Bab 40 Anestesia Ortopedi

  • Uploaded by: Kadek Rudita Yasa
  • 0
  • 0
  • January 2021
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Bab 40 Anestesia Ortopedi as PDF for free.

More details

  • Words: 5,411
  • Pages: 15
Loading documents preview...
ANESTESIA PADA ORTOPEDI Konsep Utama 1. Manifestasi klinis pada bone cement implantation syndrome adalah hipoksia ( peningkatan pulmonary shunt), hipotensi, disritmia ( termasuk blok jantung dan sinus arrest), hipertensi pulmonal ( peningkatan resistensi vascular pulmonal), dan penurunan cardiac output. 2. Pneumatic tourniquet sering digunakan pada pembedahan arthroscopic lutut karena mengurangi perdarahan area operasi yang sangat memfasilitasi prosedur yang dilakukan. Tetapi tournikuet terkait dengan potensi masalah termasuk perubahan hemodinamik, nyeri, perubahan metabolic, thromboemboli arteri, dan bahkan emboli pulmonar. 3. Sindrom emboli lemak secara klasik terjadi dalam 72 jam fraktur tulang panjang atau pelvis, dengan trias: dyspneu , confusion, dan ptekiae. 4. Deep veins thrombosis dan emboli pulmonary dapat sebagai penyebab utama morbiditas dan mortalitas pada operasi ortopedi pada pelvis dan ekstremitas inferior. 5. Neuraxial anesthesia sendiri atau digabung dengan anestesi umum dapat mengurangi komplikasi thromboemboli dengan beberapa mekanisme, termasuk peningkatan aliran darah vena ekstremitas bawah yang diinduksi oleh simpatektomi, efek anti inflamasi sistemik dari obat anestesi local, penurunan aktifitas platelet, dikuranginya peningkatan faktor VIII dan faktor willebrand post op, dikuranginya penurunan antithrombin III post op, dan perubahan dalam pelepasan stress hormone. 6. Penempatan jarum atau kateter epidural (atau pelepasan ) seharusnya secara umum tidak dilakukan dalam 6-8 jam minidose heparin yang takterbagi secara subkutan atau dalam 12-24 jam heparin dengan berat molekul rendah. Meski secara potensial kurang traumatik , anestesi spinal dapat menyebabkan resiko yang serupa. 7. Radiografi fleksi dan lateral ekstensi dari vertebra servikalis seharusnya dilakukan preoperative pada semua pasien dengan rheumatoid arthritis berat yang mendapat terapi steroid atau methotrexat. Jika instabilitas atlantoaxial melampaui 5 mm, intubasi seharusnya dikerjakan dengan stabilisasi leher dan teknik fibre optic secara awake. 8. Monitoring arteri pulmonal pada pasien yang menjalani operasi bilateral hip arthroplasty secara bernilai menandakan adanya embolisasi dengan peningkatan resistensi vascular pulmonal. Jika tekanan arteri pulmonal meningkat diatas normal ( 200 dyn x s xcm -5 ) selama tindakan hip arthroplasty yang pertama maka pembedahan sisi kontra lateral harus ditunda. 9. Seperti penggantian cemented hip bilateral, monitoring selama bilateral knee replacement seharusnya termasuk pengukuran tekanan arteri pulmonal dan tekanan oklusi arteri pulmonal. 10. Analgesia postoperative yang efektif adalah esensial untuk rehabilitasi fisik lebih awal untuk memaksimalkan rentang gerakan post operatif dan mencegah adhesi sendi setelah knee replacement. 11. Teknik interskalenus blokade pleksus brakialis idealnya diterapkan untuk prosedur operasi bahu. Bahkan saat anestesi umum dikerjakan , blokade interskalenus dapat sebagai pelengkap anesthesia dan memberikan analgesia post operatif yang baik.

Bedah ortopedi menantang ahli anestesi dengan segala ragamnya. Derajat kesalahan bedah bervariasi dari operasi jari minor sampai hemipelvectomy. Pasien-pasien ortopedi mulai neonatus dengan anomaly congenital sampai atlet muda yang sehat sampai pasien geriatric yang immobile dengan kegagalan multi organ stadium akhir. Fraktur tulang panjang predisposisi untuk terjadinya sindrom emboli lemak. Pasien dapat pada resiko tinggi terjadinya thromboemboli vena, terutama pada operasi pelvis, pinggang, dan lutut . Penggunaan bone cement selama arthroplasti dapat menyebabkan instabilitas hemodinamik. Tourniquet tungkai membatasi hilangnya darah tapi menimbulkan resiko tambahan. Teknik anestesi neuraxial dan teknik anestesi regional lainnya memainkan peranan penting dalam penurunan insiden komplikasi thromboemboli post operatif, memberikan analgesia post operatif, dan memfasilitasi rehabilitasi awal dan hospital discharges. Kecanggihan teknik bedah seperti pendekatan invasive yang minimal terhadap hip replacement menggunakan teknik bedah dengan bantuan computer , memerlukan modifikasi dalam manajemen anestesi untuk mengijinkan pulangya pasien semalam atau pada hari yang sama yang menjalani prosedur tersebut yang digunakan untuk memerlukan waktu satu minggu atau lebih di rumah sakit. Setelah mengkaji masalah-masalah yang sering terjadi pada ortopedi , bab ini akan mendiskusikan manajement anestesi pada pasien yang menjalani operasi ortopedi yang umum. Pertimbangan Khusus pada Operasi Ortopedi. Semen tulang Sement tulang , polymethylmethacrylat, sering diperlukan untuk arthroplasti sendi. Semen interdigitates dalam interstices of cancellous bone dan secara kuat mengikat alat prosthetic ke tulang pasien. Campuran bubuk methylmethacrylate yang dipolimerisasi dalam cairan methylmethacrylat monomer menyebabkan polimerisasi dan ikatan silang rantai polimer. Reaksi eksotermik ini menyebabkan pengerasan semen dan pengembangan melawan komponen prosthetic. Resultan hipertensi intramedular (lebih 500 mmHg ) menyebabkan embolisasi lemak, sumsum tulang, semen dan udara ke dalam kanalis vena femoralis. Methylmethacrylat monomer sisa dapat menyebabkan vasodilatasi dan penurunan resistensi vascular sistemik. Pelepasan thromboplastin jaringan dapat menjadi trigger agregasi platelet, pembentukan mikrothrombus dalam paru dan instabilitas kardiovaskular sebagai akibat sirkulasi zat vasoaktif. 1.Manifestasi klinik bone cement implantation syndrome adalah hipoksia ( peningkatan pulmonary shunt ), hipotensi, disritmia ( termasuk blok jantung dan sinus arrest ), hipertensi pulmonal ( peningkatan resistensi vascular pulmonal ) dan penurunan cardiac output. Emboli sebagian besar terjadi selama insersi prosthesis femor. Strategi untuk meminimalkan efek komplikasi termasuk peningkatan konsentrasi oksigen inspirasi sebelum pemberian semen , mempertahankan euvolemia, dengan monitoring CVP, membuat lubang ventilasi di distal femur untuk menurunkan tekanan intramedular , melakukan lavage tekanan tinggi terhadap shaft femur untuk mengeluarkan debris ( potensial mikroemboli ), atau menggunakan komponen uncement femoral. Kerugian utama lain semen adalah potensial lepasnya prosthetic secara gradual akibat kerusakan serpihan kecil dari semen selama bertahun-tahun.

