telah menjadi kenyataan. (2) Tuhan, sejak azali, tidak menghendaki manusia menganut agama yang tunggal. Keragaman agama itu dimaksudkan untuk menguji manusia. Ujiannya adalah seberapa banyak manusia memberikan kontribusi kebaikan bagi manusia lain. Setiap agama disuruh bersaing dengan agama lain dalam memberikan kontribusi kepada kemanusiaan (al-khayrât). (3) Semua agama kembali kepada Allah. Islam, Yahudi, Nasrani, Hindu, Buddha dan lain-lain hanya kembali kepada Allah. Hanya Allah yang memiliki tugas dan wewenang untuk menyelesaikan perbedaan di antara agama. Manusia, sejatinya, tidak boleh mengambil alih wewenang Tuhan untuk menyelesaikan perbedaan agama dengan cara apa pun, termasuk dengan fatwa.285 Pembicaraan mengenai pluralisme agama dalam Islam membuat Kang Jalal, sebagaimana juga Cak Nur, Gus Dur dan cendekiawan Muslim lainnya—perlu menelaah lebih lanjut pengertian kata Dîn dan Islâm dalam berbagai variasinya. Menurut Kang Jalal, perdebatan di kalangan kaum eksklusif, inklusif dan pluralis mengenai apakah orang-orang non-Muslim selamat atau tidak di akhirat kelak biasanya selalu merujuk kepada surat Ali ‘Imran ayat 85. Setelah menjelaskan pengertian kata Dîn menurut Hasan al-Musthafawî dalam karyanya al-Tahqîq Fî Kalimat al-Qur`ân al-Karîm, Kang Jalal sampai pada kesimpulan bahwa makna kata Dîn tidak akan jauh dari kepatuhan atau kepasrahan. Hukum disebut Dîn, karena peraturan tidak bisa tegak tanpa kepatuhan. Tradisi atau adat juga disebut Dîn karena perilaku tertentu dipatuhi dan dijalankan terus-menerus, lalu seluruh anggota komunitas harus pasrah padanya. Menurut makna asalnya, Dîn sama saja dengan Islam. Dr. Media Zainul Bahri

305

Dalam berbagai pengertian asalnya, kata Islâm ternyata hanya berputar pada pengertian patuh, pasrah, berserah diri dan damai.286 Raghîb al-Isfahânî membagi Islam menjadi dua macam: (1) Islam di bawah iman, yakni hanya mengakui dengan lidahnya saja seperti pernyataan orang Arab Badawi bahwa mereka telah beriman, namun kata Allah mereka hanya baru ber-islam.287 (2) Islam di atas iman, yakni pengakuan, keyakinan dalam hati, pelaksanaan dalam tindakan dan penyerahan diri kepada Allah secara total seperti kisah Ibrahim yang sudah muslim (pasrah) tapi oleh Tuhan diperintah lagi “Islamlah (pasrahlah),” Ibrahim menjawab, “Aku pasrah kepada Pemelihara seluruh alam.”288 Al-Musthafawî juga membagi Islam dalam tiga tingkatan: (1) kepasrahan dalam amal lahiriah, gerakan badan dan anggota tubuh. (2) Menjadikan diri sesuai atau sejalan lahir dan batin sehingga tidak terjadi pertentangan dalam niat, hati dan amalnya. (3) Benar-benar dapat menghilangkan kontradiksi antara niat, hati, amal dan eksistensi zat. Pada tingkat ini tidak ada eksistensi diri atau melihat diri. Seluruh wujudnya tenggelam dalam samudera wujud Yang Haqq, fana dalam kebesaran cahaya Dia. Yang tampak adalah hakikat makna penyerahan diri dan penyesuaian diri kepada al-Haqq Yang Maha Mutlak, seperti firman-Nya, “Sesungguhnya kepatuhan di sisi Allah adalah kepasrahan total” (Ali ‘Imran: 19).289 Menurut Kang Jalal, tingkatan Islam yang diuraikan al-Musthafawî, meskipun ia penulis kamus, lebih bercorak esoterik dibanding linguistik. Namun, baik al-Isfahânî maupun al-Musthafawî menyebutkan tingkatan Islam itu karena menghadapi kesulitan makna Islam dalam beragam ayat al-Qur‘an. Pada satu sisi, kata Islam dipergunakan dalam posisi lebih rendah dari Iman seperti “islam”nya orang Arab Badawi. Pada sisi lain, dalam kisah Ibrahim yang sudah jelas-jelas muslim, Tuhan menyuruhnya untuk Islam lagi. Tentulah Islam yang kedua ini lebih tinggi dari Islam yang pertama. Pada al-Musthafawî, kata Islam menunjukkan tingkat Islam yang paling tinggi, yakni dalam pengertiannya sebagai ‘irfân, ketika orang sudah meninggalkan al-katsrah (manyness, keanekaan) dan tiba di al-wahdah (oneness, kesatuan). Dengan merujuk pada dua 306

Wajah Studi Agama-Agama

kamus itu saja, bagi Kang Jalal, segera seseorang akan mengetahui bahwa pendapat yang mengatakan bukan Muslim tidak diterima amalnya mengacaukan makna Islam dalam berbagai tingkatannya. Kata Islam dalam Inna al-Dîn ‘Inda Allâh al-Islâm (Ali ‘Imran: 19) menunjukkan Islam yang tinggi seperti Islamnya Nabi Ibrahim bukan Islam seperti yang tercatat dalam kartu penduduk. Dan Islam pada tingkatan ini, menurut Kang Jalal, boleh jadi meliputi semua pengikut agama yang berbeda-beda. Dalam tulisan Murthadha Muthahhari, inilah Islam wâqi’î sebagai lawan dari Islam geografis.290 Kang Jalal lalu merujuk kepada tingkatan Islam dalam pandangan Muthahhari, seorang ulama dan cendekiawan istimewa kaum Syi’ah. Untuk menjawab apakah amal saleh non-Muslim diterima Allah atau tidak, Muthahhari membagi tiga tingkatan bentuk Islam (kepasrahan): (1) Islam fisik, yaitu kepasrahan karena terpaksa atau karena mengikuti lingkungannya. Muthahhari menyebut istilah al-Islâm al-Jughrâfî (Islam geografis) kepada mereka yang lahir, hidup, dan mati dalam lingkungan Islam. Inilah Islam keturunan. Menurut Muthahhari, kebanyakan kita adalah Muslim tradisional dan geografis. Kita menjadi Muslim karena orang tua kita Muslim. Kita juga hidup dan tumbuh dalam lingkungan masyarakat Muslim. (2) Islam Aktual atau al-Islâm al-wâqi’î. Inilah Islam yang memikul nilai-nilai ruhani dari langit (rûhiyyah samawiyyah). Menurut Muthahhari, seperti dikutip Kang Jalal, Islam Aktual adalah Islam seseorang yang sudah pasrah kepada kebenaran dengan segenap hatinya. Ia mengamalkan kebenaran yang diyakininya setelah ia memperoleh kebenaran itu melalui penelitian (penelaahan) dan tanpa fanatisme buta. Bila ada orang yang telah berusaha mencari kebenaran, lalu ia menerimanya dengan sepenuh hati, tetapi ia tidak memeluk agama Islam, Tuhan tidak akan mengazabnya. Mustahil Tuhan menghukum orang di luar kemampuannya. Bila seseorang hanya mampu mengetahui kebenaran Kristen, misalnya, dan ia mengikutinya dengan setia, pada hakikatnya ia telah menerima Islam dalam pengertian kepasrahan yang tulus.291

Dr. Media Zainul Bahri

307

Muthahhari memberi contoh Descartes. Dalam pencarian kebenaran, Descartes menerima Kristen sebagai agama yang benar seraya mengatakan bahwa itulah agama yang dikenalnya dengan baik. Ia tidak menolak kemungkinan agama lain juga benar, hanya saja ia tidak mengetahuinya. Bagi Muthahhari, orang-orang seperti Descartes—dan masih banyak lagi—tidak mungkin kita sebut kafir, karena mereka tidak memiliki sifat membangkang dan tidak menutupi kebenaran. Bukankah kekafiran adalah pembangkangan dan menutup pintu kebenaran? Mereka adalah Muslim secara fitrah. Jika kita tidak dapat menyebut mereka Muslim, kita juga tidak boleh menyebut mereka kafir.292 Akhirnya, jika diajukan pertanyaan: apakah hanya Islam agama yang diterima Allah? Bagi Kang Jalal, jawabannya bisa Ya dan Tidak. Ya, jika yang dimaksud adalah Islam sebagai kepasrahan sepenuh hati kepada kebenaran yang diperoleh melalui proses pencarian yang tulus dan sungguh-sungguh. Tidak, bila yang dimaksud dengan Islam adalah institusi keagamaan seperti yang tercantum dalam kartu identitas. Bila pertanyaan di atas kita buat lebih spesifik lagi: apakah orang-orang yang beragama selain Islam, seperti Kristen, Hindu, Buddha, Konghucu akan diterima di sisi Allah? Kata Kang Jalal, jawabannya tergantung kepada ideologi yang kita anut. Jika kita kelompok garis keras (al-mutasyaddidûn) maka hanya Islam kita saja yang diterima Allah. Jika kita kaum yang tercerahkan (al-mustanîrûn), kita akan berkata bahwa agama adalah jalan menuju Tuhan seperti yang dikatakan kaum sufi, jalan menuju Tuhan sebanyak napas manusia. Bagi Kang Jalal, mengapa kita harus menyempitkan kasih Tuhan yang meliputi langit dan bumi?293 Posisi Kang Jalal sudah jelas bahwa ia berada dalam kelompok yang disebutnya al-mustanîrûn. Kang Jalal, sebagai seseorang yang mendalami sufisme, baik yang berhaluan Sunni maupun Syi’ah, sepakat dengan kaum sufi, kelompok pluralis dan kaum mustanîrûn lainnya bahwa keselamatan di akhirat kelak adalah wewenang Tuhan, sama sekali bukan hak manusia untuk menentukannya. Bagi Kang Jalal—selain beriman kepada Tuhan, hari akhir dan banyak berbuat kebajikan— 308

Wajah Studi Agama-Agama

semangat mencari kebenaran secara tulus dan prosesnya yang terus menerus serta kepasrahan hati sepenuhnya kepada Tuhan setelah berbagai proses dan amal kebajikan itu dilakukan, maka itulah syaratsyarat pokok yang boleh jadi Tuhan akan menempatkan orang-orang seperti itu dalam Kasih Sayang dan Kenikmatan-Nya, apa pun keyakinan dan agama yang dianutnya. Pandangan ini harus pula diiringi dengan kesadaran penuh bahwa tak ada seorang pun yang dapat menjamin secara mutlak mengenai perkara keselamatan dan siksaNya, selain Tuhan saja Yang Maha Mengetahui secara mutlak. Isu pluralisme agama yang diwacanakan dan diperjuangkan empat tokoh terus menggelinding. Di satu sisi, diskursus mengenai hal itu rasanya dianggap sebagai “vitamin” oleh kaum akademisi Muslim dan non-Muslim, para penggiat pluralisme dan aktivis kerukunan serta hubungan antaragama. Namun di sisi lain, isu itu cukup menghebohkan masyarakat umum, terutama para pemeluk agama yang awam dan kaum eksklusif. Hingar bingar wacana pluralisme agama, bagi “kaum Islamis-tekstualis-skripturalis” yang tidak paham atau tidak mau memahami, dianggap mengganggu kenyamanan pandangan teologis yang selama ini dianut. Di saat yang bersamaan, hal itu menguatkan pandangan mereka bahwa pemikiran keagamaan Cak Nur, Gus Dur dan kawan-kawannya memang “membahayakan,” untuk tidak menyebutnya “merusak” akidah. Para pengusung ide-ide itu dianggap telah menyimpang dari ajaran “Islam yang benar.” Maka, seiring dengan hal itu, muncul aneka pandangan yang sangat emosional dan berlebihan kepada tokoh-tokoh pembaru itu sebagai “antek Kristen-Yahudi,” “antek Zionis,” atau “antek Barat,” “murtad,” “kafir,” dan cap-cap semacamnya. Karena kontroversi yang cukup tajam itu, pada gilirannya, MUI sebagai lembaga penjaga ortodoksi dan tradisionalisme Islam, akhirnya mengeluarkan fatwa bahwa pluralisme, sekularisme dan liberalisme hukumnya haram. Dalam fatwa itu, MUI menjelaskan bahwa yang dimaksud pluralisme agama adalah “suatu paham yang mengajarkan bahwa semua agama adalah sama dan karenanya keDr. Media Zainul Bahri

309

benaran setiap agama adalah relatif; oleh sebab itu, setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim bahwa hanya agamanya saja yang benar sedangkan agama lain salah. Pluralisme agama juga mengajarkan bahwa semua pemeluk agama akan masuk dan hidup berdampingan di surga.” Dengan paham seperti itu, maka bagi MUI “Pluralisme, sekularisme, dan liberalisme agama adalah paham yang bertentangan dengan ajaran agama Islam.” “Umat Islam haram mengikuti paham pluralisme, sekularisme, dan liberalisme agama.” 294 Jika kita membaca pandangan empat tokoh di atas mengenai pengertian pluralisme agama dan hal-hal yang melingkupinya, dengan jelas terbaca bahwa mereka mengambil paham itu dari sumber-sumber Islam sendiri, apakah dari teologi Islam yang mereka pahami (yang tentu saja teologi progresif dan kontekstual, bukan tekstual) atau dari renungan mereka tentang sejarah peradaban Islam. Menurut saya, terdapat dua cara pandang yang berbeda sehingga tidak bisa bertemu antara tokoh-tokoh pengusung pluralisme dengan MUI. Keempat tokoh itu misalnya, memandang spirit ajaran Islam dari sisi esoterik (batin) atau pandangan yang melampaui (beyond) teks-teks Islam yang harfiah. Pada dimensi ajaran terdalam Islam (yang esoterik) terdapat keniscayaan titik-temu bahkan kesatuan esensial agama-agama. Dengan cara pandang ini, maka terdapat “celah yang besar” bahwa Rahmat atau Kasih Sayang Allah (yang berbentuk surga misalnya) dapat dianugerahkan pada siapa pun dan dalam tradisi agama apa pun dengan syarat mereka beriman kepada ajaran pokok agamanya masing-masing dan beramal saleh. Kesimpulan ini dapat kita baca secara eksplisit pada uraian-uraian teologis Cak Nur dan Kang Jalal. Sementara pada Gus Dur, kita bisa menangkap sebuah “semangat” yang implisit bahwa non-Muslim akan mendapat Rahmat Allah. MUI menangkap satu pandangan yang tepat bahwa kesimpulan yang dihasilkan dari paham pluralisme agama adalah (seperti ditulis oleh MUI sendiri) “bahwa semua pemeluk agama akan masuk dan hidup berdampingan di surga.” 310

Wajah Studi Agama-Agama

Kebalikan dari pandangan keempat tokoh di atas, MUI, tepatnya figur-figur “ulama” dalam tubuh MUI, lebih memandang secara tekstual (eksoterik) ajaran-ajaran Islam yang berkaitan dengan isu pluralisme agama. Karena itu, pada halaman kedua dari fatwa itu, MUI menyajikan ayat-ayat al-Quran dan hadis Nabi (tanpa penjelasan tafsirnya) yang menegasikan adanya “kebenaran” dan “keselamatan” pada agama non-Islam. MUI misalnya, menunjukkan dua ayat al-Qur`an yang sangat populer, yaitu “Barang siapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orangorang yang rugi,” (QS. Ali ‘Imran: 85) dan “Sesungguhnya agama (yang diridhai di sisi Allah hanyalah Islam...” (QS. Ali ‘Imran: 19).295 Juga sebuah hadis Nabi, “Demi Dzat Yang menguasai jiwa Muhammad, tidak ada seorang pun baik Yahudi maupun Nasrani yang mendengar tentang diriku dari umat Islam ini, kemudian ia mati dan tidak beriman terhadap ajaran yang aku bawa, kecuali ia akan menjadi penghuni neraka” (Hadis riwayat Muslim).296 Dengan dalil-dalil teologis itu, MUI ingin menegaskan bahwa, secara akidah, hanya Islam saja agama yang diridhai oleh Tuhan dan selamat di akhirat, sedangkan agama-agama non-Islam, terutama Yahudi dan Nasrani, tidak akan selamat di akhirat. Dengan dua ayat yang sama, yaitu surat Ali ‘Imran ayat 19 dan 85, kita melihat terjadi penafsiran/pembacaan yang berbeda antara MUI dengan para pengusung konsep pluralisme di atas. Sekali lagi, jika MUI “membaca” kejelasan teksteks ayat dan hadis di atas pada dirinya sendiri, tanpa perlu penafsiran yang lebih jauh lagi, maka tokoh-tokoh pluralisme diatas menafsirkannya dalam perspektif lain yang lebih luas, misalnya menghubungkan ayat-ayat itu dengan konsep keadilan Tuhan, kemanusiaan, dan melihat konteks-konteks yang menyertai ayat-ayat dan hadis itu. Menurut saya, problem pokoknya adalah pada cara pandang dan penafsiran yang berbeda itu. Jika sama-sama sedang memerankan sebagai penafsir atau pembaca, karena tentu saja Tuhan Yang Maha Kuasa-lah yang mengetahui maknanya secara mutlak, maka apakah pantas memperlakukan penafsiran (pembacaan) Dr. Media Zainul Bahri

311

yang berbeda dengan cara mengeluarkan fatwa “keharaman” dan “kesesatan” atas tafsir yang berbeda itu? 3. Dialog Antaragama dan Passing Over Pada era ini (1990-an) selain isu pluralisme, dialog antar-agama (interreligious dialogue), atau dialog antar umat beragama, atau kadang disebut dialog antar-iman (interfaith dialogue) juga menjadi arus utama dalam Studi Agama-agama dan Studi Islam Indonesia. Forum dialog ini ramai diadakan, baik dalam forum-forum resmi tingkat nasional dan internasional maupun ruang-ruang kecil informal, baik dengan model-model yang lebih akademis karena diadakan di perguruan tinggi atau kantor pemerintah, maupun dalam lingkup-lingkup kecil di masyarakat yang terdiri dari banyak penganut agama. Sebelum melihat model-model dialog pada masa 1990an, penting untuk membaca sejarah dialog antar-agama di Indonesia dan peran penting Mukti Ali sebagai perintis dan pendorong banyak aktivitas dialog intra dan antar umat beragama. A. Dialog Antaragama Dalam sejarah dialog antaragama di Indonesia, sebenarnya Mukti Ali sendiri telah merintis dan terlibat aktif dalam kegiatan dialog ini sejak 1969. Aktivitasnya dalam dialog antar-agama semakin intens ketika ia menjadi Menteri Agama. Karena itu, ketika berdiskusi dengan Mukti Ali, B.J. Boland menyatakan bahwa ia “menolak” menyebut Mukti Ali sebagai sarjana Perbandingan Agama, tetapi lebih tepat menamainya sebagai “Teolog Muslim tentang agama-agama” (Muslim theology of religions), dan dalam istilah Steenbrink, Mukti Ali adalah designer of Muslim Theology of Religion.297 Pandangan Boland itu berdasarkan kepada beberapa argumen pokok. Menurut Boland, Islam sejak awal telah mengenal “teologi agama-agama,” dalam pengertian selain menegaskan finalitas dan kesempurnaannya, Islam juga menghormati dan memiliki pandangan yang positif atas agama-agama lain, terutama Yahudi dan Kristen. “Teologi agama-agama” menurut Boland, berbeda dengan studi Perbandingan Agama. Studi PA adalah studi ilmiah tentang 312