Komponen implant tanpa mengandung semen dibuat dari material yang berpori-pori yang membuat tulang asli tumbuh ke dalamnya. Prosthese tanpa semen pada umumnya berlangsung lebih lama dan bermanfaat untuk pasien muda dan yang masih aktif, bahkan pemulihan penuh dapat lebih lama dibandingkan yang mengandung semen. Kerugiannya, implant tanpa semen memerlukan pembentukan tulang yang masih aktif. Oleh karena itu prosthesis yang mengandung semen diperuntukkan bagi usia diatas 80 tahun dan pasien yang kurang aktif yang sering menderita osteoporosis dan atau tulang yang tipis. Penelitian terus dilanjutkan untuk menyusun seleksi join replacement antara yang mengandung semen dan yang tidak, tergantung jenis sendi yang diganti, pasien dan teknik operasi. Pada banyak kasus, yang mengandung semen dan yang tidak digunakan pada pasien yang sama ( mis: total hip arthroplasty ). Permukaan sendi prosthetic modern dapat dari logam, plastic, atau keramik. Tourniket Pneumatik Penggunaan tourniquet pneumatic pada ekstremitas dan bawah membuat lapangan operasi tak berdarah yang sangat memfasilitasi pembedahan. Kerugiannya, terkait dengan masalah potensial termasuk perubahan hemodinamik, nyeri, perubahan metabolic, thromboemboli arteri, dan bahkan emboli pulmonal. Tekanan pengembangan tourniquet biasanya sekitar 100 mmHg diatas tekanan darah sistolik. Pengembangan yang berlangsung lama ( > 2 jam ) secara rutin menyebabkan disfunsi otot sementara dan terkait dengan cidera saraf perifer permanen atau bahkan rhabdomyolisis. Pengembangan tourniquet juga dikaitkan dengan peningkatan suhu tubuh pada pasien pediatric yang menjalani operasi kaki. Exsanguination ekstremitas bawah dan pengembangan tourniquet menyebabkan pergeseran volume darah ke dalam sirkulasi sentral. Meski ini biasanya secara klinis tidak signifikan , bilateral esmarch bandage exsanguinations dapat menyebabkan peningkatan tekanan CVP dan tekanan darah arteri yang tidak baik ditoleransi oleh pasien dengan disfungsi ventrikel kiri. Siapapun yang mengalami tourniquet pada thigh inflated sampai 100 mmHg diatas tekanan darah sistolik lebih dari beberapa menit menyebabkan nyeri. Meskipun mekanisme dan jalur neural untuk sensasi nyeri dan terbakar defy precise explanation , unmyelinaed , slow-conduction C fiber, yang relative resisten terhadap blokade anestesi local mungkin memainkan peranan yang penting. Nyeri akibat ourniket secara gradual menjadi berat lebih lanjut pasien tersebut memerlukan analgesia suplemen, jika tidak anestesi umum, disamping blok regional yang adequate untuk incise bedah. Bahkan selama anestesi umum , nyeri tourniquet sering dimanifestasikan sebagi peningkatan secara gradual MAP mulai sekitar ¾ sampai 1 jam setelah pengembangan cuff. Tanda aktivasi simpatis yang progresif termasuk hipertensi yang bermakna, takikardia, dan diaphoresis. The likelihood nyeri tourniquet dan hipertensi yang menyertainya dipengruhi banyak faktor, termasuk teknik anestesi ( regional inra venous > epidural > spinal > anestesi umum ), intensitas dan level blok anestesi regional, pilihan anestesi local ( hiperbarik spinal dengan tetracain > bupivacain isobarik), dan suplemen blok dengan opioid. Deflasi cuff invariably dan segera menurunkan sensasi nyeri tourniquet dan hipertensi nya. Kenyataannya, deflasi cuff dapat diikuti turunnya CVP yang signifikan dan tekanan darah arteri. Heart rate biasanya meningkat dan suhu inti menurun. Pembuangan sisa akumulasi metabolic pada ekstremitas yang iskemik meningkatkan PaCO2, ET CO2 dan laktat serum dan kadar kalium. Perubahan metabolic ini dapat menyebabkan peningkatan minute ventilation pada pasien dengan nafas spontan, den

jarang terjadi disritmia. Ironisnya, deflasi cuff dan reoksigenasi darah telah ditunjukkan perburukan jaringan iskemik yang cidera akibat pembentukan lipid peroxides. Reperfusi daerah cidera ini dapat dikurangi dengan propofol, yang dilaporkan membatasi pembangkitan superoksida. Iskemia yang diinduksi oleh tourniquet pada ekstremitas bawah menyebabkan perkembangan deep venous thrombosis. Transesophageal echocardiography telah mendeteksi emboli pulmonal subklinis akibat deflasi cuff ( emboli miliar ) setelah deflasi cuff pada kasus sekecil diagnostic knee arthroscopy. Episode yang jarang dari emboli paru masiv selama total knee arthroplasty telah dilaporkan selama leg exsanguinations, setelah inflasi tourniquet, dan setelah deflasi tourniquet. Tourniquet pada umumnya dikontraindikasikan pada pasien dengan penyakit arteri kalsifikasi yang bermakna. Secara aman digunakan pada pasien dengan sickle cell disease, meskipun perhatian khusus seharusnya dilakukan untuk menjaga oksigenasi, normokabia atau hipokarbia, hidrasi, dan normothermia. Sindrom emboli lemak Meski beberapa derajat emboli lemak terjadi pada semua kasus fraktur tulang panjang, sindrom ini kurang sering terjadi tapi potensi untuk fatal ( mortalitas 10-20% ) yang dapat membuat menyulitkan manajemen anestesi. Sindrom emboli lemak secara klasik terjadi dalam 72 jam fraktur tulang panjang atau pelvis, dengan trias yaitu dyspneu, confusion, dan ptechiae. Sindrom ini dapat juga terlihat setelah resusitasi jantung paru, parenteral feeding dengan infuse lipid, dan liposuction. Dua teori diusulkan untuk patogenesanya. Teori yang paling popular berpegang bahwa fat globules dilepaskan oleh pecahnya sel-sel lemak dalam tulang yang patah dan masuk sirkulasi melalui robekan pembuluh daah dalam medulla tulang. Teori alternative mengusulkan bahwa fat globules adalah chylomicrons akibat dari agregasi asam lemak bebas yang beredar dalam sirkulasi dengan mengubah metabolism asam lemak. Dengan mengabaikan sumbernya, peningkatan asam lemak bebas dapat membuat efek toksik pada capillary-alveolar membrane menyebabkan pelepasan vasoactive amine dan prostaglandin dan perkembangan acute respiratory distress syndrome. Manifestasi neurologi ( agitasi, confusion, stupor atau koma ) mungkin menyebabkan kerusakan kapiler pada sirkulasi serebral dan edema serebral dan dapat dieksaserbasi oleh hipoksia. Diagnosis sindroma emboli lemak diduga dengan adanya ptekiae pada dada, ekstremitas atas, aksila dan konjungtiva. Fat globules dapat ditemukan pada retina, urine atau sputum. Abnormalitas koagulasi seperti thrombositopenia atau pemanjangan clothing time kadang-kadang terjadi. Aktifitas lipase serum dapat meningkat, tapi bears tidak ada kaitannya dengan beratnya penyakit. Keterlibatan paru secara typical cepat berkembang dari hipoksia ringan dan radiografi thorak normal ke hipoksia berat rontgen dada menunjukkan infiltrate patch yang masiv. Sebagian tanda klasik dan gejala sindrom emboli lemak terjadi 1-3 hari setelah kejadian presipitan. Tanda selama anesthesia umum termasuk penurunan ETCO2 dan satuasi oksigen arterial atu peningkatan tekanan arteri pulmonal. EKG menunjukkan adanya perubahan ischemic-appearing ST-segment dan right-sided heart strain. Treatmen tediri dua tahap: profilaksis dan suportif. Stabilisasi awal fraktur menurunkan insiden sindroma ini. Treatmen suportif terdiri terapi oksigen dengan ventilasi tekana positif secara kontinyu . Treatmen dengan heparin atau alcohol pada

umumnya mengecewakan. Terapi kortikosteroid dosis tinggi dapat bermanfaat terutama dengan adanya edema serebral. Deep venous thrombosis dan Thromboembolism Deep vein thrombosis ( DVT ) dan emboli paru dapat sebagai penyebab utama morbiditas dan mortalitas dari operasi ortopedi pada pelvis dan ekstremitas bawah. Faktor reiko tambahan termasuk obesitas, umur > 60 tahun, operasi berlangsung > 30 menit, penggunaan tourniket, fraktur ekstremitas bawah, dan imobilisasi lebih 4 hari. Pasien resiko paling tinggi adalah mereka yang menjalani hip surgery dan rekonstruksi lutut, dimana DVT rate pada pasien tua adalah 50%. Insiden emboli paru secara klinis dari hip surgery dilaporkan 20 %, dimana emboli paru yang fatal sebanyak 1-3%. Mekanisme patofisiologi utama termasuk stasis vena dan status hiperkoagulable akibat respon inflamasi local dan sistemik terhadap pembedahan. Antikoagulasi profilaksis dan penggunaan alat intermittent pneumatic (leg) compression (IPC) telah menunjukkan penurunan secara signifikan insiden DVT dan PE ( Pulmonary Embolism). Untuk pasien resiko tinggi dosis rendah heparin, 5000 U setiap 8 jam , IPC, warfarin, atau low dose molecular weight heparin ( LMWH ) direkomendasikan. Unless patients pose secara perkecualian resiko tinggi , antikoagulan sering dimulai beberapa jam setelah pembedahan untuk mengurangi perdarahan akibat pembedahan durante op. Sebenarnya, data yang lebih baru menduga bahwa semua insiden DVT akibat total hip / knee arthroplasty rendah , 1.5% dan PE 0,7%, keduanya masih tinggi pada pasien yang berusia lebih dari 70 tahun. Penurunan besar komplikasi thromboemboli agaknya mencerminkan implementasi pembedahan kontemporer dan strategi manajemen anestesi , misal: profilaksis DVT yang rutin, rehabilitasi awal dan penggunaann anestesi regional yang lebih sering. Anestesi neuraksial sendiri atau saat dikombine dengan anestesi umum dapat mengurangi komplikasi thromboemboli dengan beberapa mekanisme. Hal ini termasuk peningkatan aliran darah vena ekstremitas bawah iang induksi oleh simpatektomi, efek antiinflamasi sistemik dari obat anestesi local, penurunan reaktifitas platelet, diturunkannya peningkatan faktor VIII dan faktor Willebrand post op, diturunkannya pengurangan antithrombin III post op dan perubahan dalam pelepasan stress hormone. Lidokain intra vena telah menunjukkan dapat mencegah thrombosis, memperkuat efek fibrinolisis dan mengurangi agregasi platelet. Meski sebagian besar klinisi sependapat bahwa antikoagulasi penuh atau terapi fibrinolitik ( mis: urokinase ) menunjukkan resiko yang tak dapat diterima untuk terjadinya hematom spinal atau epidural akibat anestesi neuraksial , bahaya bagi pasien yang menerima antikoagulan dosis rendah preop agak controversial. Pemasangan jarum epidural atau kateter ( atau pencabutan ) seharusnya dilakukan dalam 6-8 jam mini dose subkutan heparin yang tak terbagi, atau dalam 12-24 jam LMWH. MEski kurang traumatic, anestesi spinal menunjukkan resiko serupa. Pengelolaan secara bersamaan obat anti platelet lebih jauh meningkatkan resiko hematom spinal. Perhatian utama lainnya adalah anestesi regional dapat menutupi tanda hematom yang meluas dan tekanan medulla spinalis ( mis: nyeri pinggang bawah (LBP) dan kelemahan ekstremitas bawah ), jadi menunda diagnosis dan terapi. OPERASI PANGGUL