Wajah Studi Agama-Agama

asal usul, perkembangan dan saling keterhubungan (interrelations) antara sistem-sistem keberagamaan umat manusia yang berbeda satu sama lain. Studi PA harus berusaha memahami doktrin dan ajaran agama lain dari sumber pertama, yaitu pengetahuan dan pengalaman pemeluknya langsung, dan pada saat yang sama “orang luar”— sebisa mungkin—harus menghindari melakukan penilaian subjektif atas agama yang ditelitinya itu.298 Menurut Boland, karya Mukti Ali, Ilmu Perbandingan Agama: Sebuah Pembahasan Tentang Methodos dan Sistima (1965) bukan karya Perbandingan Agama melainkan karya teologi agama-agama. Buku itu menjelaskan tentang tradisi kesarjanaan Islam mengenai ilmu PA dan tradisi Perbandingan Agama di Barat. Yang juga cukup menonjol adalah kesimpulan Mukti Ali, antara lain bahwa (1) bagi kaum Muslim yang mempelajari agama-agama lain harus mendasarkan diri kepada al-Qur’an, karena kitab itu merupakan sumber pokok tentang agama-agama lain, (2) kitab suci agama-agama lain tidak memberikan solusi bagi kehidupan sosial, tetapi al-Qur’an langsung member perhatian atas kehidupan sosial, (3) al-Qur’an juga menunjukkan sistem dan etika monoteisme yang murni, yang dapat menjadi rujukan utama dalam mempelajari agama-agama monoteis, (4) Islam adalah agama dakwah, sebagaimana juga Hindu, Buddha dan Kristen. Tetapi dakwah harus dengan cara yang simpatik dan sikap saling menghormati.299 Dengan membaca keseluruhan karya itu, muncul kesan bahwa Islam memiliki posisi dalam studi PA, dan dapat memberi kontribusi bagi studi PA serta bagi kehidupan keagamaan yang harmonis. Selain itu, menurut Boland, Mukti Ali adalah figur yang paling getol mempromosikan dialog antaragama dengan cara—salah satunya—menunjukkan bahwa ilmu PA memiliki posisi yang sangat penting dan memiliki materi yang berlimpah untuk proses dan merancang dialog.300 Pandangan kesarjanaan dan keislaman Mukti Ali tentang halhal di atas yang membuat Boland menilai bahwa karya Mukti Ali di atas adalah bukan karya studi PA yang ketat, melainkan bahwa Mukti Ali adalah figur/teolog Muslim perancang dialog yang handal. Dr. Media Zainul Bahri

313

Di samping hal-hal itu menurut Steenbrink, Mukti Ali sendiri tidak pernah melakukan penelitian “mendalam” tentang agama-agama lain.301 Pandangan Boland memang cukup “tajam” dan secara akademik/kesarjanaan studi PA dapat diterima. Tetapi, kita harus mempertimbangkan konteks sosio-keagamaan pada masa 1960-an. Saat itu, Mukti Ali, melalui pergulatan intelektual dan keagamaan harus “memulai” atau “melahirkan” ilmu baru di tengah kondisi kebatinan dan pandangan keagamaan umat beragama yang cenderung eksklusif. Bukan hal mudah bagi Mukti Ali untuk menawarkan disiplin ilmu PA yang harus langsung “ekstra ilmiah.” Karena itu, kurang adil jika Boland melihat posisi Mukti Ali sebagai perintis atau pelopor dengan ukuran perkembangan ilmu PA pada tahapnya yang ideal. Dengan kepeloporan itu saja dan usaha-usahanya yang tak kenal lelah, Mukti Ali tetap dikenang sebagai ahli, bahkan “Bapak” ilmu PA di Indonesia. Jika kita membaca tulisan-tulisan Mukti Ali mengenai dialog, terdapat petunjuk bahwa pada 1969 dialog antar-agama diadakan dua kali: pertama, seperti yang ia tulis dalam Ilmu Perbandingan Agama Di Indonesia, dialog yang difasilitasi oleh pemerintah pada tahun itu dan dihadiri oleh para pemimpin agama Islam, Protestan, Katolik, Hindu dan Buddha. Namun kata Mukti Ali, kegiatan dialog saat itu tidak berhasil karena terdapat satu hal yang tidak disetujui oleh Protestan dan Katolik tentang adanya saran bahwa penyiaran agama tidak boleh ditujukan kepada orang-orang yang sudah beragama. Klausul ini ditolak oleh para pemimpin dua organisasi Kristen itu, hingga pertemuan (dialog) itu tidak menghasilkan rumusan (kesepakatan) seperti yang diharapkan.302 Kedua, Dialog antara Islam dan Kristen yang berlangsung pada November 1969 di sebuah kolese Katolik. Menurut pengakuan Mukti Ali dalam makalahnya, Dialogue Between Muslims and Christians in Indonesia and Its Problems, dialog itu terlaksana atas inisiatifnya sendiri yang kemudian direspons oleh teman-teman Kristiani. Dialog itu dihadiri oleh seorang Muslim (Mukti Ali sendiri), dua orang Katolik dan tiga orang Protestan. Lalu, dialog (pertemuan) 314

Wajah Studi Agama-Agama

kedua diadakan lagi padaDesember di tahun yang sama.303 Kita akan melihat pandangan Mukti Ali lebih lanjut mengenai pengertian dialog, model-modelnya dan alasan kebutuhan pentingnya berdialog. Bagi Mukti Ali, dialog antar-agama adalah pertemuan hati dan pikiran antar pemeluk berbagai agama. Dialog adalah komunikasi antara orang-orang yang percaya pada tingkat agama. Dialog merupakan perjumpaan antar pemeluk agama tanpa merasa rendah dan tanpa merasa tinggi, dan tanpa agenda atau tujuan yang dirahasiakan. Jikapun ada tujuan, maka tujuannya adalah hendak mencapai kebenaran, saling pengertian dan kerja sama dalam proyekproyek yang menyangkut kepentingan bersama. Seorang Muslim misalnya, yang berjumpa dengan penganut agama lain dalam dialog, maka ia tetap sebagai Muslim. Begitu pula seorang Kristen, Hindu, dan Buddha yang berjumpa dengan orang lain beda agama. Seorang penganut agama mau mendengarkan mitra dialognya yang berbeda agama dan bersedia belajar darinya. Setiap peserta dialog hendaknya mau saling mendengar dan saling belajar dari mitra dialog masing-masing. Karena itu menurut Mukti Ali, syarat utama berhasilnya suatu dialog adalah adanya sikap mental tertentu dari para peserta dialog seperti hormat, suka mendengarkan, ikhlas, terbuka dan kemauan untuk menerima dan bekerja sama dengan orang lain.304 Lebih dari itu, bagi Mukti Ali, dalam berdialog setiap peserta memiliki hak penuh dan kebebasan untuk menyampaikan kepercayaan keagamaannya, hingga akan muncul suatu kejelasan adanya persamaan dan perbedaan ajaran satu agama dengan yang lain. Dialog tidak berarti setiap orang harus meninggalkan keyakinan agamanya, baik sebagiannya maupun seluruhnya. Sekali lagi, bagi Mukti Ali, dialog antaragama adalah suatu perjumpaan yang sungguh-sungguh, bersahabat dan berdasarkan hormat dan cinta antar berbagai pemeluk agama yang beragam.305 Bagi Mukti Ali, kegiatan dialog memiliki dua manfaat sekaligus, yaitu (1) dialog antarumat beragama membantu orang untuk tumDr. Media Zainul Bahri

315

buh lebih kukuh dan mantap dalam agamanya sendiri ketika ia berjumpa dengan orang dan kelompok yang memiliki kepercayaan dan agama yang berbeda dengannya. Sering kali kebenaran itu lebih tampak, lebih dihargai, dan lebih dipahami, jika dihadapkan dengan pandangan orang lain yang berbeda. Dialog semacam itu akan semakin memurnikan dan memperdalam keyakinannya sendiri.306 Pandangan Mukti Ali ini dapat juga diartikan bahwa dialog yang di dalamnya terdapat proses saling mengerti dan memahami, dan dengan demikian juga belajar dari kekayaan tradisi orang lain, akhirnya akan memunculkan keyakinan yang sungguh-sungguh akan kebenaran agama sendiri. Kita tidak tahu apakah Mukti Ali membaca tulisan Hans Küng atau tidak karena ia tidak mencantumkan referensi itu, namun pandangan Mukti Ali itu ternyata memiliki kesamaan dengan sebuah tulisan Hans Küng yang dipublikasikan pada 1983 (sepuluh tahun lebih dulu dari makalah Mukti Ali). Dalam setiap dialog antar-iman yang dilakukan, Küng menyebut tiga manfaat dialog: a. Hanya jika kita berusaha memahami kepercayaan dan nilainilai, ritus dan simbol-simbol orang lain atau sesama kita, maka kita dapat memahami orang lain secara sungguh-sungguh. b. Hanya jika kita berusaha memahami kepercayaan orang lain, maka kita dapat memahami iman kita sendiri secara sungguhsungguh: kekuatan dan kelemahan, segi-segi yang konstan dan berubah. c. Hanya jika kita berusaha memahami orang lain, maka kita dapat menemukan dasar yang sama, meskipun ada perbedaannya, yang dapat menjadi landasan untuk hidup bersama secara damai dalam dunia ini.307 (2) Dialog antarumat beragama, bagi Mukti Ali, dapat meningkatkan kerja sama, saling pengertian dan saling menghormati antar manusia. Motivasi agama adalah salah satu dorongan yang paling kuat untuk melahirkan tindakan. Kebudayaan dan agama erat sekali hubungannya. Masyarakat umat manusia selalu dihadapkan oleh adanya perubahan dan tantangan, bahaya dan ketegangan, 316

Wajah Studi Agama-Agama

krisis dan kesempatan, yang menuntut umat beragama untuk meningkatkan keadilan dan perdamaian, cinta dan kasih.308 Hal itu dapat terlaksana dengan baik melalui serangkaian dialog yang dilakukan. Pada poin kedua ini, saya kira, pandangan Mukti Ali sangat positif. Lalu, Mukti Ali juga menyebut macam-macam dialog, yaitu: (a) Dialog Kehidupan. Para pemeluk agama yang berbeda dalam kehidupan sehari-hari dapat melakukan “dialog kehidupan” baik formal maupun informal mengenai hal-hal yang menyangkut kepentingan bersama. (b) Dialog Kerja sama dalam kegiatan-kegiatan sosial yang diinspirasi oleh agama. Misalnya, para pemeluk agama yang berbeda dapat merancang proyek-proyek pembangunan seperti program meningkatkan kehidupan keluarga, orang miskin, kekeringan, pengangguran dan lain-lain.309 (c) Dialog untuk Doa Bersama. Dialog model ini sering dilakukan dalam pertemuan nasional dan internasional yang dihadiri oleh berbagai tokoh agama yang beragam dan para pengikutnya. (d) Dialog Komunikasi Pengalaman Agama, atau Dialog Intermonastik. Contoh dari model dialog ini misalnya pemimpin agama Hindu tinggal di biara Buddhisme untuk satu minggu, atau pemimpin Kristen tinggal di pondok pesantren untuk satu minggu demi mempelajari tradisi agama yang ditinggalinya. Jelasnya, pemimpin suatu agama bersedia tinggal dalam waktu tertentu di pusat agama orang lain. Dengan itu, akan timbul saling pengertian yang mendalam, dan dengan itu pula saling penghargaan dan kerja sama dalam berbagai bidang dapat diadakan. Namun, yang melakukan dialog model ini bukanlah sembarang orang, melainkan para pemimpin atau tokoh-tokoh agama, atau orang yang bersungguhsungguh ingin mengetahui kehidupan sehari-hari pemimpin agama lain. (e) Dialog Koloqium Teologis, atau Dialog Diskusi Teologis, yaitu ahli-ahli agama saling bertukar informasi tentang keyakinan, kepercayaan dan praktik agama masing-masing demi terwujudnya rasa dan sikap saling pengertian.310 Mukti Ali mengemukakan beberapa alasan penting adanya kebutuhan untuk berdialog, misalnya pertama, pluralisme agama Dr. Media Zainul Bahri

317

merupakan kenyataan yang semakin jelas (Mukti Ali tidak menyebut pluralitas agama). Di Indonesia sendiri terdapat banyak agama dan kepercayaan. Pada konteks ini, orang tidak bisa menutup mata akan hadirnya agama dan kepercayaan lain. Seseorang tidak bisa lagi mengabaikan kenyataan eksistensi agama-agama lain yang hidup berdampingan dengannya. Kedua, karena kenyataan pluralisme itu, seorang pemeluk agama akhirnya memiliki keinginan dan kebutuhan untuk menjalin kontak dengan pemeluk agama lain. Karena itu mengisolasi diri, selain harus ditinggalkan juga tidak mungkin lagi dilakukan. Dalam dunia yang cepat berubah dan tersedianya teknologi komunikasi yang sangat canggih, setiap orang, setiap pemeluk agama akan dan mesti bersentuhan dan berkomunikasi dengan orang lain, dengan pemeluk agama lain. Karena alasan inilah para penganut agama yang berbeda-beda membutuhkan komunikasi dan dialog antar mereka dengan variannya masing-masing.311 Lalu, Mukti Ali juga mengemukakan alasan teologis, yaitu bahwa umat manusia berasal dari Sumber yang sama, yaitu Tuhan. Dalam ajaran sufisme disebutkan bahwa baik laki-laki maupun perempuan merupakan citra atau image Tuhan (imago Dei) dan diciptakan untuk tujuan akhir yang sama yaitu menuju Tuhan sendiri. Dari sini lahir konsep kesatuan (esensial) umat manusia, dan kesatuan inilah yang mendorong manusia untuk berusaha mewujudkan perdamaian bersama (universal). Karena alasan teologis inilah, maka para penganut agama harus mengambil sikap positif terhadap agama-agama yang bukan agamanya sendiri. Hal ini bisa dilakukan dengan dialog dan kerja sama antar pemeluk agama untuk bersamasama mengenal, memelihara dan meningkatkan lelaku spiritual dan moral. Dengan cara ini, umat beragama akan mengetahui betapa banyak kemurahan Tuhan yang dilimpahkan kepada hambaNya. 312 Dengan berbagai penjelasan itu, maka dialog antar-agama bukan semata kerja akademis, bukan pula merupakan diskusi filosofis dan teologis belaka, melainkan ia adalah anjuran agama. Dialog adalah usaha untuk keselamatan dan kesejahteraan, dan itu 318

Wajah Studi Agama-Agama

adalah bagian dari tujuan total agama. Tugas agama sangat kompleks, dan hanya dapat dicapai melalui hubungan vertikal (dengan Tuhan) dan horizontal (dengan manusia) sekaligus.313 Bagi Mukti Ali, dalam konteks Indonesia, dialog antaragama sesungguhnya mudah diadakan dan dapat berhasil, dalam arti dapat merumuskan konsep kerukunan yang bisa disepakati bersama, karena apa? Karena masyarakat Indonesia telah memiliki tradisi yang sudah lama, yaitu “musyawarah untuk mufakat.” Tradisi ini tidak semata berlaku dalam kehidupan politik, tetapi juga telah dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari. Dalam pandangan dan praktik kehidupan masyarakat Indonesia juga memiliki kemampuan untuk “merelatifkan” segala sesuatu. Tidak main mutlak-mutlakkan, melainkan fleksibel dan tepo-seliro (tenggang rasa). Hal ini dapat menjadi dasar dan modal bagi berhasilnya suatu dialog antar umat beragama demi kedamaian bersama.314 Gagasan dialog yang dirancang oleh Mukti Ali dan model-modelnya, sesungguhnya suatu prestasi yang cemerlang pada masa itu, setidaknya ketika ia menjadi ahli Perbandingan Agama dan Menteri Agama sekaligus. Ia banyak membaca referensi dari Barat, melihat hubungan antar-agama serta model dan praktik kerukunan di negeri-negeri lain, lalu merumuskannya untuk konteks Indonesia yang majemuk dan kenyataan adanya hubungan yang kompleks antar berbagai agama dan keyakinan. Ide tentang dialog Intermonistik juga sangat menarik dan kiranya relevan untuk konteks Indonesia yang sangat majemuk ini. Dalam pengalaman banyak orang, dialog yang intens atau tinggal di suatu tempat orang yang berbeda dalam waktu-waktu tertentu ternyata dapat “meruntuhkan” atau “meluruhkan” berbagai prasangka, kecurigaan dan pandangan negatif tentang orang lain yang berbeda dengan kita. Pada saat yang sama, yaitu ketika kita telah menemukan pemahaman yang benar dan tepat tentang keberbedaan itu atau jawaban yang memuaskan—muncul perasaan “respek” dan “empati.” Dialog sejatinya suatu cara yang sungguh manusiawi, menyentuh dan memiliki kekuatan untuk memperbarui autentisitas diri kita. Dr. Media Zainul Bahri

319

Lalu, Apakah ada hubungan antara Ilmu PA dengan dialog? Menurut Mukti Ali, para ahli Perbandingan Agama memang telah berdebat soal tujuan ilmu PA yang dicapai dengan metodologi yang “objektif” dengan praktik dialog yang sering kali “subjektif.” Perdebatan para ahli itu kemudian menghasilkan kesimpulan yang bermacam-macam, misalnya satu pandangan yang menonjol bahwa aktivitas dialog bukanlah bagian dari tujuan mempelajari Perbandingan Agama. Di tengah berbagai macam pandangan soal itu, Mukti Ali sendiri menilai dan meyakini bahwa keberadaan ilmu PA di Indonesia telah membantu memudahkan kegiatan dialog antarumat beragama. Bagi Mukti Ali, seperti telah disinggung di muka, bahwa “ilmu tidak semata untuk ilmu” sebagaimana ia tidak setuju jika “seni untuk seni.” Ilmu, sebagaimana juga seni, harus bertujuan untuk ibadah kepada Allah. Karena keyakinan itu, maka bagi Mukti Ali, studi PA di Indonesia, di samping mempelajari agama secara ilmiah, juga dimaksudkan untuk pembangunan masyarakat dan bangsa. Tujuan ilmu PA—bersama-sama dengan orang-orang yang memiliki maksud yang baik—juga hendak menciptakan dunia yang aman dan damai berdasarkan etika dan moral agama.315 Maka, dialog antaragama adalah salah satu elemen ilmu PA, atau satu pendekatan dalam ilmu PA untuk memahami agama orang lain secara benar dan tepat seperti yang diyakini oleh para pemeluknya. Dengan pemahaman yang objektif itu akan muncul perasaan menghormati dan saling menghargai, dengan harapan praktis agar kedamaian dapat terwujud dan dirasakan bersama. Sekarang kita kembali pada gagasan dan praktik dialog yang populer disuarakan pada masa 1990-an. Pada masa ini, kembali kita melihat para sarjana dan tokoh Islam, yang sebagiannya terlibat aktif menyuarakan isu pluralisme agama. Cak Nur misalnya—dalam berbagai tulisan dan ceramah-ceramahnya—juga terlibat aktif mendorong aktivitas dialog antar-agama. Menurut Cak Nur, landasan pokok dialog antar-agama dalam perspektif Islam adalah pandangan-pandangan al-Qur‘an sendiri yang memberi isyarat secara implisit dan memerintahkan kaum beriman secara eksplisit untuk 320

Wajah Studi Agama-Agama

berdialog. Ide-ide pokok teologis Cak Nur mengenai dialog sesungguhnya “satu paket” dengan isu inklusivisme dan pluralisme agama. Gagasan utamanya dijelaskan dalam dua hal penting, yaitu pertama, adanya kesatuan pesan kenabian. Para nabi dan rasul yang diutus Tuhan membawa ajaran lahiriah (syari’at) yang berbeda-beda sesuai kebutuhan umat dan konteks masing-masing. Namun, pesan inti kenabian yang diturunkan sesungguhnya dalam satu spirit yang sama, yaitu ajaran tunduk-patuh dan taat pasrah kepada Tuhan yang disebut dengan al-islâm dan ajaran Tawhid. Inti agama (Dîn) seluruh rasul adalah sama (al-Syûrâ: 13) dan umat serta agama mereka itu seluruhnya adalah umat dan agama yang satu, seperti disebut Tuhan, “Sungguh inilah persaudaraan kamu, persaudaraan yang satu dan Aku adalah Tuhanmu, sembahlah Aku.” (al-Anbiyâ: 92 dan al-Mu‘minûn: 52). Kaum Muslim sendiri juga diperintahkan untuk beriman (mengakui) kepada semua nabi dan rasul yang diturunkan, tanpa membeda-bedakan seorang pun atas yang lain, sambil berserah diri kepada Tuhan (al-Baqarah: 136). Kedua, ajaran mengenai Ahl al-Kitâb (Ahli Kitab), yaitu pandangan mengenai pengakuan tertentu kepada para penganut agama lain yang memiliki kitab suci, yang memberikan kebebasan menjalankan ajaran agama mereka masing-masing. Bagi Cak Nur, berbagai pandangan Islam inklusifpluralis inilah, sebagaimana telah saya paparkan secara memadai dalam subbab “Pluralisme Agama,” maka sesungguhnya dialog antar umat beragama adalah sesuatu yang tidak saja dimungkinkan, bahkan diperlukan, jika tidak disebut diharuskan. Kaum Muslim diperintahkan Tuhan untuk mengajak kaum Ahli Kitab menuju ke “pokok-pokok kesamaan” (kalimat-un sawâ`), yaitu menuju ke ajaran Ketuhanan Yang Maha Esa (Tawhid) seperti disebut dalam Ali ‘Imran: 64. Adanya ayat-ayat yang positif dan simpatik kepada Ahli Kitab, menurut Cak Nur, adalah ajakan Allah kepada kaum Muslim untuk membuka diri dalam proses dialog demi mendapatkan keyakinan bersama tentang Kebenaran yang paling mendalam, seperti disebut Wilfred Cantwell Smith, “All inner faith is interfaith.” Dr. Media Zainul Bahri