Pembedahan yang umum meliputi pasien dewasa, termasuk repair fraktur panggul, total hip arthroplasty, dan close reduction of hip dislocation. Fraktur panggul Pertimbangan Preoperatif Sebagian besar pasien yang menjalani operasi ini adalah lemah dan usia lanjut, terutama mereka dengan fraktur panggul. Sebuah perkecualian adalah kadang-kadang pasien muda dengan trauma besar pada femur atau pelvis. Beberapa penelitian melaporkan angka mortalitas fraktur panggul 10% selama awal hospitalisasi dan lebih 25% dalam 1 tahun. Banyak dari pasien ini mempunyai penyakit penyerta seperti penyakit arteri koroner, penyakit vascular serebral,penyalit paru obstruktif kronis atau diabetes. Pasien dengan fraktur panggul seringkali dehidrasi karena intake oral yang tidak adequate. Tergantung pada lokasi fraktur panggul, hilangnya darah tersembunyi dapat signifikan dan lebih lanjut melemahkan volume intra vascular. Pada umumnya fraktur intra kapsular ( subkapsular, transcervical ) terkait dengan kurangnya darah yang hilang dibanding fraktur ekstra kapsular ( dasar kolum femur, inter trokhanter, sub trokhanter ). Hematokrit preop yang normal atau border line ke rendah menunjukkan hemokonsentrasi akibat hilangnya darah yang tersembunyi. Karakteristik lain adalah sering terjadinya hipoksia preop dapat sebagai akibat emboli lemak, faktor lain termasuk atelektasis bibasilar dari bedrest, bendungan paru ( dan efusi ) dari congestive heart failure atau konsolidasi akibat infeksi. Manajemen intra operatif Pilihan antara anestesi regional dan anestesi umum telah secara lekstensif dievaluasi untuk fraktur panggul. Banyak penelitian ditemukan mortalitas yang lebih rendah pada periode post op yang lebih awal dari anestesi regional, kemungkinan karena penurunan penyakit thromboemboli. Tetapi setel;ah 2 bulan angka mortalitas dari anestesi regional dan umum tidak secara konsisten berbeda.Delirium post op dan gangguan kognitif juga menurun dari anestesi regional, jika sedasi dapat dihindari. Teknik epidural kontinyu dengan atau tanpa disertai anesthesia umum , memberikan keuntungan tambahan pada control nyeri post op. Jika anestesi spinal direncanakan, teknik hipobarik memberikan posisioning yang lebih mudah karena pasien tidak harus meletakkan panggula yang fraktur dan dapat tetap pada posisi yang sama selama pembedahan. Morphin intra thecal juga dapat digunakan analgesia post op tetapi berpotensi untuk terjadinya peningkatan resiko depresi respiratory yang tertunda pada pasien tua memerlukan pengurangan dosis ( 0,1 – 0,2 mg ) dan monitoring ketat post op. Pertimbangan harus juga diberikan pada tipe reduksi terbuka dan fiksasi internal yang digunakan. Hal ini tergantung pada lokasi fraktur , derajat displacement, status fungsional pasien preop, dan ahli bedah. Fraktur intrakapsular undisplaced biasanya ditreatmen dengan cannulated screw fixation. Fraktur intrakapsular displaced dapat ditreatmen dengan fiksasi internal, hemiarthroplasty, atau total hip replacement. Hemiarthroplasty dapat dengan memakai semen atau tidak. Operasi fraktur panggul ekstrakapsular dilakukan dengan implant ekstramedula ( mis: sliding screw and plate ) atau intra medula ( mis: Gamma nail ). Hip compression screw dan side plate paling sering dikerjakan untuk fraktur intertrochanter.

Hemiarthroplasty dan total hip replacement lebih lama, lebih invasive dibanding prosedur lainnya. Biasanya dikerjakan dalam posisi lateral decubitus, terkait dengan hilangnya darah yang lebih besar dan secara potensial mengakibatkan perubahan hemodinamik yang lebih besar, terutama jika semen digunakan. Pertimbangan harus diberikan pada monitoring tekanan arteri langsung, jaminan iv kateter ukuran besar untuk transfuse dan bahkan monitoring hemodinamik ketat pada pasien tua dan lemah. TOTAL HIP ARTHROPLASTY Pertimbangan preoperative Sebagian besar pasien yang menjalani total hip replacement menderita dari penyakit osteoarthritis, rheumatoid arthritis, atau osteonekrosis ( avascular necrosis ). Osteoarhritis adlah penyakit degenerative yang mengenai permukaan sendi satu atau lebih sendi ( paling sering panggul dan lutut ). Etiologi osteoarthritis tampaknya melibatkan trauma sendi berulang ( mis: morbid obesity ). Karena tulang vertebra sering terlibat, meletakkan posisi leher selama intubasi harus sebaik mungkin untuk menghindari tekanan saraf atau keluarnya nucleus pulposus. Rheumatoid arthritis berbeda dari osteoarthritis dalam tiga aspek utama. Pertama, karakteristiknya destruksi sendi yang dimediasi oleh respon imun dengan inflamasi kronik dan progesif membrane synovial, berlawanan dengan adanya articular wear dan robekan. Kedua, tapi sangat penting untuk ahli anestesi, adalah terlibatnya sistemik yang dapat mengikuti rheumatoid arthritis. Tambahan, rheumatoid arthritis secara tipikal melibatkan banyak sendi, termasuk sendi kecil pada tangan, pergelangan, dan kaki, pada suatu symmetric fashion. Menyisisipkan kateter invasive dan bahkan mencapai akses intra vena merupakan tantangan pada pasien dengan deformitas berat. Debilitasi dan gerakan sendi terbatas prohibit penilaian toleransi terhadap aktifitas , berpotensi menutupi penyakit arteri koroner yang mendasari, dan disfungsi pulmonal. Status kardiovaskular pasien tidak dpat untuk exercise , resiko untuk penyakit arteri koroner ( mis: riwayat angina, diabetes, CHF, infark miokard ), dapat dievaluasi dengan scanning dypiridamol thallium atau dobutamine.echocardiography. Kasus ekstrem rheumatoid arthritis dapat melibatkan sebagian besar merman synovial, termasuk sendi vertebra servikal dan sendi temporomandibular. Subluksasi Atlantoaxial yang dapat didiagnose secara radiologi, menyebabkan protrusi prosesus odontoid ke dalam foramen magnum selama intubasi, melemahkan aliran darah vertebra dan menekan medulla spinalis atau batang otak. Radiography vertebra servikalis posisi fleksi dan lateral ekstensi harus dilakukan preoperative pada semua pasien dengan rheumatoid arthritis berat yng memerlukan steroid atau methotrexat. Jika instabilitas atlantoaxial melebihi 5 mm , inubasi seharusnya dikerjakan dengan stabilisasi leher dan teknik awake fibreoptic. Keterlibatan sendi temporomandibular dapat membatasi mobilias rahang dan rentang gerakan pada suatu derajat pada intubasi yang berhasil akan memerlukan teknik nasal fibreoptik. Suara serak atau inspiratory stridor memberikan tanda penyempitan pembukaan glottis yang disebabkan arthritis krikoarytenoid. Disamping penggunaan pipa endotrakheal dengan diameter yang lebih kecil, kondisi ini menyebabkan obstruksi airway post ekstubasi.

Pasien dengan rheumatoid arthritis atau osteoarthritis umumnya mengkonsumsi obat-obatan NSAIDs untuk manajemen nyerinya. Obat-obatan ini dapat mempunyai esamping yang serius seperti perdarahan saluran cerna yang lifethreatening, toksisitas pada ginjal, dan disfungsi platelet. Mekanisme NSAIDs terkait dengan inhibisinya pada sintesa prostaglandin oleh enzim cyclooxygenase ( COX ), dimana terdapat dua isoform ( COX-1 dan COX-2 ). Hal ini tampaknya bahwa redanya nyeri dan antiinflamasi terkait dengan inhibisi COX-2, dimana sebagian besar efek samping pada umumnya akibat inhibisi COX-1 ( toksisitas renal adalah perkecualian ). Jadi , obat-obatan yang secara spesifik menghambat COX-2 9 celecoxib, parecoxib, valdecoxib ) akan diharapkan mempunyai resiko lebih rendah terhadap efek samping daripada yang nonspesifik. Sebaliknya inhibitor COX-2 tidak akan diharapakan untuk member keuntungan penghambatan platelet jangka panjang ( mis: pencegahan infark miokard dan stroke ). Kenyataannya, pasien-pasien yang mengkonsumsi bebrapa ( dan mungkin semua ) COX-2 inhibitor tampaknya mempunyai peningkatan dalam mortalitas akibat penyakit kardiovaskular, penarikan segera setidaknya satu COX-2 inhibitor ( rofecoxib ). Karena tingginya harga, Obatobat COX-2 dicadangkankan untuk pasien dengan resiko tinggi terhadap efek samping ( mis: riwayat perdarahan gastrointestinal sebelumnya atau reflux, koagulopati, penggunaan steroid secara ersamaan ). Oleh karena itu . periode perioperatif merupakan waktu yang rasional untuk memilih obat-obat COX-2 untuk menurunkan resiko perdarahan pada luka atau hematom epidural. Manajemen intra operatif Total hip replacemen (THR) melibatkan beberapa tahapan pembedahan termasuk mengatur posisi pasien ( biasanya pada lateral dekubitus ), dislokasi dan pemindahan kaput femoris, melebarkan asetabulum dan insersi kap acetabulum prosthetic ( dengan atau tanpa semen ) dan membuka femur dan insersi komponen femur ( kaput femur dan stem ) ke dalam femoral shaft ( dengan atau tanpa semen ). THR juga dikaitkan dengan tiga komplikasi yang mengancam kehidupan : bone cement implantation syndrome, peradarahan intra dan post op dan thromboemboli vena. Jadi terdapat banyak alasan mengapa monitoring arteri invasive pada umumnya direkomendasikan untuk prosedur-prosedur ini. Fenomena emboli sebagian besar terjadi selama insersi phrostesis femur. Beberapa klinisi meningkatkan konsentrasi oksigen inspirasi sebelum memberikan semen. Operator juga membuat lubang ventilasi pada femur distal untuk menurunkan tekanan intr medulla, melakukan lavage tekanan tinggi femoral shaft untuk mengeluarkan debris ( berpotensi mikroemboli ) atau menggunakan komponen yang tidak menggunakan semen. Thromboemboli vena penyebab yang signifikan morbiditas dan mortalitas akibat hip replacement surgery. Seperti yang telah dibicarakan lebih awal, penggunaan anestesi regional menurunkan insiden deep venous thrombosis dan emboli pulmonal. Oleh karena itu sebagian besar center menggunakan anestesi neuraksial baik sendiri atau digabung dengan anestesi umum, jika memungkinkan. Anestesi epidural atau spinal ( biasanya hipobarik atau isobaric ) dapat digunakan. Beberapa center secara rutin menggunakan opioid spinal pada akhir prosedur, dimana yang lainnya mempercayakan pada parenteral dan opioid oral untuk analgesia post operatif. Pencegahan lainnya terhadap DVT adalah intermittent leg-compression devices dan profilaksis antikoagulan dosis rendah.