321

Meskipun Esensi semua agama adalah satu dan sama, namun manifestasi sosiokulturalnya secara historis berbeda-beda, bahkan ada “doktrin” (eksoterik) yang tidak bisa “didamaikan” antara satu agama dengan agama lain. Karena itu, berdialog sangat diperlukan untuk rumusan-rumusan yang membawa kedamaian bagi semua. Menurut Cak Nur, jika rumusan linguistik dan verbal keyakinan (doktrin-doktrin lahiriah) keagamaan itu berbeda-beda, namun ekternalisasi keimanan itu dalam dimensi sosial kemanusiaannya tentu sama, karena menyangkut praktik yang konkret. Maka al-islâm sendiri, menurut Nabi, paling baik dinyatakan dalam aktivitas kemanusiaan seperti menolong kaum miskin atau mengusahakan perdamaian kepada semua orang tanpa kecuali. Dengan pandangan ini, Cak Nur sesungguhnya sedang membicarakan dua model dialog sekaligus, yaitu dialog pada tataran teologis yang normatif dan dialog praksis, yakni pada problem-problem sosial kemanusiaan yang konkret. Pada dua level ini, umat beragama dalam tradisi agama apa pun sesungguhnya dapat berdialog, saling mendengar, belajar dan berbagi (sharing). Dengan melihat dua model dialog yang dinamis ini, maka bagi Cak Nur dialog antaragama dapat dipandang sebagai realisasi (praktik) ajaran agama yang paling asasi, dan kerja sama kemanusiaan yang dihasilkannya berdasarkan keimanan kepada Tuhan Yang Mahaesa adalah berarti memenuhi perintah mulia dalam Kitab Suci. Dalam dialog teologis, menurut Cak Nur lebih lanjut, tujuannya bukan untuk “membuat” suatu kesamaan pandangan, apalagi keseragaman, karena hal itu seperti “mengkhianati” tradisi suatu agama. Setiap agama memiliki keunikan/kekhasan masing-masing. Karenanya, yang dicari adalah mendapatkan titik-titik pertemuan (secara teologis) hanya sejauh yang dimungkinkan, bukan atas ajaran-ajaran yang sulit—untuk tidak menyebut mustahil—bertemu. Dalam dialog teologis ini, setiap peserta dialog harus bersikap cermat dan adil. Harus dapat memilah atau membedakan mana ajaran agama yang bersifat teologis-filosofis dan mana ajaran agama dalam dimensi historisnya. Karena itu, jika materi dialog untuk melaku322

Wajah Studi Agama-Agama

kan perbandingan misalnya, maka harus cermat membandingkan suatu ajaran agama tertentu dalam aspek teologis-normatifnya dengan ajaran agama lain yang juga bersifat teologis. Jika melihat kenyataan historis suatu agama, maka juga harus dibandingkan dengan fakta historis agama lain, dan begitu seterusnya. Dialog yang berlandaskan semangat kebersamaan, keadilan, kejujuran dan keterbukaan itulah dialog yang akan bermanfaat dan memperkaya satu sama lain. Jika Cak Nur banyak membicarakan pandangan normatifteologis Islam atas keniscayaan dialog kaum Muslim dengan para penganut agama lain, maka Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, dalam sebuah artikelnya, “Dialog Agama dan Masalah Pendangkalan Agama” (1998) lebih melihat secara konkret hambatan-hambatan psikologis dan teologis dalam berdialog, terutama pada umat Islam. Menurut Gus Dur, pada masa itu (tahun 1990-an) kaum Muslim Indonesia tengah mengalami proses pendangkalan agama karena interaksinya dengan Islam model Timur Tengah. Proses pendangkalan karena interaksi itu sebenarnya telah berlangsung lama jika dilihat sejarahnya ke belakang, tepatnya ketika kaum Muslim Nusantara mulai berinteraksi dengan Islam Timur Tengah. Islam model Timur Tengah menurut Gus Dur telah menjadi ideologi atau komoditas politik. Hal ini berbeda dengan Islam Indonesia yang lebih bersifat kultural dan hidup di tengah suasana yang damai, aman dan tanpa kekhawatiran.316 Model-model Islam Timur Tengah yang terlihat lebih agresif, militan dan ideologis karena perjuangannya melawan musuh-musuh mereka (misalnya Israel) dan keinginannya membentuk negara Islam (teokrasi) telah “mengimpor” pengaruh yang cukup besar terhadap pandangan, sikap dan cara hidup Muslim Indonesia. Karena pengaruh-pengaruh itu dan beberapa faktor lain, maka proses pendidikan dan dakwah Islam di tanah air dalam 40 tahun terakhir, menurut Gus Dur, cenderung bersifat memusuhi, mencurigai dan tidak mau mengerti agama lain. Sikap ini tidak saja ditunjukkan para mubaligh di mimbar dakwah, tetapi juga oleh para Dr. Media Zainul Bahri

323

guru sekolah. Dua faktor penting di dalam negeri, selain pengaruh Timur Tengah, menurut Gus Dur adalah: pertama, banyak orang Islam mengalami masa transisi dari kehidupan tradisional ke kehidupan modern, yang kemudian berdampak pada hilangnya akarakar psikologis dan kultural. Banyak orang yang sudah tinggal di kota-kota besar, tetapi mentalnya masih “kampungan.” Mereka belum menerima modernisasi secara total. Selalu ada rasa khawatir terlepas dari agama. Karena itu sikap beragamanya cenderung kaku, keras dan intoleran. Kedua, Islam telah dijadikan ajang kepentingan politik dan bendera politik yang dipakai untuk menghadapi orang lain. Dari sini muncul proses pendangkalan agama: kepentingan Islam diletakkan dalam kepentingan yang eksklusif, dan menjadi kepentingan yang paling utama. Karena itu terjadilah eksklusivisme agama di kalangan kaum Muslim.317 Jika sikap-sikap eksklusif dan tidak mau mengerti agama orang lain terus ditonjolkan, maka sulit melakukan dialog dalam pengertian yang sebenarnya (bukan monolog). Menurut Gus Dur, dirinya yang dekat dengan kalangan nonMuslim dibanding dengan kaum Muslim sendiri sering mendapat kritik tajam dari tokoh-tokoh Islam. Mereka merujuk kepada ayat al-Qur‘an bahwa Nabi Muhammad dan pengikutnya harus keras terhadap orang-orang kafir dan santun kepada sesamanya (asyiddâ ‘ala al-kuffâr, ruhamâ baynahum). Menurut Gus Dur, dengan mengutip ayat al-Qur‘an, kritik itu tampaknya sangat serius, tetapi kekeliruan yang dilakukannya juga cukup serius. Yang dimaksud dengan “keras terhadap orang kafir” dalam ayat itu bukan orangorang non-Muslim, melainkan kaum kafir yang memerangi agama Islam (dalam konteks ayat itu, kaum kafir Mekkah). Sudah tentu ada perbedaan antara orang-orang non-Muslim dengan kaum kafir yang seperti itu—katakanlah kafir kategoris. Lalu, “santun terhadap sesamanya” (ruhamâ baynahum) juga patut dipertanyakan. Nabi Muhammad pernah bersabda, “Seandainya Fatimah anak perempuanku mencuri, maka akan aku potong tangannya.” Apakah sikap Rasul itu santun atau tidak? Menurut Gus Dur, itu santun, karena 324

Wajah Studi Agama-Agama

Nabi menyayangi Fatimah dan tidak ingin ia melakukan perbuatan yang hina. Akan tetapi sikap santun itu ditunjukkan dengan cara memotong tangannya jika ia mencuri. Karena itu, pertanyaannya: apakah ukuran kedekatan dan kesantunan itu? Apakah jika tidak menyenangkan satu pihak dianggap tidak santun kepada umat Islam? Secara hipotesis, bagi Gus Dur, esensi “saling menyantuni” justru terletak pada sikap-sikap saling mengoreksi sesama kaum Muslim. 318 Sikap eksklusif dan antitoleransi ditunjukkan lagi oleh kaum Muslim eksklusif dengan mengutip ayat favorit, yaitu “Wahai Muhammad, sesungguhnya orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan rela kepadamu sampai engkau mengikuti agama mereka.” Menurut Gus Dur, kata “tidak rela” di sini dianggap melawan atau memusuhi, lalu dikaitkan dengan pembangunan gereja-gereja, pengabaran Injil, Kristenisasi, konflik Israel-Palestina, dan lain-lain. Dua hal yang berbeda sama sekali diletakkan dalam satu hubungan yang tidak jelas. Padahal jika masalahnya didudukkan secara proporsional, kaum Muslim tidak akan keliru memahami arti “tidak rela” di situ. Tidak rela itu artinya tidak bisa menerima konsep-konsep dasar. Itu pasti (dan wajar, sic.). Menurut Gus Dur, ibarat seorang gadis muda yang dipaksa kawin dengan seorang kakek, gadis itu pasti tidak akan rela. Artinya, ia tidak bisa menerima konsep dasar bahwa ia akan hidup bahagia jika kawin dengan kakek itu. Tetapi belum tentu ia melawan atau memusuhi. Ia terpaksa menjalani rumah tangga itu meskipun tidak rela, persis seperti Siti Nurbaya yang dipaksa kawin dengan Datuk Maringgih.319 Pandangan yang menyatakan bahwa Yahudi dan Kristen tidak bisa menerima konsep dasar Islam, bagi Gus Dur, itu hal yang pasti (dan tentu saja harus seperti itu). Sebab, jika mereka rela menerimanya, itu artinya mereka bukan Yahudi dan Kristen lagi. Begitu pula kebalikannya. Kaum Muslim tentu tidak akan rela terhadap konsep-konsep dasar Yahudi dan Kristen, misalnya konsep mengenai ketuhanan Kristen, kaum Muslim sulit menerima konsep itu karena dasarnya memang sudah berbeda. Namun, tidak berarti Dr. Media Zainul Bahri

325

harus menunjukkan kebencian dan permusuhan. Dalam Islam, seorang Muslim harus mantap keyakinan tauhidnya, namun pada saat yang sama harus juga menghargai keyakinan dan pendapat orang lain. Menurut Gus Dur, sikap mau mendengar dan menghargai perbedaan itu telah dicontohkan oleh para pendiri republik ini. Mereka bisa menerima bahwa konsep ketuhanan yang lain juga memiliki hak untuk hidup di Indonesia. Padahal sebagian besar, yakni 5 dari 9 orang adalah wakil-wakil dari (gerakan) Islam, yaitu Ki Bagus Hadikusumo, Abdul Wahid Hasyim, Kahar Mudzakir, Agus Salim, dan Ahmad Subarjo—belum termasuk Soekarno dan Muhammad Hatta, sebab keduanya sering dianggap tidak mewakili Islam. Dalam pandangan Gus Dur, para tokoh itu menunjukkan sikap lapang dada yang luar biasa hingga mereka mengakui bahwa macam-macam agama dan kepercayaan di Indonesia sama-sama ber-Ketuhanan Yang Maha Esa. Dalam konteks dialog antaragama, Gus Dur berpendapat bahwa bangsa Indonesia harus terus mengembangkan paham dan sikap bertoleransi, bertenggang rasa, saling mengerti dan memiliki komitmen untuk hidup bersama. Misalnya pemerintah memiliki program Kerukunan Umat Beragama, namun selama ini dimaknai hanya sekadar rukun saja. Rukun itu artinya peaceful coexistence: hidup berdampingan secara damai, tetapi tidak saling mengerti. Padahal yang mesti dikembangkan adalah rasa kebersamaan dan saling mengerti. Contoh konkret yang sering menimbulkan konflik adalah soal pendirian gereja. Kaum Muslim berteriak marah karena tidak suka. Menurut Gus Dur, kaum Muslim hendaknya dapat mengerti bahwa agama Kristen memiliki banyak sekte, sinoda dan aliranaliran yang berbeda. Tiap aliran butuh gerejanya sendiri karena memang ritus dan liturginya berbeda-beda. Karena itu, tidak mengherankan jika tiap sekian kilometer dibangun sebuah gereja. Bukan karena bersaing dengan orang Islam, tetapi bersaing dengan sesama mereka sendiri. Hal itu berbeda dengan Islam. NU, Muhammadiyah, Sunni, Syi’ah, tentara, sipil, ulama, orang awam, bahkan maling sekali pun bisa duduk dan shalat dalam satu masjid yang 326

Wajah Studi Agama-Agama

sama.320 Namun secara prinsipiel, kata Gus Dur, mau membangun gereja atau tidak, dasarnya adalah saling mengerti, dan bukan saling menolak. Pengalaman selama ini menunjukkan bahwa jika terdapat saling pengertian semuanya tidak akan menjadi sulit. Salah satu pihak harus mengalah sesuai dengan situasi dan kondisi yang dihadapi.321 Menurut Gus Dur, apa yang disebut dialog adalah kesediaan untuk mau mendengar, mengerti, terbuka dan jujur atas apa yang ada (terjadi), dan mau belajar satu sama lain. Ia bercerita bahwa dirinya pernah diminta Majelis Ulama Indonesia (MUI) untuk mewakili MUI dalam wadah kerukunan beragama. Akan tetapi, tugas itu ia tolak karena dalam wadah itu tidak ada kejujuran, yang ada hanya “kepura-puraan.” Dalam wadah itu, orang yang melihat kejelekan atau penyakit tidak berani untuk mengatakan itu “jelek” atau ini “penyakit.” Semua terlihat seperti baik-baik saja, tidak ada masalah, dan pada akhirnya tidak ada dialog yang sesungguhnya atau yang diinginkan. Seperti penjual kecap, sehabis teriak kecapnya nomor satu lalu tutup telinga. Yang lain juga demikian, gantian berteriak bahwa kecapnya nomor satu. Tidak ada dialog. Yang terjadi adalah seri-monolog, masing-masing berbicara sendiri-sendiri, orang lain tidak didengarkan. Masyarakat Indonesia yang sangat majemuk tidak membutuhkan model dialog seperti itu.322 Dalam dialog menurut Gus Dur seperti dikutip Ali, seseorang harus bersungguh-sungguh mencari dan menjaga kebenaran serta memiliki kebebasan dalam mengekspresikannya. Pencarian akan kebenaran yang mendalam hanya akan ditemukan jika ada atmosfer kebebasan dan dialog yang terbuka dan dihadiri oleh orang-orang yang berpikiran jernih dan sehat. Sebaliknya, pandangan yang sempit dan ketiadaan pemahaman keagamaan yang memadai biasanya akan memunculkan intoleransi. Dua hal itu misalnya dapat dengan mudah dilihat pada orang yang suka menghina tuhan-tuhan agama lain. Atas aksi ini, Gus Dur biasanya menyatakan—dengan merujuk kepada ayat al-Qur‘an—bahwa “jika engkau menghina tuhan agama lain sesungguhnya engkau juga menghina tuhanmu sendiri.”323 Dr. Media Zainul Bahri

327

Keseluruhan pandangan Gus Dur di atas menunjukkan bahwa kerukunan, dialog, dan toleransi adalah pandangan dan sikap hidup yang aktif dan dinamis, bukan pandangan yang statis, tidak mau tahu atau “yang penting asal tidak saling mengganggu.” Sikap masa bodoh seperti itu tidak bisa dijadikan kekuatan untuk merawat kerukunan dan kemajemukan. Setiap pemeluk agama atau kelompok agama seharusnya bersikap aktif, kreatif dan selalu memiliki inisiatif—dengan cara apa pun yang positif—untuk merajut kebersamaan dalam merawat kemajemukan Indonesia. Karena berbagai persoalan umat beragama yang kompleks, pendangkalan pemahaman agama dan manipulasi politik atas nama agama, maka menurut Gus Dur, tugas umat beragama, terutama tokoh-tokohnya sangat berat. Untuk umat beragama, maka tugas mereka adalah melakukan pendalaman kembali ajaran agama masing-masing. Untuk tokoh-tokoh agama, maka tugas utamanya adalah memberi pencerahan dan penyadaran umat masing-masing bahwa hubungan antaragama seharusnya dijalin atas dasar saling pengertian. Lalu, meyakinkan umat itu untuk tidak mudah dihasut dan diadu-domba oleh tangan-tangan misterius yang memiliki kepentingan politik tertentu.324 Amin Abdullah, seorang akademisi yang mendalami Studi (Perbandingan) Agama juga terlibat menawarkan gagasannya mengenai dialog. Menurut Amin, membicarakan teori dan praksis dialog antar-agama dalam perspektif Islam, maka referensi utamanya hanya dua, yaitu al-Qur‘an dan sejarah hidup Nabi Muhammad. Hanya melalui pemahaman al-Qur‘an secara utuh dan komprehensif akan dapat ditemukan pokok-pokok ajaran yang berkaitan dengan pluralisme keberagamaan manusia karena sedari awal al-Qur‘an memang telah berdialog dengan berbagai nilai fundamental (fundamental values) yang dianut oleh berbagai kelompok agama dan non-agama yang tumbuh berkembang sebelum hadirnya tawaran Islam. Fundamental values yang ada dalam al-Qur‘an itu kemudian teraktualisasikan dalam perilaku Nabi Muhammad dan para sahabatnya. Jika terdapat istilah “das sein” dan “das sollen” yang 328

Wajah Studi Agama-Agama

masing-masing menunjuk kepada dimensi historisitas kenabian dan dimensi normativitas wahyu, maka bagi kaum Muslim kedua dimensi tersebut ibarat keping mata uang dengan permukaan yang tidak terpisahkan antara yang satu dengan yang lain. Ada hubungan organik dan tarik menarik yang kuat antara kedua sisi tersebut, sehingga membentuk dinamika kehidupan beragama yang kukuh tetapi juga lentur.325 Menurut Amin, al-Qur‘an telah mengisyaratkan adanya dinamika historis atau pergumulan di kalangan internal umat Islam sendiri. Karena itu, manusia Muslim dituntut untuk bersikap rendah hati dan bersedia berdialog dengan “kebenaran” (al-Haqq) dan kesabaran (al-shabr) dalam hidupnya. Bahkan secara keras, kaum Muslim beriman diperingatkan oleh al-Qur‘an untuk tidak mencemooh golongan atau kelompok lain, karena jangan-jangan orang atau kelompok yang dicemooh itu jauh lebih baik daripada orang yang mencemooh. Dengan begitu, dari jauh hari, al-Qur‘an sejatinya telah mensinyalir akan munculnya bentuk truth claim (klaim kebenaran). Truth claim yang menyeruak, baik pada wilayah intern umat beragama maupun yang muncul pada persinggungan antar umat beragama, sama-sama tidak menguntungkan (favourable) dan tidak kondusif bagi upaya membangun tata pergaulan masyarakat yang sehat.326 Truth claim yang mendalam pada diri orang-orang beragama sesungguhnya wajar dan dapat dibenarkan karena dengan itu agama menjadi terus bermakna, menarik untuk diikuti dan dapat terus menjadi pedoman hidup. Yang buruk itu adalah truth claim yang berlebihan dan membabi buta. Karena itu, al-Qur‘an mengingatkan untuk tidak berlebih-lebihan dalam beragama (lâ taghlû fî dînikum). Jika demikian, maka keberagamaan yang paling baik adalah yang moderat; berada di tengah-tengah. Al-Qur‘an menyebut kaum Muslim sebagai “ummatan wasathan” (umat yang berada di tengah-tengah). Menurut Amin, ayat ini mungkin memiliki beragam tafsiran, namun dari perspektif pluralitas keberagamaan manusia, tampak bahwa al-Qur‘an memang menganjurkan umat manusia untuk Dr. Media Zainul Bahri

329

nesia untuk sastra Semit, dan aktif dalam kegiatan dialog antariman, membuat laporan: Di sebuah seminari di Taiwan, para mahasiswa diwajibkan untuk berkunjung ke kuil-kuil dan berbicara dengan orang-orang yang datang bersembahyang. Para mahasiswa harus menyampaikan laporan mengenai kunjungan itu sebagai bagian dari pelajaran mereka. Demikian pula, beberapa seminari di India sekarang mensyaratkan mahasiswa yang belajar agama untuk mengunjungi kuilkuil dan menghadiri perayaan keagamaan lain, dan melaporkan makna dan pentingnya agama bagi umat beragama yang bersangkutan. Di Jepang beberapa mahasiswa teologi ditugaskan mengunjungi biara Zen, dan mengambil bagian dalam meditasi mereka selama beberapa minggu, supaya bisa lebih memahami Zen Buddhisme.355

Semua aktivitas di atas menurut Ihromi, bertujuan memungkinkan mahasiswa mengenal kepercayaan lain, tidak semata sebagai “sistem keyakinan”, namun juga sebagai kepercayaan yang hidup, yang membentuk dan mengarahkan kehidupan sesamanya. 356 Seseorang yang belajar langsung, mendengarkan langsung atau berjumpa langsung dengan sumber pertama dari agama yang dikajinya, mungkin memiliki beberapa pandangan, keyakinan atau sebuah sikap yang hati-hati. Misalnya, bagi seorang mahasiswa yang bersikap “hati-hati” atau “ragu-ragu,” kegiatan itu ia lakukan sebatas kegiatan akademik, sebatas tahu dan mengerti. Ia tidak ingin “terlibat” lebih jauh dalam memahami dan menikmati pengalaman baru mengenai agama lain karena takut membahayakan akidahnya. Namun bagi mahasiswa lain yang menghendaki pemahaman maksimal dan menginginkan keterlibatan secara emosional, ia akan melakukannya dengan sepenuh hati dan nalarnya sehingga muncul sikap empati, mengakui kebenaran agama itu dan belajar untuk membawa perspektif dan kekayaan baru bagi agamanya sendiri. Para pemeluk agama, terutama yang eksklusif, mungkin akan menggugat apakah model kunjungan atau studi banding itu (tidak) akan membahayakan akidah para mahasiswa? Bagi mereka, hal itu bukan saja “tidak Islami” atau “tidak Kristiani,” namun juga 346

Wajah Studi Agama-Agama

membahayakan keyakinan. Terlepas apakah mereka dapat menerima atau tidak jawaban yang diberikan oleh Studi Agama-Agama, namun studi ini telah mensyaratkan, setidaknya sedari awal telah dinyatakan oleh Mukti Ali bahwa syarat intelektual seperti kemampuan bahasa asli agama-agama yang diteliti dan syarat afektif seperti kemauan yang kuat, kondisi emosional yang memadai, dalam arti adanya feeling, partisipasi, empati, tidak masa bodoh dan memupuk pengalaman yang luas mengenai agama, keyakinan dan tradisi keagamaan orang lain, adalah syarat-syarat utama untuk keberhasilan seseorang dalam memahami agama dan keyakinan orang lain yang berbeda. 2. Model Historis-Kronologis Salah satu model pengajaran PA yang mencolok dalam hal materi agama-agama, sejak awal jurusan PA berdiri hingga masa akhir Orde Baru, bahkan hingga masa reformasi adalah melalui pendekatan historis-kronologis. Agama-agama diperkenalkan kepada mahasiswa mulai dari sejarah hingga perkembangannya. Model pengajaran ini terlihat eksplisit dalam karya-karya PA. Sejak masa Mahmud Yunus melalui karyanya, al-Adyan (1937) hingga Perkembangan Fikiran Terhadap Agama (1965) karya Zainal Arifin Abbas, semua pembahasan mengenai suatu agama selalu dimulai dengan kronologi sejarahnya. Metode yang sama dapat kita baca pada sebagian besar buku PA yang terbit sesudah berdirinya Jurusan Perbandingan Agama pada 1961 hingga masa kini, seperti Perbandingan Agama karya Moh. Rifai (1965), Perbandingan Agama karya Mastur Halim (1970), Perbandingan Agama, dua volume karya Abu Ahmadi (1977), Agama Yahudi karya Burhanuddin Daya (1982), Agama Sinto karya Djam’annuri (1982), Agama-Agama Besar Di Dunia karya Joesoef Sou’yb (1983), Menguak Misteri Ajaran Agama-Agama Besar karya H.M. Arifin (1986), Agama-Agama Besar Di Dunia karya 12 dosen PA IAIN Yogyakarta (1988), dua karya Ahmad Shalabi: Perbandingan Agama, Bagian Agama Masehi (1964) dan Perbandingan Agama, Agama-Agama Besar di India (1998), Studi Agama-Agama Dr. Media Zainul Bahri

347

Dunia karya Bahri Ghazali (1994), Pengantar Studi Ilmu Perbandingan Agama karya Thalhas (2006), Agama dalam Ilmu Perbandingan karya Abdullah Ali (2007), tiga buku karya Ikhsan Tanggok: Mengenal Lebih Dekat Agama Konghucu di Indonesia (2005), Mengenal Lebih Dekat Agama Tao (2006), dan Agama Buddha (2009). Lalu, Agama Jepang karya Djam’annuri, Syafatun Almirzanah dan Ustadi Hamzah (2008), Studi Agama, Suatu Pengantar karya Syarif Hidayatullah (2011), Agama-Agama Besar Masa Kini karya Sufa’at Mansur (2011) dan lain-lain. Setelah mengurai sejarah suatu agama, baik secara detail maupun ringkas, karya-karya itu kemudian membuat pembahasanpembahasan khusus mengenai Tuhan, Pembawa agama itu, Kitab Suci, Etika, Hukum, Eskatologi dan sekte-sekte (aliran) yang muncul kemudian. Dengan model seperti itu, ada kesan bahwa para penulis dan para pengajar PA membuat “kotak-kotak” yang menyebabkan semua yang terlibat dalam proses pembacaan dan pemahaman terhadap agama-agama non-Islam itu masih tetap sebagai “orang luar” (outsider), dan sulit menjadi “orang dalam” (insider) yang ikut merasakan dan menghayati makna agamis (religious meaning) seperti yang dirasakan oleh para pemeluknya. Dengan model seperti itu, tidak sepenuhnya juga disebut “gagal” memahami agama orang lain (yang bukan agamanya), tetapi akan sulit menemukan makna terdalam (the inner meaning) dari agama yang dikaji. Padahal justru di situlah tujuan pokok mempelajari agama-agama manusia. Model pengajaran historis-kronologis yang “kaku dan kering” serta “kotak-kotak” yang dibuat juga telah lama menjadi model yang secara umum berlangsung dalam dunia Islam—dalam mengajarkan Islam, tak terkecuali Indonesia. Model historis, apalagi yang tidak dibarengi sikap kritis, serta dogma-dogma yang diajarkan secara doktriner, membuat para pelajar Muslim gagal memahami makna terdalam dari Islam yang menunjukkan Kasih Tuhan dan keagungan manusia. Islam yang terbuka, universal, dan dalam dimensinya yang terdalam (esoterik) adalah Islam yang sesuai dengan manusia dan kemanusiaan, dan itulah Islam yang akan ber348

Wajah Studi Agama-Agama

tahan lama. Pemahaman Islam yang melulu berorientasi syari’ah (normatif) yang kaku dan kering sering menimbulkan “keguncangan” dan problem baru ketika berhadapan dengan perubahan dunia yang begitu kompleks. Salah satu model pengajaran PA yang terbaik, dalam pengertian cara memahami agama-agama yang bukan agamanya melalui pemahaman yang simpatik dan mendalam, adalah model Huston Smith melalui karyanya The Religions of Man (1975) yang kemudian direvisi menjadi The World’s Religions: Our Great Wisdom Traditions (1991). Buku Smith ini adalah karya filosofis mengenai keyakinan terdalam dan pandangan dunia orang-orang yang menganut macam-macam agama; sebuah deskripsi yang mendalam dan mengejutkan, termasuk bagi “orang-orang dalam,” yaitu para penganutnya sendiri. Smith tidak menjelaskan suatu agama berdasarkan kronologi sejarahnya dan konsep-konsep yang akan memberi kesan sebagai sekumpulan “kotak-kotak” cara pandang dan keyakinan orang beragama. Namun, ia menghadirkan pengalaman psikologis orang-orang beragama, yaitu kumpulan kekayaan pengalaman batin, dan keluasan cakrawala mereka. Ketika berbicara tentang agama Hindu misalnya, di halamanhalaman pertama Smith mengemukakan pengaruh filsafat dan doktrin Hindu terhadap peradaban Barat, bahkan terhadap dunia, suatu cara yang Smith lakukan pada hampir semua agama yang ditulisnya. Misalnya, ia mengutip pidato Max Müller tentang sumbangan besar spiritualisme India kepada dunia, atau pernyataan Arthur Schopenhauer bahwa “Di seluruh dunia, tidak ada naskah yang demikian indah dan agung selain Upanishad. Kitab tersebut merupakan hiburan dalam hidupku dan akan menjadi hiburan dalam kematianku.”357 Lalu, Smith menyebut sejumlah filsuf dan ilmuwan Barat seperti Aldous Huxley, Christoper Isherwood, Vincent Sheean, Gerald Heard, John Van Druten, Rene Guenon, Joseph Campbell dan akhirnya Heinrich Zimmer. Nama terakhir ini melalui karyanya Philosophies of India, menegaskan akan “gemuruh rimba kearifan India yang menggetarkan dunia.” Kata Zimmer, Dr. Media Zainul Bahri

349

“Kita di Barat baru akan mencapai persimpangan jalan, yang telah dilalui oleh para pemikir India kira-kira 700 tahun sebelum Masehi.” Pada halaman kedua, segera Smith membuat subjudul tentang “Kebutuhan Manusia.” Menurut Smith, Hinduisme secara keseluruhan menegaskan satu hal pokok kepada manusia: “Engkau boleh melakukan apa pun yang kau inginkan.” Pernyataan itu kedengarannya baik sekali, tetapi sesungguhnya membawa masalah bagi kita, karena apa yang kita inginkan? Secara umum, manusia menginginkan kesenangan yang terdiri atas kekayaan, kemasyhuran dan kekuasaan. Tetapi pencarian akan kesenangan itu sering kali, tidak hanya mengalami kegagalan besar, namun juga membawa kesengsaraan. Smith lalu mengutip filsuf Soren Kierkegaard dalam karnya Sickness Unto Death, kata Kierkegaard, “Dalam samudra kenikmatan yang tidak ada dasarnya itu, dengan sia-sia aku mencari tempat untuk melabuhkan sauh. Aku merasakan adanya suatu kekuatan yang hampir tidak dapat dilawan, yang akan menarik kita dari suatu kesenangan berikutnya. Ia mampu menghasilkan kegairahan murni, namun yang menyusul adalah kebosanan dan siksaan.”358 Karena itu, kesenangan yang bersifat duniawi tidak sepenuhnya memuaskan manusia. Meskipun bisa diraih dan dapat memuaskan, tetapi ternyata sifatnya hanya sementara belaka, padahal manusia selalu memimpikan keabadian.359 Dengan latar belakang ini, Smith lalu masuk untuk memulai penjelasan mengenai ajaran Hindu tentang Jalan Keinginan dan Jalan Penolakan. Pada halaman ke-7 Smith meneruskan penjelasan di atas dengan membuat subjudul “Apa yang Sesungguhnya Diinginkan Manusia?” Maka, orang-orang Hindu akan memiliki jawaban yang beragam. Namun, secara umum, manusia menginginkan empat hal, yaitu pertama, manusia ingin terus ada. Setiap orang menginginkan untuk ada ketimbang tidak ada. Biasanya tak seorang pun ingin cepat-cepat mati atau tidak ingin mati. Kedua, manusia ingin mengetahui, ingin sadar akan sesuatu. Manusia memiliki rasa ingin tahu yang tak terpuaskan, apakah ia seorang ilmuwan atau orang biasa. 350

Wajah Studi Agama-Agama

Ketiga, manusia menginginkan kebahagiaan sebagai lawan dari rasa putus asa, hidup tak bermakna dan rasa bosan. Apakah dengan ketiga keinginan itu, jika terpenuhi, manusia akan merasa puas? Menurut Hindu, belum sempurna kepuasannya! Karena itu menurut Hinduisme, ada yang keempat, yaitu bahwa manusia menginginkan pembebasan (mukti): pembebasan yang tak terhingga, pembebasan yang sempurna dari berbagai keterbatasan yang tak terbilang jumlahnya yang begitu menekan manusia,360 terutama manusia modern. Dengan keempat keinginan itu, Hinduisme ingin mengatakan bahwa keinginan yang sejati dari manusia sesungguhnya hanya satu saja, yaitu mukti alias bebas secara sempurna. Namun, bagaimana caranya? Sebelum mengetahui apa itu mukti, Hinduisme mengajak para pemeluknya untuk mengetahui terlebih dahulu, apa itu manusia? Apakah ia suatu badan jasmani? Tentu saja! Namun, apakah hanya itu? Apakah termasuk suatu kepribadian yang mencakup pikiran, ingatan, dan kecenderungan yang tumbuh dari pengalaman hidupnya? Ya benar! Apakah ada hal lain? Ada yang mengatakan hanya itu, tetapi, agama Hindu tidak setuju. Menurut Hinduisme, yang mendasari kepribadian manusia dan menjiwainya adalah suatu telaga kehidupan yang tidak pernah kering, tidak pernah habis dan tak berhingga dalam kesadaran dan kebahagiaan. Pusat setiap kehidupan yang tak berhingga ini, yang terdapat pada diri manusia yang tersembunyi atau Atman, tak lain adalah Brahman, atau Tuhan. Manusia belum lengkap sebagai manusia sebelum ketiga unsur itu disebutkan, yaitu badan, kepribadian, dan Atman Brahman.361 Dengan contoh uraian di atas, Smith menunjukkan beberapa hal penting dalam Studi Agama-Agama, yaitu pertama, Studi Agama adalah studi tentang manusia, atau tepatnya tentang pengalaman manusia yang konkret mengenai “keberagamaan” atau “ketuhanan.” Smith menempatkan agama bukan sebagai data, fakta dan peristiwa yang mati dan beku, yang hanya terdiri atas catatan-catatan peristiwa, kejadian, dan nama-nama orang belaka. Karena itu, karya Smith tidak banyak mencantumkan nama orang, tempat, atau peDr. Media Zainul Bahri

351

ristiwa yang dikajinya. Smith lebih menekankan bahwa sejarah agama adalah sejarah kehidupan para pengikutnya yang bersifat hidup, dinamis, dan selalu berubah.362 Karena itulah bukunya diberi judul Religions of Man. Bersamaan dengan poin pertama itu, maka kedua, Smith menghadirkan langsung pengalaman keagamaan para pemeluknya. Kita diajak langsung mendengar penuturan pemeluknya sendiri. Bahkan, kita menangkap kesan bahwa ia telah menjadi “juru bicara” atau “orang dalam” agama yang sedang dijelaskannya. Ketiga, Smith menunjukkan betapa ajaran-ajaran agama yang agung dan konkret itu sesungguhnya juga menjadi perhatian “dunia lain,” yaitu para ilmuwan dan filsuf. Smith selalu menghubungkan ajaran-ajaran agama itu dengan pandangan para filsuf dan ilmuwan dunia; suatu koneksi yang menarik dan mengejutkan. Keempat, Smith melakukan pembahasan yang kompleks tentang satu tema yang dihubungkan atau dianalisis dengan tema-tema lain secara bersamaan. Ketika berbicara tentang manusia dalam agama Hindu misalnya, Smith juga menghubungkannya dengan konsep Tuhan dan doktrin tentang mukti: tujuan akhir Hinduisme. Smith tidak membuat “kotak” tema-tema seperti “Tuhan” “Kitab Suci” “Utusan Tuhan” “Ritual” dan lain-lain yang dibuat sendiri-sendiri. Setelah sub-judul “Apa yang Sesungguhnya Diinginkan Manusia?” Smith membuat subjudul-subjudul lain yang berurutan: “Di Luar Itulah yang di Dalam,” “Empat Jalan Mencapai Tujuan,” “Jalan Menuju Tuhan Melalui Ilmu Pengetahuan,” “Jalan Menuju Tuhan Melalui Cinta,” “Jalan Menuju Tuhan Melalui Kerja,” “Jalan Menuju Tuhan Melalui Latihan Psikologis,” “Empat Tahap,” “Tingkatantingkatan Hidup,”Ia yang Melumpuhkan Semua Kemampuan Kata,” “Menjadi Dewasa di Alam Semesta,” “Selamat Datang dan Selamat Jalan, Dunia,” dan terakhir “Banyak Jalan Menuju Puncak yang Sama.” Sekali lagi, kita tidak menemukan satu subjudul khusus tentang “Konsep Tuhan” misalnya atau “Kitab Suci,” “Sejarah Agama Hindu,” “Syariat dan Ritus Hindu,” atau ajaran mengenai “Maharesi” sebagai utusan Tuhan dalam Hinduisme. Namun, dengan sub-sub judul yang ia buat di atas, Smith secara mengagumkan 352

Wajah Studi Agama-Agama

telah berhasil menjelaskan ajaran-ajaran pokok Hinduisme tentang Tuhan, kitab suci, ritual, konsep manusia, mistik Hindu, dan lainlain. Hal yang sama juga terlihat ketika Smith membicarakan agama Kristen sebagai rangkaian sejarah, ketokohan Yesus dan Paus, doktrin-doktrin pokok, serta alam pikiran Kristen di Barat dan Timur. Ia merangkai keseluruhan itu dengan subjudul-subjudul yang menarik seperti “Ia yang Diurapi,” “Ia yang berkeliling Sambil Berbuat Baik,” “Tak Pernah Ada Orang Berbicara Demikian,” “Kami Telah Menyaksikan Kemuliaannya,” “Awal dan Akhir,” “Kabar Gembira,” “Tubuh Mistis Kristus,” Alam Pikiran Gereja,” Gereja Roma Katolik,” “Gereja Ortodoks Timur,” dan “Agama Protestan.” Banyak kolega di Perbandingan Agama menyatakan bahwa model Smith adalah suatu model bagi yang sudah memahami dengan baik sejarah dan ajaran-ajaran pokok suatu agama, bukan untuk pemula yang baru belajar suatu agama, karena pembahasan Smith terlalu filosofis. Jika ditujukan bagi orang awam (umum) yang tidak memiliki pemahaman yang cukup mengenai suatu agama, atau bahkan nihil sama sekali, anggapan itu mungkin benar. Akan teteapi, bagi Mahasiswa Fakultas Ushuluddin non-Perbandingan Agama, yang telah memiliki modal dasar Studi Filsafat, pemahaman tertentu tentang agama lain, dan pemahaman yang baik tentang Islam, model Smith sesungguhnya dapat diterapkan dengan tanpa kesulitan yang berarti. Apalagi untuk Mahasiswa Perbandingan Agama, yang “makanan” sehari-harinya adalah “menu” agama-agama. Jika mata kuliah “Agama-Agama Dunia” tetap dipertahankan di Ushuluddin bagi Mahasiswa non-Perbandingan Agama, atau bagi Mahasiswa Perbandingan Agama sekalipun, harus ada kemauan kuat untuk meniru model Huston Smith dengan berbagai variasinya, dan berani keluar dari “model lama” yang bercorak historis-kronologis yang kering dengan “kotak-kotak” yang menyertainya.