A. ARTHROPLASTY BILATERAL Bilateral hip arthroplasty dapat secara aman dikerjakan selama anestesi tunggal, dengan asumsi tidak ada embolisasi pulmonal yang signifikan setelah insersi komponen femor yang pertama. Monitoring arteri pulmonal member tanda yang dapat dipercaya adanya embolisasi dengan peningkatan pulmonary vascular resistance (PVR). Ini biasanya diindikasikan dengan adanya peningkatan pulmonary artery pressure (PAP) bersamaan dengan unchanged pulmonary artery occlusion pressure (PAOP) dan turunnya cardiac output: PVR = PA – PAOP x 80 Cardiac Output Jika tekanan arteri pulmonal meningkat diatas normal (200 dyn x s x cm -5 ) selama arthroplasty panggul yang pertama, pembedahan sisi kontralateral seharusnya ditunda. Sistem prosthetic tanpa semen yang baru membatu menghindarkan efek samping dari semen. Arthroplasty panggul bilateral tanpa semen tidak perlu monitoring tekanan arteri pulmonal. Insersi kateter epidural preoperative sangat memfasilitasi manajemen nyeri post op. Cairan anestesi local yang diencerkan dengan atau tanpa opioid dapat digunakan dalam 24-72 jam post op.

B. Revisi Arthroplasty Hip replacement surgery terutama revisi arthroplasty panggul sebelumnya, terkait dengan kehilangan darah yang bermakna. Hilangnya darah trgantung banyak faktor, termasuk pengalaman dan ketrampilan operator, teknik bedak yang digunakan, dan pilihan tipe prothestik. Hipotensi terkontrol dapat menurunkan perdarahan intra operatif. Beberapa penelitian menduga bahwa hilangnya darah dapat dikurangi jika teknik regional digunakan daripada anestesi umum bahkan pada tekanan darah arteri rata-rata yang sama. Alasan untuk perbedaan ini masih tidak pasti tapi dapat termasuk perbedaan dalam akibst vasodilatasi system vascular arteri dan vena, menyebabkan redistribusi aliran darah. Dengan memberikan permukaan tulang yang kering, hipotensi terkontrol juga memperbaiki pemberian semen prosthetic dan memperpendek waktu operasi. Karena sejumlah besar secara relative revisi hip replacement pasien-pasien memerlukan transfusi darah perioperatif, donasi darah autolog preoperative dan darah penyimpanan darah intra operatif seharusnya dipertimbangkan. Aprotinin dosis tinggi, suatu inhibitor proteinase dari aktifitas fibrinolitik dan jalur koagulasi intrinsic dengan menurunkan aktifasi plasminogen , dapat menurunkan hilangnya darah intra operatif pada pasien yang menjalani pembedahan revisi. Hal ini biasanya diocadangkan untuk kasus resiko tinggi ( mis: koagulopati ) tetapi karena kecenderungannya untuk menghasilkan sensitisasi imunologi . Penggunaan aprotinin tampaknya tidak meningkatkan insiden DVT atau PE. Administrasi preop recombinant human erythropoietin (600 IU/kg subkutan tiap minggu mulai 21 hari sebelum pembedahan sampai hari pembedahan ) menghasilkan alternative lain untuk menurunkan kebutuhan transfuse darah allogenik perioperatif. Erythropoietin meningkatkan produksi sel darah merah dengan menstimulasi pembagian dan diferensiasi progenitor erythroid dalam sumsum tulang.