Dr. Media Zainul Bahri

353

3. Mengapa Selalu Dimulai Dengan Teori “Asal-Usul Agama”? Seiring dengan model pengajaran yang bercorak historis-kronologis, maka isu (materi) pertama yang diajarkan, terutama dalam Mata Kuliah “Pengantar Studi Agama (Perbandingan Agama)” atau “Sejarah Agama-agama” adalah teori Asal-Usul Agama. Model ini, tentu saja, adalah model Studi Agama yang telah lama dilakukan di Barat. Secara formal-akademik, kajian asal-usul agama—baik yang pro maupun yang kontra Tuhan—mulai ramai didiskusikan di Barat pada abad ke-19 melalui karya-karya Max Müller misalnya, sebagai sarjana ahli Filologi dan asal-usul mitos Hindu, atau melalui tokoh-tokoh Antropologi yang mengungkap teori asal-usul agama seperti E.B. Taylor, James George Frazer, John Lubbock, EvansPritchard, Andrew Lang dan Wilhelm Schmidt. Dalam disiplin Sosiologi, Emile Durkheim adalah figur utama yang menguak asalusul agama. Dalam ranah Psikologi, dua nama: William James dan Sigmund Freud adalah figur-figur yang ikut terlibat dalam perdebatan soal asal-usul agama. Dalam tradisi Studi Agama di Barat, perdebatan soal asal-usul agama sesungguhnya dibentangkan jauh ke belakang hingga ke tokoh-tokoh seperti Herodotus (484-425 SM) yang membuat catatan tentang sejarah agama-agama orang asing non-Yunani, atau Demokritos (460-370 SM), atau Theophratus (372287 SM) yang menyusun 6 jilid sejarah agama. Karena usahanya ini, Theophratus dianggap sebagai sejarawan pertama Yunani di bidang studi agama. Di Indonesia, Mukti Ali sendiri menulis satu buku tipis yang berjudul Asal-Usul Agama (1969). Tulisan itu—tentu saja—dalam pengaruh kuat dari apa yang terjadi di Barat. Dalam konteks pertarungan antara para ilmuwan (antropolog, sosiolog, dan psikolog) yang menegasikan Tuhan dan menegaskan bahwa asal-usul agama berasal dari konsepsi manusia sendiri dengan Gereja yang tetap mempertahankan revelasi sebagai asal-usul agama, Mukti Ali “berdiri” bersama-sama dengan para teolog Kristen atau katakanlah para “misionaris” Kristen yang meyakini wahyu sebagai awal-mula aga354

Wajah Studi Agama-Agama

ma. Dalam pengertian inilah kita bisa memahami karya Mukti Ali tersebut. Dalam buku itu, Mukti Ali kembali mengetengahkan pandangan kaum evolusionis tentang asal-usul manusia sekaligus proses evolusi pemahaman manusia atas tuhan, dari mulai penyembahan kepada alam, kepada banyak dewa (politeisme) hingga kepada satu tuhan (monoteisme). Mukti Ali merujuk kepada karya-karya seperti The Origin of Species by means of Natural Selection (1859) karya Charles Darwin, The Idea of Progress (1955) karya John Bury, The Believing World (tanpa keterangan tahun) karya Lewis Browne, Procession of Gods karya G.G. Atkins, dan E.D. Soper melalui karyanya, Religion of Mankinds. Menurut Mukti Ali, pendekatan antropologis dan sosiologis terhadap agama adalah sesuatu yang menggembirakan, dan memang sudah seharusnya seperti itu jika Studi Agama ingin berkembang. Tetapi, Mukti Ali menyayangkan jika hasil dari riset antropologi itu dibuat untuk menilai masalah agama, salah satunya adalah soal asal-usul agama.363Menurutnya, bukan hanya kaum evolusionis yang percaya kepada evolusi makhluk hidup, bahkan para penulis Kristen pun seperti Atkins dan Soper juga meyakini bahwa proses keberagamaan manusia atau pemahaman manusia tentang Tuhan, terutama Yahudi, Kristen, dan Islam juga mengalami evolusi. Hal ini kata Mukti Ali, sangat mengherankan dan bertentangan dengan pandangan kitab suci ketiga agama tersebut.364 Sebagai bantahan atas kaum evolusionis itu, Mukti Ali mengajukan pandangan tokoh-tokoh revelasionis yang meneguhkan bahwa sejak awal manusia sudah memiliki konsep tentang Tuhan Yang Maha Esa (monoteisme). Mukti Ali membuat kutipan-kutipan yang cukup jelas dari kaum revelasionis seperti Israil Rabin melalui karyanya, Studien zur Vormosaischen Gottesvorstellung, dan Andrew Lang dalam karyanya The Making of Religion (1898). Mukti Ali juga menunjuk para sarjana dan pendeta di Barat yang menolak teori evolusi seperti Wilhelm Schmidt, Archbishop Soderblom dari Swedia, Alfred Bertholet, Edward Blum-Ernst, Le Roy, dan Albert C. Kruijt. Dari sarjana Muslim, Mukti Ali merujuk kepada Muhammad Dr. Media Zainul Bahri

355

Abduh melalui Risalah al-Tauhid, Ameer Ali dengan The Spirit of Islam (1922), dan Muhammad Iqbal dengan karyanya, The Reconstruction of Religions Thought in Islam (1944). Pada akhirnya, bagi Mukti Ali, teori evolusi yang digunakan untuk menolak Tuhan tidak dapat diterima seperti tidak dapat diterimanya teori ini dalam menilai proses pemahaman manusia terhadap Tuhan. Seperti pandangan para pendeta di Barat dan kaum revelasionis lainnya, Mukti Ali juga mengamini bahwa ide tentang Tuhan sejak awal adalah monoteisme. Politeisme adalah penyelewengan dari monoteisme ini. 365 Sebagai seseorang yang dianggap pelopor atau “Bapak” Studi Perbandingan Agama, maka karya-karya PA di Indonesia selalu mengikuti model sang “Bapak,” yakni Mukti Ali, termasuk memulai pembahasan studi PA dengan materi asal-usul agama. Karena itu, karya-karya PA atau buku-buku ajar tentang PA, seperti yang sudah saya tunjukkan berulang-ulang di atas, selalu memuat satu bahasan di awal tentang asal-usul agama, biasanya dimulai dengan Agama Primitif dengan model-model keyakinan mereka: animisme, dinamisme, fetisisme, dan shamanisme. Pendekatan historis, atau utamanya pembahasan asal-usul agama, sebagai langkah awal dalam Studi PA atau Studi Agama-Agama sesungguhnya dapat dilihat secara normal, pertama misalnya sebagai “gejala umum” dalam disiplin Ilmu-Ilmu Humaniora. Jika kita belajar Filsafat sebagai sebuah disiplin misalnya, maka pertamatama, biasanya, mempelajari sejarah filsafat terlebih dahulu: dari mana dan kapan filsafat bermula, siapa tokoh-tokoh filsafat pertama, filsafat model apa yang pertama kali muncul, dan seterusnya. Kedua, dalam Studi Agama, terutama dalam konteks figur Max Müller yang ahli filologi agama-agama India, menelusuri asal usul agama bermakna sebuah usaha mencari bentuk yang paling asli dan paling awal dari agama-agama karena dianggap sebagai bentuk yang paling murni. Sebuah usaha yang menantang dalam mencari bentuk yang paling awal/murni dari agama karena akan menguak

356

Wajah Studi Agama-Agama

misteri besar dan menjadi modal untuk menganalisis perkembangan historis agama-agama. Ketiga, dalam Studi Agama, persoalan dari mana asal mula agama merupakan problem yang paling krusial, terutama di dunia Kristen Barat. Sebelum muncul kajian agama yang bersifat deskriptif atau saintifik, ilmu agama di Barat dikuasai sepenuhnya oleh Teologi (tetapi, Teologi sebagai “Ratu Ilmu Pengetahuan” (queen of sciences) sesungguhnya juga menjadi gejala umum di dunia Islam (Timur) selama rentang waktu yang cukup lama). Karena itu, dalam konteks Kristen Barat (Eropa), ketika muncul teori-teori antropologi, sosiologi, dan psikologi yang menolak Tuhan, maka persoalan asal-usul agama adalah problem “hidup-mati” yang tidak bisa ditawar lagi, karena menyangkut hal yang pokok dan utama dalam agama, yaitu keyakinan terhadap adanya Tuhan. Gereja, dengan berbagai propaganda dan dakwah, ingin membendung paham dan gerakan ateisme itu dan menarik kembali masyarakat Eropa ke dalam pelukan gereja. Ketika dunia Islam atau katakanlah Mukti Ali, melalui Institut atau Perguruan tinggi Islam, mengadopsi model Kristen Eropa dalam “menghadang” gerakan ateisme itu dalam pengajaran Studi PA atau Studi Agama secara umum, maka apa yang dilakukannya itu adalah “melanjutkan” atau “mempertahankan” warisan kaum misionaris Kristen Eropa itu. Sekarang persoalannya adalah, dalam Studi Agama modern, apakah model itu masih relevan untuk dipertahankan? Jika kita setuju bahwa teori asal-usul agama masih penting untuk diperdebatkan oleh para mahasiswa dan pelajar Muslim sebagai pengetahuan awal, maka hal itu harus dilakukan dengan semangat ilmiah bukan dengan tujuan dakwah, yaitu ingin menunjukkan keunggulan dalil-dalil agama vis-a-vis kajian-kajian antropologis, sosiologis dan psikologis yang telah dihasilkan melalui serangkaian riset yang panjang oleh para tokohnya. Yang sering terjadi adalah bahwa para mahasiswa, pelajar, bahkan dosennya sekalipun tidak memahami dengan baik dan benar teori-teori asal-usul agama itu melalui tulisan pertama dari para sarjana penggagasnya. Yang Dr. Media Zainul Bahri

357

sering terjadi, mereka mendiskusikan teori-teori itu melalui referensi ketiga366 atau keempat atau melalui buku terjemahan, yang sangat mungkin telah mereduksi materi utama atas teori-teori itu. Dalam sebuah tulisan yang menarik berjudul “The study of religion and the rise of atheism: conflict or confirmation?” (2011) Michael Buckley, profesor Teologi pada departemen Religious Studies Universitas Santa Clara, California, menjelaskan bahwa memang terjadi pertarungan yang sengit antara para pendukung Uratheismus dengan para pendukung Urmonotheismus. Pencarian ilmiah para ahli antropologi, sosiologi dan psikologi pada abad ke-19 terhadap kebudayaan orang-orang primitif mengharuskan mereka meneliti lebih dalam asal-usul kepercayaan keagamaan kaum primitif terhadap Realitas yang Ultim. Dan hasil penelitian itu kemudian menjadi sesuatu yang sangat pahit bagi gereja. E.B. Taylor misalnya berkesimpulan bahwa riset ilmiah yang dilakukannya telah menguatkan pendirian personalnya untuk menjadi seorang agnostik yang memandang skeptik terhadap agama.367 Sir John Lubbock melalui The Origin of Civilization and the First Condition of Man (1870) seperti dikutip Buckley, mengajukan tesis bahwa ateisme memang merupakan fenomena yang paling awal dan paling primitif dari keberagamaan manusia. Fenomena ini, sebelum masa Lubbock, telah memberi darah segar bagi teori August Comte (1798-1857) tentang tiga tahap perkembangan intelektual masyarakat. Melalui riset mendalam tentang budaya keagamaan pada masyarakat primitif, Lubbock menemukan bahwa Uratheismus bukan sebuah penolakan eksplisit terhadap dewa atau tuhan mana pun, melainkan ide tentang tuhan memang tidak ada sejak masa-masa kebudayaan yang paling awal dari seluruh agama (“Uratheismus not in an explicit denial of the reality of any god, but in the absence within these earliest cultures of all religion.”).368 Senada dengan Lubbock, para sarjana lain seperti Durkheim, George Frazer, dan Freud sama-sama menegaskan bahwa penyembahan terhadap totem, sebagai representasi realitas tertinggi, pada masyarakat primitif adalah bentuk keyakinan yang paling primor358

Wajah Studi Agama-Agama

dial, dan fondasi paling asali dari seluruh agama. Dalam melihat pengalaman keagamaan pada diri manusia, Freud menukik ke dalam pengalaman psikis terdalam manusia melalui apa yang disebutnya sebagai “kerinduan Oedipus” dan perasaan bersalahnya karena telah membunuh ayahnya. Melalui psikoanalisis, Freud berpendapat bahwa secara dasariah apa yang disebut Tuhan sesungguhnya tidak ada, ia hanya imaji (gambaran) belaka tentang seorang bapak yang agung. Karena itu, jika totem adalah bentuk yang paling awal dari bapak pengganti, maka konsep tentang tuhan atau dewa baru muncul kemudian.369 Dalam satu spirit yang sama dengan Freud, C.G. Jung, ahli psikologi yang juga kontra agama, berpendapat bahwa apa yang disebut tuhan sesungguhnya adalah representasi dari sejumlah energi libido. Melalui serangkaian riset psikologi, Jung meyakini bahwa tuhan merupakan konstruksi dari libido yang mendasarkan pada imaji seorang ibu ketimbang figur bapak370 (dalam hal figur atau imaji ini, Jung berbeda dengan Freud yang lebih menunjuk kepada figur bapak). Figur-figur di atas telah sampai pada kesimpulan bahwa agama bisa ditemukan pada manusia primitif yang paling awal, tetapi tidak dengan konsep tuhan. Tylor misalnya, meskipun ia membuat definisi agama sebagai “kepercayaan kepada wujud spiritual,” namun dalam pandangan masyarakat purba, apa yang disebut wujud spiritual itu tak lain adalah ruh-ruh individu yang bersemayam di alam,371 bukan Tuhan dari “alam sana.” Berlawanan dari apa yang menjadi pandangan para sarjana di atas, para pendukung Urmonotheismus juga menunjukkan argumen-argumen “ilmiah” tentang keyakinan akan Tuhan pada masyarakat primitif yang paling kuno. Wilhelm Schmidt misalnya, dengan mengambil teori Andrew Lang tentang tuhan-tuhan yang tinggi, menegaskan melalui karyanya Der Ursprung der Gottesidee seperti dikutip Buckley, bahwa ide tentang Wujud Tertinggi (Supreme Being) dapat ditemukan pada hampir seluruh kebudayaan masyarakat primitif, yang di banyak tempat tidak diekspresikan dalam bentuk dan model yang sama, tetapi ide tentang itu cukup Dr. Media Zainul Bahri

359

menonjol yang membuat posisinya cukup dominan dan tidak diragukan lagi. Karena itu, ide dan keyakinan tentang Urmonotheismus terdapat pada tahap yang paling awal sebagai objek agama dari seluruh model kebudayaan primitif berikutnya. Masyarakat primitif tidak memiliki kesulitan untuik mengenal ide tentang Wujud Tertinggi itu. Dengan demikian, monoteisme berada pada tahap awal, bukan di akhir, dari perkembangan pemikiran keagamaan umat manusia. Lebih dari itu, Raffaelle Pettazzoni, menurut Buckley, menunjukkan justru ide monoteisme primitif adalah bentuk revolusi melawan politeisme pada masyarakat primitif itu sendiri. Pettazzoni melakukan riset pada masyarakat primitif Maori. Mereka menyembah Io sebagai tuhan langit. Mereka juga memercayai Io sebagai pencipta tuhan-tuhan lain seperti Rangi dan Papa. Namun, dalam analisis terakhir, Pettazzoni menemukan justru Io itu adalah Rangi sendiri dan Rangi-lah yang berdiri di belakang Io sebagai Tuhan Langit yang sesungguhnya yang pada akhirnya diagungkan dan tinggikan posisinya sebagai Io (dengan nama Io), zat yang tidak tercipta dan sebagai sumber awal dari segala sesuatu.372 Jadi, riset Pettazzoni menyimpulkan bahwa sedari awal kepercayaan masyarakat primitif bukan semata monoteisme, namun juga mereka menentang politeisme dengan cara menunjukkan satu-satunya Kekuatan Agung sebagai sumber awal dan pencipta segala sesuatu, termasuk menciptakan tuhan-tuhan minor. Dalam perdebatan sengit antara para pendukung Uratheismus dan Urmonotheismus, pada ranah akademis, riset-riset yang telah dilakukan oleh Lubbock, Taylor, Evans-Pritchard, Frazer, dan Durkheim misalnya, atau kaum evolusionis seperti Darwin dan Robert N. Bellah yang paling mutakhir, memiliki pengaruh yang sangat kuat, dan menjadi referensi wajib bagi para peminatnya. Lebih dari itu juga telah menjadi bacaan umum yang digemari. Dalam skala luas, karya-karya mereka bersama dengan teori evolusi Darwin menyebabkan menguatnya pandangan dan sikap yang skeptik, bahkan ateistik pada masyarakat Eropa di abad ke-19. Tentu saja, riset antropologis, sosiologis, dan psikologis yang mendasarkan diri pada 360

Wajah Studi Agama-Agama

observasi sulit dibantah, meskipun selalu ada kemungkinan untuk “dipatahkan” dengan bukti dan penemuan baru yang berbeda. Selama masa keemasan para sarjana itu, bahkan hingga hari ini, gereja (para teolog) atau ilmuwan-ilmuwan yang sepaham dengan gereja selalu menunjukkan konfrontasi. Sikap konfrontasi, bahkan permusuhan itu disayangkan oleh Buckley. Dalam konteks kedigdayaan teori-teori asal-usul agama yang mengabaikan revelasi Tuhan, Buckley mengusulkan disiplin Studi Agama yang ilmiah untuk menggali usaha-usaha teologis yang berbeda (nuansanya) dengan apa yang telah dilakukan oleh Studi Teologi pada abad ke-19 dan 20. Dengan kata lain, sudah tidak masanya lagi para teolog dan disiplin Teologi terus bermusuhan dengan kaum saintis. Jika kajian teologi memfokuskan diri kepada ilmu-ilmu ketuhanan, maka para teolog harus melakukan sebuah perjalanan menuju pengetahuan yang mendalam mengenai apa pun tentang Tuhan yang akan menghasilkan perspektif yang positif dan mencerahkan. Buckley menulis: There is no time now to argue and nuance this suggestion with the distinctions it obviously cries for, but only to propose that the scientific study of religion could well call the theological enterprise to an inquiry quite different from that which obtained in the nineteenth and twentieth centuries. For, to allow the final word to Nicholas Lash: “Every Christian, and hence every Christian theologian, is called to journey in the direction of deeper knowledge of the things of God, and the journey is a homecoming, for God is our end as well as our beginning.”373

Jika kebudayaan manusia telah dieksplorasi sedemikian rupa oleh para ilmuwan dalam berbagai disiplin ilmu, maka hal yang menarik bagi para pengkaji studi ilmiah agama menurut Buckley, adalah menyingkap hal-hal yang berkaitan dengan Tuhan. Misalnya, mengungkap momen-momen penting pengalaman spiritual manusia tentang Tuhan. Buckley secara retorik bertanya: bisakah KrisDr. Media Zainul Bahri

361

tus dilihat sebagai yang memberi cahaya, sehingga menarik untuk dikaji, ketimbang harus berkompetisi dengan problem-problem kontroversial yang telah ditemukan dalam studi ilmiah agama? Teolog-teolog Kristen mungkin dapat mengkaji secara baik tentang iluminasi Yesus dengan tanpa harus mencari data-data kebudayaan manusia, tetapi cukup dapat menunjukkan secara memadai apa yang bisa dipelajari dari Tuhan. Nostra aetate374 yang dihasilkan oleh konsili Vatikan II merupakan refleksi dari kekayaan spiritual BapaBapa suci. Nostra itu, menurut Buckley, telah mengakui bahwa Cahaya Tuhan dapat menerangi siapa pun dari makhluk-Nya dan dalam tradisi agama apa pun. Bisakah para teolog Kristen membuat studi ilmiah mengenai kekayaan batin tokoh-tokoh Kristen tentang Tuhan hingga menghasilkan Nostra yang mengagumkan itu?375 Pada abad Pertengahan, teologi Kristen juga mengambil sumber-sumber dari ajaran Aristoteles, Ibn Rusyd dan Dionysius neoPlatonik untuk mempelajari banyak hal tentang Tuhan. Apakah bisa para teolog Kristen hari ini belajar dari kekayaan Islam kontemporer? Atau dari mistik Hindu? Menurut Buckley, saat ini tidak sedikit teolog dan sarjana agama yang memiliki pandangan yang sempit tentang kata “agama” sehingga menyulitkannya untuk berintegrasi dengan dunia lain yang lebih luas. Padahal, Gereja perdana (the early Church) berhasil menyerap unsur-unsur yang agung dari Neo-Platonisme, Stoisisme dan Neo-Phytagorianisme. Padahal, tradisi-tradisi filsafat kuno itu bukan agama, dan sampai hari ini pun tidak juga kita menyebutnya sebagai agama.376 Berbagai pertanyaan dan penjelasan di atas penting untuk menunjukkan bahwa Studi Agama masih memiliki lahan yang luas, dan karenanya masih memiliki posisi yang penting dibanding menghabiskan energi untuk berkonflik dengan disiplin ilmu lain. Bahkan, dalam satu dasawarsa terakhir, lebih dari sekadar kajian mengenai pengalaman spiritual atau saling keterpengaruhan di antara kebudayaan dan agama, isuisu aktual mengenai fundamentalisme dan liberalisme agama, agama dan radikalisme, hubungan agama dan negara, atau agama dan

362

Wajah Studi Agama-Agama

perubahan iklim adalah tema-tema menarik yang juga menjadi lahan Studi Agama. Meski demikian, kemunculan buku terbaru Robert N. Bellah, Religion In Human Evolution, From The Paleolithic to the Axial Age (2011) kembali menunjukkan bahwa teori asal-usul agama tetap memiliki posisi yang penting di Barat. Buku Bellah itu disebut-sebut sebagai karya terbesar dalam bidang sosiologi dan sejarah agama setelah Hegel, Durkheim dan Weber. Jürgen Habermas menyebut karya Bellah itu sebagai karya agung yang lahir dari tradisi intelektual dan akademik yang kaya dari seorang ahli teori sosial terkemuka yang menggabungkan pendekatan biologis, antropologis dan historis demi menghasilkan karya yang ambisius mengenai asal usul ritus dan mitos keagamaan dalam proses evolusi natural spesies manusia yang disandingkan dengan proses evolusi keagamaan pada zaman Aksial.377 Karya Bellah ini tentu saja memperkaya tulisan-tulisan para antropolog, sosiolog, dan sejarawan sebelumnya tentang tema yang sama, namun dengan eksplorasi bukti-bukti baru yang mengejutkan. Karya ini sesungguhnya memperkuat pandangan bahwa diskursus tentang teori asal-usul agama masih relevan untuk didiskusikan, terutama dalam materi studi PA, dalam semangat ilmiah dan demi mencari kebenaran ilmiah.