Mempertahankan suhu badan normal selama hip replacement surgery telah menunjukkan untuk mengurangi hilangnya darah. C. ARTHROPLASTY INVASIF MINIMAL Adanya computer-assisted surgery (CAS) telah memfasilitasi perkembangan teknik invasive minimal untuk hip replacement tanpa semen. CAS memberikan jalan untuk rencana preop, navigasi bedah intra operatif, dan dengan beberapa system, pembedahan dengan robot. CAS sangat memperbaiki outcome bedah dengan arthroplasti invasive secara minimal. Software computer dapat secara akurat merekonstruksi gambar tiga dimensi untuk tulang dan jaringan lunak yang didasarkan pada radiografi, fluoroskopi, computed tomography atau MRI. Implant-spesific software dapat menstimulasiprosedur dan memfasilitasi rencana preop lebih baik daripada teknik lamayang menggunakan translucent prosthesis templates pada radiografi plain. Lebih jauh , CAS dapat membuat penggunaan system navigasi bedah dan image-guided surgical devices. Dengan sebuah proses yang disebut registrasi computer mencocokkan image preop atau informasi rencana-rencana pada posisi pasien di meja operasi. Alat untuk melakukan track disambungkan pada target tulang dank e alt selama pembedahan, dengan computer yang menggunakan kamera optic dan lampu infra merah emiting diode untuk menerima posisinya. Jadi CAS membuat sangat akurat dan optimal dalam penempatan implant melalui insisi yang sangat kecil, hal ini sangat mengurangi kerusakan otot dan jaringan yang berakibat pada berkurangnya nyeri, keluar dari rumah sakit lebih awal, dan pemulihan yang lebih cepat.Pendekatan lateral dengan mengunakan single 3-in incision pada pasien dengan posisi lateral dekubitus, pendekatan anterior menggunakan two separate 2-in incisions ( satu untuk komponen astabulum dan yang lain untuk komponen femur ) dengan pasien posisi supine. Teknik invsif minimal dapat mengurangi hospitalisasi sampai24 jam atau kurang. Teknik anestesi telah berkembang untuk mengakomodasikan perubahan radikal ini pada manajemen pembedahan. Anestesi epidural dengan infuse propofol dan sebuah LMA paling sering digunakan. Penggunaan teknik ini pada beberapa center secara besar-besaran menghilangkan kebutuhan opioid parenteral, mempercayakan hanya pada opioid oral pada periode pre dan post op. Premedikasi termasuk analgesia multimodal, terdiri oxycodone 10 mg, valdecoxib 20 mg dan asetaminofen 500 mg. Midazolam 1-2 mg juga digunakan sebagai sedasi segera sebelum pembedahan. Profilaksis anti emetic secara rutin digunakan . Anestesia untuk pembedahan biasanya diberikan dengan lidokain 2% lewat epidural (4cc test dose ) dan ropivacain 1% ( total 8 cc ), jumlah anestesi local ini adequate untuk sebagian besar pasien dan berlangsung 2 – 3 jam. Penggunaan kateter epidural mengijinkan administrasi tambahan anestesi local jika diperlukan. Sedasi atau anesthesia umum yang dangkal diberikan dengan propofol 75 – 150 mikrogram / kgbb / menit. Sebagian besar operator juga menginjeksikan ropivacain atau bupivakain ( 80 – 100 mg dengan methylprednisolon 80 mg dan morphin 4 mg ) ke dalam sendi dan luka. Kateter epidural dicabut pada akhir pembedahan. Analgesia post op diberikan dengan hydrocodone dan asetaminofen ( atau propoksifen dan parasetamol ) dan NSAIDs ( valdecoxib ). REDUKSI TERTUTUP DISLOKASI PANGGUL

Terdapat 3% insiden dislokasi panggul setelah arthroplasti panggul primer dan 20% insiden setelah total hip revision. Insiden ini tampaknya secara signifikan diturunkan dengan CAS. Karena kekuatan kecil yang diperlukan untuk membuat dislokasi prosthetic hip, pasien dengan hip implants memerlukan perhatian khusus selama mengatur posisi setelah prosedur bedah. Fleksi panggul yang ekstrem ( > 90 o ) , rotasi internal ( > 20o ), dan aduksi ( > 20 o ) meninkatkan resiko dislokasi dan seharusnya dihindari. Dislokasi panggul biasanya dapat dikoreksi dengan reduksi tertutup. Anestesi umum dengan face mask atau LMA biasanya cukup untuk prosedur yang sangat singkat ini. Paralisis yang nyata dapat diberikan suksinil kolin atau mivacurium dan akan memfasilitasi manipulasi operator dengan merelaksasi otot-otot panggul. Reduksi yang berhasil perlu dikonfirmasikan secara radologis sebelum pasien bangun. OPERASI LUTUT Dua hal yang sering dikerjakan pada pembedahan lutut yaitu arthroskopi dan total atau partial joint replacement.

ARTHROSKOPI LUTUT Pertimbangan preoperative Arthroskopi adalah pembedahan yang mengalami revolusi untuk banyak sendi, termasuk lutut, bahu, ankle, dan pergelangan tangan. Arthroskopi sendi biasanya prosedur outpatient. Meski pasien dengan tipikal khusus yang menjalani arthroskopi lutut sering pada atlet muda yang sehat, juga sering dikerjaka pada pasien tua dengan masalah medis multiple. Manajemen Intraoperatif Lapangan operasi yang tak berdarah sangat memfasilitasi bedah arthroskopi. Untungnya, bedah lutut memberikan area tak berdarah dengan menggunakan pneumatic tourniquet. Prosedur dikerjakan sebagai prosedur outpatient dengan pasien pada posisi supine dan pada sebagian besar pasien dengan anesrtesi umumdengan LMA. Beberapa center secara rutin menggunakan anesthesia neuraksial. Teknik anesthesia regional alernatif termasuk blok saraf three-in-one saraf femoral dan saraf kutaneus femoral ( dengan atau tanpa blok saraf sciatic ), blok kompartemen psoas dan infiltrasi local ( semua dengan sedasi ). Keberhasilan dan kepuasan pasien tampaknya sama dengan anestesi epidural ( 3% 2-chloroprocaine ) dan anestesi spinal ( lidokain 25 mg atau bupivakain 6 mg ditambah fentanyl 15-20 µg ). Dengan catatan bahwa dosis kecil spinal lidokain insiden sindrom neurologi sesaat melampaui 10%. Juga sekitar 30% pasien mengeluh nyeri pinggang setelah anestesi epidural atau spinal. Waktu pemulangan setelah anestesi umum dan neuraksial tampaknya sama.

Pemulihan nyeri post operatif Pemulihan pasienyang berhasil tergantung pada ambulatory yang lebih awal, pemulihan nyeri yang adequate, dan nausea dan vomitus yang minimal. Teknik yang menghindari dosis besar opioid sistemik merupakan himbauan yang nyata. Bupivacain intra articular ( 15-30 cc dari 0,25-0,5% bupivacain atau ropivacain dengan epinephrine 1:200.000 ) sering memberikan kepuasan analgesia untuk beberapa jam post operatif. Tambahan 1-5 mg morphin dapat memperpanjang analgesia untuk beberpa jam pada beberapa pasien. Mekanisme yang diduga dari analgesia ini agak kontroversi melibatkan interaksi antara reseptor opioid perifer dalam sendi. Strategi pengendalian nyeri lainnya termasuk ketorolak sistemik, injeksi kortikosteroid intra artikular ( mis: triamsinolon asetonid 10mg dala 20 ml saline ), blok saraf three-in-one, atau pemasangan kateter banyak lubang saat penutupan luka yang dihubungkan dengan portable pump (mis: Pain Buster ).