H. Model Studi yang Dilakukan Dalam rentang waktu lebih dari tiga dasawarsa setelah berdirinya Jurusan PA pada 1961, kita melihat munculnya berbagai model studi PA. Karya-karya PA yang dihasilkan beserta model pengajarannya menunjukkan model atau pendekatan studi PA telah berkembang sesuai dengan perkembangan aktor-aktor akademiknya. Pada masa-masa awal berdirinya studi PA, secara umum kita melihat satu model yang cukup dominan, yaitu model historiskomparasi-teologis, atau historis-fenomenologis plus teologis, atau komparasi-teologis. Agama-agama manusia dilihat berdasarkan sejarah, ajaran-ajaran teologinya, fenomena-fenomena keagamaan yang melingkupinya, kemudian dibandingkan dengan Islam atau Dr. Media Zainul Bahri

363

diberi “nilai” oleh Islam. Model ini cukup lama berlangsung dan menjadi pendekatan “favorit” di kalangan kaum Muslim para pengkaji studi PA masa itu, karena hasil dari studi model itu menunjukkan hal yang “menggembirakan” bagi mereka, yaitu keunggulan Islam atas agama-agama lain. Pada perkembangan selanjutnya, yaitu di masa akhir 1980-an hingga menjelang akhir 1990-an, mulai muncul kajian-kajian yang bersifat obyektif (ilmiah) dan humanis. Tokoh-tokoh studi PA di (IAIN) Yogyakarta dan Jakarta menghasilkan karya-karya dengan pendekatan-pendekatan yang beragam: historis-fenomenologis, atau fenomenologis saja, atau komparatif saja, atau sosiologis-antropologis, dan mulai memublikasikan rumusan-rumusan pendekatan seperti yang dirumuskan oleh Mukti Ali sebagai “scientific-cumdoctrinair” atau “ilmiah agamis,” yaitu pendekatan dengan berbagai ilmu sosial plus pendekatan dogmatis agama atau fenomenologis, atau plus pendekatan komparatif. Rumusan ini diikuti oleh Burhanuddin Daya. Amin Abdullah menggagas pendekatan multi-disipliner seperti pendekatan ilmu-ilmu sosial plus fenomenologis atau plus teologis yang telah “dicerahkan” oleh filsafat. Farichin Chumaidy concern kepada pendekatan komparatif dan fenomenologis. Romdhon mengembangkan pendekatan historis, fenomenologis dan komparatif yang objektif. Kautsar Azhari Noer juga setia dengan pendekatan komparatif dan fenomenologis plus pendekatan perenial yang menjadi fokusnya pada masa-masa awal 1990-an. Ia juga mendukung berbagai pendekatan sekaligus seperti pendekatan historis, fenomenologis dan komparatif yang didukung secara bersamaan dengan ilmu-ilmu bantu lain seperti hermeneutik, antropologi, sosiologi dan lain-lain. Sepanjang masa ini, terdapat macam-macam model (pendekatan) sesuai dengan tingkat pemahaman dan kemampuan para insan akademik PA. Kita tidak bisa menggeneralisir adanya satu atau dua model untuk semua model-model yang pernah dimunculkan. Model Burhanuddin Daya misalnya tidak pasti sama dengan model Farichin Chimaidi. Model Amin Abdullah tidak sama dengan Kau364

Wajah Studi Agama-Agama

tsar. Model para penulis buku Perbandingan Agama diatas juga berbeda-beda penekanannya, meskipun sama-sama dalam semangat apologis. Ada yang menekankan model komparatif-teologis, ada pula yang menekankan fenomenologis, komparatif dan teologis sekaligus. Meski demikian, secara keseluruhan, model studi yang dilakukan sejak awal Jurusan PA berdiri hingga masa akhir Orde Baru dapat dibagi dalam dua periode, yaitu pertama, periode model kajian normatif (dari 1961 hingga pertengahan 1980), yaitu mengkaji agama-agama non-Islam dengan memakai beberapa pendekatan, namun pada akhirnya akan ditarik pada pendekatan teologis (subjektif). Kedua, masa model kajian non-normatif atau deskriptif (mulai akhir 1980 hingga akhir 1990), yaitu kajian yang mengusahakan berbagai pendekatan ilmiah yang melihat agama atau keberagamaan suatu komunitas dengan aspek-aspek studi yang kompleks dan tunduk kepada kaidah-kaidah ilmiah yang berlaku dalam disiplin ilmu yang menjadi pendekatannya. Namun, harus juga dipahami bahwa dua periodisasi di atas, normatif dan deskriptif, tidak bersifat “pasti” atau “absolut” secara keseluruhan. Sangat mungkin terdapat aspek-aspek yang “cair” atau kondisi yang “fleksibel” dalam setiap periode itu. Mungkin terdapat beberapa karya yang bercorak “semi-ilmiah” pada era normatif, atau terdapat pula beberapa karya dengan corak “teologis-apologetik” pada era deskriptif seperti karyakarya yang telah kita lihat dalam dua periodisasi itu. Sepanjang era ini, kita melihat studi PA dilakukan dengan mengikuti tradisi kesarjanaan Barat (termasuk Kristen Barat) dan realitas sosioreligio masyarakat Indonesia. Dua corak itu, terutama terlihat menonjol pada sosok Mukti Ali. Murid-murid intelektual dan para pengikutnya yang tersebar, terutama di Jawa, menjadi “corong suara” Mukti Ali pada Jurusan-Jurusan Perbandingan Agama di IAIN, yang tentu saja dengan memasukkan beberapa variasi dan perkembangan lebih lanjut dari apa yang telah dirumuskan oleh Mukti Ali. Dalam hal ini Mukti Ali berjasa besar dalam mengambil referensi yang berlimpah dari Barat dan mengolahnya Dr. Media Zainul Bahri

365

untuk konteks Indonesia yang majemuk dan untuk konteks perguruan tinggi Islam. Karena itu, corak studi PA pada masa Orde Baru tidak semata berorientasi ke Barat (Western oriented), dalam hal materi dan metodologi, namun juga melibatkan konteks keIndonesiaan. Hal itu dapat dilihat pada materi-materi perkuliahan yang mendiskusikan agama-agama dan kepercayaan yang hidup di Indonesia. Pandangan atas dua corak di atas yang berdasarkan penelusuran saya ternyata dikuatkan oleh, atau paling tidak memiliki kesamaan dengan catatan Ahmad Norma Permata, seorang alumni PA dan akademisi Studi Agama. Ia mencatat tiga karakter penting model studi agama di Indonesia, terutama pada masa-masa awal kemunculannya. Pertama, studi tentang agama-agama (study of religions dan bukan religious studies) di Indonesia dibangun menurut dasardasar tradisi Religionwissenschaft dan IAHR (International Association for the History of Religions). Karakter utama dari tradisi ini adalah kehendak untuk menjadikan studi agama sebagai sebuah disiplin ilmu yang independen, objektif dan ilmiah namun tetap memiliki nuansa religius. Metode inilah yang disebut Mukti Ali sebagai ”scientific-cum-doctrinair” atau istilah lain “religio-scientific,” yaitu pendekatan yang paling memadai dan paling berhak untuk menguasai kajian agama. Menurut Permata, mengandaikan satu pendekatan yang “super” yang akan mengkaji realitas agama secara komprehensif menyebabkan para sarjana dalam tradisi IAHR di seluruh dunia, termasuk Indonesia, menghadapi problem yang kompleks dan jalan buntu. Usaha seperti itu, disebut Permata, ibarat “menggantang asap, menghasta kain sarung,” karena realitas agama ternyata seluas kehidupan itu sendiri yang mustahil untuk “ditangkap” secara memadai hanya dengan sebuah pendekatan.378 Menurut Permata, jalan buntu tersebut kemudian mulai dapat diatasi oleh para pemikir IAHR kontemporer melalui munculnya kesadaran metodologis (methodological awareness) bahwa realitas agama tidak mungkin dapat didekati secara utuh hanya dari sebuah sudut pandang. Masing-masing perspektif menghadirkan realitas 366

Wajah Studi Agama-Agama

sesuai dengan kapasitasnya, dan tidak ada salah satu di antara mereka yang secara inheren lebih unggul atas yang lain.379 Kedua, studi agama di Indonesia pada awalnya hanya berkembang di dalam lembaga-lembaga yang memiliki afiliasi formal dengan agama tertentu, yang notabene memiliki misi keagamaan (dakwah). Dalam kasus Islam, studi agama yang memiliki nama Perbandingan Agama secara resmi dibuka pertama kali di PTAIN Yogyakarta. Seperti telah banyak disebut bahwa dengan label Islam pada perguruan tinggi itu, maka studi PA yang dilakukan pun dalam semangat dakwah. Menurut Permata dan berdasarkan fakta yang ada, tidak satu pun lembaga pendidikan umum, baik tingkat menengah maupun tinggi, yang menyelenggarakan studi agama dalam arah Religionwissenschaft.380 Fenomena ini tidak berarti sesuatu yang negatif sebab sampai pada pertengahan abad 20, corak keagamaan pada dunia Kristen dan Islam yang lazim terjadi memang model dalam semangat dakwah. Karena itulah, dalam konteks perguruan tinggi Islam pada era 1960-an, adanya model studi agama atau Perbandingan Agama yang berorientasi ilmiah, empirik, dan objektif masih dianggap sebagai sesuatu yang “asing.” Ketiga, studi agama di Indonesia juga memiliki kecenderungan yang kuat ke arah aktivisme pragmatis keagamaan masyarakat secara luas. Kajian atas fenomena agama tidak pernah dilakukan semata-mata demi kepentingan keilmuan atau dunia akademik an sich. Hal itu terjadi terutama karena para praktisi studi agama sebagian besarnya aktif di dalam lembaga-lembaga keagamaan.381 Mukti Ali sendiri yang dianggap sebagai sarjana istimewa didikan Barat masih tetap berpegang pada pandangan tradisional Islam bahwa hidup untuk ibadah, termasuk tujuan pengembangan studi PA adalah untuk ibadah.382Sekali lagi, pada level ini kita bisa melihat Mukti Ali sebagai teolog Muslim yang mengarahkan studi PA untuk tujuan yang bersifat keagamaan dan (tujuan) praktis. Begitu pula, diskusi dan perdebatan soal pluralisme agama yang diusung empat tokoh di atas, tidak semata atas kehendak mengembangkan kajian teologis (keilmuan) an sich, melainkan didasarkan pula atas kenyataan soDr. Media Zainul Bahri

367

siologis masyarakat Indonesia yang majemuk. Menurut tokoh-tokoh dan para pendukungnya, isu pluralisme perlu terus dikembangkan sebagai respons dan dukungan teologis bagi kehidupan sosial yang harmoni dan damai di antara para pemeluk agama. Dari sisi isu dalam studi PA, tampaknya isu pluralisme agama selalu menjadi kajian yang menarik, untuk tidak menyebutnya sebagai isu yang abadi, sejak masa teosofi hingga masa reformasi. Pluralisme agama sesungguhnya tidak pernah menjadi mata kuliah tersendiri atau menjadi bagian dari kurikulum PA. Namun yang menarik—pada level yang sangat teoretis—keseluruhan mata kuliah pokok (keahlian), terutama yang menyangkut materi agama-agama, secara langsung atau tidak, akan menghasilkan pemahaman dan sikap yang pluralis atas agama-agama non-Islam, atau setidaknya inklusif. Pandangan yang mengarah kepada paham inklusivisme dan pluralisme ini sulit dihindari, karena selain menerima penjelasan langsung tentang agama-agama dari sumber (karya) pertama dan dari seorang dosen yang ahli (dan berpengalaman) dalam materi itu, meskipun dosen tetap seorang Muslim, secara perlahan sang mahasiswa atau peserta kuliah juga memiliki ketertarikan (feeling dan empati) serta pengalaman emosional dengan agama yang dipelajari, apalagi ditambah dengan mata kuliah praktikum (kunjungan langsung) ke tempat ibadah dan pusat studi, atau menerima kuliah umum (studium general) dari sarjana atau tokoh agama yang bersangkutan. Pengalaman-pengalaman intelektual dan emosional yang didapatkan mahasiswa PA pada mata kuliah-mata kuliah pokok menjadikannya memiliki perspektif baru yang berbeda, dan terkadang benar-benar berbeda, dengan penjelasan para teolog Muslim tentang agama-agama non-Islam. Para teolog itu (termasuk sebagian sarjana Muslim) yang tidak pernah belajar atau mengenyam pendidikan tentang agama-agama secara akademis, namun sering berbicara tentang agama-agama lain dipandang oleh para mahasiswa dan orang-orang yang terlibat dalam studi ilmiah PA hanya memiliki pemahaman teologis yang subjektif, yang berbeda dengan studi PA yang ilmiah dan objektif. 368

Wajah Studi Agama-Agama

Dalam perspektif ini pula, Studi Agama-Agama atau Studi Perbandingan Agama dengan produk yang dihasilkannya sulit “berdamai” dengan pandangan atau fatwa tradisional Islam yang mengharamkan pluralisme. Meski secara teoretis bahwa sebagian besar (dan belum tentu seluruhnya) pandangan pluralisme agama akan menjadi produk studi PA, tetapi tidak berarti secara otomatis para mahasiswa dan insan akademiknya menerima pandangan tentang “kesatuan Asal (Sumber) dan (kesatuan) tujuan agama-agama,” atau memiliki pandangan bahwa “semua agama sama,” atau “merelatifkan” semua agama, apalagi seenaknya berpindah-pindah agama. Jika dilihat secara tajam lagi, terdapat derajat atau tingkatan pemahaman mahasiswa dan dosen tentang apa itu pluralisme. Dari istilah “pluralisme” yang sama akan muncul pemahaman yang berbeda-beda, dari hanya sekadar menghormati eksistensi agama-agama lain hingga pemahaman mengenai kesederajatan semua agama (equality of religions). Karena itu, pada level praktis, harus pula disadari bahwa terdapat proses belajar-mengajar, transfer ilmu, dan diskusi diantara dosen dengan dosen atau dosen dengan mahasiswa yang sangat hatihati dengan “isu sensitif” seperti pluralisme agama. Ahmad Muttaqin misalnya, Ketua Program Studi PA UIN Yogyakarta, menyatakan bahwa sikap kehati-hatian para dosen PA dalam mendiskusikan isu pluralisme agama dengan mahasiswa adalah sangat penting, mengingat mahasiswa yang diajar adalah program S-1 yang dianggap belum memiliki “modal yang kuat” tentang keislaman. Dosen perlu “mengarahkan” para mahasiswa untuk tidak menelan secara bulat diskursus mengenai pluralisme agama seperti yang dipahami di Barat. Sikap “kehati-hatian” dan “pengarahan” para dosen di UIN Yogyakarta sesungguhnya “satu bingkai” dengan semangat dan rumusan Mukti Ali mengenai studi PA dalam konteks perguruan tinggi Islam yang tetap harus berpegang kepada misi keislaman.383 Saya kira sebagian insan akademik PA UIN Jakarta juga memiliki pandangan dan sikap serupa.

Dr. Media Zainul Bahri

369

Menurut Djam’annuri, Mukti Ali tidak mau berkompromi soal akidah, dan Djam’annuri memberi penekanan bahwa mungkin— sekali lagi mungkin—Mukti Ali tidak mengakui adanya keselamatan pada agama lain. Jika pluralisme agama berarti bahwa “semua agama sederajat” atau “semua agama sama,” maka menurut Djam’annuri, Mukti Ali tidak pernah menganut paham itu. Djam’annuri merujuk kepada pidato Mukti Ali di Gedung Wanita Yogyakarta pada 1993 yang menyatakan bahwa “Islam adalah satu-satunya jalan yang benar menuju Tuhan. Adalah keliru jika orang mengatakan bahwa semua agama adalah sama, sama kelirunya dengan mengatakan bahwa putih sama dengan hitam.”384 Menurut Muttaqin, boleh jadi banyak alumni PA Yogyakarta yang menganut paham pluralisme agama—sebagai konsekuensi dari “output” mata kuliah-mata kuliah keahlian atau persentuhan mereka dengan dunia yang lebih luas, tetapi kebijakan lembaga tetap dalam semangat Mukti Ali di atas. Di kalangan dosen pun hanya satu atau beberapa (dari sekian banyak) yang benar-benar menganut paham itu. Dalam melihat kebijakan lembaga dan dinamika para insan akademik PA di Yogyakarta, Muttaqin membuat tamsil yang tepat, yaitu “eksklusif (atau mungkin inklusif) dalam hal teologi, tetapi pluralis dalam ranah sosial.”385 Saya kira gambaran di Yogyakarta itu relatif sama dengan apa yang terjadi di UIN Jakarta. Meski demikian, terdapat dinamika pemikiran dan perdebatan yang cukup menarik di internal dosen dan mahasiswa, walaupun secara kelembagaan, Jurusan Perbandingan Agama tetap bersikap “hati-hati” dalam “membina” para mahasiswa ketika mendialogkan pergumulan Islam dengan agamaagama lain. Namun, dengan membaca silabus yang dirancang dan output-nya, tak dapat dipungkiri bahwa terdapat beberapa dosen, alumni dan mahasiswa yang “menganut” paham pluralisme agama, dalam pengertian pada ranah pemikiran dan penghayatan tentang keniscayaan keselamatan pada agama-agama non-Islam. Saya kira Kautsar Azhari Noer adalah salah satu “mahaguru” yang secara eksplisit menganut dan menghayati doktrin pluralisme agama itu seba370

Wajah Studi Agama-Agama

gai konsekuensinya mendalami sufisme Ibn Arabi, mistik agamaagama dan passing over. Ia adalah seorang “sufi” yang kukuh membela kebebasan beragama sembari tetap mempromosikan semua umat beragama untuk mendalami “jantung” atau yang inti (esoterik) dari agama masing-masing, dan tidak hanya berhenti pada aspek syariat (eksoterik) semata. Dalam rentang lebih dari satu dasawarsa di penghujung era Orde Baru inilah, isu pluralisme agama menjadi semacam “brand” (merek) studi PA bersamaan dengan isu-isu lain beserta dengan metodologinya yang menjadikan studi ini tampil dalam wajah yang baru.