TOTAL KNEE REPLACEMENT Pertimbangan Perioperatif Pasien yang menjalani total knee replacement sangat menyerupai mereka yang total hip replacement ( mis: rheumatoid arthritis, osteoarthritis ). Manajemen intraoperatif Durasi operasi total knee replacement cenderung lebih pendek dibandingkan dengan hip replacement, pasien pada posisi supine dan hilangnya darah dibatasi dengan penggunaan tourniquet. Pasien yang kooperatif biasanya toleran dengan teknik regional dengan sedasi intravena. Bone cement implantation syndrome akibat insersi prothese femoral mungkin terjadi, tapi agak kurang dibanding selama hip arthroplasty. Pelepasan emboli kemudian kedalam sirkulasi sistemik dapat berlebihan cenderung hipotensi mengikuti lepasnya tourniquet. Sebagaimana pada bilateral hip replacement, monitoring selama bilateral knee replacement sharusnya termasuk pengukuran arteri pulmonal dan PAOP. Pemasangan kateter epidural preoperative dapat sangat membantu dalam manajemen nyeri post operatif, yang secara khusus lebih berat dibanding nyeri karena hip replacement surgery. Analgesia post op yang efektif untuk rehabilitasi fisik awal sampai memaksimalkan derajat gerakan post operatif dan mencegah adhesi sendi setelah knee replacement. Penting untuk menyeimbangkan pengendalian nyeri dengan memerlukan kooperatif pasien untuk rehabilitasi awal. Analgesi epidural terutama berguna pada pada bilateral knee replacement. Ropivacain epidural 0.2% pada 5-10 ml/jam memberikan analgesia yang baik dengan blokade motorik minimal selama 48-72 jam. Alternatifnya, indwelling femoal sheath catheter dapat digunakan untuk memberikan analgesia post operatif untuk 48 jam. Ropivacain 20 ml 0.5% ( atau bupivakain 0.25% ) digunakan untuk aktifasi awal pada akhir operasi, diikuti

infuse ropivacain 0.2% ( atau bupivakain 0.25% ) 5 ml/jam. Teknik indwelling femoral sheath tampaknya memberikan analgesia post operatif yang sangat baik, dengan kemungkinan beberapa efek samping daripada analgesia epidural. Partial knee replacement ( unicompartemental atau patelofemoral ) dilakukan pada pasien yang terseleksi. Pendekatan terbatas ini mengurangi kerusakan otot, memfasilitasi ambulatory lebih awal dan keluar rumahsakit lebih awal pada hari itu. Sekali lagi, manajemen anestesi seharusnya mengakomodasi jadwal pemulihan yang dipercepat. Tenik yang sama menjelaskan total hip arthroplasty minimal invasive dapat digunakan, dengan tambahan indwelling femoral catheter untuk analgesia post operatif. OPERASI PADA EKSTREMITAS ATAS Prosedur pada ekstremitas termasuk mereka dengan gangguan bahu ( mis: bergesernya subacromion atau rotator cuff tears ), fraktur traumatic, sindrom jepitan saraf ( mis: carpal tunnel syndrome ) dan arthroplasty sendi ( mis: rheumatoid arthritis ). Operasi Bahu Operasi bahu dapat terbuka atau arthroscopic. Prosedur ini dikerjakan pada posisi duduk ( “ beach chair “ ) atau kurang umum, posisi lateral dekubitus. Teknik interskalenus dari blokade pleksus brakhialis idealnya dipakai untuk operasi bahu. Bahkan ketika anestesi umum dikerjakan blok interskalenus dapat sebagai anestesi suplemen dan memberikan analgesia post operatif yang baik. Relaksasi otot yang intensif biasanya diperlukan selama anestesi umum, terutama saat tidak digabung dengan blok pleksus brakhialis. Hipotensi yang terkontrol ringandiperlukan untuk memperbaiki visualisasi selama prosedur arthroskopi. Penggunaan kateter indwelling interskalenus membuat analgesia post operatif selama 48 jam mengikuti operasi bahu besar. Infus larutan anestesi local yang diencerkan untuk berikutnya dapat membantu penilaian masalah neurologi pada periode segera post operatif. Ropivacain 0.2% dapat diinfuskan 4-8 ml/jam. Alternatifnya, beberapa operator menanamkan kateter multi lubang yang kecil ke dalam luka untuk infuse lambat post operatif anestesi local ( mis: Pain Buster ). Administrasi ketorolak pada akhir prosedur dan pada 24 jam pertama dapat membantu menurunkan kebutuhan opioid postoperative. Operasi Tangan Satu dari operasi yang paling umum dalam praktek anestesi adalah carpal tunnel release. Anestesi regional intra venaatau Bier block, idealnya diterapkan pada prosedur ini. Nilai yang berharga anestesi very short acting ( mis: propofol dan desfluran ) bersama dengan LMA telah memfasilitasi anestesi umum untuk operasi tangan dan mengijinkan pengeluaran awal yang dapat dibandingkan. Operasi berlangsung lebih 1 jam dapat dikerjakan dengan blok pleksus brakhialis. Pendekatan axillar pada umumnya dirujukkan pada operasi dibawah siku. Penggunaan pneumatic tourniquet menghendaki blok daerah dalam jaringan subkutan diatas aerteri axilla karena saraf kutaneus brachial media meninggalkan sarung

pembungkus pleksus hanya dibawah klavikula dan hilang sepanjang saraf intercostobrachial selama blok aksila.

[ DJOKO SULISTYO – SEMESTER 1]

Related Documents

Bab 40 Anestesia Ortopedi
January 2021 1
9 Ortopedi
March 2021 0
Massachusetts Anestesia
January 2021 0
Anestesia 1
March 2021 0
40
January 2021 4
Anestesia De Bolsillo.pdf
February 2021 0

More Documents from "Mayra capla"