Dr. Media Zainul Bahri

371

BAB VI STUDI PERBANDINGAN AGAMA DI ERA REFORMASI (1998-2014)

A. Polemik Pergantian Nama Nama “Perbandingan Agama” tetap digunakan di UIN Yogyakarta dan Jakarta dan IAIN lain semisal IAIN Walisongo Semarang dan UIN Bandung. Sebenarnya, di kalangan dosen-dosen muda UIN Yogyakarta dan Jakarta di masa Reformasi—terutama masa-masa di atas tahun 2000-an, terdapat keinginan yang kuat untuk mengganti nama Jurusan atau Program Studi menjadi religious studies seperti yang ada di Barat atau dalam istilah Indonesia menjadi “Studi-Studi Agama” atau “Studi Agama-Agama.” Nama yang terakhir itu yang ramai diperbincangkan sebagai ganti dari nama yang lama. Menurut Ahmad Muttaqin, beberapa “suara” generasi muda UIN Yogyakarta yang menghendaki perubahan nama memiliki alasan pokok misalnya nama Perbandingan Agama di masa reformasi (demokrasi terbuka) terlalu “sensitif.” Di masa ketika menguatnya fundamentalisme agama, istilah Perbandingan Agama selalu menjadi sasaran/hantaman keras kaum Islamis yang menganggap program studi itu “berbahaya.”1 Dari prospek lapangan pekerjaan, sarjana Perbandingan Agama juga sulit bersaing karena nama Perbandingan Agama kurang layak jual (marketable).2 Alasan pokok lain menurut Muttaqin, adalah bahwa ilmu PA di masa Orde Baru belum memiliki epistemologi yang mapan. Saat itu, studi PA lebih mengarah ke aktivisme dibanding Dr. Media Zainul Bahri

389

kegiatan akademik atau pengembangan keilmuan. Sedangkan saat ini, ilmu PA telah berkembang pesat, baik dari sisi metodologis maupun dari aspek materi-materinya.3 Namun, sebagian besar generasi tua tidak setuju dengan perubahan nama. Menurut Muttaqin, beberapa dosen senior mengkhawatirkan perubahan SK mengajar atau Sertifikat Profesi yang selama ini secara mapan telah tercantum “Dalam Bidang Ilmu Perbandingan Agama.” Perubahan SK Profesi Dosen dari Perbandingan Agama ke Studi Agama-Agama bukan perkara mudah. Menurut Djam’annuri, penolakan atas perubahan nama, termasuk penolakan dirinya, setidaknya memiliki tiga alasan pokok: pertama, alasan historis. Nama Perbandingan Agama memiliki sejarah yang panjang baik di Barat, di Timur Tengah dan di Indonesia sendiri. Nama itu sudah begitu akrab di kalangan akademisi Studi Agama karena akar yang kuat dan proses yang panjang. Kedua, alasan akademik. Nama Perbandingan Agama (Comparative Religion) masih digunakan di banyak universitas di seluruh dunia. Ketiga, inti (core) Comparative Religion adalah tetap pada posisinya yaitu mempelajari agama-agama yang bukan agama sendiri. Fakta itu masih tetap dijalankan di program studi PA, setidaknya di dua UIN yang besar, yakni UIN Yogyakarta dan Jakarta.4 Di UIN Jakarta, Ismatu Ropi, dosen (generasi) muda Perbandingan Agama, memiliki perspektif yang kritis menyangkut “dunia comparative religion” dan “dunia religious studies.” Menurutnya, Studi Agama dapat dilihat dalam tiga perspektif pokok. Pertama, apa yang disebut sebagai theological studies, yakni studi agama yang membahas elemen-elemen tertentu dari satu agama tertentu. Studi teologis, yang berumur sangat tua yang juga disebut “Queen of the Sciences”—terus mengalami perkembangan terutama pada masyarakat yang sedang bergairah dalam beragama. Kedua, comparative religion, yakni elemen-elemen satu agama tertentu—seperti yang ada pada theological studies—dibandingkan dengan elemen agama lain. Namun, yang sering terjadi, perbandingan itu dilakukan dari sudut pandang “agama besar,” atau dari satu perspektif “agama 390

Wajah Studi Agama-Agama

tertentu” ketika melihat agama-agama lain. Perspektif ini pernah lama mendominasi kajian comparative religion di dunia Kristen Barat. Model studi ini bersifat preskriptif, dalam pengertian harus ada elemen-elemen tertentu sebagai “alat” untuk mengukur agama lain.5 Perguruan tinggi Islam Indonesia—sejak dulu sampai kini— terjebak memakai model preskriptif ini. Misalnya, ketika membuat ciri-ciri agama, maka harus ada konsep tuhan, kitab suci, nabi/utusan tuhan, aturan kewajiban dan larangan. Ciri-ciri ini selalu dipakai ketika akan menentukan apakah sebuah keyakinan layak disebut agama atau tidak. Cara pandang “mengukur” bahkan “menilai” keyakinan orang lain biasanya adalah ciri khas dari comparative religion. Hal paling “buruk” yang akhirnya terjadi adalah ingin menunjukkan superioritas agama tertentu atas agama lain. Meskipun tidak selalu akhirnya berujung seperti itu.6 Ketiga, religious studies. Menurut Ismet—panggilan akrabnya, jika dibandingkan dengan Religionwissenschaft atau science of religion yang dulu digagas Max Müller, istilah dan pengertian religious studies sesungguhnya memiliki kemiripan dan semangat yang sama. Perbedaan pokoknya adalah bahwa dalam Religionwissenschaft saat itu agama dilihat (diletakkan) dalam satu perspektif, misalnya melihat agama hanya dalam perspektif sosiologis, atau hanya fenomenologis, atau hanya teologis. Sementara pada religious studies agama dapat dibaca dalam beberapa perspektif sekaligus. Satu komunitas agama misalnya, dapat didekati melalui sejarah komunitas itu (historis), penghayatan/pengalaman keagamaan mereka (psikologis), interaksi sosial-keagamaan mereka (sosiologis) dengan komunitas lain, prosesi ritus dan cara pemaknaan mereka atas simbol-simbol keagamaan (antropologis) dan lain-lain.7 Hal yang paling menonjol dari religious studies adalah bahwa setiap fenomena keagamaan diperlakukan sama. Misalnya konsep tentang Tuhan. Ia tidak dilihat sebagai apakah konsep ketuhanan itu monoteis, politeis, atau henoteis yang diletakkan dalam cara pandang tertentu, tetapi lebih dilihat nilai (value) dan maknanya (meaning) bagi pemeluknya dan bagaimana pengalaman ketuhanan Dr. Media Zainul Bahri

391

itu dihayati. Jika pada comparative religion, ciri yang menonjol adalah sifatnya yang preskriptif, maka watak utama religious studies adalah deskriptif, dalam pengertian bagaimana elemen-elemen keagamaan dideskripsikan sebagai hal bermakna bagi penghayatnya. Deskriptif biasanya dimaknai sebagai “suatu penjelasan tentang fenomena yang bisa diukur.” Padahal, dalam religious studies, yang dikehendaki pada studi deskriptif adalah penjelasan tentang meaning (numena), disamping yang fenomen itu.8 Dengan watak utamanya pada deskripsi, religious studies lebih cenderung kepada tema-tema seperti Tuhan, Kitab Suci, Reinkarnasi, Manusia Suci (Santo) dan lain-lain. Soal Kitab Suci misalnya. Dalam religious studies, tidak penting apakah kitab suci itu diwahyukan, diinspirasikan dari langit, atau diciptakan oleh kultur tempat kitab itu lahir, tetapi lebih melihat kitab suci sebagai titik sentral bagi komunitas agama tertentu dan bagaimana kitab suci itu berpengaruh terhadap hidup keseharian mereka. Soal utusan Tuhan atau nabi misalnya. Bagi religious studies tidak penting apakah nabi itu harus mendapat wahyu dari tuhan atau tidak, harus memiliki mukjizat atau tidak, tetapi yang paling penting adalah bagaimana makna nabi atau orang suci dalam komunitas tertentu, bagaimana nabi itu memiliki pengaruh dan posisi yang khusus pada sebuah komunitas. 9 Menurut Ismet, dalam comparative religion, aspek-aspek tertentu dari kitab suci, nabi atau liturgi diperbandingkan antara satu agama dengan agama lain: menyangkut sejarahnya, asal-usul, dan doktrin pokoknya, tetapi nilai dan makna tema-tema itu tidak dieksplorasi secara memadai seperti apa yang dilakukan oleh religious studies. Sebenarnya, comparative religion mau mencari yang esensi, namun sering kali terjebak pada “ukuran” atau “nilai” yang digunakan. Contoh yang lain adalah konsep mengenai spiritualitas. Spiritualitas satu agama dibandingkan dengan spiritualitas agama lain dan dicoba untuk dicari esensi dan makna spiritualitas kedua agama yang dibandingkan. Akan tetapi, dalam comparative religion, biasanya harus ada satu model spiritualitas yang dijadikan “ukuran.” 392

Wajah Studi Agama-Agama

Dalam comparative religion, selalu harus ada “ukuran”—disadari atau tidak.10 Jika dikaji secara mendalam, sesungguhnya tidak ada elemen dalam agama-agama yang bisa benar-benar dibandingkan secara tepat, adil, dan objektif karena masing-masing pandangan, penghayatan dan pengalaman keagamaan tidak bisa “disama-samakan” atau “dibeda-bedakan” secara head to head dan secara pasti (empiris). Misalnya konsep Allah dalam Islam, Trinitas dalam Kristen, dan Trimurti dalam Hindu. Dengan “cara pandang” dan “pengalaman keagamaan” yang subjektif dan kompleks dari para pemeluknya, apakah mungkin membandingkan secara objektif konsep tuhan dalam tiga agama tersebut? Jangankan tiga agama, dalam Islam-pun, pandangan dan pengalaman ketuhanan antara seorang Muslim dengan Muslim yang lain akan sulit dibuat komparasi yang benar-benar tepat dan adil.11 Dengan penjelasan di atas, Ismet seperti ingin menegaskan bahwa model yang paling ideal untuk Studi Agama-Agama adalah model religious studies. Selain memenuhi kriteria yang “obyektif” atau “ilmiah,” model ini juga bersifat humanis, dalam arti mampu menjelaskan fenomena dan numena keagamaan seperti yang benarbenar dihayati oleh pemeluknya, tanpa ada ukuran, nilai atau perspektif dari (agama) yang besar terhadap yang kecil (minor) atau dari (agama) yang mayoritas terhadap yang minoritas. Jika ingin berbicara tentang Studi Agama secara ketat, model comparative religion dengan beberapa eksesnya yang negatif sesungguhnya tidak bisa dipertahankan lagi. Bahkan nama “Perbandingan Agama”— pun yang lebih bernada pejoratif sebenarnya tidak bisa dipakai lagi. Menurut Ismet, ilustrasi menarik tentang bagaimana keinginan comparative religion mendeskripsikan fenomena keagamaan sekaligus value dan meaning yang dihayati pemeluk agama tertentu sebagai pengalaman personal yang subjektif adalah teori tentang Ikan Mas (golden fish) ala Wilfred Cantwell Smith. Menurut Smith, para peneliti berdiri di depan akuarium kecil yang berisi ikan mas. Yang satu fokus kepada matanya, yang lain kepada mukanya, yang lain Dr. Media Zainul Bahri

393

lagi kepada badannya, yang lain lagi kepada ekornya dan begitu seterusnya. Menurut Smith, semua penjelasan mereka tentang ikan mas (mata, muka, badan, ekor) adalah benar. Namun, yang tidak bisa mereka jelaskan adalah “bagaimana rasanya menjadi ikan mas?” Model comparative religion dan pendekatan-pendekatan studi ilmiah agama yang lain sering kali berpuas diri pada penjelasan-penjelasan “dari luar” yang tidak menyentuh esensi keberagamaan. Menurut Ismet, religious studies adalah usaha yang serius dan menarik tentang mendeskripsikan bagaimana “rasanya menjadi ikan mas;” bagaimana memahami agama sebagai tindakan yang bermakna bagi pemeluknya, atau bagaimana agama berfungsi dalam hidup mereka.12 Namun, menurut Ismet lebih lanjut, model religious studies masih sangat sulit dilakukan di UIN atau IAIN di tanah air. Religious studies murni hanya bisa berkembang di negara-negara sekuler karena model ini mengasumsikan bahwa negara tidak mengakui atau tidak mengistimewakan satu atau beberapa tradisi agama tertentu. Juga, insan akademik model ini—para dosen, peneliti dan mahasiswa—tidak mesti terlibat dalam (menganut) agama tertentu, atau tidak beragama sama sekali, karena yang terpenting adalah aktivitas studi yang objektif berdasarkan kaidah-kaidah religious studies. Dalam pengertian inilah, UIN dan IAIN tidak bisa mengembangkan religious studies murni seperti yang dilakukan di negerinegeri Barat.13 Meski demikian, bagi Ismet, keberadaan program studi PA di UIN dan IAIN, dilihat dari perspektif lain yang lebih positif, adalah sebuah kemajuan bagi Studi Agama di Indonesia. Di negeri ini, pendidikan agama, baik di sekolah menengah-atas (SMP-SMU) maupun di perguruan tinggi, dilakukan dengan cara confesionalize class room, yakni belajar/mendalami agama tertentu bagi siswa/mahasiswa pemeluk agama itu untuk memperkuat keyakinan siswa/ mahasiswa dengan pendekatan yang sangat teologis dan tidak melibatkan siswa/mahasiswa pemeluk agama lain.14 Pada saat mata pelajaran/kuliah agama Kristen, yang beragama Kristen mengikuti ma394

Wajah Studi Agama-Agama

teri itu hanya bersama teman-temannya yang Kristen. Begitu pula materi Islam bagi Muslim, Hindu bagi pemeluk Hindu dan seterusnya. Agama masing-masing dipelajari masing-masing tanpa melibatkan pemeluk agama yang berbeda. Dalam konteks demikian, adalah sebuah kemajuan bagi UIN dan IAIN yang mengembangkan program studi PA, yakni belajar agama-agama bersama-sama dengan penganut beragam agama. Pada keseluruhan kegiatan perkuliahan studi PA, mahasiswa Muslim sesungguhnya tidak hanya belajar agama-agama non-Islam dari para dosen yang Muslim, namun juga berinteraksi dengan pengajar dan mahasiswa non-Muslim untuk bersama-sama mendalami kajian agama yang bukan agama mereka sendiri. Tidak hanya perjumpaan yang terjadi, namun juga berbagi (sharing) pandangan dan pengalaman. Menurut Ismet, meskipun tidak semua orang nyaman dengan model comparative religion, tetapi apa yang dilakukan oleh PA di UIN adalah keadaan yang sangat maju untuk ukuran negara yang menganut confesionalize class room.15 Dalam konteks perguruan tinggi Islam Indonesia, Ismet menawarkan model-model mata kuliah PA yang relevan dengan keislaman dan keindonesiaan. Pertama, mata kuliah ke-Ushuludin-an diperkuat. Misalnya subjek Ilmu Kalam, Filsafat Islam dan Tasawuf diajarkan secara mendalam, sehingga sarjana PA kelak tetap memiliki akar keislaman. Tiga materi di atas juga memiliki keterkaitan erat dengan materi-materi pokok agama-agama. Akan tetapi, subjek keislaman yang lain seperti ilmu hadis, tafsir, fikih dan ushul fikih tidak perlu diajarkan kepada mahasiswa PA karena tidak relevan atau tidak terkait langsung dengan penguatan tradisi keilmuan PA. Kedua, tema mengenai sejarah agama-agama atau agama-agama dunia diperkuat untuk bekal memasuki tema-tema pokok PA. Topik sejarah agama-agama harus kembali diajarkan pada program studi PA UIN Jakarta , yang dalam dua dasawarsa terakhir hanya diajarkan kepada mahasiswa program studi non-PA. Ketiga, materimateri mata kuliah keahlian harus diarahkan kepada tiga hal pokok: (1) agama-agama yang hidup di Indonesia. Karena itu harus tetap Dr. Media Zainul Bahri

395

dipertahankan mata kuliah seperti Hindu dan Buddha di Indonesia, Islam di Indonesia, Kristen di Indonesia, Konghucu di Indonesia, Agama-Agama Lokal, dan Aliran Kepercayaan, (2) topik tematema Perbandingan Agama dibuat mata kuliah sendiri-sendiri, misalnya Tuhan Dalam Agama-Agama, Kitab Suci Agama-Agama, Utusan Tuhan Dalam Agama-Agama, Eskatologi Dalam AgamaAgama dan seterusnya, (3) dibuat mata kuliah keterampilan, misalnya Agama dan Resolusi Konflik, Dialog Antar-agama, Strategi Penanganan Konflik dan hal-hal semacam itu.16 Dengan kerangka tiga tema besar di atas, maka dalam bayangan Ismet, sarjana PA kelak adalah mereka yang memiliki akar keislaman (karena lahir dari institusi Islam), memiliki keahlian dalam Studi Agama-Agama dan memiliki keterampilan pada wilayah agama dan problem-problem sosial. Harus diakui, pada program S-1 tidak mungkin diharapkan output (sarjana) yang benar-benar ahli dan terampil dalam Studi Agama-Agama atau dalam hal agama dan problem sosial. Sulit mencetak sarjana S-1 menjadi para ahli (expert) dalam pengertian yang sesungguhnya. Namun, Silabus/ mata kuliah yang dibuat harus dirancang untuk—minimal—”membekali” mahasiswa ke arah tiga perspektif di atas, sehingga mereka memiliki “imajinasi” dalam hal-hal yang bersifat teoretis dan praktis.17 Bekal itu dapat sangat bermanfaat, apakah untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi atau untuk bekerja. Berbeda dengan Ismet, Kautsar Azhari Noer, generasi tua studi PA UIN Jakarta memandang bahwa nama Perbandingan Agama masih relevan untuk dipertahankan. Kautsar senada dengan Djam’annuri menyatakan bahwa nama PA memiliki akar historis yang panjang. Karena itu, dalam area akademik, nama itu juga masih dipakai di banyak perguruan tinggi di seluruh dunia. Kautsar konsisten dengan keyakinannya bahwa kajian inti (core) PA adalah doktrin-doktrin teologis dan praktik keberagamaan (pada agama-agama), bahkan lebih tinggi lagi, yakni pemikiran dan pengalaman spiritual. Inilah ruh agama-agama. Kautsar menunjuk satu contoh buku tentang World Spirituality yang berisi studi perbandingan 396

Wajah Studi Agama-Agama

tentang aspek-aspek mistik pada agama-agama sebagai model ideal kajian inti studi PA. Begitu pula buku karya Toshihiko Izutsu, Sufism and Taoism, menurut Kautsar adalah salah satu buku terbaik tentang PA. 18 Menurut Kautsar, penekanan yang kuat pada aspek pemikiran, tepatnya pemikiran teologis dan spiritualitas pada PA sangat relevan dengan core Ushuluddin yang juga fokus pada aspek pemikiran. Bagi Kautsar, aspek pemikiran bukanlah pemikiran biasa, tetapi pemikiran yang mencerahkan, yang mampu mengubah pola pikir (mindset) manusia beragama. Kautsar sangat setuju dengan adagium yang menyatakan “Jika mau mengubah manusia, ubahlah pemikirannya.” Kautsar menceritakan ketika ia menjadi salah satu pemakalah dalam sebuah simposium internasional di Oxford, Inggris, yang diadakan oleh Ibn Arabi Society, seorang sarjana agama mengatakan bahwa “Ibn Arabi’s thought changes my life.” Menurut Kautsar, tema spiritualitas tetap menarik bukan semata tema abadi yang masih ramai dikonsumsi banyak kaum beragama, namun juga mampu mengubah cara berpikir manusia. Dalam konteks ini menurut Kautsar, studi PA bukanlah aktivitas “membanding-bandingkan” semata, tetapi perbandingan yang mampu mengubah mindset umat beragama, bahkan bisa memperkaya pengalaman spiritual mereka, seperti yang terjadi pada passing over.19 Kautsar sesungguhnya dapat memahami area studi pada religious studies dan pendekatan-pendekatannya yang berkembang selama ini. Namun, ia melihat pendekatan-pendekatan pada religious studies lebih fokus pada ilmu-ilmu sosial, yang dalam konteks materi dan pendekatan ilmu PA, hal itu akan tumpang tindih dengan disiplin ilmu-ilmu sosial. Karena itu, Kautsar tidak setuju jika titik tekan pendekatan ilmu-ilmu sosial adalah bagian dari core PA. Menurutnya, jika suatu kajian yang penekanannya pada pendekatan ilmu-ilmu sosial, meskipun objeknya agama, maka hal itu lebih cocok di program studi ilmu sosial, bukan di PA. Menurut Kautsar, jika di UIN ada perdebatan apakah sosiologi agama atau antropologi agama bagian dari ilmu sosial atau religious studies, maka ilmu itu Dr. Media Zainul Bahri

397

Religions, Inter-Religious Dialogue: theories and practices, Violence and Peace in Religions, Inter-Religious Study of Mysticism, dan Special Topics in Inter-Religious Relation.50 Dalam Religion and Local Culture, tentu saja yang didiskusikan adalah soal agama dan kebudayaan lokal Nusantara, konversi para penganut agama lokal kepada salah satu agama besar (formal) di Indonesia atau sebaliknya, dan lain-lain. Dalam kluster ini juga terdapat lima (5) mata kuliah: Indigenous Religion, World Religion and Local Culture, Art Religion and Spirituality, Religion and Environment, dan Special Topics in Religions and Local Culture.51 Dalam Religion and Contemporary Issues, didiskusikan soal perjumpaan agama dengan isu-isu yang hangat dan berkembang, baik isu-isu pada level lokal maupun isu pada tingkat dunia. Dalam mendiskusikan Agama dan Isu-Isu Kontemporer, dibutuhkan dua keahlian (wawasan), yaitu penguasaan atas teori-teori sosial (social theories) dan etika-sosial keagamaan atau agama dalam dimensi etika dan sosialnya (religious social ethics). Dalam kluster ini, terdapat enam (6) mata kuliah pokok, yaitu Religion, State, and Civil Society, Religion and Gender, Religion, Science, and Technology, Religious Education, Religion and Human Rights, dan Special Topics in Religion and Contemporary Issues.52 Dengan melihat penjelasan Ancu dan mata kuliah-mata kuliah yang diajarkan, tampak jelas bahwa model religious studies di CRCS adalah model yang saat ini dikembangkan di Barat. Inilah model deskriptif, bukan preskriptif, dan lebih fokus kepada tema-tema keagamaan dan sosial keagamaan yang sedang aktual diperbincangkan. Dalam mendiskusikan World Religions, misalnya Buddhisme, tentu saja itu adalah satu agama yang kompleks dan panjang sejarahnya. Tetapi CRCS hanya memilih topik-topik tertentu yang bisa dihubungkan atau diperbandingkan dengan agama lain. Ketika mendiskusikan sejarah agama tertentu misalnya, dosen yang ahli dalam bidang ini juga mengajak para mahasiswanya untuk melihat secara luas konteks sosial, budaya dan politik agama yang dikaji.

414

Wajah Studi Agama-Agama

Dalam menjaga kualitas mata kuliah menurut Ancu, kurikulum CRCS di review setiap dua tahun. Kurikulum dibuat oleh komite akademik yang terdiri atas dosen dari dalam dan ahli dari luar.53 Hal ini sedikit berbeda dengan kurikulum PA di UIN dan IAIN yang hanya dirumuskan oleh konsorsium, yaitu dosen-dosen ahli dari dalam saja dan dapat direview kapan saja sesuai dengan kebutuhan/aspirasi dosen-dosen Jurusan PA. Pembuatan kurikulum CRCS adalah gabungan dari model yang berkembang di Barat dengan di Indonesia. Dengan gabungan itu, tampak pula bahwa CRCS memiliki perhatian serius terhadap kajian akademik mengenai agama-agama di Indonesia, baik agama-agama resmi maupun praktik dan kepercayaan lokal, dan fenomena kehidupan keagamaan di tanah air. Dari kajian ini sesungguhnya akan lahir teori dan model kajian mengenai agama-agama di Nusantara; suatu model khas yang tidak ada di Barat, di Timur Tengah, atau di tempat lain di Asia Tenggara. Selain fokus pada pengembangan akademik, CRCS juga concern berpihak pada kerukunan dan pluralisme. Bukti konkretnya adalah membuat laporan tahunan kehidupan beragama di Indonesia (tahun 2014 adalah tahun ke-6 pembuatan laporan itu). Juga membuat monograf, yaitu hasil penelitian CRCS yang bekerja sama dengan LSM-LSM lokal seperti di Bali, Jakarta, Yogyakarta, Kalimantan dan Papua. Konsep akademik CRCS atau posisi CRCS dalam mendefinisikan pluralisme tertuang dalam buku berjudul Pluralisme Kewargaan, Arus Balik Politik Keragaman di Indonesia (Mizan, 2011). Bagi CRCS apa yang dimaksud pluralisme adalah pluralisme kewargaan. Kerja sama CRCS dengan beberapa aktivis dan lembaga penggiat pluralisme di Jakarta dan Yogyakarta menghasilkan buku seperti Kontroversi Gereja di Jakarta (Yogyakarta: CRCS, 2011), Mengelola Keragaman dan Kebebasan Beragama: Sejarah, Teori dan Advokasi (Yogyakarta: CRCS, 2014). Pihak CRCS juga bekerja sama dengan peneliti tamu, Agus Indiyanto sehingga melahirkan buku berjudul Agama di Indonesia dalam Angka: Dinamika Demografis Berdasarkan Sensus Penduduk Tahun 2000 dan 2010 (YogDr. Media Zainul Bahri

415

yakarta: CRCS, 2013). Kerja sama CRCS dengan aktivis dan LSM di Kalimantan Tengah menghasilkan buku Badingsanak BanjarDayak: Identitas Agama dan Ekonomi Etnisitas di Kalimantan Selatan (Yogyakarta: CRCS, 2011). Dengan aktivis di Bali menghasilkan buku Bulan Sabit Di Pulau Dewata: Jejak Kampung Islam KusambaBali (Yogyakarta: CRCS, 2012). Dengan LSM di Yogyakarta melahirkan buku Politik Ruang Publik Sekolah: Negosiasi dan Resistensi di SMUN di Yogyakarta (Yogyakarta: CRCS, 2011), dan lain-lain. Meski demikian menurut Najiah Martiam, Staf Public Education CRCS, CRCS tidak masuk terlalu jauh seperti apa yang dilakukan oleh LSM. Misalnya, CRCS tidak melakukan advokasi langsung di lapangan seperti halnya LSM. Fokus CRCS tetap pada penguatan akademik, dan peran mediator/fasilitator atas pertemuan-pertemuan penting menyangkut kerukunan.54 Berbagai macam kerja penguatan akademik CRCS seperti penelitian, pembuatan monograf, laporan tahunan kehidupan beragama, kerja sama dengan banyak pihak dan mengadakan Sekolah Pengelolaan Kerukunan (SPK), yaitu pelatihan gratis bagi para aktivis LSM selama 10 hari untuk memperkuat wawasan akademik mengenai kerukunan dan pluralisme, adalah bagian dari proyek besar CRCS, yaitu apa yang disebut Pluralism Knowledge Programme (PKP).55 Memang, program CRCS (S-2) tidak bisa dibandingkan dengan program Perbandingan Agama S-1 di UIN dan IAIN. Titik tekan program S-1 lebih pada hal-hal mendasar seperti sejarah dan ajaran agama-agama secara umum, yang dalam banyak hal bersifat “pendahuluan.” Meskipun telah ada tema-tema khusus, misalnya topik tentang catur ariya satyani dan tumimbal lahir, namun hal itu masuk dalam mata kuliah Agama Buddha, bukan subjek khusus tentang kedua topik itu. Begitu pula, beban mata kuliah S-1 yang masih terlalu “gemuk,” dan—dalam kasus Perbandingan Agama UIN Jakarta—minimnya penguatan materi dan aplikasi ilmu-ilmu sosial pada program studi, membuat hal itu masih jauh “panggang dari api.” Jika pada program S-2, pada kasus CRCS misalnya, lebih banyak aspek “pendalaman” dan penalaran kritis atas topik-topik 416

Wajah Studi Agama-Agama

khusus yang dijadikan mata kuliah sendiri-sendiri, maka pada program S-1, sekali lagi, tak lebih dari sebuah “pengantar umum” atau “pendahuluan” yang dapat menjadi modal pokok untuk melanjutkan ke jenjang studi S-2 atau bekerja pada lembaga-lembaga (amatir dan profesional) yang concern dengan kerukunan, pluralisme dan hubungan antaragama. Adanya kenyataan bahwa aktivitas studi Perbandingan Agama yang dilakukan di Perguruan Tinggi Islam, yang tentu saja tidak akan “netral” dan terjadi banyak bias, juga menjadi problem tersendiri dalam hal pengembangan keilmuan Perbandingan Agama. Bagaimanapun, pengetahuan mengenai model CRCS sebagai lembaga formal-akademik yang boleh disebut sebagai ‘institusi ideal’ dalam hal religious studies kiranya dapat memperkaya perspektif para akademisi dan mahasiswa Perbandingan Agama program S-1 di UIN dan IAIN.

E. Masa Depan Studi Perbandingan Agama Melalui pergulatan sejarahnya yang panjang, kita telah melihat bahwa studi PA—dalam banyak hal—telah bertransformasi ke arah Studi Agama-Agama (religious studies) sebagai hasil adaptasi atas perkembangan isu-isu keagamaan dan perkembangan pendekatanpendekatan ilmiah. Melihat perubahan karakteristik itu—sebagai sesuatu yang tak bisa dihindari—maka studi PA sesungguhnya masih memiliki masa depan yang prospektif. Dinamika kehidupan keagamaan yang semakin kompleks tidak semata membuat agama makin digandrungi dan dipelajari, melainkan pula makin merangsang munculnya isu-isu dan pendekatan baru dalam Studi Agama. Problem-problem seperti menguatnya fundamentalisme agama, kerinduan akan kehangatan spiritual, kemunculan agama-agama baru dan Gerakan Keagamaan Baru (new religious movement), keberagamaan kaum difabel, konflik sosial antar pemeluk agama, hubungan antaragama, regulasi negara terhadap agama, kepadatan penduduk, hubungan agama dan sains, pemanasan global, konservasi hutan dan laut, dan demokrasi di antara yang prosedural dan Dr. Media Zainul Bahri

417

yang substansial, menuntut kajian agama untuk melahirkan satu perspektif yang dapat mencerahkan para pemeluk agama di satu sisi, dan mengembangkan keilmuan Studi Agama di sisi lain. Untuk topik-topik kontemporer seperti itu studi PA sudah tidak memadai lagi. Akan tetapi, untuk pergulatan teologi dan spiritualitas yang akan terus berlangsung, kajian PA tetap aktual. Masing-masing dapat memainkan perannya yang kontributif. Dalam lingkungan institusi Islam atau pendidikan tinggi Islam, selalu muncul pertanyaan, apakah bisa studi PA dan religious studies menjadi kajian yang benar-benar ilmiah, tanpa kepentingan dakwah di dalamnya? Untuk menjawabnya secara tuntas, kita perlu melihat perbedaan fundamental antara studi PA di dunia Islam dengan religious studies yang berkembang di Barat. Religious studies yang berkembang di Barat, terutama di Amerika, Kanada dan Eropa adalah berada di negara-negara sekuler yang tidak memprioritaskan agama tertentu atau tidak mengakui adanya agama yang resmi dan tidak resmi. Studi Agama juga dilakukan “with a value free orientation.” Disiplin ilmu hanya mengejar objektivitas. Orang-orang yang terlibat dengan studi adalah orang-orang yang tidak “terlibat” dengan agama tertentu; orang-orang netral yang memiliki kebebasan untuk menguji, mengkritik, dan mengeksplorasi agama berdasarkan kaidah-kaidah studi ilmiah agama yang empiris.56 Sementara studi PA atau Studi Agama-Agama yang berlangsung di pendidikan tinggi Islam Indonesia adalah kajian yang harus berhadapan dengan negara yang mengakui beberapa agama resmi. Mahasiswa, dosen dan peneliti yang terlibat didalamnya adalah “kaum beriman” yang terikat (involve) dengan agama tertentu. Sulit untuk melepaskan diri dari cengkeraman subjektivitas. Namun demikian—seperti telah dikemukakan di atas, transformasi studi PA ke religious studies dengan mengikuti perkembangan keilmuan dan isu-isu keagamaan kontemporer seperti yang berkembang di Barat, dapat dilakukan dengan baik. Hal itu berarti keislaman atau terlibat menjadi Muslim tidak menghalangi seseorang untuk bersikap ilmiah. Para akademisi Muslim dapat membedakan antara keyakinan 418

Wajah Studi Agama-Agama

keagamaannya dengan kerja ilmiah profesional. Islam sendiri— dalam penafsirannya yang progresif—sesungguhnya sejalan dengan semangat mencari kebenaran sebagai bagian dari kerja ilmiah. Meski demikian, Jacques Waardenburg membuat catatan penting yang harus diingat oleh para akademisi Muslim yang ingin mengembangkan Studi Agama-Agama di dunia Islam. Menurutnya, terdapat dua problem penting dalam mengembangkan Studi Agama-Agama di dunia Islam. Pertama, problem adanya adagium bahwa Islam adalah agama yang paling benar dan terakhir. Menurut Waardenburg, terlepas dari apakah pandangan ini benar atau tidak, model pandangan teologi itu tidak bisa dimasukkan dalam studi kesarjanaan empiris. Mengenai pertanyaan tentang “kebenaran mutlak” agama-agama, Studi Agama yang berkembang di Barat biasanya meletakkan pertanyaan itu dalam “dua tanda kurung” (brackets, epoche). Hal itu mengasumsikan bahwa ilmu pengetahuan tidak bisa menjawab pertanyaan itu, tetapi meletakkannya dalam suatu perspektif. Pertanyaan itu terletak pada wilayah iman, bukan studi empiris agama-agama. Pertanyaan dan pernyataan itu juga akan membuyarkan konsentrasi tentang kenyataan dan fakta bahwa terdapat juga para pemeluk agama-agama lain “yang absah” selain Islam, Kristen atau Buddha. Fokus studi agama-agama adalah tentang para pemeluk agama-agama itu dan tentang agama mereka. Sekali lagi, pertanyaan itu terletak pada wilayah iman, bukan pada studi empiris agama-agama.57 Problem kedua, adalah adanya kenyataan bahwa Islam, dalam beberapa dekade terakhir, semakin terus menguat menjadi ideologi dan praktik politik. Lebih meningkat dibandingkan dengan Kristen atau agama Buddha. Kenyataan lain, ideologisasi dan politisasi Islam juga heterogen. Jika gereja Kristen atau kelompok-kelompok Kristen misalnya memiliki interpretasi “resmi” tentang kekristenan, maka hal itu berbeda dengan Islam. Terdapat banyak kelompok, gerakan dan negeri-negeri Muslim yang memiliki interpretasi masing-masing tentang Islam. Karena itu, sulit untuk membuat studi yang adil atau yang tidak penuh prasangka pada orientasi-orientasi Dr. Media Zainul Bahri

419

yang berbeda itu di dalam satu kebudayaan dan keislaman.58 Meski demikian, sikap-sikap ideologis dan politis pada Muslim dan Kristen misalnya, bukan berarti tanpa manfaat. Sikap-sikap itu ternyata memiliki relevansi bagi studi lintas kebudayaan dan agama. Dalam 50 tahun terakhir misalnya, terdapat studi-studi akademik yang serius pada banyak sarjana Muslim tentang kekristenan, lebih banyak daripada studi mereka tentang Yahudi. Bahkan, usaha para akademisi Muslim dan Kristen dalam mengembangkan dialog antaragama memiliki efek yang sangat bermanfaat dalam membangun kerja sama antara Barat dan para sarjana Muslim. Wardenburg bahkan meyakini bahwa proses perdamaian di Timur Tengah dapat difasilitasi oleh studi-studi mengenai hubungan Muslim dan kaum Yahudi, terutama dalam banyak fakta sejarah yang menunjukkan hubungan yang harmonis di antara mereka. Dapat juga dilakukan studi komparatif antara kitab suci kaum Muslim dan Yahudi yang memiliki banyak kesamaan akarnya. Dengan begitu akan mempererat pemahaman dan hubungan timbal balik antara Muslim dan Yahudi yang benar-benar menginginkan adanya hubungan baik.59 Waardenburg kemudian menggarisbawahi bahwa ketika agama-agama yang hidup (living religions) menjadi fokus kajian, maka hal itu menuntut keterbukaan akademik, kontak, perjumpaan, diskusi dan perdebatan. Konsekuensinya, Studi Agama-Agama membutuhkan kebebasan untuk riset, berpikir dan berekspresi. Sikapsikap seperti itu dibutuhkan oleh institusi mana pun yang ingin mengembangkan kajian ilmiah agama dan harus dipertahankan oleh para sarjana agama di mana pun, termasuk di dunia Islam.60 Hanya dengan sikap dan pandangan seperti ini, para akademisi Muslim di lembaga pendidikan tinggi Islam dapat mempertahankan dan mengembangkan Studi Agama-Agama, baik pada aspekaspek yang sangat teorrtis maupun aspek praktis-fungsional.

420

Wajah Studi Agama-Agama

BAB VII PENUTUP

Keseluruhan pembahasan buku ini telah menunjukkan bahwa Studi Agama-Agama atau Perbandingan Agama memiliki akar dan sejarah yang cukup panjang di Nusantara, setidaknya dalam rentang satu abad lebih. Pada mulanya, kesadaran kaum terpelajar Indonesia untuk mendiskusikan agama-agama yang hidup di Nusantara dimotivasi oleh keingintahuan berdasar fakta kemajemukan agama dan kehendak membangun kehidupan sosial-keagamaan yang harmonis. Di tengah-tengah proses tersebut muncul pula konflik dan kontestasi di antara agama-agama sehingga memunculkan model-model Studi Agama yang menyertainya. Seiring dengan perkembangan isu-isu dan materi sosial-keagamaan yang sangat dinamis, berbagai metodologi Studi Agama-Agama juga dirumuskan, apakah dengan cara membuat sintesis atas berbagai model atau membuat tesis (model) baru. Sejauh agama masih memiliki daya tarik sehingga terus dicintai, dianut dan dipelajari, maka Studi Agama tidak akan pernah redup. Selama itu, tema-tema keagamaan dan pendekatan-pendekatan Studi Agama masih akan terus berkembang, mencari model dan bentuk-bentuknya yang relevan dan aktual, apakah model itu masih model lama, atau perpaduan dari yang lama dengan yang baru, atau muncul model yang benar-benar baru. Pencarian itu tidak akan pernah selesai, dan tidak akan sampai pada titik final. Bagaimanapun, karena kompleksitas fenomena keagamaan dan macam-macam variannya, tak akan muncul “satu model (pendekatan) utama” untuk beragam kajian keagamaan. Yang niscaya terjadi akan ada banyak pendekatan yang mungkin bekerja sendiri-sendiri atau bekerja sama di antara mereka (inter-disciplinary studies). Dr. Media Zainul Bahri

425

Studi ini tentu saja memiliki keterbatasan. Beberapa riset mendatang dapat dilakukan. Misalnya pertama, mengingat studi yang saya lakukan hanya di UIN Yogyakarta, Jakarta dan IAIN Semarang, maka menarik untuk dilihat model-model Studi Agama-Agama di UIN dan IAIN lain, misalnya di UIN Bandung dan Surabaya yang cukup berkembang. Juga sangat menarik untuk melakukan studi perbandingan antara perkembangan Studi Agama-Agama di Jawa dan luar Jawa, misalnya dengan melihat perkembangan disiplin ilmu ini di Sumatra, Aceh, Kalimantan, dan Sulawesi. Kedua, karena UIN Yogyakarta, Jakarta dan Bandung telah membuka program Magister Studi Agama-Agama, maka menarik untuk melakukan riset tentang perkembangan studi ini pada level Pascasarjana.

426

Wajah Studi Agama-Agama

BIODATA PENULIS

Media Zainul Bahri adalah dosen Studi Agama-Agama pada Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Lahir di Pamanukan-Subang, Jawa Barat, 19 Oktober 1975. Mengenyam pendidikan Menengah dan Atas di Pondok Pesantren Daarul-Rahman, Kebayoran Baru Jakarta-Selatan (1987-1994). Menyelesaikan S-1 di Jurusan Perbandingan Agama, Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Bandung (UNISBA) (1995-1999), S-2 (2000-2003) dan S-3 (2006-2010) keduanya pada Konsentrasi Pemikiran Islam Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Dengan sponsor dari SEASREP-SEPHIS, mengikuti workshop on Alternative Research Methodologies di Universitas Filipina, kampus Diliman (Oktober 2007), melakukan penelitian Disertasi di Universitas Ankara Turki (November 2008 hingga Januari 2009) dengan beasiswa dari Pemerintah Turki, Postdoctoral research di Institut Indonesia dan Studi Keislaman, Universitas Köln, Jerman (Maret 2012 hingga Desember 2013) dengan sponsor Alexander von Humboldt Stiftung, dan melakukan studi kepustakaan di KITLV Universitas Leiden pada JuliAgustus 2012 dan Juli-Agustus 2013. Beberapa karyanya yang telah dipublikasikan antara lain Menembus Tirai Kesendirian-Nya: Mengurai Maqamat Dan Ahwal Dalam Tradisi Sufi (Jakarta: Prenada Media, 2005), menulis 17 Entri untuk Ensiklopedi Tasawuf (Bandung: Penerbit Angkasa, 2008), Tasawuf Mendamaikan Dunia (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2010), Satu Tuhan Banyak Agama (Jakarta: Mizan, 2011), dan Kerukunan Umat Beragama di Indonesia, Sebuah Pengantar (Jakarta: HIPIUS, 2015).

Dr. Media Zainul Bahri

439

Related Documents

Totok Wajah
February 2021 0
Studi Exegetis
January 2021 1
Studi Kasus
January 2021 0
Analisis Model Studi
February 2021 0
Studi Kelayakan Pelabuhan
February 2021 0

More Documents from "nop_phi13"